Showing posts with label Drama. Show all posts
Showing posts with label Drama. Show all posts

Sunday 14 November 2010

A.Y.O. !

A.Y.O. !

Drama Pendek Puntung CM Pudjadi





(naskah ini pernah dimuat di Harian BERNAS Yogya tahun 90-an)

DRAMA dimulai saat seorang laki-laki terkapar mengerang-erang di atas panggung. Nampaknya ia baru saja dianiaya. Mukanya bersimbah darah yang meleleh dari hidungnya.

Seseorang mendatangi kemudian nampak panik dan berteriak-teriak meminta tolong. Ia meraih sebuah kenthongan atau entah apa yang kemudian ia bunyikan dengan irama gaduh.

Datang serombongan orang yang kemudian ikut-ikutan panik dan kacau. Lantas lebih kacau lagi ketika orang-orang yang datang kemudian itu ikut-ikutan memukul-mukul benda apa saja asal menimbulkan bunyi.

Kemudian datang seorang lagi yang agaknya keheranan melihat sekumpulan orang panik tanpa berbuat sesuatu kecuali memukul-mukul. Ia berusaha melerai orang-orang, menenangkan.

Seseorang
Tenang dulu, Saudara. Tenang dulu…. Ini ada apa? Mengapa tiba-tiba kalian menjadi panik dan gaduh tidak karuan? Ada apa?

Suara kenthongan dan kegaduhan yang lain berhenti.

Seseorang
Coba dijelas kan dulu pada saya ada persoalan apa? Kok tiba-tiba saja menjadi begini.

Yang lain
Iya. ada apa?

Yang lain
Lho, ada apa?


Si orang yang datang pertama kali tentu saja perlu menjelaskan.

Orang yang I
Ini begini. Orang yang terkapar ini adalah warga kita. Tadi saya melihat ia bertengkar dengan seorang prajurit pengawal raja. Lantas tiba-tiba plok! dan bak-buk-bak-buk! Kemudian ia terkapar.

Yang lain
Jadi orong ini dipukuli dengan semena-mena dan tanpa peri kemanusiaan oleh seorang prajurit pengawal raja?

Orang I
Ya.

Yang lain
Tanpa perlawanan'?

Orang I
Tanpa perlawanan.

Yang lain
Kamudian ditinggal pergi?

Orang I
Kemudian ditinggal pergi

Yang lain
Biadab!

Yang lain
Tidak berperikemanusiaan!

Yang lain
Sewenang-wenang!

Yang lain
Main hakim sendiri!

Yang lain
Tidak bertanggung jawab!

Yang lain
Kurangajar!

Lantas suasana kembali menjadi gaduh. Seseorang tampil kembali menjadi penenang.

Seseorang
Tenang dulu saudara-saudara. Kita harus bisa berpikir dengan jernih! (Suasana menjadi tenang kembali). Nah, apakah yang akan kita lakuka, mari kita rembug secara baik-baik.

Seseorang tampil mengobarkan semangat.

Pemberi semangat
Saudara-saudara, kita telah melihat sebuah tindakan sewenang-wenang di depan mata kita. Kita telah melihat pelangaaran kemanusiaan. Kita melihat main hakim dan tindakan dari orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Apakah kita akan biarkan terus kejadian seperti ini akan terjadi setiap saat?!

Orang-orang
Tidaaaaakkk!

Pemberi semangat
Ini bukan kejadian yang pertama kalinya, Saudara. Dan kejadian ini tidak akan berhenti apabila kita tidak bertindak. Apakah Saudara bersedia untuk menghentikan sebuah tindakan kesewenang-wenangan ini dan menjadi patriot, perintis tegaknya sebuah keadilan di bumi ini?

Orang-orang
Bersediaaaa!!!

Pemberi semangat
Lantas apakah kita harus menunggu sampal kita sendiri menjadi korban pembantaian oleh oknum kurang ajar dan tak bertanggungjawab itu?

Orang-orang
Tidaaak!

Yang lain
Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Kita harus tegakkan keadilan di bumi pertiwi ini.

Yang lain
Ini bukan kejadian yang pertama. Dulu ada juga warga kita yang diperlakukan seperti ini

Yang lain
Dan kejadian ini akan terus terulang.

Yang lain
Dulu orang kampung sebelah malah sampai sekarat

Yang lain
Kita harus menghentikan kebiadaban tni

Yang lain
Ini tidak bisa kita biarkan.

Yang lain
Kita harus menghentikan kesewenang-wenangan ini. Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Ya! Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Tapi 'sesuatu' itu apa?

Yang lain
Ya entah pokoknya yang bisa menghentikan tindakan sewenang-wenang ini.

Yang lain
Kita harus meminta pertanggungjawaban oknum yang menganiaya warga kita ini.

Yang lain
Kita tuntut beramai-ramai.

Yang lain
Berbondong-bondong kita datangi komandan si oknum, kita laporkan tindakannya yang kurang ajar.

Yang lain
Kalau perlu kita datangt sambil membawa poster-poster dan slogan- slogan.

Yang lain
Sambil kita teriakkan yel-yel

Yang lain
Kalau perlu kita hubungi pers!

Yang lain
Mari kita lakukan !

Yang lain
Ayo !

Yang lain
Ayo !

Yang lain
Ayo ! Ayo !

Seseorang
Sebentar! Kalau kita mau menghadap komandannya dan melaporkan tindakan oknum tadi, kita betul-betul harus tahu permasalahannya, kronologis peristiwanya, apakah Saudara mengerti dengan jelas urut-urutan kejadiannya?

Semuanya bengong.

Yang lain
Lho, tadi yangmelihat pertama siapa?

Yang lain
Iya, yang mengetahui urutan kejadiannya siapa?

Yang lain
Siapa?

Yang lain
Kalau tidak salah kamu toh yang melihat dan menjadi saksi kebiadaban oknum prajurit kurangajar tadi?

Orang I
Saya cuma lihat sedikit

Yang lain
Itu sudah cukup. Untuk seterusnya kita sudah bisa membayangkan kejadiannya.

Yang lain
Tidak bisa dong, kita harus jelas dan pasti dengan kejadiannya agar laporan kita bisa dipertangungjawabkan.

Yang lain
Lha, tadi urutan kejadian yang Saudara lihat bagaimana?

Orang I
Saya sedangberdiri di sana, kemudian saya mendengar ada pertengkaran antara korban ini dengan seorang oknum prajurit kerajaan. Kemudian plok dan lantas bak-buk-bak-buk. Kemudian orang ini terkapar di sini mengerang-erang.

Yang lain
Jadi bertengkar lantas plok-bak-buk-bak-buk?

Orang 1
Lantas nyekakar dan mengerang-erang!

Yang lain
Biadab!

Yang lain
Kurang ajar!
Yang lain
Tidak berperikemanusiaan!
Yang lain
Barbar dan kurangajar!

Pemberi semangat
Diam! Kalau kita sekedar mengumpat-umpat. persoalannya tidak bakalan selesai. Begini, kita harus melakukan sesuatu!

Yang lain
Lantas bagaimana tindakan kita?

Pemberi semangat
Kita sudah mendengar ceritanya. Kita sudah melihat korbannya, maka sekarang saatnya kita bertindak!

Yang lain
Bertindak bagaimana?

Pemberi semangat
Pokoknya bertindak!

Yang lain
Bertindak bagaimana?

Pemberi semangat
Melakukan sesuatu !

Semua
Ayoooo!

Seseorang
Sesuatu yang bagaimana?

Pemberi semangat
Pokoknya menghentikan tindakan sewenang-wenang dan menegakkan keadilan di muka bumi!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Bagaimana caranya?

Pemberi semangat
Kita datangi komandan pasukan si oknum. Kita beri laporan. Kita tuntut!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Lantas?

Pemberi semangat
Kita tuntut si prajurit edan itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Semua
Ayooo!

Seseorang
Setelah itu?

Pemberi semangat
Kita suruh si prajurit mengakui kesalahannya, agar ia menjadi jera, kemudian tidak melakukan perbuatan ini lagi dan keadilan kita tegakkan!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Apakah semudah itu?

Pemberi semangat
Akan kita coba! Saudara-saudara, apakah saudara rela kesewenang-wenangan mendera kita tiap hari?

Semua
Tidaaaakk!

Pemberi semangat
Apakah akan kita biarkan satu per satu warga kita akan mengalami kejadian seperti korban kali ini?

Semua
Tidaaakk!

Pemberi semangat
Lantas kenapa Saudara tetap di sini. Apa yang kalian tunggu???

Yang lain
Ayo kita lakukan sekarang!

Yang lain
Sekarang!

Yang lain
Ayo!

Yang lain
Ayo!

Yang lain
Ayo! Ayo!

Yang lain
Ayo, Saudara saja nanti yang nienjadi juru bicara kita, cucuking ajurit kelompok ini.

Si pemberi semangat justru celingak-celinguk.

Yang lain
Ayo! Kenapa jadi lembek!

Pemberi semangat
(Kendor) Lho. untuk menjadi cucuking ajurit toh tidak mesti saya. . .

Yang lain
Lantas siapa?

Yang lain
Tidak ada yang lainnya.

Yang lain
Kita semua sudah melihat bagaimana pandainya Saudara berbicara dan berpidato membangkitkan semangat kami. Maka tak ada colon lain kecuali Saudara.

Pemberi semangat
Jangan saya, bagaimana kalau saya tunjuk saja. Saudara...

Yang lain
Wah., jangan, saya… saya tak biasa berbicara, apalagi di depan umum dan melaporkan suatu kejadian penting.

Pemberi semangat
Apa Saudara?

Yang lain
Wah, saya sok kecetit lidah kalau berbicara di depan pejabat Jangan jangan laporan saya malah terbalik.

Pemberi semangat
Bagaimana kalau Saudara saja.

Yang lain
Enak saja menunjuk saya. Saya ini dari tadi kan cuma ikut-ikutan saja, masak ditunjuk jadi pimpinan.

Pemberi semangat
Lantas siapa?

Semua
Ya Saudara!

Pemberi semangat
(Ciut nyalinya) Jangan saya. . . Saya sebaiknya berada di belakang.

Yang lain
Saudara harus mau!
Yang lain
Ya. Harus!

Pemberi semangat
(ciut nyali namun tiba-tiba mendapat ilham)
Ah, jangan saya. Saya lebih tepat menolong korban ini saja. Merawatnya.
Lho, korban ini keadaannya sangat parah, butuh segera pertolongan. Nah, saya menyediakan diri untuk merawatnya...

Pemberi semangat lantas mencoba merawat korban.

Yang lain
E. e, benar juga, merawat korban yang terluka seperti ini juga membutuhkan suatu pengorbanan tertentu. Sebaiknya saya bantu saudara itu...

Yang lain
Kemanusiaan memang harus ditegakkan. Kita tolong dia.

Yang lain
Betul sekali, mari saya bantu.

Yang lain
Mau diangkut ke mana? Mari saya bantu.

Yang lain
Yuk dibantu yuk...

Seseorang
Lho, bagaimana dengan keadilan yang mau kita tegakkan

Pemberi semangat
Silahkan diperjuangkan Mas, saya lebih cocok memperjuangkan kemanusiaan. Tugas kemanusian saya pikir juga tugas yang mulia.

Mereka beramai-ramai menggotong korban.


Tinggal di panggung cuma satu orang. Si orang I, saksi yang melihat kejadian pertama kali. Beberapa saat kemudian terdengar suara pertengkaran dari sudut panggung. Lantas terdengar suara : Plok! Bak-buk-bak-buk!

Lantas seseorang yang berlumuran darah terhuyung masuk panggung kemudian terkapar jatuh. Si orang I segera membunyikan kentongan. Ribut dan secara perlahan layar di tutup***

MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL

MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL

(Karya Arifin C. Noor)




Sebentar lagi berkas-berkas di langit akan buyar dan matahari akan memulai memancarkan sinarnya yang putih, terang dan panas. Jalan itupun akan mulai hidup, bernafas dan debu-debu akan segera berterbangan mengotori udara.
Jalan itu bukan jalan kelas satu. Jalan itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah kecil. Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja pabrik mengerumuni SIMBOK yang berjualan pecel di halaman.
Seorang laki-laki yang sejak malam terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun dan menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki itu adalah PENJAGA MALAM.

1. PENJAGA MALAM : Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.
2. SI PENDEK : Tadi malam ada pencuri?
3. PENJAGA MALAM : Di sana, di ujung jalan itu! (menunjuk)
4. SI PENDEK : Tertangkap?
5. PENJAGA MALAM : Dia licik seperti belut. (menggeliat lalu pergi)
6. SI PENDEK : (duduk lalu membaca koran)

Seorang pemuda (anak laki-laki) membawa baki di atas kepalanya lewat. Ia menjajakan kue donat dan onde-onde. Suaranya nyaring sekali. Tak ada orang mengacuhkannya. Begitu ia lenyap seorang pemuda lewat pula yang berjalan dengan perlahan, berbaju lurik kumal, sepatu kain yang sudah rusak dan buruk, wajahnya pucat. Sebentar ia memperhatikan orang-orang yang tengah makan lalu ia pergi dan iapun tak diperhatikan orang.
Gemuruh mesin yang tak pernah berhenti itu, yang abadi itu, makin lama makin mengendur daya bunyinya sebab lalu lintas di jalan itu mulai bergerak dan orang-orang semakin banyak di halaman pabrik itu. SIMBOKpun makin sibuk melayani mereka. Lihatlah!

7. SI TUA : (menerima pecel) Sedikit sekali.
8. SIMBOK : (tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)
9. SI PECI : Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)
10. SI TUA : Tempe lima rupiah sekarang.
11. SI KACAMATA : Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.
12. SI PECI : Semua perempuan ya ngeluh.
13. SI KURUS : Semua orang pengeluh.
14. SI KACAMATA : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
15. SI PECI : Apa yang tidak naik?
16. SI TUA : Semua naik.
17. SI KURUS : Gaji kita tidak naik.
18. SI KACAMATA : Anak saya yang tertua tidak naik kelas.
19. SI TUA : Uang seperti tidak ada harganya sekarang.
20. SI KURUS : Tidak seperti…. Ah memang tak ada harganya.
21. SI TUA : (mengangguk-angguk)
22. SI PECI : Ya.
23. SI KACAMATA : Ya.
24. SI PENDEK : Menurut saya (menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia berfikir sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat tidak baik kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting pada waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja kitapun telah dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang menyangkut negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa saja dan yang terpenting tentu saja perhatian kita.
25. SI TUA : (menggaruk-garuk)
26. SI PENDEK : Ya, baru saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada terhadap anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan mulut yang manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal tidak enak rasanya… (meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang tidak lama.
27. SI PECI : Ya.
28. SI KACAMATA : Ya.
29. SI PENDEK : Ya.
30. SI TUA : Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser untuk sebungkus nasi.
31. SI PECI : Dulu?
32. SI TUA : Ketika jaman normal.
33. SI KURUS : Jaman Belanda.
34. SI TUA : Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai rupiah.
35. SI KURUS : Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?
36. SI PENDEK : (makin berselera) Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan, para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja. Sekarang lihatlah ke jalan raya.
37. SI PENDEK : …… Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan sepeda motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut dari radio. Ya?
38. SI KACAMATA : Ya.
39. SI PENDEK : Ya, tidak?
40. SI KURUS : Ya.
41. SI PENDEK : Ya, tidak?
42. SI TUA : (mengangguk-angguk)
43. SI PENDEK : Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.
44. SI KACAMATA : Saya juga berpikir begitu.
45. SI PENDEK : Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.
46. SI KACAMATA : Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
47. SI PENDEK : Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
48. SI KURUS : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
49. SI PECI : Ya.
50. SI KACAMATA : Ya.
51. SI TUA : Ya, sekarang kejahatan merajalela.
52. SI KURUS : Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.
53. SI KACAMATA : semua orang.
54. SI KURUS : Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si pendek)
55. SI PECI : Ya, setahun yang lalu. (melirik si pendek)
56. SI KACAMATA : Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)
57. SI TUA : (mengangguk-angguk)

PEMUDA muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan pecel.

58. SI PECI : Ya, setahun yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.
59. SI KURUS : Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad tikus dan tikus sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.
60. SI PECI : Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.
61. SI KACAMATA : Dunia penuh tikus sekarang.
62. SI KURUS : Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.
63. SI TUA : Omong-omong perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.
64. SI KACAMATA : Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.
65. SI TUA : Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu sebab……….lapar.
66. SI PECI : Ya, sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah setempat.
67. SI KURUS : (pada si tua) Enak?
68. SI TUA :Ha?
69. SI KURUS : Sedap?
70. SI TUA : Saya tidak turut makan (tersenyum).

Semua tertawa. Lonceng bekerja berdentang. Mereka masing-masing menghitung dan menyerahkan uang pada SIMBOK kemudian pergi bekerja, lewat jalan samping. Yang terakhir adalah si pendek.

71. SI PENDEK : Berapa Mbok?
72. SIMBOK : Apa?
73. SI PENDEK : Nasi pecel dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.
74. SIMBOK : Tujuh puluh lima.
75. SI PENDEK : Bon. (pergi)

Pemuda menghabiskan makannya dengan lahap sekali, setelah membuang cekodongnya ia minta air yang biasa disediakan oleh penjual pecel itu. Ia berdiri, merogoh saku celana. Ia cemas, saku baju dirogohnya. Ia makin cemas, Simbok memperhatikan dengan biasa.

76. SIMBOK : Ada yang hilang?
77. PEMUDA : Barangkali tidak.
78. SIMBOK : Apa?
79. PEMUDA : Dompet.
80. SIMBOK : Dompet? Ada uang di dalamnya?
81. PEMUDA : Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau. Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
82. SIMBOK : Nasi dua.
83. PEMUDA : Tempe dua, tahu tiga.
84. SIMBOK : Delapan puluh.
85. PEMUDA : (seraya hendak pergi) Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam saku baju hijau barangkali.
86. SIMBOK : Nanti dulu.
87. PEMUDA : Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.
88. SIMBOK : Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
89. PEMUDA : Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
90. SIMBOK : Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
91. PEMUDA : Sebentar (akan pergi)
92. SIMBOK : (berdiri dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
93. PEMUDA: Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang dulu di rumah. Mbok tidak percaya?
94. SIMBOK: (diam)
95. PEMUDA: Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.

TERDENGAR ADA SUARA: Ada apa Mbok?

96. SI KURUS: Ada apa Mbok? (di jendela)
97. SIMBOK: Dia belum bayar.
98. PEMUDA: Tunggulah lima menit (pergi).
99. SI KURUS: Hai, dik! Tunggu!
100. PEMUDA: Saya akan mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya akan pulang mengambil uang saya. Dompet saya ketinggalan.
101. SI KURUS:Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.
102. PEMUDA: Saya tidak berniat lari atau minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.
103. SI KURUS: Simbok mengijinkan?
104. PEMUDA: Saya Cuma sebentar.
105. SI KURUS: Simbok memperbolehkan engkau pergi?
106. PEMUDA: (diam)
107. SI KURUS: Simbok keberatan engkau meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar makananmu.
108. PEMUDA: Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.
109. SI KURUS: Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.
110. PEMUDA: Saya tidak berniat minggat atau lari.
111. SI KURUS: (lenyap dari jendela, muncul dari pintu samping) Dimana rumahmu?
112. PEMUDA: Dekat.
113. SI KURUS: Dekat di mana?
114. PEMUDA: Di kampung ini.
115. SI KURUS: Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal pada anak itu?
116. SIMBOK: Seumur hidup baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup pengalaman.
117. SI KURUS: Baru sekarang ini kau jajan pada simbok, bukan?
118. PEMUDA: Ya.
119. SI KURUS: Lalu kenapa kau berani-berani jajan padahal kamu tahu tak beruang.
120. PEMUDA: Saya beruang.
121. SI KURUS: Bayarlah sekarang.
122. PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
123. SI KURUS: Kenapa kau berani jajan.
124. PEMUDA: Saya tidak tahu kalau uang saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan pergi mengambil uang itu.

MUNCUL DI JENDELA, SI PECI

125. SI PECI: Ada apa dia?
126. SI KURUS: Makan tidak bayar.
127. SI PECI: Siapa?
128. SI KURUS: Pemuda ini.
129. SI PECI: Dia? (lenyap dari jendela muncul dari pintu)
130. SI KURUS: Kau bayarlah sebelum orang-orang ramai datang ke sini.
131. SI PECI: Ya, bayarlah. (pada simbok) Berapa dia habis?
132. SI KURUS: Berapa Mbok?
133. SIMBOK: Delapan puluh.

DUA ORANG ANAK MASUK, MEREKA MENONTON

134. SI KURUS: Kenapa jadi diam?
135. SI PECI: Kenapa?
136. PEMUDA: Saya tidak berniat minggat.
137. SI KURUS: Masih muda sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
138. SI PECI: Kenapa tidak membayar?
139. PEMUDA: Saya mau membayar, uang saya ketinggalan.
140. SI PECI: Ketinggalan di mana?
141. SI KURUS: Di bank?
142. PEMUDA: Di rumah.
143. SI KURUS: Di mana rumahmu?
144. PEMUDA: Di sini.
145. SI KURUS: Di sini di mana?
146. PEMUDA: Di kampung ini.
147. SI KURUS: Kau warga kampung ini?
148. PEMUDA: Saya orang baru.
149. SI KURUS: Kau tahu nama kampung ini?
150. PEMUDA: Pegulen.
151. SI KURUS: Pegulen? Di RT mana kau tinggal?
152. PEMUDA: Di RT lima.
153. SI KURUS: RT lima betul?
154. PEMUDA: Kalau tidak keliru.
155. SI KURUS: Kalau tidak keliru?
156. PEMUDA: Mungkin saya lupa, saya orang baru.
157. SI KURUS: Baik. Siapa kepala RT lima?
158. PEMUDA: Saya orang baru di kampung ini.
159. SI KURUS: Tentu saja kau harus mengatakan orang baru di kampung ini, sebab kalau kau mengatakan orang lama di kampung sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala RT lima. Baik, dari mana asalmu?
160. PEMUDA: Muntilan.
161. SI KURUS: Dekat. Nah, kau katakan di mana tempat tinggalmu?
162. PEMUDA: RT lima Pegulen.
163. SI KURUS: RT lima dimana?
164. PEMUDA: Di RT lima.
165. SI KURUS: Ya, di rumah siapa?
166. PEMUDA: Dekat bengkel Slamet.
167. SI KURUS: Bengkel Slamet, bengkel mobil itu?
168. PEMUDA: Bengkel sepeda.
169. SI KURUS: O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?
170. PEMUDA: Di dekatnya.
171. SI KURUS: Di atasnya?
172. PEMUDA: Di sebelahnya.
173. SI KURUS: Ya, di sebelah atas.
174. PEMUDA: Sebelah kiri.
175. SI KURUS: O…, rumah siapa itu?
176. PEMUDA: Rumah tukang sepatu.
177. SI KURUS: Hapal sekali. Tukang sepatu siapa namanya?
178. PEMUDA: E….. Mas Narko, Sunarko.
179. SI KURUS: Salah, ternyata kau bohong. Nah, sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong. Rumah itu adalah rumah saya. Di muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau bohong.
180. PEMUDA: Saya tidak bohong. Bukankah diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah petak yang agak bagus.
181. SI KURUS: Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro, bukan rumah mas Sunarko.
182. PEMUDA: Barangkali namanya Sunarko Prawiro.
183. SI KURUS: Indah sekali namanya. Kau yakin benar nama itu?
184. PEMUDA: Saya tidak begitu kenal namanya.
185. SI KURUS: Tentu saja pak Prawiro itu sangat tidak kenal padamu.
186. PEMUDA: Tapi saya kenal orangnya dan saya mondok pada istrinya.
187. SI KURUS: Setiap orang yang punya sepatu yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal padanya. Dia tukang sepatu.
188. PEMUDA: Tapi saya betul-betul kenal.
189. SI KURUS: Betul?
190. PEMUDA: Betul.
191. SI KURUS: Betul?
192. PEMUDA: (diam)
193. SI KURUS: Puh! Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.
194. PEMUDA: Saya mau bayar.
195. SI KURUS: Bayarlah!
196. PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
197. SI KURUS: Ketinggalan di mana? Di Bank? Di kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu? Mau belajar jadi garong… biar… cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang dan lebat saya sudah gemetar.
198. PEMUDA: Betul, uang saya ketinggalan.
199. SI KURUS: Bohong!
200. PEMUDA: Sungguh.
201. SI KURUS: bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.
202. PEMUDA: Percayalah mas, kalau saya berbohong………
203. SI KURUS: (memotong) Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu saya tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus terang saja mau bayar atau tidak?

DARI PINTU MUNCULLAH SI KACAMATA, SI TUA, DAN LAIN-LAIN, YANG TAK HADIR HANYA SI PENDEK.

204. SI KACAMATA: Ada apa?
205. SI PECI: Makan tidak bayar.
206. SI TUA: Siapa, pemuda ini?
207. SI PECI: Ya, pemuda ini?
208. SI KACAMATA: Segagah ini?
209. SI PECI: Kalau tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya uang tidak?
210. PEMUDA: (lama) Punya.
211. SI PECI: Nah, kenapa mesti tidak bayar?
212. PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
213. SI PECI: Ketinggalan? Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan mengempalkan tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…
214. PEMUDA: Uang saya ketinggalan.
215. SI KURUS: Ketinggalan-ketinggalan. Sekarang mengakulah. Kau mau menipu ya?
216. SI PECI: Punya uang tidak?
217. SI KURUS: Mengaku.
218. SI PECI: Kau pasti tidak punya uang.
219. SI KURUS: Dan kau mengaku penipu.
220. SI TUA: Nah, bilang saja terus terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.
221. SI KACAMATA: Sudah kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik ia menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan. Bagaimana?
222. SI PECI: Ya, lebih baik begitu, semua orang setuju.
223. SI KURUS: Tanggalkan pakaianmu.
224. PEMUDA: Saya malu.
225. SI KURUS: Tidak, kau tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan celanamu! Tanggalkan!
226. SI PECI: Cepat!
227. PEMUDA: Saya tidak pakai celana dalam.
228. SI KURUS: Bohong, kau pembohong sebab itu kau pembohong.
229. PEMUDA: Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.
230. SI KURUS: Sejak tadi kau sedang menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api pada setiap orang yang telah melihatmu.

TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN JURAGAN BATIK BERSAMA PEMBANTU YANG MEMAYUNGINYA MUNCUL DAN IA TERTARIK UNTUK MELIHAT KEJADIAN ITU.

231. PEREMPUAN: (dengan yang nyata-nyata dibuat-buat ia bicara pada si kacamata) Ada apa to dik?
232. SI KACAMATA: Makan tidak bayar.
233. PEREMPUAN: Siapa?
234. SI KACAMATA: Si pemuda ini.
235. PEREMPUAN: O, lalu?
236. SI KACAMATA: Mula-mula dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi agaknya dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di punya uang.
237. PEREMPUAN: Berapa tho, habisnya?
238. SI KACAMATA: Berapa dik?
239. SI KURUS: Delapan puluh rupiah.
240. PEREMPUAN: Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus rupiah.
241. SI KURUS: Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.
242. SI PECI: Ya, itu soalnya.
243. SI KACAMATA: Ya.
244. SI TUA: (mengangguk-angguk)

TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA PEREMPUAN DAN PEMBANTUNYA PERGI MELANJUTKAN PERJALANAN.

245. SI PECI: Sombong benar perempuan itu.
246. SI KURUS: Mau buka celana tidak?
247. PEMUDA: (diam)
248. SI KURUS: Baiklah, tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing, karenanya kau pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau tanggalkan.
249. SI PECI: Ya, baju saja.
250. SI KACAMATA: Ya, baju saja.
251. SI PECI: Ayo cepat.
252. SI TUA: Nah, sebentar lagi kalau mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah di muka pabrik ini, sebab ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh orang banyak.
253. PEMUDA: Saya melepaskan baju saya, Pak!
254. SI KURUS: Lepaskan!
255. PEMUDA: Saya tidak berkaos.
256. SI PECI: Tak perduli. Tanggalkan.
257. SI KURUS: Malu, malu! Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau ini. Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!
258. PEMUDA: Saya akan melepaskan tapi bukan baju melainkan sepatu.
259. SI PECI: Sepatu kain yang jebol itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi tau?
260. SI KACAMATA: Ya, satu rupiah tak akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.

TIBA-TIBA TERDENGAR GEMURUH SUARA TRUK. MENDEKAT DAN BERHENTI TIDAK JAUH DARI TEMPAT ITU.
261. SI KACAMATA: Nah, pak sopir datang. Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti lengannya sudah dikilir oleh pak sopir.
262. SI SOPIR: Ada apa hah?
263. SI PECI: Makan tak bayar.
264. SI SOPIR: Si kecil ini?
265. SI KACAMATA: Ya, si kecil ini.
266. SI SOPIR: (pada pemuda) Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?
267. SI PECI: Ia harus menanggalkan bajunya.
268. SI SOPIR: Begitu semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?
269. SI PECI: Ia menolak melepaskan bajunya.
270. SI SOPIR: Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suk kuantarkan ke asrama itu?
271. PEMUDA: (diam)
272. SI SOPIR: Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!
273. PEMUDA: Saya malu.
274. SI SOPIR: Jangan malu-malu (keras) copot!

PEMUDA MENANGGALKAN BAJUNYA PADA SI PECI.

275. SI PECI: (menyerahkan baju kepada Simbok) Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau ia kembali membawa uang berikan baju ini.
276. SI SOPIR: Beres sudah! Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.

ORANG-ORANG PERGI, MASUK KE DALAM PABRIK. KECUALI SI SOPIR YANG PERGI KE ARAH DARI MANA IA MUNCUL TADI. TAPI BELUM LAMA DUA LANGKAH ORANG-ORANG BERGERAK TIBA-TIBA….

277. SI KURUS: Saya kira kalau baju itu disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju itu dititipkan pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.
278. SI PECI: Baiklah, Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah saya. (menerima baju)

BERES SUDAH……ORANG-ORANG SUDAH MULAI BEKERJA, DI HALAMAN ADA SIMBOK DAN SI PEMUDA. GEMURUH MESIN KEMBALI NYATA. LEWAT SEORANG PEREMPUAN MENJAJAKAN JENANG GENDUL. SANGAT NYARING SUARANYA.

279. PEMUDA: Mbok, mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya minum air mentah saja. Tidak makan apa-apa.
280. SIMBOK: (diam)
281. PEMUDA: Seminggu yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup dapat makan. Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.
282. SIMBOK: (diam)
283. PEMUDA: Asalku sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga Mbok pun tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus. Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku turun dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke pesisir utara tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke Barat, ke tanah wali ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota ini akan sudi memberi makan saya. Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari sudah saya lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan saya membawa saya kemari ke tempat Mbok berjualan pecel. Tidak, saya tidak bermaksud menipu. Sekali-kali tidak (menengadah) Tuhan, kutuklah aku!
284. SIMBOK: (bangkit dan bergerak menuju jendela dan berseru) Abduh! Abduh!
285. SI PECI: (di jendela) Ada apa Mbok?
286. SIMBOK: Mana baju tadi?
287. SI PECI: Dia membawa uang?
288. SIMBOK: Tidak, baju itu akan saya bawa ke pasar, saya jual.
289. SI PECI: Nanti direbut oleh anak itu lagi.
290. SIMBOK: Tidak, kemarikan saja.
291. SI PECI: Baiklah (lenyap dari jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)
292. PEMUDA: Ya, Mbok sebelum saya memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri, tidak, saya harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah, hukumlah saya. Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja saya pasti kemari untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan hukum bahwa, bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu kusadari sejk aku mulai tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras, begitu angkuh dan tandus.
293. SIMBOK: (memberikan baju tanpa berkata apa-apa)
294. PEMUDA: Tidak Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah rela dan paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti makanan yang telah saya makan.
295. SIMBOK: Terimalah.
296. PEMUDA: tidak.
297. SIMBOK: Terimalah.
298. PEMUDA: tidak.
299. SIMBOK: Terimalah.
300. PEMUDA: Mbok percayalah.
301. SIMBOK: Saya percaya sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.
302. PEMUDA: Tapi baju ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang kepunyaan orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.
303. SIMBOK: Tidak.
304. PEMUDA: Saya tidak tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap malam. Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!
305. SIMBOK: Tidak, saya ingat anak saya.
306. PEMUDA: Simbok punya anak?
307. SIMBOK: Ya, satu-satunya, jantan yang cantik.
308. PEMUDA: Dimana sekarang?
309. SIMBOK: Di sini.
310. PEMUDA: Di sini?
311. SIMBOK: Di Kendal. Di PENJARA.
312. PEMUDA: Ha?
313. SIMBOK: Ya, sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
314. PEMUDA: (menerima baju itu) baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.

BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM YANG TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.

315. PENJAGA MALAM: Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
316. SIMBOK: (tak begitu acuh) Ya.
317. PEMJAGA MALAM: Bagaimana tampangnya?
318. SIMBOK: Kurus dan cantik.
319. PENJAGA MALAM: Pakai baju lurik.
320. SIMBOK: Ya, kalau tidak salah.
321. PENJAGA MALAM: Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
322. SIMBOK: Ada apa? Ada apa?
323. PENJAGA MALAM: Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
324. SIMBOK: Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.

LANGIT DI ATAS MULAI KOTOR OLEH NAFAS MANUSIA DAN LALU LINTASPUN MULAI LEBIH RAMAI. SEORANG ANAK LAKI-LAKI MENJAJAKAN ES LILIN LEWAT, TANDA HARI SUDAH SIANG. SUARANYA NYARING, MENYEMBUL DI SELA-SELA KESIBUKAN.

--- TAMAT ---

BILA MALAM BERTAMBAH MALAM

LAKON
BILA MALAM BERTAMBAH MALAM


KARYA PUTU WIJAYA
















BABAK I

MALAM DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG. SEBUAH BALE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.

GUSTI BIANG MEMANGGIL-MANGGIL WAYAN.


Adegan I

KELIHATAN NYOMAN SEDANG MENYIAPKAN MAKAN MALAM UNTUK GUSTI BIANG. SEMENTARA WAYAN MENGAMPELAS PATUNG. ORIGINAL SOUNTRACK: WAYAN .. Wayaaaaaan ....
NYOMAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN.

NYOMAN
Benar Ida akan pulang hari ini?

WAYAN
Ya ....


Adegan II

DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU. GUSTI BIANG NGOMEL TERUS.

GUSTI BIANG
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....

WAYAN
Nuna sugere GUSTI BIANG, kedengarannya seperti ada yang berteriak ................

GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai tidak?

WAYAN
Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang .........

GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar itu kuping tuli?

WAYAN
Betul Gusti Biang.

WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN DAN GUSTI BIANG TETAP DUDUK DAN MENGAMBIL JARUM. BERULANG-ULANG MENGGOSOK MATA SAMBIL MENGGERUTU.


Adegan III

GUSTI BIANG
Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaan ...

NYOMAN (Muncul Dengan Baki Di Tangannya Dan Lampu Teplok)
Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya.

GUSTI BIANG TIDAK MENGHIRAUKAN DAN TETAP MEMASUKKAN BENANG KE JARUMNYA

NYOMAN
Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti.

(Melihat Kesulitan Gusti Biang)

Mari tiyang tolong.

GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ...

(Kaget Karena Sentuhan)

Ulaaaaar......

NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman ....

GUSTI BIANG
Kau? Kau

TERBATUK

NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?

GUSTI BIANG
Kau .. kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.

NYOMAN
GUSTI BIANG takut sekali dengan ular, kenapa?

GUSTI BIANG
Binatang itu menggigit dan menjijikkan.

NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.

(Tersenyum)

Tiyang juga takut pada ular.

GUSTI BIANG
Aku tak perduli. Apa tugasmu di sini?

NYOMAN
Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.

GUSTI BIANG
Hari ini aku tak mau minum obat.

NYOMAN
Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.

GUSTI BIANG
Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini

NYOMAN (Memungut jarum di lantai)
Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu sayang pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?

GUSTI BIANG
Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya, tapi lobangnya yang terlampau sempit.

NYOMAN
Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya

TERSENYUM

GUSTI BIANG
Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.

NYOMAN
Tak percaya? Coba sekali lagi.

GUSTI BIANG
Jangan berlagak di sini

(Mengacungkan tongkat).

Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian ...

NYOMAN
Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang

(Melihat lampu).

Tapi di sini terlalu gelap

(Membesarkan).

Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.

GUSTI BIANG
Tidak! Kau mulai menyulap aku lagi, aku tak sudi menyentuh barang sihirmu. Suasana kotor sekarang.

NYOMAN
Kalau begitu, tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang meneruskannya saja.

GUSTI BIANG
Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusir ....

(NYOMAN TIDAK PERDULI, MENERUSKAN SULAMAN SAMBIL BERNYANYI KECIL)

GUSTI BIANG
Dewa Ratu .. Kau telah merusak sarung bantal anakku .... Waayaaannn.. Waayaaaaaan ....Dimana pula setan itu, Wayaaaan ....

NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night my darling”.

GUSTI BIANG
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur
orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang.

NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?

GUSTI BIANG
Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?

NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin, seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti?

GUSTI BIANG
Tidak!

NYOMAN
Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.

GUSTI BIANG
Sepatahpun aku tak ingin bicara lagi denganmu.

NYOMAN
GUSTI BIANG, pil ini musti ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon atau pisang susu, atau air. Pilih mana yang Gusti suka. Tidak pahit rasanya Gusti. Dan dalam tempo seperempat jam, Gusti akan merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini, untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.

GUSTI BIANG
Tidak!

NYOMAN
Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.

GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelan semua obat-obatmu itu, aku akan tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku ... Kalau sampai aku mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.

NYOMAN
Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan seluruh anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.

GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Tidak akan kubiarkan tubuhku ditelanjangi dan disentuh orang-orang yang kurang ajar. Aku bukan ibumu, aku bukan nenekmu.

NYOMAN
Nah sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini Gusti. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan, mana yang Gusti pilih. Kita mulai dengan pil merah ini Gusti.

GUSTI BIANG
Dewa Ratu ....

NYOMAN
Sebaiknya ditelan saja Gusti, itu yang paling aman ....

GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan ..

NYOMAN
Ayo cepat Gusti. Tidak akan merasa pahit dan sakit.

GUSTI BIANG
Wayan tolong Wayan.

NYOMAN
Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.

GUSTI BIANG
Ah ... racunlah dirimu sendiri, gosok punggungmu sendiri. Buat apa kau meributkan benar penyakit orang lain. Itu tugas dokter di rumah sakit, dan bukan tugas penyeorangan seperti engkau .... Kalau memang aku sakit, aku akan berbaring di kamarku, dan memanggil Wayan supaya memijat keningku. Tidak ada yang salah kalau lelaki itu di sini. Wayaaaan
..Wayaaaan, lehermu akan diputar nanti.

NYOMAN
Kenapa Gusti Biang jadi seperti ini, Gusti mengecewakan tiyang.

GUSTI BIANG
Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!

NYOMAN
Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.

GUSTI BIANG
Wayaaaaaan ... Wayaaaaa. Tolong Wayaaaaaan ...

NYOMAN
Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.

GUSTI BIANG
Pergi kau leak. Pergi pergi ...pergi ...

NYOMAN
Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.

GUSTI BIANG
Ya, pergi kau sekarang juga. Bedebah. Leak. Pil-pil tiap hari dicekoki pil.

NYOMAN
Waktu putra Gusti pergi lima tahun lalu. Ide berpesan pada tiyang. Jaga baik-baik ibuku NYOMAN, peliharalah kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan sakit. Gusti harus berobat.

GUSTI BIANG
Diam! Diam!

NYOMAN
Baiklah kalau begitu

(Hendak pergi)

Gusti tidak usah berobat. Ya, apa peduli tiyang, segera Gusti akan terkapar lesuh. Malam akan bertambah malam jua

SAMPAI DI PINTU IA BERBALIK DAN MENDEKATI MEJA

GUSTI BIANG
Apa perdulimu?

NYOMAN
Tapi semua itu akan segera hilang ...Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang. Tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk lagi. Gusti Minumlah .....

GUSTI BIANG
Kau memang setan licik!

(Berteriak hendak memukul. Nyoman menarik dari belakang)

Lepaskan! Lepaskan leak! Wayan, Wayaaaan

NYOMAN BERHASIL MENDUDUKKAN GUSTI BIANG DI KURSI TAPI GUSTI BIANG MEMUKUL BERTUBI-TUBI DAN NYOMAN BERLARI KE SUDUT RUANG

NYOMAN
Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)

GUSTI BIANG (Terus memukuli Nyoman dan Nyoman merebut tongkat)
Wayan tolong Wayaaaan ...

NYOMAN
Tak tiyang sangka Gusti sudah seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!

GUSTI BIANG
Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!

NYOMAN (Berlari keluar)
Tiyang tidak akan kembali lagi!

GUSTI BIANG
Pergi sekarang juga! Wayaaan Wayan tua ...

(Duduk)

Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaan ..........

Adegan IV

WAYAN MASUK

WAYAN
Kalau tak salah seperti ada yang berteriak ...

GUSTI BIANG
Tua bangka, ke mana saja kau tadi, kenapa baru datang?

WAYAN
Tiyang ketiduran di gudang.

GUSTI BIANG
Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!

WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti?

GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu.

WAYAN
Perempuan, perempuan yang mana Gusti?

GUSTI BIANG
Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!

WAYAN
Maksud Gusti, Nyoman?

GUSTI BIANG
Usir dia dari rumah ini!

WAYAN Tetapi ... tetapi ...

GUSTI BIANG
Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!

WAYAN (Tertawa)
Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!

GUSTI BIANG
Kau juga tidak waras!

WAYAN
Tetapi, memukul? Memutar leher?

GUSTI BIANG
Penakut!

WAYAN
Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.

GUSTI BIANG
Dia mau meracunku.

WAYAN
Meracun? Masak, ada yang berniat meracun Gusti.

GUSTI BIANG
Kau tukang ngotot.

WAYAN
Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!

GUSTI BIANG
Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali.

WAYAN
Baik, kutuklah tioyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?

GUSTI BIANG
Ular ...?

WAYAN
Jangan takut. Ular kelihatannya saja berbahaya, tapi sebenarnya binatang yang paling pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang, ...Oh mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa, Gusti jangan takut ...

(Merogoh kantongnya)

Ah, ini dia.

GUSTI BIANG
Ulaaaarrrrr.

GUSTI BIANG LARI, WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA MENDENGAR JANDA BANGSAWAN ITU MEMAKI-MAKI. MALAM BERTAMBAH LARUT





BABAK II

HALAMAN RUMAH MALAM. WAYAN SEDANG MENGENANG MASA-MASA MUDANYA.

Adegan I

WAYAN MENEMBANG PELAN-PELAN. TIBA-TIBA MELIHAT SOSOK TUBUH, LALU MENGHAMPIRI.

WAYAN
Mau ke mana Nyoman?

NYOMAN
Pulang ke desa.

WAYAN
Malam-malam begini?

NYOMAN
Apa salahnya?

WAYAN
Kau akan kemalaman di jalan.

NYOMAN
Aku tidak takut.

WAYAN
Banyak orang jahat sekarang.

NYOMAN
Biar saja, daripada saya sakit tinggal di sini.

WAYAN
Besok sajalah pagi-pagi, bape akan mengantarmu dengan
bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?

NYOMAN
Biar.

WAYAN
Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman. Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak daripada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?

NYOMAN
Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.

WAYAN
Nyoman. Nyoman sudah biasa tinggal di sini, kau tak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.

NYOMAN
Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ, biar cuma makan batu.

WAYAN
Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India.

NYOMAN
Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!

WAYAN
Tapi NYOMAN harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.

NYOMAN (Pelan-pelan)
Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya.

WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab?

NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak.

WAYAN
Tidak, dia tidak begitu?

NYOMAN
Siapa bilang begitu?

WAYAN
Aku tidak bilang. Ha .. ha .. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya..

NYOMAN
Akan saya tunggu di desa saja.

WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?




Adegan II

SUARA GUSTI BIANG MENCARI NYOMAN, GUSTI BIANG MUNCUL DAN NYOMAN MENGHAMPIRI WAYAN.

NYOMAN
Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan.

GUSTI BIANG
Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.

WAYAN
Tentu Gusti Biang.

NYOMAN
Baik, titiyang akan pergi.

GUSTI BIANG
Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.

WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.

GUSTI BIANG
Dulu ketika kubawa kemari, dia cuma pakai kain rombeng. Ambil segera Wayan! Sakit gede.

NYOMAN
Baik, ambil saja Bape Wayan.

GUSTI BIANG
Nanti dulu.

NYOMAN
Apa lagi yang Gusti kehendaki?

GUSTI BIANG
Wayan!

WAYAN
Ya, ada apa Gusti?

GUSTI BIANG
Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini kuncinya. Cepat!

WAYAN
Ah, catatan keluar masuk? Baru sekali ini titiyang mendengarnya .....

GUSTI BIANG
Ambil cepat goblok.

WAYAN
Tapi buku besar yang mana Gusti?

GUSTI BIANG
Tolol kamu ini! Buku besar di dalam lemari yang berwarna hijau.

WAYAN
Oh. Gusti Biang Ayo cepat!



Adegan III

WAYAN MASUK MEMBAWA BUNGKUSAN. GUSTI BIANG BERTOLAK PINGGANG, NYOMAN MEMPERHATIKAN DENGAN SANGAT BENCI.

GUSTI BIANG
Perempuan tak tahu balas budi. Tidak tahu berterima kasih, dikasih makan tiap hari malah durhaka. Disekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.

NYOMAN
Katakan sepuas-puasnya Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Aku mau diracunnya, terlalu. Akan kuadukan kau kepada polisi. Gila!

NYOMAN
Gusti sendiri yang menyiksa tiyang.

GUSTI BIANG
Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.

NYOMAN
Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.

GUSTI BIANG
Benar!

NYOMAN
Bohong!

GUSTI BIANG
Benar, kau memang liar, genit, dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.

NYOMAN
Baik, baik, tapi kau juga genit.

GUSTI BIANG
Apa katamu?

NYOMAN
Kau juga genit, kau ...

GUSTI BIANG
Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!

NYOMAN
Wayan akan memutar lehermu!

GUSTI BIANG
Dia akan menguncimu dalam gudang!

NYOMAN
Dia akan menguncimu dalam gudang!

GUSTI BIANG
Setan! Akan kucarikan kau polisi!

NYOMAN
Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.

GUSTI BIANG
Diam! Diam!

(Nyoman hendak pergi meninggalkan gusti biang, tapi gusti biang Mencegahnya)

Jangan pergi! Jangan duduk! Jangan bergerak!

NYOMAN (Berhenti lalu mendekat dan memandang Gusti Biang dengan marah)
Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ...

GUSTI BIANG
Seperti apa?

NYOMAN
Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.

GUSTI BIANG
Begitu mestinya. Bohong! Bohong tolol!

NYOMAN
Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk mengubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selamanya.

GUSTI BIANG (Meludah)
Ha.. ha .. kau tidak perlu pidato omong kosong, kau perempuan sudra. Kau akan kena tulah
karena berani menentangku, hei cepat Wayan!



Adegan IV

WAYAN MUNCUL DENGAN BUKU DITANGANNYA

GUSTI BIANG
Nah, sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutangmu dulu.

NYOMAN
Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.

GUSTI BIANG
Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan, cepat Wayan!

WAYAN (Tampak bingung membalik-balik buku)
Nanti dulu, piih. Nah ini dia.

GUSTI BIANG
Baca perlahan dengan jelas. Baca kataku!

WAYAN (Masih bingung, mendekatkan lampu)
Piih, mata tiyang kurang terang, sebentar, piih kenapa belum terang juga, kabur Gusti.

WAYAN
Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.

GUSTI BIANG
Setan bawa kemari buku itu!

(gusti biang mengambil buku itu dan memberi isyarat kepada wayan agar mengambil kaca mata dan lampu teplok. wayan segera melakukannya dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)

Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...

WAYAN (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.

NYOMAN
Gusti Biang ....

GUSTI BIANG
Tahun lima puluh lima, sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.

WAYAN
Ah, benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.

GUSTI BIANG
Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah ... kemudian sekarang tahun lima puluh enam! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat, ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun lima puluh delapan! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena
lupa mengunci dapur. Tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang. Seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulu putih, hitam, coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...

WAYAN
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman, Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.

GUSTI BIANG
Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku, nanti kau akan mendapat bagianmu sendiri. Nah, ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini, benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini, tahun enam puluh misalnya .. memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya,
membeli obat waktu ia sakit. Banyak, banyak sekali, itu belum ditambah yang lain-lain yang aku lupa catat. Belum lagi ditambah bunganya ...

WAYAN
Piih, ini perhitungan gila!

GUSTI BIANG (Berkata sungguh-sungguh)
Semua telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru
sita sebab kau pasti tidak bisa membayar. Kau cuma punya gubuk yang buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentenya sepuluh persen sebulan. Nah, bawa buku ini lagi ke dalam Wayan. Simpan baik-baik untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia!

WAYAN TAK MENERIMA, IA MENDEKAT KE MEJA DAN MELETAKKAN LAMPU TEPLOK KEMUDIAN BERJONGKOK

WAYAN
Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah, mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?

GUSTI BIANG
Sudah tak terhitung lagi, hampir dua puluh juta!

WAYAN
Piih, titiyang punya nyawapun tak ada harganya dua puluh juta, Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.

GUSTI BIANG
Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini.

(Melihat Wayan masih jongkok)

Apa? Baik aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.

NYOMAN
Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang.

GUSTI BIANG
Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku..

NYOMAN
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.

GUSTI BIANG
Pergiiii! Pergiiii!

NYOMAN MENGHAPUS AIRMATA DAN BERLARI KE LUAR PINTU! JANDA BANGSAWAN ITU MENGAWASINYA DENGAN MENGANGKAT LAMPU TEPLOK


Adegan V

WAYAN YANG DUDUK MEMBELAKANGI GUSTI BIANG TIDAK TAHU KALAU NYOMAN TELAH PERGI

WAYAN (Bergumam)
Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang!

GUSTI BIANG (Mendekati Wayan)
Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?

WAYAN
Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan ..

(Menoleh ke belakang dan heran)

Piih, di mana Nyoman, Gusti?

GUSTI BIANG
Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu
kita lagi ....

WAYAN
Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya?

GUSTI BIANG
Ya, kita sudah terlepas dari bahaya ....

WAYAN
Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai Gusti.

GUSTI BIANG (Tertawa geli)
Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu, aku cuma pura-pura.

WAYAN (Beringas)
Titiyang tidak memikirkan titiyang punya diri, titiyang memikirkan putra Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan baca berita yang dikirimnya.

WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke
mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.

GUSTI BIANG
Apa maksudmu Wayan?

WAYAN
Buta! Tuli! Pikun! Piih! Dunia! Dunia ...

GUSTI BIANG (Panik)
Katakan, kenapa dia Wayan? Ya katakan, katakan apa maksudmu.

WAYAN (Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal)
Nyoman niti, gusti biang.

GUSTI BIANG
Ya, Nyoman begundal itu, kenapa dia?

WAYAN
Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, daripada ...” biar dimakan leak. Demi apa saja!

GUSTI BIANG
Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.

WAYAN
Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?

GUSTI BIANG
Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.

WAYAN
Tapi mereka saling mencintai!

GUSTI BIANG
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.

WAYAN
Kalau begitu alamat akan perang.

GUSTI BIANG
Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!

WAYAN
Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.

GUSTI BIANG
Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.

WAYAN
Ratu Ngurah benar-benar mencintai Nyoman, Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Bohong!

WAYAN
Baik, bacalah surat itu kalau tidak percaya!

GUSTI BIANG
Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.

WAYAN
Sudah lima hari yang lalu!

GUSTI BIANG
Tapi! Kau keterlaluan!

WAYAN
Coba baca!

(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG)

GUSTI BIANG
Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan. Betapa pinternya ia menghormati

(Membaca lagi)

dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ... ananda
bermaksud

MENGULANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK

WAYAN
Bermaksud apa?

GUSTI BIANG
Bermaksud, bermaksud ...

WAYAN
Ya bermaksud apa? Baca terusnya Gusti Biang.

GUSTI BIANG (Tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya)
Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?

WAYAN
Ya!

GUSTI BIANG
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak!

(Wanita Itu Menjerit Dan Mendekati Wayan Dengan Beringas)

Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!

WAYAN
Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!

WAYAN
Siapa bilang tiyang gagal!

GUSTI BIANG
Suamiku yang telah menggagalkan kau.

WAYAN
Suami GUSTI BIANG seorang pembohong!

GUSTI BIANG
Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri
ini?

WAYAN (Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras)
Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?

GUSTI BIANG
Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!

WAYAN
Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.

GUSTI BIANG
Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!

MELEMPARI WAJAH WAYAN DENGAN BOTOL

WAYAN
Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ....

GUSTI BIANG (Memotong)
Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan
lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!

WAYAN
Benar?

GUSTI BIANG
Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!

WAYAN
Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang.

WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN, GUSTI BIANG MELONTARKAN KUTUKAN

GUSTI BIANG
Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku.

(Agak rendah, jongkok)

dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang.

MEMANDANG SEKELILING LALU DUDUK DI KURSI. UNTUK BEBERAPA SAAT IA TERTIDUR DI KURSI ITU



BABAK III
TEMPAT TIDUR GUSTI BIANG

Adegan I

GUSTI BIANG
tertidur ketika Ngurah masuk.

NGURAH
Ibu ...

GUSTI BIANG
Siapa?

NGURAH
Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu ....

GUSTI BIANG
Ngurah?

NGURAH
Yah! Ngurah, bangun ibu.

GUSTI BIANG (Mengusap matanya tak percaya lalu terbelalak sambil tersenyum)
Ngurah .. Ngurah, kenapa kau baru pulang, kau sudah lupa pada ibumu. Kurang
ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang sudah pergi, tak ada yang merawatku. Kamu jadi kurus hitam, seperti kuli.

NGURAH
Ya, saya bekerja di situ.

GUSTI BIANG
Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?

NGURAH
Ya, bekerja sambil belajar.

GUSTI BIANG
Karena itu kamu gagal.

NGURAH
Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.

GUSTI BIANG
Tapi kau tak pernah memikirkan ibumu.

NGURAH
Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.

GUSTI BIANG
Kau memikirkan ibumu kalau kau perlu uang. Itu
barang-barangmu?

NGURAH
Ya.

GUSTI BIANG
Itu koper yang ibu belikan dulu?

NGURAH
Ya, betul ibu.

GUSTI BIANG
Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?

NGURAH
Masih ada di pondokan.

GUSTI BIANG
Mengapa kau tinggalkan di situ, apa kau akan kembali ke situ?

NGURAH
Saya tidak tahu. Semua tergantung ...

GUSTI BIANG
Tergantung apa?

NGURAH
Entahlah, keadaan tentunya saja.

GUSTI BIANG
Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata? Mana cincinmu?

NGURAH
Cincin?

GUSTI BIANG
Waktu berangkat dulu kau ibu kasih tiga buah cincin peninggalan ayahmu, mana sekarang?

NGURAH
Masih ada....

GUSTI BIANG
Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah dapat firasat buruk, kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut merendahkan dan menghina ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah
bodoh, untung kau tidak membawa perempuan dari sana, seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tidak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.

NGURAH
Ibu, ibu bicara apa itu?

GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang.

NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu.

GUSTI BIANG
Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha..ha kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?

NGURAH
Maaf ibu.

GUSTI BIANG
Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, gincu, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!

NGURAH
Perempuan? Perempuan siapa ibu?

GUSTI BIANG
Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.

NGURAH
Ya, nanti saja kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Kau sendiri yang menulis kan?

NGURAH
Ya.

GUSTI BIANG
Kau ingat apa yang kau tulis? Benar semua itu?

NGURAH
Ya, nanti, nanti kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Nanti atau sekarang sama saja, benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?

NGURAH
Sebentar ibu, tiyang akan jelaskan.

GUSTI BIANG
Ngurah kau anak durhaka!

NGURAH
Ibu, tenanglah ibu.

GUSTI BIANG
Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini, dan kalau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut ibu kepadaku.

NGURAH
Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik, tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Ibu pun sangat lelah. Tak ada waktu lagi berpanjang-panjang. Sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus meyelesaikannya, sekarang juga harus selesai!

NGURAH
Begitukah keputusan ibu?

GUSTI BIANG
Ya.

NGURAH
Tiyang ingin istirahat dulu.

GUSTI BIANG
Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya sudah beres. Ini adalah rumahku dan kau adalah ahli waris satu-satunya.

NGURAH
Baiklah, kalau itu yang ibu kehendaki.

HENDAK DUDUK

GUSTI BIANG
Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri tak akan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?

NGURAH
Begini ibu ...

GUSTI BIANG
Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!

NGURAH
Ya, titiyang akan mengawininya.

GUSTI BIANG
Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.

NGURAH
Kami saling mencintai ibu.

GUSTI BIANG
Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.

NGURAH
Sagung Rai? Tidak ibu.

GUSTI BIANG
Apa kurangnya Sagung Rai, dibanding dengan perempuan desa itu.

NGURAH
Tidak, tiyang tidak mau kawin dengan dia.

GUSTI BIANG
Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya telah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.

NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin memilih sendiri teman hidup.

GUSTI BIANG
Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.

NGURAH
Tidak?

GUSTI BIANG
Tidak! Aku menentangnya.

NGURAH
Kenapa tidak?

GUSTI BIANG
Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!

NGURAH
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang
lain omong kosong semua!

(Gusti Biang Terbelalak Dan Mendekat)

Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya karena sola kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima akibatnya

(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)

Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan di besar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu ...

GUSTI BIANG
Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi!
Leluhurmu akan mengutukmu,kau akan ketulahan.

NGURAH (Memegang kepala)
Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Bape Wayan,
kita bicarakan tenang-tenang.

GUSTI BIANG
Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!

NGURAH
Diusir? Nyoman, ibu usir?

KELUAR

GUSTI BIANG
Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.


BABAK IV
DEPAN RUMAH MALAM

Adegan I

WAYAN MUNCUL MEMBAWA KOPOR SENG DAN SENJATA. LALU MELIHAT KE DALAM RUMAH NGURAH MUNCUL DARI SAMPING WAYAN

WAYAN
Tu Ngurah ..

NGURAH
Bape Wayan!

WAYAN
Tepat sekali ratu Ngurah datang.

NGURAH
Apa kabar Bape?

WAYAN
Buruk tu Ngurah, buruk sekali.

NGURAH
Bape sehat-sehat saja?

WAYAN
Marahlah, umpatlah si tua yang pikun ini.

NGURAH
Kenapa?

WAYAN
Nyoman telah pergi.

NGURAH
Ke mana?

WAYAN
Baru saja tiyang hendak menyusulnya sekarang.

NGURAH
Baru saja?

WAYAN
Ya, baru saja, pasti belum jauh.

NGURAH
Kenapa dia pergi Bape?

WAYAN
Tu Ngurah tahu sendiri, sudah lama Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat, tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga tu Ngurah.

NGURAH
Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi, duduklah bape ...

Adegan II
GUSTI BIANG MUNCUL

GUSTI BIANG
Tinggalkan rumahku sekarang ini juga.

WAYAN
Tiyang sudah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang

KEPADA NGURAH

GUSTI BIANG
Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku.

WAYAN HENDAK PERGI, NGURAH MENAHANNYA

NGURAH
Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?

GUSTI BIANG
Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!

WAYAN
Ya, tiyang hantu, seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi tu Ngurah

MENGANGKAT KOPER HENDAK PERGI

GUSTI BIANG
Tunggu dulu! Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?

WAYAN
Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat.

GUSTI BIANG
Bedil itu kepunyaanku!

WAYAN
Kepunyaan Gusti Biang?

(Kepada Ngurah)

Ini bedil Bape ...

GUSTI BIANG
Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.

WAYAN
Ini bedil pak Rajawali.

GUSTI BIANG
Setan, anakku kamu hasut. Bedil peninggalan suamiku kau curi! Ambil bedil itu Ngurah! Bedil itu wasiat ayahmu.

NGURAH (Tertarik kepada bentuk bedil itu)
Coba lihat, aneh sekali bentuknya.

WAYAN
Bedil ini kepunyaan tiyang.

NGURAH
Benar? Coba saya ingin lihat.

GUSTI BIANG
Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!

NGURAH
Ibu, di mana peluru yang menewaskan ayah?

MENGAMBIL BEDIL DARI TANGAN WAYAN

GUSTI BIANG
Tentu aku selalu membawanya sebagai jimat.

NGURAH
Coba lihat

(Menerima peluru)

Peluru ini yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini kepada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan untuk menembakkan peluru ini.

GUSTI BIANG
Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. Nica jahanam.

WAYAN
Nica tidak mempunyai bedil macam ini.

GUSTI BIANG
Tidak! Usir dia Ngurah! Usir cepat!

.
WAYAN
Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.

GUSTI BIANG
Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara, usir!

WAYAN (Tertawa)
Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan
seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai penghianat.

GUSTI BIANG
Dengar, dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati!

NGURAH (Memegang ibunya yang hendak memukul)
Tenang ibu!

GUSTI BIANG Coba katakan lagi suamiku penghianat! Coba!
Kupukul kau bedebah.

WAYAN
Dia memang penghianat.

GUSTI BIANG
Leak! Terkutuk kau!

NGURAH
Sabar ibu!

MENDUDUKKAN IBUNYA

GUSTI BIANG
Kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku.

NGURAH
Baik ibu, tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.

GUSTI BIANG
Biar, biar. Usir dia sekarang

BATUK KERAS

NGURAH
Bape bilang ayah saya penghianat? Kenapa Bape

WAYAN membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?

SALING BERPANDANG-PANDANGAN

WAYAN (Dengan tegas)
Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap
saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh
enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica.

GUSTI BIANG
Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan Ngurah usir dia.

NGURAH (Menghampiri Wayan)
Saya tidak percaya!

GUSTI BIANG
Jangan percaya! Leak!

NGURAH
Bape menghina keluarga saya.

WAYAN
Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau kepada pak Rai terhadap semua korban puputan itu seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak penghianat-penghianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.

NGURAH
Saya tak senang dengan cara-cara bape ini, diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang bape. Bape lupa, besar jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, Ia akan menjelaskannya. Tarik kata-kata bape.

WAYAN HANYA TERSENYUM SINIS

NGURAH
Pergi!

WAYAN (Memalingkan muka hendak pergi tapi tiba-tiba tertegun dan berbalik)
Berikan bedil itu Tu Ngurah.

GUSTI BIANG
Tidak, itu bedilku, kau telah mencurinya.

NGURAH
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!

WAYAN (Menggeleng)
Berikan bedil itu Tu Ngurah!

GUSTI BIANG
Ayahmu ditembak Nica!

NGURAH (Membentak)
Buktikan!

WAYAN
Buat apa?

NGURAH
Buktikan!

WAYAN
Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia, dan tiyang seorang gerilya.

NGURAH
Lalu?

MEREKA SALING BERPANDANG-PANDANGAN. WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU DARI TANGAN NGURAH DAN NGURAH SEPERTI TAK BERTENAGA MEMBERIKAN BEDIL ITU

WAYAN (Pelan)
Aku telah sengaja melupakannya. Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang
menembaknya.

(Membelai bedil)

Tiyanglah yang menembaknya.

NGURAH
Bape?

GUSTI BIANG
Tidak! Tidak! Tidak!

BERDIRI HENDAK MELEMPAR DENGAN TONGKAT. WAYAN SEGERA MERAMPAS DAN MENDUDUKKANNYA KEMBALI. SEMENTARA NGURAH HANYA TERCENGANG

WAYAN
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu.

(Kepada Ngurah)

Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.

NGURAH TAK PERCAYA DAN MENGHAMPIRI IBUNYA YANG MULAI MENANGIS

WAYAN
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku,
lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.

NGURAH (Berdiri dan bertanya dengan tolol)
Betulkah itu?

WAYAN
Tanyakan sendiri kepada dia.

NGURAH
Betulkah semua itu Ibu?

GUSTI BIANG TERUS MENANGIS SEMENTARA NGURAH TERUS BERTANYA SAMBIL BERTERIAK

WAYAN
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi.

(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian
berkata)

Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape hanya karena perbedaan
kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.

KEDUA LAKI-LAKI ITU SALING MEMANDANG, GUSTI BIANG TERPAKU DAN MERASA MALU SEKALI. WAYAN KASIHAN DAN MENDEKATI GUSTI BIANG. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN WAYAN MEMANDANG NGURAH LAGI

WAYAN
Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.

NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN MENATAPNYA

WAYAN
Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan penghianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.

TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT

Adegan III

GUSTI BIANG
sudah berhenti menangis, Ia malu menatap Wayan, tapi laki-laki itu mendekatinya.

WAYAN
Bagaimana Gusti Biang?

GUSTI BIANG (Kemalu-maluan)
Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.

WAYAN
Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.

GUSTI BIANG
Kau menyebabkan aku sangat malu.

(Gusti Biang Tertunduk Dan Wayan Menghapus Air Matanya)

Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?

GUSTI BIANG (Sambil menghapus air matanya)
Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,

(Dengan manja)

Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.

WAYAN (Tersenyum)
Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita
berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..

GUSTI BIANG
Apa Wayan?

WAYAN
Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ...

GUSTI BIANG
Huuuuuuuuuussssssss!

WAYAN TERTAWA LALU BERJALAN KE GUDANG. GUSTI BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK UNTUK WAYAN.

TAMAT