Andi Arief Ditodong Moncong Pistol di Pelipis
Penculikan Andi Arief makin terkuak. Meski tidak disiksa fisik, ia sempat ditodong dengan pistol ketika dibawa kabur penculiknya. Tapi ia tak diancam jika buka mulut.
Andi Arief Ini cerita baru soal penculikan Andi Arief. Ternyata ketika dibawa oleh para penculiknya, Andi bukan hanya diborgol, di kedua pelipis kepalanya "ditempelkan" moncong pistol. Hal itu terbongkar dalam konferensi pers soal orang hilang di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Rabu (29/4).
Konferensi pers yang dipimpin oleh Wakil Ketua YLBHI yang sekaligus Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir SH, juga dihadiri oleh ayah Andi Arief, M Arief Makhya serta tiga kakak perempuannya. Konferensi pers itu dilaksanakan seusai Munir dan keluarga Andi Arief melengkapi laporan mereka kepada Puspom ABRI. Sebelum itu mereka mengunjungi Andi di Mapolda Metro Jaya.
Makhya bercerita, dalam pertemuan yang kedua itu -- sebelumnya ia telah bertemu Andi Sabtu 25 April lalu -- ia mendapat kesan bahwa perlakuan terhadap Andi kurang menyenangkan. Sejak tanggal 28 Maret sampai 7 April 1998, mata Andi ditutup, tangan dan kakinya diborgol ganda, borgolnya dua. Bahkan salah satu borgol diikatkan ke kaki meja. Sehingga Andi tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa, tidak bisa makan, mandi dan tidak bisa shalat (Lihat wawancara Makhya: "Dia Sering Ditutup Matanya").
Kemudian, tanggal 7 April hingga 17 April ia dipindahkan dari tempat terdahulu ke tempat lain, yang diindentifikasi semacam lantai bawah, dan menempati bekas tempat Pius Lustrilanang yang sudah keluar. Andi tetap diborgol, tetapi matanya dibuka. Selanjutnya, sejak tanggal 17 April sampai 20 April 1998, ketika berada di Mabes Polri, Andi tetap diborgol dan mata ditutup. "Inilah yang dikatakan langsung Andi," kata Makhya.
Makhya menyimpulkan bahwa memang benar ia berada di Mabes Polri sejak tanggal 17 April. "Jadi jelas bahwa sebelum itu ia diculik oleh orang, yang menurut kami, tidak dikenal," kata Makhya. "Oleh karena itu perlu sekali aparat berwenang mengusut tuntas siapa yang menculik anak saya."
Hilyati, kakak perempuan tertua Andi, membenarkan bahwa Andi dipindahkan dari tempat penculikan ke Mabes Polri pada tanggal 17 April dengan mata ditutup. Ia diberangkatkan sekitar pukul 23.00 WIB dari tempat penculikan. Setelah lebih satu jam perjalanan, kendaraan yang membawanya berhenti dan ia dipindahkan ke kendaraan lain. "Sampai di Mabes Polri jam satu malam," kata Hilyati. Sesampai di Mabes Polri matanya dibuka. Tetapi tetap diborgol tangannya hingga tanggal 20 April.
Sementara itu selama sepuluh hari periode awal penculikan, 28 Maret sampai 7 April, tambah Hilyati, Andi tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak bisa buang air, tidak bisa shalat. Sementara untuk makan Andi disuapi. Untuk buang air kecil, disediakan kaleng.
Di samping itu di tempat penyekapan, Andi juga sempat diteror mental. Di bagian tubuhnya sering ditempelkan sejumlah pistol. Diperkirakan ada delapan pistol yang ditempelkan ke tubuh Andi. Penculik sempat juga berkata kepada Andi, "Ajal kamu di tangan Tuhan. Tapi bisa, ajal kamu di tangan saya," kata Hilyati, pemilik ruko di Lampung tempat Andi diculik. Dan di dalam ruang penculikan itu, ia disuguhi siaran radio Kiss FM secara penuh. "Hanya tiga jam radio itu istirahat," tambah Hilyati.
Hilyati juga menambahkan, sesuai keterangan dari Andi Arief, bahwa selama di tahanan ia juga melihat tahanan lain, Haryanto Taslam, Rahardjo Waluyojati, dan Faisol Riza dalam keadaan tak menyenangkan. Tapi Hilyati tidak menggambarkan secara jelas bagaimana bentuk penyiksaan terhadap ketiga orang itu.
Ketika ditanya tentang lokasi, Hilyati menjelaskan bahwa sejak dibawa, mata Andi ditutup lalu dibuka (di Bakeuhuni), kemudian ditutup lagi sesampai di Kebon Jeruk, Jakarta, dibuka kembali. Kemudian matanya ditutup kembali, perjalanan ke tempat penyekapan memakan waktu lebih kurang satu jam. Hilyati juga menjelaskan, meski sebelumnya matanya tidak ditutup, Andi tidak bisa melihat kanan kiri karena kedua pelipisnya ditodongkan pistol.
Beda dengan korban penculikan lainnya yang sudah kembali, ketika Andi Arief diserahkan kepada Mabes Polri, ia tidak mendapat pesan khusus, misalnya tidak boleh berbicara kepada pers. "Jadi boleh dikata agak beda dengan yang lain. Kalau yang lain yang dibebaskan itu memang rata-rata mendapat pesan. Andi Arief nggak ada," kata Munir SH.
Dalam kesempatan itu Munir juga mengoreksi jumlah orang hilang yang sebelumnya sempat diberitakan tinggal empat orang. Tiga orang terakhir dibebaskan yakni Rahardjo Waluyojati, Faisol Reza, dan Herman Hendrawan. "Sampai siang jam sepuluh ternyata Herman Hendrawan yang dikabarkan sudah lepas, tidak pernah sampai di rumah. Artinya besar kemungkinan Herman Hendrawan tetap ditahan bersama proses penculikan itu. Sehingga dengan kedaaan demikian, jumlah orang yang sampai hari ini masih belum jelas keberadaannya tetap enam orang," kata Munir.
Munir juga menjelaskan bahwa pihaknya bersama keluarga orang hilang itu telah melengkapi laporannya ke Puspom ABRI. Pihak Puspom ABRI, menurut Munir, menyatakan serius menanganinya, dengan melakukan penyelidikan.
MIS
Showing posts with label Kesaksian Penculikan 1998. Show all posts
Showing posts with label Kesaksian Penculikan 1998. Show all posts
Saturday, 19 February 2011
TESTIMONY OF ANDI ARIEF
LIBERATION INFO
TESTIMONY OF ANDI ARIEF
(Chairperson of Indonesia Students' Solidarity for Democracy --SMID)
I am Andi Arief, the Chairperson of Indonesian Students' Solidarity for Democracy (SMID). I am one of the victims of abduction conducted by the security forces. Until now I do not know which unit perpetrated my abduction.
I was abducted from my sister's store in Lampung on March 28, 1998. I was forced and dragged to follow the kidnappers. I saw there were three Kijang vans outside the store and I was thrown into one of the vans. I was immediately handcuffed and blindfolded with a black cloth. The kidnappers inside the car were wearing ski masks. My head was pushed down and I was stuck in this cowering position for two hours.
Suddenly the car stopped and my blindfold was released but my hands remained handcuffed. I knew that the place was Bakauheni port, the crossing place between Sumatra and Java. At that point I could clearly see my kidnappers. Two of them had long hair. The commander who sat in front told his subordinates to change the license plate and then the car went onto the ferry. I was not blindfolded for about 24 hours.
The ferry arrived in Merak Port, West Java. During the trip to Jakarta I was free to see everything. But once we reached Kebun Jeruk area, West Jakarta, I was blindfolded again. From Bakauheni to Merak I managed to acquire information that the kidnappers once were on duty in East Timor and that the commander just came back from England. Three of these five soldiers were holding firearms. They also told me that what happened to me at that time was the risk of my struggle. After that we had a long discussion about various political matters.
Around 6 pm we stopped at certain location. I was taken to a room. I did not see too many people in that room and the people who were in the room laughed when they saw me. They put another handcuff to my hands and then they attached these two handcuffs to a chair with yet another handcuff !
I was interrogated night and day. The questions mostly concerned my organization, SMID, and the party I was affiliated with, People's Democratic Party (PRD). They also asked me about L.B. Moerdani [retired general, ex-commander of the armed forces --ABRI-- and former minister of defense], Megawati Soekarnoputri [deposed Indonesian Democrqatic party --PDI-- leader], Amien Rais [the head of muslim organization Muhammadiyah], a number of figures within Pijar, Aldera, Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) and Alliance of Independent Journalist (AJI). They also mentioned several other names and told me that these people would be arrested soon. I was forced to admit that I knew them while actually I did not know any of them. I told them frankly that I did not know them. I was kept at the interrogation room for ten days and then I was brought down to another room. It turned out it was a cell with a size of 2 x 2.5 m. The handcuffs and blindfold were taken off. Inside the cell there was a mattress, a tub, and a toilet. I saw that there were six cells inside the building and each one was monitored by a video camera. A radio was played very loudly everyday from 5 AM to 2 AM the next day. So there were only three hours free of radio broadcast everyday. It was during this quiet time I could hear the voice of somebody praying in the cell to my right and somebody moaning out of pain in the cell to my left.
At first I did not dare to talk to any of them because we were being monitored by a video camera. But, finally I dared myself because I wanted to know who they were. I was very surprised because on the right was Waluyo Jati and Faisal Reza. Both of them were my friends at University of Gajah Mada, Yogyakarta, and SMID activists in Yogyakarta. On my left side turned out to be Haryanto Taslam [Megawati's aide]. Once I entered the cell there were toothpaste, toothbrush and a plastic bottle for drinking water. According to Faisal Reza the cell used to be occupied by Pius, and the cell to the right of Faisal Reza's cell used to be occupied by Desmond. So, both Pius and Desmond were released once I was brought to the cell.
Faisal Reza and Waluyo Jati were arrested in front of Cipto Mangunkusumo
Hospital, Central Jakarta, while Haryanto Taslam was abducted at the Miniature Garden, East Jakarta after his car was hit. Haryanto Taslam often moaned from pain and snored when he slept, maybe that was because he was a bit overweight. Waluyo Jati and Faisal Reza's bodies were ruined because they were given electric shock hundreds of times, even their genitals were given electric shocks. Actually, the interrogators also applied electric shocks to my genitals but I did not expose this fact [immediately after my release] because I did not want to hurt my parents' feelings. My parents were already horrified at the brutality just listening to my story about being blindfolded, interrogated night and day and threatened at gunpoint.
I was convinced that those who kidnapped me were part of the military because I was kept in a very spacious area. Every morning I heard the sound of trumpet for roll call. On April 15 I saw that Haryanto Taslam was brought out of the cell. There were only three of us left there. The next day, April 16, I was brought out at 11 PM. I was again blindfolded and handcuffed. I was taken by five people in an air-conditioned car. Suddenly the car stopped on the side of a toll road. I was then transferred to another car which ran on diesel gas.
It turned out that I was taken to the Central Police Headquarters. There was a transfer from the kidnappers and the police. I was taken to an isolated cell. Inside this isolated cell there were only two detainees, myself and Melisa, a defendant in a heroin case. I was handcuffed for three days and nobody was allowed to get in touch with me.
On April 17 I was brought to meet Lieut. Col. Lubis and asked to sign a warrant for my arrest and detention. I signed the warrant consciously because I wanted to communicate with the outside world immediately to expose what I and other activists had experienced.
On April 23 I finally met with my family.
After being detained at the Police Headquarters for six days, I was transferred to the Jakarta Police Station. Again, I experienced inhumane treatment. My rights were denied. For example, I and the other PRD activists who were arrested before me were isolated from each other. Other detainees were able to be in one cell together but we were separated from each other. We were not allowed to join calisthenics. However, I did not make a fuss over such discrimination because amid this stream of mental and physical torture I heard that the development of the movement outside was promising. People were already joining the struggle.
I do hope that there will be a thorough investigation on this kidnapping case so that we know who conducted it and who is responsible for it. I hope that the investigation on this kidnapping case will reveal the mystery of the disappearances in other cases, such as Tanjung Priok, Santa Cruz, Lampung and July 27, 1996. I saw that ABRI began to feel cornered because people knew that it was behind this kidnapping. Judging from the way the working mechanism and the weapons they used, it is impossible that thiskidnapping was conducted by ordinary people.
I hope that this case will not repeat itself. I do not want the activists to stop fighting because of this kidnapping. There are two ways to avoid kidnapping. First, campaign over this case and pressure the regime not to do it anymore. Second, the society, campuses and factories have to establish their own security systems, because this will minimize the military's opportunity to make illegal abductions. A cornered regime will use illegal means to muzzle a movement.
I trust that students, fellow pro-democracy activists and other groups who are still fighting will not be afraid because of what happened to us. I, myself, Pius, Desmond, Waluyo Jati, Faisal Reza and other friends should become an inspiration for the movement to keep moving forward and to be vigilant. Prepare the infrastructure to minimize the chances of illegal arrests!
Long Live Democracy !
Greater Jakarta Police Station
//signed//
Andi Arief Chairperson of SMID
END
sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY OF INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 26 May 1998 10:51:01 +0200 (MET DST)
TESTIMONY OF ANDI ARIEF
(Chairperson of Indonesia Students' Solidarity for Democracy --SMID)
I am Andi Arief, the Chairperson of Indonesian Students' Solidarity for Democracy (SMID). I am one of the victims of abduction conducted by the security forces. Until now I do not know which unit perpetrated my abduction.
I was abducted from my sister's store in Lampung on March 28, 1998. I was forced and dragged to follow the kidnappers. I saw there were three Kijang vans outside the store and I was thrown into one of the vans. I was immediately handcuffed and blindfolded with a black cloth. The kidnappers inside the car were wearing ski masks. My head was pushed down and I was stuck in this cowering position for two hours.
Suddenly the car stopped and my blindfold was released but my hands remained handcuffed. I knew that the place was Bakauheni port, the crossing place between Sumatra and Java. At that point I could clearly see my kidnappers. Two of them had long hair. The commander who sat in front told his subordinates to change the license plate and then the car went onto the ferry. I was not blindfolded for about 24 hours.
The ferry arrived in Merak Port, West Java. During the trip to Jakarta I was free to see everything. But once we reached Kebun Jeruk area, West Jakarta, I was blindfolded again. From Bakauheni to Merak I managed to acquire information that the kidnappers once were on duty in East Timor and that the commander just came back from England. Three of these five soldiers were holding firearms. They also told me that what happened to me at that time was the risk of my struggle. After that we had a long discussion about various political matters.
Around 6 pm we stopped at certain location. I was taken to a room. I did not see too many people in that room and the people who were in the room laughed when they saw me. They put another handcuff to my hands and then they attached these two handcuffs to a chair with yet another handcuff !
I was interrogated night and day. The questions mostly concerned my organization, SMID, and the party I was affiliated with, People's Democratic Party (PRD). They also asked me about L.B. Moerdani [retired general, ex-commander of the armed forces --ABRI-- and former minister of defense], Megawati Soekarnoputri [deposed Indonesian Democrqatic party --PDI-- leader], Amien Rais [the head of muslim organization Muhammadiyah], a number of figures within Pijar, Aldera, Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) and Alliance of Independent Journalist (AJI). They also mentioned several other names and told me that these people would be arrested soon. I was forced to admit that I knew them while actually I did not know any of them. I told them frankly that I did not know them. I was kept at the interrogation room for ten days and then I was brought down to another room. It turned out it was a cell with a size of 2 x 2.5 m. The handcuffs and blindfold were taken off. Inside the cell there was a mattress, a tub, and a toilet. I saw that there were six cells inside the building and each one was monitored by a video camera. A radio was played very loudly everyday from 5 AM to 2 AM the next day. So there were only three hours free of radio broadcast everyday. It was during this quiet time I could hear the voice of somebody praying in the cell to my right and somebody moaning out of pain in the cell to my left.
At first I did not dare to talk to any of them because we were being monitored by a video camera. But, finally I dared myself because I wanted to know who they were. I was very surprised because on the right was Waluyo Jati and Faisal Reza. Both of them were my friends at University of Gajah Mada, Yogyakarta, and SMID activists in Yogyakarta. On my left side turned out to be Haryanto Taslam [Megawati's aide]. Once I entered the cell there were toothpaste, toothbrush and a plastic bottle for drinking water. According to Faisal Reza the cell used to be occupied by Pius, and the cell to the right of Faisal Reza's cell used to be occupied by Desmond. So, both Pius and Desmond were released once I was brought to the cell.
Faisal Reza and Waluyo Jati were arrested in front of Cipto Mangunkusumo
Hospital, Central Jakarta, while Haryanto Taslam was abducted at the Miniature Garden, East Jakarta after his car was hit. Haryanto Taslam often moaned from pain and snored when he slept, maybe that was because he was a bit overweight. Waluyo Jati and Faisal Reza's bodies were ruined because they were given electric shock hundreds of times, even their genitals were given electric shocks. Actually, the interrogators also applied electric shocks to my genitals but I did not expose this fact [immediately after my release] because I did not want to hurt my parents' feelings. My parents were already horrified at the brutality just listening to my story about being blindfolded, interrogated night and day and threatened at gunpoint.
I was convinced that those who kidnapped me were part of the military because I was kept in a very spacious area. Every morning I heard the sound of trumpet for roll call. On April 15 I saw that Haryanto Taslam was brought out of the cell. There were only three of us left there. The next day, April 16, I was brought out at 11 PM. I was again blindfolded and handcuffed. I was taken by five people in an air-conditioned car. Suddenly the car stopped on the side of a toll road. I was then transferred to another car which ran on diesel gas.
It turned out that I was taken to the Central Police Headquarters. There was a transfer from the kidnappers and the police. I was taken to an isolated cell. Inside this isolated cell there were only two detainees, myself and Melisa, a defendant in a heroin case. I was handcuffed for three days and nobody was allowed to get in touch with me.
On April 17 I was brought to meet Lieut. Col. Lubis and asked to sign a warrant for my arrest and detention. I signed the warrant consciously because I wanted to communicate with the outside world immediately to expose what I and other activists had experienced.
On April 23 I finally met with my family.
After being detained at the Police Headquarters for six days, I was transferred to the Jakarta Police Station. Again, I experienced inhumane treatment. My rights were denied. For example, I and the other PRD activists who were arrested before me were isolated from each other. Other detainees were able to be in one cell together but we were separated from each other. We were not allowed to join calisthenics. However, I did not make a fuss over such discrimination because amid this stream of mental and physical torture I heard that the development of the movement outside was promising. People were already joining the struggle.
I do hope that there will be a thorough investigation on this kidnapping case so that we know who conducted it and who is responsible for it. I hope that the investigation on this kidnapping case will reveal the mystery of the disappearances in other cases, such as Tanjung Priok, Santa Cruz, Lampung and July 27, 1996. I saw that ABRI began to feel cornered because people knew that it was behind this kidnapping. Judging from the way the working mechanism and the weapons they used, it is impossible that thiskidnapping was conducted by ordinary people.
I hope that this case will not repeat itself. I do not want the activists to stop fighting because of this kidnapping. There are two ways to avoid kidnapping. First, campaign over this case and pressure the regime not to do it anymore. Second, the society, campuses and factories have to establish their own security systems, because this will minimize the military's opportunity to make illegal abductions. A cornered regime will use illegal means to muzzle a movement.
I trust that students, fellow pro-democracy activists and other groups who are still fighting will not be afraid because of what happened to us. I, myself, Pius, Desmond, Waluyo Jati, Faisal Reza and other friends should become an inspiration for the movement to keep moving forward and to be vigilant. Prepare the infrastructure to minimize the chances of illegal arrests!
Long Live Democracy !
Greater Jakarta Police Station
//signed//
Andi Arief Chairperson of SMID
END
sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY OF INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 26 May 1998 10:51:01 +0200 (MET DST)
Kesaksian Aan Rusdianto
INFO PEMBEBASAN
KESAKSIANKU
Perkenalkan, namaku Aan Rusdianto, umur 24 tahun, laki-laki. Tentang kronologi penculikan dan penahanan sebagian sudah ditulis oleh sohib saya Nezar Patria. Jadi kesaksian saya berikut sebagai pelengkap. Karena aku dan Nezar "diambil" bareng, menyusul Mugiyanto. Mungkin ada beberapa hal yang yang belum ditulis oleh Nezar, yakni soal data-data tambahan identifikasi pelaku penculikan dan pengalaman pribadiku selama 2 hari di tempat X. Pada hari Jumat malam, tanggal 13 Maret 1998 aku dan Nezar dibawa ke sebuah tempat. Sesampainya di tempat setelah diturunkan dari mobil tangan kami yang diborgol jadi satu dipisah. Kemudian aku didudukkan di kursi lipat kedua tangan diborgolke kursi. Langsung kami disambut pertanyaan tentang siapa aku, apa aktifitas selama ini, dan di mana Andi Arif, seiring dengan pukulan tangan, tendangan, dan setruman kesekujur tubuhku bila mulutku menjawab tidak tahu. Yang bisa kujawab: "Aan Rusdianto, selama ini di Semarang, sebagai anggota SMID, saya tidak tahu di mana Andi Arif berada."
Dua hari dua malam itu adalah waktu penuh ketegangan dan siksaan. Dalam benak selalu muncul apa yang selanjutnya akan terjadi. Malam pertama, tiga puluh menit setelah didudukkan di kursi, kami (aku dan Nezar) ditidurkan di tempat tidur lipat Kedua kaki dan tangan diikat dengan borgol dan tali rafiah. Kami dimasukkan ke sebuah ruangan besar semacam aula.
Kembali pertanyaan diulang. Di mana Andi Arif, apa aktifitas politik selama ini, data pribadi dan keluarga. Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memakasaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Nezar, aku, dan Mugiyanto (datang 2 jam setelah aku dan Nezar) tidak kuasa menjawab pertanyaan mereka. Apa aktifitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatanku di PRD. Bahkan kemaluanku sempat disetrum beberapa kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Hari kedua siksaan tidak seberat hari pertama. Ikatan tinggal di satu tangan. Bila mau kencing dan berak minta ijin , kemudian diantar 2 orang. Dalam suasana hening ruangan ber AC itu--setelah masa teriakan dan erangan kami bersaut-sautan--pikiran dan benak hatiku justru berkecamuk hebat : Apa yang kemudian akan aku alami. Apalagi teringat nama Pius dan Desmon yang belum kembali. Bila pagi dan sore terdengar ada sekelompok orang di luar ruangan berlari-lari dalam derap-derap sepatu serentak, diiringi nyanyian-nyanyian lantang dan tegas, kadang bersahut-sahutan. Kadang pula terdengar suara pesawat terbang rendah entah berapa kaki. Sempat pula kami bertiga di jejer dan ruangan dibersihkan dan dirapikan. Aku menduga akan datang seorang petinggi mereka. Aku nggak tahu petinggi itu datang apa nggak. Kemudian kami diskusi dengan mereka tentang Timor-Timur, Aceh, dan situasi politik yang berkembang. Kesan yang kutangkap mereka menguasai soal-Timor-Timur dan Aceh. Soal situasi politik Indonesia kita berdiskusi tentang krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangan krisis ekonomi yang sedang dilakukan pemerintah.
Kemudian, hari Minggu pagi kami dibawa kesebuah tempat dengan dipisah. Jadi ada tiga mobil. Yang sempat kulihat, mobil di depanku yang membawa Nezar/Mugi adalah jenis Kijang warna abu-abu dengan nomor polisi B 1907 YH. Di tempat kedua itu diintrograsi tertulis, mata terbuka, di sebuah ruangan ukuran dua kali tiga meter. Di pintu tertulis Pabung Marinir. Saat Ke WC saya sempat melihat dua orang petugas piket bercelana hijau, berkaos hijau dengan gambar di belakang kaos : kepala Gajahmada. Di tempat ini dan kemudian di Polda Metro Jaya aku tidak ada penyiksaan.
Setelah 3 jam dari tempat tersebut kami dibawa ke Polda dan langsung diintrograsi.
Jakarta, 8 Juni 1998
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:40:44 +0200
KESAKSIANKU
Perkenalkan, namaku Aan Rusdianto, umur 24 tahun, laki-laki. Tentang kronologi penculikan dan penahanan sebagian sudah ditulis oleh sohib saya Nezar Patria. Jadi kesaksian saya berikut sebagai pelengkap. Karena aku dan Nezar "diambil" bareng, menyusul Mugiyanto. Mungkin ada beberapa hal yang yang belum ditulis oleh Nezar, yakni soal data-data tambahan identifikasi pelaku penculikan dan pengalaman pribadiku selama 2 hari di tempat X. Pada hari Jumat malam, tanggal 13 Maret 1998 aku dan Nezar dibawa ke sebuah tempat. Sesampainya di tempat setelah diturunkan dari mobil tangan kami yang diborgol jadi satu dipisah. Kemudian aku didudukkan di kursi lipat kedua tangan diborgolke kursi. Langsung kami disambut pertanyaan tentang siapa aku, apa aktifitas selama ini, dan di mana Andi Arif, seiring dengan pukulan tangan, tendangan, dan setruman kesekujur tubuhku bila mulutku menjawab tidak tahu. Yang bisa kujawab: "Aan Rusdianto, selama ini di Semarang, sebagai anggota SMID, saya tidak tahu di mana Andi Arif berada."
Dua hari dua malam itu adalah waktu penuh ketegangan dan siksaan. Dalam benak selalu muncul apa yang selanjutnya akan terjadi. Malam pertama, tiga puluh menit setelah didudukkan di kursi, kami (aku dan Nezar) ditidurkan di tempat tidur lipat Kedua kaki dan tangan diikat dengan borgol dan tali rafiah. Kami dimasukkan ke sebuah ruangan besar semacam aula.
Kembali pertanyaan diulang. Di mana Andi Arif, apa aktifitas politik selama ini, data pribadi dan keluarga. Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memakasaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Nezar, aku, dan Mugiyanto (datang 2 jam setelah aku dan Nezar) tidak kuasa menjawab pertanyaan mereka. Apa aktifitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatanku di PRD. Bahkan kemaluanku sempat disetrum beberapa kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Hari kedua siksaan tidak seberat hari pertama. Ikatan tinggal di satu tangan. Bila mau kencing dan berak minta ijin , kemudian diantar 2 orang. Dalam suasana hening ruangan ber AC itu--setelah masa teriakan dan erangan kami bersaut-sautan--pikiran dan benak hatiku justru berkecamuk hebat : Apa yang kemudian akan aku alami. Apalagi teringat nama Pius dan Desmon yang belum kembali. Bila pagi dan sore terdengar ada sekelompok orang di luar ruangan berlari-lari dalam derap-derap sepatu serentak, diiringi nyanyian-nyanyian lantang dan tegas, kadang bersahut-sahutan. Kadang pula terdengar suara pesawat terbang rendah entah berapa kaki. Sempat pula kami bertiga di jejer dan ruangan dibersihkan dan dirapikan. Aku menduga akan datang seorang petinggi mereka. Aku nggak tahu petinggi itu datang apa nggak. Kemudian kami diskusi dengan mereka tentang Timor-Timur, Aceh, dan situasi politik yang berkembang. Kesan yang kutangkap mereka menguasai soal-Timor-Timur dan Aceh. Soal situasi politik Indonesia kita berdiskusi tentang krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangan krisis ekonomi yang sedang dilakukan pemerintah.
Kemudian, hari Minggu pagi kami dibawa kesebuah tempat dengan dipisah. Jadi ada tiga mobil. Yang sempat kulihat, mobil di depanku yang membawa Nezar/Mugi adalah jenis Kijang warna abu-abu dengan nomor polisi B 1907 YH. Di tempat kedua itu diintrograsi tertulis, mata terbuka, di sebuah ruangan ukuran dua kali tiga meter. Di pintu tertulis Pabung Marinir. Saat Ke WC saya sempat melihat dua orang petugas piket bercelana hijau, berkaos hijau dengan gambar di belakang kaos : kepala Gajahmada. Di tempat ini dan kemudian di Polda Metro Jaya aku tidak ada penyiksaan.
Setelah 3 jam dari tempat tersebut kami dibawa ke Polda dan langsung diintrograsi.
Jakarta, 8 Juni 1998
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:40:44 +0200
KESAKSIAN NEZAR PATRIA
INFO PEMBEBASAN
KESAKSIAN NEZAR PATRIA
0 . Pengantar Saya Nezar Patria. Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996. Keterlibatan saya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.
Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.
1 . Tamu tak dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun Klender. Kami adalah penghuni baru disana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai "dalang" peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila--justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.
Pada 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel). Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.
Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa. Jawabannya adalah sebuah bentakan "Jangan banyak tanya, mari ikut kami!". Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga saya. Saya mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa naik ke dalamnya.
Di dalam mobil, mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan. Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya, seseorang menyela "Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!". Tak ada percakapan lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Saya berdoa dan berdzikir, Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio. Terdengar tanda panggil "Merpati, Merpati!" Namun saya tak mendengar balasannya. Kelihatannya mereka telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan.
2 . Suara sepatu lars yang berderap-derap
Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi. Saya merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang diseberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras "Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi Arief. Katakan segera dimana dia sekarang!". Saya menjawab, tidak tahu persis dimna Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu mereka segera menghajar saya. "Bangsat, pembohong!" kata salah seorang. Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak "Allahu akbar!" sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisinya saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.
Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati . Namun PRD atau SMID tak pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.
Samar-samar saya mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.
Kemudian kami bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup. Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman aktivitas politik saya. Sepanjang malam itu sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil. Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.
Saya berpikir dan coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak penrnah menyapa sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke dalam ruangan X itu. Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar kata-katanya.
Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.
Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur. Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-timur telah menjadi bumerang yang merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia maupun juga rakyat Timor-timur. Referendum adalah jalan yang adil dan demokratis bagi Timor-timur untuk menentukan sikap. Terjadi "diskusi" disini antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di Timor-timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami selama "diskusi " tersebut.
Saya minta izin untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara sepatu lars yang sedang berdarap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka teriakkan.
Setelah makan pagi , kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas, dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras "Allahu akbar" ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.
Besoknya, (tanggal 15/3) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin. Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata. Dinding warna krem. Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka. Saya kembali ke ruangan semula dimana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka, dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka akan tetap mengawasi kami dimanapun kami berada, dan adalah persoalan yang gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak menyenangkan mereka.
3 . Menuju Polda Metro Jaya
Sekitar tengah hari, lalu kami di bawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5 jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan berjalan memasuki sebuah gedung. Saya merasa menaiki anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi makan. Ruangan itu cuma 2x2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang di tempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah "Koladaops 05". Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP). Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses verbal tersebut.
Tak lama kemudian, mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang . Mobil itu membawa kami ke suatu tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan diperiksa. Setelah itu menandatangai surat penahanan dengan dugaan bahwa kami melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami ditahan dan diisolasi (1sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan. Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.
Jakarta, 7 Juni 1998
Nezar Patria
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:38:26 +0200
KESAKSIAN NEZAR PATRIA
0 . Pengantar Saya Nezar Patria. Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996. Keterlibatan saya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.
Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.
1 . Tamu tak dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun Klender. Kami adalah penghuni baru disana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai "dalang" peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila--justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.
Pada 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel). Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.
Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa. Jawabannya adalah sebuah bentakan "Jangan banyak tanya, mari ikut kami!". Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga saya. Saya mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa naik ke dalamnya.
Di dalam mobil, mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan. Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya, seseorang menyela "Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!". Tak ada percakapan lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Saya berdoa dan berdzikir, Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio. Terdengar tanda panggil "Merpati, Merpati!" Namun saya tak mendengar balasannya. Kelihatannya mereka telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan.
2 . Suara sepatu lars yang berderap-derap
Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi. Saya merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang diseberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras "Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi Arief. Katakan segera dimana dia sekarang!". Saya menjawab, tidak tahu persis dimna Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu mereka segera menghajar saya. "Bangsat, pembohong!" kata salah seorang. Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak "Allahu akbar!" sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisinya saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.
Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati . Namun PRD atau SMID tak pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.
Samar-samar saya mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.
Kemudian kami bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup. Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman aktivitas politik saya. Sepanjang malam itu sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil. Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.
Saya berpikir dan coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak penrnah menyapa sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke dalam ruangan X itu. Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar kata-katanya.
Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.
Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur. Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-timur telah menjadi bumerang yang merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia maupun juga rakyat Timor-timur. Referendum adalah jalan yang adil dan demokratis bagi Timor-timur untuk menentukan sikap. Terjadi "diskusi" disini antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di Timor-timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami selama "diskusi " tersebut.
Saya minta izin untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara sepatu lars yang sedang berdarap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka teriakkan.
Setelah makan pagi , kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas, dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras "Allahu akbar" ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.
Besoknya, (tanggal 15/3) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin. Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata. Dinding warna krem. Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka. Saya kembali ke ruangan semula dimana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka, dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka akan tetap mengawasi kami dimanapun kami berada, dan adalah persoalan yang gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak menyenangkan mereka.
3 . Menuju Polda Metro Jaya
Sekitar tengah hari, lalu kami di bawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5 jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan berjalan memasuki sebuah gedung. Saya merasa menaiki anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi makan. Ruangan itu cuma 2x2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang di tempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah "Koladaops 05". Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP). Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses verbal tersebut.
Tak lama kemudian, mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang . Mobil itu membawa kami ke suatu tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan diperiksa. Setelah itu menandatangai surat penahanan dengan dugaan bahwa kami melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami ditahan dan diisolasi (1sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan. Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.
Jakarta, 7 Juni 1998
Nezar Patria
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:38:26 +0200
Kesaksian Raharja Waluya Jati
INFO PEMBEBASAN
KESAKSIAN DIANTARA KETAKUTAN DAN KETIDAKPASTIAN
Oleh : Raharja Waluya Jati
" Sebelumnya tidak pernah terbayangkan olehku pengalaman hidup yang telah menguras keberanianku hingga tersisa takut yang berlebihan sampai saat ini."
1 . PENCULIKAN DAN PENGANIAYAAN
Kamis, 12 Maret 1998
Pada kurang lebih pukul 12.00 WIB aku datang ke YLBHI Jl. Diponegoro 74 untuk menyaksikan Konperensi Pers dari kawan-kawan KNPD. Ketika waktu menunjukkan antara pukul 14.00 -14.30, kami (aku dan Faizal Reza) pamit kepada kawan-kawan untuk makan siang di seputar RS.Cipto Mangunkusumo. Ditengah perjalanan, kami merasa diikuti oleh orang-orang yang mencurigakan sehingga niat kami makan kami urungkan, kemudian kami menyeberang menuju Unit Gawat Darurat RSCM sambil berlari kami naik ke lantai II yang ternyata buntu. Ketika aku mau turun, diujung tangga kulihat Faizal Reza telah ditelikung dan dipukul oleh dua orang berbadan tegap dan besar, kemudian aku menyelinap ke WC tetapi tidak berapa lama telah digedor oleh seseorang yang mengancam akan menembakku, begitu aku keluar mereka menyambut dengan pukulan kearah perutku dan menggelandangku turun kebawah sambil terus memukuli. Sampai di pelataran parkir aku masih sempat berteriak keras untuk minta dipanggilkan pengacara, hal ini membuat mereka memukul ulu hati dan membungkam mulutku hingga kacamataku jatuh pecah.
Aku dinaikkan ke sebuah kendaraan Jeep yang sempat kulihat berwarna merah dengan kap putih, kemudian mataku ditutup kain hitam dengan tangan diborgol kebelakang dan didudukkan dibawah. Selama perjalanan mereka katakan bahwa mereka tidak salah tangkap karena telah mengamatiku sejak lama dan mereka akan gunakan aku untuk menunjukkan dimana Andi Arief berada. Kurang lebih setengah jam sampailah aku pada suatu tempat, aku dibawa masuk di sebuah bangunan ( aku merasakan jarak antara mobil berhenti dengan bangunan dimana aku dibawa tidak terlau jauh, hanya beberapa meter ).
2 . INTEROGASI DAN PENYIKSAAN
Hari ke I hingga kira-kira Hari ke IV
Sore itu juga aku dimasukan ke sebuah ruangan yang aku perkirakan cukup luas sebab teriakan-teriakan pertanyaan mereka kudengar menggema di ruangan, sambil memukul mereka bertanya tentang dimana Andi Arief berada, setiap aku jawab aku tidak mengetahuinya maka, pukulan yang datang semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku dibawah ke sebuah ruang yang mereka sebut ruang eksekusi, aku dinaikkan keatas kursi dan leherku dijerat dengan seutas tali, pertanyaan tentang dimana Andi Arief aku jawab sama, karena aku memang tidak tahu persis dimana dia berada, tali yang menjerat leherku ditarik ke atas sehingga aku tercekik hingga aku tidak bisa bernafas sampai beberapa detik, dan leherku terasa sakit selama beberapa hari (susah untuk menelan). Tapi hal tersebut kemudian dihentikan karena aku sempat mendengar omongan mereka agar aku diturunkan dengan alasan terlalu enak bagiku bila terlau cepat mati.
Selanjutnya aku dibawa masuk ke sebuah ruang lain dan didudukkan di sebuah kursi lipat dengan tangan terikat ke belakang, di depanku duduk seseorang yang meng-interogasi-ku. Setiap pertanyaan selalu diikuti dengan penganiayaan dengan memukul baik dengan tangan maupun dengan kursi lipat, bahkan aku sempat terjatuh dari kursi kemudian mulut dan perutku dinjak-injak. Nampaknya mereka sudah tidak memiliki rasa iba sedikitpun bahkan tendangan-tendangan yang mengarah ke tulang kering sering kudapatkan juga di bahu dan punggungku. Sundutan rokok pun mulai mereka lakukan baik dipunggung maupun ditanganku, satu siksaan yang hingga sekarang membuatkan trauma terhadap listrik adalah penyetruman dengan tongkat yang dialiri listrik hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibagian-bagian badanku (ujung jari kaki, kaki sampai pangkal paha, perut, dada, tangan dan leher bagian belakang). Selama itu aku selalu dalam posisi duduk dengan interval istirahat hanya 1 sampai 2 jam untuk makan dan ke WC, secara phisik aku sangat menderita bahkan sampai tidak mampu lagi merasakan rasa sakit dan secara mental aku mengalami penurunan pada titik yang paling bawah. Aku sempat tiga kali dibuka tutup mataku, untuk difoto dan diminta mengenali foto dua orang kawanku, kesempatan yang lain adalah saat menulis biodata yang tidak pernah selesai, karena terlalu capek dan jadi kacau. Namun selama mata terbuka tetap saja aku tidak pernah melihat wajah-wajah mereka karena mereka mengenakan tutup muka dan kepala ala ninja.
Pernah dalam interograsi, salah seorang dari mereka menanyakan sebuah tempat di gang Salon, di kawasan Cilincing. Dimana waktu itu aku datang bersama Herman dan Reza. Aku sudah lupa kejadian dan lokasi tersebut. Tapi kemudian orang itu mengaku bahwa dia yang waktu itu menanyakan pada kami apakah kontraknya masih diteruskan, karena Suyat jarang sekali datang ke rumah itu. Dengan detil dia menyebut kapan kami datang dan jam kami pergi dari tempat itu. Kemudian dia mengaku kenal dengan Suyat dan orang yang mengontrakkan rumah itu. Dia juga mengaku bahwa dialah yang mengambil Suyat di Solo beberapa waktu lalu. Sedangkan rumah tersebut adalah rumah yang dicarikan dan dikontrakkan oleh Munif Laredo, karena dia tidak mau memberikan bantuan dalam bentuk uang.
Hal ini menarik perhatianku, karena sehari sebelum penculikanku sudah muncul dalam analisaku terhadap peristiwa penguntitan tersebut, berhubungan dengan keberadaan Munif (mantan Ketua SMID) selama + 1 minggu secara intensif di YLBHI. Kenapa aku mempunyai analisa seperti itu, karena pada 11 Maret 1998 Munif terlihat sekali menunggui kepulanganku. Dan begitu aku keluar dari kantor YLBHI, Munif juga segera bergegas keluar dari YLBHI dan ketika sampai halte Megaria di Jl. Diponegoro, aku diikuti oleh 2 orang, namun aku berhasil lolos dan masuk kembali ke YLBHI. Aku segera mengaitkan analisaku tersebut dengan pengakuan orang (saat aku masih disekap) yang mengambil Suyat, dan kejanggalan-kejanggalan di tempat yang dikontrakkan oleh Munif.
Hari ke IV hingga Hari ke VI
Aku dipindahkan ke sebuah ruangan yang dilengkapi dengan kasur busa dan kipas angin, aku diperkenankan tiduran dengan tangan satu tetap terikat dikursi dan mata selalu ditutup dengan kain gelap. Kegiatan interogasi mulai agak mengendor dan mereka mulai bersikap agak lunak sesekali memberikan nasehat agar tidak melakukan kegiatan politik lagi.
Pada hari ke V akau dibawa masuk kesebuah ruang mirip ruang ceramah, ruangan tersebut cukup luas dan sangat dingin. Aku di tanya oleh seseorang yang menurutku dari cara bertanya dan bobot pertanyaannya nampaknya merupakan salah seorang pimpinan dari kelompok penculik tersebut.
Selama hari-hari itu (masih di ruang atas) aku sempat mendengar suara yang aku kenal sebagai suara Herman Hendrawan serta sayup kudengar suara satu lagi yang kemungkinan besar adalah suara Nezar Patria.
Setelah itu aku dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaianku dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap diatas balok es selama kurang lebih 10 - 15 menit sambil menanyakan kepadaku bagaimana cara menemukan Andi Arief, dalam situasi yang sangat tertekan aku sempat berpikir sedemikian profesional cara-cara mereka melaksanakan tekanan kepadaku baik secara phisik maupun mental.
Selesai melakukan penyiksaan yang nyaris membuat aku beku mereka masih sempat memukulku beberapa kali, katanya untuk melancarkan peredaran darah. Kemudian dengan mata tertutup aku dibawa kesebuah ruangan yang kurasakan adalah menurun karena melewati beberapa anak tangga. Nampaknya aku mulai dipindahkan kesebuah ruang lain yang senyap namun saat aku dibawa turun ada bunyi dengungan yang cukup keras, belakangan kuketahui suara itu berasal dari radio yang sudah habis waktu siar namun tidak dimatikan dan dihidupkan dengan volume yang amat keras.
Hari ke VII hingga Rabu, 1 April 1998
Kehidupan di ruang bawah tanah.
Setelah pindah di ruang bawah aku mulai merasakan berbeda karena ada suara radio dan suara mereka yang menempati sel lain, lalu kami saling memanggil walau tanpa bisa saling menatap. Saat-saat radio mati, antara pukul 02.00 dinihari sampai 05.00 pagi, merupakan kesempatan kami saling berkomunikasi dan siaran radio juga memberikan gambaran tentang hari, tanggal dan bulan.
Selama di bawah aku sempat dibawa naik ke atas lima (5) kali, materi pertanyaannya seputar Andi Arief dan sekali diantaranya sempat dihadiri banyak orang (aku merasakannya dengan mata tertutup). Seperti biasanya makian, ancaman akan dibunuh dan siksaan berupa pukulan tendangan dan penyetruman masih mereka lakukan.
Pernah ketika dibawa ke bawah selesai ditanya, aku disuruh berendam sampai kepala tenggelam selama beberapa menit,
Materi pertanyaan yang sempat aku ingat pada saat interogasi adalah, aku diminta agar dalam melakukan gerakan jangan merugikan rakyat kecil, lebih baik membakar toko cina saja kata mereka. Bahkan aku sempat ditanya siapa yang ada dibelakang kami, mereka menyebut-nyebut kalau pun LB.Moerdani di belakang kami, mereka tidak akan pernah segan-segan untuk menyikatnya. Juga kami sempat ditanya berapa duit kami dikasih oleh Sofyan Wanandi. Pertanyaan ini mereka lontarkan setelah aku mengalami tekanan mental dan fisik yang berat.
Karena aku merasa tidak pernah tahu dan berhubungan dengan orang-orang yang disebut tadi, maka aku jawab tidak tahu dan kami secara sukarela (bantingan) mendanai kegiatan kami dari kantong sendiri.
Aku di bawah mulai mengenali kawan-kawan, yang paling aku kenal adalah suara Faizol Reza kemudian kami bisa saling mengerti, selain itu ada Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang dan Desmon.
Janji akan dilepaskan.
Pada hari Rabu, 1 April 1998 kecuali Haryanto Taslam, kami mengalami pemrosesan yang katanya ada kaitannya dengan pelepasan kami. Tentang janji pembebasan sudah sering diomongkan kepadaku dan Reza jika Andi Arief telah tertangkap.
Tanggal 2 April pagi hari, Pius dilepaskan selang sehari kemudian Desmon pun dibebaskan.
Selama disekap di bawah, kami mendapatkan perawatan atau kunjungan dari dokter seminggu sekali terutama Haryanto Taslam yang tekanan darahnya naik tinggi.
Pada tanggal 6 April ada penghuni baru di sel bawah dan ternyata Andi Arief, dia bercerita diculik di Lampung dan nampaknya dia mengalami siksaan yang tidak kalah berat.
Pada tanggal 15 April sore Haryanto Taslam dibebaskan. Dan kurang lebih pukul 21.00 hingga 24.00 Andi Arief dibawa keatas, setelah kembali lagi dalam sel dia bercerita kalau mendapatkan siksaan lagi. Tak berapa lama aku mendengar dia mengaji, selama + 1 jam dan kemudian meminta maaf kepada kami bila nanti tidak kuat menahan siksaan.
Tanggal 16 April, Andi Arief dibawa ke atas dan kami tidak pernah mendengar lagi suaranya sampai terakhir aku menghuni sel bawah tanah.
Kamis, 23 April aku dan Reza diproses lagi untuk persiapan pembebasanku dan untukku telah dipersiapkan skenario kalau aku ngumpet dan diminta untuk tidak melaksanakan konferensi pers, aku juga diminta mengaku korban salah culik oleh mafia belakang diskotik Menteng karena dikira musuh mereka ketika tawuran di diskotik. Aku diancam untuk tidak melanggar hal tersebut karena resikonya seluruh keluargaku akan dihabisi. Aku mulai di foto-foto lagi.
Pagi tanggal 24 April aku diambil lagi diminta untuk menghafal skenario dan diminta untuk membuat surat pernyataan secara sukarela tanpa tekanan yang berisi untuk tidak menceritakan kepada siapapun terhadap apapun yang kualami dan rasakan selama dalam sekapan dan tidak akan melakukan kegiatan politik setelah keluar. Jika melanggar maka aku dan seluruh keluargaku akan mengalami resiko terburuk. Surat pernyataan tersebut dicap dengan jempol tangan kananku. Aku ditanya ingin pulang ke Jepara pakai apa, aku menjawab naik kereta ke Semarang kemudian naik Bis ke Jepara.
Malamnya kembali aku dibawa ke atas untuk bertemu dengan pimpinan mereka yang bersuara agak berat, dia bersumpah demi Allah untuk tetap memburuku kemana pun dan kapan pun untuk menghabisiku jika melanggar pernyataan itu. Lalu dia menyalamiku dan mendoakan agar menjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat.
3 . Saat Kebebasan dipenuhi Ancaman.
Pagi, Sabtu 26 April 1998 pukul 06.00 aku dibawa keatas, diperiksa dokter dan diberi vitamin, lalu disuruh pakai sepatu dan ganti celana dalam (sebelumnya aku sempat ditanya berapa ukuran celana dan sepatuku). Kemudia aku dibawa ke sebuah kamar kosong dan di foto puluhan kali.
Sambil menunggu orang yang akan mengantarku ke stasiun Jatinegara, ada seseorang yang mengaku sebagai pimpinan operasi di lapangan, yang mengancamku untuk tidak bercerita kepada siapapun selama berada dalam sekapan, bahkan mereka mengatakan tidak peduli kepada siapapun yang akan memberikan jaminan keamanan.
Mereka berpesan bahwa orang-orang mereka sudah disebar di sekitar stasiun, bahkan di kereta pun mereka sudah siapkan orang-orang mereka, aku diturunkan didekat perempatan pintu kereta Jatinegara kearah Cipinang dan tidak boleh menoleh kebelakang.
4. Hal-hal lain yang masih sempat aku ingat.
a/ Ada suara orang-orang sedang bersenam atau berolahraga sambil bernyanyi-nyanyi secara serempak.
b/ Suara Adzan dengan jelas kudengar terutama saat aku masih di ruangan atas, dan suara itu jadi terdengar sayup bila berada di bawah dan suara radio mati.
c/ Dari kontruksi bangunan yang digunakan untuk menyekapku yaitu ada ruang bawah tanah, maka secara logis harus punya saluran pembuangan air yang dekat dengan tempat yang lebih rendah (lereng/sungai yang cukup curam).
d/ Untuk menuju ruang bawah tanah harus menuruni 7 + 4 anak tangga (ini karena aku yang paling sering dibawa ke atas selama berada di bawah).
e/ Pada saat aku dibawa keluar untuk dilepas aku menghitung melewati polisi tidur 3 (tiga) kali.
f/ Ubin yang di pasang di koridor dan ruangan yang ada di atas didominasi warna merah dan putih.
Kesaksian ini aku lakukan dengan membangun sisa keberanian untuk menegakkan kebenaran dan didorong oleh kasih sayang keluarga besarku dan dorongan kawan-kawan KONTRAS serta Surat Jaminan Keamanan dari PUSPOM ABRI yang ditandatangani oleh Ka PUSPOM ABRI Mayor Jenderal Syamsu.
Sebersit harapan agar kesaksian ini dapat membantu banyak pihak, yaitu kawan senasib sependeritaan yang saat ini belum jelas nasibnya beserta keluarganya, pihak ABRI dan tentunya negara dengan tatanan hukum dan tegaknya demokrasi serta di hormatinya hak-hak asasi manusia.
Jakarta, 5 Juni 1998
Raharja Waluya Jati
Pemberi Kesaksian
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:41:21 +0200
KESAKSIAN DIANTARA KETAKUTAN DAN KETIDAKPASTIAN
Oleh : Raharja Waluya Jati
" Sebelumnya tidak pernah terbayangkan olehku pengalaman hidup yang telah menguras keberanianku hingga tersisa takut yang berlebihan sampai saat ini."
1 . PENCULIKAN DAN PENGANIAYAAN
Kamis, 12 Maret 1998
Pada kurang lebih pukul 12.00 WIB aku datang ke YLBHI Jl. Diponegoro 74 untuk menyaksikan Konperensi Pers dari kawan-kawan KNPD. Ketika waktu menunjukkan antara pukul 14.00 -14.30, kami (aku dan Faizal Reza) pamit kepada kawan-kawan untuk makan siang di seputar RS.Cipto Mangunkusumo. Ditengah perjalanan, kami merasa diikuti oleh orang-orang yang mencurigakan sehingga niat kami makan kami urungkan, kemudian kami menyeberang menuju Unit Gawat Darurat RSCM sambil berlari kami naik ke lantai II yang ternyata buntu. Ketika aku mau turun, diujung tangga kulihat Faizal Reza telah ditelikung dan dipukul oleh dua orang berbadan tegap dan besar, kemudian aku menyelinap ke WC tetapi tidak berapa lama telah digedor oleh seseorang yang mengancam akan menembakku, begitu aku keluar mereka menyambut dengan pukulan kearah perutku dan menggelandangku turun kebawah sambil terus memukuli. Sampai di pelataran parkir aku masih sempat berteriak keras untuk minta dipanggilkan pengacara, hal ini membuat mereka memukul ulu hati dan membungkam mulutku hingga kacamataku jatuh pecah.
Aku dinaikkan ke sebuah kendaraan Jeep yang sempat kulihat berwarna merah dengan kap putih, kemudian mataku ditutup kain hitam dengan tangan diborgol kebelakang dan didudukkan dibawah. Selama perjalanan mereka katakan bahwa mereka tidak salah tangkap karena telah mengamatiku sejak lama dan mereka akan gunakan aku untuk menunjukkan dimana Andi Arief berada. Kurang lebih setengah jam sampailah aku pada suatu tempat, aku dibawa masuk di sebuah bangunan ( aku merasakan jarak antara mobil berhenti dengan bangunan dimana aku dibawa tidak terlau jauh, hanya beberapa meter ).
2 . INTEROGASI DAN PENYIKSAAN
Hari ke I hingga kira-kira Hari ke IV
Sore itu juga aku dimasukan ke sebuah ruangan yang aku perkirakan cukup luas sebab teriakan-teriakan pertanyaan mereka kudengar menggema di ruangan, sambil memukul mereka bertanya tentang dimana Andi Arief berada, setiap aku jawab aku tidak mengetahuinya maka, pukulan yang datang semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku dibawah ke sebuah ruang yang mereka sebut ruang eksekusi, aku dinaikkan keatas kursi dan leherku dijerat dengan seutas tali, pertanyaan tentang dimana Andi Arief aku jawab sama, karena aku memang tidak tahu persis dimana dia berada, tali yang menjerat leherku ditarik ke atas sehingga aku tercekik hingga aku tidak bisa bernafas sampai beberapa detik, dan leherku terasa sakit selama beberapa hari (susah untuk menelan). Tapi hal tersebut kemudian dihentikan karena aku sempat mendengar omongan mereka agar aku diturunkan dengan alasan terlalu enak bagiku bila terlau cepat mati.
Selanjutnya aku dibawa masuk ke sebuah ruang lain dan didudukkan di sebuah kursi lipat dengan tangan terikat ke belakang, di depanku duduk seseorang yang meng-interogasi-ku. Setiap pertanyaan selalu diikuti dengan penganiayaan dengan memukul baik dengan tangan maupun dengan kursi lipat, bahkan aku sempat terjatuh dari kursi kemudian mulut dan perutku dinjak-injak. Nampaknya mereka sudah tidak memiliki rasa iba sedikitpun bahkan tendangan-tendangan yang mengarah ke tulang kering sering kudapatkan juga di bahu dan punggungku. Sundutan rokok pun mulai mereka lakukan baik dipunggung maupun ditanganku, satu siksaan yang hingga sekarang membuatkan trauma terhadap listrik adalah penyetruman dengan tongkat yang dialiri listrik hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibagian-bagian badanku (ujung jari kaki, kaki sampai pangkal paha, perut, dada, tangan dan leher bagian belakang). Selama itu aku selalu dalam posisi duduk dengan interval istirahat hanya 1 sampai 2 jam untuk makan dan ke WC, secara phisik aku sangat menderita bahkan sampai tidak mampu lagi merasakan rasa sakit dan secara mental aku mengalami penurunan pada titik yang paling bawah. Aku sempat tiga kali dibuka tutup mataku, untuk difoto dan diminta mengenali foto dua orang kawanku, kesempatan yang lain adalah saat menulis biodata yang tidak pernah selesai, karena terlalu capek dan jadi kacau. Namun selama mata terbuka tetap saja aku tidak pernah melihat wajah-wajah mereka karena mereka mengenakan tutup muka dan kepala ala ninja.
Pernah dalam interograsi, salah seorang dari mereka menanyakan sebuah tempat di gang Salon, di kawasan Cilincing. Dimana waktu itu aku datang bersama Herman dan Reza. Aku sudah lupa kejadian dan lokasi tersebut. Tapi kemudian orang itu mengaku bahwa dia yang waktu itu menanyakan pada kami apakah kontraknya masih diteruskan, karena Suyat jarang sekali datang ke rumah itu. Dengan detil dia menyebut kapan kami datang dan jam kami pergi dari tempat itu. Kemudian dia mengaku kenal dengan Suyat dan orang yang mengontrakkan rumah itu. Dia juga mengaku bahwa dialah yang mengambil Suyat di Solo beberapa waktu lalu. Sedangkan rumah tersebut adalah rumah yang dicarikan dan dikontrakkan oleh Munif Laredo, karena dia tidak mau memberikan bantuan dalam bentuk uang.
Hal ini menarik perhatianku, karena sehari sebelum penculikanku sudah muncul dalam analisaku terhadap peristiwa penguntitan tersebut, berhubungan dengan keberadaan Munif (mantan Ketua SMID) selama + 1 minggu secara intensif di YLBHI. Kenapa aku mempunyai analisa seperti itu, karena pada 11 Maret 1998 Munif terlihat sekali menunggui kepulanganku. Dan begitu aku keluar dari kantor YLBHI, Munif juga segera bergegas keluar dari YLBHI dan ketika sampai halte Megaria di Jl. Diponegoro, aku diikuti oleh 2 orang, namun aku berhasil lolos dan masuk kembali ke YLBHI. Aku segera mengaitkan analisaku tersebut dengan pengakuan orang (saat aku masih disekap) yang mengambil Suyat, dan kejanggalan-kejanggalan di tempat yang dikontrakkan oleh Munif.
Hari ke IV hingga Hari ke VI
Aku dipindahkan ke sebuah ruangan yang dilengkapi dengan kasur busa dan kipas angin, aku diperkenankan tiduran dengan tangan satu tetap terikat dikursi dan mata selalu ditutup dengan kain gelap. Kegiatan interogasi mulai agak mengendor dan mereka mulai bersikap agak lunak sesekali memberikan nasehat agar tidak melakukan kegiatan politik lagi.
Pada hari ke V akau dibawa masuk kesebuah ruang mirip ruang ceramah, ruangan tersebut cukup luas dan sangat dingin. Aku di tanya oleh seseorang yang menurutku dari cara bertanya dan bobot pertanyaannya nampaknya merupakan salah seorang pimpinan dari kelompok penculik tersebut.
Selama hari-hari itu (masih di ruang atas) aku sempat mendengar suara yang aku kenal sebagai suara Herman Hendrawan serta sayup kudengar suara satu lagi yang kemungkinan besar adalah suara Nezar Patria.
Setelah itu aku dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaianku dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap diatas balok es selama kurang lebih 10 - 15 menit sambil menanyakan kepadaku bagaimana cara menemukan Andi Arief, dalam situasi yang sangat tertekan aku sempat berpikir sedemikian profesional cara-cara mereka melaksanakan tekanan kepadaku baik secara phisik maupun mental.
Selesai melakukan penyiksaan yang nyaris membuat aku beku mereka masih sempat memukulku beberapa kali, katanya untuk melancarkan peredaran darah. Kemudian dengan mata tertutup aku dibawa kesebuah ruangan yang kurasakan adalah menurun karena melewati beberapa anak tangga. Nampaknya aku mulai dipindahkan kesebuah ruang lain yang senyap namun saat aku dibawa turun ada bunyi dengungan yang cukup keras, belakangan kuketahui suara itu berasal dari radio yang sudah habis waktu siar namun tidak dimatikan dan dihidupkan dengan volume yang amat keras.
Hari ke VII hingga Rabu, 1 April 1998
Kehidupan di ruang bawah tanah.
Setelah pindah di ruang bawah aku mulai merasakan berbeda karena ada suara radio dan suara mereka yang menempati sel lain, lalu kami saling memanggil walau tanpa bisa saling menatap. Saat-saat radio mati, antara pukul 02.00 dinihari sampai 05.00 pagi, merupakan kesempatan kami saling berkomunikasi dan siaran radio juga memberikan gambaran tentang hari, tanggal dan bulan.
Selama di bawah aku sempat dibawa naik ke atas lima (5) kali, materi pertanyaannya seputar Andi Arief dan sekali diantaranya sempat dihadiri banyak orang (aku merasakannya dengan mata tertutup). Seperti biasanya makian, ancaman akan dibunuh dan siksaan berupa pukulan tendangan dan penyetruman masih mereka lakukan.
Pernah ketika dibawa ke bawah selesai ditanya, aku disuruh berendam sampai kepala tenggelam selama beberapa menit,
Materi pertanyaan yang sempat aku ingat pada saat interogasi adalah, aku diminta agar dalam melakukan gerakan jangan merugikan rakyat kecil, lebih baik membakar toko cina saja kata mereka. Bahkan aku sempat ditanya siapa yang ada dibelakang kami, mereka menyebut-nyebut kalau pun LB.Moerdani di belakang kami, mereka tidak akan pernah segan-segan untuk menyikatnya. Juga kami sempat ditanya berapa duit kami dikasih oleh Sofyan Wanandi. Pertanyaan ini mereka lontarkan setelah aku mengalami tekanan mental dan fisik yang berat.
Karena aku merasa tidak pernah tahu dan berhubungan dengan orang-orang yang disebut tadi, maka aku jawab tidak tahu dan kami secara sukarela (bantingan) mendanai kegiatan kami dari kantong sendiri.
Aku di bawah mulai mengenali kawan-kawan, yang paling aku kenal adalah suara Faizol Reza kemudian kami bisa saling mengerti, selain itu ada Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang dan Desmon.
Janji akan dilepaskan.
Pada hari Rabu, 1 April 1998 kecuali Haryanto Taslam, kami mengalami pemrosesan yang katanya ada kaitannya dengan pelepasan kami. Tentang janji pembebasan sudah sering diomongkan kepadaku dan Reza jika Andi Arief telah tertangkap.
Tanggal 2 April pagi hari, Pius dilepaskan selang sehari kemudian Desmon pun dibebaskan.
Selama disekap di bawah, kami mendapatkan perawatan atau kunjungan dari dokter seminggu sekali terutama Haryanto Taslam yang tekanan darahnya naik tinggi.
Pada tanggal 6 April ada penghuni baru di sel bawah dan ternyata Andi Arief, dia bercerita diculik di Lampung dan nampaknya dia mengalami siksaan yang tidak kalah berat.
Pada tanggal 15 April sore Haryanto Taslam dibebaskan. Dan kurang lebih pukul 21.00 hingga 24.00 Andi Arief dibawa keatas, setelah kembali lagi dalam sel dia bercerita kalau mendapatkan siksaan lagi. Tak berapa lama aku mendengar dia mengaji, selama + 1 jam dan kemudian meminta maaf kepada kami bila nanti tidak kuat menahan siksaan.
Tanggal 16 April, Andi Arief dibawa ke atas dan kami tidak pernah mendengar lagi suaranya sampai terakhir aku menghuni sel bawah tanah.
Kamis, 23 April aku dan Reza diproses lagi untuk persiapan pembebasanku dan untukku telah dipersiapkan skenario kalau aku ngumpet dan diminta untuk tidak melaksanakan konferensi pers, aku juga diminta mengaku korban salah culik oleh mafia belakang diskotik Menteng karena dikira musuh mereka ketika tawuran di diskotik. Aku diancam untuk tidak melanggar hal tersebut karena resikonya seluruh keluargaku akan dihabisi. Aku mulai di foto-foto lagi.
Pagi tanggal 24 April aku diambil lagi diminta untuk menghafal skenario dan diminta untuk membuat surat pernyataan secara sukarela tanpa tekanan yang berisi untuk tidak menceritakan kepada siapapun terhadap apapun yang kualami dan rasakan selama dalam sekapan dan tidak akan melakukan kegiatan politik setelah keluar. Jika melanggar maka aku dan seluruh keluargaku akan mengalami resiko terburuk. Surat pernyataan tersebut dicap dengan jempol tangan kananku. Aku ditanya ingin pulang ke Jepara pakai apa, aku menjawab naik kereta ke Semarang kemudian naik Bis ke Jepara.
Malamnya kembali aku dibawa ke atas untuk bertemu dengan pimpinan mereka yang bersuara agak berat, dia bersumpah demi Allah untuk tetap memburuku kemana pun dan kapan pun untuk menghabisiku jika melanggar pernyataan itu. Lalu dia menyalamiku dan mendoakan agar menjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat.
3 . Saat Kebebasan dipenuhi Ancaman.
Pagi, Sabtu 26 April 1998 pukul 06.00 aku dibawa keatas, diperiksa dokter dan diberi vitamin, lalu disuruh pakai sepatu dan ganti celana dalam (sebelumnya aku sempat ditanya berapa ukuran celana dan sepatuku). Kemudia aku dibawa ke sebuah kamar kosong dan di foto puluhan kali.
Sambil menunggu orang yang akan mengantarku ke stasiun Jatinegara, ada seseorang yang mengaku sebagai pimpinan operasi di lapangan, yang mengancamku untuk tidak bercerita kepada siapapun selama berada dalam sekapan, bahkan mereka mengatakan tidak peduli kepada siapapun yang akan memberikan jaminan keamanan.
Mereka berpesan bahwa orang-orang mereka sudah disebar di sekitar stasiun, bahkan di kereta pun mereka sudah siapkan orang-orang mereka, aku diturunkan didekat perempatan pintu kereta Jatinegara kearah Cipinang dan tidak boleh menoleh kebelakang.
4. Hal-hal lain yang masih sempat aku ingat.
a/ Ada suara orang-orang sedang bersenam atau berolahraga sambil bernyanyi-nyanyi secara serempak.
b/ Suara Adzan dengan jelas kudengar terutama saat aku masih di ruangan atas, dan suara itu jadi terdengar sayup bila berada di bawah dan suara radio mati.
c/ Dari kontruksi bangunan yang digunakan untuk menyekapku yaitu ada ruang bawah tanah, maka secara logis harus punya saluran pembuangan air yang dekat dengan tempat yang lebih rendah (lereng/sungai yang cukup curam).
d/ Untuk menuju ruang bawah tanah harus menuruni 7 + 4 anak tangga (ini karena aku yang paling sering dibawa ke atas selama berada di bawah).
e/ Pada saat aku dibawa keluar untuk dilepas aku menghitung melewati polisi tidur 3 (tiga) kali.
f/ Ubin yang di pasang di koridor dan ruangan yang ada di atas didominasi warna merah dan putih.
Kesaksian ini aku lakukan dengan membangun sisa keberanian untuk menegakkan kebenaran dan didorong oleh kasih sayang keluarga besarku dan dorongan kawan-kawan KONTRAS serta Surat Jaminan Keamanan dari PUSPOM ABRI yang ditandatangani oleh Ka PUSPOM ABRI Mayor Jenderal Syamsu.
Sebersit harapan agar kesaksian ini dapat membantu banyak pihak, yaitu kawan senasib sependeritaan yang saat ini belum jelas nasibnya beserta keluarganya, pihak ABRI dan tentunya negara dengan tatanan hukum dan tegaknya demokrasi serta di hormatinya hak-hak asasi manusia.
Jakarta, 5 Juni 1998
Raharja Waluya Jati
Pemberi Kesaksian
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:41:21 +0200
Subscribe to:
Posts (Atom)