Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana
di Indonesia
(Kebijakan,
Strategi, dan Operasi)
Abstrak
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana
terkait. Untuk mendukung pengembangan sistem
penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara
nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai
dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan
penanggulangan bencana di daerah.
Telaahan ini betujuan untuk melakukan review terhadap
sistem penanggulangan bencana di Indonesia dengan menhasilkan rekomendasi kebijakan
strategi dalam kegiatan penanggulangan bencana. Metodologi yang
dilakukan dalam telaahan ini adalah studi literatur, dan survey lapangan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan
bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah
sedang berada pada tahap transisi
antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang
diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi “milestone” perubahan
pendekatan penanggulangan bencana.
1. Latar Belakang
Rangkaian bencana yang dialami Indonesia, khususnya pada
tahun 2004 dan 2005, telah mengembangkan kesadaran mengenai kerawanan dan
kerentanan masyarakat. Sikap reaktif dan pola penanggulangan bencana yang
dilakukan dirasakan tidak lagi memadai. Dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan
sikap baru yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar dalam menyikapi
bencana.
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana
terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang
Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam
Penanggulangan Bencana. Dimensi baru dari rangkaian peraturan terkait dengan
bencana tersebut adalah:
(1)
Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan
proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2)
Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama
oleh para pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi.
(3)
Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan
sehingga mewujudkan ketahanan (resilience)
terhadap bencana.
Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan
pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan
dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara proses pengembangan
kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang tidak kalah penting adalah
memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan,
strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan
kebijakan di tingkat nasional.
Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai
dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai
dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi
bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana
perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan.
Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan
bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional mencakup
pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui
sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana di
daerah. Atas dasar inilah kegiatan kajian dilaksanakan.
2. Tujuan
Tujuan dilakukannya Telahaan ini adalah:
a.
Melakukan review terhadap
sistem nasional penanggulangan bencana.
b.
Melakukan review
kerentanan dan dampak bencana di daerah.
c.
Menelaah efektivitas kegiatan
penanggulangan bencana tingkat nasional dan daerah.
d.
Memberikan masukan/rekomendasi
kebijakan strategi dan kegiatan penanggulangan bencana.
Adapun keluaran telahaan adalah sebagai berikut:
a. Tersusunnya
dokumen kajian kebijakan untuk penanggulangan bencana.
b. Tersusunnya
rekomendasi kebijakan untuk peningkatan sistem penanggulangan bencana.
Dalam pelaksanaan Telahaan,
maka ruang lingkup kegiatan dan hasil pelaksanaan pekerjaan terbatas pada :
a.
Mengkaji berbagai metodologi
yang digunakan berbagai pihak dalam penanggulangan bencana.
b.
Melakukan survei terhadap
efektifitas pelaksanaan masing-masing sistem.
c.
Menyusun rekomendasi terkait
dengan sistem penanggulangan bencana.
d.
Menyusun laporan pelaksanaan
kajian.
e.
Menyampaikan hasil kajian
melalui seminar/workshop ke berbagai
pemangku kepentingan (stakeholders)
terkait.
3.
Metodologi
3.1 Kerangka Analisis
- Perumusan Instrumen Survey (Kuisioner, Wawancara, dan Pengumpulan
Data Sekunder).
- Penentuan Sampel Telahaan (Indikator Pemilihan Sampel dan Pemilihan
Sampel)
- Penyusunan Jadwal Survey.
|
Identifikasi
Kebijakan, strategi dan operasional
- Kementerian
- Lembaga
- Pemerintah Daerah
|
Identifikasi
efektifitas Implementasi kebijakan
penanggulangan bencana pada:
·
Kementerian
·
Lembaga
·
Pemerintah
daerah
·
Masyarakat
·
Perusahaan
|
- Pemetaan sistem, strategi dan operasional penanggulangan
bencana tingkat nasional dan daerah
- Efektifitas Mekanisme
- Identifikasi Faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan penanggulangan bencnana..
|
Perumusan Kesimpulan
dan rekomendasi
|
Seminar
|
Tahap awal (desk
study)
|
Tahap Survei Lapangan
|
Tahap Analisa
Studi Empiris
|
Tahap Sintesa dan
Perumusan
|
Laporan Awal
|
Telahaan Teoritis dan
Kebijakan
- Konsep penanggulangan bencana .
- Telahaan kebijakan dan aturan Pemerintah tentang penanggulangan
bencana.
- Perda tentang penanggulangan bencana.
|
Laporan Antara
|
Laporan Akhir
|
“Policy Paper” (Laporan Kebijakan)
|
Sistem
, strategi dan operasional Penanggulangan Bencana tingkat Nasional
|
Sistem
, strategi dan operasional Penanggulangan Bencana Daerah (Provinsi/Kab)
|
3.2 Metode Pelaksanaan Kajian
Berdasarkan tujuan telahaan dan dengan mempertimbangkan
keterbatasan data dan sumber data yang ada, maka metode yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan telahaan yang
mencoba menangkap berbagai kebijakan (dari strategi hingga operasional)
penanggulangan bencana lalu menganalisa dan memberikan rekomendasi perbaikan
kebijakan, baik kebijakan nasional maupun kebijakan tingkat daerah.
3.3 Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah dokumen-dokumen
perencanaan baik nasional maupun daerah, data-data bencana, serta
dokumen-dokumen terkait lainnya dengan teknik utama pengumpulan data adalah
sebagai berikut :
1.
Pengumpulan
dokumen
Dokumen yang dikumplkan akan digunakan selain sebagai dasar
dan alat penyusun bahan wawancara dan juga sekaligus pendukung hasil wawancara
yang dilakukan terhadap target kelompok atau orang tertentu
2.
Wawancara
mendalam (in-depth interview)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data dilakukan
untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang topik telahaan
3.
Diskusi
terbatas
Diskusi terbatas dilakukan untuk memperoleh informasi dan
membahas secara bersama-sama berbagai masukan terkait dengan topik
telahaan dalam kelompok kecil dan
terbatas.
4.
Hasil Kajian
dan Analisis
4.1 Penanggulangan Bencana Nasional
BAKORNAS PB telah mengumpulkan dan
mempublikasikan data bencana domestik baik bencana alam maupun bukan alam.
Berdasarkan publikasi pertama dengan judul "Data Bencana Indonesia Tahun
2002-2005 (Data Bencana Indonesia, tahun 2002-2005)", terdapat lebih
dari 2.000 bencana di Indonesia pada
tahun antara tahun 2002 dan 2005, dengan 743 banjir (35% dari jumlah total),
615 kekeringan (28% dari jumlah total), 222 longsor (l0% dari jumlah total),
dan 217 kebakaran (9,9% dari jumlah total). Jumlah korban yang sangat besar
dalam tahun-tahun tersebut yakni sejumlah 165,.945 korban jiwa (97 % dari
jumlah total) dari gempa bumi dan tsunami, diikuti jumlah 2.223 (29 % dari
jumlah total) disebabkan konflik sosiaI. Di sisi lain, banjir membuat sebagian
orang kehilangan rumah mereka, yang menyebabkan jumlah korban yang mengungsi
sebanyak 2.665.697 jiwa (65% dari jumlah total). Buku ini menghitung kejadian sebagai
bencana ketika berdampak pada kematian dan kerugian material.
Kecenderungan bencana dalam jangka
panjang di Indonesia diperiksa menggunakan EM-DAT Basis Data Bencana
Internasional (The
International Emergency Disasters Database). Basis data berisikan
data bencana besar di dunia, yang diklasifikasikan menjadi berbagai jenis
bencana alam seperti gempa bumi, banjir, longsor (longsor), badai,
ombak/gelombang (tsunami) dan gunung berapi, serta bencana epidemik.
Sepanjang tahun 2004-2007,
Indonesia dilanda paling sedikit tujuh bencana besar yang menimbulkan kerugian
yang sangat besar, seperti terlihat dalam table berikut:
Daftar Kejadian
Bencana Besar Sepanjang 2004 -2007
No
|
Nama Bencana
|
Kerugian Ekonomi (US$ milvar)
|
||
Langsung
|
Tidak Langsung
|
Total
|
||
1
|
Tsunami Aceh & Nias 26 Desember 2004
|
2.92
|
1.53
|
4.45
|
2
|
Flu Burung' (2004 -2005)
|
0.6
|
-
|
0.6
|
3
|
Letusan Merapi-April 20069
|
-
|
-
|
20,000 orang mengungsi
|
4
|
Gempa Yogyakarta -27 Mei 2006
|
2.5
|
0.7
|
3.1
|
5
|
Lumpur Panas Sidoarjo lawa Timur -29 Mei 2006
|
1.2
|
1.8
|
3
|
6
|
Tsunami di selatan lawa 17 Juli 2006
|
0.031
|
0.063
|
0.094
|
7
|
Banjir Jabodetabek hingga Februari 2007
|
0.7
|
-
|
0.7
|
TOTAL (US$ milyar)
|
12
|
|||
·
3.1 persen dari PDB Indonesia (2007)
·
15.8 persen dari total APBN 2007
|
(110.4 triliun rupiah)
|
4.2 EVALUASI SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA TINGKAT NASIONAL
Sistem penanggulangan bencana di
Indonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada
waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan
kerja yang terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar
pada umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan
kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait.
Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup
signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari
tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah mampu
memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara
penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap
kerawanan dan risiko bencana.
Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia
telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
Rangkaian bencana yang dialami Indonesia khususnya sejak tsunami Aceh tahun
2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No.
83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
(Bakornas-PB). Rangkaian bencana yang terus terjadi mendorong berbagai pihak
termasuk DPR untuk lebih jauh mengembangkan kelembagaan penanggulangan bencana
dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di
dalam UU tersebut, diamanatkan untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
menggantikan Satkorlak dan Satlak di daerah.
Sistem pendanaan penanggulangan bencana
dalam mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing
departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat
kekurangan, maka pemerintah melalui ketua Bakornas PB dapat melakukan alih
anggaran dan mobilisasi dana. Pada mekanisme tersebut, peranan masyarakat dan
lembaga donor tidak terintegrasi dengan memadai. Dengan adanya perubahan sistem
khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana,
baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki
alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD. Sementara aturan tentang dana
cadangan juga sudah diatur oleh UU, namun belum memiliki aturan main yang
jelas. Pemerintah perlu merumuskan aturan main ini dengan segera untuk
menghindari kemungkinan penyalahgunaan dan juga menyusun mekanisme pencairan
terutama untuk dana cadangan tingkat daerah.
Namun demikian besar alokasi anggaran
untuk bencana masih akan menjadi tanda tanya di kemudian hari mengingat alokasi
ini diserahkan kepada kemampuan keuangan daerah, sehingga besar kemungkinan
daerah rawan bencana, namun kemampuan keuangan lemah tetap akan mengalokasikan
dana untuk penanggulangan bencana seadanya, sehingga akan menimbulkan potensi
bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan
tertentu untuk wilayah dengan PAD yang kecil namun memiliki potensi bencana
yang cukup besar.
Secara lebih
rinci perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di Indonesia
setelah keluarnya UU No. 24 tahun 2007 tertera dalam tabel berikut ini:
SISTEM LAMA
|
SISTEM BARU
|
|
Dasar
Hukum
|
Bersifat
sektoral
|
Berlaku
umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah
|
Paradigma
|
Tanggap
darurat
|
Mitigasi,
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
|
Lembaga
|
Bakornas
PB, Satkorlak dan Satlak
|
BNPB,
BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota
|
Peran
Masyarakat
|
Terbatas
|
Melibatkan
masyarakat secara aktif
|
Pembagian
Tanggung Jawab
|
Sebagian
besar pemerintah pusat
|
Tanggung
jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
|
Perencanaan
Pembangunan
|
Belum
menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan
|
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN
PRB)
|
•
Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB)
•
Rencana Aksi Daerah
Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB)
|
||
Pendekatan Mitigasi
|
Kerentanan
|
Analilsa resiko (menggabungkan antara kerentanan dan
kapasitas)
|
Forum kerjasama antar pemangku kepentingan
|
Belum ada
|
National
Platform (akan)
|
Provincial
Platform (akan)
|
||
Alokasi Anggaran
|
Tanggung jawab pemerintah pusat
|
Tergantung pada tingkatan bencana
|
Pedoman Penanggulangan Bencana
|
Terpecah dan bersifat sektoral
|
Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPBD
|
Keterkaitan Dengan Tata Ruang
|
Belum menjadi aspek
|
Aspek bencana harus diperhitungkan dalam penyusunan
tata ruang
|
4.3 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL
Dari hasil evaluasi yang
dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana pada tingkat
nasional masih banyak ditemukan berbagai isu dan permasalahan yang cukup
penting dan membutuhkan penanganan segera seperti tertera dalam uraian berikut
ini:
4.3.1
KEBIJAKAN
4.3.1.1
Definisi dan Status Bencana
Dalam UU No. 24 Tahun 2007
belum terdapat aturan yang jelas
tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, pada
kejadian dan kerugian seperti apa suatu kejadian dikatakan sebagai bencana.
Disamping itu juga belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan status
(nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) bencana serta siapakah yang berwenang dan dapat melakukan
penetapan status bencana. Ini akan berdampak pada sistem penganggaran serta
pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta sumber dari dana
penanggulangan, apakah yang berasal dari APBD Kabupaten/kota, provinsi atau
APBN.
