Showing posts with label Kebudayaan. Show all posts
Showing posts with label Kebudayaan. Show all posts

Wednesday 10 November 2010

TOWE : Masyarakat Yang Hampir Punah

TOWE : Masyarakat Yang Hampir Punah


Djekky R. Djoht



Abstract
The first contact between Towe tribe with the world happened in 1986. The
Towe tribe lives in the area of Jayapura in the disrict of Web.
Their living condition is very poor and the believe on supranatural especially
on female ghosts according to the writer makes their population is
decreasing.
Churches and NGOS have been involves so far to increase the Towe’s life but
government intervention is needed to prevent the people from extinction.
1. Identitas Masyarakat Towe
Sebelum menguraikan sejarah orang Towe menempati tempat sekarang, perlu
diketahui identitas dan dimana orang Towe tinggal, agar memudahkan kita
mengenal masyarakat Towe Hitam.
Di tinjau dari aspek Bahasa Orang Towe menggunakan Dua Bahasa yaitu
Bahasa Yetfa yang merupakan Bahasa suku bangsa tetangga meraka di Bias
(kurang lebih empat jam) jalan kaki ke arah selatan berbatasan dengan
kabupaten Jayawijaya. Bahasa ke dua adalah Bahasa Towei. Kedua bahasa ini
mereka pakai bersama-sama karena penduduk Towe sendiri berasal dari
beberapa kampung yang menggunakan 2 (dua) bahasa tersebut.
Berdasarkan tinjauan bahasa ini maka kita dapat menyebut masyarakat ini
dengan sebutan suku bangsa Yetfa/Towe. Namun di kalangan pemerintahan,
gereja dan masyarakat sekitarnya, mereka biasa di panggil dengan nama orang
Towe.
Dalam tulisan ini “Towe” yang dipakai untuk menyebut mereka, karena nama
ini sudah populer di kalangan masyarakat sekitarnya, pemerintahan dan gereja.
Namun jika orientasinya dilihat dari rasa solidaritas penduduknya sendiri, maka
mereka tidak membedakan sebagai orang Yetfa dan orang Towe karena tiap-
1) Dosen tetap di Jurusan Antropologi Uncen dan Sekretaris Laboratorium Antropologi Uncen
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 14
tiap orang mempunyai keterikatan pada struktur budaya yang mereka bangun
sejak dahulu seperti prinsip kekerabatan, pola-pola organisasi sosial yang sama,
dan religiusitas yang sama pula sehingga membentuk rasa integritas budaya
yaitu kebudayaan masyarakat Towe.
Kalau di tinjau dari kesatuan masyarakat yang di batasi oleh garis batas suatu
daerah administratif. Pemerintahan, maka Towe Hitam termasuk dalam wilayah
kecamatan Web, Kabupaten Jayapura. Towe Hitam berada di sebelah selatan
dari pusat Kecamatan Web. Jarak tempuh dari pusat kecamatan adalah empat
hari perjalanan kaki. Towe terletak di perbatasan Jayawijaya dan kabupaten
Jayapura.
Rasa identitas ini, jika ditinjau dari kesatuan masyarakat yang batasnya di
tentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisiknya,
maka suku bangsa Towe Hitam meliputi daerah gunung Temar di bagian utara
dan Lenan di sebelah selatan dan antara gunung Menena/Ji di barat daya dan
Saigiri di barat laut (T.R Dendegau, 1994;5).
2. Mencapai Towe
Towe dapat ditempuh melalui transport darat dan udara serta jalan kaki. Lewat
darat, kita harus naik bus selama 6 (enam jam) dari Abepura sampai di daerah
Senggi (tepatnya di jembatan Web Jalan Trans Wamena – Jayapura)
Sampai di sini, bus tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Ubrub karena
jembatan rusak. Kemudian kita harus jalan kaki menyusuri hutan belantara dan
bukit-bukit selama 3 hari, baru tiba di Towe Hitam.
Jika lewat udara, pesawat yang bisa mendarat di landasan Towe hanya jenis
pesawat Pilatus Porter dan Cesna karena panjang landasan pesawat di Towe
hanya 300 meter dan kondisi lapangan tanah berbatu yang ditumbuhi rumputrumput
pendek (lihat gambar 2). Biaya yang diperlukan dengan pesawat udara
untuk mencapai daerah ini sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) kalau
mencarter jenis pesawat Pilatus Porter dengan beban 800 (delapan ratus) kg
termasuk 8 (delapan) penumpang. Sedangkan Kalau mencarter jenis pesawat
Cesna dengan beban angkat 400 (empat ratus) kilogram termasuk 4 (empat)
penumpang sebesar Rp. 2.000.000. Perusahaan penerbangan yang melayani
penerbangan di daerah pedalaman Irian Jaya adalah MAF (Mission Aviation
Fellowship), Yajasi (Yayasan Jasa Aviasi Indonesia), AMA (Assosiated
Mission Aviation), RBMU, AAI. Waktu tempuh dari bandara Sentani ke Towe
selama 55 (lima puluh lima) menit dengan Cesna dan Pilatus Porter selama 45
(empat puluh lima) menit.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 15
3. Sejarah Towe Hitam
Sebelum masyarakat dimukimkan pada suatu tempat seperti Towe sekarang
mereka tinggal menyebar di dusun-dusunnya yang berbatasan dengan rumpun
sagunya. Biasanya terdiri dari 3 (tiga) sampai 10 Rumah Tangga tinggal di
suatu dusun1. Pola tempat tinggal menyebar di suatu daerah yang luas ini
sebenarnya sebagai suatu strategi adaptasi terhadap lingkungan ekosistimnya.
Mereka dengan mudah dapat memperoleh makanan tanpa harus berpergian jauh
dan ada rasa aman karena 3 (tiga) sampai 10 rumah tangga ini merupakan suatu
kelompok kekerabatan yang di sebut berdasarkan prinsip patrilinial, sehingga
rasa solidaritas di antara anggota kelompok kerabat tersebut sangat kuat.
Persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan tersebut dapat mereka pecahkan
bersama-sama.
Walaupun demikian dusun-dusun ini mempunyai kampung besar yang mereka
sebut kampung Tua Towe. Setiap keluarga yang tinggal di dusun-dusun juga
mempuyai rumah di kampung Tua Towe. Masyarakat lebih banyak
menghabiskan waktunya di dusun-dusun dari pada kampung Tua Towe.
Umumnya mereka hanya beberapa hari di kampung tua dan selanjutnya di
dusun-dusunnya bisa berminggu-minggu atau bahkan sampai berbulan-bulan.
Mereka ke kampung Tua Towe sebenarnya hanya untuk bertemu dengan
kerabat-kerabat yang dari dusun lain karena di kampung Tua Towe mereka
semua sering berkumpul.
Sampai sekarang orang Towe masih mempunyai dusun-dusun tersebut karena di
situlah setiap clan mempunyai tempat mencari makan, walaupun mereka sudah
di beri pemukiman di Towe Hitam.
Aturan mengenai penguasaan sumber daya alam dalam wilayah-wilayah clan
sangat kuat, sehingga membentuk hak-hak dan kewajiban di setiap wilayah
penguasaan sumber daya alam setiap clan. Clan Mus tidak boleh mengambil
sagu di dusun clan Yau. Kalau aturan ini di langgar maka akan terjadi
pertengkaran-pertengkaran dan tuntutan-tuntutan di antara 2 (dua) clan yang
bersengketa.
Dampak dari aturan penguasaan sumber daya alam ini, membuat beberapa clan
tertentu harus berpergian jauh selama 2 sampai 4 hari ke dusun-dusun sagunya
dari Towe Hitam untuk meramu sagu. Akibatnya mereka sering 2 (Dua) sampai
3 (tiga ) minggu atau bahkan sampai 2 (dua) bulan meninggalkan Towe Hitam.
2. Dusun dalam pengertian di sisni bukan sebagai kampung tetapi sebagai suatu daerah luas
yang di tumbuhi hutan sagu sebagai tempat mencari makan masyarakat.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 16
Aktivitas seperti ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap
Program YKB pada masyarakat ini, karena untuk menggerakkan partisapasi
masyarakat dalam melaksanakan kegiatan program ini menjadi sulit.
Diprediksikan tingkat keberhasilan program kegiatan “Pencegahan Kepunahan
Masyarakat Towe dengan Pemberian Makanan Tambahan dan Pengobatan”
akan rendah karena partisipasi masyarakat rendah akibat mobilitas ke dusun
sagu lebih tinggi daripada berada di dalam kampung.
Dusun-dusun clan yang dapat disebut adalah :
1. Dusun Linan Labro di miliki clan Mus masih terdapat 3 (tiga) keluarga yang
tinggal menetap disitu. Waktu yang ditempuh dari Towe Hitam berjalan kaki
selama 11 ( sebelas ) jam.
2. Dusun Wopma klanan, di miliki clan Yau. Sudah tidak ada penduduk yang
tinggal di sini semua clan Yau sudah pindah ke Towe Hitam. Waktu yang di
tempuh dari Towe Hitam berjalan kaki, selama 2 Hari (18 jam)
3. Kampung tua Towe masih ada 10 keluarga yang tinggal dikampung ini, ke
tempat ini dari Towe membutuhkan waktu selama 2 (dua) hari (21 jam).
Tahun 1986-1987 ketika gejolak penyanderaan pejabat pemerintah oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) terjadi, banyak masyarakat yang lari
meninggalkan kampungnya menyeberang ke negara tetangga PNG karena takut
terhadap tentara dan juga OPM.
Tahun 1989 ada seorang penginjil dari missi katolik bernama Tobias Dendegau
berusaha mengumpulkan mereka yang tersebar di dusun-dusun kesuatu tempat
(reseltement) agar pelayanan gereja dan pemerintahan pada mereka menjadi
mudah.
Menurut informasi kepala suku bahwa upaya reseltement (pemukiman kembali)
ini datang dari kemauaan masyarakat Towe. Kemauan ini mereka sampaikan
pada camat, kemudian camat mengirimkan 2 (dua) orang stafnya untuk melihat
kelayakan menjadi desa sendiri. Kepala desa tidak setuju kampung tua Towe
Hitam menjadi desa sendiri.
Karena lewat camat tidak bisa, mereka memberi tahu Pater Yanuarius Koot,
OFM untuk mengusahakan buat kampung sendiri agar anak-anak bisa sekolah.
Upaya pertama dikirim 2 (dua) orang guru SD untuk membuka sekolah di
kampung tua Towe (1989).
Tahun 1990 Tobias Dedenggau dengan dipandu kepala suku mencari tempat
untuk pemukiman dan lapangan terbang. Dipilihlah tempat perburuan marga
Mbalu. Clan ini sekarang sudah punah. Kepala suku menghubungi Pater
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 17
Yanuarius dan Pater mengirim Maks Debem untuk melihat kelayakan membuka
lapangan terbang, tempat ini dinyatakan layak karena daerahnya datar dan di
pinggir sungai.
Januari 1990 Tobias dan Martin Kuayo dari keuskupan Jayapura bersama
masyarakat Towe membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lapangan
terbang. Keuskupan membantu 4 (empat) karung beras dan pakaian. Selama
seminggu bekerja, kemudian dihentikan karena terjadi kecelakaan patah tulang
tangan seorang anak.
Lapangan terbang dibangun selama 4 (empat) tahun sampai selesai pada tahun
1994.
Tahun 1995 keuskupan membantu perumahan sebanyak 20 (dua puluh) buah,
kemudian ditambah 48 (empat puluh delapan) buah rumah bantuan dari Bandes.
Tahun 1997 dibangun 2 (dua) ruang kelas sekolah dasar. Terdapat 2 (dua) orang
guru yang bertugas di sini. Baru dibuka sampai kelas 3 (tiga).
4. Marga Yang Hampir Punah
Daerah Towe Hitam berawa, berbukit, dan gunung-gunung yang merupakan
jajaran dari pegunungan tengah. Puncak yang tertinggi adalah gunung Manena
dan Temar masing-masing 200 (dua ratus) meter dan 1000 (seribu) meter diatas
permukaan laut. Sedangkan Towe Hitam berada di atas 150 (seratus lima puluh)
meter dari permukaan laut. Daerah rawa-rawa di tumbuhi hutan sagu yang lebat
dan luas. Dengan demikian Towe Hitam sangat potensial untuk pengembangan
pertanian.
Karakter daerah terdiri dari hutan primer dengan berbagai jenis pohon seperti:
damar, venus, mlinjo (genemo). Hewan yang hidup di daerah ini seperti babi
hutan, kasuari, kangguru dan berbagai jenis burung seperti kakak tua, jambul
kuning, kakak tua raja, cenderawasih, nuri, dan berbagai jenis burung lainnya.
Sungai-sungai merupakan sumber emas bagi masyarakat dan sering di dulang
secara tradisional dan di jual di kota kecamatan atau Jayapura. Tapi sering juga
pengusaha datang ke sini membeli. Selain sebagai sumber emas, juga merupakan
sumber protein, terutapa ikan-ikan yang hidup di sungai seperti ikan sembilang,
dan kura-kura.
Lingkungan alam Towe merupakan kaya dengan berbagai sumber hayati seperti
terdapat di daerah hutan primer dengan berbagai jenis pohon, memilliki banyak
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 18
aliran sungai, mewarisi berbagai jenis hewan air dan darat, dan hutan sagu yang
sangat luas.
Tanah yang subur terdapat di daerah rendah dan datar serta sepanjang aliran
sungai karena pembusukan daun dan humus yang di bawa air hujan dari daerah
ketinggian ke darah dataran rendah.
Jumlah penduduk Towe Hitam pada tahun 2000 sebanyak 514 orang yang terdiri
dari laki-laki 254 orang dan perempuan 260 orang. Jumlah ini tersebar di
beberapa dusun yang jarak antara dusun yang satu dengan dusun yang lain
berjauhan sedangkan di kampung besar Towe Hitam jumlah penduduknya 133
orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 31 KK.
Tabel 1. Distribusi penduduk Towe Hitam Berdasrkan Marga
No Nama Marga Laki-Laki Perempuan Total
1 Anto 17 10 27
2 Kenai 18 8 26
3 Waki 9 9 18
4 Keyao 17 14 31
5 Yao 23 58 81
6 Pul - 1 1
7 Kului 22 16 38
8 Komand - 1 1
9 Yebreb 3 - 3
10 Mus 7 9 16
11 Klaini 7 14 21
12 Doel 14 39 53
13 Wemi - 1 1
14 Kri 23 19 42
15 Lemel 20 11 31
16 Lela 26 18 44
17 Menggete 9 4 13
18 Songge 2 3 5
19 Mente 1 - 1
20 Pofai 8 3 11
21 Kombe 1 1 2
22 Wiku 23 17 40
23 Wuva - 1 1
24 Fengla 4 3 7
Jumlah 254 260 514
Sumber: Laporan Petugas Lapangan YKB Papua, 2001
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 19
Melihat tabel 1 (satu) diatas terdapat marga Pul, Komond, Yebgeb, Wemi,
Songge, Mente, Kombe, dan Wuva yang populasinya sudah hampir punah
karena hanya berjumlah satu orang sampi tiga orang. Diduga menyusutnya
populasi Clan tertentu selain karena rentan terhadap penyakit karena kekurangan
gizi, juga karena kepercayaan terhadap Whichcraft3 yaitu suatu kepercayaan
yang menghubungkan suatu peristiwa yang menimpa seseorang karena sakit
keras dengan kekuatan gaib yang dimiliki oleh orang lain untuk mencelakakan.
Namun anehnya orang yang dituduh memiliki Whichcraft (Suanggi) adalah
perempuan. Para perempuan yang dituduh Whichcraft akan diadili dan kemudian
dihukum dengan membunuh mereka dihutan. Akibatnya di Towe kita banyak
menemukan anak-anak piatu yang dipelihara oleh saudara laki-laki ibunya atau
saudara laki-laki ayahnya yang sudah berkeluarga.
Pengurangan populasi penduduk akibat Kepercayaan pada Whichcraft juga
dipengaruhi oleh pola melahirkan yang beresiko sangat tinggi pada kematian ibu
dan anak. Pola melahirkan yang berlaku pada umumnya dalam masyarakat Towe
bahwa seorang ibu hamil ketika saatnya melahirkan, ia harus pergi sendirian ke
dalam hutan mencari tempat untuk melahirkan. Disana ia sendiri mengumpulkan
daun-daun muda sebagai tempat melahirkan yang di alas di atas tanah dibawah
sebuah pohon kayu besar. Lalu ia sambil jongkok dan memegang batang pohon
itu dan dengan mengendan berusaha supaya bayinya bisa lahir ke bumi. Setelah
bayinya lahir, ia (Ibu) dengan susah payah harus membersihkan bayinya dan
memotong tali pusar bayinya dengan memakai giginya. Baru ia bisa membawa
bayinya ke kampung atau ke rumahnya.
Pola melahirkan seperti ini dipraktekan oleh semua perempuan hamil yang ada
di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap
sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa
mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus
diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial
pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia
dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia
masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa
diijinkan memasak untuk keluarganya.
Pola melahirkan seperti ini menyebabkan angka kematian ibu sangat tinggi,
padahal mereka adalah sumber penerus keturunan dan ini yang menyebabkan
kenapa data penduduk menunjukan jumlah marga tertentu semakin menurun dan
cenderung hampir punah.
3 Masyarakat di Papua mengenal kepercayaan tersebut dengan sebutan “Suanggi”
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 20
5. Sistim Mata Pencahariaan Hidup
5.1 Peladangan
Peladangan pada masyarakat Towe Hitam adalah suatu cara bercocok tanam
yang dilakukan dengan :
a. Menebang dan membakar suatu daerah hutan.
b. Tanah di gemburkan dengan tugal kemudian di tanami selama 1 (satu)
sampai 2 (dua) tahun
c. Ladang di tinggalkan untuk waktu antara 10 (sepuluh) sampai 15 (lima
belas) tahun sehingga menjadi hutan kembali.
d. Sesudah itu hutan bekas ladang tadi di buka lagi dengan cara seperti pada
sub a.
Dalam pembagian kerja di ladang, laki-laki biasanya menebang dan membakar
pohon sedangkan wanita menggemburkan tanah, mencari bibit, menanam bibit
dan panen biasanya di lakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Daerah yang di pilih sebagai ladang meraka umumnya di pesisir sungai. Daerah
ini di pilih karena subur dan cocok untuk menanam jenis tanaman utama mereka
seperti sukun biji (gomo) dan pandan (buah merah) dan pisang karena jenis
tanaman ini paling cocok hidup di tepi sungai.
Ladang-ladang mereka ada yang berjarak sehari perjalanan, tetapi ada juga yang
terletak di dekat kampung.
5.2. Meramu Sagu
Rumpun sagu di daerah ini sangat luas dan setiap marga memiliki rumpun sagu
yang jelas batas-batasnya dengan marga yang lain
Letak dusun-dusun sagu marga ini berfariasi jaraknya. Ada yang 4 (empat) jam
jalan kaki untuk mencapai dusun ini, ada yang sehari dari Towe.
Umumnya setiap marga meramu sagu di dusunnya masing-masing. Teknologi
pengolahan membutuhkan lebih dari 2 (dua) orang, oleh sebab itu orang Towe
dalam memproses sagu menjadi tepung sagu biasanya bersama-sama dengan
anggota keluarga lainnya.
Teknologi pengolahan sagu menjadi tepung sagu adalah sebagai berikut :
1. Memilih pohon sagu yang dapat menghasilkan tepung sagu.
2. Menebang pohon sagu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 21
3. Menguliti batang pohon sagu
4. Membuat alat pengolahan serat sagu menjadi tepung sagu
5. Menghancurkan isi batang pohon sagu menjadi serat-serat
6. Memisahkan serat-serat sagu menjadi tepung sagu dengan cara di remasremas
7. Mengangkut tepung sagu ke kampung
Pembagian kerja dalam proses pengolahan sagu dari tahap 1 (satu) sampai tahap
4 (empat) dilakukan oleh laki-laki tahap 5 (lima) sampai 7 (tujuh) dikerjakan
oleh perempuan.
Waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan sagu, biasanya tergantung panjang
batang pohon sagu, tapi umumnya dari seminggu sampai 2 (dua) minggu sampai
menjadi tepung sagu.
Dusun sagu tiap-tiap marga (clan) umumnya mempunyai rumah-rumah tempat
tinggal untuk mengolah sagu. Biasanya terdiri dari 2 (dua) sampai 5 (lima)
rumah-rumah ini di pakai clan untuk menginap selama pengolahan sagu.
6. Pengolahan dan Penyajian Makanan
Makanan menjadi masalah buat orang Towe karena dengan adanya pemukiman
baru ini, tempat mencari makanan (dusun sagu) menjadi jauh. Akibatnya mereka
menjadi menderita kelapran. Jika persediaan sagu keluarga telah habis biasanya
mereka memanfaatkan sukun, buah merah (buah pandan) dan pisang sebagai
makanan mereka karena tersedia di kebun-kebun mereka yang dekat dengan
tempat tinggal mereka. Jika persediaan makanan cukup biasanya orang Towe
makan 3 (tiga) kali sehari atau bahkan lebih, tetapi ketika persediaan makanan
berkurang mereka hanya sekali makan dalam sehari. Jenis makanan pun berubah
dari sagu (persediaan cukup) ke sukun, buah merah (buah pandan) dan pisang
jika persediaan terbatas.
Pengolahan makanan dengan cara batu di bakar hingga panas, kemudian
makanan di letakkan di atas batu panas dan di tindis dengan batu panas lagi
selanjutnya di tutup dengan daun-daunan supaya suhu panas dari batu tidak
keluar.
Cara masak seperti ini biasanya orang Towe lakukan di tepi sungai dekat dengan
kebun mereka dan bahan makanan tersedia. Sukun dan buah merah hanya
dimakan bijinya.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 22
7. Pendidikan
Pendidikan di Towe baru dimulai tahun 1996. Sejak masyarakat mulai tinggal di
Towe. Dari 1992 sampai 1996 kegiatan pendidikan samasekali tidak ada. Hal ini
terjadi karena belum ada tenaga guru dan fasilitas pendidikan seperti gedung
sekolah belum dibuat oleh pemerintah. Baru tahun 1996 gedung sekolah dasar
dibangun dan 2 orang tenaga guru ditempatkan disini. Pendidikan Sekolah Dasar
yang diselenggarakan di Towe masih status Sekolah Kecil karena hanya terdapat
2 ruang kelas dan tingkat pendidikan baru sampai kelas 3. Jumlah murid sampai
Juli 1998 sebanyak 28 murid.
Pengajaran berjalan tersendat-sendat karena Towe terletak di daerah terpencil
dengan sumber daya tenaga pengajar yang terbatas . Sehingga kalau guru pergi
kekota Jayapura maka sekolah di liburkan.
Usia murid-murid sekolah dasar ini, tidak sesuai dengan program pemerintah 7
(tujuh) sampai 12 (dua belas) tahun. Murid-murid SD ini berusia 7 (tujuh)
sampai 22 (duapuluh dua) tahun. Bahkan ada perempuan yang sudah
berkeluarga ikut sekolah.
8 . Kesehatan dan Penyebab Kepunahan
Terdapat sebuah gedung puskesmas pembantu dengan seorang perawat yang
berasal dari daerah ini. Tapi sangat di sayangkan upaya preventif dan kuratif di
Towe terhambat karena petugas pustu ini tidak pernah berada di Towe.
Akibatnya banyak masyarakat yang terserang berbagai penyakit tidak bisa di
obati. Masyarakat Towe menggunakan logikanya sendiri untuk mengatasi
penyakit-penyakit yang mereka alami. Logika yang mereka gunakan dapat di
katagorikan dalam 2 ( dua ) pendekatan yaitu :
1. Pendekatan empiris, yaitu cara-cara pengobatan akibat dari benturanbenturan
atau infeksi pada tubuh manusia seperti luka, scabies, patah
tulang dan bisul atau pembengkakan.
2. Pendekatan Magis, yaitu cara-cara pengobatan akibat gangguan
supranatural ( mahluk halus )sehingga terjadi keseimbangan tubuh
terganggu. Penyakit-penyakit akibat supranatural ini, menurut diagnosa
masyarakat gejala-gejalanya bersifat tidak nampak seperti demam, lemah,
“Sakit Dalam” dan gejala-gejala lain berisifat sama.
Termasuk dalam pendekatan ini, adalah “Tau-tau”. “Tau-tau” adalah suatu
cara mencelakakan atau menyebabkan orang lain sakit dengan
menggunakan kekuatan gaib. Penyakit-penyakit yang mereka katagori
akibat kekuatan supranatural adalah demam, batuk, diare, lemah, mual,
sakit dada, sakit kepala dan semua penyakit yang mereka rasakan sakitnya
dari dalam tubuh.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 23
Tentu saja cara-cara pengobatan yang di lakukan juga berbeda. Cara pengobatan
tipe pertama biasanya menggunakan ramuan dari alam seperti akar, daun, batang
dan buah dari pohon untuk mengobati penyakit. Sedangkan cara pengobatan tipe
kedua selain menggunakan ramuan dari alam juga meminta kekuatan
supranatural untuk menyembuhkan penyakit. Biasanya dalam bentuk doa dan
mantera-mantera.
Pola pengobatan seperti ini tentu saja menyebabkan status kesehatan masyarakat
Towe menjadi rendah (Lihat tabel 3) dan angka kematian karena penyakit juga
cukup tinggi. Hal ini juga sebagai penyebab populasi penduduk Towe
pertumbuhanya sangat lambat dan cenderung ke arah kepunahan ( terutama
beberapa klan, lihat tabel 1)
Bagan 1. Penyebab Kepunahan Suku Towe
9. Pengobatan Tradisional
Sudah di sebutkan diatas bahwa masyarakat Towe mengenal 2 (dua) pendekatan
dalam pengobatan mereka yaitu pendekatan Empiris dan magis. Dalam uraian
sub topik ini akan ditulis cara-caa pengobatannya dan bahan-bahan yang dipakai
sebagai obat.
Terdapat 3 tehnik pengobatan yang di kenal oleh masyarakat Towe yaitu :
1. Tehnik pengobatan minum ramuan obat-obatan yang sudah di ramu di
campur dengan air masak, kemudian air tersebut di minum.
2. Tehnik pengobatan dengan pengurutan, bahan yang dipakai berupa daun
yang dipanasi dengan api kemudian dengan daun tersebut yang masih panas
/ hangat di urutkan pada bagian tubuh yang terasa sakit.
3. Tehnik pengobatan “ UKUP” atau Hidroterapi
Air yang sudah mendidih di masukan ramuan obat berupa daun, kulit,dan
akar pohon, kemudian tubuh sisakit didekatkan pada air mendidih agar uap
Kepunahan
Suku Towe
Kepercayaan
pada Suanggi
Status Kesehatan
Rendah
Pola Pengobatan
yang jelek
Pelayanan
Kesehatan Modern
belum ada
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 24
air mengenai seluruh tubuh sisakit. Biasanya supaya uap air tidak menyebar
kemana-mana badan sisakit dan wadah air yang mendidih itu ditutup
dengan selimut atau tikar.
Jenis tanaman obat yang digunakan adalah :
Somday (daun paku), yegenai, mandoareng, mentremay, cromay, yasvereng,
yangi, mnarekmip, menggiossir, anggor, sagre, kerwat (jahe), dankerpay (daun
gatal). Mengenai fungsi masing-masing tanaman ini untuk pengobatan dapat di
lihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tanaman Obat dan Fungsinya
No Tanaman Obat Ciri dan Cara Pengobatan Fungsi
1 Sonday Tanaman paku-pakuan Mengobati demam dan
sakit kepala
2 Yegenai Pohon bercabang ,buah
berwarna hitam. Buah di haluskan lalu
ditabur
Mengobati luka
3 Mondoareng Pohon merambat. Daun di hancurkan
terus di hirup baunya
Mengobati panas, demam,
batuk,dan kepala pusing
4 Mentremay Pohon merambat. Kukit di hancurkan
lalu di hirup bau seperti balsam
Mengobati demam
5 Coromay Pohon merambat. Daun di hirup,
baunya tajam sampai bisa keluar air
mata
Mengobati pilek dan batuk
6 Yasvereng Pohon bercabang perdu. Daun di
gosok di seluru tubuh, terasa seperti
digigit semut. Membaca manteramantera
Mengobati sakit keras
sampai tidak bisa bangun
atau berjalan
7 Yangi Pohon erdu. Daun di hancurkan, rebus
air panas sampai mendidih, daun di
masukkan dalam air mendidih
kemudian di ukup
Mengobati panas dan
badan sakit
8 Mnarek Mip Pohon bercabang dengan daun
berukkuran besar. Daun di panasi di
atas api, kemudian diurutkan pada
seluruh tubuh bayi
Mengobati pertumbuhan
bayi cepat subur ( gemuk
dan besar )
9 Menggio Sir Pohon menjalar, daun berbau seperti
balsam. Kulit batang di kikis sampai
halus terus di letakkan dalam wadah
berisi air, Dua sampai lima buah. Batu
di bakar sampai berwarna merah. Batu
tersebut di masukkan dalam wadah.
Mengobati demam.
10 Anggor Pohon perdu. Cara pengobatan sama
seperti nomer sembilan, hanya bahan
yang di pakai adalah daun
Mengobati demam
11 Sagre Pohon perdu .Daun dipanasi diatas
api terus di tempel pada bisul
Mengobati bisul
12 Kerwat ( jahe ) Pohon berumbi. Umbi di haluskan dan
cara mengobati seperti pada nomer
Mengobati demam, sakit
kepala, pilek dan sakit
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 25
sembilan. perut.
13 Ker Pay ( daun
gatal )
Pohon perdu. Daun bagian bawah
tumbuh duri-duri sangat halus. Cara
mengobati satu tangakai daun di
tepuk-tepuk pada bagian tubuh yang
sakit atau seluruh tubuh .
Mengobati kelelahan, sakit
tulang, sakit perut, sakit
kepala, demam.
Dikalangan masyarakat Towe mereka mengenal seseorang yang ahli dalam
pengobatan Empiris maupun magis. Orang ini mereka sebut dengan istilah
“TOKOAR” atau dalam bahasa Indonesia dukun.
Dari hasil pengobatan di pustu oleh pekerja sosial dari Bethesda pada bulan Juli
– Agustus, penyakit utama pada masyarakat Towe adalah cacingan sebanyak 49
(empat puluh sembilan) orang , kemudian di ikuti oleh penyakit frambusia 37
(tiga puluh tujuh) orang dan mialgia 20 (dua puluh) orang. Sedangkan proporsi
terendah adalah penyakit diare, asma, dan abses, masing-masing 2 (dua) orang.
Tabel 3 Distribusi penyakit menurut golongan umur
pada bulan Juli – Agustus 1998
No Penyakit 0-11
bln
1-4
Thn
5-14
Thn
15-44
Thn
45-59
Thn
60-69
Thn 70 > Jml
1. Frambosia 0 2 6 21 7 1 - 37
2 Cacingan 5 24 2 18 - - - 49
3 Malaria Klinis 1 1 3 - - - - 5
4 MIalgia - - 2 16 1 1 - 20
5 Spalgia - - 3 8 - - - 11
6 Reumatik - - - 10 2 - - 12
7 Scabies - 2 1 2 1 - - 6
8 Stomatitis - - 1 1 - - - 2
9 Luka dan Borok - 1 3 3 4 - - 11
10 Anemia - 2 2 1 - - - 5
11 Diare - - - 1 1 - - 2
12 Asma - - 1 8 2 - - 11
13 Non Pnemonia 1 2 14 13 - 1 - 31
14 Gastritis - - - 2 1 - - 3
15 Abses - - - 1 - - - 1
16 Ibu Hamil - - - 1 - - - 1
17 Sakit Perut - - - 2 1 - - 3
Jumlah 7 34 38 98 17 3 4 197
Sumber data pengobatan petugas sosial YKB 1998
10. Kesimpulan
Penanganan pada masyarakat Towe segera dilakukan apabila kita tidak mau
melihat kehilangan salah satu suku bangsa di Papua yang menghiasai Pulau ini.
Aspek kesehatan, pendidikan dan kemudahan akses mereka ke berbagai tempat
dipulau Papua ini merupakan tugas pemerintah yang segera ditangani untuk
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 26
merubah pandangan kebudayaannya yang berdampak pada kepunahan
masyarakat Towe.
Daftar Pustaka
Djekky R. Djoht, 2000. Profil Masyarakat Towe Hitam, Jayapura, YKB Papua.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Penerbit
Jambatan.
--------------------. 1994. Papua Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta,
Jambatan.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
YKB Papua. 1998. Laporan Tahunan Program Perbaikan Gizi dan Kesehatan
Melalui Pertanian, Kesehatan dan Makanan Tambahan untuk Ibu dan Anak,
Jayapura, YKB Papua.

Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya

Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya


J. R. Mansoben



Abstrak
The consept of cultural ecology; a theoretical consept introduced by J.
Steward in 1955, is used by the writer as an analytical tool to comprehend
the relationship between human and their ecosystems. The consepts has a
meaning that the relation between those two; man and ecosystem is creative.
But the creativity between human and the environment is different from one
society to another. The different is determined by the cultural consepts on the
ecosystem by each tribes. Some people look at the ecosystem as something
that sacred; the ecosystems have to be respected and can not be bothered.
Other people look at the natural environment as a friend. These kind of views
normally come from traditional people.
The author then argued that we need to look at those people ways of thinking
in taking care of the ecosystems when managing our ecosystems..
1. Pengantar
Setiap mahluk hidup yang mendiami suatu ekosistem tertentu mempunyai
hubungan erat dengan ekosistem tersebut. Hubungan itu berupa interaksi timbal
balik antara sesama mahluk hidup dan antara mereka dengan alam tempat
mereka hidup. Tingkat derajad pengaruh yang terjadi akibat interaksi antar
sesama mahluk hidup maupun antara mahluk hidup dengan lingkungan alamnya
senantiasa berada dalam suatu keseimbangan, meskipun kadang-kadang muncul
salah satu unsur sebagai faktor determinan. Misalnya pada suatu ekosistem
tertentu terdapat hanya jenis-jenis mahluk tertentu saja karena jenis-jenis mahluk
hidup inilah yang dapat beradaptasi untuk dapat hidup dan mempertahankan
kelangsungan hidup spesiesnya di ekosistem tersebut. Dengan kata lain unsur
alam merupakan faktor determinan terhadap jenis-jenis mahluk hidup di
dalamnya.
1) Artikel ini merupakan revisi dari makalah dengan judul yang sama disampaikan dalam Seminar Dampak
Eksploitasi SDA terhadap Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan hidup di Irian Jaya, 15-16 Desember
1999, di Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura-Jayapura dilaksanakan atas kerjasama Universitas
Cenderawasih dan PT. Freeport Indonesia;
2) Staf Dosen Antroplogi FISIP Universitas Cenderawasih dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas
Cenderawasih.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 2
Manusia sebagai salah satu jenis mahluk hidup, juga mempunyai hubungan yang
erat, baik antara dia dengan sesama mahluk hidup lainnya maupun dengan
lingkungan alam di mana ia hidup, bahkan berbeda dengan jenis-jenis mahluk
hidup lainnya ia mempunyai suatu kemampuan yang luar biasa untuk
beradaptasi terhadap lingkungan manapun. Ia mampu untuk beradaptasi di
lingkungan ekosistem yang berbeda-beda (di daerah tropis, sub-tropis, kutub,
daerah berawa, pengunungan tinggi, pulau/pantai).
Bentuk-bentuk hubungan apa yang terjalin antara manusia dengan mahlukmahluk
hidup lainnya dan antara manusia dengan lingkungan alamnya dalam
rangka mempertahankan eksistensinya dan apa yang terwujud sebagai hasil dari
proses interaksi tersebut amat bervariasi dari satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya. Makalah ini membahas hubungan-hubungan apa yang diwujudkan oleh
mahluk manusia untuk berinteraksi dengan ekosistemnya dan dampak-dampak
yang diakibatkan oleh interaksi tersebut.
2. Kerangka Acuan : Manusia dan Ekosistem
Untuk memahami hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya, saya
meminjam gagasan Julian Steward sebagai kerangka acuan yang dapat memandu
kita untuk melihat dan memahami hubungan tersebut. Kerangka Julian Steward
dikenal dengan konsep cultural ekology, atau konsep ekologi kultural. Apa yang
dimaksud oleh Steward (1955:37) dengan ekologi kultural di sini adalah
interaksi antara teknologi dan pola-pola kultural yang ditetapkan untuk
mengeksploitasi lingkungannya. Dalam pemahaman ini interaksi tersebut
bersifat proses kreatif, yang terutama berasal dari mahluk manusia terhadap
lingkungannya (ekosistemnya). Proses kreatif ini sangat penting karena
merupakan faktor determinan penting bagi perubahan kebudayaan.
Sepanjang sejarah umat manusia, kebudayaan-kebudayaan yang dikembangkan
diberbagai ekosistem yang berbeda mengalami perubahan-perubahan meskipun
perubahan-perubahan itu tidak selalu sama antara satu komunitas ekosistem
dengan komunitas ekosistem lainnya. Implikasinya ialah bahwa pada ekosistemekosistem
tertentu terjadi perubahan-perubahan yang sedemikian besarnya
sehingga berbalik mengancam kehidupan manusia itu sendiri, tetapi disamping
itu terdapat pula komunitas-komunitas dengan ekosistem yang mengalami
perubahan kecil sampai yang hampir tidak mengalami perubahan.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa hal demikian bisa terjadi?
Menurut Kluchohn dan Stodbeck (1961), perubahan-perubahan ini dapat terjadi
disebabkan oleh perbedaan nilai orientasi budaya yang dimiliki oleh warga
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 3
komunitas tertentu untuk berinteraksi dengan lingkungan alamnya atau
ekosistemnya. Paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang
diwujudkan oleh manusia.
Pertama adalah masyarakat yang berorientasi bahwa alam merupakan sesuatu
yang potensial yang harus dieksploitasi untuk membahagiakan kehidupan
manusia. Kedua adalah masyarakat dengan nilai orientasi, bahwa alam
merupakan sarana atau media bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya
dan juga sebagai medan yang memungkinkan perubahannya untuk berjuang
hidup melalui karya-karyanya sehingga terdapat suatu hubungan struktural antar
manusia dengan lingkungannya yang tak terpisahkan. Hal ini menyebabkan
manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian
ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk
eksploitasi. Ketiga adalah masyarakat yang mempunyai nilai orientasi budaya
bahwa alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh
diganggu.
Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan
bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Jika kita
amati ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa
pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak
terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini
berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang
disebut pertama.
3. Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Eksploitasi Alam”
Pada umumnya masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang ingin
menguasai dan mengeksploitasi semaksimal mungkin alamnya untuk
kesejahteran dan kebahagiaan penduduknya terdapat pada masyarakatmasyarakat
yang dikategorikan sebagai masyarakat modern. Kecenderungan ini
sebenarnya terjadi tidak lama bila kita menempatkan perkembangan itu dalam
perspektif sejarah kehadiran manusia sebagai mahluk penghuni planet bumi kita
ini. Temuan-temuan arkeologi menunjukkan bahwa mahluk manusia mulai
menjadi penghuni planet bumi kita ini ± 4 juta tahun yang lalu (Leaky, 1976).
Sedangkan upaya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam secara besarbesaran
oleh sebagian masyarakat manusia, terutama di Eropa, terjadi pada abad
ke 19, ketika mulai muncul revolusi indutri. Dalam kurun waktu kurang lebih
duaratus tahun terakhir, dalam perkembangan sejarah manusia, proses
penguasaan dan eksploitasi alam menyebar dan meluas ke berbagai bagian di
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 4
dunia, dan akhirnya sampai ke Tanah Papua kurang lebih dua dasawarsa silam
dan kini sedang berlangsung dan akan berlangsung terus.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya orientasi nilai budaya demikian
disebabkan oleh penyesuaian terhadap tekanan-tekanan ekologis seperti keadaan
iklim, musim, kesuburan tanah, persediaan sumber-sumber daya, dan sumbersumber
pendukung seperti air dan lain-lain. Kecuali penyesuaian terhadap
tekanan ekologis tersebut, faktor-faktor pendorong lain terhadap timbulnya nilai
orientasi demikian sesungguhnya berasal dari sistem sosial itu sendiri, berupa
terciptanya pembagian kerja dalam masyarakat, penggunaan tenaga mesin, serta
temuan-temuan baru dalam bidang kesehatan yang memungkinkan harapan usia
hidup lebih panjang, dan pertambahan jumlah penduduk yang pesat.
Semua faktor penyebab ini akhirnya mengharuskan manusia untuk membuat
pilihan-pilihan seperti pilihan untuk menentukan berapa banyak orang dapat
tinggal di suatu tempat, bagaimana penyebarannya, berapa besar volume barang
yang harus diproduksi untuk memenuhi permintan yang semakin banyak,
singkatnya adalah bagaimana mengolah atau mengeksploitasi alam untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks itu. Pengendalian yang
kurang bijaksana terhadap proses ini pada akhirnya akan menggiring manusia
pada persoalan besar, yaitu bagaimana keberlanjutan hidup mahluk manusia itu
sendiri, jika sumber-sumber daya alam habis tereksploitasi dan lingkungan
tercemar sehingga tidak memungkinkan lagi sebagai tempat keberlangsungan
hidup. Kita sedang berada dalam proses ini dan oleh karena itu kita harus ikut
berperan serta dalam berbagai upaya yang sedang dilaksanakan masyarakat
dunia, misalnya menindaklanjuti dan mengimplementasikan deklarasi
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Lingkungan dan pembangunan sedunia di Rio
de Jeneiro pada tahun 1992 dan penyebarannya dalam Agenda 21-Indonesia,
untuk membuat solusi yang tepat, agar di satu pihak kualitas hidup tetap
ditingkatkan dan terjamin dan pada pihak yang lain sumber-sumber daya yang
tersedia di alam tidak habis terkuras dan tetap terpeliharanya lingkungan alam
sehingga menjadi “rumah layak huni” yang dapat diwariskan bagi keberlanjutan
hidup mahluk manusia di kemudian hari. Uraian singkat di atas memperlihatkan
pandangan masyarakat modern dengan nilai orientasinya serta akibat yang
mungkin akan ditimbulkannya.
4. Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Selaras Dengan Alam”
Uraian selanjutnya akan membahas, juga secara singkat, bagaimana pandangan
masyarakat yang mempunyai nilai orientasi bahwa hubungan manusia dengan
alam harus terjaga baik. Pandangan ini terdapat pada masyarakat-masyarakat
yang dikategorikan sebagai masyarakat sederhana atau masyarakat tribal. Seperti
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 5
yang disinyalir sebelumnya di atas bahwa masalah-masalah ekologis yang
merupakan masalah besar dalam kehidupan masyarakat modern hampir tidak
ditemukan pada masyarakat tribal atau masyarakat tradisional. Mengapa
demikian?
Dalam pandangan kosmis masyarakat tradisional (sebagian besar kelompokkelompok
etnik di Tanah Papua tergolong ke dalam masyarakat ini), manusia
adalah bagian yang integral dengan ekosistemnya. Perwujudan dari pandangan
demikian adalah personifikasi gejala-gejala alam tertentu dengan kelompoknya.
Misalnya orang Amungme yang mempersonifikasikan alam dengan tubuh
seorang manusia, orang Asmat menganggap pohon sebagai penjelmaan jati diri
manusia dan ada kelompok-kelompok etnik tertentu percaya bahwa mereka
adalah keturunan dari burung atau jenis hewan tertentu lainnya.
Pandangan dan keyakinan demikian menyebabkan terbentuknya norma-norma
dan nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai pengendali sosial bagi masyarakat
pendukungnya untuk berinteraksi dengan ekosistem. Norma-norma itu
menetapkan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk dilakukan oleh
masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial maupun dalam
pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada, misalnya larangan-larangan
untuk membunuh jenis-jenis hewan tertentu, menebang sembarangan pohonpohon
di kawasan hutan tertentu, merusak atau mencemarkan lingkungan alam
tertentu atau melakukan perbuatan a-sosial di tempat-tempat tertentu. Perbuatan
membunuh hewan, menebang hutan, merusak dan mencemarkan lingkungan
yang dikeramatkan disamakan dengan membunuh masyarakat setempat.
Menurut kenyakinan masyarakat tradisional bahwa tindakan-tindakan
pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas akan berakibat fatal bagi
keberlangsungan hidup masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial. Bila terjadi
musibah, wabah atau bencana tertentu maka masyarakat percaya bahwa hal itu
disebabkan oleh pelanggaran yang dibuat oleh seseorang atau kelompok warga
tertentu dalam masyarakat. Para pelanggaran ini kemudian akan diberikan sanksi
berupa hukumn fisik atau cemohan dan dikucilkan dari pergaulan
masyarakatnya. Pemberian sanksi sangat efektif karena melalui sanksi orang
takut untuk berbuat pelanggaran.
Disamping norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur tindakan religius
manusia terhadap ekosistemnya seperti uraian di atas, terdapat pula pranatapranata
sosial yang dibuat oleh masyarakat untuk mengatur pemanfaatan
lingkungannya. Mereka melihat ekosistem sebagai sumber penghidupan yang
mengandung nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai ekologi. Nilai sosial dari suatu
ekosistem adalah bahwa setiap warga masyarakat mempunyai hak yang sama
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 6
untuk mencari dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam
ekosistem tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat. Sedangkan nilai ekonominya adalah bahwa ekosistem merupakan
tempat penyimpanan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Lebih lanjut nilai ekologinya
adalah bahwa lingkungan alam merupakan tempat hidup berbagai jenis flora dan
fauna yang perkembangannya tidak sama sehingga harus diatur pemakaiannya
agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk
membuat pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber
daya alam agar lestari pemanfaatannya. Salah satu contoh pranata sosial yang
dibentuk untuk menjaga pemanfaatan sumber daya alam adalah tindakan
melarang penduduk untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut di suatu tempat
tertentu untuk jangka waktu tertentu. Larangan tersebut bermaksud memberikan
kesempatan kepada jenis-jenis biota tertentu atau jenis-jenis pohon tertentu
untuk berkembang tanpa diganggu selama jangka waktu tertentu sehingga dapat
memberikan hasil yang baik dan banyak. Sistem ini dikenal luas oleh
masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua, misalnya di daerah Tabla
(Depapre) sistem ini disebut takayeti, di daerah Biak, Teluk Cenderawasih dan
Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi.
Contoh 1
Konservasi alam secara tradisional menurut kelompok etnik
Matbat di kampung Lilinta, Pulau Misol, Kabupaten
Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua.*
Penduduk kampung Lilinta di Pulau Misol, Kepulauan Raja Ampat
termasuk kelompok etnik Matbat, adalah penduduk asli yang mendiami
pulau Misol, salah satu pulau besar di gugusan Kepulauan Raja Ampat.
Seperti halnya pada penduduk di kampung-kampung lain di pulau Misol
pada khususnya dan penduduk Kepulauan Raja Ampat pada umumnya
dikenal suatu system konservasi alam yang disebut samsom. Samsom
berarti larangan untuk mengambil hasil laut pada kurung waktu tertentu.
Larangan ini dilakukan atas dasar pandangan orang Matbat tentang
hubungan antar manusia dengan sumber-sumber daya alam disekitarnya.
Dalam pandangan orang Matbat, Sumber Daya Alam (SDA) baik yang
habis terpakai maupun yang dapat diperbaharui (renewable), termasuk yang
terdapat di laut, mempunyai batas-batas untuk dimanfaatkan oleh manusia.
* Contoh ini disari dari Skripsi S1, Jurusan Antropologi FISIP UNCEN, 1997 oleh
Novi Senoaji yang berjudul: Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran
terhadap pelaksanaan sasi laut di Desa Lilinta, Kecamatan Misolol, Kabupaten
Sorong. Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca pada karangan tersebut.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 7
Oleh sebab itu di dalam tradisinya diciptakan suatu pranata atau institusi
yang berwujud aturan-aturan tertentu untuk menjaga dan mengelola
pemanfaannya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara lestari.
Pranata yang dibuat untuk mengelolah pemanfaatan sumber daya alam,
khususnya sumber daya laut, disebut samsom. System konservasi
tradisional ini dikenal juga di tempat lain di Tanah Papua dan juga di
Daerah Kepulauan Maluku, dan masing-masing kelopok etnik
menggunakan istilah tertentu untuk menamakannya, misalnya pada orang
Biak disebut sasisen, pada orang Maya di Samate (Salawati) disebut
rajaha, dan pada orang Depapre (Tabla) disebut takayeti. Meskipun
masing-masing kelompok etnik menggunakan istilah yang berbeda tetapi
istilah-istilah yang berbeda itu mengandung makna yang sama dan seca
luas dipakai istilah yang sama untuk system konservasi tradisonal ini yaitu
istilah sasi. Istilah sasi sendiri berasal dari daerah Maluku.
Arti kata samsom dalam bahasa Matbat adalah larangan. Dengan demikian
apabila sesuatu benda atau barang dikenakan samsom atau sasi maka hal itu
berarti bahwa barang atau benda itu dilarang untuk diganggu dalam
pengertian dirusak atau diambil untuk digunakan ataupun dimanfaatkan.
Sedangkan tujuan dari pelaksanaan samsom atau sasi adalah dalam rangka
mengatur penggunaan, penegelolaan dan perlindungan terhadap biota laut
serta pendistribusian yang merata bagi masyarakat sehingga sumber daya
alam ini dapat dinikmati secara berkelanjutan.
Samsom atau sasi yang merupakan system konservasi alam secara
tradisional oleh orang Matbat ini dilaksanakan sekali setiap tahun dan
berlangsung kurang lebih enam sampai tujuh bulan. Biasanya acara sasi
dilaksanakan pada bulan-bulan dimana angin bertiup kencang, yaitu musim
angin barat yang berlangsung antara bulan … sampai bulan….. Ritus sasi
dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang disebut mirinyo yang dalam
struktur kekuasaan pemerintahan adat adalah pembantu raja yang
mempunyai tugas untuk memimpin upacara-upacara kegamaan dan
menyelasaikan masalah-masalah sengketa yang terjadi antar warga dalam
masyarakat.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan acara penanaman tanda larangan yang
disebut “gasamsom” sebanyak tiga buah. Tanda larangan atau gasamsom
itu berupa batang pohon salam yang daunnya dipangkas sedangkan cabang
dan rantingnya dibiarkan utuh pada batang pohonnya. Tanda larangan yang
pertama ditancapkan di depan kampung yang menghadap ke laut dan dua
yang lainnya masing-masing ditancapkan di ujung-ujung kampung, juga
menghadap ke laut.
Ritus penanaman tanda larangan itu diawali dengan pembacaan mantra oleh
pemimpin uapacara tutup sasi, yaitu mirinyo. Mantra yang dibacakan iu
ditujukan kepada para penjaga laut yang dipercayai bahwa merekalah yang
menjaga dan memberi kesuburan kepada biota laut sehingga jumlahnya
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 8
akan berlimpah-limpah. Kata-kata mantra itu diucapkan oleh mirinyo
menjelang fajar pagi bertempat di depan kampung yang menghadap ke laut
dan setelah mantra diucapkan maka tanda larangan pertama, gasamson,
berupa pohon larangan itu ditancapakan kedalam tanah. Pada cabang dan
ranting-ranting pohon yang dijadikan tanda larangan itu digantung sesaji
yang disebut sababete berupa rokok, tembakau, pinang dan carik-carik kain
berwarna merah. Pada saat pohon larangan itu ditanam maka sejak saat itu
larangan untuk mengambil hasil biota laut diberlakukan bagi seluruh warga
masyarakat kampung maupun orang lain yang berkunjung atau bertamu ke
kampung itu. Larangan tersebut berlaku selama masa sasi di daerah
/perairan laut yang merupakan wilayah kekuasaan kampung.
Wilayah perairan yang merupakan teritorium kekuasaan kampung ini
dibagi atas tiga zona. Zona pertama meliputi daerah perairan pantai beserta
pulau-pulau diatasnya yang dekat kampung. Zona dua berupa wilayah
perairan yang letaknya agak jauh dari kampung dan zona ketiga berupa
wilayah perairan yang letaknya paling jauh dari kampung.
Apabila sudah genap waktunya untuk sasi dibuka, biasanya terjadi pada
musim teduh, tidak ada lagi angin dan ombak besar, maka menjelang pagi
saat upacara sasi dibuka, semua warga kampung yang mampu (kuat) baik
laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak yang sudah cukup usia untuk
menyelam dan mengumpul hasil laut, berkumpul di tempat tertentu di
daerah zona satu (daerah yang letaknya tak jauh dari kampung) yang sudah
ditentukan. Upacara pembukaan sasi dilaksanakan pada pagi hari
menjelang matahari terbit, yaitu kira-kira pukul enam pagi, waktu setempat.
Pada saat itu kepala adat , yaitu kepala pemerintahan adat yang disebut raja,
mengucapkan mantra-mantra tertentu yang ditujukan bagi para penjaga dan
penghuni laut serta para leluhur yang telah lama meninggal dunia.
Tujuan dari pembacaan mantra tersebut adalah sebagai tanda ungkapan
terima kasih dan syukur atas perlindungan para penjaga laut dan leluhur
kepada warga masyarakat selama sasi atau larangan itu dilaksanakan dan
atas kesuburan yang diberikan kepada biota laut.. Juga mantra-mantra yang
diucapkan itu bermaksud memohon penyertaan dan perlindungan dari para
penjaga laut dan leluhur kepada warga masyarakat agar mereka tidak kena
musibah atau kecelakaan selama mereka mengumpulkan hasil-hasil laut
yang ada. Setelah mantra-mantra itu diucapkan, maka kepala adat urusan
upacara adat yang bergelar mirinyo meniupkan kulit triton yang
mengeluarkan suara yang keras. Bunyi atau suara ini menandakan bahwa
sasi secara resmi dibuka sehingga setiap warga masyarakat dapat dengan
bebas mengumpulkan berbagai biota laut yang ada di daerah zona satu.
Lamanya pengumpulan hasil laut di daerah zona satu ini berlangsung
selama satu hari . Pada hari berikutnya warga masyarakat pencari hasil laut
di zona pertama ini diperkenangkan untuk mencari dizona kedua yang
letaknya di bagian tengah dari daerah perairan milik kampung. Setelah hari
kedua, maka pada hari ketiga mereka diperbolehkan untuk mencari hasil
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 9
laut pada zona ke tiga daerah perairan milik kampung yang letaknya paling
jauh dari kampung. Setelah itu urutan waktu dan tempat mencari sperti
terurai di atas dilakukan , maka selanjutnya penduduk bebas untuk mencari
kapan saja dan pada zona mana saja mereka kehendaki tanpa ada larangan.
Hal ini mereka lakukan sampai tiba saatnya untuk diberlakukan sasi atau
larangan berikutnya.
Untuk menjamin agar larangan ini dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat
maka diatur mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh seluruh warga
masyarakat kampung. Apabila terdapat warga masyarakat yang melakukan
pelanggran (mengambil hasil biota laut pada saat larangan itu masih
berlangsung), maka warga masyarakat lainnya yang menemukan
sipelanggar itu segera melaporkannya kepada pimpinan adat dan
selanjutnya piminan adat menugaskan bawahannya yang menangani
masala-masalah hukum adat di dalam kampung untuk segera mengambil
tindakan terhadap pelanggar. Pada masa lampau sangksi yang biasanya
dikenakan kepada para pelanggar adalah hukuman fisik berupa dicambuk
atau dipasung. Bentuk-bentuk hukuman ini sekarang tidak dipakai lagi.
Bentuk hukuman yang sekarang dipakai untuk mengganjar para pelanggar
adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat untuk kepentingan
umum, misalnya perbaikan jalan utama dalam kampung dengan
menggunakan bahan yang diadakan sendiri seperti misalnya
mengumpulkan batu karang untuk menimbun jalan, perbaikan balai desa,
perbaikan jeti tempat berlabuh perahu para nelayan atau sarana lainnya
yang bermanfaat untuk kepentingan umum. Selain dikenakan hukuman,
semua hasil biota yang dikumpul oleh sipelanggar disita oleh petugas
pemerintah adat. Barang-barang sitaan ini kemudian dijual dan hasilnya
disimpan dalam kas adat dan selanjutnya digunakan untuk membiayai
upacara-upacara adat. Peneliti Novi Senoaji yang melakukan penelitian
tentang system Konservasi Tradisional pada orang Matabat di kampung
Lilinta, Distrik Misol, Kepulauan Raja Ampat, melaporkan dalam
skripsinya bahwa selama tiga bulan (yaitu dari bulan November 1995
hingga januari 1996) tercatat 16 pelanggaran dan terhadap para pelanggar
itu dikenakan bentuk-bentuk hukuman seperti tersebut di atas. Perlu
ditambahkan disini bahwa bentuk-bentuk hukuman ini bervariasi sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran yang dibuat oleh seseorang.
Kecuali sistem sasi tersebut, pada masyarakat tradisional tertentu seperti
misalnya pada orang Sentani dan orang Nimboran dikembangkan pula pranata
sosial yang khusus mengatur pemanfaatan sumber daya alam. Hal itu terwujud
dalam struktur kepemimpinan masyarakatnya yang melimpah kewenangan
kepada fungsionaris-fungsionaris tertentu di dalam struktur itu untuk mengatur
pemanfaatan sumber daya alam. Uraian dalam kotak pada contoh 2 di bawah ini
menggambarkan hal tersebut.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 10
Contoh 2.
Konservasi alam secara tradisional menurut kelompok etnik
Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua**
Pada kelompok etnik Sentani yang mendiami darah sekitar danau Sentani
yang terletak di sebelah selatan pegunungan Cycloop, Kabupaten
Jayapura, terdapat meknisme pengawasan terhadap pemanfaatan sumber
daya alam yang diatur melalui bagian tertentu dalam organisasi
pemerintahan adatnya. Dalam struktur organisasi pemerintahan adat
terdapat suatu bagian yang memang diadakan untuk kepentingan
pengawasan pemanfaatan sumber daya alam. Bagian dalam struktur
organisasi pemerintahan adat ini disebut phume-ameyo. Phume-ameyo
diartikan sebagai bagian dalam struktur organisasi pemerinahan adat
yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mengurus masalahmasalah
yang menyangkut kemakmuran dan kesejahteraan masyarkat.
Dalam bidang ini terdapat sejumlah fungsionaris atau pejabat yang
mempunyai tanggungjawab untuk mengawasi dan mengatur pemanfaatan
sumber daya alam yang berada di dalam wilayah kekuasaan kampung.
Misalnya untuk mangambil hasil hutan sagu ( meramu sagu) maka ada
pejabat yang berwewenang untuk mengatur pemanfaatannya, pejabat ini
disebut fi-yo; selanjutnya pejabat yang mempunyai tugas untuk mengurus
dan mengawasi penangkapan ikan di perairan danau milik kampung
disebut buyo-kayo. Selain itu petugas khusus yang mengatur dan
mengawasi pemanfaatan hasil hutan disebut aniyo-erayo; sedangankan
petugas yang khusus mengawasi dan mengatur pemanfaatan bintang
buruan disebu yayo. Dengan menempatakan berbagai pejabat dalam
struktur pemerintahan adat seperti tersebut di atas untuk mejaga, dan
mengatur pemanfaatan sumber daya alam di wilayah kekuasaan masingmasing
kampung pada kelompok etnik Sentani, juga pada kelompok
etnik Nimboran dan kelompo etnik Tabla di daerah Jayapura, maka
secara tradisi hubungan antara manusia dengan lingkungan tetap terjaga
dan terpelihara sehingga SDA yang terdapat di dalam lingkungan
alamnya selalu terpelihara dengan baik untuk dapat dimanfaatkan secara
berkesinambungan dari generasi- ke generasi. Hal demikian mulai
terganggu sejak system pemerintahan modern berlaku di daerah ini pada
awal abad ke-20.
** Disarikan dari buku karangan J.R. Mansoben berjudul: Sistem Politik Tradisional
di Irian Jaya, khususnya Bab IV yang membahas Sistem Politik Ondoafi pada
orang Sentani.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 11
5. Penutup
Sebagai simpulan dari penjelasan-penjelasan di atas ialah bahwa kita harus
bercermin pada masyarakat tradisional untuk menata hubungan kita dengan alam
demi keberlanjutan hidup mahluk manusia. Masyarakat tradisional telah berhasil
mewariskan bumi ini dalam keadaan tidak tercemar kepada kita diwaktu
sekarang untuk memanfaatkannya dan menikmati kehidupan di atasnya.
Keberhasilan itu merupakan perwujudan nyata dari ketaatan mereka terhadap
nilai-nilai dan norma-norma serta sikap yang mereka kembangkan dalam
kebudayaannya untuk menjaga dan melestarikan alam.
Seringkali norma-norma dan nilai-nilai itu mereka samarkan dalam
kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut sehingga bagi kebanyakan orang di
zaman modern ini menganggapnya tidak rasional dan bahkan kadangkala
mencemohkannya. Meskipun demikian jangan lupa, bahwa strategi-strategi yang
mereka gunakan untuk menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai dan normanorma
yang berhubungan dengan pengaturan dan penjagaan terhadap
keseimbangan hubungan mahluk manusia dengan ekosistem dalam rangka
menyiapkan secara lestari kebutuhan manusia itu adalah sangat efektif. Berbagai
sumber daya alam yang dinikmati sekarang sesungguhnya merupakan bukti
nyata keberhasilan masyarakat tradisional pada masa lampau untuk menjaga,
melestarikan dan mewariskannya bagi kita di waktu sekarang.
Persoalan bagi kita sekarang adalah mampukah kita untuk dapat berbuat hal
yang sama bagi generasi mendatang? Menurut hemat saya, bahwa kita yang
hidup di zaman sekarang yang lebih rasional dapat menggunakan kemudahankemudahan
teknologi informasi yang merupakan hasil kebudayaan modern
untuk mensosialisasikan dan melaksanakan berbagai kebijakan lingkungan baik
tingkat internasional, regional maupun lokal untuk memanfaatkan dan menata
lingkungan secara lestari demi kepentingan kita di masa sekarang maupun bagi
kepentingan generasi-generasi penerus kita di masa depan. Saya percaya bahwa
kita tidak akan mau kalah dari generasi-generasi pendahulu kita yang disebut
masyarakat tradisional itu. Agar kita dapat berhasil mewariskan bumi kita ini
sebagai tempat yang layak dihuni oleh generasi penerus kita, maka kita harus
komit untuk saling mendukung dan bahu membahu dalam melaksanakan
berbagai upaya pembangunan berkelanjutan secara transparan dan
bertanggungjawab.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 12
Daftar Bacaan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996; Agenda 21 Indonesia. Strategi
Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Pelangi Grafika.
Keesing, R.M. 1993; Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi
kedua. Judul asli: Cultural Anthropology; A Contempory perspective. Alih
Bahasa Drs. Samuel Gunawan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kluchohn, F.R. & F.L. Stodbeck. 1961; Variations in Value Orientation.
Evenstone II: Row Peterson & Coy.
Mansoben, J.R. 1995 ; Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta-Leiden:
LIPI-Rijksuniversiteit Leiden.
Rappaport, R. 1967; Ritual Regulation of Environmental Relations among a
New Guinean People. Ethnology: 6:17-30.
Senoaji Novi. 1997; Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran terhadap
pelaksanaan Sasi laut di Desa Lilinta, Kecamatan Misool, Kabupaten Sorong.
Jurusan Antropologi, FISIP-Uncen, Jayapura (skripsi S1).
Steward, J. 1955; Theory of Culture Change, Urbana, III.: University of Illinois
Press.

PERAN SANGGAR SENI DALAM MENUNJANG KEGIATAN BIMBINGAN EDUKATIF PADA PAMERAN BENDA BUDAYA KOLEKSI MUSEUM - MUSEUM DI PAPUA

PERAN SANGGAR SENI DALAM MENUNJANG KEGIATAN BIMBINGAN EDUKATIF PADA PAMERAN BENDA BUDAYA KOLEKSI MUSEUM - MUSEUM DI PAPUA


Enos H. Rumansara

Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Kurator Musium
Universitas Cenderawasih



Abstract
Art studio is a place where the artists process the art into a show, whereas museum
is an institute with its job to preserve environment and cultural history by
collecting, treat, and exhibit for the purpose of developing art, sciences and
technology in order to increase total comprehend cultural values of a nation.
One of the main job of a museum is do an exhibition.
Exhibition in Museum in Papua normally followed by a description of the material
being exhibit so the education aspect of the museum not maximal. The essay tries to
gives a picture where art studio can plays an important role on supporting the
museum in its education role. Through the activities in the museum of the theatre,
dances, music, paintings and crafting in live, the art studio can help improving the
sense of comprehending of the visitors towards the material being exhibit. These
kind of activities had been done by Mambesak in 1978-1984.
A. Pendahuluan
Museum pada mulanya muncul di Eropa, yaitu merupakan suatu ruang /
tempat khusus untuk menyimpan barang – barang eksotik milik raja. Namun
dalam perkembangan dunia selanjutnya, museum merupakan tempat bukan
yang sekedar memamerkan tetapi berfungsi sebagai tempat mengumpulkan,
melestarikan, merawat, dokumentasi, menyajikan dan mengkomunikasikan
benda-benda alam dan budaya untuk kepentingan pengkajian, pembelajaran
dan rekreasi.
Peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif yang dipamerkan di
museum pada masa modern sekarang merupakan suatu media yang
menginformasikan masa lampau kepada kita, terutama generasi muda
sekarang yang tidak bersamaan hidup dengan generasi tua pada masa
lampau.
Ada beberapa peninggalan yang dikategorikan termasuk museum, yaitu
antra lain: (a) koleksi museum yang dipamerkan pada ruang pameran tetap
pada museum, (b) munumen sejarah dan bagian-bagian dari sejarah seperti
khsana yang terdapat dalam bangunan tempat peribadatan, suaka purbakala
yang secara resmi terbuka untuk umum, (c) kebun raya, kebun binatang,
akuarium, dan taman laut, (d) pusat-pusat ilmu pengetahuan dan
planetarium, (e) suaka alam dan lain-lainnya. Khusus untuk koleksi benda
budaya museum ada sistem dan tata penyajiannya (pameran) yang tepat
untuk museum yang berorientasi kepada kepentingan publik adalah
mengunakan pendekatan kontekstual. Artinya penyajian koleksi museum
yang ditunjang dengan berbagai media, baik media grafis, gambar, sketsa,
dan informasi tertulis, agar koleksi yang dipamerkan dapat dipahami secara
baik. Dengan demikian, maka media yang digunakan untuk membantu
bimbingan edukatif bagi para pengunjung museum agar mereka memahami
budaya materi ( benda-benda budaya) pada pameran museum sangat
diperlukan pada suatu museum.
Bertolak dari hal tersebut di atas, maka tulisan ini memberikan salah
satu media pendekatan yang dapat membantu dalam hal pemahaman dan
penghayatan pengunjung tentang benda-benda budaya yang dipamerkan,
terutama yang berhubungan dengan kesenian dan religi. Pendekatan yang
dimaksud adalah bagaimana mengoptimalkan peran penampilan hidup (
live show) dari masyarakat untuk mendukung pemeran budaya milik
masyarakat dalam bentuk peragaan atau pertunjukan yang disajikan oleh
Kelompok Seni / Sanggar Seni.
Untuk memahami peran Sanggar Seni dalam menunjang kegiatan
bimbingan edukatif pada pameran museum perlu dikemumakan beberapa
hal yang ikut memperjelas pamahaman pameran koleksi museum. Hal-hal
yang perlu dikemukakan antara lain tentang : pemeran benda budaya
koleksi museum, sanggar seni dan kesenian daerah Papua.
B. Pameran Benda Budaya Koleksi Museum
Yang dimaksud dengan pemeran benda budaya koleksi museum adalah
benda budaya koleksi museum yang dipamerkan pada ruang pameran
museum. Sedangkan “koleksi budaya” adalah kumpulan benda-benda
peninggalan sejarah dan budaya sebagai bukti material manusia dan
lingkungannya. Khusus untuk Papua, koleksi museum yang di maksudkan di
dalam penulisan ini adalah koleksi etnografi yaitu benda budaya yang
merupakan hasil karya manusia dan juga benda yang bukan hasil karya
manusia (ada secara alami) namun digunakan dalam kehidupan manusia,
terutama manusia yang berada di Papua. Koleksi benda budaya pada
museum tidak sebarangan di adakan karena ada syarat untuk pengadaannya
yaitu benda budaya tersebut harus mewakili benda budaya milik suatu
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2000
komunitas / suku bangsa tempo dulu dan sudah langkah. Hal demikian
ditekankan karena museum berfungsi sebagai : (a) tempat pengumpulan dan
pelestarian warisan sejarah alam dan budaya; (b) dokumentasi, penelitian,
informasi dan komunikasi seni / ilmu; (c) pengenalan dan penghayatan seni,
ilmu dan teknologi; (d) pengenalan kebudayaan suatu daerah dan antar
bangsa; (e) cermin pertumbuhan alam, peradaban manusia dan sejarahnya;
(f) visualisasi warisan alam dan budaya: (g) tempat rekreasi, dan
pembangkit rasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Koleksi benda etnografi yang merupakan bukti-bukti material budaya
manusia dan lingkunngannya dipamerkan dengan diberikan deskripsi
tentang latar belakang benda. Khusus untuk benda budaya yang digunakan
dalam kegiatan upacara dan kesenian yang dipamerkan walaupun ada
deskripsinya namun lebih dihayati lagi apabila diperagakan walaupun nilai
religius pada situasi sekarang tidak sama atau telah tergeser. Untuk itu,
sanggar Seni mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan
kegiatan bimbingan edukatif pada pameran museum, yaitu menyanyi dan
menari dengan menggunakan perlengkapan tari dan nyanyi seperti
menampilkan busana tradisi dan alat musik tradisi yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat.
C. Sanggar Seni
Sanggar adalah tempat / wadah dimana berkumpul atau bertemu untuk
bertukar pikiran ( pembahasan, pengolahan , dsb.) tentang suatu bidang ilmu
atau bidang kegiatan tertentu. Sedangkan Sanggar Seni adalah tempat atau
wadah dimana seniman-seniman mengolah seni guna suatu pertunjukan.
Selain itu, di dalam sanggar ini pula ada kegiatan-kegiatan yang sangat
penting, yaitu menggali, mengola dan membina seni bagi para seniman.
Setiap sanggar seni ada organisasinya, yaitu mulai dari pimpinan hingga
koordinator bidang pembinaan. Misalnya, koordinator bidang tari, teather,
vokal, musik, seni ukir, lukis dan lain-lainnya.
D. Kesenian Daerah Papua
Kesenian merupakan salah satu dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan1. Unsur
Kesenian sendiri terbagi-bagi lagi ke dalam beberapa unsur ( lihat bagan).
1. 7 (tujuh) unsur kebudayaan yang dimaksud, yaitu : (a) system religi, (b) system
pengetahuan, (c) B a h a s a , (d) Organisasi Sosial, (e) Sistem peralatan hidup dan
Teknologi, (f) Sistem Mata pencahrian hidup, dan (g) Kesenian.
Menurut Hegel, perkembangan seni mengakibatkan tumbuhnya bermacammacam
seni. Menurutnya ada beberapa jenis seni yang dimiliki oleh
masyarakat dengan klasifikasi sebagai berikut :
Bagan Pembagian Jenis – Jenis Seni Menurut Hegel
1. Seni Lukis dan gambar
Seni Rupa 2. Seni Relief
3. Seni Kria / Kerajinan
4. Seni bangunan
5. Seni Patung
SeniTari Seni Drama
1.Seni vokal
Seni Suara 2. Seni Instrumen
3.Seni Sastra
1. Prosa
2. Puisi
Ciri / Karakteristik kesenian asli suatu kelompok masyarakat / suku bangsa
dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana kelompok tersebut bermukim
dan juga dipengaruhi migrasi. Khusus untuk kesenian tradisional Papua,
ciri dan karakteristiknya dibentuk oleh kondisi alam yang ada di Papua.
Kondisi alam papua terbagi kedalam 4 zona ekologis, yaitu :
1. Zona Rawa, Pantai dan Sepanjang Aliran sungai; meliputi: daerah
Asmat, Jagai, Marind-Anim, Mimika dan Waropen.
2. Zona Dataran Tinggi; meliputi: orang Dani, Ngalun dan orang
Ekari/Mee.
3. Zona Kaki Gunung dan Lembah-Lembah Kecil; meliputi : daerah
Sentani, Nimboran, Ayamaru dan orang Muyu.
4. Zona Dataran Rendah dan Pesisir; meliputi : Sorong sampai Nabire,
Biak dan Yapen.
Setiap suku bangsa yang mendiami zona tersebut di atas memiliki unsur
kesenian, namun unsur kesenian dari setiap suku bangsa tersebut tidak sama
( satu suku dengan suku lainnya berbeda) sesuai dengan kondisi alam
dimana suku itu bermukim.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2000
Mengapa seni dipengaruhi alam ? Karena seni adalah peniruan alam
dalam bermacam-macam bentuk yang indah dan menyenangkan. Selain itu,
seni merupakan kreatifitas dari seseorang untuk menciptakan suatu karya yang
akhirnya diakui oleh masyarakat secara keseluruahan. Hal demikian diperkuat
oleh teori Plato, yaitu : seni yang dihasilkan sifatnya naturalistik, artinya
ketepatan bentuk alam sangat diutamakan dalam penciptaan. Sedangkan
menurut teori imitasi batasan seni kurang lebih berbunyi sebagai berikut :
Ø Seni adalah peniruan alam dengan segala segi-seginya.
Ø Seni adalah suatu kemahiran atau kemampuan meniru alam menjadi
bentuk-bentuk yang indah.
Ø Seni adalah peniruan alam dengan segala segi-seginya menjadi bentuk
yang menyenangkan.
Selain itu, menurut Haviland, seni adalah penggunaan kreatif imajinasi
manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan.
Dalam beberapa kebudayaan suku bangsa, Seni di gunakan untuk keperluan
yang dianggap penting dan praktis. Kesenian disamping menambah
kenikmatan pada hidup sehari-hari , kesenian yang beraneka ragam
mempunyai sejumlah fungsi, yaitu antara lain:
Ø Menentukan prilaku yang teratur ,
Ø Meneruskan adat kebiasaan dan nilai-nilai kebudayaan,
Ø Menambah eratnya ikatan solidaritas masyarakat yang bersangkutan,
Ø Sebagai media komunikasi dan media ekspresi kehidupan yang
dihayati secara kolektif,
Ø Dan lain-lainnya.
Khusus di Papua, kesenian tidak terlepas dari unsur lain. Misalnya setiap
upacara adat, seperti : upacara yang diselenggarakan dalam upacara lingkaran
hidup individu / manusia (life cycle rites), upacara pembukaan lahan baru,
panen, bepergian dan lain-lainnya selalu disertai dengan kegiatan seni ( seni
tari, musik / isntrumen, vokal, sastra dan lainnya). Dalam upacara adat disertai
dengan tarian dan nyanyian-nyanyian adat serta diiringi instrumen
tradisional.
Perlu diketahui pula bahwa kesenian daerah Papua mengalami perubahan
akibat terjadinya kontak budaya dengan budaya lain di luar Papua.
Berdasarkan kontak budaya (akulturasi) kesenian daerah diklasifikasikan
kedalam 3 kategori, yaitu :
· kesenian tradisional/asli1,
· kesenian transisi2,
· kesenian modern3
Kesenian tradisional atau asli Papua pernah diteliti oleh orang-orang asing
dengan pembagian wilayah kesenian sesuai dengan hasil penemuan mereka.
Dalam "Papua Kunst in Het Rijks Museum" kesenian asli Papua dapat
dibedakan mejadi 6 (enam) ragam seni yang terdiri dari:
a. Ragam seni Teluk Yos Sudarso (Humbold baay) dan pantai utara Jaya
pura,
b. Ragam seni daerah Sentani dan Tanah Merah,
c. Teluk Cenderawasih sampai pantai Selatan Sorong,
d. Ragam seni daerah Marind-Anim didaerah Merauke,
e. Ragam Seni di daerah Asmat,
f. Ragam Seni di daerah Mimika dan sekitarnya (Subardi, dkk., 1980 : 8-9).
Dari pembagian tersebut di atas, terlihat bahwa pedalaman Papua tidak
disebutkan masuk ke dalam kelompok mana. Untuk itu, dapat kita tambahkan
bahwa daerah pegunungan Tengah memiliki ragam seni tersendiri.
E. Peran Sanggar Seni Dalam Menunjang Bimbingan Edukatif Pada
Pameran Benda Budaya Koleksi Museum Di Papua
Telah diuraikan pada bagian pendahuluan bahwa kelompok seni
merupakan salah satu dari media yang digunakan dalam bimbingan edukatif,
yaitu sebagai metode atau pendekatan kontekstual yang digunakan dalam
system menyajian koleksi (pameran) di museum, termasuk pameran benda
budaya / etnografi. Pendekatan seperti ini pernah digunakan pada MUSEUM
LOKA BUDAYA UNCEN, yaitu dibentuknya kelompok musik “GRUP
MAMBASAK”. sebagai salah satu pendekatan / cara untuk membantu
2 Kesenian transisi, yaitu bentuk kesenian yang muncul dalam suatu kelompok masyarakat
yang merupakan hasil dari kontak budaya antara kebudayaan asli dengan kebudayaan asing
(akulturasi).
3 Kesenian modern, yaitu kesenian yang bentuk, watak, jiwa dan iramanya sama sekali bebas
dari ikatan, norma-norma dan hukum yang berlaku karena didalam kesenian modern ini sasaran
pokoknya adalam pembaharuan (Kussudiardjo, 1881: 19).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2000
beberapa tugas dan fungsi dari Museum, antara lain : melestarikan,
mendukumentasi dan memberikan informasi yang lebih lengkap dan
menyeluruh kepada para pengunjung / masyarakat sehingga memahami dan
menghayati apa fungsi, manfaat dan kegunaan suatu benda koleksi yang ada di
Museum.
1. Tujuan dan manfaat
Tujuan dari di bentuknya kelompok / Sanggar Seni adalah :
Ø Mengolah seni yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat untuk
kepentingan pertunjukan dengan tidak meninggalkan ciri khas budaya
daerahnya.
Ø Untuk kepentingan studi kesenian secara keseluruhan yang dimiliki
masyarakat tradisi dan kesenian yang berhubungan dengan benda –
budaya koleksi pada museum dengan tahapan pembinaan sebagai
berikut : menggali ( meneliti dan menginfentarisir bentuk dan jenis
kesenian yang ada), memelihara, meletarikan dan membina serta
mengembangkan kesenian daerah.
Ø Untuk kepentingan penyajian koleksi (pameran) terutama dalam bidang
bimbingan edukatif.
Ø Untuk memberikan kesempatan kepada para seniman alam4 ( informal)
dan seniman formal (seniman yang memiliki ijazah dalam bidang seni)
untuk dapat berkretif dengan tidak meninggalkan keaslian dari seni
tradional suku bangsa yang ada.
Ø Untuk menghidupkan kembali kesenian yang sudah atau hampir punah
Ø Dapat menciptakan lapangan kerja bagi para seniman.
Ø Untuk mendukung fungsi museum sebagai tempat rekreasi.
Manfaat dari pembentukan kelompok / sanggar seni adalah sebagai berikut:
Ø Melalui Kelompok / Sanggar Seni para pengunjung mendapat informasi
yang cukup jelas tentang suatu benda – budaya koleksi yang di
pamerkan pada museum.
Ø Melaui atraksi-atraksi seni yang di gelar kelompok / Sanggar seni dapat
memperkenalkan dan menambah informasi tambahan tentang suatu
benda sehingga benda budaya tersebut dapat dikethui, dihayati dan
dinikmati oleh masyarakat pengunjung.
4 Seniman alam; yang dimaksud adalah seniman daerah yang tidak memiliki ijazah formal
dalam bidang seni tetapi secara alami memiliki kemampun dalam mengolah ( menggali,
menciptakan ) seni.
Ø Melalui atraksi-atraksi ( tari, musik, ukir dan lukis) yang digelar dapat
membantu masyarakat dalam meningkatkan pengenalan dan apersiasi
budaya.
Ø Melalui kelompok / Sanggar seni, pembinaan kesenian dapat terorganisir
secara baik sehingga pembinaan dan pengembangannya berakar pada
kebudayaan asli suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa.
Ø Melalui Kelompok / Sanggar Seni, bagian dari kebudayaan yang tidak
dapat di pamerkan, seperti : gerak tari, musik (instrumen dan vokal),
pelaku seni (penari atau pemusik) dan lain-lainnya dapat dilihat melalui
pertunjukan seni yang ditampikan oleh sanggar seni.
2. Sanggar Seni Sebagai Media Informasi
Pementasan dan pagelaran seni yang diselenggarakan oleh kelompok seni
sebagai media informasi merupakan suatu usaha yang menyampaian pesan
yang sangat bermakna. Yang dimaksudkan di sini adalah pementasan seni
tari dan musik yang ditampilkan oleh penari, pemusik dan penyanyi serta
demonstrasi yang dilakukan atau diragakan oleh pengukir dan pelukis yang
ada dapat memberikan informasi yang menyeluruh sehingga menambah
penghayatan terhadap nilai budaya suatu koleksi.
Museum bertugas melestarikan warisan sejarah alam dan budaya,
mendayagunakan dan memanfaatkan bukti-bukti material manusia dan
linkungannya berupa benda, termasuk benda kebudayaan (kebudayaan
materi). Kegiatan pelestarian benda budaya merupakan usaha / kegiatan
yang berhubungan dengan masa lampau untuk kepentingan masa kini dan
masa yang akan datang. Untuk itu, kegiatan (pementasan dan pagelaran
seni) yang dilakukan oleh setiap Kelompok Seni / Sanggar Seni merupakan
suatu usaha dalam rangka melestarikan aspek-aspek dalam kebudayaan
suatu suku bangsa yang tidak dapat diwakili oleh benda koleksi (pameran)
yang ada di Museum. Misalnya :
a. Seni Tari
Alat musik seperti tifa dapat dipamerkan, sedangkan bunyi, cara
menabuh tifa, cara memegang tifa, dan gerak dasar tarinya sama sekali
belum diketahuinya oleh para pengunjung atau masyarakat generasi
sekarang. Bertolak dari hal tersebut maka kegiatan pentas dan pagelaran
Seni dapat menambah informasi-informasi tentang aspek-aspek budaya yang
dapat dilestarikan. Contohnya :
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2000
Ø Bagaimana cara menabuh tifa orang Sentani, orang Asmat, Marindanim,
orang Waropen. Orang Biak dan lain-lainnya?
Ø Bagaimana bentuk , gerak tari dan irama musik pengiringnya?
Ø Bagaiman busana yang cocok untuk sebuah tari ?
Ø Siapa-siapa yang terlibat dalam tariantersebut dan lain-lainnya
b. Seni Musik
Alat musik seperti tifa atau trompet bambu, triton (kulit siput)
dipamerkan namun cara menggunakannya, bunyi, tempo (ritme) belum tentu
diketahui oleh para pengunjung atau masyarakat generasi muda yang
memiliki benda budaya tersebut. Hal ini akan di jawab oleh sanggar seni /
kelompok seni yang dibentuk untuk mendukung dan membina dan
melestarikan kesenian daerah itu sendiri. Misalnya : Tempo (ritme) pukulan
tifa dari setiap suku bangsa yang ada di Papua berbeda satu sama lainnya.
Tempo (ritme) pukulan tifa orang sentani berbeda dengan tempo (ritme)
pukulan tifa dari orang Asmat dan lain-lainya.
Pertunjukan / penampilan atau peragaan dari sanggar seni dapat
memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang seni musik , yaitu mulai
dari alat musik yang dipamerkan, insterumen musik ( bunyi dan tempo /
ritme) dan siapa yang memainkan alat musik tersebut menurut budaya
masing- masing suku.
c. Seni ukir dan lukis
Ukiran dan lukisan yang dipamerkan pada Museum belum bisa
dimengerti proses pembuatan dan siapa membuatnya apabila tidak disertai
dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para pengukir dan pelukis yang
ada. Untuk itu, pembentukan kelompok seni sangat di butuhkan dalam
mengorganisir para seniman ukir dan lukis yang dapat memproduksikan
benda-benda budaya secara terus-menerus dengan tidak menghilangkan ciri
khas budayanya.
F. P E N U T U P
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka usaha pelestarian
kebudayaan Papua, yaitu perlu didirikan lembaga-lembaga yang mempunyai
tanggung jawab dalam hal usaha melestarikan kebudayaan daerah Papua,
khususnya yang berhubungan dengan benda-benda budaya yang merupakan
identitas suku-suku bangsa yang mendiami Tanah Papua. Untuk itu,
diharapkan setiap kabupaten di Propinsi Papua perlu mendirikan Suatu
MUSEUM yang bertugas untuk melestarikan kebudayaan suku-suku bangsa
di kabupaten tersebut yang merupakan warisan sejarah alam dan budayanya.
Kelompok-kelompok seni yang dapat mendukung Museum dalam
hal memberikan informasi secara lengkap terhadap suatu benda koleksi (
bimbingan edukatif) perlu dibentuk dan dibina oleh pihak yang berkompeten
pada setiap kabupaten. Karena melalui kelompok seni pula para seniman
dapat menggali, membina dan mengembangkan kesenian daerah sehingga
kesenian daerah tetap hidup dan dapat dilestarikan.
Pembentukan kelompok seni dapat juga menciptakan lapangan kerja
bagi para seniman. Serta mendukung program Kepariwisataan yang
sementara ini di galakkan di tanah Papua. Karena kesenian daerah
merupakan suatu aset daerah yang perlu ditumbuh kembangkan untuk masa
depan Tanah Papua.
DAFTAR BACAAN
Bastomi, Suwaji. 1992 Wawasan Seni, IKIP Semarang Press.
Flassy, Don dkk. 1980 Aspek dan Prospek seni Budaya Irian Jaya.
Jayapura. Penerbit : Bintang Mas.
Haviland, William. 1988 Antropologi (jilid 2). Penerbit Erlangga.
Kussudiardjo, Bagon 1981 Tentang Tari. Yogyakarta, Penerbit : Nur
Cahaya.
Subardi, dkk. 1980 Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Irian Jaya.
Jayapura. Proyek Inventarisasi dan Dukumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat
Penelitian sejarah dan Budaya depertemen Pendiikan dan Kebudayaan
1979/1980.
Ramandey, Thamo Ph. 1988 Usaha Pembakuan Tari Pergaulan di Irian
Jaya (makalah seminar). Dewan Kesenian Irian Jaya.
Sumandio, Bambang 1997 Bunga Rampai Permuseuman. Direktorat
Jendaral Kebudayaan – Direktorat Permuseuman.

WARIA ASLI PAPUA DAN POTENSI PENULARAN HIV/AIDS DI PAPUA (Kasus Abepura dan Kota Sorong)

WARIA ASLI PAPUA DAN POTENSI PENULARAN HIV/AIDS DI PAPUA (Kasus Abepura dan Kota Sorong)

Djekky R. Djoht

Dosen tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Sekretaris Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih


Abstract
The interaction patterns among the “Waria” such as sexual interaction,
client and the use of condom are contributions an spreading the
HIV/AIDS among them and to public.
Their sexual relationship patterns are not safe and like annal sex, sex
without condom and sex with more than one partner also has sexual
relationship with others.
This patterns have to be stop with programs or saver sex and knowledge
on the spread of HIV/AIDS among “the Waria” and also for their clients
A. PENDAHULUAN
Dalam menulis topik ini data-data yang digunakan adalah menggunakan
data dari Rapid Anthropology Procedure (RAP), wawancara umum, Focus
Group Discussion, Travel Diaries dan Kartu Klien dalam penelitian Project
Sexuality Papua. Penjelasan mengenai metode-metode seperti tersebut
diatas, gambaran umum wilayah, Sampel penelitian dan tehnik analisis
dengan menggunakan program N5 dan SPSS for Windows telah dijelaskan
oleh tulisan Leslie Butt, Ph.D1.
Oleh karena itu dalam tulisan ini hanya akan menyajikan data yang
dikumpulkan dengan metode tersebut diatas. Analisis digunakan dengan
1 Lihat hasil penelitian Leslie Butt: Project Sexualitas Papua Tahun 2001
pendekatan komparatif dan memilih data hanya mengenai aspek-aspek yang
berhungan dengan faktor resiko penularan HIV/AIDS.
Aspek yang dipilih dalam tulisan ini adalah:
Situasi Waria di Papua, Hubungan Seksual, Penggunaan Kondom, Imbalan,
Penghasilan Waria, Klien Waria, Resiko Penularan.
B. SITUASI WARIA DI PAPUA
Estimasi yang dibuat kurang lebih jumlah Waria di Papua sebanyak 300an
orang. Berdasarkan asal suku antara Papua dan pendatang sekitar 70%
berasal dari pendatang dan 30% berasal dari Papua (Sebagai acuan kasus :
Populasi Waria sebanyak 48 orang, 11 orang berasal dari Papua dan 37
orang dari Pendatang).
Dari lokasi penelitian Abe dan , pola tempat tinggal Waria di kebanyakan
memilih tinggal sendiri atau bersama teman Warianya di luar lingkungan
keluarganya dari pada tinggal dengan keluarganya. Hal ini disebabkan
perlakuan keluarga yang kurang baik akibat perilaku kewanitaannya.
Sedangkan di Abe lebih banyak tinggal dengan orang tua atau kerabatnya.
Pola pekerjaan Waria di kebanyakan bekerja di Salon dan di Abe
kebanyakan sebagai Pekerja Seks Jalanan dan Bar. Baik di Abe maupun di
mobilitas Waria sangat tinggi, baik di dalam wilayah tempat tinggalnya
maupun ke luar wilayah tempat tinggalnya. Waria sangat suka dengan
hiburan, hampir setiap malam mereka keluar mencari hiburan ke diskotik,
mangkal ditempat ramai, dan ke pesta-pesta sambil mencari kesempatan
mendapatkan seks.
Penting juga membicarakan perbedaan interaksi Waria “pendatang” dan
Waria “Papua” di Abepura dan karena, dengan mengetahui perbedaan pola
interaksi di kedua tempat ini, program pencegahan HIV/AIDS dapat
disesuaikan dengan situasi tersebut. Misalnya dalam program pencegahan
akan melibatkan Waria pendatang dan Waria Papua, tetapi kalau kita tidak
mengetahui pola interaksi keduanya, maka partisipasi Waria pada program
pencegahan tersebut akan sangat rendah.
Berdasarkan analisis komparatif Waria “pendatang” dan Waria “Papua”
dalam pola interaksi mereka ada perbedaan antara Waria di Abepura dan
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Waria di . Interaksi antara Waria “pendatang” dan Waria “Papua” di
Abepura kurang begitu baik. Waria “Papua” cenderung berinteraksi dengan
sesama Waria “Papua” baik dalam pekerjaan maupun kegiatan sosial seharihari,
demikian juga dengan Waria “Pendatang”. Namun di kota Jayapura
Interaksi Waria papua dan pendatang sudah berbaur dengan baik. Berbeda
dengan Waria di pola interaksi antara Waria “Papua “ dan Waria
“Pendatang” sudah berbaur, baik dalam kegiatan olahraga, pekerjaan
maupun kegiatan sosial sehari-hari.
Kelompok Waria dalam masyarakat merupakan kelompok yang eksklusif
karena mereka memiliki komunitas tersendiri, dengan pola-pola kehidupan
yang agak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Interaksi sosial
dengan masyarakat pada umumnya bersifat negatif, terutama pandangan
masyarakat terhadap mereka. Bentuk interaksi sosial yang negatif dari
masyarakat bisa berupa cemohan, bahan tertawaan dan ejekan, bahkan yang
kasar Waria dipukul dan dilempari terutama dalam berpenampilan sebagai
perempuan, ini terjadi di . Di Abe, hubungan Waria dengan masyarakat
bersifat positif. Sikap ini berawal dari lingkungan keluarga, dan lingkungan
tempat tinggalnya dan menyebar ke masyarakat pada umumnya. Akibatnya
mereka membentuk suatu solidaritas yang merasa senasib. Solidaritas
senasib ini sebagai bentuk mempertahankan eksistensi mereka dalam
berinteraksi sosial dengan lingkungan masyarakat yang mereka hadapi.
Bentuk-bentuk solidaritas itu bisa dilihat dalam aktifitas ekonomi
kebanyakan mereka bekerja di salon sebagai tukang cukur dan panata rias
pengantin, di Abe kebanyakan di Bar dan PSK Jalanan. Dalam akfitas
olahraga melakukannya hanya dalam kelompoknya saja tanpa bergabung
dengan kelompok lain. Dalam aktifitas agama membentuk kelompok ibadah
yang eksklusif dan kegiatan mencari hiburan biasanya juga dalam
kelompoknya. Mereka pergi berombongan (5-10 orang) ke pesta, diskotik
dan tempat-tempat ramai sambil mencari seks. Aktifitas-aktifitas ini
merupakan bentuk-bentuk solidaritas untuk menjaga eksistensi dan bentuk
adaptasi sosial mereka dalam masyarakat.
Walaupun demikian, tidak semua masyarakat memandang negatif pada
mereka sebab kemampuan-kemampuan yang mereka miliki juga diperlukan
oleh masyarakat. Sehingga ada hubungan timbal-balik saling membutuhkan.
Masyarakat membutuhkan pelayanan salon, Bar dan Waria dapat
menyediakan itu. Demikian juga sebaliknya.
C. HUBUNGAN SEKSUAL
Bentuk seks yang dikenal para Waria adalah seks Anus sambil tidur, Seks
Oral, Seks anus sambil jongkok, Cium, dan Onani. Kegiatan seksual Waria
berganti pasangan sangat tinggi. Kebanyakan sebelum hubungan seks
dilakukan pemanasan dengan minuman keras, hirup lem aibon, isap ganja
dan nonton VCD porno. Pasangan seksualnya adalah laki-laki heteroseksual,
Waria tidak pernah hubungan seksual sesama Waria atau dengan gay
(homoseks). Waria lebih tertarik pada laki-laki. Cairan pelicin sering
digunakan pada anus Waria dan penis pasangan sebelum melakukan
hubungan seksual.
Macam-macam cara/bentuk hubungan seksual yang dikenal Waria di Abe
dan adalah hubungan seks anus dan hubungan seks Oral. Kedua bentuk
hubungan seksual ini mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan apalagi
kalau diselingi dengan minuman keras dan narkoba.
Pembicaraan “air mani” disini bukan dalam konteks pornografi, tetapi kita
ingin melihat bagaimana hal ini dapat menularkan HIV/AIDS dari pasangan
seksual ke Waria. Karena kita tahu bahwa virus HIV juga berada atau
tinggal di dalam air Mani. Oleh karena itu berdasarkan analisis “air mani
mengalir kemana?”, ditemukan bahwa selama 14 hari kegiatan Waria di Abe
dan melakukan hubungan seks, air mani mengalir ke dalam anus dan mulut
yang paling banyak dilakukan. Air mani yang mengalir keluar seperti ke
muka, ke badan dan di dalam kondom paling sedikit peristiwanya.
Frekuensi hubungan seks air mani mengalir ke dalam anus merupakan yang
tertinggi di Abepura yaitu 37 kali atau 40,6% dari 91 kali air mani keluar
pada 9 Waria selama 14 hari kegiatan seksualnya dan 36 kali air mani
mengalir melalui mulut atau 39,5%. Di , frekuensi tertinggi air mani
mengalir melalui anus sebanyak 21 kali atau 52,5% dan diluar badan
sebanyak 9 kali atau 22,5% dari 40 kali air mani mengalir untuk 6 Waria
selama 14 hari. Frekuensi paling rendah hubungan seks air mani mengalir
ke wajah dan ke dalam kondom masing-masing Abepura dan 2 kali kewajah
atau masing-masing 2,2%, dan 5% dan 3 kali kedalam kondom atau masingmasing
3,3% dan 7,5%.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Sumber: Hasil Pengolahan data, 2001
Dilihat dari perspektif pencegahan HIV/AIDS, maka bentuk-bentuk seks,
seks berganti pasangan dan frekuensi hubungan seks serta air mani mengalir
kedalam anus, mulut merupakan faktor resiko penularan yang cukup tinggi
karena sering dilakukan dalam keadaan mabuk minuman keras, aibon dan
ganja.
D. PENGGUNAAN KONDOM
Penggunaan kondom dikalangan Waria sangat rendah. Berdasarkan kasus
Abe dan dari 15 Waria yang jadi informan hanya 3 Waria di Abe dan 2
Waria di yang memakai kondom ketika hubungan seks. Itupun frekuensi
penggunaan kondom sangat rendah. Rata-rata setiap Waria memakai
kondom 2-3 kali dari sekian banyak hubungan seks. Umumnya inisiatif
memakai kondom ketika hubungan seks datang dari pasangan seksualnya.
Kalau diestimasi selama setahun (365 hari) terutama untuk penggunaan
kondom, maka dapat dihitung sebagai berikut;
Di Abepura:
Kalau selama 14 hari kegiatan seksual Waria sebanyak 9 orang hanya
menggunakan kondom 3 kali dari 91 kali hubungan seks, maka dalam
setahun ada 2366 kali hubungan seks dan hanya 78 kali menggunakan
kondom dari jumlah hubungan seks tersebut.
Di :
Kalau selama 14 hari kegiatan seksual Waria sebanyak 6 orang hanya
menggunakan kondom 3 kali dari 40 kali hubungan seks, maka dalam
setahun ada 1040 kali hubungan seks dan hanya 78 kali menggunakan
kondom dari jumlah hubungan seks tersebut.
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2001
Dilihat dari perspektif pencegahan HIV/AIDS maka penggunaan kondom
dikalangan Waria sangat rendah, yaitu 3,3% untuk abepura dan 7,5% untuk
kota bisa dengan mudah tertular penyakit ini.
E. IMBALAN
Terdapat dua bentuk imbalan yang diperoleh para Waria ketika hubungan
seks dengan pasangannya, yaitu:
Imbalan “dua pihak” adalah bentuk imbalan yang diperoleh dari pasangan
seksual pada Waria atau sebaliknya, didasari atas suka sama suka. Oleh
karena itu antara Waria dan pasangannya selalu saling memberi imbalan.
Biasanya bentuk imbalan “seks kesempatan” berupa uang, minuman,
makanan nginap di hotel dan Narkoba. Ciri yang paling menonjol dari “seks
kesempatan” adalah kerelaan Waria dan pasangan seksual memberi imbalan.
40,6 39,5
52,5 2,2 5
27,4
3,3 7,5
0
20
40
P 60
e
r
s
e
n
Anus mulut badan kondom
Sorong
Abe
Gambar 1. Distribusi "Air mani" mengalir Kemana?
Sorong
Abe
Gambar 2. Jumlah Hubungan Seks & Penggunaan Kondom Selama
14 hari Kegiatan Seksual Waria di Kota Sorong dan Abepura
40
91
3
3
Hubungan Seks Pakai Kondom
Abepura
Sorong
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Imbalan “satu pihak” adalah bentuk imbalan yang dibayarkan pasangan
seksual berupa uang yang ditetapkan oleh Waria. Selain uang yang sudah
ditetapkan Waria, umumnya pasangan Waria membeli minuman keras dan
minum bersama-sama hingga mabuk. Ciri yang paling menonjol dari “seks
komersil” adalah penentuan besarnya imbalan sudah ditetapkan Waria,
walaupun ada tawar menawar.
Dalam pola kegiatan kedua bentuk imbalan ini berbeda, imbalan “dua
pihak” umumnya mobilitasnya sangat tinggi karena harus jalan keliling ke
rumah teman, pesta, diskotik, bar dan tempat-tempat keramaian seperti
didepan toko, pertandingan olahraga atau acara-acara “hiburan terbuka”.
Pada situasi-situasi seperti itu mereka mencari kesempatan untuk mendapat
seks. Umumnya Waria asli Papua dengan tipe ini memakai pakaian seperti
laki-laki. Sedangkan imbalan “satu pihak”, ciri utama pola kegiatannya
adalah memakai pakaian perempuan yang seksi dan mangkal di tempattempat
tertentu sambil menawarkan seks pada klien yang mereka jumpai.
Pakaian seksi yang dikenakan Waria sebagai daya tarik seksual bagi para
klien yang melihatnya.
Berdasarkan analisis komparatif menunjukan bahwa Waria asli Papua di
kota dan Abepura menunjukan perbedaan yang signifikan. Waria asli Papua
di Abepura umumnya imbalan yang diperoleh berupa “dua pihak” dan
imbalan “satu pihak” hampir sama banyak (38/39). Demikian Juga dikota ,
Waria asli Papua lebih banyak menerima imbalan berupa “satu pihak”
daripada “dua pihak” (7/17).
Matriks 2
Perbedaan Imbalan “Seks Kesempatan” dan Imbalan
“Seks Komersil” di Abepura dan Kota
No Bentuk
Imbalan
Abepura (Jumlah) (Jumlah)
1 “dua pihak”
Ø Minuman
Ø Lainya
Ø 18 kali dpt minum
Ø 20 kali dpt lainnya
Ø 0 kali dpt minum
Ø 7 kali dpt lainnya
2 “satu pihak”
Ø Uang
Ø Minuman
Ø 35 kali dpt uang
Ø 4 kali dpt minum
Ø 15 kali dpt uang
Ø 2 kali dpt minum
Jumlah
Minum
Lainya
Uang
22 kali dpt minum
20 kali dpt lainnya
35 kali dpt uang
2 kali dpt minum
7 kali dpt lainnya
15 kali dpt uang
Sumber: Hasil Pengolahan Trave Diaries, 2001
Waria di kota dalam mendapat imbalan bisa datang dari Waria maupun dari
Klien. Imbalan datang dari Waria apabila Waria yang suka dengan klien
atau menawarkan seks pada klien. Konsekuensinya Waria harus
menanggung biaya hotel, membeli minuman atau bahkan memberi uang
pada klien. Begitu juga sebaliknya, kalau klien yang menawarkan atau
mengajak seks pada Waria maka klien yang menanggung semua biaya yang
diperlukan.
Dilihat dari konteks pencegahan HIV/AIDS maka kedua bentuk imbalan ini
berpeluang menularkan penyakit HIV/AIDS karena hubungan seks
dilakukan dalam keadaan mabuk dan seks berganti pasangan cukup tinggi.
F. PENGHASILAN WARIA
Pendapatan Waria Papua di Abepura dan tidak jauh berbeda. Pendapatan di
peroleh dari kerja di Bar, Salon dan Seks komersil. Rata-rata penghasilan
dalam seminggu untuk imbalan “satu arah” di Abepura berkisar Rp. 100.000
sampai Rp. 150.000 dan di pendapatan Waria lebih banyak dari kerja di
salon daripada seks komersil. Rata-rata dalam semalam dari imbalan “satu
arah” berkisar Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000.
Penghasilan dari kerja seks di Abe dan tidak banyak karena imbalan dalam
seminggu untuk tiap orang rata-rata hanya dua – tiga kali diperoleh. RataAntropologi
Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
rata sekali hubungan seks dengan klien di Abepura antara Rp. 15.000 – Rp.
30.000 dan di , rata-rata dalam sekali hubungan seks dengan klien antara Rp.
30.000 sampai Rp. 60.000.
Matriks 3
Nafkah Waria di dan Abepura selama 14 hari
No Dapat Nafkah
( X/kali)
Tidak dapat nafkah
( X/kali)
Abepura Abepura
1 2 11 12 3
2 5 12 9 2
3 12 13 2 1
4 8 12 6 2
Sumber: Hasil Pengolahan data Travel Diaries, 2001
Dalam kegiatan mencari nafkah Waria di Abe mendapat nafkah lebih sedikit
dari pada tidak dapat nafkah, yaitu 58 banding 68 kali dan di Waria
mendapat nafkan lebih banyak dari tidak mendapat nafkah, yaitu 61 banding
23 kali selama 14 hari kerja. Sebagai contoh untuk kasus Taradipa selama
14 hari kerja mendapat penghasilan sebesar Rp. 415.000. Penghasilan ini
diperoleh dari salon sebanyak 7 kali (Rp. 185.000), pasangan sebannyak 5
kali (Rp. 230.000). Ia mengeluarkan uang lebih banyak dari penghasilanya,
yaitu Rp. 425.000.
G. KLIEN WARIA
Klien Waria, baik di kota maupun Abepura adalah para laki-laki
heteroseksual. Waria Papua di kedua tempat ini tidak mau berhubungan
dengan sesama Waria karena menganggap sesama Waria adalah perempuan.
Kebanyakan klien telah beristri. Selain itu Klien juga berhubungan seksual
melalui vagina dengan perempuan.
Suatu fenomena yang umum terjadi di kalangan Waria adalah Waria
mempunyai pacar seorang laki-laki heteroseksual. Penghasilan yang
diperolehnya, biasanya habis untuk kebutuhan sang pacar. Para Waria rela
berbuat apa saja untuk pacarnya agar Waria tidak ditinggalkan pacarnya.
Umumnya para pacar Waria memanfaatkan situasi ini sehingga semua
keinginan dan kebutuhannya dapat dipenuhi Waria. “ Waria Bl dari Abe
mengatakan bahwa 95% kliennya adalah laki-laki heteroseksual.
Dilihat dari konteks pencegahan HIV/AIDS, penularan dari klien ke Waria
sangat memungkinkan karena klien adalah heteroseksual (lebih banyak
berhubungan seks dengan perempuan) sehingga penularan dari orang lain
pada klien, bisa menularkan pada Waria.
H. RESIKO PENULARAN HIV/AIDS
Dilihat dari perspektif pencegahan HIV/AIDS maka penggunaan kondom
dikalangan Waria sangat rendah, yaitu 3,3% untuk abepura dan 7,5% untuk
kota Sorong, sehingga bisa kita bayangkan penularan HIV/AIDS sangat
mudah terjadi.
Bentuk-bentuk seks seperti anal, oral, seks berganti pasangan dan frekuensi
hubungan seks serta air mani mengalir kedalam anus, mulut merupakan
faktor resiko penularan yang cukup tinggi karena sering dilakukan dalam
keadaan mabuk/teler karena minuman, aibon dan ganja. Oleh karena itu
penularannya bisa terjadi dengan mudah.
Kedua bentuk imbalan seperti imbalan “dua pihak” dan “imbalan satu
pihak”, berpeluang menularkan penyakit HIV/AIDS karena hubungan seks
dilakukan dalam keadaan mabuk (“imbalan dua pihak”) dan seks berganti
pasangan cukup tinggi (“imbalan satu pihak”).
Penularan dari klien ke Waria sangat memungkinkan karena klien adalah
heteroseksual (lebih banyak berhubungan seks dengan perempuan) sehingga
penularan dari orang lain pada klien, bisa menularkan pada Waria.
Dengan demikian, jika disimpulkan resiko penularan HIV/AIDS dikalangan
Waria sangat tinggi karena :
Ø Hubungan seksual berganti pasangan cukup tinggi
Ø Pemanasan sebelum hubungan seksual seperti minuman keras, ganja
dan lem aibon membuat kesadaran melemah dan mudah terjadi luka
sebagai jalan masuk virus HIV
Ø Pasangan seksual adalah heteroseksual sehingga pasangan mudah
tertular dari orang lain dan menularkan pada Waria
Ø Penggunaan kondom sangat rendah
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Ø Bentuk seksual anus dan oral sangat memungkinkan terjadinya
penularan HIV/AIDS karena mudah terjadi luka sebagai jalan
masuk virus HIV.
Ø Air mani mengalir ke dalam anus dan mulut dalam kegiatan seksual
Waria berpeluang menularkan virus HIV karena virus ini juga
tinggal atau berada dalam cairan kelamin.
I. REKOMENDASI PENCEGAHAN HIV/AIDS
Untuk kasus Waria, usulan rekomendasi pertama yang diusulkan adalah
intervensi langsung pada kelompok Waria, yaitu:
melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat berupa
hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk adalah:
· Lomba-lomba Olahraga antara Waria
· Lomba-lomba kesenian seperti lomba mengikuti gaya artis-artis
terkenal, menyanyi, menari, Fasion Show, dan kesenian lainnya
· Rekreasi di pantai sambil mengadakan lomba-lomba yang bersifat
untuk bergembira seperti lompat karung, tarik tambang, dll.
Melakukan analisa untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya
perilaku yang dimaksud. Analisa urutan perilaku tersebut adalah:
Merubah Perilaku seksual yang berpotensi menularkan PMS dan
HIV/AIDS, yaitu:
· Pandangan tentang hubungan seksual yang merupakan mitos perlu
diluruskan
· Tehnik melakukan hubungan seksual yang beresiko terjadinya luka
sehingga memberi peluang jalan masuknya virus HIV dan PMS
perlu dipromosikan yaitu:
o Tehnik Oral/mulut/mengisap penis
o Tehnik anal/dubur (main belakang/jongkok)
o Promosi kesadaran perilaku Kebiasaan minum minuman
keras sebelum hubungan seks pada Waria, hanya merugikan
secara ekonomi, psikologis dan kesehatan.
o Perilaku hubungan seks kelompok, perlu dipromosikan
dengan memberi penyuluhan bahwa itu merupakan perilaku
beresiko tinggi menularkan PMS dan HIV/AIDS.
o Mempromosikan perilaku seksual berganti pasangan dapat
berpeluang menularkan HIV/AIDS sehingga harus dihindari
dengan memakai kondom.
Meningkatkan pengetahuan Waria tentang fungsi dan manfaat Penggunaan
Kondom. Mempromosikan perilaku Waria agar mau menegosiasi klien
menggunakan kondom dalam berhubungan seks dengan terus menerus
memantau dan mengkonseling Waria memakai kondom.
Meningkatkan pengetahuan Waria tentang PMS dan HIV/AIDS, dengan
harapan pengetahuan itu dapat menjadi dasar perilaku seksual yang aman.
Mempromosikan kunjungan ke pelayanan kesehatan untuk mendapat
pengobatan dengan menyediakan pelayanan PMS khusus pada Waria.
Mempromosikan kesadaran pada Waria bahwa perilaku kebiasaan minum
obat Antibiotik hanya membuat resistensi terhadap penyakit Menular
Seksual (PMS)
Untuk usulan rekomendasi kedua, karena permasalahan Waria juga
menyangkut permasalahan diluar Waria seperti akses Waria pada pelacuran,
industri hiburan, mobilitas maka harus ada intervensi di luar jangkauan pada
Waria. Maka usulan yang diberikan adalah:
Segera dibuat perda yang mengatur industri hiburan dan pelacuran dengan
orientasi seks aman agar kontrol terhadap penyebaran PMS dan HIV/AIDS
dikalangan Waria tidak semakin luas.
Melibatkan LSM, donor internasional dan pemerintah untuk menangani
kelompok-kelompok sasaran lain diluar kelompok Waria seperti klien agar
mata rantai penularan PMS dan HIV/AIDS pada Waria bisa dicegah.
Pemerintah melalui industri hiburan seperti di Bar-bar, melalui Salon-salon
melalui LSM dan dinas-dinas terkait seperti Dinas Sosial, BKKBN, Dinas
Kesehatan perlu mendistribusikan kondom pada Waria secara rutin tanpa
membayar (gratis).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
J. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Leslie Butt, Jake Morin & G. Numberi. 2001. Project Sexualitas Papua.
Kerjasama Universitas Cenderawasih, Universitas Victoria Canada dan ASA
Program – USAID Amerika.
Djekky R. Djoht & Marsum. 2002. Seksualitas Suku Moi di Kabupaten .
Kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan PSK UNCEN.
David Wambrauw, dkk. 1999. Seksualitas dikalangan Pekerja Seks Jalanan
di Kota Jayapura. Kerjasama PSK UNCEN dan PATH Jakarta.
Michel Foucault. 1999. Seksualitas dan Kekuasaan. Jakarta. PT Gramedia.