Tuesday 25 January 2011

Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa

Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa
(Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Novel Para Priyayi)


1.1 Latar Belakang
“Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. ” Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam pembaca akan merasakan bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan.
“(Novel) Para Priyayi adalah ‘jihad intelektual’ Umar Kayam tentang seseorang dalam menjalani fungsi kemanusiaannya, yang mula-mula adalah (seorang) Jawa.” Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.
Adalah suatu hal yang menarik untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Hal ini akan dicapai lewat analisis sosiologi karya sastra. Dengan pendekatan ini karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosial dalam masyarakat Jawa.

1.2 Research question dan Argumen
Fokus pertanyaan dalam esai ini adalah: Peranan apa saja yang dilakukan priyayi dalam sistem sosial masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel Para Priyayi? Pertanyaan ini akan dijawab dengan analisis sosiologi sastra yang menonjolkan aspek kehidupan sosial kaum priyayi dalam masyarakat Jawa.
Berdasarkan teori sosiologi tentang stratifikasi sosial masyarakat Jawa, hipotesis peranan priyayi lewat novel Para Priyayi adalah:
1. Sebagai pembangun hubungan sosial antar status;
2. Sebagai agen perubahan;
3. Sebagai penjaga etika dan nilai-nilai budaya;
4. Sebagai pemimpin spiritual

















Bab II
Kerangka Analisis

2.1 Kerangka Teoritik
“Sistem sosial adalah suatu jaringan dimana bagian-bagian/elemen-elemen jaringan tersebut saling pengaruh mempengaruhi secara deterministik.” Keharmonisan dalam sistem sosial didasarkan pada pranata sosial, sistem yang mengatur interaksi yang mengintergrasikan pola perilaku dan komunikasi agar masyarakat dapat hidup tentram dan harmonis. Dalam masyarakat Jawa sistem sosial dapat dilihat dari pembagian stratifikasi sosial dan pola sikap anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max Weber, seorang sosiolog kelahiran Jerman, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik). Weber juga menambahkan bahwa dimensi ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi lainnya.
Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial.
Penelitian mendalam mengenai kehidupan sosial masyarakat Jawa pernah dilakukan oleh seorang antropolog Amerika bernama Clifford Geertz pada tahun 1950an dan dibukukan dalam The Religion of Java. Menurut Geertz pembagian kelas dalam masyarakat Jawa tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi tiap orang namun lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan, dan spiritual. Kaum priyayi dianggap sebagai kaum tingkat menengah ke atas karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaaan dalam pemerintahan dan memimpin upacara adat.
Menurut Geertz hubungan sosial antar kaum terjalin lewat peranan priyayi dalam menjembatani kaum abangan/wong cilik yang ingin menjadi priyayi. Budaya ngenger sebagai contoh, membuka peluang bagi semua kaum untuk menjadi priyayi. Sehingga dengan kata lain orang dengan kelas yang lebih rendah dapat berelasi dengan kaum priyayi.
Sartono Kartodirjo menyebutkan priyayi sebagai agen perubahan dengan membawa nilai-nilai baru ke dalam masyarakat dan juga sebagai pelestari seni budaya Jawa. Kaum priyayi adalah orang-orang yang lebih banyak bersentuhan dengan pendidikan. Mereka pun menyadari pentingnya belajar lebih banyak dari bangsa Eropa sehingga mereka akhirnya turut serta membawa kemajuan ke dalam masyarakat.
Peranan dalam hal penjagaan etika ditelaah oleh Franz-Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Jawa.” Masyarakat Jawa selalu ingin mempertahankan kerukunan dan keharmonisan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga mereka dalam bertindak selalu mentaati etika yang berlaku.
Hal lain seperti peranan sebagai pemimpin dalam hal spiritual dan mistis diutarakan oleh Geertz. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa kaum priyayi, khususnya priyayi luhur seperti bupati, mempunyai kekuatan mistik yang diturunkan pada kaum dibawahnya.

