Sunday, 20 February 2011

Liang

Liang


Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu.

Kompleks perumahan di pinggir sungai itu terasa tambah sesak saja dengan penghuni baru. Kompleks perumahan? Ah, tidak juga. Yang disebut “kompleks” itu sebenarnya tak lebih dari deretan atau jejalan rumah-rumah kecil ukuran 3 x 3 meter. Bahan yang dipakai umumnya batu bata tanpa diplester dan dikerjakan secara “ekspresif”. Tonjolan dan lepotan semen mencuat seperti goresan kuas seorang maestro. Beberapa bagian dari rumah-rumah itu ditutup dengan tripleks atau papan kayu bekas peti kemas. Cat rumah-rumah itu berwarna-warni, seperti gebyar pawai, begitu riuh, seperti percakapan mereka yang berlangsung setiap waktu.

“Lha kalau setiap tahun Wasti pulang bawa anak, tempat kita pasti sumpek,” seorang perempuan gemuk tertawa berderai. Tawa itu disambut para “nasabah” yang bergerombol merubung rentenir.

“Ya, ndak gitu to. Eh… siapa tahu dia itu nyindir kamu yang mandul,” timpal perempuan kurus dengan tawa berderai.

Si Gemuk memotong, “Biar mandul tapi kan jelas punya suami….”

Wasti yang sedang mencuci di sumur merasa dirajam. Ia melemparkan cucian dan bergegas masuk rumah.

Ibunya, Yu Milah, menatap dengan hati terbelah. Di samping tiga anaknya yang tiduran di ranjang kayu, Wasti rebah. Tangis terdengar tertahan. Tiga anaknya mengeroyoknya, mengajak bercanda. Anak Wasti yang masih bayi menangis di gendongan Yu Milah yang mendadak matanya basah.

Pada kilatan mata bayi cucunya itu, Yu Milah seperti melihat dirinya. Menatap raut wajahnya yang tampak penuh kerut-merut, penuh carut-marut cakaran hidup. Ia memang masih menangkap sisa-sisa garis kecantikannya sebagai mantan primadona ketoprak kelilingan yang pernah menuai decak kagum dan tepuk tangan. Namun, kenangan itu tak lebih dari sayatan silet yang melintas-lintas.

Dua puluh empat tahun lalu, sehabis ia mengejan melahirkan Wasti, ia berharap mampu menutup lembaran hidupnya yang kelam. Cita-citanya sederhana, Wasti terbebas dari nasib buruk seperti yang pernah meringkusnya: ditinggalkan laki-laki setelah perutnya menggelembung berisi gumpalan darah dan janin, hingga Wasti lahir dan tumbuh tanpa mampu mengucap kata “ayah”. Kenangan itu seperti tinta hitam tumpah menggenang di benak, membikin dadanya sesak. “Ke mana pun, laki-laki itu akan kuburu,” gumamnya. “Akan kupotong kemaluannya agar ia punya rasa malu,” giginya gemeretuk geram. Namun, gumam geram hanya berhenti sebagai ancaman yang kini telah mengabu. Seluruh pencarian panjangnya hanya menemui jalan buntu. Laki-laki pejantan itu menjelma bayangan hitam yang terus dicabik-cabiknya.

Yu Milah ingin Wasti tumbuh sebagai perempuan yang meniti hidup tanpa kelokan, tanpa tikungan yang penuh tikaman. Tikaman laki-laki pendusta, yang baginya, tak lebih dari para penyewa liang kehangatan untuk menitipkan sperma. Begitu benih itu menetas, mereka lenyap tanpa bekas. Ia ingin Wasti menemukan laki-laki yang, meskipun sangat sederhana, mampu memberikan sarang yang hangat dan nyaman, syukur punya kedudukan yang lumayan.

Ia keberatan ketika Wasti memutuskan menjadi pemain ketoprak kelilingan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Ia mendorong Wasti untuk terus sekolah. Ia percaya, sekolah bisa menjadi tabungan masa depan, betapa pun sangat sederhana. Ia sangat gembira memandang wajah Wasti bercahaya setiap membicarakan pelajaran di sekolah. Dari membaca, matematika, sampai sejarah. Ia sangat bahagia melihat anaknya itu sangat lahap menyantap setiap pelajaran. Ia merasa seluruh jerih payahnya tak muspra, tak sia-sia. Ia menangkap impiannya mulai menyembul di balik seragam sekolah anaknya.

Namun, setelah Wasti lulus sekolah, ia dikepung masalah. Ia menganggap kuliah di perguruan tinggi hanya mimpi. Ia mendorong Wasti bekerja ke kota meskipun ia sesungguhnya tak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaan anaknya. Ia cukup merasa aman dan bahagia dengan kiriman uang setiap bulannya, yang bisa ikut menyangga kehidupannya yang doyong ke kiri- ke kanan, ke depan-ke belakang.

Kedatangan Wasti dari kota menyembulkan rasa bangga di dada Yu Milah. Matanya tersilau kilau anting-anting, gelang, kalung, dan baju-baju bagus yang melekat di tubuh Wasti. Wajah Wasti pun tampak cerah sumringah. Kecantikannya pun makin bercahaya.

“Ini sekadar untuk memperbaiki gubuk kita, Bu…,” Wasti menyerahkan amplop tebal.

“Oooo banyak sekali. Kita pun bisa beli tipi, kasur, lalu… kompor…. Ya kompor gas…, almari, dan kalau masih cukup saya ingin… apa itu…, lemari es. Aku kan jadi bisa nyambi jualan es….”

Wasti tertawa melihat Ibunya begitu girang seperti anak-anak yang dimanjakan.

“Kulkasnya besok aja kalau saya datang lagi, Bu. Sekarang untuk gubuk kita dulu, biar kalau hujan Ibu tidak susah….”

“Tapi itu penting, nduk. Biar para tetangga tahu kalau kita juga mampu. Bayangkan nduk. Mereka pasti melongo. Melihat ada mobil datang ngantar kiriman kulkas. Yaah… tapi… kardusnya gede ya. Kira-kira cukup nggak ya pintu kita ini.”

“Ah, Ibu. Tapi ya terserah….”

Para tetangga mengintip dari celah pintu ketika mobil pick-up itu benar-benar datang membawa kasur, kulkas, dan teve. Mata mereka penuh selidik, membidik.

Namun, kehidupannya yang mulai merangkak tetap menyisakan pertanyaan bagi Yu Milah. Setiap Wasti pulang, ia selalu ingin tahu soal pekerjaan anaknya itu. Tapi niat yang terus menyemak-membelukar itu selalu dipangkas sendiri. Ia takut, pertemuan yang begitu hangat itu jadi terganggu.

Diam-diam Wasti pun gelisah, setiap membaca gerak mata Ibunya. Ketika tatapan kedua perempuan itu bertabrakan, dua perempuan itu saling menghela napas, dengan semburat cemas. Yu Milah mencoba melontarkan pertanyaan yang melingkar-lingkar. Namun, begitu hendak sampai ke pusatnya, Wasti terus menghindar.

“Apa to pekerjaanmu, anakku?” bisik Yu Milah dalam hati.

“Untuk apa ingin tahu, Ibuku?” batin Wasti mendesah, gelisah.

Percakapan isyarat dalam kesunyian itu sangat menggelisahkan mereka.

“Aku harus tahu, anakku. Harus,” mata Yu Milah menatap lembut, seperti hendak menyaput kabut di wajah Wasti.

“Untuk apa, Ibu? Untuk apa?” Wasti kembali mendesah dengan perasaan terbelah.

“Agar aku tenteram, anakku…,” batin Yu Milah mencabik sepi.

“Bukankah semua yang kuberikan telah membikin ibu nyaman?” pikir Wasti berkilah.

“Tapi tidak tenteram….” Hampir saja suara itu terucap. Yu Milah dengan cepat membekap niat. Kedua perempuan itu kembali digulung gelombang kesunyian, gelombang kecemasan. Waktu terasa membeku.

“Kamu akan berangkat lagi?” ucap Yu Milah tanpa sadar.

Wasti mengangguk dengan perasaan remuk.

Tubuh Wasti kembali ditelan keremangan ruang, hentakan musik yang menimbulkan gempa di dada, lampu warna-warni yang saling berkejaran, asap tembakau yang membungkus bagai kabut, dan kerumunan orang-orang yang membantai sepi tanpa henti, dengan hentakan-hentakan kaki.

Ketika musik mengalun lembut puluhan pasangan saling berpelukan, bahkan ada yang saling berpagut. Wasti pun menyerah dalam erat peluk. Dalam irama musik yang menghanyut, Wasti merasa tercerabut, mengapung menyusuri berbagai sudut, terbang ke langit lepas, tangan mendayung awan gemawan serupa gumpalan kapas.

Pada ketinggian tak terbatas, tubuh Wasti menggelinjang. Ia merasakan ada tangan kukuh tapi lembut yang merengkuh tubuh, memeluknya rapat hingga ia tak mampu bergerak. Sayup-sayup, ia mendengar suara itu, desah itu, desah laki-laki yang menerbangkan tubuhnya ke ketinggian tak terbatas.

Ia merasakan serbuan pagutan liar di sekujur tubuhnya, pagutan yang semula ia tolak dengan manja, namun lama-lama ia terima, bahkan ia nikmati. Laki-laki itu, seperti menjelma kuda terbang yang berderap-derap dalam jiwanya. Kaki-kaki kukuh kuda itu menebah-nebah membuncahkan gairah. Jutaan pori-pori Wasti mengembang dipahat kristal-kristal peluh. Selebihnya, ia merasakan tubuhnya basah. Liang selangkangnya terasa nyeri.

Laki-laki itu hanya mengucapkan “selamat pagi, sayang” di layar hand phone Wasti. Perempuan berwajah oval dengan rambut setengah ikal itu membaca pesan dengan perasaan setengah kesal. Ia ingin berlama-lama dalam pelukan laki-laki itu. Ia bahkan tak pernah berpikir tentang selembar cek yang bertuliskan angka jutaan yang diletakkan di meja kecil dekat ranjang sebuah hotel berbintang. Ia merasa laki-laki itu terlalu “profesional” menganggapnya sekadar perempuan penghibur. Padahal, seperti impian yang pernah ditiupkan ibunya, ia mendambakan laki-laki yang rajin datang di diskotek tempat ia bekerja sebagai “teman ngobrol” itu sebagai kekasih. Bahkan, dibayangkan menjadi suami.

“Kenapa buru-buru sayang?” kecemasan Wasti tercetak di layar HP. Pesan itu kemudian dikirimnya. Tapi tak dijawab, hingga kini. Ia berusaha mencari laki-laki itu, tapi tak ketemu, hingga kini.

Wasti limbung. Kegalauan mengepung, mengurung. Wajahnya yang ceria berubah murung. Laki-laki datang berganti-ganti, mencairkan kebekuan hati Wasti. Tapi tetap saja mereka tak lebih dari pejantan yang rakus menerkam korban. Terkaman itu berulang-ulang, hingga Wasti merasakan kenyerian di sukmanya yang berujung pada tangis bayi yang sesungguhnya tak terlalu diharapkan lahir.

“Kamu hamil lagi ya nduk,” Yu Milah mengucap dengan bibir tergetar, tergagap.

Wasti mengangguk. Berat. Sangat berat. “Maafkan saya, Bu….”

Hati Yu Milah terbadai. Ia merasa dadanya sesak. Matanya basah. “Gusti, maafkan kami…,” ucapnya lirih, perih.

“Ini hamilmu yang keempat, nduk. Kenapa kebobolan terus?” Yu Milah hampir tak tega mengucap, tapi kalimat itu terlanjur lepas mencuat. “Mestinya kamu, kan, bisa….” Mulut Yu Milah mendadak tercekat.

“Ah entahlah Bu. Mungkin sudah nasib saya….”

“Nasib?!” Yu Milah menghardik dalam hati.

Ketika anak Wasti yang keempat lahir, para tetangga menyambutnya dengan mulut mencibir.

“Dia kira tempat kita ini tempat pembuangan anak-anak kucing….” Si Gemuk sengaja bicara tambah keras. Perempuan-perempuan yang merubung rentenir itu tertawa lepas.

“Ya, maklumlah…. Ini kan musim kawin….” timpal yang lain.

“Musim kawin kok setiap hari!” tukas yang lain lagi.

Tangis Wasti tumpah di pagi itu. Ia langsung membuang cucian ke lantai sumur. Lari masuk rumah. Yu Milah, dengan menggendong anak wasti yang masih bayi, menyongsongnya dengan dada terbelah.

Di luar, suara-suara itu makin seru. Si Gemuk tampil sebagai bintang penggunjing.

Yu Milah membaringkan cucunya di dekat Wasti yang masih terisak. Ia berdiri di dekat jendela, memandang keluar, memandang para tetangganya yang makin bergairah melemparkan sindiran. Mata Yu Milah terpejam, tapi basah. Pelan-pelan ia beringsut mendekati pintu. Tangannya meraih selonjor besi. Sekejap ia mendadak melesat ke luar. Lonjoran besi diayun-ayunkan. Dengan kemarahan yang memuncak, lonjoran besi itu dihantamkan ke punggung si Gemuk. Tubuh tambun itu tumbang ke tanah. Orang-orang menjerit. Kerumunan bubar. Yu Milah mengejar mereka. Lonjoran besi terus diayun-ayunkan. Tapi para penggunjing itu terlalu cepat masuk rumah. Yu Milah terus mengamuk. Menghantam apa saja hingga remuk.

Orang-orang datang menangkap Yu Milah yang kalap. Yang lain menolong Si Gemuk yang pingsan. Susah payah mereka menggotong tubuh gempal itu. Beberapa saat kemudian, serombongan polisi datang dengan mobil terbuka. Langsung menangkap Yu Milah. Wasti memeluk Ibunya sebelum digelandang ke mobil. Erat, sangat erat, dengan isak tangis yang mengiris.

“Sana, cari laki-laki yang telah menghancurkan hidupmu!” ucap Yu Milah datar, dengan tatapan nanar, sambil memberikan lonjoran besi kepada Wasti yang gemetar.

Wasti membeku. Lonjoran besi itu dibiarkan jatuh ke tanah. Seorang polisi mengambilnya sebagai barang bukti. Beberapa kejap, debu mengepul bagai butiran tepung ditebah ban mobil polisi yang meninggalkan kerumunan.

Kompleks hunian itu kini sepi. Orang-orang mengurung diri. Hanya terdengar tangis bayi, anak Wasti. Tangis itu menerobos udara malam yang dingin, sampai ke telinga Yu Milah yang meringkuk di sel kantor polisi. Yu Milah menjerit, menggurat lengkung langit.

Yogyakarta, 28 Juni 2003

Indra Tranggono

No comments: