Showing posts with label Agama Lokal. Show all posts
Showing posts with label Agama Lokal. Show all posts

Saturday, 4 December 2010

Wetu Telu


Wetu Telu (bahasa Indonesia:Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.

Dalam disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern.

Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan "Waktu Telu" sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu.Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa.Namanya "Kemaliq" yang artinya tabu,suci dan sakral.terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama "Upacara Pujawali Dan Perang Topat" sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia

Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan



Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Mitologi dan sistem kepercayaan
* 2 Filosofi
* 3 Tradisi
* 4 Lihat juga
* 5 Referensi

[sunting] Mitologi dan sistem kepercayaan

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:

1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
[sunting] Filosofi

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:

* Welas asih: cinta kasih
* Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
* Tata krama: tatanan perilaku
* Budi bahasa dan budaya
* Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:

* Rupa
* Adat
* Bahasa
* Aksara
* Budaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.

* Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
* Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
[sunting] Tradisi

Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini. [4]

Agama Asli Nusantara

Agama Asli Nusantara



Agama asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil ,dsb. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada didaerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatera dan pedalaman Irian Jaya.

Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.
[sunting] Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)

* Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
* Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
* Buhun (Jawa Barat)
* Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
* Parmalim (Sumatera Utara)
* Kaharingan (Kalimantan)
* Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
* Tolottang (Sulawesi Selatan)
* Wetu Telu (Lombok)
* Naurus (pulau Seram, Maluku)
* Aliran Mulajadi Nabolon
* Marapu (Sumba)
* Purwoduksino
* Budi Luhur
* Pahkampetan
* Bolim
* Basora
* Samawi
* Sirnagalih

Kaharingan

Kaharingan


Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan.[1] Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[2] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980[3], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.

Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Parmalim Agama Asli Suku Batak Sumut: Tidak Pernah Diakui Pemerintah

Parmalim


Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang terutama dianut di provinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku Batak. Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja Marnangkok Naipospos. Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air Indonesia sejak Dahulu Kala. "Tuhan Debata Mulajadi Nabolon" adalah pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim").

Parmalim agama asli Suku Batak, di Provinsi Sumatera Utara. Tapi keberadaan agama ini tak pernah diakui oleh Pemerintah Daerah, apalagi negara. Pengikut agama Parmalim di Medan, Sumatera Utara bahkan kerap diperlakukan diskriminatif. Reporter KBR68H Regie Situmorang menemukan warga Parmalim yang sulit mendapatkan identitas, bahkan dilarang membangun rumah ibadah.

Aman Sirait: Dengan adanya UU nomor 23, kami yang berada di kota Medan ini, apakah sudah bisa dilaksanakan? Mereka selalu menuntut, mohon ada juklak dari Presiden, itu kalo mereka terbuka, tapi ini tidak. Jadi kita selalu diajar untuk main alif alifan (tipu tipuan), itu yang tidak cocok sama kita. Kejujuranlah. Inilah saya. Jadi kalo saya lihat, di sini kita dididik untuk berdusta, padahal agama menuntut kita supaya tidak berdusta. KTP Bapak? Saya kosongkan. Anak anak? Saya kosongkan juga. Cucu juga, semua yang Parmalim saya kosongkan.

Agama leluhur
Parmalim atau kepercayaan Ugamo Malim adalah kepercayaan yang dianut oleh para leluhur suku Batak. Kepercayaan ini sudah ada sebelum lima agama nasional diakui pemerintah Indonesia. Parmalim meyakini Debata Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Nabi di Parmalim disebut Nabi Ugamo Malim, yaitu Sisingamangaraja. Walau kepercayaan ini berasal dari Sumatera Utara, namun hingga kini, pemerintah setempat tidak mengakui adanya kepercayaan Parmalim.

Aman bercerita, keberadaan Parmalim tidak pernah diakui sejak dia masih kecil. Pada 1960-an, Aman harus memilih agama Islam di Sekolah Dasar agar bisa terus bersekolah. Di SMP, dia memilih agama Kristen.

Aman Sirait: Seperti saya, terus terang saja, saya mengikuti agama Islam. Karena dulu saya tinggal di Siantar di lingkungan Islam. Sudah dewasa, saya kemudian saya belajar agama Kristen. Tapi orang tua saya terus mengingatkan bahwa saya adalah Parmalim, walau dia mempersilahkan saya untuk mempelajari Al Kitab dan Al Quran. Orang tua saya tapi bilang ke saya bahwa kita orang Batak, bahasa kita Batak, dan Tuhan kita adalah Mulajadi Nabolon.

Data kepegawaian
Setelah lulus kuliah, Aman berhasil melewati segala ujian untuk bekerja di Pertamina. Yang mengejutkan, semua jerih payahnya pupus hanya karena dia penganut Parmalim.

Aman Sirait: Jadi saya melamar di Pertamina tahun 1972, semua lulus, psikotes lulus. Datang HRD, mulai menanyakan biodata. Dia menanyakan, hanya 3 di sini agama, Islam, Hindu, Kristen. Bapak pilih saja salah satu. Lalu saya bilang, tidak bisa saya membohongi diri saya. Tapi tidak dikenal orang Parmalim itu pak. Tapi itulah kepercayaan saya. Kata dia, agama kamu itu tetap kamu ikuti, tapi ini sebagai biodata bapa di kantor bikin aja Hindu kek, atau apa. Tapi tidak bisa ku bilang. Ya sudahlah, kalau tidak diterima apa boleh buat, padahal waktu itu lagi tren trennya masuk Pertamina. Saya kembali, saya bilang.

Setelah gagal di Pertamina, Aman kemudian melamar ke BUMN Perkebunan PTPN II. Kali ini Aman diterima tanpa dipersoalkan kepercayaannya.

Empat puluh tahun sudah Aman Sirait menjalankan agama Parmalimnya, hingga sekarang. Tapi tak ada perubahan berarti bagi para penganut Parmalim. Sampai sekarang, tak ada penganut yang di KTP-nya tercantum agama Parmalim.

Ruma Parsaktian
Saat ini di Medan, ada sekitar 600 penganut Parmalim. Mereka tak punya rumah ibadah, atau Ruma Parsaktian. Ucapan syukur terpaksa dilakukan menumpang di rumah salah satu umat Parmalim, Marnakkok Naipospos. Pada 2005 lalu, mereka sebetulnya berencana membangun Ruma Parsaktian di Jalan Air Bersih, Ujung Medan. Tapi rumah itu gagal dibangun karena ada penolakan dari warga sekitar, kata Aman Sirait.

Aman Sirait: Semula permasalahan itu dengan warga HKBP, tapi setelah kita ke pendeta-pendeta (HKBP), warga HKBP tidak jadi keberatan. Tapi kembalilah permasalahan itu ke masyarakat Air Bersih yang menyatakan, masalah ini bukan maslaah HKBP tapi warga setempat katanya.

Warga setempat yang dimaksud Aman di antaranya Marata Sinaga boru Siburin dan Wesley Siburian boru Manalu. Keduanya paling keras menyuarakan penolakan rumah Parmalim. Mereka mengaku menolak kehadiran Ruma Parsaktian yang rencananya dibangun di samping rumah mereka.

Alasan lain, di wilayah tersebut tak ada penganut Parmalim. Juga, mereka merasa dibohongi umat Parmalim yang dalam permohonan izinnya menyebut pembangunan gereja, bukan Ruma Parsaktian.

Ibu Sinaga dan Siburian: Factor yang paling fatal, orang ini tidak ada pengikutnya (di daerah) sini. Terus kenapa mereka di sini? Ini tanah hibah, dulu yang punya ini orang Parmalim di Pakam. Kalo kita kasih solusinya kita suruh mereka jual tanah ini, terus bangun di daerah yang banyak Parmalim seperti di Pakam, di Simpang Limun. Lebih praktis kan. Karena di sini nggak ada (umat Parmalim).

Pembangunan Ruma Parsaktian itu kini terbengkalai. Rumah seluas dua kali lapangan bulu tangkis itu dikotori alang-alang, di dalam dan luarnya. Tembok yang sempat dibangun sebagian rubuh. Bahkan pembangunan gedung yang sebetulnya sudah 70 persen selesai itu, sebagian atapnya sudah terlihat copot.

Toleransi beragama
Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Sumatera Utara menyesalkan adanya pelarangan rumah ibadah ini. Sekretaris Umum PGI Sumatera Utara, Langsung Sitorus mengatakan, pelarangan terhadap berdirinya Ruma Parsaktian dilakukan oleh perorangan, bukan atas perintah gereja. PGI mengklaim sudah menegur jemaatnya yang melarang.

Langsung Sitorus: Dan ada kawan dari pihak Kristen yang bikin surat penolakan tidak setuju, tapi setelah kita tegur baik dari PGI Wilayah, akhirnya pernyataan itu dicabut, dan mereka tidak keberatan lagi, jika rumah ibadah Parmalim itu didirikan. Dan harapan saya, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mereka mendirikan rumah ibadah di tempat itu. Karena status tanah yang mereka miliki adalah status milik agama mereka sendiri, jadi yang mereka minta, izin dari pemerintah.

Selain izin dari warga setempat dan Dinas Tata Kota, pembangunan Ruma Parsaktian juga harus mengantongi izin dari Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB. Forum ini dibentuk masyarakat dan difasilitasi Pemerintah, untuk membangun kerukunan dan kesejahteraan umat beragama. Salah satu fungsinya adalah mengeluarkan izin pembangunan rumah ibadah.

Anggota FKUB Sumatera Utara Ronald Naibaho memastikan, FKUB hanya bisa memberikan izin pembangunan bagi rumah ibadah agama yang diakui Negara. Dan Parmalim, tak masuk daftar.

Ronald Naibaho: Kalo rumah ibadah Parmalim itu, tidak termasuk dari 6 rumah ibadah yang diakui di Indonesia. Karena FKUB hanya mengatur tentang 6 rumah ibadah yang diakui oleh Indonesia. Ini sesuai SKB 3 menteri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006. Tapi secara pribadi, saya sangat menghargai perbedaan. Soalnya ini kan masalah keyakinan, keyakinan itu tidak bisa dipaksakan. Kalau dia yakin dengan keyakinannya, ya kita harus menghormati.

KTP
Pembangunan Ruma Parsaktian masih terhenti hingga sekarang. Agama Parmalim juga tak kunjung masuk dalam kolom agama di KTP. Perjuangan pemeluk Parmalim sekarang adalah ke DPRD Sumatera Utara, supaya dibuatkan Perda yang mengakui keberadaan umat Parmalim dan kepercayaan lainnya.

Aman Sirait: Kita sudah melaporkan masalah ini ke Jakarta, ke komnas HAM. Bahkan sering diadakan seminar soal masalah ini. Tapi memang kita belum bisa membangun rumah ibadah kita. Kita berharap, suatu saat, DPRD, Pemda sumatera utara mendukung kita.

Tim Liputan KBR68H melaporkan untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum





http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/masyarakat/parmalim20090326-redirected

Marapu

Marapu


Marapu adalah sebuah agama lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang memuja nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.

Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang disebut Marapu ini percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak. Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan diantara mereka. Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya. Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katoda, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. (P. Soeriadiredja). MARAPU : AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR

P. Soeriadiredja, LABANT – FS UNUD, DENPASAR 2002


Pendahuluan

Makna istilah “agama” sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih besar daripada arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi” (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku. Secara umum, Parsudi Suparlan (dalam Robertson,1988:v-xvi) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan ini seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai tersebut yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai lain (Koentjaraningrat,1974:13,32-33).


Gambaran Umum Umalulu
Makam raja Melolo di desa Tambaka di masa Hindia Belanda

Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo atau Kerajaan Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo, dan kini wilayah Umalulu menjadi kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara keseluruhan keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian dan perkebunan. Hutan belantara tropis bisa dikatakan hampir tidak ada, kecuali hutan heterogen yang sebagian besar berada di daerah pedalaman. Iklim di Umalulu ditandai oleh musim kemarau yang panjang (Maret-Nopember) dan angka curah hujan yang relatif kecil (kurang dari 1500mm/tahun), dengan rata-rata hari hujan antara 35~55 hari per tahun, serta suhu udara antara 26’~34’C. Dari data tersebut tampaklah bahwa daerah itu merupakan daerah yang panas dan kering. Suatu hal yang menguntungkan ialah adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itulah penduduk Umalulu mendirikan tempat pemukiman mereka dan membuka ladang. Sebagian besar penduduk Umalulu hidup dari bercocok tanam di ladang (jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan) dan beternak (babi, kuda, kerbau, ayam). Pertanian berupa sawah tadah hujan dan belum diusahakan secara intensif. Sumber penghasilan lain adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”. Selain itu ada pula dari pembuatan barang-barang kerajinan tangan, misalnya anyaman daun lontar dan pembuatan perhiasan mas-perak. Dalam berkomunikasi diantara mereka, para warga masyarakat Umalulu menggunakan bahasa ibu mereka yaitu bahasa Sumba, yang termasuk keluarga bahasa Bima-Sumba dan rumpun bahasa Austronesia. Dalam perkembangannya sebagai bahasa daerah, bahasa Sumba membentuk beberapa logat bahasa. Adapun logat bahasa yang dapat dipahami dan dimengerti oleh sebagian besar penduduk di wilayah Umalulu ialah logat Umalulu dan logat Kambera. Sejauh ini bahasa Sumba belum mengenal bentuk bahasa tulisan. Prinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal (patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja. Mereka mengenal empat macam kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga inti (nuclear family) yang disebut biliku, yaitu terdiri dari sepasang suami istri dengan anak-anaknya yang belum kawin. Kelompok kekerabatan lainnya ialah rumah tangga (household) dan disebut ukuruma, yang merupakan kelompok kekerabatan yang menjalankan ekonomi rumah tangga dan sebagai kesatuan yang melakukan usaha-usaha produktif. Kemudian ada yang disebut uma, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya.Mereka berdiam di dalam satu rumah besar yang disebut uma juga. Berdiam dalam uma milik ayahnya adalah suatu hal yang sesuai dengan adat menetap sesudah kawin yang virilokal. Kelompok kekerabatan yang terbesar ialah kabihu (keluarga luas, clan), yaitu terdiri dari beberapa uma yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja. Kelompok kekerabatan ini serupa seperti yang oleh Koentjaraningrat disebut patrilineal minimal lineage (1977:119-121). Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung. Secara tradisi yang menguasai tanah dalam suatu paraingu ialah kabihu-kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (klen pendeta) dan kabihu maramba (klen bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan kuataku dikepalai oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung, kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta), maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas) dan ata (hamba). Kedudukan dan peranan suatu kabihu dalam masyarakat Umalulu sangat besar pengaruhnya pada pola kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jabatan penting dalam pemerintahan adat selalu dipegang oleh orang-orang dari kabihu tertentu secara turun temurun. Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu pemerintahan adat, tapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka sistem pemerintahan secara adat masih tetap dijalankan. Pemerintahan adat itu kini berpusat di Umabara yang terletak di desa Watu Hadangu.

Sistem Religi dan Ilmu Gaib Pada masa sekarang bisa dikatakan hampir seluruh penduduk Umalulu masih menganut agama “Sumba asli”, karena hanya 1,1% saja (pada tahun 1982) dari seluruh penduduknya yang beragama Kristen Protestan. Apa yang disebut agama “Sumba asli” itu ialah suatu religi yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba Timur arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Oleh karena itu, agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Seperti halnya dengan religi-religi lain dari berbagai suku-bangsa di dunia, maka religi di Umalulu juga mempunyai empat unsur pokok, yaitu : 1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan. 2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup,maut dan sebagainya. 3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut di atas. 4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya (Koentjaraningrat, 1977: 228).

Emosi Keagamaan

Emosi keagamaan ialah suatu getaran jiwa yang pernah menghinggapi manusia pada masa hidupnya yang mendorongnya berlaku serba religi. Menurut Koentjaraningrat (1977:228-229) unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan adalah : 1. Kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. 2. Takut akan krisis dalam hidup. 3. Yakin akan adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal. 4. Percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam. 5. Terikat oleh emosi kesatuan dalam masyarakat. 6. Percaya tentang adanya kekuasaan tertinggi. Di Umalulu keenam unsur tersebut ternyata memegang peranan penting untuk mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan para warganya. Unsur pertama berupa kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus yang berasal dari jiwa para kerabatnya yang belum dibebaskan dari ikatan dunia dengan upacara Pataningu. Arwah-arwah yang belum diupacarakan itu dapat membawa bahaya bagi keluarganya dan juga masyarakat umum karena merasa tidak dihiraukan. Selain itu ada pula makhluk-makhluk halus yang tidak diketahui asal-usulnya dan bersifat jahat. Makhluk-makhluk halus itu oleh penduduk di sebut patau tana dan selalu harus diberi sesaji agar tidak mengganggu mereka. Unsur kedua berupa ketakutan yang timbul akibat ketidakberdayaan ketika menghadapi krisis dalam kehidupan, antara lain ketika timbul wabah penyakit antrax yang melanda seluruh ternak hingga banyak yang mati karenanya. Unsur ketiga berupa keyakinan tentang adanya banyak gejala yang tidak depat diterangkan dan dikuasal oleh akal mereka. Misalnya ketika terjadi gempa bumi pada tahun 1982 , atau pada tahun 1912 ketika terjadi kebakaran besar di Paraingu Umalulu yang diakibatkan oleh sambaran kilat sehingga hampir seluruh rumah terbakar. Unsur keempat ialah kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi depat digunakan bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk rnendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit. Unsur kelima ialah keterikatan masyarakat Umalulu oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas). Unsur keenam ialah kepercayaan tentang adanya kekuasaan tertinggi yang oleh masyarakat Umalulu disebut Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Pencipta Manusia).

Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang wujud dunia gaib, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup dan mati serta kesusastraan suci. Orang Umalulu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupan mereka, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang Umalulu menyandarkan diri serta menyembahnya. Orang Umalulu mempunyai banyak dewa dan ada susunannya secara hirarki, tetapi tidak merupakan suatu parrtheon tersendiri, karena setiap dewa mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memujanya. Para dewa itu biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali bila sedang ada upacara tertentu. Dewa-dewa di Umalulu disebut Marapu, yaitu para arwah leluhur yang dimuliakan dan didewakan serta dipercaya sebagai lindi papakalangu - ketu papajualangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, perantara) antara manusia dengan Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu dibayangkan sebagai makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih unggul. Mereka terdiri juga dari jenis pria dan wanita serta berpasangan sebagal suami istri. Diantara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Marapu-marapu ini dibedakan antara Marapu Ratu dengan Marapu. Marapu ratu ialah marapu yang turun dari langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu ialah arwah leluhur yang menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu tertentu. Marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan beberapa kriteria. Misalnya, marapu-marapu itu dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan hubungan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut sebagai Uma Ndapataungu, yaitu dalam hubungan kekerabatan dan dalam hubungan pemerintahan. Marapu-marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu Kawau yang merupakan permaisurinya dan berputra dua orang, yaitu Umbu Kaluu Rihi dan Umbu Tunggu Watu. Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi Liaba yang biasa disebut Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta dua orang putra, yaitu Rambu Konga Wandalu, Umbu Mula dan Umbu Lu. Marapu-marapu yang tergolong dalam pemerintahan Umbu Endalu antara lain : Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu (imam, pendeta) yang mengurus hal keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu oleh beberapa ratu lainnya, yaitu Umbu Pandi Makahihiru yang bertugas sebagai paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan golongan ratu; Kunda - Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu; Umbu Hamata dan Umbu Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka; Umbu Manggedingu dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk menghadap Na Mawulu Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan sebagai pemelihara kebersihan tempat pemujaan. Adapun putra kedua dari Umbu Endalu, yaitu Umbu Tunggu Watu kemudian ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas menjalankan pemerintahan dan rnemimpin dalam segala bidang kehidupan termasuk urusan keagamaan sebagai pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara pemujaan. Umbu Endalu kemudian oleh keturunannya dipuja sebagai Ina Ratu - Ama Konda , Na Pamalilingu Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak para ratu dan raja, yang dipantangkan kata dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap sebagai dewa kesuburan serta kemakmuran. Dalam menjalankan tugasnya, Umbu Tunggu Watu dibantu oleh Umbu Dimu dan Umbu Rawa yang bertugas sebagai penolak mara bahaya yang datang dari arah udik dan bahaya penyakit ; Umbu Rumbu dan Umbu Kapala Rikatu sebagal panglima perang; Umbu Tundu Mbiru dan Umbu Kahi Laku sebagai pengawal; Titi-Nini sebagai penasihat; Umbu Diawa Lodu dan Umbu Diawa Mada sebagai penjaga matahari dan ahli bela diri; Umbu Panda dan Umbu Baka sebagai pemberi ampun dan berkat; Umbu Ropa dan Umbu Nyali sebagai pemegang kilat; Umbu Owa dan Umbu Kalaki sebagai ahil berburu; Umbu Watu Kambaru dan Umbu Rengga Mbulu sebagai penjaga laut; Umbu Meha Wulu dan Umbu Mandarimu sebagai ahli pertukangan; Umbu Lawahu dan Umbu Kambaru Hihu sebagai pengatur dalam hal perkawinan dan menentukan waktu pertukaran tahun; Umbu Katindi dan Umbu Luwa Ratu sebagal ahli pertanian. Selanjutnya marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi pula menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu dalam satu paraingu dan dalam suatu kabihu. Marapu golongan pertama ialah mereka yang termasuk kerabat Marapu Ratu Umbu Endalu, walaupun mereka itu tidak bersemayam dalam satu tempat pemujaan karena masing-masing marapu mempunyal tempat persemayaman sendiri. Marapu-marapu golongan kedua ialah mereka yang merupakan leluhur tiap-tiap kabihu dan bersemayam di uma bokulu dari masing-masing kabihu yang memujanya. Setiap marapu di Umalulu mempunyal lambang suci yang disimpan di pangiangu marapu (kediaman marapu) masing-masing, yaitu di dalam menara uma bokulu setiap kabihu. Khusus untuk Umbu Endalu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Lambang-lambang suci ini disebut tanggu marapu (bagian marapu) dan mempunyai macam-macam bentuk serta ukuran. Pada umumnya lambang-lambang suci itu berupa perhiasan-perhiasan mas atau perak, tetapi ada pula yang berupa patung dan guci. Sebagai lambang kebesaran dan kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah tidak ada lagi. Walaupun orang Umalulu mempunyal banyak dewa, yaitu para marapu yang sering disebut namanya, di puja dan dimohoni pertolongan, akan tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta. Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta senantiasa dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan. Itupun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting lainnya yang menyangkut kehidupan orang banyak. Dalam kepercayaan Marapu , Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya, sehingga untuk menyebut namaNya pun dipantangkan. Adapun kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan yang ditujukan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu antara lain : Na Mapadikangu Tau (Pencipta Manusia), Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membentuk dan Membuat Manusia) ,Na Mawulu Tanga Mata Kalindi Uru-Na Mahangatu RI Wihi RI Lima (Yang Membentuk Alis Mata dan Batang Hidung. Yang Menyayat Tulang Kaki dan Tulang Tangan), Na Ndiawa Tumbu-Na Ndiawa Dedi (Dewa Yang Menumbuhkan dan Dewa Yang Menjadikan), Ina Nuku-Ama Hera (Ibu Hukum dan Bapak Cara), Na Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi),La Hupu Ina-La Hupu Ama (Ibu Segala Ibu dan Bapak Segala Bapak), Na Ina Mbulu-Ama Ndaba (Ibu dan Bapak Seisi Alam), Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapak dari Seluruh Yang Ada), Na Pandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya), Mayapa Watu Wulu-Matema Loja Lala (Pemegang Batu Ciptaan dan Penadah Kuali Leburan), Ndiawa Mbulungu -Pahomba Mbulungu (Jiwa dan Roh Yang Esa),Ina Bai-Ama Bokulu (Ibu Agung dan Bapak Besar), Ina Makaluni-Ama Makaluni (Ibu dan Bapak Yang Kudus), Na Mabokulu Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna (Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar Telinganya, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya), Na Mailu Paniningu-Na Mangadu Katandakungu (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia), Mapatandangu Manjipu-Na Mapatandangu Mandoku Mandanga (Yang Memperha tikan yang Salah dan Menimbang yang Keliru), Na Matimba Nda Haleli-Na Mandahi Nda Panjilungu (Hakim Yang Maha Adil), Na Kandapu Nda Ngihirungu-Na Karangga Nda Lelingu (Bukit Yang Tak Beranjak dan Ranting Yang Tak Bergerak,Yang Abadi). Selain kepada para Marapu, orang Umalulu juga percaya bahwa di dunia gaib penuh dengan makhluk-makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari manusia,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, gua-gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh-pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lampau orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain. Roh halus yang sederajat dengan mamarungu ialah maranongu.Akan tetapi, maranongu mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia. Katiku kamawa adalah makhluk halus lainnya yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asa-usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling-guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar atau di pohon mangga. Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung-gunung atau di tempat-tempat sunyi. Orang Umalulu percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan hal-hal luar biasa yang dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan suara-suara yang luar biasa. Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka. Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi dan na mapingu muru karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para ratu atau oleh tau mapingu papuhi untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu. Seorang tau mapingu papuhi ketika melakukan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di uta muru-kaba watu (hutan hijau dan tebing batu ), yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra-mantra (tundu wara) dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat merubah manusia menjadi binatang, pohon atau batu. Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun-daunan) atau tada ai (obat dri ramuan akar-akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra-mantra tertentu kepada si sakit. Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama laki-laki), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat-tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah. Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal-pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu-batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya. Binatang yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara Iain wangi (burung hantu), kuu (burung alap-alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Umalulu karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara-upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan , dapat dilihat melalui hati babi. Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan. Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan. Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah ayam jantan. Bulu-bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka. Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk-makhluk halus. Tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga) dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua daun-daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru), kahi jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur-suluran), yawilu (kayu manis), kunu buti (Lat: Hyptis suaveolens) dan rutu (Lat : Albizza marginata meer), juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan perryakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring, Lat: Cassia fistula) dan kanawa (angsana). Benda.-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan merupakan lambang suci para marapu ialah tanggu marapu. Benda-benda lain yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda-benda pusaka, seperti parang,kain-kain, perhiasan mas, perhiasan manik-manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat-saat tertentu saja oleh pemiliknya. Suara-suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah mantra-mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara-suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana yang diperlukan. Menurut kepercayaan orang Umalulu, seseorang yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Mawulu Tau-Majii Tau , demikian pula bila seseorang meninggal itu pun atas kehendakNya. Peristiwa kematian adalah suatu peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata (dunia) ke alam gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di alam nyata. Akan tetapi kehidupan di alam nyata tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah kekal. Tubuh manusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput) yang dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah ndiawa (roh). Dalam kepercayaan Marapu roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh orang yang mati akan menjadi penghuni parai marapu dan dimuliakan sebagai marapu-marapu. Roh seseorang yang mati bisa mencapai parai marapu apabila dalam hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan dengan berbagal upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung dengan makhluk-makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia. Roh itu sendiri dalam diri manusia terdapat dua macam, yaitu yang disebut hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa (roh). Hamangu ialah roh manusia selama hldupnya yang menjadi inti kekuatan badannya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu ini akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia yang mati akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa terdapat dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Seperti juga bangsa-bangsa dan suku-bangsa lainnya di dunia, orang Umalulu mempunyai kesusastraan suci atau mite (myth) yang disebut lii ndai. Kesusastraan suci di Umalulu bersifat tak tertulis dan hidup dalam ingatan para ahli dan pemuka-pemuka agama. Setiap ada pesta-pesta adat dan upacara-upacara penting, misalnya pada upacara pamangu langu paraingu, muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma, pataningu, kesusastraan suci diceritakan kembali dengan diiringi nyanyian-nyanyian. Fungsi kesusastraan suci ini untuk menerangkan asal-usul penduduk Umalulu serta para marapu-marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah dan dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternaknya. Pada halaman selanjutnya akan disajikan sebuah cerita prosa rakyat (kareuku) secara singkat tentang para marapu turun dari langit. Adapun langit, tempat asal segala marapu, terdiri dari delapan lapis yang disebut Awangu Walu Ndani dan berbentuk seperti hawita panggubulungu (kukusan tertelungkup). Pada lapisan yang pertama bersemayamlah La Hupu Ina – La Hupu Ama, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di lapisan pertama yang bernama Hupu Makanjudingu – Hupu Makapatangu (ujung yang gelap gulita ) ini, diciptakanNya seorang pria dan seorang wanita. Kedua orang itu ditempatkanNya di suatu tempat yang bernama Kandau Ndai-Kabundu Tana Mulungu (hutan tua dan bukit binasa) yang merupakan lapisan kedua. Di tempat ini lahirlah Walu mini marimba-Walu kawini ratu (delapan laki-laki raja dan delapan wanita ratu) dan delapan pasang ata (hamba). Akan tetapi, karena di lapisan kedua itu terlalu sempit dan gelap, maka turunlah mereka bersama La Hupu Ina-La Hupu Ama ke lapisan ketiga yang bernama Tana Tanjuruku- Watu Pahinggangu (tanah yang longsor dan batu yang disangga). Tanah di lapisan ketiga mudah longsor sehingga harus disangga dengan batu, lagi pula di lapisan ketiga itu masih terlalu gelap. Oleh karena itu mereka turun lagi ke lapisan keempat yang bernama Lia Kanjindingu-Lia Kapatangu (lubang yang gelap gulita). Di tempat ini masih gelap gulita karena berada di dalam lubang. Kemudian turunlah mereka ke lapisan kelima yang bernama Liangu Lira-Ngamba Watu (lubang sempit dan tebing batu). Tempat itu pun masih terlalu sempit dan bertebing, tetapi tebing ini terbuat dari emas. Dari lapisan kelima ini terlihatlah oleh mereka sinar terang yang tembus dari bawah. Kemudian tebing emas itu dipecahkan oleh Umbu Pambalu- Rambu Rubu. Setelah itu turunlah mereka ke lapisan keenam yang bernama Reti Wula-Kulu Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur anak kuda dan pintu patung manusia). Di lapisan keenam, Tara Hau-Lulu Weu menempa emas dari pecahan tebing di lapisan kelima untuk dijadikan dua buah matahari dan dua buah bulan. Setelah jadi, lalu bermusyawarahlah mereka untuk memutuskan hendak di manakah kedua matahari dan kedua bulan itu digantungkan. Kemudian diputuskan bahwa kedua matahari dan kedua bulan itu akan digantungkan di langit lapisan kelima oleh Tara Hau - Lulu Weu dengan mengendarai hanggeji ruu patola-hanggeji mata taki (pelangi). Ternyata dengan adanya dua buah matahari, hawa menjadi terlalu panas, maka yang sebuah diambil lagi, jadi yang tinggal hanya sebuah matahari saja. Beberapa lama kemudian, kedua buah bulan berselisih memperebutkan seorang wanita bernama Rambu Mbana yang berakhir dengan kematian salah satu bulan, sehingga kini hanya satu bulan saja yang ada. Pada waktu berada di lapisan keenam tersebut, para marapu belum mengetahui adanya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan burung rawa (punai) untuk menentukannya. Akan tetapi, burung rawa menentukan siang selama satu tahun dan malam selama satu tahun pula, sehingga para marapu tidak menyetujui karena terlalu lama. Kemudian mereka minta bantuan burung kuaka (murai). “Kuaka waihangu, kuaka waihangu !” (“Besok siang, besok siang !”), seru burung kuaka setiap pagi. Akhirnya penentuan oleh burung kuaka itu disetujui para marapu. Di langit lapisan keenam itu pun para marapu tidak tinggal lama. Mereka turun lagi ke lapisan ketujuh yang bernama Tana Mumu – Watu Nggela (tanah berguncang dan batu bergoyang). Akan tetapi kini La Hupu Ina – La Hupu Ama tidak ikut turun, tetap tinggal di lapisan keenam dan ditemani oleh ahu walu ngiu – tawongu walu tiu (anjing delapan ekor dan lebah delapan sarang). Ternyata keadaan di lapisan ketujuh itu pun tidak aman, sehingga para marapu memutuskan untuk turun lagi ke lapisan kedelapan, kecuali Tara Hau – Lulu Weu yang tetap tinggal di lapisan ketujuh. Di lapisan kedelapan, para marapu tinggal lama dan mereka belajar segala pengetahuan serta nuku – hara yang sampai kini diikuti oleh keturunannya di bumi. Langit pada lapisan kedelapan ini bernama Taluara Mbidahu - Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Njati ( halaman rata dan balai bercahaya di bawah naungan pohon jeruk dan pohon jati). Akan tetapi, pada lapisan kedelapan ini para marapu masih merasa tidak aman, karena itu mereka menyuruh Mbongu-Mbaku (kabut dan elang) terbang untuk mencari tempat yang lebih baik bagi kediaman mereka. Pada suatu saat dalam penerbangannya, Mbongu - Mbaku mendapatkan bahwa di bawah lapisan kedelapan ada suatu dataran yang sangat luas. Namun setelah diselidiki ternyata yang terlihat seperti dataran itu hanyalah air semata. Kemudian kembalilah mereka untuk mengabarkan hal tersebut kepada para marapu. Setelah mendengar penjelasan itu, para marapu mengutus Mbongu - Mbaku untuk menghadap La Hupu Ina-La Hupu Ama di lapisan keenam. Di lapisan keenam, Mbongu-Mbaku menceritakan maksud mereka kepada La Hupu Ina – La Hupu Ama yang kemudian memberi mereka berjenis-jenis tanah dan batu agar dihamburkan ke seluruh permukaan air. Sekembalinya dan lapisan keenam dan menyampaikan segala pesan La Hupu Ina- La Hupu Ama tersebut kepada para marapu, kemudian Mbongu-Mbaku menghamburkan tanah dan batu itu ke seluruh permukaan air sehingga terjadilah pulau-pulau besar dan kecil. Sesudah segala pulau besar dan kecil itu ada, maka bermufakatlah para marapu untuk turun ke bumi dengan panongu bahi- panongu atu (tangga besi dan teras kayu). Mereka turun di Malaka-Tana Bara, kemudian mereka berlayar dengan menggunakan karaba rongu-karaba rita (sampan randu dan puli) melalui Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa - Ndua Njawa, Ruhuku Mbali, Ndima- Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba-Rai Njua dan akhirnya tiba di Haharu Malai- Kataka Lindiwatu (Tana Humba, Pulau Sumba).

Sistem Upacara-upacara Keagamaan

Menurut Koentjaraningrat (1977:241), dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan-perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Umalulu untuk melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Umalulu dengan para marapu didasari oleh rasa cinta ,hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci. Perasaan-perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan. Upacara-upacara keagamaan di Umalulu selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada bagian muka sudah dikemukakan bahwa seluruh kehidupan orang Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.


Tempat-tempat Upacara

Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain : Uma karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan; Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan; Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru; Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit; Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh; Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan . Selain itu, tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada ialah tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa, kawadaku dan uhu mangejingu diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu.

Katuada ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu : 1. Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah. 2. Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu. 3. Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya. 4. Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik. 5. Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana. 6. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah. 7. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu. 8. Katuada bungguru (tugu persekutuan) , tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik. 9. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan. 10. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah). 11. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut. 12. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali) karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan rnenghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.

Saat-saat Upacara

Menurut pandangan orang Umalulu, manusia itu merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dan manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut tanda wulangu. Kalender adat ini tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku — hara dari para leluhur. Bila diubah akan menimbulkan kegoncangan yang menimbulkan bahaya dan kemarahan para leluhur. Secara kalender adat setiap tahun dibagi dalam dua belas bulan yang pada setiap bulannya selalu ada acara-acara adat.

Kalender adat ini, seperti yang masih dilakukan orang Umalulu, adalah sebagai berikut : 1. Wulangu Mangata (Maret-April). Bulan pertama ini merupakan bulan padira ura tana – padira wula mbaki, yaitu bulan batas tahun kepicikan dan kelaparan. Pada bulan inilah diiaksanakan pesta dan upacara Pamangu langu paraingu (pesta dan upacara tahun baru), sebagai suatu saat untuk menghabiskan hasil tahun yang lama dan menanti hasil pada tahun yang baru. Segala yang lama harus diganti dengan yang baru. Rumah-rumah, halaman, kubur-kubur dan kampung harus dibersihkan, demikian pula dengan alat-alat rumah tangga dan pakaian harus dibersihkan atau diganti dengan yang baru. Pada perayaan ini, setiap keluarga saling mengunjungi dan saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah dibuat. Di setiap kampung dilakukan upacara Na ruku aku marapu — lii marapu, yaitu upacara pengakuan dosa dan kebaktian kepada para marapu yang dilaksanakan di katuada paraingu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Selain itu pada setiap malam diadakan tari-tarian dengan diiringi nyanyian Ludu langu paraingu yang dibawakan oleh pemuda-pemudi. Di kebun dilaksanakan pula upacara Huamba ihi wuaka (mensucikan isi kebun) yang dimaksudkan agar para marapu dan para arwah penjaga kebun memberi kesuburan serta kelimpahan hasil kebun itu. Upacara ini dilakukan di katuada wuaka.

2. Wulangu Paludu (April-Mei). Pada bulan ini dilakukan upacara Habarangu papu wataru yaitu upacara memohon ijin untuk memetik jagung. Setiap keluarga batih yang hendak panen jagung membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu serta melaksanakan upacara pemujaan di katuada wuaka. Bagi pemuda dan pemudi yang handak menikah, mereka melakukan upacara Paihingu marapu ba papa yang dimaksudkan agar para marapu memberi ijin mereka untuk melangsungkan pernikahan. Upacara ini dilaksanakan di rumah si pemuda atau si pemudi yang hendak menikah. Pada malam hari, ketika membersihkan dan mengikat jagung, penduduk desa baik pria maupun wanita, tua dan muda mengadakan dekangu, pangiarangu yang disertai nyanyian-nyanyian pantun seperti panawa, padira analalu dan ludu hema.

3. Wulangu Ngura (Mei-Juni). Hal-hal yang dilakukan pada bulan ketiga ini antara lain melaksanakan upacara Paihingu marapu ba muti, yaitu upacara meminta ijin kepada para marapu untuk menuai padi. Upacara in dilaksanakan di uma bokulu dan di katuada paraingu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Pada malam harinya dilakukan upacara yang sama di ladang atau di sawah. Kemudian dilanjutkan dengan resitasi lii marapu yang disertai oleh nyanyian-nyanyian. Keesokan harinya dilakukan upacara dan pesta potong padi yang disebut Haberangu muti atau Muti uhu. Pada waktu menuai diundang pula orang-orang dari kampung lain sehingga merupakan suatu keramaian. Malam harinya dilanjutkan dengan parina (injak padi) yang dilakukan sambil menari dan menyanyi sampai pagi hari.

4, Wulangu Tua Kudu (Juni – Juli). Pada bulan ini di ladang dilakukan pesta dan upacara Kanduku wuaka, yaitu upacara tutup panen yang dilaksanakan untuk menyatakan rasa terima kasih kepada para marapu dan Mapadikangu Awangu Tana yang telah memberi hasil panen yang baik. Pasta tutup panen ini berlangsung beberapa malam yang diisi dengan nyanyi dan tari. Pada waktu penutupan dilakukan upacara paluhu kalamba dan upacara paluhu tada, yaitu upacara mengeluarkan sekam padi dan kulit jagung ke luar kampung dengan maksud agar para marapu menghilangkan segala hal yang buruk dari hasil-hasil yang diperoleh dan memohon agar pada waktu mendatang diberi hasil yang lebih baik.

5. Wula Tua Bokulu (Juli – Agustus). Upacara-upacara yang dilakukan pada bulan kelima ini antara lain upacara Pamangu kawunga, Habarangu la katuada bungguru dan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara Pamangu Kawunga ialah upacara permujaan untuk mernpersembahkan hulu hasil kepada para marapu terutama kepada Marapu Ratu yang dileksanakan setiap empat tahun sekali di rumah pemujaan Uma Ndapataungu. Upacara ini bertepatan pula dengan diperbaikmnya rumah pemujaan tersebut dan merupakan suatu pesta adat kaum keluarga yang mempunyai hubungan dengan marapu yang bersangkutan. Dalam upacara ini setiap kabihu diwajibkan mempersembahkan hulu hasil yang berupa hunggu maraku (persembahan yang berupa hasil pertanian, terutama padi, dan hasil peternakan), pahapa dan kawadaku Biasanya dalam masa-masa persiapan sudah diadakan tari-tarian, resitasi lii marapu yang disertai nyanyian-nyanyian hingga upacara selesai. Upacara Habarangu la katuada bungguru ialah upacara yang dilaksanakan ketika akan membuka hutan untuk dijadikan ladang baru. Upacara ini dilaksanakan di katuada bungguru dengan maksud agar semua dewa-dewa dan arwah-arwah yang berada di seluruh peladangan dan hutan memberkati pekerjaan mereka. Adapun upacara-upacara siklus hidup yang dilakukan pada bulan keIima ini ialah upacara yang tidak berhubungan dengan kelahiran dan kematian, melainkan upacara yang berhubungan dengan inisiasi dan perkawinan. Upacara-upacara itu ialah upacara puru la wai (turun ke air, sunat) untuk pemuda, upacara nggutingu (gunting rambut) untuk pemudi, kemudian dilakukan pula upacara rondangu (potong gigi), kamiti (menghitamkan gigi ) dan katatu (rajah tubuh) yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi. Selain itu pada bulan ini dilakukan pula upacara pamau papa (perkawinan).

6. Wulangu Kawuluru Kudu (Agustus – September).

Pada bulan ini dilakukan upacara Pamangu lii ndiawa – lii pahuamba atau disebut juga upacara Wunda lii hunggu — lii maraku, yaitu upacara persembahan dan pesta perjamuan para dewa. Pesta dan upacara ini memerlukan persiapan tujuh tahun lamanya dan baru pada tahun kedelapan dapat dilaksanakan. Pesta dan upacara ini sebenarnya bukan bersifat umum, melainkan khusus untuk satu atau dua kabihu yang bersangkutan. Akan tetapi setiap kabihu yang berada di bawah pengaruh kabihu yang mengadakan pesta diwajibkan membawa persembahan pula berupa pahapa, kalaja wingiru — kalaja bara (nasi kebuli kuning dan putih), wolu la pahiki — wolu la papanda (tuak dalam guci dan botol kuningan), kanata huluku — kanata kuluru (sirih pinang yang digulung), kawadaku marara — mabara (keratan mas dan perak) dan manu palunggu — karambua papawiringu ( ayam yang terbaik dan kerbau yang disucikan). Upacara ini dilaksanakan di uma bokulu dan di rumah pemujaan Uma Ndapataungu sebagai tanda bakti kepada Marapu Ratu dan para marapu lainnya dengan harapan agar diberi kesuburan dan kemakmuran. Pada malam hari diadakan tari-tarian, nyanyian-nyanyian dan resitasi lii marapu. Apabila sedang tidak melakukan upacara-upacara tersebut, orang Umalulu melakukan upacara lainnya, misalnya upacara wulu uma (upacara membuat rumah), atau upacara pamau papa.

7. Wulangu Kawuluru Bokulu (September – Oktober). Pada bulan ini upacara-upacara yang biasa dilakukan ialah upacara wulu uma dan upacara pamau papa . Bagi keluarga-keluarga yang hendak menanam jagung, maka harus melakukan upacara Paihingu marapu ba tondungu wataru di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Kemudian dilakukan lagi upacara Habarangu tondungu wataru di katuada wuaka.

8. Wulangu Ringgi Manu (Oktober - Nopember). Pada bulan ini dilakukan upacara Hiri paraingu — paluhu maranga, yaitu upacara membersihkan kampung dari bahaya penyakit dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Upacara-upacara lainnya yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pamau papa dan upacara pataningu (penguburan).

9. Wulangu Tula Kawuru (Nopember—Desember). Bulan kesembilan ini disebut pula bulan kahana (sepi), karena hampir tidak ada upacara-upacara yang dilakukan penduduk. Upacara yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pataningu.

10. Wulangu Habu (Desember – Januari). Pada bulan ini dibakukan upacara Paihingi marapu ba tondungu, yaitu upacara untuk meminta ijin kepada para marapu agar diperbolehkan mulai menanam. Upacara ini dilakukan oleh setiap kepala keluarga di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Setelah itu diadakan pula upacara di ladang atau di sawah, yaitu upacara Habararangu tondungu yang dilaksanakan di katuada wuaka dan di katuada padira tana dengan maksud agar para marapu dan para arwah yang berada di ladang memberi kesuburan dan tidak mengganggu tanaman yang akan ditanam. Bagi keluarga-keluarga yang hendak memetik jagung siram diharuskan melakukan upacara Habarangu papu wataru.


11. Wulangu Wai Kamawa (Januari – Pebruari). Seperti halnya bulan kesembilan, bulan kesebelas ini disebut pula bulan kahana (sepi). Pada bulan ini angin bertiup sangat keras disertai hujan deras sehingga adakalanya membawa bencana, karena itu bulan ini disebut wai kamawa.

12. Wulangu Mbuli Ana (Pebruari – Maret). Pada bulan ini dilakukan upacara Hemi rau uhu - rau wataru, yaitu upacara yang dilakukan ketika jagung mulai berbuah dan padi mulai berbunga. Upacara di lakukan di ladang dan dimulai pada malam hari dengan menceritakan lii marapu semalam suntuk. Pagi harinya dilakukan upacara mengusap daun jagung dan daun padi dengan air santan yang telah diberkati oleh ratu. Bagi orang-orang yang hendak pergi berburu diwajibkan melakukan upacara Patamangu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu di katuada bungguru.

Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Umalulu ada saat yang dianggap genting atau krisis. Saat-saat itu ialah sekitar kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami-istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir. Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu , untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu. Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara Hangguru, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai. Upacara-upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara Hangguru, harus disediakan seekor babi yang seIuruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu). Setelah berumur antara dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari masa anarara menjadi anakiada (kanak-kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu (memahitkan air susu, penyapihan). Upacara ini dilakukan dengan permohonan kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan mengikuti orang tuanya bekerja di ladang. Anakiada yang berusia antara dua sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), karena rambut mereka dicukur gundul hanya bagian atasnya saja, bagian belakang dibiarkan panjang, sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Sedangkan untuk anak laki-laki biasanya hanya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan. Pada waktu anakiada beralih menjadi bidi tau , yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat tahun,dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh secara meminta atau mencuri di kampong-kampung sekitarnya. Pada hari keempat, ratu atau paratu yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara itu masing-masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung. Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau, Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan tambahan kekuatan gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi ) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban. Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting dalam kehidupan seseorang ialah saat perkawinan. Untuk menghadapi saat krisis itu, orang Umalulu melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para marapu. Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku — halubu la mandu mara (menjelma bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyaiah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain. Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit. Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam.

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian ini adalah : 1. Yubuhu — karandi (kapan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki-laki, sedangkan untuk wanita ialah sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai-balai) untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara- anamini (ipar dan saudara laki-laki).

2. Dangangu - ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut di balai-balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu — ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya - anakawini (ipar dan saudara wanita). Jadi pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang-kadang menuntut waktu lama. Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum pemakaman yang sesungguhnya. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang-orang yang khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa pahapa dan kurban ayam atau babi. Ada kalanya pula dipotong kerbau atau kuda, yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan ada kalanya hingga bertahun-tahun, terganturig pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman dilaksanakan. Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai-taulan di dalam atau di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) didandani dengan pakaian dan perhiasan yang indah. Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam. Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah si mati melemparkan benda-benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu kubur). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata, kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki , dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi. Selanjutnya dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan kampung lain. Peristiwa itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan masing-masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah mereka semua. Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati ke Parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka arwah si mati hanya tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan pada pesta Pamangu langu paraingu yang diadakan setiap Wulangu Mangata.

Benda-benda Upacara

Untuk memperingati marapu, orang Umalulu mengeramatkan benda-benda yang biasanya digunakan dalam upacara-upacara. Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda upacara dijadikan obyek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan obyek pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan. Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu ; Pertama, tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu Manurut kepercayaan, roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri. Tanggu marapu la hindi yang paling dipuja di Umalulu ialah tanggu marapu dari Uma Ndapataungu yang berupa perhiasan emas dan dua buah guci yang disebut na mbalu rara — na kihi muru. Suatu hal yang istimewa dari tanggu marapu dari Uma Ndapataungu ini ialah tidak disimpan di dalam menara rumah seperti tanggu marapu iainnya, melainkan mempunyai tempat khusus, yaitu di dalam rumah pemujaan yang disebut Uma Ndapataungu juga. Tanggu marapu dalam golongan kedua ialah tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya. Bila ada peristiwa-peristiwa penting, seperti upacara kematian, pesta langu paraingu dan pamangu ndiawa benda-benda tersebut dipamerkan. Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda.


Kelompok-kelompok Keagamaan.

Di dalam masyarakat Umalulu dapat dikatakan tidak ada satu segi kehidupan yang tidak diliputi oieh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan untuk melayani kepentingan marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu upacara karena orang tuanya sedang berhalangan. Ketika hendak menjalani hidup berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih), maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan sajian untuk dipersembahkan kepada marapu. Sebagai pemegang pimpinan utama dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga) mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang, memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili oleh anak laki-lakinya yang tertua. Seperti telah dikemukakan bahwa kelompok kekerabatan yang terbesar dalam masyarakat Umalulu ialah kabihu. Kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan uma-uma yang merasa diri berasal dan satu nenek moyang. Setiap kabihu rnempunyai benda-benda pusaka tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya. Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa. Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri , dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena diantara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu parkampungan besar yang disebut paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan, karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu, misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa — lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan paratu.

Perubahan Dewasa Ini

Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan sampai dewasa ini agama asli mereka mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan mereka terutama di kalangan masyarakat desa. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Menurut Widijatmika (1980:11-12), dalam perkembangannya masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen sudah sejak tahun 1881 dilancarkan, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, namun itu pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih agama (Kapita,1976:80). Selain itu sekolah-sekolah dari pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school (Widijatmika,1980:33). Meskipun demikian ternyata usaha-uasaha tersebut belum mendapat hasil yang memuaskan. Berdasarkan asumsi bahwa kehidupan di dunia selalu berubah. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak berubah. Demikian pula tidak ada kebudayaan yang statis secara absolut. Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah (Robertson,1988:XII). Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Umalulu pun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’. Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu (Suriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak akurat dan mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/- 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam “KTP” saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih agama “KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“ beralih agama untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya pilihan. Mereka pasrah dibawah tekanan para penguasa. Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan yang ‘kompromistis’, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Suriadiredja sikap dan tindakan yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada kebudayaannya mempunyai prinsip-prinsip struktural berdasarkan pembagian dyadic-triadic (1983:405-409). Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam. Melalui inversi akan tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis. Bagi masyarakat Umalulu, sejalan dengan pendapat O’dea (1985:216), agama merupakan salah satu bentuk “perlindungan budaya” melalui mana -- secara sadar atau tidak-- ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat diredakan. Di satu pihak mereka ingin tetap dengan agama dan ketradisionalan mereka sendiri, tapi dari sudut pandang lain mereka seperti mengikuti pendapat bahwa agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan yang sudah usang (Nottingham:1985:4). Masalahnya kemudian adalah apakah mereka akan ‘bersembunyi’ terus di balik kepentingan ‘target statistik’ ? Apakah yang berbau milik “pribumi” atau “asli lokal” harus selalu tersingkir dan kemudian musnah ? Mungkin mereka belum dan harus mengetahui bahwa dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 18 tercantum : “ Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; hak ini mencakup pula kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan, mengamalkan, beribadah dan melakukan upacara, baik sendiri maupun bersama-sama, secara terbuka atau tertutup”.