2.2 Pendekatan Sosiologi Sastra
Analisis sosiologi sastra berfokus pada penelaahan gambaran kondisi sosial masyarakat yang diangkat ke dalam novel. “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.” Karya sastra hampir tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial manusia karena pengarang sendiri adalah bagian dari masyarakat.
Kritik sastra memiliki empat pendekatan yaitu: orientasi pada semesta, pembaca, elemen pengarang dan karya. Menurut Warren dan Wellek sosiologi sastra sendiri berasal dari orientasi pada semesta, pengarang dan pembaca. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa suatu karya sastra tidak terlepas dari dunia dan kehidupan manusia. Selain itu peranan penulis dalam sosiologi sastra tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pengarang secara langsung terlibat dalam memasukkan unsur sosiologi dalam karya tulisnya. Perspektif pembaca juga sangat berpengaruh sebab pembaca sebagai “ … penerima efek karya sastra, dapat dengan bebas menelaah inti sosiologi dari karya sastra dan menyerap pesan yang tersirat.”
Suatu karya sastra ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu. Pengarang novel tidak sekadar berimajinasi dan memasukkan berbagai macam aspek kehidupan manusia ke dalam novel. Oleh sebab itu adalah penting untuk mengerti inti dari karya sastra tersebut sehingga kita dapat mempelajari kehidupan sosial manusia khususnya masyarakat priyayi Jawa secara kongkret. Dalam menelaah novel Para Priyayi penulis akan menggunakan kajian sosiologi sastra yang berpusat pada karya sastra itu sendiri terlepas dari pengarang dan pembaca.
























Bab III
Mengenai Novel Para Priyayi

3.1 Biografi singkat Umar Kayam
Umar Kayam lahir pada tanggal 30 April 1942, adalah seorang keturunan priyayi namun “Umar Kayam juga hendak meninggalkan kepriyayiannya” . Dalam dunia sastra Umar Kayam termasuk dalam periode angkatan 50 (1950 – 1970) dengan ciri khas gaya bertutur tanpa sisipan maupun peran komentar penulis dalam karya. Umar Kayam menceritakan setiap tokoh melalui sudut pandang orang pertama sehingga pembaca lebih merasakan peran tokoh dibandingkan peran penulis dalam cerita.

3.2 Ringkasan Novel Para Priyayi
Perjalanan Sastrodarsono berawal dari desa Kedungsimo. Ia dahulu bernama Soedarsono, anak seorang petani desa Atmokasan. Ayah Sastrodarsono sangat menginginkan anak-anaknya untuk menjadi priyayi. Maka berbeda dengan anak-anak petani lain Sastrodarsono disekolahkan. Setelah lulus ia menjadi guru bantu sampai ia akhirnya menjadi guru di Wanagalih.
Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Kemudian lahir tiga orang anak, mereka bernama Noegroho, Hardojo dan Soemini. Mereka disekolahkan di HIS, sekolah untuk priyayi. Anak-anak Sastrodarsono kemudian menjadi priyayi birokrat kelas atas. Noegroho menjadi seorang pejabat militer, Hardojo menjadi abdi dalem Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri seorang wedana.
Wage, anak seorang penjual tempe langganan keluarga Sastrodarsono diangkat menjadi anak dalam keluarganya. Namanya kemudian mejadi Lantip, ia sebenarnya adalah keponakan Sastrodarsono. Lantip adalah anak hasil hubungan luar nikah antara Soenandar dan Ngadiyem. Soenandar, sepupu Sastrodarsono terkenal sebagai orang yang bersikap brutal dan tidak mengerti tata krama. Ia meninggalkan Ngadiyem setelah menghamilinya. Di rumah Sastrodarsono Lantip diajarkan tata krama dan budaya priyayi, ia juga disekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar.
Ketiga anak Sastrodarsono telah memiliki keturunan. Lantip kemudian diurus oleh Hardojo dan berkerabat dekat dengan Hari, anaknya. Runtutan masalah kemudian terjadi. Marie, anak Noegroho, terpaksa menikah dengan orang ‘rendahan’ karena hamil diluar nikah. Hari terjerumus dalam organisasi komunis dan berbagai konflik lainnya. Di saat genting Lantip datang membantu menyelesaikan persoalan.
















Bab IV
Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa

4.1 Peranan Priyayi sebagai Pembangun Hubungan Sosial antar Status
Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga bagian besar, priyayi, abangan dan santri. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antar status. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan/wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik.
Relasi antar beberapa tokoh dalam novel menunjukkan kekerabatan antara kaum priyayi dan wong cilik. Hubungan tokoh Ndoro Seten dengan Atmokasan, ayah Sastrodarsono, kemudian Sastrodarsono dengan Ngadiyem, begitu juga hubungan Lantip dan Sastrodarsono, semua menunjukkan relasi antar status. Atmokasan sebagai seorang petani berstatus wong cilik bekerja di sawah milik Ndoro Seten menjalin hubungan yang bersifat vertikal, antara priyayi dan petani desa. Namun, hubungan tersebut berubah menjadi hubungan akrab, Ndoro Seten menyerahkan separuh sawahnya untuk diurus oleh Atmokasan. Relasi antar status bertransformasi menjadi hubungan yang lebih bersifat kekeluargaan. “Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono, …. nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja.” Soedarsono adalah nama asli Sastrodarsono. Hubungan kemudian bersifat timbal balik, Atmokasan mengerjakan kewajibannya sebagai petani dengan selalu jujur dalam bekerja. Di lain pihak Ndoro Seten menghargai kerja kerasnya dengan membantu Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Relasi kekeluargaan terlihat ketika Ndoro Seten telah menganggap Atmokasan sebagai saudara tua dengan memanggil ‘kamas’ sedangkan Sastrodarsono kini memanggilnya dengan ‘romo’. Tradisi kekerabatan diturunkan pada Sastrodarsono. Ia mengangkat sepupunya Soenandar untuk masuk dalam keluarganya supaya mendapat pendidikan yang memadai dan mampu menjadi priyayi seperti dirinya. Sastrodarsono juga banyak berhubungan dengan warga desa Wanalawas dan membantu dengan mendirikan sekolah bagi wong cilik, yang diserahkan pada Soenandar.
Soenandar kemudian tinggal dengan Ngadiyem, yang dihamilinya di luar nikah, namun setelah beberapa waktu ia kabur setelah mencuri harta Ngadiyem. Bagian ini memperlihatkan keretakan hubungan antara priyayi dan wong cilik. Mbok Soemo, ibu Ngadiyem, merasa terhina anaknya ‘dirusak’ oleh seorang priyayi. Sastrodarsono merasa bertanggung jawab atas ulah saudaranya sendiri menanggung segala biaya bagi anaknya nanti.
Dalam kekerabatan, kerukunan sangat diperlukan dalam membangun relasi yang harmonis antara priyayi dan wong cilik. Pada masa Sastrodarsono masih tinggal di Kedungsimo, Atmokasan menjaga hubungannya dengan Ndoro Seten sehingga kerukunan tercipta. Ia menghormati Ndoro Seten dengan berbuat jujur dan tidak mengecewakannya. Kerukunan pun terjaga dengan baik karena kedua pihak saling mengerti. Dalam kasus antara Soenandar dan Ngadiyem yang berakibat keretakan relasi, Sastrodarsono mengangkat Lantip, anak Ngadiyem, sebagai bagian dari keluarganya dan memberikan pendidikan yang layak untuk merekatkan kembali relasi tersebut. Di lain pihak, Lantip merasa berterima kasih atas kebaikan Sastrodarsono yang telah mengangkatnya sebagai bagian dari keluarga priyayi. Lantip bersumpah pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada keluarga Sastrodarsono. Pengabdiannya pada keluarga Sastrodarsono dibuktikan dengan sikap ‘kepahlawanan’ dalam membantu menyelesaikan konflik dalam keluarga.
Kedekatan kaum priyayi dengan wong cilik mengalami kelunturan pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Tidak ada hubungan erat antar tokoh yang berbeda status seperti Ngadiyem dan Sastrodarsono. Bahkan, bisa dibilang anak-anak Sastrodarsono cenderung bersikap acuh tak acuh pada wong cilik. Noegroho, misalnya, hidup dalam kemewahan ala Belanda, ”di meja makan kami biefstuk daging has yang lengkap dengan segala kentang dan jus dan slada hussar adalah hidangan yang tidak asing.” Mereka enggan ‘mencicipi’ kesederhanaan yang tercermin melalui penganan tempe, misalnya. Gambaran ini menunjukkan bagaimana priyayi menjauhkan diri dari wong cilik, berlawanan dengan sifat Sastrodarsono yang masih merasakan kedekatan dengan wong cilik. Tidak tampak lagi relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Kesan yang terjadi justru berkebalikan, para priyayi semakin menjauhkan diri dari wong cilik. “Anak-anak kampung itu lain betul dengan Hari, lho, Sum. Mereka suka omong jorok dan suka misuh. Kita ini orang Mangkunegaran, lho, Sum.” Dari kutipan tersebut kita dapat mengerti bahwa seiring dengan meningkatnya status priyayi pada diri Hardojo ia semakin mengambil jarak dengan wong cilik. Tanpa disadarinya ia telah menggunjing kaum wong cilik dan ayahnya sendiri, karena Sastrodarsono dahulunya adalah anak petani desa.




4.2 Peranan Priyayi sebagai Agen Perubahan
Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai pribumi yang berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal awal bagi kaum wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya. Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan. Selain itu perubahan juga dapat terlihat pada perkembangan seni budaya, emansipasi wanita, dan idealisme pengabdian.
Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong cilik karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi, dengan bantuan kaum priyayi. “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus menjadi priyayi.” Status priyayi berarti kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu pendidikan menjadi modal dasar. “Kalian harus sekolah.” Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan. Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan, Sastrodarsono “… dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang menjadi guru bantu.” Sastrodarsono melakukan proses yang sama dengan mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi.
Perubahan kemudian mencangkup masyarakat yang lebih luas. Pembangunan sekolah desa di Wanalawas yang ditujukan untuk mengajari pengetahuan dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Tokoh Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman penulis akan sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, “beliau masih prihatin dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan …” . Dia menghapus keterbelakangan dengan membangun sekolah bagi orang-orang yang buta huruf.
Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri Sastrodarsono didasari oleh tokoh Mas Martoatmodjo yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.” Mas Martoatmodjo selalu mengikuti perkembangan gerakan priyayi dengan membaca Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup. Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Mas Martoatmodjo karena takut kehilangan status dan kemapanan. “Mereka takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka.” Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualities menjadi dinamis. Hal ini mendasari sikap pengabdian pada wong cilik yang ditegaskan pada akhir novel, “warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri.”
Kelunturan idealisme pengabdian priyayi bentrok dengan masuknya aliran komunisme. Menurut sudut pandang sosialis, prinsip priyayi adalah feodal, pengabdiaan pada wong cilik justru terpinggirkan. Selain itu suatu hal yang juga ironis karena PKI “… dibiarkan dipimpin oleh para borjuis dan pamong praja feodal dan para tuan tanah santri.” Pak Martokebo yang seorang priyayi kecil ikut menjadi pengikut PKI, menganggap dirinya sebagai pejuang bagi rakyat yang tersiksa oleh kaum feodal. Ia tak segan-segan mengancam para priyayi yang tidak bersalah dan yang justru berpihak pada rakyat dalam hidupnya seperti Sastrodarsono. Harimurti ikut dalam pemberontakan dengan masuk ke dalam Lekra, sebuah organisasi kesenian beraliran komunis. Setelah berkenalan dan berhubungan dengan Gadis pengaruh komunis semakin meresap, namun sebenarnya dalam dirinya ia mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Kentus, misalnya, saudara Gadis yang cacat otak sejak lahir ditanggapi sebagai anak yang cacat karena penindasan kapitalisme dan bukan karena bawaan lahir. Gadis sendiri walaupun mengakui statusnya sebagai priyayi kecil tetap menganggap dirinya seperjuangan dengan rakyat tertindas. Komunisme telah menguras pemikiran mereka untuk mengabdi pada wong cilik dengan cara yang bersih, dengan “sistem yang tidak percaya lagi pada pendapat bahwa untuk mengangkat nasib rakyat harus dibunuhi beratus atau beribu orang.”
Bidang seni budaya juga mengalami perkembangan yang menyadarkan masyarakat akan nilai-nilai budaya Jawa. Adipati Mangkunegaran mempelopori dengan mengusulkan pergelaran seni supaya diadakan secara rutin. “Pagelaran wayang orang dan tarian di pendopo Mangkunegaran diadakan secara teratur.” Wayang tidak lepas dari kehidupan kaum priyayi. Wejangan pada waktu pernikahan Sastrodarsono diberikan dari cerita wayang. Begitu juga pada saat Sastrodarsono memberi wejangan pada anak-anaknya. Tokoh Lantip yang sedikit memiliki kemampuan berseni dapat menembang lagu Jawa. Ini menunjukkan bahwa seni sangat berharga bagi kaum priyayi.
Seni yang dipelihara oleh priyayi sebagai bentuk estetika justru dieksploitasi sebagai alat politik. Hal ini terjadi ketika Hari bergabung dalam Lekra, sebuah kelompok pencintas seni yang diprakarsai oleh kaum komunis. Seni tradisional dihubungkan dengan feodalisme yang ditujukan untuk kekuasaan, dengan kata lain cerita rakyat Jawa adalah “… cerita kekuasaan.” Beberapa tokoh seperti Bung Naryo beranggapan bahwa “cinta memang bisa indah, tetapi dalam kisah cinta itu embel-embel dari strategi kekuasaan yang sangat kejam.” Dari sini tampak bahwa kaum priyayi mencemari seni dengan idealisme sosialis demi kepentingan politis.
Emansipasi wanita ditunjukkan dengan perlawanan wanita untuk keluar dari kekangan patriarkal. Seorang wanita biasanya dijodohkan sejak masih muda, seperti yang dialami tokoh Ngaisah. Soemini di lain pihak, mengikuti pemikiran R.A. Kartini menolak untuk menikah pada usia dini dan memilih untuk melanjutkan sekolah di Van Deventer School, “bukankah kita termasuk keluarga priyayi maju pengikut pikiran Raden Ajeng Kartini yang tidak setuju perempuan kawin terlalu muda.” Selain itu wanita menjadi lebih bebas untuk berpendapat dan berpolitik seperti Gadis.

4.3 Peranan Priyayi Sebagai Penjaga Etika dan Nilai-nilai Budaya
Perubahan yang dibawa oleh kaum priyayi tidak seharusnya merubah etika dan nilai-nilai positif yang ada, dengan demikian adalah peranan mereka untuk mempertahankannya. Masyarakat Jawa memiliki keterikatan pada etika yang kuat baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan perkawinan. Dalam keluarga dan masyarakat, misalnya, orang Jawa harus menjaga kehormatan dan kerukunan dengan berbahasa yang pantas untuk menghindari perselisihan. Rasa rikuh dipertahankan dalam hubungan sosial masyarakat Jawa untuk menjaga sikap dan kelakuan. Selain itu dalam hal etika dan budaya perkawinan, baik sebelum dan sesudah pernikahan mengalami berbagai perubahan, namun inti dari perkawinan yaitu kesetiaan dan penjagaan diri tidak berubah.
Sikap hormat seperti yang telah disebut sebelumnya didasarkan pada rasa rikuh. Rikuh berarti bersikap hati-hati supaya tidak mengecewakan orang lain. Sikap ini ditunjukkan pada hampir seluruh bagian buku dari awal hingga akhir. Ngadiyem selalu bersikap rikuh pada Sastrodarsono. Ia selalu diberi kebebasan untuk beristirahat di rumah Sastrodarsono. Namun, karena rasa rikuh ia menjadi sadar akan sikap tahu diri dan dengan beberapa cara yang sederhana berusaha membantu di rumah Sastrodarsono. “Persinggahan kami … dengan sendirinya tidak kami lewatkan dengan hanya tiduran di amben, bale-bale, di ruang belakang. Embok akan membantu pekerjaan rutin para pembantu.” Hal ini membuktikan bahwa kerikuhan berdampak mulai dari hal-hal kecil.
Sikap rikuh tidak hanya dilakukan oleh wong cilik pada priyayi, namun, juga seorang priyayi dengan orang yang statusnya lebih tinggi dari dirinya. Tokoh Hardojo ketika bertemu dengan Adipati Mangkunegaran menjaga bahasanya dengan kata-kata yang halus, ”saya menjawab dalam bahasa Jawa krama inggil, yang saya usahakan sehalus mungkin.” Hal ini dikarenakan status Adipati sebagai priyayi luhur dan anggota keraton dianggap lebih tinggi dibandingkan Hardojo yang adalah seorang guru. Dalam kehidupan keluarga sikap rikuh diperlihatkan dengan kepatuhan pada orang yang lebih tua/senior. Lantip yang diangkat ke dalam keluarga priyayi kadang diumpat oleh Ndoro Seten, namun reaksi Lantip hanya menundukkan kepala. Kerikuhan menjadi penahan emosi untuk mencegah terjadinya pertengkaran, sikap ini juga mempertahankan perilaku hormat pada orang tua yang sangat penting dalam budaya Jawa.
Jika norma kepatuhan dilanggar konsekuensinya bisa beragam, seseorang akan dihukum dan dihina-hina. Priyayi beranggapan bahwa jika seorang priyayi tidak memiliki rasa rikuh, “dia akan tampil sebagai priyayi yang tidak punya kepekaan terhadap perasaan dan mungkin juga terhadap penderitaan orang lain.”
Kelunturan sikap rikuh terjadi pada diri Soenandar. Ia tekenal sebagai seorang anak yang luar biasa nakal dan tidak tahu diri, sering mencuri dan berbohong. Keberadaan Soenandar dalam keluarga Sastrodarsono menjadi beban dan cobaan. Bila dibandingkan dengan keponakan Sastrodarsono yang lain dialah satu-satunya anak yang tidak tahu diuntung dan seenaknya. “Soenandar, … cerdas tetapi licik dan kurang jujur bahkan sering berbohong.” Rasa rikuh yang berlebihan ditunjukkan oleh keponakan Sastrodarsono seperti Ngadiman, ia bahkan tidak berani makan bersama dengan anggota keluarga Sastrodarsono. “Tetapi, Soenandar,… rikuh agaknya adalah bahasa asing baginya…” Hal ini menyebabkan Soenandar lepas kendali dan bertindak negatif.
Pernikahan dan hubungan seksual bagi orang Jawa diatur dengan ketat, biasanya oleh orang tua. Sebagai contoh pernikahan Sastrodarsono dengan Ngaisah, dari tahap perjodohan hingga upacara perkawinan seluruhnya diurus oleh orang tua Sastrodarsono. Baru setelah perkawinan pasangan dapat hidup secara independen dan tidak bergantung pada orang tua. Orang Jawa baru benar-benar lepas dari tanggung jawab orang tua setelah menikah. Peraturan pernikahan dalam adat Jawa yang paling utama adalah kesetaraan status antar pasangan, pasangan haruslah terpelajar, terampil dan ulet, selain harus cakap mengurusi rumah tangga priyayi. Sastrodarsono yang telah berstatus priyayi dijodohkan dengan Ngaisah yang adalah anak seorang mantri pejual candu, seorang priyayi. Tradisi perkawinan nampaknya juga diturunkan pada Soemini, anak perempuan satu-satunya di keluarga Sastrodarsono. Sebagai wanita yang terpelajar lulusan HIS sudah sepantasnya Ia dijodohkan dengan pria yang berpendidikan tinggi juga, seperti Harjono.
Namun, tradisi perkawinan telah berubah, wanita tidak lagi kawin pada usia muda dan kaum lelaki seperti Hardojo dan Noegroho lebih memilih mencari jodoh sendiri. “Sekarang mereka bisa dan boleh mencari dan memilih calon istrinya sendiri dan yang lebih menyenangkan mereka bisa dan boleh berpacaran sebelum mereka menikah.”
Beberapa tokoh dalam novel melanggar etika perkawinan dengan berbagai cara seperti, selingkuh dan hubungan seks di luar nikah. Kehidupan modern dan mapan tidak menjamin keharmonisan keluarga Soemini begitu juga dengan keluarga Noegroho. Harjono yang telah berpangkat kepala jawatan berselingkuh dengan wanita lain dengan alasan, “saya membutuhkan juga seorang teman perempuan yang lain.” Keretakan rumah tangga pun terjadi akibat ulah Harjono. Perselingkuhan adalah hal yang memalukan dalam keluarga karena perkawinan dalam masyarakat Jawa harus dipertahankan hingga akhir hayat. Wanita dalam hal ini telah dilecehkan sebagai sebuah ‘kebutuhan’ berlawanan dengan nilai Jawa menjunjung kesetiaan tercermin dalam hubungan Sastrodarsono dan Ngaisah.
Hubungan seks di luar nikah tidak terjadi hanya pada masa generasi cucu Sastrodarsono bahkan jauh sebelumnya. Soenandar, misalnya, menghamili Ngadiyem sebelum menikah. Namun, hubungan seks menjadi suatu hal yang justru menjadi kebiasaan di masa modern. Hubungan Marie dan Maridjan juga Hari dan Gadis melakukan hubungan seks luar nikah. Hubungan seks seakan menjadi hal yang lumrah pada masanya. Ini menunjukkan kelunturan etika kesusilaan dalam masyarakat. Kehamilan di luar nikah dapat menjadi aib dalam keluarga dan menyebabkan kegalauan. Bila pasangan tidak segera menikah sebelum kelahiran bayi maka akan berdampak menjadi suatu pukulan telak bagi nama baik keluarga tersebut. Kebesaran nama keluarga Noegroho menjadi prioritas untuk diselamatkan, “pasti yang segera dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan nama baik Noegroho.” Contoh diatas memberikan gambaran bagaimana saat etika perkawinan dan kesusilaan dilanggar akan memberi dampak negatif pada keharmonisan kehidupan keluarga sehingga sebaiknya dipertahankan. Pelanggaran etika dalam bentuk apapun pada akhirnya akan membawa kegalauan baik dalam masyarakat maupun masyarakat.




















Bab V
Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan
Lewat kajian sosiologi sastra peranan priyayi pada masyarakat Jawa dalam novel Para Priyayi dapat terungkap dengan jelas. Dengan membandingkan teori-teori sosiologi masyarakat Jawa yang ada, dapat terlihat bahwa gambaran masyarakat Jawa dalam novel ini memiliki tingkat relevansi yang tinggi dengan kondisi riil. Esai ini berfokus pada paertanyaan: Peranan apa saja yang dilakukan priyayi dalam sistem sosial masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel ParaPriyayi?
Dari beberapa teori tersebut penulis mendapatkan bahwa peranan kaum priyayi yang penting adalah pembangun relasi antar status, agen perubahan, penjaga etika dan pemimpin spiritual. Dalam novel, peranan sebagai pembangun relasi antar status terlihat lewat interaksi antar tokoh yang berbeda status seperti relasi antara Sastrodarsono dan Lantip. Peranan sebagai agen perubahan terlihat dari bagaimana Sastrodarsono membangun sekolah di Wanalawas untuk wong cilik. Peranan terakhir, yakni untuk mempertahankan etika dan nilai yang bersifat positif seperti etika rikuh, ditunjukkan melalui kehidupan Lantip.
Peranan priyayi sebagai pemimpin spiritual kurang terdeskripsi secara signifikan dalam novel. Memang terdapat suatu bagian yang membahas seputar konflik kepercayaan seperti yang dialami tokoh Hardojo dan Dik Nunuk. Hubungan cinta yang berjalan baik akhirnya terputus akibat perbedaan agama. Namun hal tersebut belum dapat dimasukkan sebagai penggambaran peranan priyayi sebagai pemimpin spiritual.


5.2 Rekomendasi
Analisis dalam esai ini belum memasukkan butir-butir pemikiran Umar Kayam seputar masalah kepriyayian dari karya beliau yang lain seperti novel Jalan Menikung (Para Priyayi 2), Mangan Ora Mangan Kumpul, dan lain sebagainya. Apabila bahan-bahan itu dapat dimasukkan dalam analisis tentunya akan mempertegas gambaran idealisme Umar Kayam tentang makna kepriyayian. Penelitian selanjutnya yang penulis rekomendasikan adalah merangkum seluruh karya Umar Kayam menyangkut masalah kepriyayian dan kebudayaan Jawa yang tersebar dalam seluruh karya beliau baik fiksi maupun non-fiksi.

















Daftar Pustaka
1. Brahmana, M.SI., DRS. Pertampilan S. "Sistem Pengendalian Sosial." 2003: hal. 1-3. USU digital Library, Medan, Sumatera Utara, Indonesia. 20 November 2007 < http://library.usu.ac.id/download/fs/bhsindonesia-pertampilan.pdf>.
2. Geertz, Clifford. The Religion of Java. USA: The Free Press of Glencoe. 1960.
3. Kartodirdjo, Sartono dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan Peradaban Priyayi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1987.
4. Kayam, Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 2003.
5. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1994
6. "Konsekuensi Pengendalian Sosial." BamboomediaOnNet. 2007.25 November 2007. < http://mysimplebiz.info/tutorial/isi/sosiologi3.htm >.
7. Luthfi, Ahmad Nashih. Manusia Ulang-Alik: Biografi Umar Kayam. Jogjakarta: Eja Publisher. 2007.
8. Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1985.
9. Soekanto,S.H,M.A, Prof.Dr.Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: citra niaga Rajawali Pers. 1993.
10. Warren, Austin and Rene Wellek, Theory of Literature. Orlando: Harcourt Brace Javanovich. 1977.

No comments: