Wednesday, 20 April 2011

OLO PANGGABEAN (4, habis)

OLO PANGGABEAN (4, habis)

Bagaimana Mendefinisikan Pemuda

Oleh: Shohibul Anshor SIregar

Iklan ucapan belasungkawa pada media massa dari Syakhyan Asmara (waktu itu Kadispora Sumatera Utara) atas meninggalnya bapak almarhum Syamsul Samah membuat saya berfikir keras. Disebut dalam iklan itu bapak Syamsul Samah adalah seorang tokoh pemuda. Padahal menurut ingatan saya beliau tutup usia 60-an tahun. Bapak Syamsul Samah adalah salah seorang pengurus inti sebuah Organisasi Kemasyarakatan Pemuda yang dipimpin Olo. Siapakah pemuda? Apa kesulitan sebuah bangsa yang tak memberi batasan secara jujur tentang apa yang disebut pemuda? Inilah gejolak batin saya ketika membaca iklan Syakhyan Asmara. Kisah-kisah berikut merupakan keresahan fikiran saya berhadapan dengan fakta-fakta sosial yang berkaitan dengan pemuda dan kepemudaan.

Suatu malam sebuah pertemuan dengan Ketua Umum DPP KNPI sekitar tahun 80-an saya hadiri di Hotel Polonia Medan. Saya kaget sebab yang saya temukan sebagai pemuda waktu itu adalah tokoh-tokoh yang layaknya sesusia dengan orang tua saya, termasuk mereka yang sudah menjadi pejabat dalam instansi pemerintahan. Pertemuan itu amat tak “nyambung” ke dalam pikiran. Pragmatisme amat menonjol dan saya tegaskan kepada teman saya tak usah lagi ikut-ikutan dalam kegiatan serupa.

“Boikot” kami lakukan, termasuk untuk tidak perlu menghadiri acara-acara yang diatur oleh Kaditsospol yang waktu itu dipimpin oleh Kolonel (purn) Mudyono. Saya kira Mudyono mencatat betul perilaku organisasi kami, dan dilampiaskannyalah catatannya itu saat berbicara dalam sebuah forum di Jalan Gedung Arca Medan. Berulangkali ia menyebut IMN untuk memaksudkan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Ia tak mungkin salah menyebut nama semua organisasi sosial kemasyarakatan yang daftar, nama personal pengurus dan AD/ART-nya ada pada instansi yang ia pimpin.

Usai berbicara, saya tanyakan apakah IMM dianggap harus belajar nasionalisme lagi karena tak pernah mau memenuhi undangan Kaditsospol dalam acara-acara apel bersama komponen pemuda dan mahasiswa yang lain? Saya tegaskan IMM adalah intelektual muda yang berusaha sekuatnya untuk menghindar dari mobilisasi dan seremoni yang tak berkaitan dengan masa depan sesungguhnya dari negeri ini. Sama seperti komponen mahasiswa lain seperti HMI, PMII, PMKRI dan lain-lain, mestinya tidak boleh diintervensi atas nama dan untuk pengamanan kekuasaan. Itu terlalu berbahaya bagi eksistensi sebuah Negara. Berikan fasilitasi kepada komponen mahasiswa ini untuk melakukan eksperimen-eksperimen akademis yang meneguhkan bukan saja idealisme dan pendirian, tetapi juga kompetensi keilmuannya secara sehat dan leluasa. Negeri ini akan rugi besar meski kerugiannya tidak tampak sekarang karena puluhan tahun kedepan akibatnya baru terasakan, jika mobilisasi pragmatis untuk menjadikan pemuda semacam bumper kekuasaan tak peduli dalam keadaan salah atau pun benar. Intinya, kekuasaan tidak boleh mengembangkan umpan-umpan pragmatis dalam berbagai modus yang intinya membuatnya pemuda menjadi hipokrit, pragmatis dan tak terangsang memupuk kualitas diri.

Satu ketika Ketua DPD KNPI Sumut Wahab Sugiarto datang ke sebuah acara IMM. Ia berceramah dengan aroma yang bertendensi pragmatisme. Amat mengganggu gagasan-gagasan yang ia sampaikan, sehingga setelah ia bersama rombongan meninggalkan acara saya buka lagi dialog untuk meluruskan hal-hal yang amat perlu. Saya merasa pemuda dimanapun berada tak elok menjadi pengintai kekuasaan apalagi hannya berfikir menjadikan wadahnya menjadi institusi pemaksa dalam bargaining dagang sapi. Itu low politics. High politics yang tak berurusan sama sekali dengan motif kekuasaan amat diperlukan. Sebagai gantinya kompetensi diperlukan yang jika dimiliki banyak kesempatan menanti kehadiran putera terbaik bangsa dalam rivalitas yang sehat dan merit system. Posisi pemuda disitu. Pemuda hanya akan mengikuti alur fikiran filosofis dalam mekanisme kaderisasi “tumbuh sebelum patah, berganti sebelum hilang. Hidup-hidupilah Negerimu, jangan cuma tahu mencari hidup di dalamnya sambil tak peduli merusak atau membangun”. Tidak menjadi eksklusif bukan berarti harus mengikuti proses gagal melting pot yang melahirkan hipokritas dan formalisme. Dimensi pragmatisme ini begitu sulit dihindari komponen pemuda, dan fakta pengistimewaan KNPI dalam mekanisme politik bipolar and segmentary process, kelak pasti luar biasa bahayanya bagi negeri ini. Itu renungan yang saya sampaikan waktu itu.

Kebesaran Olo Panggabean

Pada segi tertentu dalam kepemudaan di daerah ini Olo terasa benar sebagai sebuah preseden. Ia mempengaruhi fikiran dan tindakan banyak orang, termasuk institusi. Olo sebagai seorang tokoh, dalam usia yang sepuh masih pemuda, betapa sukar bagi zaman untuk berhadapan dengan itu, di daerah ini.

Jenderal Tri Tamtomo diangkat menjadi adik Olo Panggabean dan dianugerahi marga Panggabean. Dia adalah Panglima Kodam I/BB waktu penobatan itu. Hal ini amat memudahkan bagi sebuah analisis dan pemaparan betapa besar pengaruh Olo. Bahwa Djamin Sumitro, Ketua FKWJ Sumut, mengaku sebagai salah seorang supir yang membawa sekelompok anggota Brimob ketika melakukan penyerangan dengan menembakkan senjata ke Gedung Putih beberapa tahun lalu, itu pun sebuah fakta bahwa ada yang tak sepenuhnya setuju, termasuk Sutanto yang tak mau “diatur” oleh apapun selain hukum.

Semua itu adalah bagian-bagian kecil dari banyak alasan mengapa saya pernah berniat dan tak-kesampaian untuk menulis biografi Olo Panggabean atas keizinannya. Bisa saja ia harus disejajarkan dengan Tjong Afie, atau tokoh-tokoh lain. Bisa saja namanya diikutkan dalam pertimbangan untuk penentuan nama yang tepat untuk Bandara Kualanamu yang proses pembangunannya bernasib tak menentu itu. Ada plus dan ada minus, itu prinsipnya.

Sekali lagi, Olo orang penting dan amat berpengaruh, terserah seberapa besar pro kontra yang akan muncul untuk ini. Selamat jalan Olo Panggabean dan semoga semua pihak dapat memetik pelajaran terbaik untuk kebaikan tertinggi menghadapi masa depan melalui transisi yang belum selesai ini.

No comments: