Membedah Lingkaran Setan
Reporter: Adhi/Dani/Eka
Adil - Jakarta, Telinga penguasa Daerah Istimewa Yogyakarta sontak
memerah. Gubernur dan Kapolda, ditantang bandar judi. Sri Sultan H.B.
X dan Brigjen Pol. Johanes Wahyu Saronto melarang judi mickey mouse
di arena judi Mahkota di Jl. Tanjung Baru. Tapi, geng bandar judi,
Irawan Sutanto, Gani dan Heru, cuek saja. Hingga kini, ketiga bandar
itu masih membuka perjudian di arena Mahkota.
Tak hanya di Yogyakarta. Irawan cs. buka cabang di Surabaya. Operator
di Yogyakarta diserahkan pada Jusuf dan Rohadji. Sedang di Surabaya,
Irawan cs. menyerahkan pelaksanaannya ke Widodo. Selain Irawan dkk.,
usaha judi di Kota Pahlawan itu juga digelar Iwan, Oentoro, Wee Fan,
dan Jhoni F. Pasar Atom, Andhika Plaza, dan Darmo Park adalah daerah
perjudian elite.
Di pentas judi nasional, ada beberapa nama. Sebutlah Wang Ang
(Bandung), Pepen (Manado), Firman (Semarang), Olo Panggabean (Medan
dan Aceh) serta Handoko (Batam, Tanjungpinang dan sekitarnya). Belum
di daerah lainnya. Kini, Olo melakukan ekspansi bisnis perjudiannya
hingga Depok dan Bogor. Pertarungan kian seru. Daerah Batam,
Palembang, Riau, Balai Karimun, dan Bagansiapi-api, sekarang di bawah
kekuasaan seorang pria bernama Rustam.
Memang, Rustam dapat titah mengurusi pusat perjudian di daerah. Ada
juga Eng Sui dan Eng San. Keduanya mengelola bisnis judi, meliputi,
judi bola tangkas, toto gelap, kasino, mickey mouse, rolet dsb. Tugas
lain; keduanya pun bertindak selaku pengontrol keluar masuknya uang
haram itu.
Masih segaris Rustam, Eng Sui, dan Eng San, pun ada nama Arief
Prihatna. Di dunia persilatan judi, Arief dikenal dengan nama Cocong.
Tugas Cocong adalah mendekati lalu memberi upeti kepada oknum aparat
keamanan. Mulai, tingkat Kepolisian Sektor hingga Mabes Polri. Guna
melancarkan kerjanya, Cocong dibantu anak buahnya. Misal Rudi, Abaw,
Manti, Lim Seng dan Hadi.
Rustam, Eng Sui, Eng San, dan Cocong merupakan kaki tangan Tommy
Winata. Ia disebut-sebut sebagai God Father. ''Kita memakai nama
singkatan si TW (Tommy Winata),'' kata bekas bandar judi yang kini
mengasuh Ponpes At-Taibin, Anton Medan. Sebab, menurut mantan raja
judi itu, TW menguasai saham, perbankan, narkotika dan obat
terlarang, hingga ke penyelundupan.
Anton Medan mengungkapkan tempat bermain judi terbesar di Jakarta
adalah Gedung ITC Mangga Dua, Jakarta Barat. Di sini bandar-bandar
judi kumpul. Mereka merajut jaringan di Jakarta serta seluruh
Indonesia. Jaringan itu mengerucut pada sembilan orang, yang kemudian
dikenal dengan "Gang of Nine" atau "Nine Dragons", atau disebut
kelompok Sembilan Naga.
Selain Tommy Winata dan Cocong, nama lain yang termasuk Sembilan
Naga; disebut-sebut, Yorrys T. Raweyai, Edi "Porkas" Winata, Arie
Sigit, Jhony Kesuma, Kwee Haryadi Kumala, Iwan Cahyadi serta Sugianto
Kusuma (Aguan). Yorrys sebagai "panglima" yang mengamankan operasi
kelompok ini. Tapi ia membantah. Juga, Arie membantah soal
keterkaitannya dalam Sembilan Naga.
Perputaran uang di Gedung ITC Mangga Dua mencapai Rp 10 miliar hingga
Rp 15 miliar tiap malam. Jumlah itu lebih besar dibandingkan di
bisnis judi milik Rudi Raja Mas. Tapi, dalam semalam, ia mengeruk
keuntungan sebesar Rp 5 miliar. Satu bulan, Rp 150 miliar. Fantastis.
Selain di darat, Rudi juga punya usaha perjudian di Pulau Ayer,
Kepulauan Seribu. Di sana, ia berkongsi dengan bandar judi lain;
Hasten, Arief, Cocong, Edi, dan Umar.
Rudi juga punya koran yang terbit di Jakarta. ''Media massa itu
berguna membangun opini di masyarakat bahwa perjudian memberi
keuntungan,'' kata Anton Medan. Kesuksesan Rudi membangun imperium
bisnis perjudiannya, tak lepas dari peran Gubernur DKI Jakarta,
Sutiyoso. Bahkan, perkenalan Rudi dan Sutiyoso, sudah lama. ''Rudi
dekat Sutiyoso, sejak Sutiyoso bertugas di Kodam (Jaya),'' terang
Anton yang kini punya nama H. Ramdhan Effendi.
Pemain lain di meja perjudian adalah Apoh. Dia merupakan mantan anak
buah Anton Medan. Apoh punya beberapa lokasi yang jadi arena judi
mickey mouse cukup besar. Misal di kawasan Glodok, Kelapa Gading,
Mangga Besar, Green Garden dan Jl. Kejayaan, Jakarta Barat. Apoh
meraup untung; Rp 2 miliar.
Sumber di Mabes Polri menyebut, para bandar judi tersebut yang
menguasai mafia judi di beberapa titik di Indonesia. Bahkan, mereka
sudah masuk di dalam mafia judi Hong Kong dan Singapura. Bandar-
bandar judi di Singapura, Malaysia dan Makao itulah yang gerah dengan
lokalisasi perjudian di Pulau Seribu. Sebab, kata Rizal Hikmat dari
LP3-UI, jaringan mereka terpotong.
Tentu, kehadiran lokasi-lokasi judi ini telah melahirkan banyak
centeng. Juga, tukang pukul yang menjaga lokasi. Asal-asul mereka,
beragam. Salah satu dari ormas. Seorang sumber di bisnis perjudian
mencatat adanya tiga ormas yang terkait dengan usaha beking
perjudian. ''Salah satunya, ormas partai,'' katanya. Juga, ormas
Islam disebut-sebut terlibat di dalamnya. Kehadiran ormas Islam --
kalau benar-- makin menyulitkan judi diberantas. Karena, menurut
Anton, saat ini perjudian sudah seperti lingkaran setan.
(kar)
Showing posts with label Preman Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Preman Indonesia. Show all posts
Wednesday, 20 April 2011
Kisah Hidup OLO PANGGABEAN, The Godfather Asal Medan
Kisah Hidup OLO PANGGABEAN, The Godfather Asal Medan
Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok ”Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang ”Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto. Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai ”Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya.
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ‘66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK Olo kemudian membangun ”kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan ”Ketua.” Selain kerap disebut ”Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung ”KP”, Olo juga dikenal orang sebagai ”Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan – rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan. Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan.[1]. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin , Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu.
Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis ,30 April jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip.
Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2144661-kisah-hidup-olo-panggabean-godfather/#ixzz1K3vK0ZEj
Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok ”Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang ”Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto. Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai ”Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya.
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ‘66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK Olo kemudian membangun ”kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan ”Ketua.” Selain kerap disebut ”Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung ”KP”, Olo juga dikenal orang sebagai ”Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan – rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan. Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan.[1]. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin , Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu.
Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis ,30 April jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip.
Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2144661-kisah-hidup-olo-panggabean-godfather/#ixzz1K3vK0ZEj
OLO PANGGABEAN (4, habis)
OLO PANGGABEAN (4, habis)
Bagaimana Mendefinisikan Pemuda
Oleh: Shohibul Anshor SIregar
Iklan ucapan belasungkawa pada media massa dari Syakhyan Asmara (waktu itu Kadispora Sumatera Utara) atas meninggalnya bapak almarhum Syamsul Samah membuat saya berfikir keras. Disebut dalam iklan itu bapak Syamsul Samah adalah seorang tokoh pemuda. Padahal menurut ingatan saya beliau tutup usia 60-an tahun. Bapak Syamsul Samah adalah salah seorang pengurus inti sebuah Organisasi Kemasyarakatan Pemuda yang dipimpin Olo. Siapakah pemuda? Apa kesulitan sebuah bangsa yang tak memberi batasan secara jujur tentang apa yang disebut pemuda? Inilah gejolak batin saya ketika membaca iklan Syakhyan Asmara. Kisah-kisah berikut merupakan keresahan fikiran saya berhadapan dengan fakta-fakta sosial yang berkaitan dengan pemuda dan kepemudaan.
Suatu malam sebuah pertemuan dengan Ketua Umum DPP KNPI sekitar tahun 80-an saya hadiri di Hotel Polonia Medan. Saya kaget sebab yang saya temukan sebagai pemuda waktu itu adalah tokoh-tokoh yang layaknya sesusia dengan orang tua saya, termasuk mereka yang sudah menjadi pejabat dalam instansi pemerintahan. Pertemuan itu amat tak “nyambung” ke dalam pikiran. Pragmatisme amat menonjol dan saya tegaskan kepada teman saya tak usah lagi ikut-ikutan dalam kegiatan serupa.
“Boikot” kami lakukan, termasuk untuk tidak perlu menghadiri acara-acara yang diatur oleh Kaditsospol yang waktu itu dipimpin oleh Kolonel (purn) Mudyono. Saya kira Mudyono mencatat betul perilaku organisasi kami, dan dilampiaskannyalah catatannya itu saat berbicara dalam sebuah forum di Jalan Gedung Arca Medan. Berulangkali ia menyebut IMN untuk memaksudkan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Ia tak mungkin salah menyebut nama semua organisasi sosial kemasyarakatan yang daftar, nama personal pengurus dan AD/ART-nya ada pada instansi yang ia pimpin.
Usai berbicara, saya tanyakan apakah IMM dianggap harus belajar nasionalisme lagi karena tak pernah mau memenuhi undangan Kaditsospol dalam acara-acara apel bersama komponen pemuda dan mahasiswa yang lain? Saya tegaskan IMM adalah intelektual muda yang berusaha sekuatnya untuk menghindar dari mobilisasi dan seremoni yang tak berkaitan dengan masa depan sesungguhnya dari negeri ini. Sama seperti komponen mahasiswa lain seperti HMI, PMII, PMKRI dan lain-lain, mestinya tidak boleh diintervensi atas nama dan untuk pengamanan kekuasaan. Itu terlalu berbahaya bagi eksistensi sebuah Negara. Berikan fasilitasi kepada komponen mahasiswa ini untuk melakukan eksperimen-eksperimen akademis yang meneguhkan bukan saja idealisme dan pendirian, tetapi juga kompetensi keilmuannya secara sehat dan leluasa. Negeri ini akan rugi besar meski kerugiannya tidak tampak sekarang karena puluhan tahun kedepan akibatnya baru terasakan, jika mobilisasi pragmatis untuk menjadikan pemuda semacam bumper kekuasaan tak peduli dalam keadaan salah atau pun benar. Intinya, kekuasaan tidak boleh mengembangkan umpan-umpan pragmatis dalam berbagai modus yang intinya membuatnya pemuda menjadi hipokrit, pragmatis dan tak terangsang memupuk kualitas diri.
Satu ketika Ketua DPD KNPI Sumut Wahab Sugiarto datang ke sebuah acara IMM. Ia berceramah dengan aroma yang bertendensi pragmatisme. Amat mengganggu gagasan-gagasan yang ia sampaikan, sehingga setelah ia bersama rombongan meninggalkan acara saya buka lagi dialog untuk meluruskan hal-hal yang amat perlu. Saya merasa pemuda dimanapun berada tak elok menjadi pengintai kekuasaan apalagi hannya berfikir menjadikan wadahnya menjadi institusi pemaksa dalam bargaining dagang sapi. Itu low politics. High politics yang tak berurusan sama sekali dengan motif kekuasaan amat diperlukan. Sebagai gantinya kompetensi diperlukan yang jika dimiliki banyak kesempatan menanti kehadiran putera terbaik bangsa dalam rivalitas yang sehat dan merit system. Posisi pemuda disitu. Pemuda hanya akan mengikuti alur fikiran filosofis dalam mekanisme kaderisasi “tumbuh sebelum patah, berganti sebelum hilang. Hidup-hidupilah Negerimu, jangan cuma tahu mencari hidup di dalamnya sambil tak peduli merusak atau membangun”. Tidak menjadi eksklusif bukan berarti harus mengikuti proses gagal melting pot yang melahirkan hipokritas dan formalisme. Dimensi pragmatisme ini begitu sulit dihindari komponen pemuda, dan fakta pengistimewaan KNPI dalam mekanisme politik bipolar and segmentary process, kelak pasti luar biasa bahayanya bagi negeri ini. Itu renungan yang saya sampaikan waktu itu.
Kebesaran Olo Panggabean
Pada segi tertentu dalam kepemudaan di daerah ini Olo terasa benar sebagai sebuah preseden. Ia mempengaruhi fikiran dan tindakan banyak orang, termasuk institusi. Olo sebagai seorang tokoh, dalam usia yang sepuh masih pemuda, betapa sukar bagi zaman untuk berhadapan dengan itu, di daerah ini.
Jenderal Tri Tamtomo diangkat menjadi adik Olo Panggabean dan dianugerahi marga Panggabean. Dia adalah Panglima Kodam I/BB waktu penobatan itu. Hal ini amat memudahkan bagi sebuah analisis dan pemaparan betapa besar pengaruh Olo. Bahwa Djamin Sumitro, Ketua FKWJ Sumut, mengaku sebagai salah seorang supir yang membawa sekelompok anggota Brimob ketika melakukan penyerangan dengan menembakkan senjata ke Gedung Putih beberapa tahun lalu, itu pun sebuah fakta bahwa ada yang tak sepenuhnya setuju, termasuk Sutanto yang tak mau “diatur” oleh apapun selain hukum.
Semua itu adalah bagian-bagian kecil dari banyak alasan mengapa saya pernah berniat dan tak-kesampaian untuk menulis biografi Olo Panggabean atas keizinannya. Bisa saja ia harus disejajarkan dengan Tjong Afie, atau tokoh-tokoh lain. Bisa saja namanya diikutkan dalam pertimbangan untuk penentuan nama yang tepat untuk Bandara Kualanamu yang proses pembangunannya bernasib tak menentu itu. Ada plus dan ada minus, itu prinsipnya.
Sekali lagi, Olo orang penting dan amat berpengaruh, terserah seberapa besar pro kontra yang akan muncul untuk ini. Selamat jalan Olo Panggabean dan semoga semua pihak dapat memetik pelajaran terbaik untuk kebaikan tertinggi menghadapi masa depan melalui transisi yang belum selesai ini.
Bagaimana Mendefinisikan Pemuda
Oleh: Shohibul Anshor SIregar
Iklan ucapan belasungkawa pada media massa dari Syakhyan Asmara (waktu itu Kadispora Sumatera Utara) atas meninggalnya bapak almarhum Syamsul Samah membuat saya berfikir keras. Disebut dalam iklan itu bapak Syamsul Samah adalah seorang tokoh pemuda. Padahal menurut ingatan saya beliau tutup usia 60-an tahun. Bapak Syamsul Samah adalah salah seorang pengurus inti sebuah Organisasi Kemasyarakatan Pemuda yang dipimpin Olo. Siapakah pemuda? Apa kesulitan sebuah bangsa yang tak memberi batasan secara jujur tentang apa yang disebut pemuda? Inilah gejolak batin saya ketika membaca iklan Syakhyan Asmara. Kisah-kisah berikut merupakan keresahan fikiran saya berhadapan dengan fakta-fakta sosial yang berkaitan dengan pemuda dan kepemudaan.
Suatu malam sebuah pertemuan dengan Ketua Umum DPP KNPI sekitar tahun 80-an saya hadiri di Hotel Polonia Medan. Saya kaget sebab yang saya temukan sebagai pemuda waktu itu adalah tokoh-tokoh yang layaknya sesusia dengan orang tua saya, termasuk mereka yang sudah menjadi pejabat dalam instansi pemerintahan. Pertemuan itu amat tak “nyambung” ke dalam pikiran. Pragmatisme amat menonjol dan saya tegaskan kepada teman saya tak usah lagi ikut-ikutan dalam kegiatan serupa.
“Boikot” kami lakukan, termasuk untuk tidak perlu menghadiri acara-acara yang diatur oleh Kaditsospol yang waktu itu dipimpin oleh Kolonel (purn) Mudyono. Saya kira Mudyono mencatat betul perilaku organisasi kami, dan dilampiaskannyalah catatannya itu saat berbicara dalam sebuah forum di Jalan Gedung Arca Medan. Berulangkali ia menyebut IMN untuk memaksudkan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Ia tak mungkin salah menyebut nama semua organisasi sosial kemasyarakatan yang daftar, nama personal pengurus dan AD/ART-nya ada pada instansi yang ia pimpin.
Usai berbicara, saya tanyakan apakah IMM dianggap harus belajar nasionalisme lagi karena tak pernah mau memenuhi undangan Kaditsospol dalam acara-acara apel bersama komponen pemuda dan mahasiswa yang lain? Saya tegaskan IMM adalah intelektual muda yang berusaha sekuatnya untuk menghindar dari mobilisasi dan seremoni yang tak berkaitan dengan masa depan sesungguhnya dari negeri ini. Sama seperti komponen mahasiswa lain seperti HMI, PMII, PMKRI dan lain-lain, mestinya tidak boleh diintervensi atas nama dan untuk pengamanan kekuasaan. Itu terlalu berbahaya bagi eksistensi sebuah Negara. Berikan fasilitasi kepada komponen mahasiswa ini untuk melakukan eksperimen-eksperimen akademis yang meneguhkan bukan saja idealisme dan pendirian, tetapi juga kompetensi keilmuannya secara sehat dan leluasa. Negeri ini akan rugi besar meski kerugiannya tidak tampak sekarang karena puluhan tahun kedepan akibatnya baru terasakan, jika mobilisasi pragmatis untuk menjadikan pemuda semacam bumper kekuasaan tak peduli dalam keadaan salah atau pun benar. Intinya, kekuasaan tidak boleh mengembangkan umpan-umpan pragmatis dalam berbagai modus yang intinya membuatnya pemuda menjadi hipokrit, pragmatis dan tak terangsang memupuk kualitas diri.
Satu ketika Ketua DPD KNPI Sumut Wahab Sugiarto datang ke sebuah acara IMM. Ia berceramah dengan aroma yang bertendensi pragmatisme. Amat mengganggu gagasan-gagasan yang ia sampaikan, sehingga setelah ia bersama rombongan meninggalkan acara saya buka lagi dialog untuk meluruskan hal-hal yang amat perlu. Saya merasa pemuda dimanapun berada tak elok menjadi pengintai kekuasaan apalagi hannya berfikir menjadikan wadahnya menjadi institusi pemaksa dalam bargaining dagang sapi. Itu low politics. High politics yang tak berurusan sama sekali dengan motif kekuasaan amat diperlukan. Sebagai gantinya kompetensi diperlukan yang jika dimiliki banyak kesempatan menanti kehadiran putera terbaik bangsa dalam rivalitas yang sehat dan merit system. Posisi pemuda disitu. Pemuda hanya akan mengikuti alur fikiran filosofis dalam mekanisme kaderisasi “tumbuh sebelum patah, berganti sebelum hilang. Hidup-hidupilah Negerimu, jangan cuma tahu mencari hidup di dalamnya sambil tak peduli merusak atau membangun”. Tidak menjadi eksklusif bukan berarti harus mengikuti proses gagal melting pot yang melahirkan hipokritas dan formalisme. Dimensi pragmatisme ini begitu sulit dihindari komponen pemuda, dan fakta pengistimewaan KNPI dalam mekanisme politik bipolar and segmentary process, kelak pasti luar biasa bahayanya bagi negeri ini. Itu renungan yang saya sampaikan waktu itu.
Kebesaran Olo Panggabean
Pada segi tertentu dalam kepemudaan di daerah ini Olo terasa benar sebagai sebuah preseden. Ia mempengaruhi fikiran dan tindakan banyak orang, termasuk institusi. Olo sebagai seorang tokoh, dalam usia yang sepuh masih pemuda, betapa sukar bagi zaman untuk berhadapan dengan itu, di daerah ini.
Jenderal Tri Tamtomo diangkat menjadi adik Olo Panggabean dan dianugerahi marga Panggabean. Dia adalah Panglima Kodam I/BB waktu penobatan itu. Hal ini amat memudahkan bagi sebuah analisis dan pemaparan betapa besar pengaruh Olo. Bahwa Djamin Sumitro, Ketua FKWJ Sumut, mengaku sebagai salah seorang supir yang membawa sekelompok anggota Brimob ketika melakukan penyerangan dengan menembakkan senjata ke Gedung Putih beberapa tahun lalu, itu pun sebuah fakta bahwa ada yang tak sepenuhnya setuju, termasuk Sutanto yang tak mau “diatur” oleh apapun selain hukum.
Semua itu adalah bagian-bagian kecil dari banyak alasan mengapa saya pernah berniat dan tak-kesampaian untuk menulis biografi Olo Panggabean atas keizinannya. Bisa saja ia harus disejajarkan dengan Tjong Afie, atau tokoh-tokoh lain. Bisa saja namanya diikutkan dalam pertimbangan untuk penentuan nama yang tepat untuk Bandara Kualanamu yang proses pembangunannya bernasib tak menentu itu. Ada plus dan ada minus, itu prinsipnya.
Sekali lagi, Olo orang penting dan amat berpengaruh, terserah seberapa besar pro kontra yang akan muncul untuk ini. Selamat jalan Olo Panggabean dan semoga semua pihak dapat memetik pelajaran terbaik untuk kebaikan tertinggi menghadapi masa depan melalui transisi yang belum selesai ini.
OLO PANGGABEAN (3)
OLO PANGGABEAN (3)
Menerima Sumbangan Uang dari Gedung Putih
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Saat bergolak reformasi saya menangkap semangat mahasiswa untuk menghabisi segala yang berbau Orde Baru. Awalnya memang ada kecanggungan. Orang tidak tahu harus mendukung mahasiswa atau melawannya. Banyak tokoh membuat pernyataan menentang, bahkan menuduh mahasiswa didalangi komunis. Ada yang amat galak, akan mengawal pemerintahan pak Harto dan tidak segan-segan melakukan tindakan apa pun jika terpaksa. Orang itu sekarang tanpa malu sudah berlagak reformis sejati. Saya klipping koran yang memuat pernyataannya.
Di tengah mahasiswa saya sadari betul gejolak itu amat panas. Gerakan mereka begitu sistematis, nyaris tak dikenal sebelumnya. Angkatan 66 termasuk di antara pihak yang dihujat sebagai pemberi cek kosong kepada Pak Harto dan dengan suka cita mengamini saja apa kata Pak Harto. Ada demonstrasi yang khusus mengecam Angkatan 66, termasuk membakar tugu Angkatan 66 di Jalan Kereta api Medan.
Mengawal Reformasi
Saya katakan kepada mahasiswa, reformasi harus kawal. Kita tidak diberi hak oleh undang-undang untuk, katakanlah, membunuh pak Harto dan semua yang terkait dengan dosa kolektif masa lalu itu. Semua harus dilakukan secara santun dan dalam koridor hukum. Peradilan terhadap Pak Harto saya anggap tepat. Tetapi yang paling saya khawatirkan ialah gerakan sistematis yang membonceng di belakang arus besar reformasi. Jika itu terjadi, maka gerakan mahasiswa sedang mengikuti perulangan sejarah Angkatan 66. Mereka direkrut ke pentas kekuasaan, dan memberi cek kosong kepada Pak Harto. Akhirnya bertindak sebagai pengawal dalam kedaan pak Harto itu benar atau salah. Tidak ingat Tritura yang mereka gelorakan di zamannya mestinya harus diteriakkan ke telinga pak Harto, sebab persamaan situasinya amat sangat mirip. Reformasi sukar seperti patah arang, melainkan seperti patah tebu yang serabut patahan itu berhubungan erat dengan masa lalu yang kuat jika mahasiswa sebagai komponen paling strategis tidak berhasil melawannya. Sekarang, hal itu telah terbukti. Satu dasawarsa reformasi tak menghasilkan harapan untuk politik, ekonomi dan apalagi hukum. Semua centang prenang, meski banyak tokoh begitu lagak mangaku sukses dan tepuk-tepuk dada.
Angkatan 66 di Sumatera Utara melalui beberapa tokoh seperti dr Zakaria Siregar, Sofyan Edihar Harahap, HM Noerni’mat dan lain-lain amat menerima gagasan saya bersama Dr.Syaiful Sagala dan Joharis Lubis dari IKIP Medan untuk mempertemukan dua ufuk pemikiran generasi yang bersitegang. Sebaiknya dipicu sinegri semua komponen. Dirancanglah sebuah forum membahas 10 topik penting menyangkut reformasi yang harus dikawal dan harus tepat arah. Dari Jakarta didapatkan kesediaan hadir dua tokoh di antaranya Nurcholis Madjid. Saya minta Nur Ahmad Fadil Lubis (sekarang Rektor IAIN Medan) ikut berbicara. Saatnya kita memperkenalkan tokoh baru seperti dia, Ibnu Hajar Damanik IKIP), Arif Nasution (USU), Zulkarnaen Lubis (rektor UMA waktu itu) dan M Ridwan Rangkuti (USU). Selain Usman Pelly, B.A.Simanjuntak sesama ahli antropologi juga diikutkan, begitu juga ahli Hukum tata Negara M.Solly Lubis, seorang yang lebih muda yang juga ahli hukum OK Saidin, dan praktisi ekonomi mantan Rektor UDA Polin Pospos. Syahrum Razali (waktu itu Rektor ITM) juga ikut. Usai pelaksanaan forum itu hasil-hasilnya saya bukukan, bahkan dibawa dialog kepada Panglima Kodam I/BB, Kapolda Sumatera Utara, DPRD Sumatera Utara dan DPRD Kota Medan.
Mahasiswa yang hadir begitu antusias dalam jumlah yang banyak dari berbagai perguruan tinggi. Mereka perlu tahu bahwa yang sedang menghadang gerakannya sekarang justru pembonceng yang akan mengalihkan fokus gerakan. Itulah salah satu pesan terpenting yang harus ditangkap oleh semua pihak lewat forum itu. Bagi para pelaku sejarah Angkatan 66 saya tegaskan bahwa forum ini akan menjadi proses belajar lanjut di masa tua layaknya sebuah andragogi (pendidikan buat orang dewasa) agar tak pernah lagi merasa paling benar, paling tahu dan paling-paling yang lain.
Bantuan dari Gedung Putih?
“Ada pesan dari Gedung putih agar Anda mengambil bantuan sebesar 10 juta”, kata seorang teman. Saya heran, kok ada bantuan Gedung Putih?. Akhirnya saya sadari bahwa seseorang yang dengan caranya sendiri telah mencuri proposal dan mengajukan ke Gedung Putih. Saya bawa ke rapat masalah yang aneh ini. Dr Zakaria Siregar mendinginkan saya. “Katakanlah seseorang telah melakukan kecurangan dengan membawa proposal ke Gedung Putih dan berharap ia mendapatkan uang untuk dirinya sendiri. Memang kita tak pernah berniat meminta bantuan, tetapi jika Gedung Putih sudah mengalokasikannya bagaimana untuk tidak menerima? Kita santun saja, buat surat kuasa agar seseorang mengambilnya ke Gedung Putih”. Saya ikut saran Dr.Zakaria Siregar dan kepada si seseorang yang diberi mandat mengambil uang itu diberi 10 % (upah loja? Ha ha ha)..
Dari kalangan mahasiswa aktivis akhirnya saya tahu bahwa Gedung Putih banyak “membantu” kelompok-kelompok mahasiswa dan pemuda. Bukan hanya beberapa kelompok mahasiswa yang tadinya saya kenal amat aktif menggerakkan demonstrasi saat reformasi —-bahkan pernah mogok makan beberapa hari— yang akhirnya bergabung ke sekitar Gedung Putih, katanya melalui CV Cheraz. Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apa itu CV Cheraz, apa bidang usahanya dan bagaimana sepak terjangnya. Jadi?
Bersambung …
Menerima Sumbangan Uang dari Gedung Putih
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Saat bergolak reformasi saya menangkap semangat mahasiswa untuk menghabisi segala yang berbau Orde Baru. Awalnya memang ada kecanggungan. Orang tidak tahu harus mendukung mahasiswa atau melawannya. Banyak tokoh membuat pernyataan menentang, bahkan menuduh mahasiswa didalangi komunis. Ada yang amat galak, akan mengawal pemerintahan pak Harto dan tidak segan-segan melakukan tindakan apa pun jika terpaksa. Orang itu sekarang tanpa malu sudah berlagak reformis sejati. Saya klipping koran yang memuat pernyataannya.
Di tengah mahasiswa saya sadari betul gejolak itu amat panas. Gerakan mereka begitu sistematis, nyaris tak dikenal sebelumnya. Angkatan 66 termasuk di antara pihak yang dihujat sebagai pemberi cek kosong kepada Pak Harto dan dengan suka cita mengamini saja apa kata Pak Harto. Ada demonstrasi yang khusus mengecam Angkatan 66, termasuk membakar tugu Angkatan 66 di Jalan Kereta api Medan.
Mengawal Reformasi
Saya katakan kepada mahasiswa, reformasi harus kawal. Kita tidak diberi hak oleh undang-undang untuk, katakanlah, membunuh pak Harto dan semua yang terkait dengan dosa kolektif masa lalu itu. Semua harus dilakukan secara santun dan dalam koridor hukum. Peradilan terhadap Pak Harto saya anggap tepat. Tetapi yang paling saya khawatirkan ialah gerakan sistematis yang membonceng di belakang arus besar reformasi. Jika itu terjadi, maka gerakan mahasiswa sedang mengikuti perulangan sejarah Angkatan 66. Mereka direkrut ke pentas kekuasaan, dan memberi cek kosong kepada Pak Harto. Akhirnya bertindak sebagai pengawal dalam kedaan pak Harto itu benar atau salah. Tidak ingat Tritura yang mereka gelorakan di zamannya mestinya harus diteriakkan ke telinga pak Harto, sebab persamaan situasinya amat sangat mirip. Reformasi sukar seperti patah arang, melainkan seperti patah tebu yang serabut patahan itu berhubungan erat dengan masa lalu yang kuat jika mahasiswa sebagai komponen paling strategis tidak berhasil melawannya. Sekarang, hal itu telah terbukti. Satu dasawarsa reformasi tak menghasilkan harapan untuk politik, ekonomi dan apalagi hukum. Semua centang prenang, meski banyak tokoh begitu lagak mangaku sukses dan tepuk-tepuk dada.
Angkatan 66 di Sumatera Utara melalui beberapa tokoh seperti dr Zakaria Siregar, Sofyan Edihar Harahap, HM Noerni’mat dan lain-lain amat menerima gagasan saya bersama Dr.Syaiful Sagala dan Joharis Lubis dari IKIP Medan untuk mempertemukan dua ufuk pemikiran generasi yang bersitegang. Sebaiknya dipicu sinegri semua komponen. Dirancanglah sebuah forum membahas 10 topik penting menyangkut reformasi yang harus dikawal dan harus tepat arah. Dari Jakarta didapatkan kesediaan hadir dua tokoh di antaranya Nurcholis Madjid. Saya minta Nur Ahmad Fadil Lubis (sekarang Rektor IAIN Medan) ikut berbicara. Saatnya kita memperkenalkan tokoh baru seperti dia, Ibnu Hajar Damanik IKIP), Arif Nasution (USU), Zulkarnaen Lubis (rektor UMA waktu itu) dan M Ridwan Rangkuti (USU). Selain Usman Pelly, B.A.Simanjuntak sesama ahli antropologi juga diikutkan, begitu juga ahli Hukum tata Negara M.Solly Lubis, seorang yang lebih muda yang juga ahli hukum OK Saidin, dan praktisi ekonomi mantan Rektor UDA Polin Pospos. Syahrum Razali (waktu itu Rektor ITM) juga ikut. Usai pelaksanaan forum itu hasil-hasilnya saya bukukan, bahkan dibawa dialog kepada Panglima Kodam I/BB, Kapolda Sumatera Utara, DPRD Sumatera Utara dan DPRD Kota Medan.
Mahasiswa yang hadir begitu antusias dalam jumlah yang banyak dari berbagai perguruan tinggi. Mereka perlu tahu bahwa yang sedang menghadang gerakannya sekarang justru pembonceng yang akan mengalihkan fokus gerakan. Itulah salah satu pesan terpenting yang harus ditangkap oleh semua pihak lewat forum itu. Bagi para pelaku sejarah Angkatan 66 saya tegaskan bahwa forum ini akan menjadi proses belajar lanjut di masa tua layaknya sebuah andragogi (pendidikan buat orang dewasa) agar tak pernah lagi merasa paling benar, paling tahu dan paling-paling yang lain.
Bantuan dari Gedung Putih?
“Ada pesan dari Gedung putih agar Anda mengambil bantuan sebesar 10 juta”, kata seorang teman. Saya heran, kok ada bantuan Gedung Putih?. Akhirnya saya sadari bahwa seseorang yang dengan caranya sendiri telah mencuri proposal dan mengajukan ke Gedung Putih. Saya bawa ke rapat masalah yang aneh ini. Dr Zakaria Siregar mendinginkan saya. “Katakanlah seseorang telah melakukan kecurangan dengan membawa proposal ke Gedung Putih dan berharap ia mendapatkan uang untuk dirinya sendiri. Memang kita tak pernah berniat meminta bantuan, tetapi jika Gedung Putih sudah mengalokasikannya bagaimana untuk tidak menerima? Kita santun saja, buat surat kuasa agar seseorang mengambilnya ke Gedung Putih”. Saya ikut saran Dr.Zakaria Siregar dan kepada si seseorang yang diberi mandat mengambil uang itu diberi 10 % (upah loja? Ha ha ha)..
Dari kalangan mahasiswa aktivis akhirnya saya tahu bahwa Gedung Putih banyak “membantu” kelompok-kelompok mahasiswa dan pemuda. Bukan hanya beberapa kelompok mahasiswa yang tadinya saya kenal amat aktif menggerakkan demonstrasi saat reformasi —-bahkan pernah mogok makan beberapa hari— yang akhirnya bergabung ke sekitar Gedung Putih, katanya melalui CV Cheraz. Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apa itu CV Cheraz, apa bidang usahanya dan bagaimana sepak terjangnya. Jadi?
Bersambung …
OLO PANGGABEAN (2)
OLO PANGGABEAN (2)
Tokoh Penting Dalam Transisi
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Beberapa tahun lalu seorang wartawan dari mingguan lokal menceritakan kesulitan mencari narasumber yang bersedia diwawancarai tentang ketokohan Olo. Saya katakan tulislah keterangan saya, bahwa Olo itu tokoh terkemuka yang dibutuhkan oleh zamannya dan pantas diberi penghargaan resmi oleh pemerintah. Penghargaan itu harus diawali secara lokal oleh Gubernur Rizal Nurdin. Saya ingin semua jujur dan apa adanya.
Saya katakan kepada wartawan itu niat untuk menulis biografi Olo. Saya sudah bertemu, mengenal dan pernah berbincang dengan banyak tokoh lokal yang lebih tua atau sebaya dengan Olo dalam proses transisi ini seperti Effendi Keling, Dalmy Iskandar, Zakaria Siregar, Burhanuddin Napitupulu, Dharma Indra Siregar, Ben Sukma, Bambang Irsyad, Yan Paruhum Lubis, Amran YS, Ibrahim Sinik, Djanius Djamin, HMR Matondang dan lain-lain. Olo belum. Saya lihat Olo amat penting dalam transisi yang belum selesai ini. Tetapi semua orang yang saya minta menyampaikan gagasan itu kepada Olo tak pernah melaporkan hasil yang saya harapkan. Saya sendiri tak pernah berniat menyampaikan langsung ide itu kepada Olo di Gedung Putih, markasnya di sekitar daerah Sekip yang amat terkenal itu.
Dilema civil society dan Demokrasi
Sebuah bunga rampai berjudul Preman State (Negara preman) melukiskan Negara yang tak menerapkan hukum dalam supremasinya. Dalam kerangka membentuk masyarakat madani berat sekali hambatan-hambatan yang dihadapi. Indonesia begitu sukar menghindar dari pengaruh semacam “fasisme militer” meski sudah memisahkan TNI/POLRI dan menutup program kekaryaan ide Jenderal Nasution yang disalah-terapkan itu. Memang kelompok tertentu banyak memanfaatkan militer untuk kepentingan dalam politik apalagi bisnis.
Dunia kepemudaan termasuk penerima pengaruh militerisme. Perhatikanlah kebiasaan berbicara dan ber sms melalui HP. “Dimana posisi Ketua? Apa petunjuk? Segera merapat” dan lain sebagainya. Telaahlah secara kritis dari tradisi mana asal istilah-istilah itu. Kelompok pemuda tak hanya gandrung memakai nama (Remaja Mesjid misalnya menggunakan nama Brigade untuk salah satu divisinya) dan simbol-simbol militer seperti loreng dan baret sebagai bukti kuat pengaruh alam fikiran militer. Selain mata kuliah pesanan, kampus dengan Menwanya mencopy 100 % tradisi militer. Kalau STPDN Jatinagor ya sudahlah, malah mereka kebablasan sampai bunuh-membunuh sesama praja yang katanya merupakan bawaan lain dari kesalah-kaprahan meniru tradisi militer. Tentu, maraknya Satma perpanjangan tangan OKP juga menjadi bukti lain tentang digandrunginya tradisi militer di kampus sambil menjauhi tradisi ilmiah.
Dalam dunia politik tak sulit mendeskprisikan. Partai Demokrat adalah design militer yang boleh disebut tak begitu perduli dengan struktur partai. Para penentunya para mantan militer. Golkar juga begitu. Hanya Sarwono Kusumaatmadja-lah orang sipil yang pernah menjadi Sekjen partai berlambang beringin ini. Pilpres lalu partai ini mengajukan mantan Panglima menjadi Capres, sekarang tokoh yang sama diajukan sebagai Cawapres. PDIP tak terkecuali. Saat ini partai moncong putih tampak sedang berfikir melakukan regenerasi orang-orang mantan militer dalam struktur. Adakah partai besar yang tak memiliki orang militer? Banyak fenomena quasi civil society yang tampil seolah representasi rakyat padahal perpanjangan tangan anti civil society. Demonstrasi besar tahun 1996 menuntut pengembalian tanah di Tanjung Morawa setelah HGU berakhir masanya di PTP itu akhirnya hanya melegalkan tanah yang direbut menjadi milik beberapa local big boss.
Tema serupa itulah yang pernah diajukan secara analitis oleh almarhum Amir Nadapdap, seorang dosen departemen Antrhopologi USU, pada lokakarya Agenda 100 Hari Pemerintahan 2005-2009 yang di antara nara sumbernya ada Bambang Wijayanto dari ICW dan Harbinder Singh Dillon dari Kemitraan. Amir Nadapdap dalam semangat yang menggebu sengaja saya tantang dan berusaha mementahkan argumen-argumennya untuk maksud memancing agar ia mengungkap tuntas apa yang ia tahu mengenai apa yang saya tahu tentang tema telisik kesulitan Negara dalam transisi ke civil society. “Aku sadar dikompori, katanya terbahak setelah lokakarya bubar”. Amir tidak menyebut nama, tetapi jelas ia maksudkan bahwa local big boss adalah fenomena yang erat kaitannya dengan kebobrokan pemerintahan, birokrasi dan politik. Local big boss adalah fungsi dari buruknya kinerja pemerintahan, politik dan kekuasaan serta korupsi yang bermaharaja-lela.
Seingat saya rekan Syamsu Rizal Panggabean Direktur Institut Perdamaian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pernah meneliti hal yang kira-kira mirip dengan apa yang saya gambarkan ini. Ia juga menyebut terminologi “local big boss” sebagai salah satu kata kunci yang mempersulit proses ke masyarakat madani itu. Local big boss itu sangat mutualistis dengan kekuasaan dan terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah. Waktu itu Syamsu Rizal Panggabean juga datang ke Medan untuk sebuah proyek penulisan terkait studi keamanan. Baginya Medan amat penting sebagai asal-muasal terminology preman. Pada tingkat lokal ia juga melihat Olo dan para local big boss lainnya amat penting dalam proses transisi yang belum selesai di Indonesia.
Bersambung ….
Tokoh Penting Dalam Transisi
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Beberapa tahun lalu seorang wartawan dari mingguan lokal menceritakan kesulitan mencari narasumber yang bersedia diwawancarai tentang ketokohan Olo. Saya katakan tulislah keterangan saya, bahwa Olo itu tokoh terkemuka yang dibutuhkan oleh zamannya dan pantas diberi penghargaan resmi oleh pemerintah. Penghargaan itu harus diawali secara lokal oleh Gubernur Rizal Nurdin. Saya ingin semua jujur dan apa adanya.
Saya katakan kepada wartawan itu niat untuk menulis biografi Olo. Saya sudah bertemu, mengenal dan pernah berbincang dengan banyak tokoh lokal yang lebih tua atau sebaya dengan Olo dalam proses transisi ini seperti Effendi Keling, Dalmy Iskandar, Zakaria Siregar, Burhanuddin Napitupulu, Dharma Indra Siregar, Ben Sukma, Bambang Irsyad, Yan Paruhum Lubis, Amran YS, Ibrahim Sinik, Djanius Djamin, HMR Matondang dan lain-lain. Olo belum. Saya lihat Olo amat penting dalam transisi yang belum selesai ini. Tetapi semua orang yang saya minta menyampaikan gagasan itu kepada Olo tak pernah melaporkan hasil yang saya harapkan. Saya sendiri tak pernah berniat menyampaikan langsung ide itu kepada Olo di Gedung Putih, markasnya di sekitar daerah Sekip yang amat terkenal itu.
Dilema civil society dan Demokrasi
Sebuah bunga rampai berjudul Preman State (Negara preman) melukiskan Negara yang tak menerapkan hukum dalam supremasinya. Dalam kerangka membentuk masyarakat madani berat sekali hambatan-hambatan yang dihadapi. Indonesia begitu sukar menghindar dari pengaruh semacam “fasisme militer” meski sudah memisahkan TNI/POLRI dan menutup program kekaryaan ide Jenderal Nasution yang disalah-terapkan itu. Memang kelompok tertentu banyak memanfaatkan militer untuk kepentingan dalam politik apalagi bisnis.
Dunia kepemudaan termasuk penerima pengaruh militerisme. Perhatikanlah kebiasaan berbicara dan ber sms melalui HP. “Dimana posisi Ketua? Apa petunjuk? Segera merapat” dan lain sebagainya. Telaahlah secara kritis dari tradisi mana asal istilah-istilah itu. Kelompok pemuda tak hanya gandrung memakai nama (Remaja Mesjid misalnya menggunakan nama Brigade untuk salah satu divisinya) dan simbol-simbol militer seperti loreng dan baret sebagai bukti kuat pengaruh alam fikiran militer. Selain mata kuliah pesanan, kampus dengan Menwanya mencopy 100 % tradisi militer. Kalau STPDN Jatinagor ya sudahlah, malah mereka kebablasan sampai bunuh-membunuh sesama praja yang katanya merupakan bawaan lain dari kesalah-kaprahan meniru tradisi militer. Tentu, maraknya Satma perpanjangan tangan OKP juga menjadi bukti lain tentang digandrunginya tradisi militer di kampus sambil menjauhi tradisi ilmiah.
Dalam dunia politik tak sulit mendeskprisikan. Partai Demokrat adalah design militer yang boleh disebut tak begitu perduli dengan struktur partai. Para penentunya para mantan militer. Golkar juga begitu. Hanya Sarwono Kusumaatmadja-lah orang sipil yang pernah menjadi Sekjen partai berlambang beringin ini. Pilpres lalu partai ini mengajukan mantan Panglima menjadi Capres, sekarang tokoh yang sama diajukan sebagai Cawapres. PDIP tak terkecuali. Saat ini partai moncong putih tampak sedang berfikir melakukan regenerasi orang-orang mantan militer dalam struktur. Adakah partai besar yang tak memiliki orang militer? Banyak fenomena quasi civil society yang tampil seolah representasi rakyat padahal perpanjangan tangan anti civil society. Demonstrasi besar tahun 1996 menuntut pengembalian tanah di Tanjung Morawa setelah HGU berakhir masanya di PTP itu akhirnya hanya melegalkan tanah yang direbut menjadi milik beberapa local big boss.
Tema serupa itulah yang pernah diajukan secara analitis oleh almarhum Amir Nadapdap, seorang dosen departemen Antrhopologi USU, pada lokakarya Agenda 100 Hari Pemerintahan 2005-2009 yang di antara nara sumbernya ada Bambang Wijayanto dari ICW dan Harbinder Singh Dillon dari Kemitraan. Amir Nadapdap dalam semangat yang menggebu sengaja saya tantang dan berusaha mementahkan argumen-argumennya untuk maksud memancing agar ia mengungkap tuntas apa yang ia tahu mengenai apa yang saya tahu tentang tema telisik kesulitan Negara dalam transisi ke civil society. “Aku sadar dikompori, katanya terbahak setelah lokakarya bubar”. Amir tidak menyebut nama, tetapi jelas ia maksudkan bahwa local big boss adalah fenomena yang erat kaitannya dengan kebobrokan pemerintahan, birokrasi dan politik. Local big boss adalah fungsi dari buruknya kinerja pemerintahan, politik dan kekuasaan serta korupsi yang bermaharaja-lela.
Seingat saya rekan Syamsu Rizal Panggabean Direktur Institut Perdamaian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pernah meneliti hal yang kira-kira mirip dengan apa yang saya gambarkan ini. Ia juga menyebut terminologi “local big boss” sebagai salah satu kata kunci yang mempersulit proses ke masyarakat madani itu. Local big boss itu sangat mutualistis dengan kekuasaan dan terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah. Waktu itu Syamsu Rizal Panggabean juga datang ke Medan untuk sebuah proyek penulisan terkait studi keamanan. Baginya Medan amat penting sebagai asal-muasal terminology preman. Pada tingkat lokal ia juga melihat Olo dan para local big boss lainnya amat penting dalam proses transisi yang belum selesai di Indonesia.
Bersambung ….
OLO PANGGABEAN (1)
OLO PANGGABEAN (1)
Sepenggal Cerita dari “Ucok Majestik” Yan Paruhum Lubis
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
OLO PANGGABEAN. Ia misterius dan amat berpengaruh. Coba saja katakan tidak, tetapi dalam hati pasti tak bisa mungkir: ia memang orang yang amat penting. Anehnya, pentingnya Olo atau tingginya pengaruh Olo bukan saja bagi orang yang mengenal dan memiliki kepentingan langsung terhadapnya, melainkan juga bagi orang yang sama sekali tak pernah bertemu dan tak mengenal.
Ucok Majestik, seorang sesepuh yang bernama asli Yan Paruhum Lubis, pernah bercerita kepada saya tentang Olo. Cerita ini melukiskan Olo sebelum terkenal dan berpengaruh besar. Sekitar 5 tahun lalu saya terima penuturan itu.
“Olo anak buah saya dulu. Tahulah kau, kami-kami yang dulu aktif sebagai motor penggerak pemuda di daerah ini sering berpangkalan di sekitar bioskop. Anggota kita banyak, sebagian ada yang menjadi calo tiket. Masih ingat bioskop Majestik? Itu pangkalan sayalah. Orang menyebut saya Ucok Majestik, ya karena penguasa di Majestik itu. Ha ha, begitulah kira-kira.
Jadi saya sedang makan mie rebus ketika seseorang berlari menghampiri saya. “Bang Ucok, Bang Ucok, Olo dihajar orang di depan bioskop Majestik”. Esprit de coprs amat penting bagi saya, wajib bela anak buah dan teman. Saya tinggalkan mie rebus saya dan langsung berlari ke Majestik yang memang tidak jauh jaraknya dari warung tempat saya makan. “Ini bang yang memukul saya, kata Olo menunjuk kepada seseorang”. Tanpa pikir panjang saya hajar orang itu habis-habisan.
Tetapi setelah menyadari kemungkinan yang saya hajar itu adalah seseorang dari korps tertentu, saya langsung ambil sikap. “Olo, kau sembunyi dulu beberapa hari, tunggu kabar dari saya. Cepat pergi. Begitu saya perintahkan kepada Olo yang langsung meninggalkan tempat kejadian. Saya sendiri bergegas ke rumah Mas Soekardi, Komandan PM waktu itu. Saya laporkan kejadian yang baru saya alami. Bang Soekardi faham dan dengan kalem berkata: “ya sudah, kau jangan kemana-mana. Di sini saja kau 3 hari ini. Lain kali hati-hati, jangan sembarang hantam di jalanan.
Ucok Majestik tak menjawab ketika saya tanyakan apakah Olo pernah melawan kepadanya. Olo itu tidak boleh tidak, harus tetap hormat kepada saya. Ini cuma soal regenerasi. Siapa yang mampu melawan usia? Ucok Majestik adalah Ucok Majestik dan Olo adalah Olo. Ia menggantikan generasi di atasnya dan mengembangkan apa yang menjadi bakatnya, jelas Ucok.
Bukan kali ini saja saya mendapat cerita mengenai Olo. Tahun 1995 misalnya, saya menginap di sebuah hotel kecil di Balige. Berseberangan dengan kamar saya menginap pula seorang yang akhirnya saya ketahui petugas intel kepolisian dari Polda Sumatera Utara yang sedang bertugas dalam kasus kerusuhan internal pada HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Saya rasakan betul ia mencurigai saya kemungkinan sebagai provakator yang bekerja untuk menaikkan tensi kericuhan internal HKBP. Hal itu saya ketahui saat pertama kali berpandangan mata, saat tengah malam saya mulai menginap. Meski ia tak bicara, sorot matanya begitu curiga. Ketika itu saya sedang penelitian tentang Ugamo Malim yang sedang mengadakan upacara SI Paha Lima (salah satu ritus tahunan penting) di Desa Huta Tinggi.
“Kenapa kamar saya diacak-acak? Apa pangkatmu, saya ini kalau di militer atau kepolisian setara perwira menengah, apa yang kau cari?” Begitu saya katakan ketika pulang dari lapangan dan menyadari letak semua peralatan dan pakaian yang sudah saya atur sedemikian rupa berubah posisi dan ia tak menyadari kesemberonoan pekerjaannya. Setelah ia minta maaf dan menyatakan semua itu hanya untuk tugas, maka kami akhirnya berteman untuk beberapa hari saja. Petugas intel ini juga saya ajak bercerita tentang Olo, dan ia pun bertutur banyak dan tentu saja dari perspektifnya.
Dua hari sebelumnya saya berkenalan dengan nara sumber lain. “Ibu saya orang Cina tetapi saya bermarga Simatupang. “Ampara (saudaraku), kita sama-sama Lontung (sebuah rumpun marga dalam etnis Batak)”, kata seseorang kepada saya dalam perjalanan naik bus ALS menuju Tapanuli tahun 1995 yang lalu. Ketika itu ia saya tegur saat saya lihat begitu sembrono mengamankan pistolnya di pinggang hingga jatuh ke sisi kiri saya di bawah jok. Orang ini anggota polisi yang pindah tugas ke Tarutung. Kami banyak bercerita tentang Olo, ciri-ciri fisik, kebiasaan-kebiasaan, harisma, pengaruhnya dalam konstelasi politik dan kekuasaan, seteru-seterunya, bidang-bidang usaha, kemahirannya berbahasa Cina, dan lain-lain.
Selain itu berulangkali saya dengar cerita dari sumber-sumber yang berbeda bahwa Olo tidak pernah menikah sebagai konsekuensi dari kepercayaan magis yang ia pegang teguh untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya. Juga sering saya dengar Olo amat humanis, suka membantu orang susah, dan amat haru setiap mendengar sebuah lagu Batak berjudul “Inang” yang kurang lebih bagai ratapan kepasrahan seorang anak yang tetap berharap bukan cuma keabadian kasih sayang, tetapi juga semacam sahala (berkat) dari seorang ibu yang amat dicintai. Saya dengar juga Olo itu penguasa judi yang tidak boleh disaingi oleh siapapun dan dalam menjalankan usaha ini begitu besar jaringan dan pengaruhnya ke masyarakat dan semua jajaran pemerintahan sipil dan militer. Dalam kaitan itu pula sering saya dengar Olo disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok yang amat disiplin dan amat tegas. Ia tak segan memberi reward yang merangsang prestasi dan punishment yang amat mengerikan kepada anak buahnya.
Maka ketika Olo meninggal, koran lokal menyebut nama aslinya Sahara Oloan Panggabean. Saya berfikir, agak tak masuk akal nama itu. Mungkin mestinya Sahala Oloan Panggabean. Antara Sahara dan Sahala, itu jauh berbeda. Malah saya tak tahu apakah orang Batak mengenal kosa kata Sahara. Saya akan ke Simasom (Pahae Julu, dekat kota Tarutung, kampung asal Olo) untuk mengecek kepada keluarganya di sana.
Sepenggal Cerita dari “Ucok Majestik” Yan Paruhum Lubis
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
OLO PANGGABEAN. Ia misterius dan amat berpengaruh. Coba saja katakan tidak, tetapi dalam hati pasti tak bisa mungkir: ia memang orang yang amat penting. Anehnya, pentingnya Olo atau tingginya pengaruh Olo bukan saja bagi orang yang mengenal dan memiliki kepentingan langsung terhadapnya, melainkan juga bagi orang yang sama sekali tak pernah bertemu dan tak mengenal.
Ucok Majestik, seorang sesepuh yang bernama asli Yan Paruhum Lubis, pernah bercerita kepada saya tentang Olo. Cerita ini melukiskan Olo sebelum terkenal dan berpengaruh besar. Sekitar 5 tahun lalu saya terima penuturan itu.
“Olo anak buah saya dulu. Tahulah kau, kami-kami yang dulu aktif sebagai motor penggerak pemuda di daerah ini sering berpangkalan di sekitar bioskop. Anggota kita banyak, sebagian ada yang menjadi calo tiket. Masih ingat bioskop Majestik? Itu pangkalan sayalah. Orang menyebut saya Ucok Majestik, ya karena penguasa di Majestik itu. Ha ha, begitulah kira-kira.
Jadi saya sedang makan mie rebus ketika seseorang berlari menghampiri saya. “Bang Ucok, Bang Ucok, Olo dihajar orang di depan bioskop Majestik”. Esprit de coprs amat penting bagi saya, wajib bela anak buah dan teman. Saya tinggalkan mie rebus saya dan langsung berlari ke Majestik yang memang tidak jauh jaraknya dari warung tempat saya makan. “Ini bang yang memukul saya, kata Olo menunjuk kepada seseorang”. Tanpa pikir panjang saya hajar orang itu habis-habisan.
Tetapi setelah menyadari kemungkinan yang saya hajar itu adalah seseorang dari korps tertentu, saya langsung ambil sikap. “Olo, kau sembunyi dulu beberapa hari, tunggu kabar dari saya. Cepat pergi. Begitu saya perintahkan kepada Olo yang langsung meninggalkan tempat kejadian. Saya sendiri bergegas ke rumah Mas Soekardi, Komandan PM waktu itu. Saya laporkan kejadian yang baru saya alami. Bang Soekardi faham dan dengan kalem berkata: “ya sudah, kau jangan kemana-mana. Di sini saja kau 3 hari ini. Lain kali hati-hati, jangan sembarang hantam di jalanan.
Ucok Majestik tak menjawab ketika saya tanyakan apakah Olo pernah melawan kepadanya. Olo itu tidak boleh tidak, harus tetap hormat kepada saya. Ini cuma soal regenerasi. Siapa yang mampu melawan usia? Ucok Majestik adalah Ucok Majestik dan Olo adalah Olo. Ia menggantikan generasi di atasnya dan mengembangkan apa yang menjadi bakatnya, jelas Ucok.
Bukan kali ini saja saya mendapat cerita mengenai Olo. Tahun 1995 misalnya, saya menginap di sebuah hotel kecil di Balige. Berseberangan dengan kamar saya menginap pula seorang yang akhirnya saya ketahui petugas intel kepolisian dari Polda Sumatera Utara yang sedang bertugas dalam kasus kerusuhan internal pada HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Saya rasakan betul ia mencurigai saya kemungkinan sebagai provakator yang bekerja untuk menaikkan tensi kericuhan internal HKBP. Hal itu saya ketahui saat pertama kali berpandangan mata, saat tengah malam saya mulai menginap. Meski ia tak bicara, sorot matanya begitu curiga. Ketika itu saya sedang penelitian tentang Ugamo Malim yang sedang mengadakan upacara SI Paha Lima (salah satu ritus tahunan penting) di Desa Huta Tinggi.
“Kenapa kamar saya diacak-acak? Apa pangkatmu, saya ini kalau di militer atau kepolisian setara perwira menengah, apa yang kau cari?” Begitu saya katakan ketika pulang dari lapangan dan menyadari letak semua peralatan dan pakaian yang sudah saya atur sedemikian rupa berubah posisi dan ia tak menyadari kesemberonoan pekerjaannya. Setelah ia minta maaf dan menyatakan semua itu hanya untuk tugas, maka kami akhirnya berteman untuk beberapa hari saja. Petugas intel ini juga saya ajak bercerita tentang Olo, dan ia pun bertutur banyak dan tentu saja dari perspektifnya.
Dua hari sebelumnya saya berkenalan dengan nara sumber lain. “Ibu saya orang Cina tetapi saya bermarga Simatupang. “Ampara (saudaraku), kita sama-sama Lontung (sebuah rumpun marga dalam etnis Batak)”, kata seseorang kepada saya dalam perjalanan naik bus ALS menuju Tapanuli tahun 1995 yang lalu. Ketika itu ia saya tegur saat saya lihat begitu sembrono mengamankan pistolnya di pinggang hingga jatuh ke sisi kiri saya di bawah jok. Orang ini anggota polisi yang pindah tugas ke Tarutung. Kami banyak bercerita tentang Olo, ciri-ciri fisik, kebiasaan-kebiasaan, harisma, pengaruhnya dalam konstelasi politik dan kekuasaan, seteru-seterunya, bidang-bidang usaha, kemahirannya berbahasa Cina, dan lain-lain.
Selain itu berulangkali saya dengar cerita dari sumber-sumber yang berbeda bahwa Olo tidak pernah menikah sebagai konsekuensi dari kepercayaan magis yang ia pegang teguh untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya. Juga sering saya dengar Olo amat humanis, suka membantu orang susah, dan amat haru setiap mendengar sebuah lagu Batak berjudul “Inang” yang kurang lebih bagai ratapan kepasrahan seorang anak yang tetap berharap bukan cuma keabadian kasih sayang, tetapi juga semacam sahala (berkat) dari seorang ibu yang amat dicintai. Saya dengar juga Olo itu penguasa judi yang tidak boleh disaingi oleh siapapun dan dalam menjalankan usaha ini begitu besar jaringan dan pengaruhnya ke masyarakat dan semua jajaran pemerintahan sipil dan militer. Dalam kaitan itu pula sering saya dengar Olo disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok yang amat disiplin dan amat tegas. Ia tak segan memberi reward yang merangsang prestasi dan punishment yang amat mengerikan kepada anak buahnya.
Maka ketika Olo meninggal, koran lokal menyebut nama aslinya Sahara Oloan Panggabean. Saya berfikir, agak tak masuk akal nama itu. Mungkin mestinya Sahala Oloan Panggabean. Antara Sahara dan Sahala, itu jauh berbeda. Malah saya tak tahu apakah orang Batak mengenal kosa kata Sahara. Saya akan ke Simasom (Pahae Julu, dekat kota Tarutung, kampung asal Olo) untuk mengecek kepada keluarganya di sana.
Olo Panggabean Meninggal Dunia Di Usia 67 Tahun
Olo Panggabean Meninggal Dunia Di Usia 67 Tahun
Medan pphe-ri.com
Sahara Oloan Panggabean atau yang akrab dipanggil Olo Panggabean dan Tokoh Masyarakat yang sangat kotroversial Di Sumatera Utara telah meninggal dunia Kamis (30/4) jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenajah disemayamkan dirumah duka jalan sekip.
Sebelumnya tersiar kabar bahwa Olo meninggal di Singapura dan jenajahnya dibawa kerumah sakit glenegles untuk di visum. Namun berita tersebut dibantah oleh Sekjen DPP IPK Sumut H Darwin Syamsul Saman. Darwin dalam siaran persnya mengatakan bahwa Olo meninggal dirumah sakit Glenegles sekitar jam 14.00.
Darwin mengatakan bahwa Sahara Oloan Panggabean sebelumnya Senin tanggal 27 April 2009 dibawa ke Singapura untuk berobat. Namun Darwin tidak bersedia menyebutkan penyakit yang diderita olo. Kemuadian karena pengobatan di Singapura gagal Olo kemudian diterbangkan kembali ke Medan dengan pesawat khusus seri LR 35A/HS-CFS kamis (30/4) langsung dilarikan kerumah sakit Glenegles Medan.
Sahara Oloan Panggabean lahir di Medan 24 Mei 1941, anak ketujuh dari delapan bersaudara, hasil perkawinan Friedolin Panggabean dan Esther Hutabarat. Darwin mengatakan bahwa Olo meninggal dunia akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.
Darwin belum bisa memastikan kapan Olo di kebumikan. Tetapi dia mengatakan Olo akan dikebumikan di Pemakaman Taman Eden Tanjung Morawa dekat dengan makam orang tuanya.
Pantauan pphe cyber news dirumah duka, warga begitu antusias ingin mengucapkan salam perpisahan. Terlihat ketua DPC Partai Demokrat yang juga caleg DPRD Medan, duduk menghampiri jenazah.
Namun dari sekian banyak pengunjung hampir tak terlihat para pejabat ataupun mantan pejabat yang dulu dekat dengan almarhum. Hanya beberapa polisi dan tim pemburu preman yang berjaga jaga dipersimpangan jalan. Jumlah karangan bunga pun dapat dihitung dengan jari, berbeda saat almarhum membuat acara seremonial semasa hidupnya.
Sebelumnya Selasa (28/4) dikabarkan Ahok yang merupakan orang kepercayaan Olo Panggabean juga meninggal dunia. Namun penyebab kematian keduanya yang waktunya berdekatan masih merupakan tanda tanya.
Medan pphe-ri.com
Sahara Oloan Panggabean atau yang akrab dipanggil Olo Panggabean dan Tokoh Masyarakat yang sangat kotroversial Di Sumatera Utara telah meninggal dunia Kamis (30/4) jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenajah disemayamkan dirumah duka jalan sekip.
Sebelumnya tersiar kabar bahwa Olo meninggal di Singapura dan jenajahnya dibawa kerumah sakit glenegles untuk di visum. Namun berita tersebut dibantah oleh Sekjen DPP IPK Sumut H Darwin Syamsul Saman. Darwin dalam siaran persnya mengatakan bahwa Olo meninggal dirumah sakit Glenegles sekitar jam 14.00.
Darwin mengatakan bahwa Sahara Oloan Panggabean sebelumnya Senin tanggal 27 April 2009 dibawa ke Singapura untuk berobat. Namun Darwin tidak bersedia menyebutkan penyakit yang diderita olo. Kemuadian karena pengobatan di Singapura gagal Olo kemudian diterbangkan kembali ke Medan dengan pesawat khusus seri LR 35A/HS-CFS kamis (30/4) langsung dilarikan kerumah sakit Glenegles Medan.
Sahara Oloan Panggabean lahir di Medan 24 Mei 1941, anak ketujuh dari delapan bersaudara, hasil perkawinan Friedolin Panggabean dan Esther Hutabarat. Darwin mengatakan bahwa Olo meninggal dunia akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.
Darwin belum bisa memastikan kapan Olo di kebumikan. Tetapi dia mengatakan Olo akan dikebumikan di Pemakaman Taman Eden Tanjung Morawa dekat dengan makam orang tuanya.
Pantauan pphe cyber news dirumah duka, warga begitu antusias ingin mengucapkan salam perpisahan. Terlihat ketua DPC Partai Demokrat yang juga caleg DPRD Medan, duduk menghampiri jenazah.
Namun dari sekian banyak pengunjung hampir tak terlihat para pejabat ataupun mantan pejabat yang dulu dekat dengan almarhum. Hanya beberapa polisi dan tim pemburu preman yang berjaga jaga dipersimpangan jalan. Jumlah karangan bunga pun dapat dihitung dengan jari, berbeda saat almarhum membuat acara seremonial semasa hidupnya.
Sebelumnya Selasa (28/4) dikabarkan Ahok yang merupakan orang kepercayaan Olo Panggabean juga meninggal dunia. Namun penyebab kematian keduanya yang waktunya berdekatan masih merupakan tanda tanya.
Jutawan Olo Panggabean Meninggal Dunia
MEDAN, KOMPAS.com — Jutawan Medan, Olo Panggabean (68), dikabarkan meninggal dunia, Kamis (30/4) pagi, setelah menjalani perawatan beberapa hari di salah satu rumah sakit di Singapura.
Informasi dari salah seorang kerabat Olo Panggabean ketika dikonfirmasi mengakui, tiga hari lalu tokoh pemuda pendiri organisasi Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan pengusaha itu diterbangkan ke Singapura karena sakit.
Olo Panggabean, yang lahir di Medan, 14 Mei 1941, menderita suatu penyakit dan sempat koma dilarikan ke RS Gleni Jalan Listrik Medan, lalu dibawa ke Singapura karena kondisinya dilaporkan sudah lemah.
Ribuan orang mulai dari tukang becak, pegawai, aparat kepolisian, dan militer, terlihat sudah memadati sekitar rumah Olo Panggabean di Jalan Skip Medan yang dikenal kawasan "Gedung Putih" menunggu jenazah tokoh dermawan tersebut dibawa dari Singapura.
Belum ada keterangan resmi dari pihak keluarga, rencana pemakaman Olo Panggabean apakah dikebumikan di Medan atau di kampung halamannya di Tarutung.
Informasi dari salah seorang kerabat Olo Panggabean ketika dikonfirmasi mengakui, tiga hari lalu tokoh pemuda pendiri organisasi Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan pengusaha itu diterbangkan ke Singapura karena sakit.
Olo Panggabean, yang lahir di Medan, 14 Mei 1941, menderita suatu penyakit dan sempat koma dilarikan ke RS Gleni Jalan Listrik Medan, lalu dibawa ke Singapura karena kondisinya dilaporkan sudah lemah.
Ribuan orang mulai dari tukang becak, pegawai, aparat kepolisian, dan militer, terlihat sudah memadati sekitar rumah Olo Panggabean di Jalan Skip Medan yang dikenal kawasan "Gedung Putih" menunggu jenazah tokoh dermawan tersebut dibawa dari Singapura.
Belum ada keterangan resmi dari pihak keluarga, rencana pemakaman Olo Panggabean apakah dikebumikan di Medan atau di kampung halamannya di Tarutung.
Wah, Brankas Olo Panggabean “Dibobol” Orang
Wah, Brankas Olo Panggabean “Dibobol” Orang
Luar biasa. Setelah tokoh kharismatik Olo Panggabean menjadi almarhum, orang baru berani mengganggu. Tak tanggung, brankas berisi uang dan bundelan surat berharga senilai Rp 2 triliun raib digondol orang dari rumahnya di Jalan Sekip no. 36 Medan yang selama ini dikenal dengan Gedung Putih!
Pembobolan brankas almarhum Olo Panggabean ini disampaikan tujuh dari sembilan ahli waris yang akan menerima harta almarhum, Kamis (11/2), di Jalan Sekip. Hebatnya, aksi pembobolan ini sama sekali tanpa menggunakan kekerasan dengan cara merusak. Brankas itu dibuka dengan menggunakan kuncinya.
Mewakili ahli waris, Hara P Panggabean mengatakan, dua brankas milik Olo Panggabean dibongkar si pemegang kunci yang tak lain abang dari Olo Panggabean.
Kecurigaan ini sangat berdasar. Delapan bulan silam, sepekan setelah Olo Panggabean dikebumikan, seluruh ahli waris bertemu untuk membicarakan harta warisan Olo Panggabean. Saat itu, keluarga sepakat untuk menginventarisir harta di dalam dua brankas tersebut. Setelah dihitung, keluarga sepakat, untuk membuka brankas harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Namun, anak Albert M Panggabean abang kandung Alm Olo Panggabean menyampaikan, bahwa ada ahli waris Alm Olo Panggabean yang telah menjual dua unit ganset, sebidang tanah di Belawan, satu unit truk dan ternak lembu, ikan dan ayam di Medan Tuntungan serta mengalihkan satu buah kios No. 110 Blok D di Pasar Petisah.
“Kami baru mengetahui sebulan lalu, kalau harta itu sudah dijual. Makanya kami kumpul dan membuka brankas ini pada Selasa (9/2) dengan memanggil pengacara dan tukang kunci. Tapi setelah dibuka brankas telah kosong,” katanya.
Sebelumnya, kunci brankas dipegang oleh ibu Olo Panggabean. Tapi, karena ibunya pergi ke Jakarta, kunci diserahkan kepada Budi Panggabean. Karena Budi menghargai keluarga tertua, kunci itu lalu diserahkan kepada abang kandung Olo Panggabean yang masih hidup.
“Makanya kami mengetahuinya siapa yang mengambil uang ini. Jadi atas nama keluarga kami akan melaporkan ini kepada pihak kepolisian, sebab jalur kekeluargaan sudah berulang kali dilakukan tidak pernah mau,” tuturnya. Herannya, penjaga rumah Olo Panggabean, Gadod juga ikut raib.
Sebenarnya, keluarga sudah membuat pengaduan ke Polsek Medan Baru. Tapi, laporan ini belum bisa ditanggapi, sebab harta warisan harus ada kesepakatan bersama dan ditunjukkan seluruh tandatangan bukti ahli waris. Karenanya, sekarang ini tujuh keluarga penerima ahli waris dari harta Olo Panggabean menggunakan pengacara Sjafaruddin SH MH dan Irwansyah Gultom.
Pada keterangannya, Sjafaruddin menerangkan, sekitar sepekan setelah Olo meninggal, ada kesepakatan harta yang disimpan dalam dua brankas dihitung bersama. Setelah dihitung, ada kesepakatan bila membuka brankas harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Oleh karena itu, bundel warisan yang ada di dalam dua brankas ini belum bissadibagikan karena belum ada persetujuan seluruh ahli warisnya. Olo Panggabean sendiri memiliki 10 saudara. Jika Olo meninggal, maka ada sembilan ahli waris, baik kakak, abang dan adiknya berhak atas ahli waris.
“Bila ada sembilan bersaudara, maka semuanya berhak menerima warisan dan yang berlaku juga hukum nasional di sini,” ucapnya. Irwansyah Gultom menjelaskan, ada unsur melawan hak di sini, pasalnya bila tidak putusan pengadilan terhadap penerima harta warisan maka hal yang dilakukan oleh pengambil harta ini melawan hak. “Tindakannya biaa ke arah pidana,” ucapnya.
Adapun isi brankas milik Olo Panggabean senilai Rp 2 triliun yakni 27 buah cincin berlian masing-masing senilai Rp 4 miliar, jam tangan Rolex lima buah masing-masing senilai Rp 3 miliar, gelang dan kalung emas ditaksir bernilai setengah miliar, surat BPKB mobil sebanyak 29 unit, ditaksir senilai puluhan miliar, uang dalam mata uang euro dan dolar Amerika Serikat berkisar ratusan juta dan handphone Vertu satu unit seharga Rp 400 juta serta buku tabungan yang tidak diketahui nilai tabungannya dan sertifikat tanah.
“Atas nama keluarga Alm Olo Panggabean, kami menyampaikan kepada khalayak ramai agar jangan terlebih dahulu membeli harta atas nama Olo panggabean, sebab sekarang ini kami masih proses pembagian harta warisan,” imbaunya. (Sumber: sumutpos)
Luar biasa. Setelah tokoh kharismatik Olo Panggabean menjadi almarhum, orang baru berani mengganggu. Tak tanggung, brankas berisi uang dan bundelan surat berharga senilai Rp 2 triliun raib digondol orang dari rumahnya di Jalan Sekip no. 36 Medan yang selama ini dikenal dengan Gedung Putih!
Pembobolan brankas almarhum Olo Panggabean ini disampaikan tujuh dari sembilan ahli waris yang akan menerima harta almarhum, Kamis (11/2), di Jalan Sekip. Hebatnya, aksi pembobolan ini sama sekali tanpa menggunakan kekerasan dengan cara merusak. Brankas itu dibuka dengan menggunakan kuncinya.
Mewakili ahli waris, Hara P Panggabean mengatakan, dua brankas milik Olo Panggabean dibongkar si pemegang kunci yang tak lain abang dari Olo Panggabean.
Kecurigaan ini sangat berdasar. Delapan bulan silam, sepekan setelah Olo Panggabean dikebumikan, seluruh ahli waris bertemu untuk membicarakan harta warisan Olo Panggabean. Saat itu, keluarga sepakat untuk menginventarisir harta di dalam dua brankas tersebut. Setelah dihitung, keluarga sepakat, untuk membuka brankas harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Namun, anak Albert M Panggabean abang kandung Alm Olo Panggabean menyampaikan, bahwa ada ahli waris Alm Olo Panggabean yang telah menjual dua unit ganset, sebidang tanah di Belawan, satu unit truk dan ternak lembu, ikan dan ayam di Medan Tuntungan serta mengalihkan satu buah kios No. 110 Blok D di Pasar Petisah.
“Kami baru mengetahui sebulan lalu, kalau harta itu sudah dijual. Makanya kami kumpul dan membuka brankas ini pada Selasa (9/2) dengan memanggil pengacara dan tukang kunci. Tapi setelah dibuka brankas telah kosong,” katanya.
Sebelumnya, kunci brankas dipegang oleh ibu Olo Panggabean. Tapi, karena ibunya pergi ke Jakarta, kunci diserahkan kepada Budi Panggabean. Karena Budi menghargai keluarga tertua, kunci itu lalu diserahkan kepada abang kandung Olo Panggabean yang masih hidup.
“Makanya kami mengetahuinya siapa yang mengambil uang ini. Jadi atas nama keluarga kami akan melaporkan ini kepada pihak kepolisian, sebab jalur kekeluargaan sudah berulang kali dilakukan tidak pernah mau,” tuturnya. Herannya, penjaga rumah Olo Panggabean, Gadod juga ikut raib.
Sebenarnya, keluarga sudah membuat pengaduan ke Polsek Medan Baru. Tapi, laporan ini belum bisa ditanggapi, sebab harta warisan harus ada kesepakatan bersama dan ditunjukkan seluruh tandatangan bukti ahli waris. Karenanya, sekarang ini tujuh keluarga penerima ahli waris dari harta Olo Panggabean menggunakan pengacara Sjafaruddin SH MH dan Irwansyah Gultom.
Pada keterangannya, Sjafaruddin menerangkan, sekitar sepekan setelah Olo meninggal, ada kesepakatan harta yang disimpan dalam dua brankas dihitung bersama. Setelah dihitung, ada kesepakatan bila membuka brankas harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Oleh karena itu, bundel warisan yang ada di dalam dua brankas ini belum bissadibagikan karena belum ada persetujuan seluruh ahli warisnya. Olo Panggabean sendiri memiliki 10 saudara. Jika Olo meninggal, maka ada sembilan ahli waris, baik kakak, abang dan adiknya berhak atas ahli waris.
“Bila ada sembilan bersaudara, maka semuanya berhak menerima warisan dan yang berlaku juga hukum nasional di sini,” ucapnya. Irwansyah Gultom menjelaskan, ada unsur melawan hak di sini, pasalnya bila tidak putusan pengadilan terhadap penerima harta warisan maka hal yang dilakukan oleh pengambil harta ini melawan hak. “Tindakannya biaa ke arah pidana,” ucapnya.
Adapun isi brankas milik Olo Panggabean senilai Rp 2 triliun yakni 27 buah cincin berlian masing-masing senilai Rp 4 miliar, jam tangan Rolex lima buah masing-masing senilai Rp 3 miliar, gelang dan kalung emas ditaksir bernilai setengah miliar, surat BPKB mobil sebanyak 29 unit, ditaksir senilai puluhan miliar, uang dalam mata uang euro dan dolar Amerika Serikat berkisar ratusan juta dan handphone Vertu satu unit seharga Rp 400 juta serta buku tabungan yang tidak diketahui nilai tabungannya dan sertifikat tanah.
“Atas nama keluarga Alm Olo Panggabean, kami menyampaikan kepada khalayak ramai agar jangan terlebih dahulu membeli harta atas nama Olo panggabean, sebab sekarang ini kami masih proses pembagian harta warisan,” imbaunya. (Sumber: sumutpos)
OLO PANGGABEAN SANG MISTERIUS
Tokoh Olo Panggabean adalah legenda, khususnya di Sumatra Utara. Hampir semua warga Sumut pernah mendengar namanya walau tak pernah bersua dengannya. Tahun 90-an ketika saya masih SMP, kawan sebaya saya menyebut nama Olo Panggabean dengan bangga dan kagum.
Jika saat itu ditanya, Olo itu seperti apa, dalam benak saya adalah sosok yang misterius, kaya raya, tak berumahtangga, mafia judi. Kira-kira itulah gambaran warga Sumut terhadap Olo. Ketika membaca feed detik.com di blog saya bahwa sang God Father sudah berpulang, saya kaget. Sebab meski saya asli Sumut saya kurang mengikuti perkembangan Olo.
Uniknya ketika saya mencoba mencari gambar pria kelahiran Tarutung 24 Mei 1941 ini, nyaris tak ada dalam indeks google. Hanya satu gambar yang terindeks oleh Google itupun foto ukuran kecil ketika Olo menyambut si kembar Anggi dan Anjeli paska operasi. Olo Panggabean memang benar-benar misterius. Berikut tulisan seputar berpulangnya Pak Katua yang saya ambil dari blog Media Surat Tongosan
Olo Panggabean Sang Dermawan Itu Telah Berpulang.
(Medan)Telepon selular SP pada Kamis (30/4) sejak pukul 10.30, berdering tidak seperti biasanya. Pasalnya berbagai kalangan dari berbagai profesi di kota Medan, Jakarta hingga Surabaya, menelepon atau meng-sms, mengajukan satu pertanyaan yang sama; “Benarkah Olo Panggabean telah meninggal?.” Sebuah reaksi merespon kabar yang tampaknya telah tersiar cepat hingga ke pelosok negeri. Padahal tokoh pemuda Sumatera Utara (Sumut) kharismatik yang dijuluki ”Ketua” tersebut, masih dirawat intensif di RS Mount Elizabeth Hospital, Singapura, namun keadaan kritis.
Selama tiga hari terakhir, Olo sempat beberapa kali mengalami koma karena komplikasi penyakit antara lain gula dan ginjal. Atas permintaan keluarga, karena kondisi tidak lagi memungkinkan, Olo Panggabean dibawa kembali ke kampung halamannya.
Olo dibawa mengunakan pesawat khusus medivac (medical evacuation flight) dan tiba di Polonia Medan sekitar pukul 13.30.
Ia kemudian di bawa menuju Rumah Sakit Gleneagles Medan Jalan Listrik Medan. Namun sekitar pukul 14.15, Olo menghembuskan nafas terakhirnya. ”Pihak keluarga meminta karena kondisinya sudah tidak lagi memungkinkan, sehingga beliau (Olo-red) di bawa kembali ke kampung halaman. Namun pukul 14.15, beliau meninggal,”kata Panugari Panggabean, salah seorang sanak keluarga Olo Panggabean kepada SP, Kamis (20/4) siang.
Ibarat virus, khabar meninggalnya Olo Panggabean langsung menggema di seantro kota Medan dan sekitarnya. Ribuan orang, mulai dari tukang becak, pegawai, aparat kepolisian maupun militer, terlihat memadati sekitar rumah duka yang dikenal dengan sebutan ”Gedung Putih.”
Mereka berkerumun hendak menunggu kedatangan jenasah tokoh fenomal yang dikenal dermawan dan kontroversial tersebut. Ratusan bunga papan turut berduka cita memenuhi sepanjang Jalan Sekip Medan hingga ke Gatot Subroto Medan. Sebenarkah siapakah Olo Panggabean?
Sosok Misterius
Olo Panggabean, lahir di Tarutung pada tanggal 24 Mei 1941. Pria bernama lengkap Sahara Oloan Panggabean, merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Namanya begitu terkenal, meski bagi banyak kalangan sosoknya teramat misterius.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok ”Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang ”Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto. Sehingga jangan heran jika banyak kalangan masyarakat yang terkejut dengan kepergiannya jika masih diliputi penasaran dengan sosok Olo Panggabean tersebut.
Memang dalam pertemuan SP dengan Olo Panggabean di salah satu kota Medan, beberapa tahun lalu, sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai ”Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam. ”Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa, menunjukkan gigi kanan atas yang sudah mulai ompong. Meski begitu, pengawal rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean merupakan tokoh pemuda Sumut berpengaruh yang kharisma sekaligus kontroversi. Keterlibatan Olo dalam kepemudaan, telah dirintisnya semenjak ia menjadi anggota Pemuda Pancasila (PP) di bawah kepemimpinan HMY Effendi Nasution alias Pendi Keling, pada tahun 60-an. Pada saat itu Olo memulai karier sebagai debt collector. Perlahan namanya dikenal banyak orang dan mulai dijadikan sandaran bagi kalangan pengusaha sebagai backup terhadap gangguan kekerasan.
Pada 28 Agustus 1969, bersama beberapa temannya, Olo Panggabean membentuk organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang diberi nama Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Melalui IPK Olo kemudian membangun ”kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan ”Ketua.” Selain kerap disebut ”Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung ”KP”, Olo juga dikenal orang sebagai ”Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah beberapa kali terlibat masalah dengan kepolisian. Pada tahun 1999, rumah Olo di Medan Barat pernah diberondong anggota Brigade Mobil (Brimob). Pada pertengahan 2000, Olo juga dikabarkan menerima perintah panggilan dari Jenderal Sutanto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumut terkait masalah perjudian. Namun panggilan tersebut dikabarkan ditolak Olo Panggabean, dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan. Ketika Sutanto menjabat sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri) tahun 2005 dengan program pemberantasan judi, berbagai ”bisnis” Olo Panggabean dikabarkan mengalami banyak penurunan. Meski demikian bukan berarti kekuatan finansial-nya, hilang begitu saja. Olo juga dikabarkan sempat mengelola bisnis properti dan real estate di kota Medan. Seiring perjalanan waktu, perlahan-lahan ”kerajaan” yang dibangun Olo Panggabean mulai memudar disamping kondisi kesehatannya yang memburuk.
Pada akhir 2008, Olo Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Sang Dermawan
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, sosok Olo Panggabean dikenal banyak masyarakat sebagai tokoh yang sangat dermawan. Ia kerap ”menabur” uang di berbagai kegiatan yang dihadirinya. Sehingga jangan heran jika masyarakat berbondong-bondong hadir untuk dekat dengannya. Tidak sedikit pula yang kagum termasuk bercita-cita sepertinya. Tidak itu saja, Sang ”Ketua” juga tidak sungkan-sungan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Salah satu contoh, operasi kembar siam Anggi-Anjeli, bayi kembar siam asal Desa Serbelawan Kec Dolok Batu Nanggar Kab Simalungun, yang dibiayainya untuk operasi ke Singapura. ”Saya sangat merasa kehilangan dengan Pak Olo karena berkat kepedulian beliaulah kami sekeluarga bisa melihat anak saya lebih lama,”kata Sobari, ayah Anggi-Anjeli ketika dihubungi SP, Kamis (30/4).
Hal itu pula yang diakui oleh Gubernur Sumut Syamsul Arifin yang merasa kehilangan dengan meninggalnya tokoh pemuda tersebut. “Selama ini, Bang Olo merupakan tokoh pemuda yang dermawan dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sosial masyarakat. Olo juga sering memberikan bantuan kepada mereka yang putus sekolah. Jadi kita tentu sangat kehilangan beliau,”kata Syamsul.
Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) Sumut Anuar Shah alias Aweng mengaku bahwa Olo Panggabean merupakan tokoh pemuda senior yang sangat menghargai para juniornya. “Kesan saya kepada beliau seperti itu. Beliau sangat menghormati juniornya meski terkadang kita berseberangan,”ujar Aweng.
Menurutnya, kalaupun selama ini antara organisasi yang dipimpinnya dan organisasi yang dibesarkan Olo Panggabean kerap terjadi bentrok, merupakan hal yang lumrah dalam persaingan organisasi yang bergerak di bidang dan di wilayah yang sama.
“Tetapi kami tetap menganggap beliau sebagai senior. Karena sampai detik kepergiannya, beliau belum pernah menyatakan keluar dari keanggotaan PP,”kata
Aweng berharap, pengganti Olo Panggabean nantinya dapat bersama-sama meneruskan yang dicita-citakan Olo Panggabean. “Cita-cita beliau seingat saya adalah bagaimana memperjuangkan masalah “perut” anggota. Untuk itu mari duduk bersama dalam mengkaryakan anggota,”kata Aweng. Selamat Jalan Ketua…[SP/Henry Sitinjak] (Jumat, 1 Mei 2009)
Selamat Jalan Sang "Jenderal Lapangan"....
Pelayat datang silih berganti sampai lewat larut tengah malam. Mulai dari pejabat pemerintahan, kepolisian, militer sampai dengan wartawan. Tidak hanya itu, rakyat miskin pun tidak mau ketinggalan. Sama seperti pejabat tadi, mereka turut memberikan penghormatan terakhir kepada sang legendaris, Olo Panggabean.
Tokoh kharismatik yang dikenal sangat dermawan ini disemayamkan di kediaman Jl Sekip No. 36, Kecamatan Medan Barat, Sumatera Utara (Sumut). Rumah yang dikenal dengan istilah “Gedung Putih” itu, salah satu dari kediaman anak ketujuh dari delapan bersaudara ini, buah hati pasangan suami istri almarhum Friedolin Panggabean dan Esther Hutabarat.
Gedung ini memiliki cat berwarna putih, sama sekali tidak pernah luput dari perhatian masyarakat setiap melintas, yang sekitar tahun 2000 – an lalu, pernah diberondong peluru oknum aparat kepolisian. Saat ini, di kawasan itu dianggap sebagai salah satu daerah paling aman, yang tidak pernah ada gangguan, pengutipan uang di kalangan masyarakat.
Olo Panggabean meninggal dunia sebulan sebelum genap berusia 68 tahun. Pria kelahiran 24 Mei 1941, yang memiliki nama lengkap Sahara Oloan Panggabean ini, sangat banyak meninggalkan kenangan. Sehingga, tidak sedikit orang yang merasa kehilangan. Apalagi, namanya sudah cukup dikenal. Mulai dari anak kecil, dewasa sampai ke pejabat negara.
“Dia meninggal dunia karena penyakit yang sudah komplikasi. Salah satunya adalah penyakit gula (diabetes). Penyakit beliau ini sering kambuh. Senin kemarin dia dibawa berobat oleh keluarganya ke Singapura,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Karya (DPP IPK), Darwin Syamsul Samah di rumah duka.
Pagi sebelum meninggal dunia, pendiri organisasi IPK tahun 1969 itu, kepada keluarganya minta dibawa pulang. Kemudian oleh keluarganya, Olo pun dibawa pulang dengan menumpang pesawat khusus medivac (medical evacuation flight) LR 35 A/HS-CFS milik maskapai Thai Flying. Pesawat ini mendarat sekitar pukul 13.34 WIB di Bandara Polonia Medan.
Pesan
Dalam kondisi kritis, dibantu alat pernafasan melalui selang oksigen, Olo Panggabean langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum (RSU) Gleni Jl Listrik Medan. Sebelum meninggal, almarhum banyak menitipkan pesan untuk dilaksanakan nantinya. Salah satunya, Olo minta dimakamkan satu kuburan dengan kedua orangtua berserta saudara – saudaranya.
Almarhum akan dikebumikan di Pekuburan Kristen Taman Eden kawasan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu nanti. Proses persemayaman di rumah duka, memakan waktu sampai tiga hari karena masih banyak keluarga, kerabat maupun sahabat terdekat, yang belum datang. Selain untuk masyarakat di daerah ini, pesan itu juga diamanahkan kepada seluruh organisasi kepemudaan.
“Beliau berpesan kepada kami mewakili IPK, bersama dengan seluruh organisasi kemasyarakatan dan pemuda, agar tetap menjaga situasi kondusivitas Sumatera Utara. Jangan sampai ada lagi organisasi yang terlibat dalam pertikaian, apalagi menjelang pemilihan presiden mendatang. Daerah ini harus maju, masyarakat hidup rukun dan damai,” katanya.
Menurut Darwin, amanah tersebut sudah menjadi kewajiban untuk mereka jalankan. Tidak hanya itu, Olo yang akrab dipanggil dengan sebutan “Pak Ketua” ini juga memberikan pesan lain, sama seperti ketika dia semasa hidupnya, tanpa pamrih memberikan bantuan kepada orang susah. Baik itu bantuan yang bersifat moril maupun materil.
“Insya Allah, segala apa yang disampaikan almarhum sesaat sebelum meninggal dunia, nantinya tetap kami jalankan. Kami juga akan berusaha untuk melaksanakan kegiatan sosial, melanjutkan misi kemanusiaan yang sudah lama ditanamkannya. Kami tetap berusaha untuk menjaga nama baiknya, berbuat untuk masyarakat,” imbuhnya.
Tanda Terakhir
Sebelum meninggal, lajang tua ini memang sudah banyak memberikan tanda – tanda. Bahkan, setahuan yang lalu, persisnya di bulan November 2008, almarhum sudah memberikan sinyal kepada mantan Ketua DPP IPK Moses Tambunan, teman bicaranya. Olo sudah menyatakan kesiapan dirinya untuk menghadap Sang Pencipta.
“Dia mengaku sudah membeli lahan untuk dikuburkan bersama kedua orangtua beserta saudara – saudaranya di Taman Eden. Bahkan, saat perayaan Hari Paskah bulan April kemarin, dia mengajak saya untuk berjumpa, sekadar bercerita saja. Tidak banyak yang disampaikannya, selain hanya memberikan ucapan Selamat Paskah,” kata Moses mengingat.
Moses menyampaikan, belum ada sosok yang dapat mengimbangi kebaikan Olo Panggabean. Kemuarahan hati dalam setiap menolong orang tanpa banyak melakukan pertimbangan. Jumlah orang yang sudah dibantunya diperkirakan mencapai jutaan orang. Tidak sedikit orang yang berhasil atas bantuan almarhum semasa hidupnya.
“Banyak sekali yang sudah berhasil. Ada yang sudah menjadi pejabat pemerintahan, perwira polisi. Dari kalangan militer pun, baik itu dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU) maupun Angkatan Laut (AL), juga banyak yang berhasil. Ini belum seberapa, bila dibandingkan dengan orang susah yang dibantunya. Bantuan itu uang dia sendiri,” jelasnya.
Menurut Moses, uang yang sudah diberikan Olo Panggabean dalam bentuk bantuan, bila ditotal sudah tidak terhitung lagi. Dulu, istri pelawak Doyok pernah dibantu, sebelum meninggal. Selain itu, bayi kembar siam Anggi dan Anjeli asal Simalungun, yang menjalani operasi pemisahan di rumah sakit di Singapura, dengan biaya tidak sedikit.
Selain itu, Olo Panggabean juga pernah membiayai seluruh biaya perobatan gadis malang korban ala sum kuning, untuk dirujuk ke Rumah Sakit Gleneagles. Begitu juga dengan anak miskin yang disekolahkan Olo Panggabean, diperkirakan mencapi ribuan orang. Moses juga mengaku sebagai salah seorang yang sering dibantu almarhum.
“Sungguh luar biasa baiknya. Tidak ada sama sekali mengharapkan pamrih saat menolong orang. Dia sangat disenangi banyak orang, sahabat dari semua suku, agama maupun antargolongan. Setiap ada kegiatan sosial, baik itu yang dilakukan mahasiswa maupun organisasi, lembaga swadaya maupun kegiatan keagamaan, pasti dibantunya,” ia memaparkan.
Tokoh
Olo Panggabean dikenal sebagai seorang sosok tokoh yang sangat peduli dengan masyarakat. Selain disenangi kawan, dia juga disegani banyak lawan. Namanya begitu terkenal. Tidak hanya dikenal di Indonesia, nama Olo Panggabean juga tidak asing di mancanegara. Olo Panggabean menjadi legenda, mempunyai banyak peranan dalam menyatukan kebersamaan.
“Dia ini merupakan satu – satunya tokoh yang berhasil merangkul seluruh agama, sehingga tidak pernah terjadi perpecahan. Saya rasa, belum ada orang Batak yang bisa berbuat, terkecuali dirinya. Saya sudah sering ke luar negeri, nama beliau sering ditanyakan. Banyak orang hanya mengetahui nama, tapi tidak kenal wajah,” ungkap Djonggi Simorangkir, famili Olo Panggabean.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokad Indonesia (DPP Ikadin) Bagian Hak Asasi Manusia (HAM) ini, Olo Panggabean semasa hidupnya mempunyai kerpribadian yang unik. Selain sering membantu rakyat kecil, Olo juga mempunyai kebiasaan memberikan uang kepada orang yang sedang bernyanyi di tempat keramaian.
“Tidak tanggung – tanggung, uang diberikan dia kepada orang yang berani bernyanyi itu, mencapi jutaan rupiah. Ini hanya sekali bernyanyi saja. Kalangan artis pun banyak yang kecipratan rejeki dibuatnya, langsung datang bila diundang untuk tampil dalam suatu acara besar. Dia juga sahabat seluruh partai politik, tidak ada memilih – milih,” sebutnya.
Rahmad Shah, salah seorang tokoh di daerah ini, mengaku sangat terkejut saat mendapat kabar duka tersebut. Usai melayat di rumah duka, Rahmad yang juga pengusaha terkemuka di daerah ini, meneteskan air mata. Menurut dia, sudah cukup banyak peranan almarhum semasa hidupnya, apalagi dalam memajukan daerah ini.
“Begitu cepat dia pergi. Kita hanya bisa mendoakan, semoga almarhum diterima di sisiNya. Dia sudah cukup banyak berjasa, membantu semua orang sudah maupun pemerintah. Saya sendiri terpaksa untuk merelakan kepergiannya. Dia banyak meninggalkan kenangan – kenangan indah, yang penuh dengan kedamaian,” ujarnya.
Kiprah
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ‘66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – ikatan Pancasil (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Tidak lama kemudian, namanya dijadikan pengusaha sebagai sandaran dari berbagai gangguan. Organisasi tersebut kemudian mempunyai komitmen, sebagai penyalur aspirasi Partai Golkar. Seiring dengan perkembangan aman, Olo Panggabean semakin tenar. Sayangnya, apa yang dilakukan kontraversial dengan adanya tudingan miring. Tidak sedikit orang mengujinya, termasuk ingin mengadu kekuatan massa.
Selain itu, Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut, IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Tidak merasa senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan – rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong “Gedung Putih” dengan senjata api.
Setelah pergantian Sutiono, Kapolda Sumut kemudian dijabat oleh Irjen Sutanto, mantan Kapolri. Melalui surat, Olo dipanggil untuk datang. Ini masih seputar judi “Kim”, sebut kupon berhadiah uang di arena Medan Fair. Merasa tidak mempunyai masalah, Olo Panggabean mengutus wakilnya. Setelah Sutanto menjadi Kapolri, banyak orang menyebarkan isu, masalah perjudian dikaitkan dengan nama Olo Panggabean.
Bagi Olo, isu itu dianggap angin lalu. Namun, tetap saja ada pihak yang ingin memancing kemarahannya, semakin berjaya apalagi dirinya menjadi saudara angkat mantan Panglima Kodam (Pangdam) I Bukit Barisan, Mayjen Tritamtomo Panggabean, abang dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kini, isu tersebut sudah berlalu. Seluruh masyarakat menyatakan belasungkawa. Dan, Selamat Jalan Pak Ketua … [SP/Arnold H Sianturi](Jumat, 1 Mei 2009)
Jika saat itu ditanya, Olo itu seperti apa, dalam benak saya adalah sosok yang misterius, kaya raya, tak berumahtangga, mafia judi. Kira-kira itulah gambaran warga Sumut terhadap Olo. Ketika membaca feed detik.com di blog saya bahwa sang God Father sudah berpulang, saya kaget. Sebab meski saya asli Sumut saya kurang mengikuti perkembangan Olo.
Uniknya ketika saya mencoba mencari gambar pria kelahiran Tarutung 24 Mei 1941 ini, nyaris tak ada dalam indeks google. Hanya satu gambar yang terindeks oleh Google itupun foto ukuran kecil ketika Olo menyambut si kembar Anggi dan Anjeli paska operasi. Olo Panggabean memang benar-benar misterius. Berikut tulisan seputar berpulangnya Pak Katua yang saya ambil dari blog Media Surat Tongosan
Olo Panggabean Sang Dermawan Itu Telah Berpulang.
(Medan)Telepon selular SP pada Kamis (30/4) sejak pukul 10.30, berdering tidak seperti biasanya. Pasalnya berbagai kalangan dari berbagai profesi di kota Medan, Jakarta hingga Surabaya, menelepon atau meng-sms, mengajukan satu pertanyaan yang sama; “Benarkah Olo Panggabean telah meninggal?.” Sebuah reaksi merespon kabar yang tampaknya telah tersiar cepat hingga ke pelosok negeri. Padahal tokoh pemuda Sumatera Utara (Sumut) kharismatik yang dijuluki ”Ketua” tersebut, masih dirawat intensif di RS Mount Elizabeth Hospital, Singapura, namun keadaan kritis.
Selama tiga hari terakhir, Olo sempat beberapa kali mengalami koma karena komplikasi penyakit antara lain gula dan ginjal. Atas permintaan keluarga, karena kondisi tidak lagi memungkinkan, Olo Panggabean dibawa kembali ke kampung halamannya.
Olo dibawa mengunakan pesawat khusus medivac (medical evacuation flight) dan tiba di Polonia Medan sekitar pukul 13.30.
Ia kemudian di bawa menuju Rumah Sakit Gleneagles Medan Jalan Listrik Medan. Namun sekitar pukul 14.15, Olo menghembuskan nafas terakhirnya. ”Pihak keluarga meminta karena kondisinya sudah tidak lagi memungkinkan, sehingga beliau (Olo-red) di bawa kembali ke kampung halaman. Namun pukul 14.15, beliau meninggal,”kata Panugari Panggabean, salah seorang sanak keluarga Olo Panggabean kepada SP, Kamis (20/4) siang.
Ibarat virus, khabar meninggalnya Olo Panggabean langsung menggema di seantro kota Medan dan sekitarnya. Ribuan orang, mulai dari tukang becak, pegawai, aparat kepolisian maupun militer, terlihat memadati sekitar rumah duka yang dikenal dengan sebutan ”Gedung Putih.”
Mereka berkerumun hendak menunggu kedatangan jenasah tokoh fenomal yang dikenal dermawan dan kontroversial tersebut. Ratusan bunga papan turut berduka cita memenuhi sepanjang Jalan Sekip Medan hingga ke Gatot Subroto Medan. Sebenarkah siapakah Olo Panggabean?
Sosok Misterius
Olo Panggabean, lahir di Tarutung pada tanggal 24 Mei 1941. Pria bernama lengkap Sahara Oloan Panggabean, merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Namanya begitu terkenal, meski bagi banyak kalangan sosoknya teramat misterius.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok ”Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang ”Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto. Sehingga jangan heran jika banyak kalangan masyarakat yang terkejut dengan kepergiannya jika masih diliputi penasaran dengan sosok Olo Panggabean tersebut.
Memang dalam pertemuan SP dengan Olo Panggabean di salah satu kota Medan, beberapa tahun lalu, sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai ”Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam. ”Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa, menunjukkan gigi kanan atas yang sudah mulai ompong. Meski begitu, pengawal rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean merupakan tokoh pemuda Sumut berpengaruh yang kharisma sekaligus kontroversi. Keterlibatan Olo dalam kepemudaan, telah dirintisnya semenjak ia menjadi anggota Pemuda Pancasila (PP) di bawah kepemimpinan HMY Effendi Nasution alias Pendi Keling, pada tahun 60-an. Pada saat itu Olo memulai karier sebagai debt collector. Perlahan namanya dikenal banyak orang dan mulai dijadikan sandaran bagi kalangan pengusaha sebagai backup terhadap gangguan kekerasan.
Pada 28 Agustus 1969, bersama beberapa temannya, Olo Panggabean membentuk organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang diberi nama Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Melalui IPK Olo kemudian membangun ”kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan ”Ketua.” Selain kerap disebut ”Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung ”KP”, Olo juga dikenal orang sebagai ”Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah beberapa kali terlibat masalah dengan kepolisian. Pada tahun 1999, rumah Olo di Medan Barat pernah diberondong anggota Brigade Mobil (Brimob). Pada pertengahan 2000, Olo juga dikabarkan menerima perintah panggilan dari Jenderal Sutanto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumut terkait masalah perjudian. Namun panggilan tersebut dikabarkan ditolak Olo Panggabean, dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan. Ketika Sutanto menjabat sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri) tahun 2005 dengan program pemberantasan judi, berbagai ”bisnis” Olo Panggabean dikabarkan mengalami banyak penurunan. Meski demikian bukan berarti kekuatan finansial-nya, hilang begitu saja. Olo juga dikabarkan sempat mengelola bisnis properti dan real estate di kota Medan. Seiring perjalanan waktu, perlahan-lahan ”kerajaan” yang dibangun Olo Panggabean mulai memudar disamping kondisi kesehatannya yang memburuk.
Pada akhir 2008, Olo Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Sang Dermawan
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, sosok Olo Panggabean dikenal banyak masyarakat sebagai tokoh yang sangat dermawan. Ia kerap ”menabur” uang di berbagai kegiatan yang dihadirinya. Sehingga jangan heran jika masyarakat berbondong-bondong hadir untuk dekat dengannya. Tidak sedikit pula yang kagum termasuk bercita-cita sepertinya. Tidak itu saja, Sang ”Ketua” juga tidak sungkan-sungan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Salah satu contoh, operasi kembar siam Anggi-Anjeli, bayi kembar siam asal Desa Serbelawan Kec Dolok Batu Nanggar Kab Simalungun, yang dibiayainya untuk operasi ke Singapura. ”Saya sangat merasa kehilangan dengan Pak Olo karena berkat kepedulian beliaulah kami sekeluarga bisa melihat anak saya lebih lama,”kata Sobari, ayah Anggi-Anjeli ketika dihubungi SP, Kamis (30/4).
Hal itu pula yang diakui oleh Gubernur Sumut Syamsul Arifin yang merasa kehilangan dengan meninggalnya tokoh pemuda tersebut. “Selama ini, Bang Olo merupakan tokoh pemuda yang dermawan dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sosial masyarakat. Olo juga sering memberikan bantuan kepada mereka yang putus sekolah. Jadi kita tentu sangat kehilangan beliau,”kata Syamsul.
Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) Sumut Anuar Shah alias Aweng mengaku bahwa Olo Panggabean merupakan tokoh pemuda senior yang sangat menghargai para juniornya. “Kesan saya kepada beliau seperti itu. Beliau sangat menghormati juniornya meski terkadang kita berseberangan,”ujar Aweng.
Menurutnya, kalaupun selama ini antara organisasi yang dipimpinnya dan organisasi yang dibesarkan Olo Panggabean kerap terjadi bentrok, merupakan hal yang lumrah dalam persaingan organisasi yang bergerak di bidang dan di wilayah yang sama.
“Tetapi kami tetap menganggap beliau sebagai senior. Karena sampai detik kepergiannya, beliau belum pernah menyatakan keluar dari keanggotaan PP,”kata
Aweng berharap, pengganti Olo Panggabean nantinya dapat bersama-sama meneruskan yang dicita-citakan Olo Panggabean. “Cita-cita beliau seingat saya adalah bagaimana memperjuangkan masalah “perut” anggota. Untuk itu mari duduk bersama dalam mengkaryakan anggota,”kata Aweng. Selamat Jalan Ketua…[SP/Henry Sitinjak] (Jumat, 1 Mei 2009)
Selamat Jalan Sang "Jenderal Lapangan"....
Pelayat datang silih berganti sampai lewat larut tengah malam. Mulai dari pejabat pemerintahan, kepolisian, militer sampai dengan wartawan. Tidak hanya itu, rakyat miskin pun tidak mau ketinggalan. Sama seperti pejabat tadi, mereka turut memberikan penghormatan terakhir kepada sang legendaris, Olo Panggabean.
Tokoh kharismatik yang dikenal sangat dermawan ini disemayamkan di kediaman Jl Sekip No. 36, Kecamatan Medan Barat, Sumatera Utara (Sumut). Rumah yang dikenal dengan istilah “Gedung Putih” itu, salah satu dari kediaman anak ketujuh dari delapan bersaudara ini, buah hati pasangan suami istri almarhum Friedolin Panggabean dan Esther Hutabarat.
Gedung ini memiliki cat berwarna putih, sama sekali tidak pernah luput dari perhatian masyarakat setiap melintas, yang sekitar tahun 2000 – an lalu, pernah diberondong peluru oknum aparat kepolisian. Saat ini, di kawasan itu dianggap sebagai salah satu daerah paling aman, yang tidak pernah ada gangguan, pengutipan uang di kalangan masyarakat.
Olo Panggabean meninggal dunia sebulan sebelum genap berusia 68 tahun. Pria kelahiran 24 Mei 1941, yang memiliki nama lengkap Sahara Oloan Panggabean ini, sangat banyak meninggalkan kenangan. Sehingga, tidak sedikit orang yang merasa kehilangan. Apalagi, namanya sudah cukup dikenal. Mulai dari anak kecil, dewasa sampai ke pejabat negara.
“Dia meninggal dunia karena penyakit yang sudah komplikasi. Salah satunya adalah penyakit gula (diabetes). Penyakit beliau ini sering kambuh. Senin kemarin dia dibawa berobat oleh keluarganya ke Singapura,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Karya (DPP IPK), Darwin Syamsul Samah di rumah duka.
Pagi sebelum meninggal dunia, pendiri organisasi IPK tahun 1969 itu, kepada keluarganya minta dibawa pulang. Kemudian oleh keluarganya, Olo pun dibawa pulang dengan menumpang pesawat khusus medivac (medical evacuation flight) LR 35 A/HS-CFS milik maskapai Thai Flying. Pesawat ini mendarat sekitar pukul 13.34 WIB di Bandara Polonia Medan.
Pesan
Dalam kondisi kritis, dibantu alat pernafasan melalui selang oksigen, Olo Panggabean langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum (RSU) Gleni Jl Listrik Medan. Sebelum meninggal, almarhum banyak menitipkan pesan untuk dilaksanakan nantinya. Salah satunya, Olo minta dimakamkan satu kuburan dengan kedua orangtua berserta saudara – saudaranya.
Almarhum akan dikebumikan di Pekuburan Kristen Taman Eden kawasan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu nanti. Proses persemayaman di rumah duka, memakan waktu sampai tiga hari karena masih banyak keluarga, kerabat maupun sahabat terdekat, yang belum datang. Selain untuk masyarakat di daerah ini, pesan itu juga diamanahkan kepada seluruh organisasi kepemudaan.
“Beliau berpesan kepada kami mewakili IPK, bersama dengan seluruh organisasi kemasyarakatan dan pemuda, agar tetap menjaga situasi kondusivitas Sumatera Utara. Jangan sampai ada lagi organisasi yang terlibat dalam pertikaian, apalagi menjelang pemilihan presiden mendatang. Daerah ini harus maju, masyarakat hidup rukun dan damai,” katanya.
Menurut Darwin, amanah tersebut sudah menjadi kewajiban untuk mereka jalankan. Tidak hanya itu, Olo yang akrab dipanggil dengan sebutan “Pak Ketua” ini juga memberikan pesan lain, sama seperti ketika dia semasa hidupnya, tanpa pamrih memberikan bantuan kepada orang susah. Baik itu bantuan yang bersifat moril maupun materil.
“Insya Allah, segala apa yang disampaikan almarhum sesaat sebelum meninggal dunia, nantinya tetap kami jalankan. Kami juga akan berusaha untuk melaksanakan kegiatan sosial, melanjutkan misi kemanusiaan yang sudah lama ditanamkannya. Kami tetap berusaha untuk menjaga nama baiknya, berbuat untuk masyarakat,” imbuhnya.
Tanda Terakhir
Sebelum meninggal, lajang tua ini memang sudah banyak memberikan tanda – tanda. Bahkan, setahuan yang lalu, persisnya di bulan November 2008, almarhum sudah memberikan sinyal kepada mantan Ketua DPP IPK Moses Tambunan, teman bicaranya. Olo sudah menyatakan kesiapan dirinya untuk menghadap Sang Pencipta.
“Dia mengaku sudah membeli lahan untuk dikuburkan bersama kedua orangtua beserta saudara – saudaranya di Taman Eden. Bahkan, saat perayaan Hari Paskah bulan April kemarin, dia mengajak saya untuk berjumpa, sekadar bercerita saja. Tidak banyak yang disampaikannya, selain hanya memberikan ucapan Selamat Paskah,” kata Moses mengingat.
Moses menyampaikan, belum ada sosok yang dapat mengimbangi kebaikan Olo Panggabean. Kemuarahan hati dalam setiap menolong orang tanpa banyak melakukan pertimbangan. Jumlah orang yang sudah dibantunya diperkirakan mencapai jutaan orang. Tidak sedikit orang yang berhasil atas bantuan almarhum semasa hidupnya.
“Banyak sekali yang sudah berhasil. Ada yang sudah menjadi pejabat pemerintahan, perwira polisi. Dari kalangan militer pun, baik itu dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU) maupun Angkatan Laut (AL), juga banyak yang berhasil. Ini belum seberapa, bila dibandingkan dengan orang susah yang dibantunya. Bantuan itu uang dia sendiri,” jelasnya.
Menurut Moses, uang yang sudah diberikan Olo Panggabean dalam bentuk bantuan, bila ditotal sudah tidak terhitung lagi. Dulu, istri pelawak Doyok pernah dibantu, sebelum meninggal. Selain itu, bayi kembar siam Anggi dan Anjeli asal Simalungun, yang menjalani operasi pemisahan di rumah sakit di Singapura, dengan biaya tidak sedikit.
Selain itu, Olo Panggabean juga pernah membiayai seluruh biaya perobatan gadis malang korban ala sum kuning, untuk dirujuk ke Rumah Sakit Gleneagles. Begitu juga dengan anak miskin yang disekolahkan Olo Panggabean, diperkirakan mencapi ribuan orang. Moses juga mengaku sebagai salah seorang yang sering dibantu almarhum.
“Sungguh luar biasa baiknya. Tidak ada sama sekali mengharapkan pamrih saat menolong orang. Dia sangat disenangi banyak orang, sahabat dari semua suku, agama maupun antargolongan. Setiap ada kegiatan sosial, baik itu yang dilakukan mahasiswa maupun organisasi, lembaga swadaya maupun kegiatan keagamaan, pasti dibantunya,” ia memaparkan.
Tokoh
Olo Panggabean dikenal sebagai seorang sosok tokoh yang sangat peduli dengan masyarakat. Selain disenangi kawan, dia juga disegani banyak lawan. Namanya begitu terkenal. Tidak hanya dikenal di Indonesia, nama Olo Panggabean juga tidak asing di mancanegara. Olo Panggabean menjadi legenda, mempunyai banyak peranan dalam menyatukan kebersamaan.
“Dia ini merupakan satu – satunya tokoh yang berhasil merangkul seluruh agama, sehingga tidak pernah terjadi perpecahan. Saya rasa, belum ada orang Batak yang bisa berbuat, terkecuali dirinya. Saya sudah sering ke luar negeri, nama beliau sering ditanyakan. Banyak orang hanya mengetahui nama, tapi tidak kenal wajah,” ungkap Djonggi Simorangkir, famili Olo Panggabean.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokad Indonesia (DPP Ikadin) Bagian Hak Asasi Manusia (HAM) ini, Olo Panggabean semasa hidupnya mempunyai kerpribadian yang unik. Selain sering membantu rakyat kecil, Olo juga mempunyai kebiasaan memberikan uang kepada orang yang sedang bernyanyi di tempat keramaian.
“Tidak tanggung – tanggung, uang diberikan dia kepada orang yang berani bernyanyi itu, mencapi jutaan rupiah. Ini hanya sekali bernyanyi saja. Kalangan artis pun banyak yang kecipratan rejeki dibuatnya, langsung datang bila diundang untuk tampil dalam suatu acara besar. Dia juga sahabat seluruh partai politik, tidak ada memilih – milih,” sebutnya.
Rahmad Shah, salah seorang tokoh di daerah ini, mengaku sangat terkejut saat mendapat kabar duka tersebut. Usai melayat di rumah duka, Rahmad yang juga pengusaha terkemuka di daerah ini, meneteskan air mata. Menurut dia, sudah cukup banyak peranan almarhum semasa hidupnya, apalagi dalam memajukan daerah ini.
“Begitu cepat dia pergi. Kita hanya bisa mendoakan, semoga almarhum diterima di sisiNya. Dia sudah cukup banyak berjasa, membantu semua orang sudah maupun pemerintah. Saya sendiri terpaksa untuk merelakan kepergiannya. Dia banyak meninggalkan kenangan – kenangan indah, yang penuh dengan kedamaian,” ujarnya.
Kiprah
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ‘66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – ikatan Pancasil (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Tidak lama kemudian, namanya dijadikan pengusaha sebagai sandaran dari berbagai gangguan. Organisasi tersebut kemudian mempunyai komitmen, sebagai penyalur aspirasi Partai Golkar. Seiring dengan perkembangan aman, Olo Panggabean semakin tenar. Sayangnya, apa yang dilakukan kontraversial dengan adanya tudingan miring. Tidak sedikit orang mengujinya, termasuk ingin mengadu kekuatan massa.
Selain itu, Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut, IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Tidak merasa senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan – rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong “Gedung Putih” dengan senjata api.
Setelah pergantian Sutiono, Kapolda Sumut kemudian dijabat oleh Irjen Sutanto, mantan Kapolri. Melalui surat, Olo dipanggil untuk datang. Ini masih seputar judi “Kim”, sebut kupon berhadiah uang di arena Medan Fair. Merasa tidak mempunyai masalah, Olo Panggabean mengutus wakilnya. Setelah Sutanto menjadi Kapolri, banyak orang menyebarkan isu, masalah perjudian dikaitkan dengan nama Olo Panggabean.
Bagi Olo, isu itu dianggap angin lalu. Namun, tetap saja ada pihak yang ingin memancing kemarahannya, semakin berjaya apalagi dirinya menjadi saudara angkat mantan Panglima Kodam (Pangdam) I Bukit Barisan, Mayjen Tritamtomo Panggabean, abang dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kini, isu tersebut sudah berlalu. Seluruh masyarakat menyatakan belasungkawa. Dan, Selamat Jalan Pak Ketua … [SP/Arnold H Sianturi](Jumat, 1 Mei 2009)
Olo...Dari Medan
Olo...Dari Medan
Prolog: Ada yang mengatakan bahwa Olo yang terkenal di Medan itu adalah Tionghoa Pribumi yang membeli marga Panggabean... Benar atau tidak.. paling tidak Pamor Olo di Medan setara dengan Gubernur Sumut.
Sekelumit tentang Olo Panggabean
Rabu, 20 Juli 2005 (riaupos.com)
Si Pak Katua, Keberadaannya Terasa tapi Tak TerabaOlo Panggabean, pendiri Ikatan Pemuda Karya (IPK), sering dianggap sebagai penguasa judi di Medan. Siapa sebenarnya sosok Olo yang kadang terkesan dermawan - mendanai operasi kembar siam Anggi-Anjeli - dan dekat dengan para pejabat ini? Laporan ROBBY EFFENDI, Medan
Terasa, tapi tidak teraba. Itulah kesan wartawan mengenai keberadaan sosok Olo Panggabean yang dulu dikenal sebagai ‘'raja judi" di Medan. Namanya begitu terkenal, tapi sosoknya begitu misterius. Tokoh yang disegani di kalangan ‘'jagoan'' Medan ini mempunyai pengawalan berlapis. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya, apakah di Medan atau di suatu tempat.
Maka, sangat mengejutkan ketika Senin lalu Olo muncul untuk menyambut kedatangan bayi kembar siam Angi-Anjeli yang baru sukses menjalani operasi pemisahan di Singapura. Padahal, beberapa hari sebelumnya, tersiar kabar dia berada di Yerusalem. Beberapa wartawan yang ingin mewawancarainya terkait dengan langkah Kapolri Sutanto memberantas judi juga mendapat kabar bahwa Olo sedang berada di Singapura.
Pemunculannya di Bandara Polonia Medan, Senin lalu tentu tidak disia-siakan wartawan. Namun, saat akan diwawancarai sejumlah wartawan, para pengawal Olo yang tegap langsung membentuk pagar betis. Wartawan pun meneriakkan beberapa pertanyaan dari jarak yang agak jauh. Namun, Olo tak mau menjawabnya dengan satu kata pun.
Kemarin, kejutan kedua terjadi lagi. Tokoh legendaris itu juga hadir saat pelantikan Wali Kota Medan H Abdillah-Ramli. Dia muncul ketika acara sedang berlangsung. Tiba di tempat acara, Olo langsung duduk di kursi kosong di samping Pangdam I/BB Mayjen Tri Tamtomo.
Pemunculan Olo di depan publik itu sontak mendapat perhatian. Baik dari para undangan maupun wartawan. Tak heran, jika kilatan lampu kamera langsung tak henti-henti mengarah kepadanya. Apalagi dia langsung duduk di barisan Muspida, bersebelahan dengan Pangdam dan Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunthe. Olo tak lama menghadiri acara pelantikan Abdillah-Ramli itu. Sebab, saat dia tiba, acara memang sudah lama berlangsung. Maka, begitu selesai acara memberikan ucapan selamat kepada wali kota baru, Olo keluar ruang rapat paripurna DPRD Medan dengan pengawalan ketat. Enam pria berbadan tegap yang selalu berada di dekatnya terus menempel ke mana pun tokoh pemuda berumur 61 tahun itu pergi.
Semua yang ketat-ketat itu tak lain karena Olo memang selalu dikaitkan dengan dunia perjudian di Medan.
Dia juga dipanggil sebagai ‘'Pak Katua" karena dialah pendiri dan Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK), organisasi kepemudaan yang dirintisnya sejak 1970-an. Pak Ketua juga disebut-sebut sebagai tokoh di balik beredarnya toto gelap (togel) dan KIM, dua varian kupon judi tebak angka yang beromzet miliaran rupiah sekali putaran.
‘'Memang, semua orang menyebut begitu. Tapi, tak ada satu pun yang bisa membuktikan,'' ujar Ajib Shah, salah seorang tokoh pemuda yang pernah menjabat ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Pemuda Pancasila (PP) Sumut, dalam sebuah wawancara dengan koran ini pada akhir pekan lalu. Maksudnya, belum tentu semua yang dikatakan orang itu benar adanya. Sering juga namanya dipakai para pengelola mesin judi ketangkasan sebagai tameng.
Ajib justru memandang positif Olo Panggabean. ‘'Terlepas orang lain mengecap Olo Panggabean seperti apa, saya pribadi memandang dia itu sebagai tokoh yang punya kepedulian sosial yang sangat tinggi. Siapa pun yang butuh bantuan akan dia bantu. Tanpa memandang suku, agama, maupun golongan,'' ungkapnya.
Ucapan Ajib bukan tak berdasar. Hingga sekarang, polisi pun tak bisa berbuat banyak untuk membuktikan bahwa Olo adalah bos judi. Polda Sumut, saat dipimpin Brigjen Pol Drs Sutiyono, bahkan pernah mengeluarkan surat bernomor Pol B/193/I/2000 tertanggal 27 Januari 2000 yang berisi peringatan keras kepada IPK. Lewat surat itu, Sutiyono mengingatkan agar IPK segera menghentikan usaha judinya.
Surat tersebut sebenarnya merupakan balasan surat yang sebelumnya diajukan ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IPK Kota Medan yang saat itu dijabat Moses Bungaran Tambunan. Dalam suratnya tersebut, Bungaran meminta klarifikasi dari Kapoldasu soal peristiwa pemberondongan ‘'Gedung Putih'' -kediaman Olo Panggabean di Jalan Sekip, Medan Barat- oleh puluhan anggota Brigade Mobil. Pemberondongan itu terjadi pada akhir 1999.
Melalui surat balasannya itu, Sutiyono secara fair mengakui bahwa pemberondongan ‘'Gedung Putih'' tersebut merupakan pelanggaran hukum. Namun, melalui surat itu pula, dia berkesempatan mengeluarkan peringatan keras kepada DPD IPK Kota Medan untuk menutup usaha judinya. Selain itu, DPD IPK diingatkan untuk tidak membiarkan anggotanya melakukan praktik-praktik premanisme. Misalnya, mengancam jiwa orang lain atau bertindak kekerasan.
Tapi, sekali lagi, polisi tetap tidak bisa membuktikan bahwa Olo Panggabean dan IPK-nya telah mengelola usaha perjudian. Surat peringatan yang juga ditembuskan ke seluruh organisasi kepemudaan di Sumut tersebut berlalu bagai angin. Tanpa bekas. Sejumlah kalangan menyebut surat peringatan itu hanya sebuah sensasional.
Moses Bungaran kala itu sempat menantang Poldasu untuk membuktikan tuduhannya. ‘'Keterkaitan antara IPK dan perjudian tersebut tidak benar. Kalau dikatakan demikian, apa bisa dibuktikan?'' tegasnya saat itu yang sempat dikutip sebuah harian terbitan Medan.
Nah, pada upaya pemberantasan judi kali ini, aparat Polda Sumut tak lagi menyinggung-nyinggung Olo Panggabean maupun IPK. Bahkan, kantong-kantong IPK yang selama ini diduga sebagai pusat pengelolaan judi tak disentuh sama sekali.
Keberadaan judi di Medan memang mirip ‘'dunia lain''. Bisa dirasakan tapi tidak bisa dilihat. (ade)
Prolog: Ada yang mengatakan bahwa Olo yang terkenal di Medan itu adalah Tionghoa Pribumi yang membeli marga Panggabean... Benar atau tidak.. paling tidak Pamor Olo di Medan setara dengan Gubernur Sumut.
Sekelumit tentang Olo Panggabean
Rabu, 20 Juli 2005 (riaupos.com)
Si Pak Katua, Keberadaannya Terasa tapi Tak TerabaOlo Panggabean, pendiri Ikatan Pemuda Karya (IPK), sering dianggap sebagai penguasa judi di Medan. Siapa sebenarnya sosok Olo yang kadang terkesan dermawan - mendanai operasi kembar siam Anggi-Anjeli - dan dekat dengan para pejabat ini? Laporan ROBBY EFFENDI, Medan
Terasa, tapi tidak teraba. Itulah kesan wartawan mengenai keberadaan sosok Olo Panggabean yang dulu dikenal sebagai ‘'raja judi" di Medan. Namanya begitu terkenal, tapi sosoknya begitu misterius. Tokoh yang disegani di kalangan ‘'jagoan'' Medan ini mempunyai pengawalan berlapis. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya, apakah di Medan atau di suatu tempat.
Maka, sangat mengejutkan ketika Senin lalu Olo muncul untuk menyambut kedatangan bayi kembar siam Angi-Anjeli yang baru sukses menjalani operasi pemisahan di Singapura. Padahal, beberapa hari sebelumnya, tersiar kabar dia berada di Yerusalem. Beberapa wartawan yang ingin mewawancarainya terkait dengan langkah Kapolri Sutanto memberantas judi juga mendapat kabar bahwa Olo sedang berada di Singapura.
Pemunculannya di Bandara Polonia Medan, Senin lalu tentu tidak disia-siakan wartawan. Namun, saat akan diwawancarai sejumlah wartawan, para pengawal Olo yang tegap langsung membentuk pagar betis. Wartawan pun meneriakkan beberapa pertanyaan dari jarak yang agak jauh. Namun, Olo tak mau menjawabnya dengan satu kata pun.
Kemarin, kejutan kedua terjadi lagi. Tokoh legendaris itu juga hadir saat pelantikan Wali Kota Medan H Abdillah-Ramli. Dia muncul ketika acara sedang berlangsung. Tiba di tempat acara, Olo langsung duduk di kursi kosong di samping Pangdam I/BB Mayjen Tri Tamtomo.
Pemunculan Olo di depan publik itu sontak mendapat perhatian. Baik dari para undangan maupun wartawan. Tak heran, jika kilatan lampu kamera langsung tak henti-henti mengarah kepadanya. Apalagi dia langsung duduk di barisan Muspida, bersebelahan dengan Pangdam dan Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunthe. Olo tak lama menghadiri acara pelantikan Abdillah-Ramli itu. Sebab, saat dia tiba, acara memang sudah lama berlangsung. Maka, begitu selesai acara memberikan ucapan selamat kepada wali kota baru, Olo keluar ruang rapat paripurna DPRD Medan dengan pengawalan ketat. Enam pria berbadan tegap yang selalu berada di dekatnya terus menempel ke mana pun tokoh pemuda berumur 61 tahun itu pergi.
Semua yang ketat-ketat itu tak lain karena Olo memang selalu dikaitkan dengan dunia perjudian di Medan.
Dia juga dipanggil sebagai ‘'Pak Katua" karena dialah pendiri dan Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK), organisasi kepemudaan yang dirintisnya sejak 1970-an. Pak Ketua juga disebut-sebut sebagai tokoh di balik beredarnya toto gelap (togel) dan KIM, dua varian kupon judi tebak angka yang beromzet miliaran rupiah sekali putaran.
‘'Memang, semua orang menyebut begitu. Tapi, tak ada satu pun yang bisa membuktikan,'' ujar Ajib Shah, salah seorang tokoh pemuda yang pernah menjabat ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Pemuda Pancasila (PP) Sumut, dalam sebuah wawancara dengan koran ini pada akhir pekan lalu. Maksudnya, belum tentu semua yang dikatakan orang itu benar adanya. Sering juga namanya dipakai para pengelola mesin judi ketangkasan sebagai tameng.
Ajib justru memandang positif Olo Panggabean. ‘'Terlepas orang lain mengecap Olo Panggabean seperti apa, saya pribadi memandang dia itu sebagai tokoh yang punya kepedulian sosial yang sangat tinggi. Siapa pun yang butuh bantuan akan dia bantu. Tanpa memandang suku, agama, maupun golongan,'' ungkapnya.
Ucapan Ajib bukan tak berdasar. Hingga sekarang, polisi pun tak bisa berbuat banyak untuk membuktikan bahwa Olo adalah bos judi. Polda Sumut, saat dipimpin Brigjen Pol Drs Sutiyono, bahkan pernah mengeluarkan surat bernomor Pol B/193/I/2000 tertanggal 27 Januari 2000 yang berisi peringatan keras kepada IPK. Lewat surat itu, Sutiyono mengingatkan agar IPK segera menghentikan usaha judinya.
Surat tersebut sebenarnya merupakan balasan surat yang sebelumnya diajukan ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IPK Kota Medan yang saat itu dijabat Moses Bungaran Tambunan. Dalam suratnya tersebut, Bungaran meminta klarifikasi dari Kapoldasu soal peristiwa pemberondongan ‘'Gedung Putih'' -kediaman Olo Panggabean di Jalan Sekip, Medan Barat- oleh puluhan anggota Brigade Mobil. Pemberondongan itu terjadi pada akhir 1999.
Melalui surat balasannya itu, Sutiyono secara fair mengakui bahwa pemberondongan ‘'Gedung Putih'' tersebut merupakan pelanggaran hukum. Namun, melalui surat itu pula, dia berkesempatan mengeluarkan peringatan keras kepada DPD IPK Kota Medan untuk menutup usaha judinya. Selain itu, DPD IPK diingatkan untuk tidak membiarkan anggotanya melakukan praktik-praktik premanisme. Misalnya, mengancam jiwa orang lain atau bertindak kekerasan.
Tapi, sekali lagi, polisi tetap tidak bisa membuktikan bahwa Olo Panggabean dan IPK-nya telah mengelola usaha perjudian. Surat peringatan yang juga ditembuskan ke seluruh organisasi kepemudaan di Sumut tersebut berlalu bagai angin. Tanpa bekas. Sejumlah kalangan menyebut surat peringatan itu hanya sebuah sensasional.
Moses Bungaran kala itu sempat menantang Poldasu untuk membuktikan tuduhannya. ‘'Keterkaitan antara IPK dan perjudian tersebut tidak benar. Kalau dikatakan demikian, apa bisa dibuktikan?'' tegasnya saat itu yang sempat dikutip sebuah harian terbitan Medan.
Nah, pada upaya pemberantasan judi kali ini, aparat Polda Sumut tak lagi menyinggung-nyinggung Olo Panggabean maupun IPK. Bahkan, kantong-kantong IPK yang selama ini diduga sebagai pusat pengelolaan judi tak disentuh sama sekali.
Keberadaan judi di Medan memang mirip ‘'dunia lain''. Bisa dirasakan tapi tidak bisa dilihat. (ade)
Olo Panggabean, Tokoh Berwajah Banyak
Olo Panggabean, Tokoh Berwajah Banyak
Oleh : Mayjen Simanungkalit
KabarIndonesia - Tiba-tiba saja ruas Jalan Skip Petisah Medan, ditutup untuk umum pada Kamis siang 30 April 2009. Sejumlah aparat Polantas sibuk mengalihkan arus lalulintas ke jalur lain, sebab jalan yang biasanya cukup lengang disiang hari itu sudah berubah menjadi sangat macet.
Warga seketika terkejut, pengendara pun saling heran dan bertanya. Ada apa gerangan? “Katua telah meninggal,” kata seorang petugas sambil berlalu melanjutkan tugasnya mengatur lalu lintas yang makin padat di kawasan itu.
Jalan Sekip Petisah Medan, selama ini memang sudah dikenal sebagai kawasan “istimewa” di kota Medan. Siapa saja yang lewat di ruas jalan ini, biasanya akan merasa nyaman. Di kawasan itu sangat jarang terjadi perampokan, pelemparan apalagi keributan. Maklum di sana adalah rumah kediaman sang Katua, panggilan akrab Olo Panggabean yang pendiri dan Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Sang pemilik rumah yakni Olo Panggabean dimitoskan sebagai Big Bos preman, mafia kelas kakap dan sejumlah sebutan lainnya yang membuat orang “Gemetar” jika menyebut namanya. Dia tokoh disegani dan memiliki banyak anggota yang setiap saat siap menjaga kewibawaan ketua.
Rumah kediaman sang Katua itu bagi warga Medan dikenal sebagai Gedung Putih, karena rumah bertingkat itu memang dilapisi kramik dan cat berwarna putih. Gedung tersebut diyakini menjadi pusat pengendali, yang akan menentukan aman tidaknya kota Medan.
Walau dikenal sebagai pusat kendali bisnis judi dan preman di Medan, namun faktanya tidak pernah digrebek. Malah ketika judi Toto gelap (Togel) sedang marak di Sumut, gedung putih tidak pernah disentuh. Malah oknum-oknum aparat sering nampak hilir mudik, untuk keperluan yang mudah ditebak.
Memang gedung putih pernah diberondong kepolisian dari Brigade Mobil (Brimob), tepatnya pada Selasa pagi 28 Desember 1999 saat Kapoldasu dijabat Brigjen Pol Drs Sutiyono. Namun itu bukan karena kasus judi.
“Pemberondongan 'Gedung Putih' bukan perintah komando melainkan solidaritas secara korps,” kata Sutiyono waktu itu menjawab wartawan. Saat itu memang ada sedikit kesalahpahaman antara anggota OKP dengan seorang anggota Brimob berpangkat sersan. Maka ketika Olo Panggabean dikabarkan meninggal dunia pada Kamis siang, banyak orang terkejut. Bahkan informasi ini simpang siur antara benar atau tidak. Kepastian itu baru diketahui publik, setelah aparat kepolisian menutup ruas Jalan Skip tempat kediaman sang katua. Dengan ada kepastian kabar meninggalnya sang katua, maka arus lalulintas ke arah kawasan itu tidak terbendung. Warga kota Medan, seolah tumpah kesana ingin menyaksikan lebih dekat dan ingin mengetahui kabar duka itu.
Warga dari berbagai lapisan termasuk para petinggi Pemorvsu nampak datang ke rumah duka, ingin menyaksikan ketua untuk terakhir kalinya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, kabar tentang keberadaan Olo Panggabean jarang terdengar. Dia jarang nampak di ruang publik.
Tokoh Banyak Wajah
Olo Panggabean adalah tokoh legendaris yang berwajah banyak dan kadangkala sangat kontroversial. Disatu disisi orang mengenalnya sebagai tokoh yang disebut-sebut berada dibalik bisnis judi yang pernah marak di Sumut. Dia identik dengan dunia yang keras.Sedangkan disisi lain, Olo Panggabean identik dengan tokoh dermawan yang banyak membantu orang miskin.
Olo Panggabean sering dikultuskan pihak tertentu sebagai sosok preman kelas kakap, sehingga membuatnya sangat disegani. Dalam beberapa hal, dia juga tidak gampang dijumpai sembarang orang. Pengawalnya berlapis dan anggotanya siap setiap saat berkorban untuk menjaga nama baik sang katua.
Karena pengkultusan ini, pernah muncul anggapan bahwa menjadi anggota Olo Panggabean kita dapat melakukan apa saja dan memperoleh apa saja. Dengan menyebut namanya saja, orang sudah bisa makan gratis di rumah makan.
Konon dari sinilah muncul istilah preman di Medan, yakni prey atau free makan alias gratis. Saya beruntung menjadi seorang wartawan, sehingga dalam waktu-waktu tertentu dapat bebas berjabat tangan dengan sang ketua. Sebab dalam suatu acara jika dia hadir, biasanya dia sangat respek terhadap wartawan. Dia mau menegor dengan kata yang halus dan lembut.
“Apa kabar dianda,” begitu dia sering menyapa wartawan sambil mengulurkan tangan bersalaman. Namun diluar acara resmi, memang sulit bertemu beliau. Pengawalnya yang berlapis, seringkali menjadi penghalang bagi ketua untuk bertegur sapa dengan warga.
Tapi jika sudah bersalaman dengan beliau, kesan brigas sebagai ciri umum seorang preman sama sekali tidak terpancar diraut wajahnya. Malah pengamalnya yang lebih seram, ketimbang wajah ketua sendiri yang lembut dan sejuk.
Begitu pun harus diakui, famor Olo Panggabean diranah publik sangat tinggi. Dia seolah memiliki magnet, famornya boleh jadi sejajar dengan petinggi di daerah ini.
Tapi siapa Olo sesungguhnya? Dimana dia menghabiskan masa kecilnya? Sekolahnya dimana sehingga dijuluki sebagai Bos Preman? Saya pun tidak tahu persis. Soal kehidupan pribadinya memang sangat misterius.
Tidak banyak yang tahu latarbelakang kehidupannya dimasa kecil. Juga perjalanan karirnya di dunia keras, hingga mengantarkannya sebagai tokoh legendaris disegani dan sangat dekat dengan petinggi negeri ini.
Saya sudah berupaya mencari keterangan soal sejarah hidup tokoh ini. Termasuk melacak literatur biografinya, namun tidak berhasil. Orang-orang terdekatnya juga, entah kenapa tidak pernah bicara soal biografi tokoh ini. Publik hanya mengetahui secuil dari kisah hidupnya dimasa lalu.
Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Saya hanya tahu dia sebagai Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK), sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara yang dia didirikan pada tahun 1964. Soal julukan raja judi, bos preman, mafia kelas kakap yang sering melekat dengan namanya, saya sendiri tidak tahu secara rinci.
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Walau kata orang dia preman, raja judi atau mafia kelas kakap, namun dia adalah juga dermawan sejati. Betapa tidak, disaat banyak keluarga kesulitan membiayai perobatan di rumah sakit atas penyakit diderita, Olo Panggabean sering tampil menjadi penyelamat.
Dia menjadi dewa penolong yang mampu merubah kerut wajah menjadi senyum kebahagiaan. Dia hadir pada saat yang tepat, memberi air saat orang haus dan memberi makan saat orang sedang lapar. Dan itu dilakukan tanpa basa-basi dan tak tanggung-tanggung.
Saya pernah baca di media massa, ada keluarga yang anaknya disandra Rumah Sakit karena tak mampu membayar biaya persalinan. Malah tiba-tiba pihak rumah sakit memperlakukan keluarga itu sangat istimewa, karena Olo Panggabean melunasi dan menjamin semua biaya diperlukan.
Ada juga keluarga miskin yang digusur paksa oknum petugas Satpol PP, menangis pilu karena kreta sorong tempatnya berjualan dihancurkan hingga kehilangan mata pencaharian. Malah tiba-tiba memiliki kios permanen atas biaya dari Olo Panggabean.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Kembar siam ini lahir dengan organ jantung, hati dan paru-paru yang saling berdiri sendiri. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu.
Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang tereyuh dan orng tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara.
Padahal, beberapa hari sebelumnya dikabarkan dia sedang berada di Yerusalem. Kisah kedermawanan Katua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.
Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Namun setiap yang bernyawa memang harus mengalami kematian, begitu juga Olo Panggabean yang seharusnya akan merayakan ulang tahunnya ke 68 pada 24 Mei 2009 nanti.
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Banyak yang cinta dan sayang kepada beliau, namun Tuhan ternyata lebih mencintainya. Selamat Jalan Katua.(*)
Oleh : Mayjen Simanungkalit
KabarIndonesia - Tiba-tiba saja ruas Jalan Skip Petisah Medan, ditutup untuk umum pada Kamis siang 30 April 2009. Sejumlah aparat Polantas sibuk mengalihkan arus lalulintas ke jalur lain, sebab jalan yang biasanya cukup lengang disiang hari itu sudah berubah menjadi sangat macet.
Warga seketika terkejut, pengendara pun saling heran dan bertanya. Ada apa gerangan? “Katua telah meninggal,” kata seorang petugas sambil berlalu melanjutkan tugasnya mengatur lalu lintas yang makin padat di kawasan itu.
Jalan Sekip Petisah Medan, selama ini memang sudah dikenal sebagai kawasan “istimewa” di kota Medan. Siapa saja yang lewat di ruas jalan ini, biasanya akan merasa nyaman. Di kawasan itu sangat jarang terjadi perampokan, pelemparan apalagi keributan. Maklum di sana adalah rumah kediaman sang Katua, panggilan akrab Olo Panggabean yang pendiri dan Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Sang pemilik rumah yakni Olo Panggabean dimitoskan sebagai Big Bos preman, mafia kelas kakap dan sejumlah sebutan lainnya yang membuat orang “Gemetar” jika menyebut namanya. Dia tokoh disegani dan memiliki banyak anggota yang setiap saat siap menjaga kewibawaan ketua.
Rumah kediaman sang Katua itu bagi warga Medan dikenal sebagai Gedung Putih, karena rumah bertingkat itu memang dilapisi kramik dan cat berwarna putih. Gedung tersebut diyakini menjadi pusat pengendali, yang akan menentukan aman tidaknya kota Medan.
Walau dikenal sebagai pusat kendali bisnis judi dan preman di Medan, namun faktanya tidak pernah digrebek. Malah ketika judi Toto gelap (Togel) sedang marak di Sumut, gedung putih tidak pernah disentuh. Malah oknum-oknum aparat sering nampak hilir mudik, untuk keperluan yang mudah ditebak.
Memang gedung putih pernah diberondong kepolisian dari Brigade Mobil (Brimob), tepatnya pada Selasa pagi 28 Desember 1999 saat Kapoldasu dijabat Brigjen Pol Drs Sutiyono. Namun itu bukan karena kasus judi.
“Pemberondongan 'Gedung Putih' bukan perintah komando melainkan solidaritas secara korps,” kata Sutiyono waktu itu menjawab wartawan. Saat itu memang ada sedikit kesalahpahaman antara anggota OKP dengan seorang anggota Brimob berpangkat sersan. Maka ketika Olo Panggabean dikabarkan meninggal dunia pada Kamis siang, banyak orang terkejut. Bahkan informasi ini simpang siur antara benar atau tidak. Kepastian itu baru diketahui publik, setelah aparat kepolisian menutup ruas Jalan Skip tempat kediaman sang katua. Dengan ada kepastian kabar meninggalnya sang katua, maka arus lalulintas ke arah kawasan itu tidak terbendung. Warga kota Medan, seolah tumpah kesana ingin menyaksikan lebih dekat dan ingin mengetahui kabar duka itu.
Warga dari berbagai lapisan termasuk para petinggi Pemorvsu nampak datang ke rumah duka, ingin menyaksikan ketua untuk terakhir kalinya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, kabar tentang keberadaan Olo Panggabean jarang terdengar. Dia jarang nampak di ruang publik.
Tokoh Banyak Wajah
Olo Panggabean adalah tokoh legendaris yang berwajah banyak dan kadangkala sangat kontroversial. Disatu disisi orang mengenalnya sebagai tokoh yang disebut-sebut berada dibalik bisnis judi yang pernah marak di Sumut. Dia identik dengan dunia yang keras.Sedangkan disisi lain, Olo Panggabean identik dengan tokoh dermawan yang banyak membantu orang miskin.
Olo Panggabean sering dikultuskan pihak tertentu sebagai sosok preman kelas kakap, sehingga membuatnya sangat disegani. Dalam beberapa hal, dia juga tidak gampang dijumpai sembarang orang. Pengawalnya berlapis dan anggotanya siap setiap saat berkorban untuk menjaga nama baik sang katua.
Karena pengkultusan ini, pernah muncul anggapan bahwa menjadi anggota Olo Panggabean kita dapat melakukan apa saja dan memperoleh apa saja. Dengan menyebut namanya saja, orang sudah bisa makan gratis di rumah makan.
Konon dari sinilah muncul istilah preman di Medan, yakni prey atau free makan alias gratis. Saya beruntung menjadi seorang wartawan, sehingga dalam waktu-waktu tertentu dapat bebas berjabat tangan dengan sang ketua. Sebab dalam suatu acara jika dia hadir, biasanya dia sangat respek terhadap wartawan. Dia mau menegor dengan kata yang halus dan lembut.
“Apa kabar dianda,” begitu dia sering menyapa wartawan sambil mengulurkan tangan bersalaman. Namun diluar acara resmi, memang sulit bertemu beliau. Pengawalnya yang berlapis, seringkali menjadi penghalang bagi ketua untuk bertegur sapa dengan warga.
Tapi jika sudah bersalaman dengan beliau, kesan brigas sebagai ciri umum seorang preman sama sekali tidak terpancar diraut wajahnya. Malah pengamalnya yang lebih seram, ketimbang wajah ketua sendiri yang lembut dan sejuk.
Begitu pun harus diakui, famor Olo Panggabean diranah publik sangat tinggi. Dia seolah memiliki magnet, famornya boleh jadi sejajar dengan petinggi di daerah ini.
Tapi siapa Olo sesungguhnya? Dimana dia menghabiskan masa kecilnya? Sekolahnya dimana sehingga dijuluki sebagai Bos Preman? Saya pun tidak tahu persis. Soal kehidupan pribadinya memang sangat misterius.
Tidak banyak yang tahu latarbelakang kehidupannya dimasa kecil. Juga perjalanan karirnya di dunia keras, hingga mengantarkannya sebagai tokoh legendaris disegani dan sangat dekat dengan petinggi negeri ini.
Saya sudah berupaya mencari keterangan soal sejarah hidup tokoh ini. Termasuk melacak literatur biografinya, namun tidak berhasil. Orang-orang terdekatnya juga, entah kenapa tidak pernah bicara soal biografi tokoh ini. Publik hanya mengetahui secuil dari kisah hidupnya dimasa lalu.
Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Saya hanya tahu dia sebagai Ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK), sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara yang dia didirikan pada tahun 1964. Soal julukan raja judi, bos preman, mafia kelas kakap yang sering melekat dengan namanya, saya sendiri tidak tahu secara rinci.
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Walau kata orang dia preman, raja judi atau mafia kelas kakap, namun dia adalah juga dermawan sejati. Betapa tidak, disaat banyak keluarga kesulitan membiayai perobatan di rumah sakit atas penyakit diderita, Olo Panggabean sering tampil menjadi penyelamat.
Dia menjadi dewa penolong yang mampu merubah kerut wajah menjadi senyum kebahagiaan. Dia hadir pada saat yang tepat, memberi air saat orang haus dan memberi makan saat orang sedang lapar. Dan itu dilakukan tanpa basa-basi dan tak tanggung-tanggung.
Saya pernah baca di media massa, ada keluarga yang anaknya disandra Rumah Sakit karena tak mampu membayar biaya persalinan. Malah tiba-tiba pihak rumah sakit memperlakukan keluarga itu sangat istimewa, karena Olo Panggabean melunasi dan menjamin semua biaya diperlukan.
Ada juga keluarga miskin yang digusur paksa oknum petugas Satpol PP, menangis pilu karena kreta sorong tempatnya berjualan dihancurkan hingga kehilangan mata pencaharian. Malah tiba-tiba memiliki kios permanen atas biaya dari Olo Panggabean.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Kembar siam ini lahir dengan organ jantung, hati dan paru-paru yang saling berdiri sendiri. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu.
Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang tereyuh dan orng tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara.
Padahal, beberapa hari sebelumnya dikabarkan dia sedang berada di Yerusalem. Kisah kedermawanan Katua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.
Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Namun setiap yang bernyawa memang harus mengalami kematian, begitu juga Olo Panggabean yang seharusnya akan merayakan ulang tahunnya ke 68 pada 24 Mei 2009 nanti.
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Banyak yang cinta dan sayang kepada beliau, namun Tuhan ternyata lebih mencintainya. Selamat Jalan Katua.(*)
PREMAN PREMAN JAKARTA
JOHN KEI
John Refra alias John Kei mempunyai adik bernama Fransiscus Refra alias Tito, yang diidentifikasi oleh kepolisian sebagai gembong preman Jakarta
yang melakukan penganiayaan terhadap Jemi Refra (24) dan Charles Refra (22). Ia diduga memotong jari tangan kanan korban hingga Jefri
kehilangan empat jari dan Charles kehilangan tiga jarinya.
HERKULES
Hercules Rosario de Marshal alias Herkules adalah putra kelahiran Timor Leste(TL). dia mempunyai catatan kriminal yg cukup banyak dan
sempat disebut sebagai raja preman di Jakarta
Preman Pencabut Nyawa...
[ Jum'at, 13 Februari 2009 ]
Jaksa Tuntut John Key 3,5 Tahun
SURABAYA - Sidang kasus penganiayaan berat dengan terdakwa John Refra alias John Key cs di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya
kemarin berlangsung panas. Menjelang sidang berakhir, empat terdakwa -John Key, Fransiscus Refra (Tito), Pedrow Tanlain (Edo),
dan Antonius Tanlain (Toni)- mengumpat jaksa dan polisi yang bertugas di ruang sidang.
Sidang kemarin mengagendakan pembacaan tuntutan. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut John Key cs dengan hukuman tiga tahun
dan enam bulan penjara.
John Key cs dijerat dakwaan primer pasal 170 (1) dan (2) KUHP. Berdasar ayat (2) ke-2, tuntutan jaksa sejatinya lebih ringan daripada
ancaman paling lama pidana sembilan tahun penjara. Jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Saat lima JPU membacakan tuntutan secara bergantian, suasana sidang di Ruang Cakra tampak khidmat. Namun, ketika majelis hakim
yang diketuai Jack Oktavianus bertanya kepada para terdakwa tentang materi tuntutan, suasana langsung berubah menjadi panas.
''Bagaimana terdakwa, apa kalian mengerti tuntutan jaksa?'' tanya Jack.
Mendapat kesempatan berbicara, John Key dan Tito spontan berdiri dari kursi pesakitan. Kakak-beradik itu berjalan mendekati meja tempat
para jaksa duduk. Mereka adalah Ketua Tim JPU Dahlan Syarbini (Kejati Jatim), Agus Rujito, Beny Hermanto, Hari Soetopo, dan Setyo Pranoto
(dari Kejari Surabaya).
''Tuntutan itu kepentingan siapa? Ini kasus di Ambon.
Mana jaksa Ambon? Jaksa anjing, ****, badut,'' caci John Key yang diikuti Edo dan Toni. Tak mau kalah, Tito yang juga berprofesi sebagai pengacara menghardik petugas kepolisian yang membentuk barikade untuk mengamankan jaksa. ''Polisi mau ngapain? Kalian tidak perlu masuk sini,'' teriak Tito yang terlihat berusaha mendekati jaksa.
Melihat emosi terdakwa meledak-ledak, jaksa malah tersenyum. Mengetahui Dahlan tertawa, emosi John memuncak.
''Jangan tertawa kau. Kucabut nyawamu dalam 20 hari,'' ancamnya. Tak ingin keributan makin menjadi, Tofik Yanuar Chandra, pengacara terdakwa, merangkul John Key dan meminta kliennya duduk kembali.
Setelah situasi reda, giliran Tofik menyatakan tanggapannya yang bernada kritik. ''Kalau jaksa butuh waktu 1,5 bulan untuk menyusun tuntutan, kami minta waktu tiga hari saja untuk membuat pembelaan,'' ucap Tofik. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan Senin (16/2) dengan agenda pleidoi.
Terkait tidak terlihatnya jaksa dari Kejati Maluku, Dahlan mengatakan tidak tahu. ''Saya hanya ditugasi membacakan berkas tuntutan,'' ucapnya. Kejati Jatim menugaskan 14 jaksa gabungan Kejati Maluku, Kejati Jatim, dan Kejari Surabaya untuk mengawal perkara itu selama di persidangan.
Di luar ruang sidang terlihat belasan pendukung John Key tersebar di sejumlah gedung PN. Mereka mengenakan kaus hitam bertulisan Maluku di bagian dada dan Simpatisan John Key di bagian punggung.(sep/nw)
http://jawapos.com/
Preman John Key Bantah Potong Jari Korban
Senin, 15 Desember 2008 | 18:46 WIB
TEMPO Interaktif, Surabaya:
Jemry Refra dan Charles Refra, dua saksi korban yang dipotong jari tangan kanannya olehJohn Refra alias John Key Cs
pada 19 Juli lalumemberikan keterangan tentang kesadisan pamannya di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (15/12).
Kepada majelis hakim yang diketuai Jack J. Octavianus, Jemry mengaku empat jarinya ditebas oleh Antonius Tanlain alias Toni,
adapun Charles menyatakan pemotong keempat jarinya adalah Fransiscus Refra alias Tito.
Keduanya sama-sama mengaku bahwa jari-jari mereka ditebas di atas telenan yang diletakkan di meja batu. Jemry dan Charles
bersaksi bahwa mereka bersedia dengan sukarela meletakkan telapak tangannya di atas telenan itu karena mengira
hanya satu jarinya yang akan dipotong.
Pemotongan jari itu dilakukan setelah kedua saksi korban dijemput John Key, Tito Refra, Antonius Tanlain dan Pedro Tanlain
di rumahnya masing-masing di Tual. Keduanya lalu dibawa ke rumah Tito Refra di Desa Tuntiean, Kecamatan Kei Besar Selatan,
Kabupaten Tual, Maluku Tenggara. John marah karena Jemry dan Charles memaki-maki ibunya, Maria Refra yang juga nenek korban.
Namun kesaksian Jemry dan Charles dibantah John. Menurutnya, baik Jemry maupun Charles suka berbohong.
"Mereka itu pembohong, saya tidak terlibat dalam masalah ini," kata John. John juga heran kasus keluarga itu sampai harus
disidangkan di Surabaya. "Masalah begini saja dibawa ke sini (Surabaya), apakah Kapolda Maluku sudah tidak mampu," kata John.
Kuasa hukum terdakwa, Taufik Yanuar Chandra menambahkan, terpotongnya jari Jemry dan Charles bukan karena disengaja.
Menurut Taufik, saat itu keduanya dikeroyok oleh teman-teman terdakwa. "Lalu jarinya tertebas," kata Taufik.
Sidang kedua itu masih dijaga ketat oleh polisi. Sebanyak 300 personel gabungan dari Polwiltabes Surabaya, Polres Surabaya Selatan dikerahkan.
Jumlah tersebut tinggal separuh dari pengamanan sidang pertama yang melibatkan 600 personel kepolisian.
Akhir Petualangan "Pendekar" Pulau Haruku (Basri Sangaji)
22/10/2004 06:32
Liputan6.com, Jakarta:
Subuh hampir menjelang di Hotel Kebayoran Inn di Jalan Senayan Nomor 87, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan silam.
Bersamaan dengan semilir angin malam yang masih terasa, belasan pemuda merangsek ke hotel bertarif Rp 200 ribu
hingga Rp 1 juta sehari itu. Tanpa bisa dicegah, mereka yang bermuka bengis itu langsung menuju kamar 301.
Basri Sangaji yang dicari. Kejadian berlangsung cepat, tak lebih dari 15 menit. Gaduh sebentar, sekelompok pemuda itu
yang berwajah bengis dan dingin itu kemudian keluar. Tak ada yang berani mendekat. Sampai di parkiran, mereka sempat
merusak kendaraan Basri. Setelah puas, mereka pun raib bak ditelan kabut subuh.
Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi. Mereka bergegas menuju kamar 301.
Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada.
Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30 tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan darah.
Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi
tangan kanannya yang sudah tak berjari.
Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri disemayamkan di rumah keluarganya
di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat
dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.
Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
Keheningan malam pun pecah ketika jenazah Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni.
Malam itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut jenazah Basri dengan kesedihan mendalam.
Kematian putra pertama dari pahlawan nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku berduka.
Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi panas. Kabar burung pun merebak.
Entah siapa yang mengembuskan, anak buah Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas dendam.
Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung
memimpin pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura hingga ke kampung halamannya
Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah
yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999 itu juga diawali bentrokan
antarpemuda . Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka dibekali dengan senapan.
Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina.
"Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina.
Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka. Mathius juga menetapkan bhw kasus pembunuhan Basri, murni kriminal. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.
Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan malam. Di mata Ketua Umum Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, almarhum adalah anak nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran Islam kepada Rizieq.
Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya
Nomor 3, Pela Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam.
Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan 2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi keterlibatan Basri di Ketapang dibantah oleh Habib Rizieq.
Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya. John Key mengakui delapan tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.
Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah memisahkan persahabatan mereka.
Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk,
Jakarta Barat pada 2002 .
Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali, hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, malam tadi.
Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik. Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.
Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan "pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan Basri belum menemui titik terang.
Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan milimeter.
Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari ancaman preman lain. Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata Adrianus.
Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)
DENDAM LIMA TAHUN, BASRI SANGAJI DIBANTAI
POSKOTA 15 Oktober 2004- SEMANGGI
Hanya dalam tempo dua hari, Reserse Umum Polda Metro Jaya berhasil mengungkap kasus pembunuhan tokoh pemuda Ambon, Basri Sangaji di Hotel Kebayoran In, Jakarta Selatan, Kamis pagi. Delapan tersangka pelaku yang terlibat langsung dalam kasus pembantaian tersebut disergap petugas di rumah kontrakan daerah Bekasi Timur, Bekasi.
Mereka yang ditangkap Louis,30, Syam,30, Eman,32, Rosyid,28, Koko,33, Yopy,32, Erwin,30 dan Rois,26, Polisi berhasil meringlus komplotan pembunuh sadis in berkat informasi yang dilaporkan para saksi ke petugas penyidik.
Dari hasil pemeriksaan awal yang dilakukan petugas Polda Metro Jaya terhadap para tersangka terungkap bahwa mereka membunuh Basri Sangaji,36, karena dendam lama. Pasalnya, lima tahun lalu abang tersangka Louis dibunuh oleh kelompok Basri Sangaji di daerah Kayu Manis, Jakarta Timur.
"Tapi ini hanya pengakuan awal. Kami masih terus mengusut latar belakang kasus ini,"kata seorang petugas yang menangani peristiwa ini. Petugas Reserse Umum Polda Metro Jaya yang menangani kasus pembunuhan ini telah menyita sepucuk senjata api kaliber 32 berpeluru karet. Senjata api itu tercatat secara resmi milik Basri Sangaji. Selain itu, polisi juga menyita sebuah samurai, empat buah golok, satu mobil Panther milik pelaku, dan satu selongsong peluru kaliber 9mm. Senjata tajam yang disita itu masih bernoda darah.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Mathius Salempang menjelaskan penangkapan terhadap para tersangka pembunuh itu berkat kerja keras petugas selama dua hari setelah kematian Basri. "keterangan saksi di lokasi kejadian sangat membantu kami dalam mengungkap kasus ini." tegas Salempang didampingi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Tijiptono dan Kasat Reserse Umum AKBP Maruli Simanjuntak.
Kamis pagi sekitar pukul 08:00 duapuluh petugas bersenjata lengkap menerobos masuk ke rumah kontrakan ini. Tanpa perlawanan, delapan tersangka pembunuh Basri dan melukai dua adiknya Jamal Sangaji dan Ali Sangaji berhasil ditangkap. "Semua tersangka mengakui bahwa merekalah yang membunuh Basri Sangaji," tegas Mathius.
@ 1999-2004 Poskota Online
---
TOKOH PEMUDA TEWAS DITEMBAK TANGAN PUTUS DIBACOK
Dua adiknya diclurit dan didor
POSKOTA 13 Oktober 2004- KEBAYORAN BARU
Tokoh Pemuda Ambon Basri Sangaji tewas ditembak di kamar hotel Kebayoran, Jalan Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (12/10) dinihari. Dua adiknya yang berniat menolong tak lepas dari sasaran. Mereka menderita luka bacok dan luka tembak. Pelaku pembantaian yang diperkirakan berjumlah 15 orang itu kabur pakai empat mobil, diantaranya Toyota Kijang dan Isuzu Panther.
Basri Sangaji,36, menemui ajal dengan luka tembak di dada. Selain itu pelaku juga membacok tangan kiri sebatas pergelangan korban hingga putus. Bahkan kedua kaki Basri juga dibacok pelaku, sedangkan kedua adiknya Jamal Sangaji, dibacok di lengan kiri sehingga nyaris putus dan Ali Sangaji menderita luka tembak di kemaluannya. Kedua adik tokoh pemuda Ambon ini dirawat di RS MMC Kuningan, Setiabudi, JakSel.
Dari Petugas Polda Metro Jaya yang menangani kasus pembantaian ini Pos Kota mendapat keterangan, peristiwa yang merenggut nyawa Basri Sangaji ini terjadi sekitar pk.03:00 dinihari Basri tidur satu kamar dengan kedua adiknya, Jamal dan Ali.
Sebelumnya secara mendadak masuk empat mobil ke halaman hotel tersebut. Sementara yang lain memarkir kendaraan, 10 lainnya masuk ke hotel. Sambil berlari, mereka naik ke lantai tiga tempat Basri menginap. Dengan kasarnya, pelaku mendobrak pintu kamar 301 yang dihuni Basri dan dua adiknya itu. Begitu pintu kamar hotel terbuka, para tamu tak diundang itu langsung menyerang Sangaji bersaudara pakai kelewang. Dalam posisi terjepit, Basri sempat melawan, sehingga tangan kiri Basri putus.
Selanjutnya, seorang pelaku korban roboh. Sedangkan Jamal, yang berusaha menolong lengan kirinya nyaris putus dibacok. Begitu juga dengan Ali. Pemuda ini tak lepas dari amukan pelaku, Ali tersungkur di lantai karena dekat kemaluannya ditembak.
Setelah menyerang Basri dan kedua adiknya, para pelaku yang datang menenteng kelewang dan clurit ini langsung melarikan diri meninggalkan korbannya yang merintih kesakitan di kamar hotel tersebut, Basri dilarikan ke RS MMC Kuningan, Namun nasib menentukan lain, Basri yang dikenal ramah dan dekat dengan sejumlah tokoh masyarakat serta kalangan preman ini menemui ajalnya.
@ 1999-2004 Poskota Online
Penahanan Basri Sangaji Ditangguhkan
Rabu, 22 Mei 2002 | 11:05 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Tim Penyidik Polda Metro Jaya menangguhkan penahanan tersangka Basri Sangaji, pentolan kelompok preman yang berselisih dengan Hercules, Rabu (22/5). Penangguhan Sangaji ditangguhkan karena pemeriksaan terhadap preman asal Ambon ini telah usai.
Meski begitu, kata Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, AKBP Raja Erizman, Basri diwajibkan melapor tiap Senin dan Kamis.
Didampingi adik kandungnya, Ongen Sangaji, Basri meninggalkan Polda Metro Jaya menaiki Toyota Land Cruiser B 8632 GH diiringi mobil lain yang dipenuhi pendukungnya.
Sangaji menjadi tersangka kasus pengancaman dan penyekapan terhadap ibu dan istri Paulus Rahmat Krisna pada 6 Mei silam agar membayar utang. Menurut Erizman, tidak ada pengamanan khusus terhadap Basri dari kemungkinan ancaman dari Hercules. “Kami mengabulkan penangguhan penahanan karena sudah ada jaminan, Basri tidak berbuat ulah di luar,” kata Erizman.
Sangkaan lain terhadap Sangaji adalah kepemilikan senjata api dan penembakan terhadap Samsi Tuasah. Namun, penyidik masih menyidik dua sangkaan ini lebih lanjut dan belum menemukan bukti-bukti kuat. “Kedua belah pihak (Hercules dan Basri, red.) terbuka kemungkinan yang menembak Basri,” kata Erizman.
Basri datang ke Mapolda pada Jumat pekan lalu setelah dilaporkan oleh Hercules atas tuduhan mengancam, menyekap dan menembak Samsi Tuasah. Perselisihan dua kelompok preman itu berawal dari persoalan utang piutang dari Temi kepada Paul sebesar US$ 70000. Temi memberi surat kuasa kepada Basri untuk menagih utang kepada Paul.
Basri dan Paul sepakat utang akan dibayar sebesar US$ 40000. Utang akan dibayar dengan sebidang tanah seharga Rp 300 juta dan uang US$ 10000. Namun sebelum uang tersebut diberikan kepada Basri, Temi dan Paul bertemu dan meminta Paul untuk memberikan uang langsung kepadanya.
Akibanya, Basri marah dan menandatangani rumah Paul di Kemang IV No 89, Jakarta Selatan. Namun, Paul tidak berada di rumah dan Basri mengancam dan menyekap ibu dan istri Paul.
Malam itu juga, Basri meminta Paul datang ke rumahnya. Paul pun memenuhi permintaan Basri, namun ditemani oleh Hercules dengan membawa surat pembatalan kuasa tagihan utang dari Temi. Pembatalan surat kuasa tersebut menyebabkan muncul perselisihan antara Hercules dengan Basri. Hercules kemudian meminta penyelesaian perkara perdata tersebut di Polres Jakarta Selatan. Namun, dalam perjalanan menuju Polres, kedua kelompok yang masing-masing beranggotakan 40 orang itu bentrok dan mengakibatkan Samsi meninggal karena luka tembak di paha dan dada. (Bagja Hidayat)
John Refra alias John Kei mempunyai adik bernama Fransiscus Refra alias Tito, yang diidentifikasi oleh kepolisian sebagai gembong preman Jakarta
yang melakukan penganiayaan terhadap Jemi Refra (24) dan Charles Refra (22). Ia diduga memotong jari tangan kanan korban hingga Jefri
kehilangan empat jari dan Charles kehilangan tiga jarinya.
HERKULES
Hercules Rosario de Marshal alias Herkules adalah putra kelahiran Timor Leste(TL). dia mempunyai catatan kriminal yg cukup banyak dan
sempat disebut sebagai raja preman di Jakarta
Preman Pencabut Nyawa...
[ Jum'at, 13 Februari 2009 ]
Jaksa Tuntut John Key 3,5 Tahun
SURABAYA - Sidang kasus penganiayaan berat dengan terdakwa John Refra alias John Key cs di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya
kemarin berlangsung panas. Menjelang sidang berakhir, empat terdakwa -John Key, Fransiscus Refra (Tito), Pedrow Tanlain (Edo),
dan Antonius Tanlain (Toni)- mengumpat jaksa dan polisi yang bertugas di ruang sidang.
Sidang kemarin mengagendakan pembacaan tuntutan. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut John Key cs dengan hukuman tiga tahun
dan enam bulan penjara.
John Key cs dijerat dakwaan primer pasal 170 (1) dan (2) KUHP. Berdasar ayat (2) ke-2, tuntutan jaksa sejatinya lebih ringan daripada
ancaman paling lama pidana sembilan tahun penjara. Jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Saat lima JPU membacakan tuntutan secara bergantian, suasana sidang di Ruang Cakra tampak khidmat. Namun, ketika majelis hakim
yang diketuai Jack Oktavianus bertanya kepada para terdakwa tentang materi tuntutan, suasana langsung berubah menjadi panas.
''Bagaimana terdakwa, apa kalian mengerti tuntutan jaksa?'' tanya Jack.
Mendapat kesempatan berbicara, John Key dan Tito spontan berdiri dari kursi pesakitan. Kakak-beradik itu berjalan mendekati meja tempat
para jaksa duduk. Mereka adalah Ketua Tim JPU Dahlan Syarbini (Kejati Jatim), Agus Rujito, Beny Hermanto, Hari Soetopo, dan Setyo Pranoto
(dari Kejari Surabaya).
''Tuntutan itu kepentingan siapa? Ini kasus di Ambon.
Mana jaksa Ambon? Jaksa anjing, ****, badut,'' caci John Key yang diikuti Edo dan Toni. Tak mau kalah, Tito yang juga berprofesi sebagai pengacara menghardik petugas kepolisian yang membentuk barikade untuk mengamankan jaksa. ''Polisi mau ngapain? Kalian tidak perlu masuk sini,'' teriak Tito yang terlihat berusaha mendekati jaksa.
Melihat emosi terdakwa meledak-ledak, jaksa malah tersenyum. Mengetahui Dahlan tertawa, emosi John memuncak.
''Jangan tertawa kau. Kucabut nyawamu dalam 20 hari,'' ancamnya. Tak ingin keributan makin menjadi, Tofik Yanuar Chandra, pengacara terdakwa, merangkul John Key dan meminta kliennya duduk kembali.
Setelah situasi reda, giliran Tofik menyatakan tanggapannya yang bernada kritik. ''Kalau jaksa butuh waktu 1,5 bulan untuk menyusun tuntutan, kami minta waktu tiga hari saja untuk membuat pembelaan,'' ucap Tofik. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan Senin (16/2) dengan agenda pleidoi.
Terkait tidak terlihatnya jaksa dari Kejati Maluku, Dahlan mengatakan tidak tahu. ''Saya hanya ditugasi membacakan berkas tuntutan,'' ucapnya. Kejati Jatim menugaskan 14 jaksa gabungan Kejati Maluku, Kejati Jatim, dan Kejari Surabaya untuk mengawal perkara itu selama di persidangan.
Di luar ruang sidang terlihat belasan pendukung John Key tersebar di sejumlah gedung PN. Mereka mengenakan kaus hitam bertulisan Maluku di bagian dada dan Simpatisan John Key di bagian punggung.(sep/nw)
http://jawapos.com/
Preman John Key Bantah Potong Jari Korban
Senin, 15 Desember 2008 | 18:46 WIB
TEMPO Interaktif, Surabaya:
Jemry Refra dan Charles Refra, dua saksi korban yang dipotong jari tangan kanannya olehJohn Refra alias John Key Cs
pada 19 Juli lalumemberikan keterangan tentang kesadisan pamannya di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (15/12).
Kepada majelis hakim yang diketuai Jack J. Octavianus, Jemry mengaku empat jarinya ditebas oleh Antonius Tanlain alias Toni,
adapun Charles menyatakan pemotong keempat jarinya adalah Fransiscus Refra alias Tito.
Keduanya sama-sama mengaku bahwa jari-jari mereka ditebas di atas telenan yang diletakkan di meja batu. Jemry dan Charles
bersaksi bahwa mereka bersedia dengan sukarela meletakkan telapak tangannya di atas telenan itu karena mengira
hanya satu jarinya yang akan dipotong.
Pemotongan jari itu dilakukan setelah kedua saksi korban dijemput John Key, Tito Refra, Antonius Tanlain dan Pedro Tanlain
di rumahnya masing-masing di Tual. Keduanya lalu dibawa ke rumah Tito Refra di Desa Tuntiean, Kecamatan Kei Besar Selatan,
Kabupaten Tual, Maluku Tenggara. John marah karena Jemry dan Charles memaki-maki ibunya, Maria Refra yang juga nenek korban.
Namun kesaksian Jemry dan Charles dibantah John. Menurutnya, baik Jemry maupun Charles suka berbohong.
"Mereka itu pembohong, saya tidak terlibat dalam masalah ini," kata John. John juga heran kasus keluarga itu sampai harus
disidangkan di Surabaya. "Masalah begini saja dibawa ke sini (Surabaya), apakah Kapolda Maluku sudah tidak mampu," kata John.
Kuasa hukum terdakwa, Taufik Yanuar Chandra menambahkan, terpotongnya jari Jemry dan Charles bukan karena disengaja.
Menurut Taufik, saat itu keduanya dikeroyok oleh teman-teman terdakwa. "Lalu jarinya tertebas," kata Taufik.
Sidang kedua itu masih dijaga ketat oleh polisi. Sebanyak 300 personel gabungan dari Polwiltabes Surabaya, Polres Surabaya Selatan dikerahkan.
Jumlah tersebut tinggal separuh dari pengamanan sidang pertama yang melibatkan 600 personel kepolisian.
Akhir Petualangan "Pendekar" Pulau Haruku (Basri Sangaji)
22/10/2004 06:32
Liputan6.com, Jakarta:
Subuh hampir menjelang di Hotel Kebayoran Inn di Jalan Senayan Nomor 87, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan silam.
Bersamaan dengan semilir angin malam yang masih terasa, belasan pemuda merangsek ke hotel bertarif Rp 200 ribu
hingga Rp 1 juta sehari itu. Tanpa bisa dicegah, mereka yang bermuka bengis itu langsung menuju kamar 301.
Basri Sangaji yang dicari. Kejadian berlangsung cepat, tak lebih dari 15 menit. Gaduh sebentar, sekelompok pemuda itu
yang berwajah bengis dan dingin itu kemudian keluar. Tak ada yang berani mendekat. Sampai di parkiran, mereka sempat
merusak kendaraan Basri. Setelah puas, mereka pun raib bak ditelan kabut subuh.
Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi. Mereka bergegas menuju kamar 301.
Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada.
Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30 tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan darah.
Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi
tangan kanannya yang sudah tak berjari.
Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri disemayamkan di rumah keluarganya
di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat
dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.
Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
Keheningan malam pun pecah ketika jenazah Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni.
Malam itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut jenazah Basri dengan kesedihan mendalam.
Kematian putra pertama dari pahlawan nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku berduka.
Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi panas. Kabar burung pun merebak.
Entah siapa yang mengembuskan, anak buah Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas dendam.
Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung
memimpin pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura hingga ke kampung halamannya
Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah
yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999 itu juga diawali bentrokan
antarpemuda . Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka dibekali dengan senapan.
Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina.
"Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina.
Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka. Mathius juga menetapkan bhw kasus pembunuhan Basri, murni kriminal. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.
Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan malam. Di mata Ketua Umum Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, almarhum adalah anak nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran Islam kepada Rizieq.
Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya
Nomor 3, Pela Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam.
Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan 2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi keterlibatan Basri di Ketapang dibantah oleh Habib Rizieq.
Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya. John Key mengakui delapan tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.
Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah memisahkan persahabatan mereka.
Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk,
Jakarta Barat pada 2002 .
Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali, hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, malam tadi.
Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik. Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.
Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan "pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan Basri belum menemui titik terang.
Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan milimeter.
Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari ancaman preman lain. Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata Adrianus.
Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)
DENDAM LIMA TAHUN, BASRI SANGAJI DIBANTAI
POSKOTA 15 Oktober 2004- SEMANGGI
Hanya dalam tempo dua hari, Reserse Umum Polda Metro Jaya berhasil mengungkap kasus pembunuhan tokoh pemuda Ambon, Basri Sangaji di Hotel Kebayoran In, Jakarta Selatan, Kamis pagi. Delapan tersangka pelaku yang terlibat langsung dalam kasus pembantaian tersebut disergap petugas di rumah kontrakan daerah Bekasi Timur, Bekasi.
Mereka yang ditangkap Louis,30, Syam,30, Eman,32, Rosyid,28, Koko,33, Yopy,32, Erwin,30 dan Rois,26, Polisi berhasil meringlus komplotan pembunuh sadis in berkat informasi yang dilaporkan para saksi ke petugas penyidik.
Dari hasil pemeriksaan awal yang dilakukan petugas Polda Metro Jaya terhadap para tersangka terungkap bahwa mereka membunuh Basri Sangaji,36, karena dendam lama. Pasalnya, lima tahun lalu abang tersangka Louis dibunuh oleh kelompok Basri Sangaji di daerah Kayu Manis, Jakarta Timur.
"Tapi ini hanya pengakuan awal. Kami masih terus mengusut latar belakang kasus ini,"kata seorang petugas yang menangani peristiwa ini. Petugas Reserse Umum Polda Metro Jaya yang menangani kasus pembunuhan ini telah menyita sepucuk senjata api kaliber 32 berpeluru karet. Senjata api itu tercatat secara resmi milik Basri Sangaji. Selain itu, polisi juga menyita sebuah samurai, empat buah golok, satu mobil Panther milik pelaku, dan satu selongsong peluru kaliber 9mm. Senjata tajam yang disita itu masih bernoda darah.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Mathius Salempang menjelaskan penangkapan terhadap para tersangka pembunuh itu berkat kerja keras petugas selama dua hari setelah kematian Basri. "keterangan saksi di lokasi kejadian sangat membantu kami dalam mengungkap kasus ini." tegas Salempang didampingi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Tijiptono dan Kasat Reserse Umum AKBP Maruli Simanjuntak.
Kamis pagi sekitar pukul 08:00 duapuluh petugas bersenjata lengkap menerobos masuk ke rumah kontrakan ini. Tanpa perlawanan, delapan tersangka pembunuh Basri dan melukai dua adiknya Jamal Sangaji dan Ali Sangaji berhasil ditangkap. "Semua tersangka mengakui bahwa merekalah yang membunuh Basri Sangaji," tegas Mathius.
@ 1999-2004 Poskota Online
---
TOKOH PEMUDA TEWAS DITEMBAK TANGAN PUTUS DIBACOK
Dua adiknya diclurit dan didor
POSKOTA 13 Oktober 2004- KEBAYORAN BARU
Tokoh Pemuda Ambon Basri Sangaji tewas ditembak di kamar hotel Kebayoran, Jalan Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (12/10) dinihari. Dua adiknya yang berniat menolong tak lepas dari sasaran. Mereka menderita luka bacok dan luka tembak. Pelaku pembantaian yang diperkirakan berjumlah 15 orang itu kabur pakai empat mobil, diantaranya Toyota Kijang dan Isuzu Panther.
Basri Sangaji,36, menemui ajal dengan luka tembak di dada. Selain itu pelaku juga membacok tangan kiri sebatas pergelangan korban hingga putus. Bahkan kedua kaki Basri juga dibacok pelaku, sedangkan kedua adiknya Jamal Sangaji, dibacok di lengan kiri sehingga nyaris putus dan Ali Sangaji menderita luka tembak di kemaluannya. Kedua adik tokoh pemuda Ambon ini dirawat di RS MMC Kuningan, Setiabudi, JakSel.
Dari Petugas Polda Metro Jaya yang menangani kasus pembantaian ini Pos Kota mendapat keterangan, peristiwa yang merenggut nyawa Basri Sangaji ini terjadi sekitar pk.03:00 dinihari Basri tidur satu kamar dengan kedua adiknya, Jamal dan Ali.
Sebelumnya secara mendadak masuk empat mobil ke halaman hotel tersebut. Sementara yang lain memarkir kendaraan, 10 lainnya masuk ke hotel. Sambil berlari, mereka naik ke lantai tiga tempat Basri menginap. Dengan kasarnya, pelaku mendobrak pintu kamar 301 yang dihuni Basri dan dua adiknya itu. Begitu pintu kamar hotel terbuka, para tamu tak diundang itu langsung menyerang Sangaji bersaudara pakai kelewang. Dalam posisi terjepit, Basri sempat melawan, sehingga tangan kiri Basri putus.
Selanjutnya, seorang pelaku korban roboh. Sedangkan Jamal, yang berusaha menolong lengan kirinya nyaris putus dibacok. Begitu juga dengan Ali. Pemuda ini tak lepas dari amukan pelaku, Ali tersungkur di lantai karena dekat kemaluannya ditembak.
Setelah menyerang Basri dan kedua adiknya, para pelaku yang datang menenteng kelewang dan clurit ini langsung melarikan diri meninggalkan korbannya yang merintih kesakitan di kamar hotel tersebut, Basri dilarikan ke RS MMC Kuningan, Namun nasib menentukan lain, Basri yang dikenal ramah dan dekat dengan sejumlah tokoh masyarakat serta kalangan preman ini menemui ajalnya.
@ 1999-2004 Poskota Online
Penahanan Basri Sangaji Ditangguhkan
Rabu, 22 Mei 2002 | 11:05 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Tim Penyidik Polda Metro Jaya menangguhkan penahanan tersangka Basri Sangaji, pentolan kelompok preman yang berselisih dengan Hercules, Rabu (22/5). Penangguhan Sangaji ditangguhkan karena pemeriksaan terhadap preman asal Ambon ini telah usai.
Meski begitu, kata Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, AKBP Raja Erizman, Basri diwajibkan melapor tiap Senin dan Kamis.
Didampingi adik kandungnya, Ongen Sangaji, Basri meninggalkan Polda Metro Jaya menaiki Toyota Land Cruiser B 8632 GH diiringi mobil lain yang dipenuhi pendukungnya.
Sangaji menjadi tersangka kasus pengancaman dan penyekapan terhadap ibu dan istri Paulus Rahmat Krisna pada 6 Mei silam agar membayar utang. Menurut Erizman, tidak ada pengamanan khusus terhadap Basri dari kemungkinan ancaman dari Hercules. “Kami mengabulkan penangguhan penahanan karena sudah ada jaminan, Basri tidak berbuat ulah di luar,” kata Erizman.
Sangkaan lain terhadap Sangaji adalah kepemilikan senjata api dan penembakan terhadap Samsi Tuasah. Namun, penyidik masih menyidik dua sangkaan ini lebih lanjut dan belum menemukan bukti-bukti kuat. “Kedua belah pihak (Hercules dan Basri, red.) terbuka kemungkinan yang menembak Basri,” kata Erizman.
Basri datang ke Mapolda pada Jumat pekan lalu setelah dilaporkan oleh Hercules atas tuduhan mengancam, menyekap dan menembak Samsi Tuasah. Perselisihan dua kelompok preman itu berawal dari persoalan utang piutang dari Temi kepada Paul sebesar US$ 70000. Temi memberi surat kuasa kepada Basri untuk menagih utang kepada Paul.
Basri dan Paul sepakat utang akan dibayar sebesar US$ 40000. Utang akan dibayar dengan sebidang tanah seharga Rp 300 juta dan uang US$ 10000. Namun sebelum uang tersebut diberikan kepada Basri, Temi dan Paul bertemu dan meminta Paul untuk memberikan uang langsung kepadanya.
Akibanya, Basri marah dan menandatangani rumah Paul di Kemang IV No 89, Jakarta Selatan. Namun, Paul tidak berada di rumah dan Basri mengancam dan menyekap ibu dan istri Paul.
Malam itu juga, Basri meminta Paul datang ke rumahnya. Paul pun memenuhi permintaan Basri, namun ditemani oleh Hercules dengan membawa surat pembatalan kuasa tagihan utang dari Temi. Pembatalan surat kuasa tersebut menyebabkan muncul perselisihan antara Hercules dengan Basri. Hercules kemudian meminta penyelesaian perkara perdata tersebut di Polres Jakarta Selatan. Namun, dalam perjalanan menuju Polres, kedua kelompok yang masing-masing beranggotakan 40 orang itu bentrok dan mengakibatkan Samsi meninggal karena luka tembak di paha dan dada. (Bagja Hidayat)
Labels:
Preman Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)