Saturday, 19 February 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 109, 2010 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 64 TAHUN 2010
TENTANG
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
4. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
5. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disingkat dengan RSWP-3-K adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
6. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disingkat dengan RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
7. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disingkat dengan RPWP-3-K adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
8. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang selanjutnya disingkat RAPWP-3-K adalah tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap kawasan perencanaan.
9. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
10. Peta Rawan Bencana adalah peta ancaman bahaya yang menggambarkan tingkat bahaya pada suatu daerah pada waktu tertentu.
11. PetaRisikoBencana adalahpeta yang menggambarkan tingkat risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu yang bersifat dinamis dan merupakan hasil perpaduan antara peta ancaman bahaya (hazard map) dan peta kerentanan (vulnerability map).
12. Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.
13. Masyarakat adalah masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.
14. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi:
a. jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana;
b. kegiatan mitigasi bencana;
c. mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. mitigasiterhadapkegiatanyangberpotensi mengakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil;
e. tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat;
f. monitoring dan evaluasi; dan
g. pembiayaan.

BAB II
JENIS, TINGKAT RISIKO, DAN WILAYAH BENCANA

Pasal 3
(1) Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diakibatkan karena:
a. peristiwa alam; atau
b. perbuatan orang.
(2) Bencana yang diakibatkan karena peristiwa alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi jenis bencana:
a. gempa bumi;
b. tsunami;
c. gelombang ekstrim;
d. gelombang laut berbahaya;
e. letusan gunung api;
f. banjir;
g. kenaikan paras muka air laut;
h. tanah longsor;
i. erosi pantai;
j. angin puting beliung; dan
k. jenis bencana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Bencana yang diakibatkan karena perbuatan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi jenis bencana:
a. banjir;
b. kenaikan paras muka air laut;
c. tanah longsor; dan
d. erosi pantai.

Pasal 4
(1) Tingkat risiko bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dikelompokkan menjadi:
a. risiko tinggi;
b. risiko sedang; dan
c. risiko rendah.
(2) Tingkat risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan analisis bahaya dan kerentanan.
(3) Tingkat risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang membidangi urusan penanggulangan bencana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
(1) Wilayah bencana merupakan luasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diprediksi terkena dampak bencana dalam rentang waktu tertentu.
(2) Wilayah bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. identifikasi jenis bencana;
b. pengkajian ancaman bencana; dan
c. analisis mengenai daerah yang diprediksi terkena dampak bencana.
(3) Wilayah bencana dikelompokkan dalam skala:
a. nasional;
b. provinsi; dan
c. kabupaten/kota.

BAB III
MITIGASI BENCANA DALAM PERENCANAAN
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU - PULAU KECIL

Pasal 6
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil wajib memuat mitigasi bencana.
(2) Mitigasi bencana merupakan bagian dari rencana penanggulangan bencana.

Pasal 7
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi:
a. RSWP-3-K;
b. RZWP-3-K;
c. RPWP-3-K; dan
d. RAPWP-3-K.

Pasal 8
RSWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a wajib memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan program yang memasukkan mitigasi bencana.

Pasal 9
(1) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b disusun dengan mengacu pada RSWP-3-K.
(2) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana.
(3) Peta rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang dan diinformasikan kepada masyarakat.
(4) Peta risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan bencana.

Pasal 10
(1) RPWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c disusun dengan mengacu pada RZWP-3-K.
(2) RPWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memasukkan rencana mitigasi bencana.
(3) Rencana mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
(4) Rencana mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi pilihan tindakan penanggulangan bencana yang bersifat struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisik dan pelaku kegiatan penanggulangan bencana.

Pasal 11
(1) RAPWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d disusun dengan mengacu pada RPWP-3-K.
(2) RAPWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana yang ada dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana.
(3) Kegiatan mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisik mitigasi bencana yang berdampak langsung dalam pengurangan risiko.
(4) Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 12
(1) Dalam hal Rencana Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun rencana mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP-3-K.
(2) Dalam hal Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun kegiatan mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP-3-K.

BAB IV
MITIGASI TERHADAP KEGIATAN YANG BERPOTENSI
MENGAKIBATKAN KERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL

Pasal 13
(1) Penyelenggaraan mitigasi bencana mengacu pada perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.
(2) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan dampak penting wajib melakukan mitigasi.
(3) Mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengacu pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan.
(4) Setiap orang dalam melakukan mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperhatikan aspek:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.

Pasal 14
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui kegiatan:
a. struktur/fisik; dan/atau
b. nonstruktur/nonfisik.

Pasal 15
(1) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a meliputi:
a. penggunaan konstruksi bangunan tahan gempa;
b. penyediaan tempat logistik;
c. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan; dan
d. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi.
(2) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b meliputi:
a. penyediaan sistem peringatan dini;
b. penggunaan bangunan peredam tsunami;
c. penyediaan fasilitas penyelamatan diri;
d. penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami;
e. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan;
f. vegetasi pantai; dan
g. pengelolaan ekosistem pesisir.
(3) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana gelombang ekstrim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c meliputi:
a. penyediaan sistem peringatan dini;
b. penggunaan bangunan peredam gelombang ekstrim;
c. vegetasi pantai; dan
d. pengelolaan ekosistem pesisir.
(5) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana gelombang laut berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d melalui penyediaan sistem peringatan dini.
(5) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana letusan gunung api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e meliputi:
a. penyediaan sistem peringatan dini;
b. penyediaan bunker;
c. pembangunan jalur lahar; dan
d. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi.
(6) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf a meliputi:
a. penyediaan sistem peringatan dini;
b. pembangunan bangunan pengendalian banjir; dan
c. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi.
(7) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana kenaikan paras muka air laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g dan ayat (3) huruf b meliputi:
a. pembangunan bangunan pelindung pantai;
b. penyediaan pompa air;
c. penggunaan konstruksi bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut;
d. vegetasi pantai; dan
e. pengelolaan ekosistem pesisir.
(8) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h dan ayat (3) huruf c meliputi:
a. perkuatan lereng;
b. pembangunan jaringan drainase lereng; dan
c. pengaturan geometri lereng dengan pelandaian lereng atau pembuatan terasering.
(9) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana erosi pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf i dan ayat (3) huruf d meliputi:
a. pembangunan bangunan pelindung pantai;
b. peremajaan pantai;
c. vegetasi pantai; dan
d. pengelolaan ekosistem pesisir.
(10) Kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana angin puting beliung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j meliputi:
a. penyediaan sistem peringatan dini;
b. penggunaan konstruksi tahan angin; dan
c. penanaman vegetasi pantai.

Pasal 16
(1) Kegiatan nonstruktur/nonfisik untuk mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan;
b. penyusunan peta rawan bencana;
c. penyusunan peta risiko bencana;
d. penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal);
e. penyusunan tata ruang;
f. penyusunan zonasi; dan
g. pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.
(2) Penyusunanperaturanperundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria mitigasi bencana.
(3) Penyusunan peta rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan potensi bencana atau ancaman bahaya.
(4) Penyusunan peta risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan aspek kerentanan, potensi bencana atau ancaman bahaya dan tingkat kemampuan serta kapasitas pemangku kepentingan dan kelembagaan.
(5) Penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi kegiatan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
(6) Penyusunan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi kegiatan penyusunan rencana tata ruang yang terdiri atas pola ruang dan struktur ruang daratan berbasis mitigasi bencana.
(7) Penyusunan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi kegiatan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di perairan berbasis mitigasi bencana.
(8) Pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan melalui latihan, gladi, simulasi, lokakarya serta peningkatan kesiapsiagaan masyarakat mengenai upaya mengurangi risiko bencana.

Pasal 17
(1) Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dititikberatkan pada kegiatan nonstruktur/nonfisik.
(2) Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat risiko sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kombinasi kegiatan struktur/fisik dan nonstruktur/ nonfisikyangpelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik wilayah.
(3) Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dititikberatkan pada kegiatan struktur/fisik.

BAB V
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT

Pasal 18
(1) Pemerintah menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
(2) Pemerintah provinsi menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/kota.
(3) Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan kabupaten/kota.

Pasal 19
Masyarakat dalam kegiatan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertanggung jawab:
a. menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan mitigasi bencana bagi aktifitasnya dan pemanfaatan lainnya; dan
c. memberikan informasi mengenai bahaya dan/atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.

BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI Bagian Kesatu
Monitoring

Pasal 20
Monitoring mitigasi bencana diperlukan sebagai upaya untuk memantau secara terus-menerus proses perencanaan dan pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mengurangi dampak bencana yang akan terjadi.

Pasal 21
(1) Monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan oleh instansi yang berwenang dan dapat melibatkan lembaga perencanaan pembangunan nasional dan daerah, sebagai bahan evaluasi menyeluruh dalam mitigasi bencana.
(2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Evaluasi

Pasal 22
Evaluasi mitigasi bencana dilakukan dalam rangka kaji ulang hasil pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar sesuai dengan tujuan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 23
(1) Evaluasi mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Menteri, menteri/pimpinanlembaga pemerintahan nonkementerian terkait untuk pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
(2) Evaluasi mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh gubernur untuk pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/kota.
(3) Evaluasi mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh bupati/walikota untuk pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan kabupaten/kota.

BAB VII
PEMBIAYAAN

Pasal 24
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 26
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 5154 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 109)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 64 TAHUN 2010
TENTANG
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

I. UMUM

Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia di antaranya adalah lempeng Eurasia, Australia, dan lempeng dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor.
Wilayah pesisir sebagai daerah hunian dan pusat aktivitas masyarakat merupakan kawasan yang rawan bencana, oleh karena itu perlu diupayakan langkah strategis untuk melindungi setiap warga negara dengan langkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum bencana terjadi (prabencana).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menitikberatkan pada upaya preventif pada prabencana. Penyelenggaraan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil tidak terlepas dari perhatian terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, kelestarian lingkungan hidup, kemanfaatan dan efektivitas, serta lingkup luas wilayah.
Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, termasuk masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "gempa bumi" adalah peristiwa alam, terjadi secara mendadak, timbul akibat pergeseran relatif batuan/lempeng tektonik/kerak bumi maupun aktivitas vulkanik, yang menimbulkan kerugian harta benda dan korban manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tsunami" adalah gelombang di laut yang disebabkan oleh gempa bumi bawah laut, longsoran bawah laut, letusan gunung api bawah laut, atau jatuhnya meteor di laut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "gelombang ekstrim" adalah gelombang air laut dengan periode ulang tertentu yang menimbulkan bahaya dan kerusakan di wilayah pesisir.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "gelombang laut berbahaya" adalah gelombang air laut yang berpotensi menimbulkan bahaya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "letusan gunung api" adalah bagian dari aktivitas vulkanik/erupsi.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "banjir" adalah peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "kenaikan paras muka air laut" adalah kenaikan muka air laut rata-rata akibat perubahan yang bersifat global, seperti dampak perubahan iklim, maupun akibat perubahan yang bersifat lokal, seperti penurunan elevasi tanah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "tanah longsor" adalah salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau ke luar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "erosi pantai" adalah pengurangan daratan atau mundurnya garis pantai.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "angin puting beliung" adalah angin yang berputar dengan kecepatan tinggi dalam durasi singkat yang bergerak secara garis lurus.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "analisis bahaya" adalah suatu analisa terhadap kemungkinan terjadinya kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan.
Yang dimaksud dengan "kerentanan" adalah kondisi biologis, lingkungan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi suatu masyarakat serta kondisi fisik geografis alam disuatu wilayah untuk waktu tertentu yang mengurangi kemampuan suatu masyarakat mencegah, meredam, kesiapan, dan menanggapi dampak tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Pemerintah dalam ketentuan ini untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Isu antara lain memuat kejadian yang diperkirakan dapat terjadi dimasa yang akan datang berkaitan dengan ekonomi, sosial, hukum, lingkungan, dan bencana.
Strategi memuat langkah strategis untuk mewujudkan visi dan misi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk strategi mitigasi bencana.
Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memuat arah/tindakan yang diambil oleh Pemerintah/pemerintah daerah untuk mencapai tujuan termasuk kebijakan mitigasi bencana.
Program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memuat instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah termasuk program mitigasi bencana.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" adalah instansi di daerah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penanggulangan bencana.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat" antara lain meliputi tingkat pendidikan, jenis kelamin, usia penduduk, mata pencaharian, tingkat pendapatan, agama dan kepercayaan, adat istiadat serta kearifan lokal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "aspek kelestarian lingkungan hidup" adalah kondisi lingkungan hidup yang ada, yang dapat berfungsi dan dimanfaatkan untuk upaya mitigasi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "aspek kemanfaatan dan efektivitas" adalah kegiatan mitigasi bencana mengurangi risiko korban manusia, kerugian harta benda, dan meningkatkan produktivitas sumber daya serta ekonomi masyarakat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "aspek lingkup luas wilayah" adalah luas wilayah dan letak geografis pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diperkirakan terkena dampak bencana.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Prasarana dan sarana kesehatan antara lain rumah sakit, mobil ambulan, obat-obatan, peralatan medis, dan paramedis.
Huruf d
Prasarana dan sarana evakuasi antara lain berupa papan informasi evakuasi, jalur evakuasi, tangga evakuasi, dan tempat penampungan.
Ayat (2)
Huruf a
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini tsunami sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Bangunan peredam tsunami antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
Huruf c
Fasilitas penyelamatan diri antara lain shelter, bukit buatan, jalur dan tempat evakuasi, serta papan informasi.
Huruf d
Konstruksi bangunan ramah bencana tsunami bangunan bentuk panggung.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "vegetasi pantai" adalah tanaman yang hidup di wilayah pesisir antara lain seperti mangrove, cemara laut, ketapang, waru laut, dan butun.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "ekosistem pesisir" adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme, dan non organismelaindiwilayahpesisirsertaprosesyang menghubungkannya yang membentuk keseimbangan, stabilitasdan sistem ketergantungan (fungsi dan interaksi)antara tumbuhan dan organisme serta lingkungan di pesisir.
Ayat (3)
Huruf a
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini gelombang ekstrim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Bangunan peredam gelombang ekstrim antara lain tembok laut, break water, dan tanggul laut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini gelombang laut berbahaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Huruf a
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini letusan gunung api sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini banjir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Bangunan pengendalian banjir antara lain tanggul, sumur resapan, bendungan, waduk, polder, sudetan, kanal, kolam penampungan, dan pintu air.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Bangunan pelindung pantai antara lain tanggul, tembok laut, dan hasil reklamasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut antara lain berupa rumah panggung.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Perkuatan lereng antara lain pemasangan angkur penguat batuan pada bidang-bidang batuan, pemasangan tembok penahan tanah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Huruf a
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini angin puting beliung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

No comments: