Showing posts with label Agustus 2003. Show all posts
Showing posts with label Agustus 2003. Show all posts

Sunday 20 February 2011

Semakin dan Semakin ke Barat

Semakin dan Semakin ke Barat


Lelaki itu adalah masa kecilku. Masa kecil berterik matahari di gersang sawah kemarau pada musim burung-burung melintas, ketika mosaik retakan tanah mendidihkan cairan tubuh lewat telapak kaki tak beralas kami–aku, adikku, dan anak-anaknya. Masa kecil berbasah keringat menyambung, mengikat, dan menancapkan tonggak-tonggak bambu setinggi belasan meter untuk menyangkutkan jaring penangkap burung. Masa kecil berlarian ke sana kemari menghalau camar, dara laut, ayam-ayaman, belibis, dan sesekali blekok maupun kuntul putih pada petang harinya, agar berbelok terbang menerjang jaring puluhan meter yang kami bentang di sepanjang pematang sawah. (Wah, kepala burung-burung yang naas itu menancap pada jaring sampai ke leher, sia-sia menggelepar mencoba melepas diri, sampai akhirnya dengan napas tersengal tergelantung seperti sebuah shuttlecock yang menancap dalam pada net setelah dihantam King Smash yang termasyhur itu.)

Empat puluh tahun lalu kawasan Kapuk masih bentangan ladang, sawah tadah hujan, empang, rawa, dan belukar di pinggiran kota Jakarta, pinggiran yang paling pinggir. Di sela hamparan luas dan terbuka itu terselap-selip perkampungan-perkampungan kecil masyarakat campuran ataupun sepenuhnya Betawi. Di pondok gedek tepat di seberang rumahkulah lelaki kekar setinggi kusen pintu itu tinggal bersama anak-anaknya, dua bocah temanku keluyuran, mencuri gurami di empang, mengail-getar gabus di selokan sawah, menawu lele di rawa, maupun mengetapel tekukur di kuburan.

Itulah Pak Buari yang kukenal, tinggi kokoh seperti batang pohon asam, dengan lengan penuh cacing otot yang sanggup menggotong belasan tonggak jaring seorang diri. Kuingat betul langkah yang tergesa dan penuh hampir tiga kali lebar langkahku, suara paraunya yang habis menghalau burung, dan wajahnya yang penuh bekas cacar tapi jauh dari menakutkan. Sulit kulupakan sosoknya yang bersemangat sepanjang musim penangkapan burung. Sungguh berbeda dengan sosok lunglai tak bersemangat yang berdiri di hadapanku ketika keusilan hidup mempertemukan kami kembali di utara lintasan tol Ciujung; sosok yang mendongeng jauh lebih panjang lebar lewat kerak kusam kulit dibanding lewat bibir.

“Lintasan burung-burung itu terus semakin ke barat… dan kami terus berpindah semakin ke barat dan semakin ke barat pula mengikuti. Entah kenapa mereka sekarang ogah masuk pinggiran Jakarta seperti dulu,” desahnya ditanya alasan menjaring di situ, demikian lirih seakan khawatir mengejut-terbangkan kawanan burung itu semakin ke barat lagi. Jejak suaranya yang keras parau seakan coba dihapus dari ingatanku.

Angin melenting-lentingkan tonggak-tonggak bambu, melata perlahan menjilati bantaran Sungai Ciujung, tempat mereka menancapkan penyangkut jaring itu. Embusannya yang berdebu dan panas, laik dengus puncak sebuah percintaan yang sia-sia, memedihkan bola mataku. Aku terkenang masa-masa menunggu di rembang petang, ketika angin yang menyusur dari barat kerap berarti kabar baik, bak angin buritan bagi perahu layar, mendorong kawanan burung liar lebih bergegas tiba di pinggiran barat Jakarta. Aku terkenang ketika sesorean kami waswas menatap cakrawala barat, dan melonjak gembira kalau satu-dua burung liar mengalami salah sinyal dalam kepala mereka dan terbang mendahului rombongannya. Biasanya, tak lama kemudian kawanan burung-burung itu akan melintas dari barat ke timur menyusuri pantai, empang, sawah, ladang, dan rawa di sepanjang kawasan utara, dulu- mendahului dalam rombongan- rombongan yang semakin besar. Camar dan dara lautlah yang biasanya terbang mendahului. Mereka melintas menuju pantai-pantai teluk Jakarta yang lebih sepi dan terbuka, yang lebih menjanjikan ikan, cere, kecebong, ulat, belalang, ataupun cacing; dan lalu juga semak kangkung-kangkungan, belukar bakau, atau pepohonan nyamplung untuk bertengger menanti fajar merekah. Terkadang mereka tiba dalam rombongan yang sangat besar sehingga langit Kapuk yang kelabu kelam diracuni asap pabrik-pabrik dari kawasan Angke, di rembang petang itu mendadak ditumpahi gumpalan-gumpalan bayang-bayang gelap yang melebar-menyempit membendung sisa-sisa semburat jingga senja.

Kenangan inilah yang menghentikan mobilku sepulang dari Pantai Carita, ketika tak jauh di utara badan tol Ciujung kulihat jaring burung terbentang di bantaran sungai. Di musim penghujan, Ciujung selalu meluapkan banjir ke badan tol mengakibatkan kemacetan, namun saat itu pertengahan kemarau akhir Juni dan ia tak lebih dari parit satu lompatan dengan kubangan-kubangan lumpur di kanan-kirinya. (Tentu banyak lele, belut, dan moa terperangkap di sana menunggu kecipak sejuk hujan, atau gemertak panas minyak di penggorengan.) Segera kukenali pokok asam itu walau sekarang kurus, melengkung, dan masai.

“Cepat betul waktu berlalu ya Pak,” sapaku menghampiri.

Dia tak segera mengenaliku, namun kisah menjaring dan menawu ikan di masa lalu segera membuat matanya terbelalak. (Kami pernah menjadi tontonan banyak orang ketika mendapat tangkapan spektakuler di rawa-rawa Muara Buaya: seekor sembilang berbobot empat kilogram. Sungguh kenangan yang sulit dihapus, ikan itu betul-betul montok laik bayi yang getol menyusu pada ibunya.) Seperti bebek bingung, dia langsung berteriak-teriak memanggil rombongannya. Baru kusadari kedua teman sepermainanku dulu juga ada dalam rombongan itu.

“Sekarang kami tinggal di sini.” Pak Buari menunjuk kampung di balik kelokan sungai. “Sejak di Kapuk, sudah lima kali bapak sekeluarga pindah sebelum tinggal di sini. Selalu semakin ke barat, mengikuti lintasan burung-burung. Sekarang, di daerah ini burung-burung juga terus menyusut; dua tahun belakangan malah hampir tak ada lagi rombongan besar melintas. Sekarang pedagang burung goreng langganan bapak dipasok penjaring dari Banten dan Lampung; mungkin bapak juga harus segera pindah ke sana.”

Aku membayangkan hutan beton Jakarta, dan ratusan kawasan perumahan baru yang mengepungnya dari tiga penjuru, menggantikan sawah, ladang, rawa, empang, pantai, semak, padang rumput dan ilalang, bahkan kuburan, telah menghalau burung-burung itu menjauh. Niscaya burung-burung itu tetap harus menjalani ritual alami mencari makan, tapi lintasan mereka semakin pendek ke barat, semakin dan semakin ke barat… tempat matahari juga terbenam. Burung-burung itu tergebah, namun, sepertinya, bukan hanya mereka….

Kukatakan kepada anakku, Engkong Buari adalah tetangga seberang rumah kakeknya di Kapuk dulu. Dialah orang yang lebih menyempatkan diri mengajari bapaknya memancing ikan, menjaring burung, maupun membuat layang-layang. (“Jadi bukan kakekmu,” gumamku tertelan. Pikiranku menerawang ke masa bocahku ketika manusia masai di hadapanku ini banyak ikut mengisi ruang-ruang kosongnya sehingga menjadi lebih penuh dan lebih bisa dikenang.)

“Yah, berapa kilo rumah kakek dari sini?” sela anakku.

“Lima puluh, atau… mungkin enam puluh kilometer.”

“Kalau pindah ke barat terus, nanti empat puluh tahun lagi bisa-bisa Kong Buari menjaring burung di Carita, ya, Yah?”

Aku terperangah oleh demonstrasi matematika dasar yang diproses dalam kepala kecil yang menggelendot menggesek- gesekkan pipi di perutku. Bulat bening mata anak kelinci itu berkedap-kedip layaknya lampu sinyal sebuah komputer meja yang sedang memproses data. Mengawali perjalanan, bocah itu bertanya jauh Pantai Carita dari Jakarta, mungkin sambil membayangkan berapa jam lagi baru bisa menggelar play station-nya.

“Ah, kamu ini betul-betul kalkulator kayak kakekmu; apa saja dihitung, bahkan duit yang masih ada di kantong orang lain.”

Pak Buari menebarkan giginya ke padang ilalang.

“Betul kan Yah? Kan ayah bilang Carita seratus kilo lebih dari Jakarta,” protesnya menengadah. Matanya menyipit disergap matahari. Aku menekan depan topi petnya lebih dalam.

“Boleh jadi. Tapi, umur manusia kan….” Kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Aku menoleh ke Pak Buari yang masih menyungging bibir, khawatir dikira menyumpahi dia cepat mati.

“Malah mungkin sudah menyeberang sampai Lampung,” selorohku sekenanya mencoba mengatasi kikuk. Sejak awal perjumpaan memang terlintas di benakku kepenatan di wajahnya yang seperti meratap minta diakhiri. Badannya melengkung dengan sepasang lengan tergelantung mengisut, kedua batang kakinya terus bergoyang kecil seperti ilalang mengegos terpaan angin, dan jemarinya terus bergeletar kecil seperti kawat jemuran ditinggal terbang pipit, menceritakan dengan jelas penat yang ingin segera disudahi. (Dan, empat puluh tahun lagi usia manusia ini sudah melewati satu abad. Wah!) Pikiran ini membuatku jengah, membangkitkan semacam perasaan tertangkap basah.

“Malah berapa abad lagi, kalau umur engkong sudah berapa ratus tahun nanti, engkong dan encingmu barangkali malah sudah harus menjaring burung di Madagaskar,” timpal Pak Buari terkekeh.

“Madagaskar? Di mana tu kong? Jauh ya Yah?”

“Ya. Jauh. Jauuuh sekali.” Orang tua itu menuding ke barat, telunjuknya mendongak ke atas seperti ingin melompati padang ilalang, pulau-pulau, dan samudra; bahkan menyeberangi cakrawala.

Aku, Pak Buari, dan anak-anaknya kembali tergelak, sementara anakku berkerinyut kening. Dia meringis lucu. Di wajahnya, ada sesuatu yang tak jadi terucap.

Waktu tak terasa meredup. Matahari lengser. Dari ufuk barat semburat jingga menyembur semak dan ilalang dengan sisa- sisa kehangatannya. Anakku memaksa menunggu gelap tiba agar dapat menyaksikan burung-burung liar itu masuk perangkap, dan bergeletar menancap pada jaring, persis seperti yang sering kudongengkan kepadanya. Akan tetapi, petang itu aku telanjur membuat janji yang tak mungkin kuabaikan. Menggamit menyalam-tempeli, aku pamit seraya berjanji akan segera mengunjunginya kembali. Malu-malu dia mendesah, bola matanya berpendar jingga menjawab basa-basiku.

“Kapan ya… Bapak akan segera pindah lebih ke barat lagi akhir bulan ini. Terima kasih banyak…,” ujarnya memburai- burai rambut anakku. “Rajin belajar ya. Jangan lupa engkong….”

Melesat cepat kami memasuki Jakarta seperti ingin mengakhiri sesuatu dengan memulai sesuatu yang lain: sebuah penyesuaian diri terhadap kota yang selalu membuat warganya tersengal-sengal mengikuti iramanya yang serba gegas. Bayang-bayang pagar lintasan tol, rumah-rumah mentereng di real estate yang gundul pepohonan, rerumputan, ilalang, kumis kucing, serta semak kangkung- kangkungan yang layu dan berdebu di hamparan-hamparan tanah luas dan terbuka, yang telantar menunggu kelanjutan pembangunan yang tak kunjung tiba, dengan cepat berkelebat ke belakang ditelan bayang-bayang mobilku. (Sempat terlintas tanya, mengapa begitu banyak orang lebih suka melihatnya telantar mubazir seperti itu? Betapapun, aku juga menyadari, semua ini tentu jauh lebih pelik-malah bisa jadi musykil-dari yang dapat kita rasakan, yang aku rasakan. Bahkan, bisa jadi, oleh sebab yang tidak pernah betul-betul kita kenali musababnya, gemintang di langit bisa saja mendadak bergeser semaunya sendiri, berlarian, berkejaran, atau bahkan bertubruk-tubrukan, dan lalu jentera nasib pun ikut menggeleser pula, mengubah nasibku, nasib anakku, atau mungkin nasib salah satu cucu- buyutku untuk sekali lagi bersilangan nasib dengan Pak Buari, anak-anak Pak Buari, cucu Pak Buari, cicit-buyut-canggah Pak Buari, bisa pula Pak Buari-Pak Buari yang lain, atau bahkan bukan Pak Buari-Pak Buari yang lain entah siapa pun nama mereka; bersilangan pada satu titik tanah-tanah gusuran di antara Carita-Jakarta, sebagai yang tergusur dan menggusur, atau apa pun lakon masing-masing, dan aku, celakanya, tak tahu harus berbuat apa… selain menyebutnya sebuah ironi, barangkali.)

Seperti sontak menyembul dari keremangan senja, anakku berkata, “Ayah tidak usah khawatir….” Bocah itu menatap lekat-lekat kedua bola mataku seakan hendak menyelam dalam ke danau kenangan di baliknya. “Ibu guru bilang bumi ini bulat. Nanti, kalau sudah Madagaskar, lama-lama juga engkong bakal mutar balik sampai Jakarta lagi, dan kita bisa ketemu lagi. Iya kan Yah?”

“Ya…, tentu…,” sahutku seperti menakar keyakinan.

“Tapi lain kali sampai malam Yah. Aku mau lihat burung-burung itu kejaring.”

“Usia manusia tak sepanjang itu.” Kutelan kembali kata-kata ini sebelum melompati tenggorokan. Ada sesuatu dari masa lalu mencegahku mengucapkannya betapapun sosok kekar itu bukan saja sudah tertinggal lebih dari enam puluh kilometer, melainkan bahkan, kehangatannya padaku, telah tertinggal lebih dari empat puluh tahun ke belakang.

“Kalau waktu itu tiba, Jakarta sudah berubah total jadi rimba beton, jalan aspal, dan ladang parkir. Takkan ada cukup kecebong, ulat, belalang, cacing, cecere, apalagi ikan- ikan yang lebih besar. Burung- burung itu takkan tertarik kembali kemari, begitu pula….”

Mata kelinci itu kembali berkedap-kedip mensinyalkan kecamuk keras dalam kepala mungil sang bocah untuk memahami ironi, fakta hidup, permainan nasib, atau apa pun namanya, yang sedang berlangsung.

“Mungkin mereka tidak suka makan burger dan bertengger di mal-mal,” ujarku membahasakan keruwetan itu semudah mungkin agar bisa lebih dipahami bocah ini.

Bibirku terangkat sebelah. Bayang-bayang Jakarta yang senja, yang panjang dan jingga, dengan cepat berebahan di sepanjang pagar tol, lalu berkelebat ke sebalik punggungku. Betapa cepat waktu melintas, jauh lebih cepat dari yang dapat dicatat sebuah speedometer. Kubayangkan, seharusnya, inilah saatnya. Inilah saat mereka bersorak melonjak-lonjak melihat kawanan besar burung-burung liar sedang melintas cepat dari langit barat. Akan tetapi, bayangan lain terus menyela: juga itulah saatnya matahari terbenam di ufuk barat… .



Budiarto Danujaya

Mati Sunyi

Mati Sunyi



Koran-koran menulis tentang kematian Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah kehilangan salah satu anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah pergi! Bangsa ini berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba menayangkan kisah sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran bendera setengah tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah mengharumkan nama bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang menghargai hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata dan tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan.

Andai saja politik sempit tidak ikut bermain, seharusnya dialah yang pantas tahun lalu mendapatkan Nobel Perdamaian!” begitu salah satu komentar koran lokal dengan sebuah berita yang nyaris emosional mengutip komentar seorang tokoh nasional.

Sebagai keponakan, tiba-tiba aku dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal, termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben.

Tetapi alangkah sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan dengan jujur. Apa yang mesti kukomentari? Semua kisah hidup Bibi telah diketahui umum. Semua sepak terjang Bibi selalu menjadi headline. Padahal, mereka kini ingin mencari yang lain, yang unik, yang bisa didapat dari kisah hidup Bibiku. Bila perlu yang eksotik dan bernilai berita, yang tersembunyi dalam hidup Bibiku. Ah, hidup Bibiku berjalan normal. Perkawinannya bagus. Anak-anaknya pun tak ada yang aneh-aneh. Semua normal dan lancar. Bibi seorang ibu, seorang istri. Manusia yang normal-normal saja. Apalagi yang mesti ditulis?

Yah, akhirnya mereka menjadikan upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan. Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan mengikuti ritus adat.

Bagi para pengejar berita, para pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global… upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst!

Aku merunduk menahan sakit kepala.

Haruskah aku bilang, bagi desa ini, desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita, setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi bukan warga istimewa.

Bibi dan suaminya telah lama meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal, Bibi kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual.

Sebaliknya sejak lama, bagi desa ini, Bibi tidak lagi bagian masyarakat. Bibi dan paman sudah lama tidak aktif di banjar. Begitu pun anak-anaknya. Tidak pernah lagi mengikuti berbagai kegiatan upacara dan sosial masyarakat desa. Kalaupun sesekali datang, mereka datang untuk berlibur. Mengurus rumah dan tanah warisan. Atau pulang seperti sekarang, di saat mati.

Ya, di jalan-jalan desa memang berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi, tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu.

Begitu pun dalam keluarga besar, hampir semua memang datang melayat, tetapi semua bersikap sebagai tamu, tak ada yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat. Dulu, bukankah begini caranya Bibimu memperlakukan kami jika kami menghadapi kematian?

Aku mengerti sikap mereka. Keluarga lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi semasa hidup terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan. Dan sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga.

Protes khas atas sikap Bibi dan anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya waktu untuk acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa yang tenang. Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh Bibiku.

Sudah diduga sejak lama akan datang balasan semacam ini dari warga desa terhadap Bibi dan anak-anaknya. Balasannya yang begitu halus, jauh dari komentar. Tanpa umpatan atau sesal mengenai sikap Bibi selama hidup. Mereka tahu, jalan diam adalah yang terbaik menghadapi orang yang sudah mati.

Yah, sejak lama aku pun mengalami kegamangan. Setiap kali bermain ke Jakarta atau bertemu dengan beberapa tokoh di negeri ini, lalu mereka bertanya dan menempatkan Bibi seolah-olah orang yang amat berpengaruh di daerah asalnya, aku selalu tersedak dan hanya bisa tersenyum miring.

Oh-ho! Bibi memang berjalan di atas ide dan gagasannya sendiri. Pantas dikagumi. Wajar semua kagum atas sepak terjangnya, apalagi kemajuan media massa, terutama koran-koran bila menuliskan sikap keberpihakan Bibi terhadap kemanusiaan. Membuat Bibi di mana-mana ditunggu kehadirannya. Dipanutkan dan didengarkan kata-katanya. Komentar Bibi berpengaruh, selalu dikutip. Bibi memang hebat. Konsisten dan tidak diragukan kejujurannya!

Tetapi, haruskah aku bilang kepada para pengagumnya bahwa apa pun yang dilakukan Bibi tidak terkait dengan masyarakat tempat asal-muasalnya. Semua aktivitasnya jauh dari desa ini. Ide dan gagasan Bibi adalah untuk manusia dunia. Bukan manusia di desa. Sekalipun desa kelahiran Bibi tak kalah banyak memiliki persoalan kemanusiaan; dari kemiskinan sampai kriminal. Dari politik sampai kerusuhan. Sama seperti desa- desa lain. Sama seperti persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat di zaman ini. Sama seperti yang menjadi bahan perjuangan Bibiku.

Namun, Bibiku tidak pernah melibatkan diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang diperjuangkan Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar seorang tokoh, “Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!”

Dan sungguh selalu membuatku tersenyum miring, setiap kali ingat betapa banyak aktivis yang terkenal itu terkagum-kagum pada Bibi dan mengira Bibi tentulah memiliki pengikut yang fanatik dan solid. Astaga, haruskah aku bilang, Bibi tidaklah seperti tokoh informal yang lazimnya dikenal di pedesaan. Yang dicintai buta oleh masyarakatnya. Bibi bukan siap-siapa di desa kelahirannya. Bahkan andai dicoba Bibi dilibatkan mengatasi suatu persoalan di desa kelahirannya, tidak usah dipartaruhkan, apa pun saran Bibi tidak akan didengar oleh masyarakat desa kelahirannya. Ironis memang, Bibi paling akan dikutip koran-koran. Seolah komentarnya akan mengubah sikap seisi desa, tetapi itu hanya berita di koran. Masyarakat desa punya tokoh sendiri. Tokoh yang hadir setiap saat dalam suka dan duka, dalam bahasa mereka sendiri. Dan panutannya sendiri.

“Ibumu memang terkenal, tapi apa gunanya keterkenalannya saat ini?! Kamu pikir semua orang akan datang membantu mengurus upacara kematian ibumu?! Hanya karena dia orang terkenal?!”

Aku tercekat.

Paman Bungsuku mulai meraung dan melotot kepada anak bibiku yang paling sulung. Sebagai salah satu pengurus Desa Adat, Paman Bungsuku tentu tahu apa yang telah digunjingkan masyarakat terhadap rencana ngaben Bibiku.

“Dari dulu telah aku sarankan, jika ibumu meninggal, kremasi saja di Jawa! Jangan bermimpi membuat upacara kematian yang besar. Biarpun kamu punya duit, bisa membeli apa saja, tetapi apa gunanya?! Semua orang di desa ini enggan melayat. Enggan menolong kalian. Karena apa? Karena kalian tidak pernah menganggap mereka ada dan hidup! Tanya pada dirimu, apa pernah kamu ikut terlibat meneteskan keringat jika mereka bikin upacara?! Sekarang kamu menuntut hak sebagai warga desa. Kewajibanmu sendiri apa pernah kamu penuhi?! Apa begini yang namanya keadilan yang diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap ibumu kepada mereka!”

“Jadi, jangan muluk-muluk! Ibumu hanya besar dalam berita. Tetapi dia sudah kehilangan akar. Kehilangan ikatan dengan manusia yang dia perjuangkan! Terutama dengan manusia desa ini!”

Aku menyingkir jauh.

Para sepupuku tentu sulit mengerti. Mereka sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini. Yang mereka tahu, ibu mereka seorang terkenal, humanis yang dihormati oleh banyak orang. Seorang ibu yang selalu penuh perhatian kepada banyak orang. Ibu yang penuh kasih dan perhatian terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan!

Logikanya, tentulah masyarakat desa bangga pada ibunya. Tentulah desa ini akan berkabung berhari-hari, bersedih atas kematian salah satu warganya yang ditempatkan sebagai tokoh kemanusiaan dunia! Sewajarnya, masyarakat akan bergerak, tanpa diminta bahumembahu menyukseskan upacara ngaben untuk kematian ibu mereka. Apalagi, bukankah dalam buku-buku kisah desa ini dituturkan mengenai kuatnya tradisi gotong royong, kasih sayang, dan harga-menghargai?

Teriakan-teriakan antara Paman Bungsuku dan para sepupu itu perlahan lenyap. Lenyap oleh rumah besar yang tetap sunyi sepi.

Pelayat-pelayat yang datang dari jauh, yang mengenal Bibi dari koran dan ruang-ruang diskusi, yang kagum karena ide dan gagasan Bibi, setiap kali datang tak dapat menahan ketersentakannya. Tak sanggup menyembunyikan keheranan di mata mereka: kenapa sepi nian rumah besar ini?! Bukankah dari yang mereka dengar dan baca, jika ada kematian, warga desa akan datang berduyun-duyun melakukan kerja bakti. Apalagi akan ada rencana upacara ngaben besar seorang tokoh yang begitu berpengaruh. Bukankah biasanya bila salah satu warga saja yang mati, semua warga bila perlu berhari-hari menginap di rumah duka sebagai tanda solidaritas dan penghormatan? Tetapi inilah kenyataannya. Yang melayat Bibi hanyalah mereka yang dari jauh, yang dekat seolah tidak tahu bahwa ada jasad di dalam rumah.

Oh, kembali perdebatan itu terdengar.

Kenapa tidak dikremasi di Jawa saja? Atau di Denpasar? Sekarang toh bisa ngaben cepat tanpa harus menggunakan upacara lengkap?! Kenapa anak- anak bibi merasa perlu memberi hadiah terakhir sebuah upacara pengabenan lengkap? Astaga! Mereka tentu tidak bisa dilarang membawa jasad bibi pulang. Tentu tidak bisa dilarang untuk merancang membuat rencana upacara besar. Mereka ingin menghormati ibu mereka. Juga mereka punya uang. Tetapi tahukah mereka, ngaben tidak cuma perlu uang tetapi perlu dukungan masyarakat? Dan tahukah mereka, Bibi tidak pernah sekalipun melakukan kerja bakti untuk kegiatan apa pun di desa ini? Menyumbang pun tidak. Bibi entah kenapa, kepada keluarga dan masyarakatnya sendiri begitu pelit dan kritis, bahkan cenderung sinis. Entah kenapa… .

Apa mereka kira ini semacam resepsi perkawinan? Yang bisa segalanya total dibeli? Atau dilangsungkan di hotel?

Aku merasakan kengerian berindap-indap di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana upacara ngaben bibiku.

Anak-anak bibiku tetap ngotot dengan rencana mereka. Yang menakjubkan lagi, upacara ngaben Bibi akan dihadiri pula banyak wartawan dan pejabat.

“Kamu pikir mengundang tamu itu mudah? Siapa yang akan mengurus? Apa kamu pikir dengan bade bertingkat tidak perlu manusia untuk mengusungnya ke kuburan? Kamu pikir akan mudah menyuruh orang-orang mengusung bade ibumu?!” Semua mulai histeris, membayangkan upacara yang kacau.

“Tenanglah! Saya sudah membuat kepanitiaan. Saya tahu, tidak mungkin mendapat bantuan masyarakat desa ini. Karena itu, untuk akomodasi, perjamuan para tamu kita sewa katering. Untuk mengusung bade ke kuburan, kita sewa buruh- buruh bangunan. Kemudian transportasi sudah ada, travel yang akan mengurus,” anak Bibi yang tertua, yang kini menjadi pengusaha kaya, menyampaikan rencananya.

“Hanya satu yang kami mohon, sudilah semua keluarga hadir. Agar di mata teman-teman Ibu, kita tetap tampak kompak. Ibu dan kami memang bersalah… janganlah ibu dihukum seperti ini.”

Aku merunduk. Isak tangis pun mulai pecah. Entah kenapa, walau semua pekerjaan dan perlengkapan yang diperlukan untuk ngaben telah dipesan, telah disewa, tetap saja ada kesunyian yang mencekam di rumah besar ini. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah tanah yang sunyi. Desaunya membuat hati dilanda perasaan sendiri. Begitu sendiri.

Segalanya telah dirancang rapi. Akhirnya, seluruh keluarga mau terlibat sebagai panitia. Bukan karena Bibi, tetapi lebih karena menjaga nama keluarga!

Dan hari-H pun tiba. Ratusan mobil berderet di jalan. Para pelayat yang datang dari jauh, dari berbagai kota dan berbagai negara, berdatangan sejak pagi. Suara gamelan, penyambut tamu dan perjamuan, berlangsung lancar. Rapi. Bahkan terlalu rapi. Semua tertata nyaris sempurna.

Kemudian prosesi upacara ngaben pun dimulai. Juga lancar dipandu oleh penata acara yang piawai. Para pengusung bade dengan seragam yang masih bau toko mulai bergerak mengusung jasad Bibi menuju kuburan, bersorak dengan semangat. Menjadi sasaran kamera dan kekaguman.

Jalanan desa begitu ramai. Semua penduduk desa keluar rumah, tetapi cuma duduk-duduk di depan rumah masing- masing, hanya sebagai penonton prosesi ngaben bibiku. Yah. Hanya menonton. Seolah prosesi ini bukan bagian dari desa ini. Semua hanya menonton! Dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Jauh berbeda dengan para pelayat, teman, dan pengagum Bibi saat larut dalam prosesi dilanda keharuan hebat karena merasakan betapa agung dan meriahnya upacara ngaben bibiku. Seakan kembali mendengar seruan Bibiku, marilah hidup dalam kebersamaan. Marilah hidup dalam keragaman! Karena sejatinya kita adalah manusia, yang sama!

Lalu setibanya di kuburan, sebelum jasad dibakar dengan kompor sewaan, seorang menteri berpidato dan beberapa tokoh politik yang katanya berpeluang jadi presiden memberikan sambutan kenangan. Kilat blitz serta sorot kamera tak henti-henti. Karangan bunga duka cita bertumpuk-tumpuk menutupi tempat pembakaran. Semuanya lancar, rapi dan tepat waktu seperti sikap Bibiku yang selalu disiplin dan tepat waktu.

Tepat menjelang tengah hari, jasad bibi pun mulai dibakar. Api meliuk ke langit. Langit cerah. Ditingkahi suara gamelan. Keheningan sesaat memaksa air mata menetes. Kematian selalu membuat rasa kehilangan. Dan saat itu para pelayat, para tokoh, wartawan, dan orang-orang yang mengagumi Bibi mulai berpamitan. Satu per satu menyalami anak-anak Bibi dengan keharuan.

Seorang anak bangsa telah pergi. Pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sayup-sayup aku mendengar suara penyiar yang menyampaikan pandangan mata secara langsung dari kuburan. Dan ketika api padam, aku terbebas dari lamunan, dari keharuan. Lalu menoleh kiri dan kanan. Menghitung jumlah orang yang masih ada di kuburan. Yah, tinggal keluarga dan orang-orang sewaan saja yang tengah sibuk menghitung- hitung jam kerja dan upah yang akan mereka terima.

Aku mencari ayahku dengan mata tergetar. Aku juga mencari wajah para sepupuku. Aku mencari wajah semua keluarga. Bau asap jasad menghentikan pikiranku. Menghentikan hatiku. Aku merasa tiba-tiba begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari teman-teman, jauh dari semuanya. Jauh sekali. Oh, seperti hidup di dunia yang lain. Begitu lain.

Dan bibi pun kini berada di dunia lain. Sendiri. Tetap tak perlu siapa-siapa selain dirinya. Sama seperti saat hidupnya.

(Bali, awal Mei tahun 2003)



Cok Sawitri

Cintaku Jauh di Komodo*

Cintaku Jauh di Komodo*


Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.

Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu kekasihku?

Ketika akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.

Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.

Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

* Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).

1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.

2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction” dan “Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.

3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal 111-2.

4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram.

5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.


Seno Gumira Ajidarma

Keroncong Cinta

Keroncong Cinta


Dengan sebal Madelaine meneguk habis jus jeruk dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit sepenuhnya warna aluminium. Gerimis di luar membuat pohonan dan jalanan basah kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus. Bahkan, dari kemarin. Madelaine menghela napas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung dan jas hujan. Dengan cepat ia mengenakan mantel dan mengalungkan syal. Bimbang sejenak. Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat sepeda. Diraihnya payung dan bergegas ke luar. Segera saja dingin menyerbunya tanpa ragu- ragu. Dia mempercepat langkahnya. Memakai sepeda di musim dingin dan hujan menjengkelkannya karena sudah bisa dipastikan wajahnya akan basah kuyup. Namun, jalan kaki dan memakai payung juga menyebalkan. Dia harus berjalan lebih jauh mengarungi udara dingin. Salju yang kemarin masih elok jadi becek dan kotor dan licin.

Dikenangnya matahari yang benderang dan udara hangat Indonesia. Cuti yang kelewat sebentar. Cuma sebulan! Sungguh sialan, pikirnya. Sambil menyelinap dari satu gang ke gang lain, dia membayangkan gang-gang di Indonesia. Tak serapi di sini, namun seronok.

Wajah Eric Mulyana yang serba tersenyum seperti cuaca tropis membuat Madelaine jadi ikut tersenyum. Mengapa wajah begitu, kok, tidak menjadi penyanyi rock atau pop, melainkan justru keroncong! Tapi, kalau dia menyanyi rock atau pop, bagaimana mereka bisa bertemu? Keronconglah yang mempertemukan mereka. Dan permainan biolanya, dan suaranya yang hangat: rindukah kau padaku… Madelaine dengan kaget menghentikan langkah. Sebuah sepeda melintas di mukanya.

Dia mencoba berhati-hati sekarang. Hujan makin deras. Dingin makin mengiris. Wangi roti dari toko di simpang jalan menerpa hidungnya. Madelaine terkenang wangi sate di Indonesia. Tajam dan menggoda, seperti mata Eric. Apa, ya, nama group keroncongnya? Oh, ya, “Zonder Rindu”. Madelaine tersenyum. Nama yang lucu. Benarkah setelah berpisah Eric menyanyikan semua lagu-lagu cintanya zonder rindu?

Sebuah lagu lama, yakni “Keroncong Pertemuan” akan kami nyanyikan sebagai persembahan kepada tamu kita malam ini, Madelaine. Madelaine, semoga anda suka lagu ini. Dan bergemalah suara emas Eric “Pertemuan malam ini sangat berkesan. Pertemuan kali ini tak terlupakan… ” matanya yang hangat berkali-kali menyinari hati Madelaine. Di pertengahan pertunjukan, Madelaine didaulat Eric menyanyi. Sungguh Madelaine gugup. Tapi, akhirnya ia nyanyikan “Jembatan Merah” satu-satunya lagu yang syairnya dia hafal meskipun logat Belandanya tak bisa hilang. Dan, “Jembatan Merah” dia harapkan benar-benar menjadi jembatan antara dia dan Eric.

Madelaine sudah sampai di gerbang taman kanak-kanak yang dia tuju. Dia langsung menuju ruang “Play Group” dan melihat anak-anak sudah ada semua di sana. Dia bergegas ke ruang kantor dan mengambil gitarnya.

“Anak-anak, siapa yang sayang papa….”

Anak-anak mengacung dengan serentak.

“Siapa yang sayang Mama?”

Mengacung lagi serentak.

“Sekarang kita menyanyi untuk Mama dan Papa. Siaaaaap! Ohhh mijn Papa ….”

Mereka bernyanyi bersama-sama. Tapi belum lagi lagu itu selesai, seorang anak sudah berteriak,

“Mendongeng Bu, mendongeng….”

Sebagian anak menghentikan nyanyiannya dan ikut berteriak

“Bercerita… yang lucu Jufrow…”

“Tidak! Yang ngeri, yang sereeeeem!”

“Cerita rajjaaaa”

“Yang Sereeemm…”

“Raja saja….”

“Raja yang sereeeem!!!!”

“Husss! Baik, kita bercerita….”

“Horeeeee!!”

Anak-anak segera berkumpul mengerumuni Madelaine. Ada yang menyandar di pahanya, ada yang berusaha naik ke pundaknya.

“Hey, tenang dulu. Ibu mau ceritaa.”

“Naik kuda… aku naik kuda,” kata anak yang mencoba naik ke pundaknya.

“Yang tidak bisa duduk tertib tidak disayangi peri. Dia disihir oleh nenek sihir menjadi kura-kura.”

Anak yang mencoba naik ke pundaknya ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mencoba meneruskan usahanya. Namun, ketika Madelaine mulai bercerita dan anak-anak lain tidak lagi memperhatikannya melainkan memperhatikan cerita Madelaine, anak itu menghentikan usahanya dan diam-diam memasuki kerumunan untuk mendengar cerita juga.

“Akhirnya dia diperkenalkan dengan seorang boneka pangeran dari kayu, bernama Eric. Pangeran Eric adalah seorang pangeran yang gagah dan tampan. Dia pandai menyanyi dan suaranya bisa mengubah musim dingin menjadi musim semi.

“Horeee, Pangeran Eric suruh menyanyi Bu… suruh menyanyi… biar cepat musim semi.”

“Jangan. Nanti kalau kita loncat ke musim semi, tidak ada hadiah Natal.”

“Benar Bu, kalau musim semi tidak ada hadiah Natal….”

“Natal itu bulan Desember. Jadi musim dingin. Kalau musim semi tidak ada natal.”

“Pangeran Eric menyanyinya nanti saja sesudah Natal.”

“Bagaimana kalau musim semi, tapi tetap ada Natal….”

“Tidak ada Natal kalau tidak musim dingin….”

“Di sini memang tidak ada Natal jika tidak musim dingin. Tapi di tempat lain, Natal tidak harus musim dingin. Di Indonesia, misalnya, udara tetap panas, matahari bersinar terang, daun- daun hijau, tapi tetap ada Natal.”

“Ibu bohoong!”

“Dengar anak-anak, Indonesia tidak punya musim dingin.”

“Apakah karena di sana Pangeran Eric selalu menyanyi terus-menerus sehingga selalu musim semi.”

“Benar, anak-anak. Di sana Pangeran Eric terus-menerus menyanyi. Itu sebabnya di sana matahari selalu bersinar, udara hangat dan daun-daunnya selalu hijau.”

“Aku mau ke Indonesia.”

“Aku mau Pangeran Eric terus-menerus menyanyi….”

“Tenang, ibu nyanyikan nyanyian Pangeran Eric: …Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah….”

Tapi, anak-anak tak bisa mengikuti lagu itu. Sebentar kemudian mereka bosan dan meminta permainan lain.

Madelaine melirik jendela. Masih gerimis. Dan anak-anak sebegitu banyaknya. Dan ribut. Dan Madelaine terkenang liburan. Tangkuban Perahu, mandi air panas. Ahh musim dingin begini, gumam hatinya. Dan anak-anak begini banyak.

Tapi akhirnya pelajaran usai. Medelaine menarik napas lega, menyusuri koridor menuju kantor. Anak-anak sudah pada berlarian ke tempat orang tuanya masing-masing yang segera memakaikan baju hangat pada anak mereka masing-masing.

Peter tersenyum melihat Madelaine masuk.

“Sejak kapan Tchaikovsky menggubah lagu keroncong?”

Madelaine tersipu.

“Sekali-kali saja, buat variasi. Lagi pula sulit memainkan Nut Cracker Tchaikovsky dengan gitar.”

“Itu alasan kedua. Alasan pertama kamu masih ada di Indonesia.”

“Masih di Indonesia?”

“Ya, hati dan pikiranmu masih di sana. Hanya badanmu yang ada di sini.”

“Peter!!!” Madelaine melemparkan tissue yang dipegangnya.

Peter menghindar.

“Mau kopi?” tanya Peter. Tapi, dia tidak menunggu Madelaine menjawab. Dia menyeduh kopi instant dari termos yang ada di dekatnya dan menyerahkannya pada Madelaine

“Bagaimana Indonesia?” tanya Peter sambil tersenyum.

“Bagaimana?” Madelaine tergagap. Bagaimana menceritakan Indonesia? Matahari bersinaran, keroncong, senyum Eric. Tak mungkin ini diceritakan pada Peter. Madelaine tertawa. “Datanglah ke sana, nanti akan tahu sendiri.”

Madelaine bergolekan dengan malas di ranjangnya. Di luar tak ada matahari. Langit seperti hamparan aluminium dingin. Winter semacam ini kerap membuatnya depresi. Hari jadi cepat malam seperti usia. Ah usia! Madelaine menarik napas berat. Bulan depan empat puluh dua tahun sudah usianya dan masih melajang begini. Belum juga ada pasangan tetap, bahkan tak tetap pun jarang. Ia menelungkupkan tubuh di ranjang, meraih bantal. Tidak bisa dibayangkan ia akan menghabiskan waktu menjadi pengasuh play group hingga masa tua, berada selalu di tengah begitu banyak anak-anak yang ribut, yang nakal, yang cengeng, yang menuntut cerita, yang minta diantar ke toilet, yang… dan tak satu pun dari begitu banyak anak-anak itu adalah anaknya. Mereka tumbuh besar dan Madelaine selalu berganti anak-anak baru. Tak satu pun dari mereka anaknya. Alangkah indahnya anak-anak yang nakal, yang menangis, yang harus diantar ke toilet dan minta didongengi jika saja anak itu anaknya. Mereka akan tumbuh, dan dia mengurus pertumbuhan itu saat demi saat. Tapi tak ada anak-anak. Dan usia seperti winter, cepat sekali jadi malam.

E-mail dari Eric kemarin membuat hatinya terhibur. Surat yang selalu hangat dan kadang berselipkan rayuan. Menikah dengan Eric tentunya menarik. Bahkan, jika perlu dia siap tinggal di Indonesia. Indonesia bagi dia identik dengan keroncong. Ternyata tak banyak lagi di Indonesia yang memainkan keroncong dan Eric kekecualian. Diingatnya kembali dia membaca sajak dan Eric bermain keroncong. Mereka dipersatukan oleh keroncong. Ia bisa berbincang berjam-jam dengan Eric perihal keroncong. Kemana pun dia pergi, Eric selalu menemani.

Madelaine segera bangun dan membuka Internet mengecek harga-harga tiket untuk musim dingin yang akan datang. Dia sudah memutuskan untuk datang ke Indonesia lagi dan memastikan hubungannya dengan Eric. Alangkah indahnya berkeluarga, pikir Madelaine. Tidak bisa lain, demikian pikirnya, aku harus memastikan hal ini pada Eric. Jarak mereka jauh. Tak masuk akal jika tidak segera dipastikan duduk soalnya.

“Tapi aku tidak menyatakan diri akan menjadi pacarmu.” Wajah Eric agak pucat.

“Tapi lagu cinta sebagai ucapan selamat datang. Rayuan-rayuanmu lewat e-mail. Kita selalu bersama ke mana-mana, dan saya yakin semua orang beranggapan kita pacaran.”

“Madelaine, kamu tidak mengerti. Lagu cinta sebagai sambutan selamat datang itu adalah… ah sudahlah. Sulit menjelaskan. Kami di sini biasa menyanyikan lagu semacam itu sebagai persembahan buat siapa saja.”

“Jadi aku sama sekali tidak istimewa….”

“Bukan begitu. Aku cuma ingin ramah. Ingin bersahabat. Engkau orang asing dan aku ingin memastikan engkau mendapatkan pengalaman menyenangkan di sini.”

“Nah, betul bukan. Kau begitu penuh perhatian padaku. Bukan salahku menganggapmu istimewa. Kukira kau pun menganggapku istimewa. Kukira kita telah mulai menjalin….”

“Madelaine, bagaimana lagi aku harus menjelaskannya.”

Madelaine tak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu. Tiga belas jam lebih di perjalanan. Bahkan sepertiga dari tabungan tahunannya sudah dia gunakan untuk membeli tiket kemari. Dan Eric…

Madelaine mengenang dengan pedih pertemuannya dengan Eric. Kedatangannya ke Indonesia sepenuhnya adalah bencana. Ia sudah bercerita pada satu dua temannya yang benar-benar dekat bahwa dia sedang jatuh cinta. Bahwa dia mungkin sekali akan bertunangan, atau bahkan menikah di Indonesia selama cuti tahun itu. Bahkan, dia hampir yakin teman-teman dekatnya bakal mengenal Eric begitu mereka bertemu karena begitu kerap dan detailnya dia bercerita tentang Eric. Dan Eric… mereka berpisah dengan buruk malam itu. Matanya sembap oleh air mata. Dan wajah Eric pucat serta kebingungan. Eric kemudian pamit dan menghilang. Madelaine tidak ingat apakah dia melambaikan tangan atau tidak. Hatinya sepenuhnya hancur. Matahari bersinar terang esoknya, tapi dia merasa semua hari telah berubah menjadi musim dingin, seperti salju kotor dan becek.

Dan kini ia ada di pesawat menuju Indonesia. Dia kerap heran dengan keputusannya untuk kembali ke Indonesia. Mengapa setelah menjalani hari-hari sedih di Indonesia tempo hari ia justru memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Dia tidak tahu untuk apa. Dia kembali bersuratan dengan Eric lewat e-mail. Tak ada rayuan lagi di sana. Pertukaran kabar di antara mereka lebih resmi dan menjaga jarak. Mungkin dia ingin sekali lagi memastikan hubungannya dengan Eric. Mungkinkah? Beranikah dia mempermasalahkan itu lagi? Mungkin dia hanya ingin menjaga masih adanya hubungan. Tidak perlu asmara, tapi paling tidak masih bisa bersama main keroncong, berjalan-jalan, mengobrol. Paling tidak dia memiliki semacam tambatan entah apa, agar bisa tahan menjalani hari-hari penuh anak-anak yang ribut, yang minta didongengi, yang berebut menaiki punggungnya, yang minta di antar ke toilet, yang tak satu pun di antara mereka adalah anaknya.

Di pandangnya layar TV di pesawat. Sejam lagi mereka akan mendarat di Jakarta. Selama di pesawat bisa dikatakan dia tidak bisa tidur. Ia selalu gelisah. Hatinya hangat dan hampa. Hampa karena sekarang dia bisa melihat ketakmasukakalan kepergiannya ke Indonesia. Hangat karena wajah Peter berkali-kali melintas dalam angannya.

Peter telah pindah dari pekerjaannya sebagai pengasuh play group dan kini bekerja di perusahaan konstruksi serta pindah ke Amsterdam. Mereka bertemu di rumah Jolanda, teman sesama pengasuh playgroup, ketika Jolanda merayakan ulang tahun. Madelaine merasa aneh mengapa selama ini dia tidak pernah memperhatikan Peter. Apakah karena Peter sesama pengasuh anak dan sama-sama tidak memiliki anak-anak itu? Atau karena mereka sama-sama tinggal di kota kecil Zoetemeer yang membuat semua hal seperti membeku dan kehilangan daya tarik. Entahlah. Tapi, dalam pesta itu ia bertemu dengan Peter. Dengan senyumnya yang lebar seperti biasa dia langsung bertanya: “Bagaimana kabarnya Indonesia?”

Dan Madelaine tersipu. Indonesia? Apa yang harus dia ceritakan mengenai itu semua. Keroncong cinta yang hampa. Rayuan-rayuan hangat tanpa makna. Air mata… Tapi mereka kemudian berdansa. Entah bagaimana mulanya, mereka pulang bersama. Peter mengantar dia sampai rumahnya. Dia menawarkan secangkir kopi buat Peter dan Peter setuju. Dia mempersilakan Peter masuk apartemennya, mengobrol bersama dan begitu saja ternyata mereka malam itu tidur bersama. Tengah malam Madelaine terbangun dan dengan takjub memandangi wajah Peter yang lelap di sampingnya. Ditelitinya detail wajah itu: alis, mata, dagu yang kehijauan habis dicukur, rambutnya yang pirang kecoklatan. Disentuhnya pipi Peter dengan lembut. Peter terbangun dan menatap Madelaine di antara kantuk.

“Ada apa memandangku begitu, sweetie?”

Madelaine tidak menjawab. Ia mencium kening Peter lembut dan Peter melanjutkan tidurnya sambil memeluk bahu Madelaine. Besoknya mereka masak berdua. Sama sekali tidak keluar rumah sepanjang hari itu.

Minggu depannya mereka berdua menyusuri jalanan bersalju memandangi camar laut yang meluncur indah di atas kanal-kanal. Sepanjang malam mereka tak pernah berjauhan. Pada salju musim dingin Madelaine mendapati hangatnya kehidupan.

Ketika Madelaine mengatakan pada Peter bahwa dia akan ke Indonesia, Peter terperanjat.

“Untuk apa ke Indonesia, sweetie…. Apakah kamu kedinginan….”

“Tidak honey, sama sekali tidak. Tiket ini sudah kubeli lama sebelum kita berhubungan. Aku mencoba mengembalikan, tapi tidak bisa. Tiket ini akan hangus jika tidak dipakai.”

“Apakah kamu punya urusan penting atau hubungan penting di Indonesia….”

“Sama sekali tidak Peter. Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana tiket ini.”

“Kalau aku harus memilih, aku lebih suka tiket itu hangus. Kau akan di Indonesia sebulan lebih… itu lama sekali sweetie…”

“Aku segera pulang, honey. Aku hanya akan membaca puisi di beberapa tempat, kemudian memberi lecture sedikit mengenai Sastra Indo-Belanda….”

“Bukankah kau sendiri yang bilang akan berhenti menulis puisi dan mengurus sastra lagi. Aku sendiri tidak mengharapkan kau berhenti. Kau bahkan berhenti mendengarkan keroncong. Kau sendiri yang bilang bahwa….”

“Honey, aku memang akan berhenti. Ini perjalanan terakhir. Aku bahkan tidak akan pernah ke Indonesia jika tidak bersamamu.”

“Kau kira tidak berat menunggumu di sini… musim dingin begini. Mengapa kau tidak cerita jauh hari akan ke Indonesia….”

Madelaine tidak tahu harus bercerita apa. Kedatangannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Ia sendiri tidak bisa menjelaskannya, bukan hanya pada Peter bahkan pada hatinya sendiri.

Kurang satu jam lagi Madelaine sudah akan ada di Indonesia. Eric berjanji akan menjemputnya, tapi untuk apa? Dia membayangkan hari-hari di Indonesia yang panas dan berkeringat, melewati bising mal-mal dan kemacetan lalu lintas. Dulu semua itu rasanya menakjubkan, tapi sekarang? Belasan jam perjalanan dan sepertiga tabungan tahunan hanya untuk meninggalkan Peter dan malam-malam indah dan musim dingin yang mengesankan. Ia menduga-duga masih akan adakah lagi sambutan lagu keroncong selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra dan tak bertanggung jawab dari Eric.

Ketika ia menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sudah sepenuhnya berada di Eropa.



Agus R. Sarjono

Liang

Liang


Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu.

Kompleks perumahan di pinggir sungai itu terasa tambah sesak saja dengan penghuni baru. Kompleks perumahan? Ah, tidak juga. Yang disebut “kompleks” itu sebenarnya tak lebih dari deretan atau jejalan rumah-rumah kecil ukuran 3 x 3 meter. Bahan yang dipakai umumnya batu bata tanpa diplester dan dikerjakan secara “ekspresif”. Tonjolan dan lepotan semen mencuat seperti goresan kuas seorang maestro. Beberapa bagian dari rumah-rumah itu ditutup dengan tripleks atau papan kayu bekas peti kemas. Cat rumah-rumah itu berwarna-warni, seperti gebyar pawai, begitu riuh, seperti percakapan mereka yang berlangsung setiap waktu.

“Lha kalau setiap tahun Wasti pulang bawa anak, tempat kita pasti sumpek,” seorang perempuan gemuk tertawa berderai. Tawa itu disambut para “nasabah” yang bergerombol merubung rentenir.

“Ya, ndak gitu to. Eh… siapa tahu dia itu nyindir kamu yang mandul,” timpal perempuan kurus dengan tawa berderai.

Si Gemuk memotong, “Biar mandul tapi kan jelas punya suami….”

Wasti yang sedang mencuci di sumur merasa dirajam. Ia melemparkan cucian dan bergegas masuk rumah.

Ibunya, Yu Milah, menatap dengan hati terbelah. Di samping tiga anaknya yang tiduran di ranjang kayu, Wasti rebah. Tangis terdengar tertahan. Tiga anaknya mengeroyoknya, mengajak bercanda. Anak Wasti yang masih bayi menangis di gendongan Yu Milah yang mendadak matanya basah.

Pada kilatan mata bayi cucunya itu, Yu Milah seperti melihat dirinya. Menatap raut wajahnya yang tampak penuh kerut-merut, penuh carut-marut cakaran hidup. Ia memang masih menangkap sisa-sisa garis kecantikannya sebagai mantan primadona ketoprak kelilingan yang pernah menuai decak kagum dan tepuk tangan. Namun, kenangan itu tak lebih dari sayatan silet yang melintas-lintas.

Dua puluh empat tahun lalu, sehabis ia mengejan melahirkan Wasti, ia berharap mampu menutup lembaran hidupnya yang kelam. Cita-citanya sederhana, Wasti terbebas dari nasib buruk seperti yang pernah meringkusnya: ditinggalkan laki-laki setelah perutnya menggelembung berisi gumpalan darah dan janin, hingga Wasti lahir dan tumbuh tanpa mampu mengucap kata “ayah”. Kenangan itu seperti tinta hitam tumpah menggenang di benak, membikin dadanya sesak. “Ke mana pun, laki-laki itu akan kuburu,” gumamnya. “Akan kupotong kemaluannya agar ia punya rasa malu,” giginya gemeretuk geram. Namun, gumam geram hanya berhenti sebagai ancaman yang kini telah mengabu. Seluruh pencarian panjangnya hanya menemui jalan buntu. Laki-laki pejantan itu menjelma bayangan hitam yang terus dicabik-cabiknya.

Yu Milah ingin Wasti tumbuh sebagai perempuan yang meniti hidup tanpa kelokan, tanpa tikungan yang penuh tikaman. Tikaman laki-laki pendusta, yang baginya, tak lebih dari para penyewa liang kehangatan untuk menitipkan sperma. Begitu benih itu menetas, mereka lenyap tanpa bekas. Ia ingin Wasti menemukan laki-laki yang, meskipun sangat sederhana, mampu memberikan sarang yang hangat dan nyaman, syukur punya kedudukan yang lumayan.

Ia keberatan ketika Wasti memutuskan menjadi pemain ketoprak kelilingan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Ia mendorong Wasti untuk terus sekolah. Ia percaya, sekolah bisa menjadi tabungan masa depan, betapa pun sangat sederhana. Ia sangat gembira memandang wajah Wasti bercahaya setiap membicarakan pelajaran di sekolah. Dari membaca, matematika, sampai sejarah. Ia sangat bahagia melihat anaknya itu sangat lahap menyantap setiap pelajaran. Ia merasa seluruh jerih payahnya tak muspra, tak sia-sia. Ia menangkap impiannya mulai menyembul di balik seragam sekolah anaknya.

Namun, setelah Wasti lulus sekolah, ia dikepung masalah. Ia menganggap kuliah di perguruan tinggi hanya mimpi. Ia mendorong Wasti bekerja ke kota meskipun ia sesungguhnya tak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaan anaknya. Ia cukup merasa aman dan bahagia dengan kiriman uang setiap bulannya, yang bisa ikut menyangga kehidupannya yang doyong ke kiri- ke kanan, ke depan-ke belakang.

Kedatangan Wasti dari kota menyembulkan rasa bangga di dada Yu Milah. Matanya tersilau kilau anting-anting, gelang, kalung, dan baju-baju bagus yang melekat di tubuh Wasti. Wajah Wasti pun tampak cerah sumringah. Kecantikannya pun makin bercahaya.

“Ini sekadar untuk memperbaiki gubuk kita, Bu…,” Wasti menyerahkan amplop tebal.

“Oooo banyak sekali. Kita pun bisa beli tipi, kasur, lalu… kompor…. Ya kompor gas…, almari, dan kalau masih cukup saya ingin… apa itu…, lemari es. Aku kan jadi bisa nyambi jualan es….”

Wasti tertawa melihat Ibunya begitu girang seperti anak-anak yang dimanjakan.

“Kulkasnya besok aja kalau saya datang lagi, Bu. Sekarang untuk gubuk kita dulu, biar kalau hujan Ibu tidak susah….”

“Tapi itu penting, nduk. Biar para tetangga tahu kalau kita juga mampu. Bayangkan nduk. Mereka pasti melongo. Melihat ada mobil datang ngantar kiriman kulkas. Yaah… tapi… kardusnya gede ya. Kira-kira cukup nggak ya pintu kita ini.”

“Ah, Ibu. Tapi ya terserah….”

Para tetangga mengintip dari celah pintu ketika mobil pick-up itu benar-benar datang membawa kasur, kulkas, dan teve. Mata mereka penuh selidik, membidik.

Namun, kehidupannya yang mulai merangkak tetap menyisakan pertanyaan bagi Yu Milah. Setiap Wasti pulang, ia selalu ingin tahu soal pekerjaan anaknya itu. Tapi niat yang terus menyemak-membelukar itu selalu dipangkas sendiri. Ia takut, pertemuan yang begitu hangat itu jadi terganggu.

Diam-diam Wasti pun gelisah, setiap membaca gerak mata Ibunya. Ketika tatapan kedua perempuan itu bertabrakan, dua perempuan itu saling menghela napas, dengan semburat cemas. Yu Milah mencoba melontarkan pertanyaan yang melingkar-lingkar. Namun, begitu hendak sampai ke pusatnya, Wasti terus menghindar.

“Apa to pekerjaanmu, anakku?” bisik Yu Milah dalam hati.

“Untuk apa ingin tahu, Ibuku?” batin Wasti mendesah, gelisah.

Percakapan isyarat dalam kesunyian itu sangat menggelisahkan mereka.

“Aku harus tahu, anakku. Harus,” mata Yu Milah menatap lembut, seperti hendak menyaput kabut di wajah Wasti.

“Untuk apa, Ibu? Untuk apa?” Wasti kembali mendesah dengan perasaan terbelah.

“Agar aku tenteram, anakku…,” batin Yu Milah mencabik sepi.

“Bukankah semua yang kuberikan telah membikin ibu nyaman?” pikir Wasti berkilah.

“Tapi tidak tenteram….” Hampir saja suara itu terucap. Yu Milah dengan cepat membekap niat. Kedua perempuan itu kembali digulung gelombang kesunyian, gelombang kecemasan. Waktu terasa membeku.

“Kamu akan berangkat lagi?” ucap Yu Milah tanpa sadar.

Wasti mengangguk dengan perasaan remuk.

Tubuh Wasti kembali ditelan keremangan ruang, hentakan musik yang menimbulkan gempa di dada, lampu warna-warni yang saling berkejaran, asap tembakau yang membungkus bagai kabut, dan kerumunan orang-orang yang membantai sepi tanpa henti, dengan hentakan-hentakan kaki.

Ketika musik mengalun lembut puluhan pasangan saling berpelukan, bahkan ada yang saling berpagut. Wasti pun menyerah dalam erat peluk. Dalam irama musik yang menghanyut, Wasti merasa tercerabut, mengapung menyusuri berbagai sudut, terbang ke langit lepas, tangan mendayung awan gemawan serupa gumpalan kapas.

Pada ketinggian tak terbatas, tubuh Wasti menggelinjang. Ia merasakan ada tangan kukuh tapi lembut yang merengkuh tubuh, memeluknya rapat hingga ia tak mampu bergerak. Sayup-sayup, ia mendengar suara itu, desah itu, desah laki-laki yang menerbangkan tubuhnya ke ketinggian tak terbatas.

Ia merasakan serbuan pagutan liar di sekujur tubuhnya, pagutan yang semula ia tolak dengan manja, namun lama-lama ia terima, bahkan ia nikmati. Laki-laki itu, seperti menjelma kuda terbang yang berderap-derap dalam jiwanya. Kaki-kaki kukuh kuda itu menebah-nebah membuncahkan gairah. Jutaan pori-pori Wasti mengembang dipahat kristal-kristal peluh. Selebihnya, ia merasakan tubuhnya basah. Liang selangkangnya terasa nyeri.

Laki-laki itu hanya mengucapkan “selamat pagi, sayang” di layar hand phone Wasti. Perempuan berwajah oval dengan rambut setengah ikal itu membaca pesan dengan perasaan setengah kesal. Ia ingin berlama-lama dalam pelukan laki-laki itu. Ia bahkan tak pernah berpikir tentang selembar cek yang bertuliskan angka jutaan yang diletakkan di meja kecil dekat ranjang sebuah hotel berbintang. Ia merasa laki-laki itu terlalu “profesional” menganggapnya sekadar perempuan penghibur. Padahal, seperti impian yang pernah ditiupkan ibunya, ia mendambakan laki-laki yang rajin datang di diskotek tempat ia bekerja sebagai “teman ngobrol” itu sebagai kekasih. Bahkan, dibayangkan menjadi suami.

“Kenapa buru-buru sayang?” kecemasan Wasti tercetak di layar HP. Pesan itu kemudian dikirimnya. Tapi tak dijawab, hingga kini. Ia berusaha mencari laki-laki itu, tapi tak ketemu, hingga kini.

Wasti limbung. Kegalauan mengepung, mengurung. Wajahnya yang ceria berubah murung. Laki-laki datang berganti-ganti, mencairkan kebekuan hati Wasti. Tapi tetap saja mereka tak lebih dari pejantan yang rakus menerkam korban. Terkaman itu berulang-ulang, hingga Wasti merasakan kenyerian di sukmanya yang berujung pada tangis bayi yang sesungguhnya tak terlalu diharapkan lahir.

“Kamu hamil lagi ya nduk,” Yu Milah mengucap dengan bibir tergetar, tergagap.

Wasti mengangguk. Berat. Sangat berat. “Maafkan saya, Bu….”

Hati Yu Milah terbadai. Ia merasa dadanya sesak. Matanya basah. “Gusti, maafkan kami…,” ucapnya lirih, perih.

“Ini hamilmu yang keempat, nduk. Kenapa kebobolan terus?” Yu Milah hampir tak tega mengucap, tapi kalimat itu terlanjur lepas mencuat. “Mestinya kamu, kan, bisa….” Mulut Yu Milah mendadak tercekat.

“Ah entahlah Bu. Mungkin sudah nasib saya….”

“Nasib?!” Yu Milah menghardik dalam hati.

Ketika anak Wasti yang keempat lahir, para tetangga menyambutnya dengan mulut mencibir.

“Dia kira tempat kita ini tempat pembuangan anak-anak kucing….” Si Gemuk sengaja bicara tambah keras. Perempuan-perempuan yang merubung rentenir itu tertawa lepas.

“Ya, maklumlah…. Ini kan musim kawin….” timpal yang lain.

“Musim kawin kok setiap hari!” tukas yang lain lagi.

Tangis Wasti tumpah di pagi itu. Ia langsung membuang cucian ke lantai sumur. Lari masuk rumah. Yu Milah, dengan menggendong anak wasti yang masih bayi, menyongsongnya dengan dada terbelah.

Di luar, suara-suara itu makin seru. Si Gemuk tampil sebagai bintang penggunjing.

Yu Milah membaringkan cucunya di dekat Wasti yang masih terisak. Ia berdiri di dekat jendela, memandang keluar, memandang para tetangganya yang makin bergairah melemparkan sindiran. Mata Yu Milah terpejam, tapi basah. Pelan-pelan ia beringsut mendekati pintu. Tangannya meraih selonjor besi. Sekejap ia mendadak melesat ke luar. Lonjoran besi diayun-ayunkan. Dengan kemarahan yang memuncak, lonjoran besi itu dihantamkan ke punggung si Gemuk. Tubuh tambun itu tumbang ke tanah. Orang-orang menjerit. Kerumunan bubar. Yu Milah mengejar mereka. Lonjoran besi terus diayun-ayunkan. Tapi para penggunjing itu terlalu cepat masuk rumah. Yu Milah terus mengamuk. Menghantam apa saja hingga remuk.

Orang-orang datang menangkap Yu Milah yang kalap. Yang lain menolong Si Gemuk yang pingsan. Susah payah mereka menggotong tubuh gempal itu. Beberapa saat kemudian, serombongan polisi datang dengan mobil terbuka. Langsung menangkap Yu Milah. Wasti memeluk Ibunya sebelum digelandang ke mobil. Erat, sangat erat, dengan isak tangis yang mengiris.

“Sana, cari laki-laki yang telah menghancurkan hidupmu!” ucap Yu Milah datar, dengan tatapan nanar, sambil memberikan lonjoran besi kepada Wasti yang gemetar.

Wasti membeku. Lonjoran besi itu dibiarkan jatuh ke tanah. Seorang polisi mengambilnya sebagai barang bukti. Beberapa kejap, debu mengepul bagai butiran tepung ditebah ban mobil polisi yang meninggalkan kerumunan.

Kompleks hunian itu kini sepi. Orang-orang mengurung diri. Hanya terdengar tangis bayi, anak Wasti. Tangis itu menerobos udara malam yang dingin, sampai ke telinga Yu Milah yang meringkuk di sel kantor polisi. Yu Milah menjerit, menggurat lengkung langit.

Yogyakarta, 28 Juni 2003

Indra Tranggono