4.3.1.2
Kelengkapan Perangkat Aturan Pelaksana
Masih
banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 24/2007 yang belum dibuat,
sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana yang
diatur dalam Undang-undang. Disamping itu, masih terdapat berbagai aturan yang saling tumpang tindih dengan
aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan tata ruang, aturan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan yang terkait dengan keuangan
dan lain-lain. Masalah lainnya yang juga cukup penting dalam upaya
mengarusutamakan penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan
adalah belum adanya integrasi kebijakan
penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan untuk
masalah kemiskinan, otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.
4.3.1.3
Kelembagaan
Disamping isu tersebut di atas masih
terdapat beberapa isu kelembagaan yang harus segera diselesaikan dan cenderung
menghambat proses implementasi sistem penanggulangan bencana, karena beberapa
pertimbangan berikut:
Dengan status lembaga
setingkat menteri (BNPB), banyak instansi K/L yang meragukan pelaksanaan
tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif di
lapangan.
Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan akan memakan waktu lama, belum
lagi masalah kualitas SDM yang terbatas, sistem penggajian yang belum jelas,
dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana serta peran unsur
pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar BNPB.
Fungsi “Pelaksana” dari BNPB punya kecendrungan untuk
berbenturan dengan fungsi departemen-departemen teknis lainnya yang terkait
dengan penanggulangan bencana.
Fungsi koordinasi antara BNPB dan
BPBD akan
cendrung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat
daerah akan tunduk kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing.
4.3.2
STRATEGI DAN OPERASI
Beragam masalah yang ditemukan pada
sektor strategi dan operasi penanggulangan bencana untuk tingkat nasional
adalah sebagai berikut :
Lemahnya legalitas Implementasi RAN-PRB agar dilaksanakan secara konsisten
oleh Departemen Teknis erkait.
Belum ada mekanisme untuk
mengintegrasikan RAN-PRB ke dalam
dokumen RPJMN, sehingga belum dijadikan
acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan.
Belum ada relasi (mandat) yang jelas antara RAN-PRB dengan RAD-PRB.
Masih banyak pedoman teknis (termasuk Protap-Protap) tersebar
di berbagai departemen (sektor) yang belum memiliki kesamaan standarisasi.
4.4 EVALUASI SISTEM DAN IMPLEMENTASI PENANGGULANGAN BENCANA
DAERAH
Apa yang terjadi pada tingkat
nasional tentu saja akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan tingkat
daerah. Dari hasil evaluasi yang dilakukan maka terdapat berbagai temuan
sebagai berikut:
4.4.1
TEMUAN HASIL SURVEY DI DAERAH
Dari tujuh provinsi yang
telah dikunjungi, kebijakan yang dikembangkan oleh ketujuh propinsi tersebut
memiliki karakteristik yang unik seperti dapat dipaparkan dalam matrik berikut:
4.4.1.1
Kebijakan
dan Peraturan
Temuan di lapang
memperlihatkan bahwa secara umum di daerah terdapat dua kondisi dalam
penyusunan kebijakan penanggulangan bencana (Rencana Penanggulangan Bencana/RPB
dan Rencana Aksi Daerah/RAD), yaitu:
1.
Daerah yang belum memiliki
kebijakan PB.
2.
Daerah yang sudah memiliki
kebijakan. Daerah ini dapat dikelompokkan lagi menjadi daerah yang kebijakannya
sesuai dengan UU No. 24/2007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai
dengan kebutuhan lokal.
Daerah yang belum memiliki
kebijakan PB pada umumnya mengemukakan beberapa penjelasan seperti berikut:
·
Belum ada sosialisasi yang
menyeluruh pada SKPD yang terkait.
·
Ketidakjelasan siapa yang harus
memulai.
·
Masih adanya tumpang tindih
dengan peraturan-peraturan lain yang terkait.
·
Ketidakjelasan aspek keuangan
yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan.
·
Urgensi dan prioritas daerah
yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus dirasakan belum mendesak.
·
Kesulitan komunikasi dengan
lembaga pengambil kebijakan (DPRD) untuk mengalokasikan dana guna membiayai
program pengembangan kebijakan PB.
Daerah-daerah yang sudah
memiliki kebijakan PB pada umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu:
·
Terjadinya bencana alam yang
besar.
·
Inisiasi aktif dari pelaku
lembaga non pemerintah, yaitu lembaga internasional (UNDP, JICA, GTZ) maupun
lembaga nasional (akademisi, LSM, PMI, perusahaan).
Gelombang kesadaran
perlunya kebijakan PB mengemuka terutama setelah terjadinya bencana tsunami di
Aceh tahun 2004 diikuti berbagai bencana lain. Proses perumusan kebijakan PB
pada daerah-daerah bencana pada umumnya merupakan bagian dari proses penanganan
bencana yang terjadi. Hal ini menyebabkan berbagai kebijakan PB di daerah
disusun sebelum UU No. 24/2007 dikeluarkan. Sebagai akibatnya berbagai
kebijakan PB di daerah memiliki format dan isi yang berbeda dengan yang
dimaksudkan dalam UU No. 24/2007.
4.4.1.2
Strategi dan Operasi
Strategi dan operasi
Penanggulangan Bencana (PB) yang pada saat ini dilaksanakan di daerah pada
umumnya masih menggunakan mekanisme yang saat ini ada, yaitu Satkorlak dan
Satlak. Mekanisme ini masih dipakai, karena beberapa alasan:
·
Jenis dan tingkat bencana masih
dapat ditangani oleh mekanisme yang ada.
·
Mekanisme yang ada masih dapat
dioptimalkan dengan beberapa penyesuaian seperti alokasi dana yang memadai.
·
Belum adanya informasi mengenai
arah PB ke depan.
·
Belum adanya kelembagaan dan
mekanisme baru yang jelas.
Upaya pengembangan strategi
dan operasi PB di daerah dilakukan dengan melakukan optimalisasi mekanisme dan fungsi yang ada.
Beberapa daerah berpandangan lebih efektif untuk mengoptimalkan mekanisme yang
ada dan mendorong SKPD menjalankan tupoksinya secara optimal. Agar hal ini dapat
berjalan, pada umumnya menuntut beberapa hal seperti keterlibatan kepala daerah
yang tinggi, penunjukan pimpinan satkorlak/satlak serta dinas yang tepat,
alokasi anggaran yang memadai.
4.5 ISU DAN MASALAH SISTEM PB DI TINGKAT PEMERINTAH DAERAH
Di satu sisi kebijakan sistem
penanggulangan bencana di daerah telah mampu menghasilkan berbagai dampak
positif seperti berikut ini:
·
Terbentuknya sistem dan tangggung jawab baru bagi daerah dalam urusan Penanggulangan Bencana dengan
mulai disusunnya sejumlah rencana dan peraturan terkait dengan penanggulangan
bencana tingkat daerah.
·
Pemerintah Daerah mulai “melek” tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB), terutama dari sisi mitigasi.
·
Pemerintah Daerah mulai memfokuskan
diri untuk membentuk lembaga baru yang memiliki tanggung jawab khusus di bidang
kebencanaan.
·
Ada Daerah-Daerah yang sangat maju
dalam urusan penanggulangan bencana, adapula Daerah-Daerah yang belum menyadari
pentingnya sistem penanggulangan daerah bagi wilayahnya.
Namun di sisi lain masih terdapat
berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan seperti berikut ini:
4.5.1
Kebijakan dan Peraturan
·
Ketiadaan definisi yang jelas
tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, akan
mempengaruhi arah kebijakan Pemerintah Daerah dalam urusan Penanggulangan
Bencana, termasuk penganggaran.
·
Belum ada aturan yang jelas tentang penetapan status bencana (nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota) juga mempengaruhi
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber pendanaan penanggulangan
bencana terutama yang berasal dari APBD dan DAK.
·
Belum ada aturan yang jelas
tentang kewenangan siapakah yang dapat melakukan penetapan status bencana.
4.5.2
Kelengkapan Aturan Pelaksana
·
Karena masih banyak aturan pelaksana yang bersifat teknis dan operasional yang belum dibuat di tingkat pusat (nasional), sehingga
menimbulkan kebingungan Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan berbagai
aturan pelaksana penanggulangan bencana.
·
Masih banyak aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan
yang sudah ada, terutama aturan
setingkat perda.
·
Belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana
dengan kebijakan lainnya, khususnya sesuai dengan karateristik daerahnya
masing- masing, seperti masalah
kemiskinan, kebakaran Hutan, dan
pengelolaan sumber daya alam.
·
Kurangnya sosialisasi tentang kebijakan Penanggulangan
Bencana.
4.6
PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN DI
DAERAH
Dalam UU No. 24
tahun 2007 dinyatakan bahwa untuk daerah akan dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) untuk menggantikan fungsi Satkorlak dan Satlak. Hal ini
menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan seperti yang dijelaskan di bawah
ini:
Matrik Perbandingan Kelembagaan Satkorlak-Satlak & BPBD
Aspek
|
Satkorlak-Satlak
|
BPBD
|
Status
|
Bukan merupakan SKPD
·
Satkorlak (provinsi)
·
Satlak (kabupaten/kota)
|
Merupakan SKPD
·
BPBD (provinsi)
·
BPBD (kabupaten/kota)
|
Wewenang pembentukan
|
Gubernur (provinsi)
Bupati/Walikota (kabupaten/kota)
|
Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD
|
Pimpinan di daerah
|
Gubernur (propinsi)
Bupati/Walikota (kabupaten/kota)
|
Kepala Badan
|
Dalam kaitan dengan
pembentukan BPBD seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007, pemerintah
daerah mengemukakan beberapa hal yang menjadi faktor penghambat, antara lain,
yaitu:
·
Pada beberapa daerah, Pemerintah
Daerah telah mengambil inisiatif untuk mengajukan usulan pembentukan BPBD namun
dalam proses pengambilan putusan bersama dengan DPRD, usulan tersebut tidak
menjadi prioritas.
·
Beberapa pengambil kebijakan di
daerah tidak merasakan adanya kebutuhan pengembangan kelembagaan penanggulangan
bencana baik, karena dianggap bencana besar belum terjadi maupun bila bencana
besar sudah terjadi tidak akan terjadi lagi dalam jangka waktu dekat.
·
Dengan status lembaga
setingkat dinas di daerah (BPBD),
banyak dinas yang meragukan pelaksanaan
tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif di
lapangan, apalagi jabatan “kepala BPBD” dirangkap oleh Sekda yang beban
kerjanya sendiri sudah cukup banyak.
·
Tidak semua daerah bersedia
membentuk BPBD dimana “Sekdanya” merangkap jabatan (benturan eselonisasi).
·
Proses seleksi anggota Unsur Pengarah
untuk BPBD provinsi dan kabupaten/kota juga memakan waktu lebih lama,
karena kualitas SDM yang sangat terbatas, terutama di tingkat kabupaten,
serta sistem penggajian yang belum
jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana (dan
kaitan lembaga teknis lain) yang belum terdeskripsi.
·
Fungsi “Pelaksana” dari BPBD
punya kecendrungan untuk berbenturan dengan fungsi dinas-dinas teknis lainnya
yang terlait dengan bencana
·
Fungsi koordinasi antara BPBD
Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota akan cendrung sulit
dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat Daerah akan tunduk
kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing
4.7
STRATEGI
DAN OPERASI PB DI DAERAH
·
Masih banyak bias yang dilakukan
Pemerintah Daerah dalam menerjemahkan legalitas Implementasi dokumen RPB maupun RAD-PRB .
·
Belum ada mekanisme untuk
mengintegrasikan RAD-PRB ke dalam dokumen RPJMD, sehingga belum
dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan.
·
Belum ada panduan yang jelas
untuk menyusun dokumen RPB maupun RAD-PRB sehingga terdapat variasi dalam pemahaman dan penyusunannya.
·
Masih banyak pedoman teknis
(termasuk Protap-Protap) tersebar di berbagai departemen dan sektor yang belum
memiliki kesamaan stadarisasi.
·
Jenis dan tingkat bencana masih
ditangani oleh mekanisme yang lama (ketanggap daruratan saja).
·
Alokasi anggaran untuk
penanggulangan bencana masih memakai mekanisme lama, yaitu diambil dari “dana
tak tersangka” yang birokrasinya tidak mudah dan makan waktu.
·
Keterlambatan bantuan dan
timbulnya bias dalam jumlah korban dan kerugian masih mendominasi dalam
persoalan tanggap darurat yang dilakukan Pemerintah Daerah.
5.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Secara umum dapat
disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik
di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem
baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi
“milestone” perubahan pendekatan penanggulangan bencana. Tiga hal yang secara
khusus dirombak oleh UU No. 24 tahun 2007 adalah:
1.
Legalitas
payung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum
yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait. Pada waktu sebelumnya
penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program, namun pada saat ini
telah menjadi kewajiban legal.
2.
Perubahan
paradigma/mindset.
Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reaktif dan terpisah dari
inisiatif pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai
sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan.
3.
Pengembangan
kelembagaan. Lembaga dan sistem penanggulangan bencana melalui
UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga
diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai tahap
penanggulangan bencana. Paparan tata lembaga penanggulangan bencana seperti
yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut
dengan memisahkan dua fungsi yaitu disaster
council dan disaster agency. Disaster council lebih berperan dalam
pengembangan legal and regulatory
framework serta mengembangkan enabling
environment bagi stakeholders
untuk berpartisipasi, sementara disaster
agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki
otoritas penuh dan menjalankan fungsi komando.
Sistem penanggulangan bencana seperti yang dimaksud UU
No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan
keluarnya berbagai aturan pelaksana di satu sisi mampu meletakkan satu sistem
penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah. Namun di sisi
lain, banyak isu dan kendala yang ditemukan dalam proses pelaksanaan sistem
penanggulangan bencana, terutama untuk Pemerintah Daerah. Dari hasil survei dan
evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana,
terdapat sejumlah isu yang menonjol dan harus segera di atasi untuk menjamin
berjalannya sistem penanggulangan bencana dengan baik.
5.1.1
Masalah Kelembagaan
Masalah yang paling menonjol dan banyak menimbulkan
kebingungan di tingkat daerah dalam membangun sistem penanggulangan bencana di
wilayah masing-masing adalah masalah
kelembagaan.
5.1.1.1 Bentuk, Tugas dan Fungsi Lembaga
BPBD
Hal-hal yang mendasari daerah untuk mengembangkan sistem
Penanggulangan Bencana dapat disimpulkan sebagai berikut.
·
Ekspose daerah terhadap bencana.
Daerah yang terekspos bencana (skala besar) akan cenderung lebih proaktif untuk
mengembangkan sistem baru daripada daerah yang kurang tereskpos.
·
Keberadaan lembaga promotor.
Keberadaan lembaga promotor secara nyata mendorong daerah untuk mengembangkan
sistem baru.
·
Pengalaman penanggulangan
bencana. Daerah yang memiliki pengalaman positif dalam menanggulangi bencana
akan cenderung mengoptimalkan sistem yang ada. Sementara daerah yang tidak
memiliki pengalaman positif akan cenderung merubah sistem yang telah ada.
Dengan memahami sebab-sebab daerah mengembangkan sistem PB, maka dapat
disusun langkah-langkah untuk mendorong daerah mengembangkan sistem PB dalam
bentuk insentif maupun disinsentif.
5.1.1.2 Unsur Pengarah
Di dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bahwa BPBD terdiri dari dua
unsur, yaitu unsur pengarah dan unsur
pelaksana. Unsur pengarah sendiri terdiri dari pemerintah terkait dan kalangan
profesional. Kondisi merupakan sesuatu yang unik dalam sistem Pemerintah
Daerah, karena tidak ada SKPD yang memiliki unsur pengarah, umumnya penyusunan
kebijakan dan pertanggungjawaban kegiatan dilakukan langsung kepada Kepala
Daerah melalui Sekda. Namun BPBD memiliki unsur pengarah yang difungsikan
sebagai pengawas dan evaluator. Tugas ini tentu saja akan berbenturan dengan
tugas Bappeda dan alur laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah.
Selain masalah wewenang dan tanggung jawab, unsur pengarah yang berasal
dari kalangan profesional juga menimbulkan kesulitan tersendiri karena
pembayaran gaji selama mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai bagian dari
unsur pengarah tidak disertai dengan sistem pembayaran dan aturan kepegawaian
yang jelas, sehingga sampai saat ini pemerintah daerah cenderung untuk menunggu
pembentukan unsur pengarah ini.
Masalah lain yang juga ditemukan dalam proses implementasi unsur pengarah
ini adalah proses perekrutan dengan melalui proses fit and proper test di DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Tentu
saja ini menjadi polemik sendiri, karena meskipun unsur pengarah bukan SKPD,
tetapi berada di bawah komando Kepala BPBD dan biasanya untuk tingkat daerah
proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah umumnya
menjadi wewenang kepala daerah, sehingga jika proses ini melibatkan DPRD, maka
diperkirakan proses akan berjalan lambat,
berbiaya tinggi serta rentan terhadap unsur politik uang.
5.1.1.3 Keterbatasan Sumber Daya Manusia
(SDM)
Meskipun bencana sudah sering terjadi di Indonesia, namun tidak banyak SDM
yang memiliki kemampuan di bidang kebencanaan. Keterbatasan SDM ini tentu saja
menimbulkan masalah tersendiri terutama jika dikaitkan dengan upaya pembentukan
BPBD di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 48 tahun 2008
tentang SOTK (Satuan Organisasi Tata Kerja) BPBD yang menyatakan provinsi wajib
membentuk BPBD sementara untuk tingkat kabupaten/kota juga wajib membentuk BPBD
(klasifikasi A atau B), maka bisa dibayangkan berapa banyak SDM yang memiliki
keahlian di bidang kebencanaan yang dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah. Jika
seumpama seluruh provinsi membentuk BPBD, maka minimal SDM bidang kebencanaan
yang dibutuhkan sebanyak 120 orang untuk level pelaksana harian dan kepala
bidang. Belum lagi untuk level staf lainnya. Jika separuh Kabupaten/Kota
membentuk BPBD, maka bisa dibayangkan berapa banyak kebutuhan akan tenaga SDM
di bidang kebencanaan. Tampaknya tugas pemerintah untuk meningkatkan kapasitas
di bidang kebencanaan masih sangat berat dan panjang.
5.1.1.4 Anggaran BPBD
Pembentukan sebuah SKPD tentu saja memiliki konsekuensi terhadap alokasi
anggaran bagi SKPD yang baru dibentuk, demikian juga dengan BPBD. Diperkirakan
anggaran yang harus dialokasikan kepada BPBD akan sangat besar, jika ditinjau
dari sisi tugas pokok dan fungsi yang diembannya serta dari sisi jumlah SDM
yang ada di dalamnya. Anggaran ini akan semakin besar mengingat adanya unsur
pengarah dari kalangan profesional serta proses rekrutmennya yang melibatkan
DPRD.
5.1.2
Masalah Defenisi
dan Status Bencana
Masalah selanjutnya yang juga harus diselesaikan dengan
segera adalah terkait dengan definisi teknis operasional bencana serta status
bencana. Hingga sekarang belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang
apa yang disebut dengan bencana. Di samping itu juga belum ada kategori tentang
status bencana, apakah termasuk bencana lokal, provinsi atau nasional.
Penetapan kategori status ini penting, karena akan terkait erat dengan sumber
daya yang akan digunakan dalam mengatasi kejadian bencana, apakah hanya berasal
dari APBD atau APBN atau dengan tambahan bantuan luar. Disamping itu, defenisi
bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam
menggunakan angggaran, termasuk dalam kategori dana cadangan. Jika ukuran
bencana tidak jelas maka dikhawatirkan pemerintah akan mengeluarkan dana secara
sewenang-wenang atau sebaliknya apabila bencana tidak dianggap sebagai bencana,
maka anggaran tidak dikeluarkan sehingga dikhawatirkan jumlah korban akan
meningkat.
5.1.3
Masalah Kerjasama Antar Daerah dalam Penanggulangan Bencana
Bencana alam yang terjadi di
suatu daerah seringkali sumber ancamannya berasal dari gangguan ekosistem
dimana sumber gangguannya dapat berasal dari daerah dengan wilayah administrasi
yang berbeda. Hingga saat ini sistem perencanaan dan penganggaran yang ada,
termasuk yang diatur di dalam UU No. 24/2007 juga belum menjelaskan dan
mengatur kemungkinan dan mekanisme kerjasama dalam penanggulangan bencana antar
daerah.
6.
Rekomendasi
Dalam melaksanakan ketiga prinsip penanggulangan
bencana sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 (cepat dan tepat; prioritas; dan
koordinasi dan keterpaduan), kelembagaan penanggulangan bencana harus dapat bertindak
lintas sektor dan lintas wilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan
efektif. Dalam kaitan kemampuan bertindak lintas sektor, pada saat ini beberapa
departemen teknis di tingkat pusat dan beberapa SKPD di daerah telah
menjalankan fungsi penanggulangan bencana. Fungsi koordinasi telah dijalankan
oleh unsur pimpinan nasional dan pimpinan daerah. Keberadaan BNPB dam BPBD
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola kerja dan
koordinasi yang telah berjalan. Karena itu, pendirian BNPB dan BPBD perlu
dikelola secara bijaksana dan bertahap serta dilengkapi berbagai peraturan yang
mendukung kemampuan bertindak lintas sektor.
Bencana yang terjadi, dampak dan
penyebabnya pada umumnya lintas wilayah. Pada sisi lain BPBD dibentuk oleh
pemerintah daerah bersama dengan DPRD dan dibiayai oleh anggaran daerah.
Terkait dengan kebijakan ini, beberapa hal yang perlu dicermati:
· Mekanisme kerja sama antar
wilayah untuk menanggulangi bencana perlu dikembangkan. Dua inisiatif yang
dapat dijadikan rujukan adalah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di NTT
dan “forum Merapi di Jawa Tengah dan DIY.
· Kondisi kerawanan bencana
tidak berbanding lurus dengan potensi daerah sehingga pada beberapa daerah
miskin justru tingkat kerawanan tinggi sementara pada daerah yang secara
ekonomi lebih baik tingkat kerawanan lebih rendah. Pola penetapan anggaran
untuk bencana dengan demikian perlu disesuaikan dengan tingkat kerawanan.
Rantai komando yang jelas dan efektif
khususnya dalam fungsi pelaksanaan menuntut BNPB dan BPBD memiliki hubungan
kelembagaan yang bersifat komando. Proses pembentukan dan anggaran BPBD oleh
pemerintah daerah dan DPRD serta pengisian staf oleh pemerintah daerah
berpotensi mengurangi tingkat efektivitas pelaksanaan rantai komando dalam
penanggulangan bencana.
*Dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment