Showing posts with label Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Komunikasi. Show all posts

Thursday, 4 November 2010

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

A. Pengertian Media
Dalam kajian pendidikan, pembicaraan tentang media tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan, media merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan. Sampai saat ini terdapat banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli untuk menunjuk pengertian media. Diantara istilah tersebut antara lain : audio-visual, teaching materials, instructional materials dan lain sebagainya.
Association for Educational and Communication Technology (AECT) mengartikan media sebagai “segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi
National Education Association (NEA) mengartikan media sebagai “segala bentuk benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibicarakan, dibaca, beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut
Oemar Hamalik berpendapat bahwa media pendidikan adalah “Alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Gane L Winkinson (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membagi media menjadi dua bagian yaitu Media dalam arti luas dan media dalam arti sempit. Media dalam arti luas lebih menekankan sebagai suatu proses ketimbang sebagai benda-benda. Sedangkan media pendidikan dalam arti sempit terutama hanya memperhatikan dua unsur yakni bahan dan alat.
W. Schramm juga mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Gane di atas, yaitu media dapat dibedakan menjadi dua yakni media besar dan media kecil. Media besar adalah media yang komplek dan harganya mahal seperti televisi, film, komputer dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan media kecil adalah media sederhana baik dari segi bendanya, pemakaiannya, harga maupun perangkatnya, seperti: slide, film strip, OHP sampai kepada radio dan teks program.
B. Pentingnya Media dalam Proses Pembelajaran
Kenyataan menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran atau proses belajar mengajar sering tidak tercapai secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran sebagai suatu proses komunikasi sering dihadapkan kepada berbagai kendala. Diantara kendala tersebut ialah adanya kecendrungan verbal ketidaksiapan, kurangnya minat, gairah dan lain-lain. Pemanfaatan media dalam proses pembelajaran adalah merupakan salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut, mengingat fungsi media dalam proses pembelajaran, selain sebagai penyaji stimulus juga untuk meningkatkan keserasian terutama dalam menerima informasi. Disamping itu media juga berfungsi sebagai perantara antara penyaji dengan siswa (warga belajar) dan dalam hal tertentu media berfungsi untuk mengatur langkah-langkah kemajuan serta untuk memberikan umpan balik.
Moldstad (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) menyatakan bahwa teknologi instruksional dalam proses pembelajaran akan dapat menimbulkan kondisi-kondisi positif, seperti :
1. Belajar lebih banyak terjadi jika media diintegrasikan dengan program instruksional yang tradisional.
2. Jumlah belajar yang setara sering dapat tercapai dalam waktu yang lebih singkat dengan menggunakan teknologi instruksional.
3. Program instruksional dengan menggunakan berbagai media yang didasarkan pada suatu pendekatan sistem, seringkali memudahkan siswa dalam belajar secara lebih efektif.
4. Program-program multi media dan atau tutorial audio untuk pembelajaran biasanya lebih disukai siswa bila dibandingkan dengan pengajaran tradisional.
Pada tahun 1973 (Schramm dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membahas kepustakaan mengenai penelitian media dengan maksud menguji pernyataan Gane bahwa kondisi yang diperlukan untuk belajar dapat dihasilkan oleh setiap media" Schramm menyimpulkan bahwa siswa yang telah bermotivasi dapat belajar dari medium apa saja jika media itu dipakai menurut kemampuannya dan disesuaikan dengan kebutuhan
Dalam keterbatasan fisiknya, setiap media dapat menampilkan tugas pendidikan apa saja. Soal apakah seorang siswa belajar lebih banyak dari suatu media tertentu ketimbang dari media yang lain, setidaknya lebih tergantung pada bagaimana media yang bersangkutan digunakan ketimbang pada media apa yang digunakan.
Schramm mengemukakan beberapa fungsi media sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan belajar yang lebih luas sampai kepada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang mungkin dapat dicapai dengan tanpa media.
2. Membantu guru/tutor dalam menyusun program pembelajaran agar menjadi lebih efektif.
3. Sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses pembe-lajaran.
4. Memberikan pengalaman tanpa wahana abstrak, misalnya menerangkan tentang ember akan lebih jelas bila ditunjukkan bendanya.
C. Pemilihan (Seleksi) Media
Beranekaragamnya media serta masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, maka guru/tutor harus berusaha memilih media dengan selektif. Persoalannya adalah bagaimana seorang guru/tutor dapat memilih media dengan tepat ?.
Mudhofir mengemukakan ada tiga kesulitan dalam memilih media, yaitu :
1. Media itu sendiri banyak macamnya, sehingga menimbulkan keraguan dalam menentukan pilihan.
2. Dalam pemilihan media terdapat keluwesan. Tidak ada keharusan atau kemutlakan walaupun sudah ada pedoman umum.
3. Tidak semua guru/tutor mempunyai pengalaman yang luas dalam pemakaian media. Selain itu persediaan dari media itu sendiri sering tidak memadai, sehingga guru/tutor memakai media seadanya.
Agar prinsip efektivitas kerja tercapai dalam proses pembelajaran, Schramm menyarankan agar pemilihan media memperhatikan dua hal, yaitu ekonomis dan praktis. Selain itu pemilihan media juga tidak terlepas dari program pembelajaran. Sehubungan dengan adanya media besar dan media kecil, penggunaan media besar akan memberikan harapan dimana pendidikan akan dapat menjadi lebih produktif. Akan tetapi disatu sisi hal ini memerlukan biaya yang besar, hal ini tentu menjadi masalah terutama dinegara-negara yang sedang berkembang, namun tidak demikian halnya bagi negara-negara maju seperti Amerika.
Dinegara-negara sedang berkembang cendrung menggunakan media kecil dibandingkan dengan media besar. Misalnya, Thailand menggunakan media yang murah untuk mengembangkan kesempatan belajar di sekolah metropolitan dan kota-kota kecil serta pedesaan. Nigeria memilih kombinasi radio dan slide untuk keperluan pertanian dan kesehatan. Kolombia telah memilih siaran radio untuk mengajarkan baca tulis fungsional bagi penduduknya. Sekalipun demikian, kini telah mulai dipertimbangkan pemakaian media yang lebih besar/kompleks.
Untuk negara maju, ada beberapa faktor yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih media besar yaitu :
Pertama: Keperluan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama untuk pekerja dewasa tanpa perlu memperbanyak kampus dan sekolah.
Kedua: Masalah pendidikan yang mempunyai sistem yang universal guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi lapisan masyarakat ba-wah dan kelompok minoritas.
Dengan demikian, pemilihan media adalah bersifat lokal, dalam arti mempertimbangkan kebutuhan setempat dan keadaan sumber daya dan memperhatikan petunjuk-petunjuknya sesuai dengan kenyataan. Selain pertimbangan yang langsung bertalian dengan pendidikan, ada juga per-timbangan lain seperti : pertimbangan politik, prestise dan juga aspek hiburan (misalnya ingin memberikan hiburan kepada masyarakat).
Zainuddin (1983) memberikan beberapa kriteria pemilihan media sebagai berikut :
1. Tujuan
2. Ketepatgunaan
3. Keadaan siswa/warga belajar
4. Ketersediaan
5. Mutu teknis
6. Biaya
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Media
Pemilihan media dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1. Faktor tugas, 2. Faktor media, dan 3. Faktor biaya. Keputusan (pemilihan) media pada tingkat manapun perlu dinyatakan secara tegas mengenai tugas yang akan dikerjakan, dugaan tentang efektivitas media yang akan digunakan, dan harga yang mungkin diperlukan dikaitkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Ini berarti, setiap pemilihan media memerlukan informasi dari tiga sumber yang berbeda, yaitu : ilmu pendidikan, bidang ekonomi, penelitian tentang media dan pengalaman.
Istilah faktor tugas yang berasal dari dunia pendidikan memerlukan analisa dari tiga aspek, seperti :
1. Keperluan relatif dan manfaat yang mungkin ada dari pendidikan yang hendak dicapai.
2. Keperluan dan kemampuan murid yang belajar.
3. Prioritas langkah untuk berbuat, termasuk keputusan sementara menge-nai skala, kualitas, dan kontrol khusus yang dirasakan perlu.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Analisis Tugas
Analisis Murid
Analisis Prioritas
Pada setiap kasus akan nampak interaksi antara berbagai analisa seperti : analisa tugas, murid dan prioritas. Tugas yang tersedia barangkali perlu direvisi bila mungkin telah diketahui murid, kebenaran tentang apa yang perlu diketahui murid dan prioritas yang hendak diberikan, dianalisa dan dinilai berdasarkan keperluan murid.
Faktor media juga merupakan proses interaktif yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Analisis Efektivitas
Analisis Ketersediaan
1. Ketersediaan media
2. Hasil dari pemakaian media

Evaluasi Media
1. Berdasarkan pengalaman
2. Laporan peneli-tian lapangan

Dugaan efektivitas dapat diketahui dari laporan penelitian dan proyek di lapangan. Umpamanya guru bermaksud mengajarkan bagaimana mesin ketup bekerja, memutuskan untuk memilih penggunaan media berupa film gerak lambat yang dianggap paling efektif. Namun demikian walaupun ada proyektor film akan tetapi tidak mampu menyewa ataupun meminjam film yang diperlukan, maka film gerak lambat tidak dapat dipilih. Barangkali bagan atau film strip yang akan digunakan.
Tabel di bawah ini berisi syarat-syarat tentang/berkenaan dengan tiga media besar yang dipertentangkan dengan media kecil. Kesulitannya terletak pada masalah ketersediaan media yang diperlukan.
Syarat-Syarat Jenis Media
TV Pengajaran Komputer pengajaran Radio Film PI Media Visual sederhana
Aliran listrik tersedia meluas Ya Ya Tidak Ya Tidak Mungkin tidak
Mesin yg komplek Ya Ya Tidak terlalu Tidak terlalu Tidak Tidak
Pemeliharaan yang sulit Ya Ya Kurang Tidak terlalu Tidak Tidak
Perlu operator yang terlatih benar Ya Ya Kurang Tidak Tidak Tidak
Keterangan:
Masing-masing dari kegiatan itu bila dilaksanakan tersendiri hendaknya menghasilkan suatu daftar prioritas, untuk tugas yang perlu dikerjakan, untuk media yang digunakan dan untuk alternatif jenis media yang dinilai kegunaannya dari segi ekonomi.
Bila digambar dalam bentuk bagan proses tersebut terlihat sebagai berikut :
Alternatif media
PrioritasTugas
Alternatif ekonomi

Dalam prakteknya semua unsur-unsur tersebut berjalan secara bersama-sama. Analisis biaya berhubungan dengan analisis media, tetapi sering terjadi perubahan pikiran yang disebabkan oleh data tentang media. Dan bila data yang diinginkan tidak mungkin digunakan, maka perlu diadakan pembahasan dalam penentuan prioritas tugas. Keseluruhan hasil menurut teorinya akan terjadi/menjadi perkiraan keperluan-biaya-efektivitas yang mungkin seorang pendidik atau perencana pendidikan mengambil kesimpulan bahwa untuk suatu tugas yang diprioritaskan, media yang tersedia merupakan yang terbaik ditinjau dari biaya dan efektivitasnya.
Kesimpulan utama mengenai efektivitas media ialah hubungan umum yang mengikat media dengan tugas-tugas belajar :
1. Siswa akan mampu belajar dengan media jenis apa saja, baik di sekolah ataupun di luar sekolah, sengaja atau tidak sengaja, mempelajari hal-hal yang seharusnya dipelajari atau tidak.
2. Media mampu melayani berbagai tugas mengajar. Menurut Gagne bahwa sebagian besar tugas mengajar dapat dilakukan dengan sejumlah besar media
3. Pada dasarnya penentuan pilihan mengenai media biasanya ialah pemilihan kombinasi media.
4. Tugas memilih media tidak mudah dan tidak jelas dirumuskan.
RUJUKAN
Bachtiar, Harsya W, 1984. Media dalam Pembelajaran. Jakarta : CV Rajawali dan Pustekom Dikbud
Basori, Mukti. 1983. Pusat dan Sumber Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni Bandung
Mudhoffir. 1984. Teknologi Instruksional. Bandung: CV Remaja Karya, Bandung
W Schramm. 1977. Big Media Litle Media. London: Sage Public-Baverly Hills



Sumber:
http://umsb.ac.id/?id=6

Monday, 30 June 2008

Claude Levi-Strauss: The Structural Study of Myth

Claude Levi-Strauss: The Structural Study of Myth
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA
To start with--no, this guy has nothing to do with the makers of your favorite jeans.

Claude Levi-Strauss is a French anthropologist, most well-known for his development of structural anthropology. In his book The Elementary Structures of Kinship, Levi-Strauss argued that kinship relations--which are fundamental aspects of any culture's organization--represent a specific kind of structure; you might think of genealogical charts, with their symbols for father and mothers, sisters and brothers, as an example of kinship systems represented as structures. Levi-Strauss is also known for his structural analyses of mythology, in books like The Raw and the Cooked, where he explains how the structures of myths provide basic structures of understanding cultural relations. These relations appear as binary pairs or opposites, as the title of his book implies: what is "raw" is opposed to what is "cooked," and the "raw" is associated with nature while the "cooked" is associated with culture. These oppositions form the basic structure for all ideas and concepts in a culture.

In "The Structural Study of Myth," Levi-Strauss is interested in explaining why myths from different cultures from all over the world seem so similar. Given that myths could contain anything--they aren't bound by rules of accuracy, or probability--why is there an astounding similarity among so many myths from so many widely separated cultures?

He answers this question by looking at the structure of myths, rather than at their content. While the content, the specific characters and events of myths may differ widely, Levi-Strauss argues that their similarities are based on their structural sameness.

To make this argument about the structure of myth, Levi-Strauss insists that myth is language, because myth has to be told in order to exist. It is also a language, with the same structures that Saussure described belonging to any language.

Myth, as language, consists of both "langue" and "parole," both the synchronic, ahistorical structure and the specific diachronic details within the structure. Levi-Strauss adds a new element to Saussure's langue and parole, pointing out that langue belongs to what he calls "reversible time," and parole to "non-reversible time." He means that parole, as a specific instance or example or event, can only exist in linear time, which is unidirectional--you can't turn the clock back; langue, on the other hand, since it is simply the structure itself, can exist in the past, present, or future. Think of this sentence again: "The adjectival noun verbed the direct object adverbially." If you read the sentence, you read from left to right, one word at a time, and it takes time to read the whole sentence--that's non-reversible time. If you don't' read the sentence, but rather think of it as being the structure of English, it exists in a single moment, every moment--yesterday as well as today as well as tomorrow. That's reversible time.

A myth, according to Levi-Strauss, is both historically specific--it's almost always set in some time long ago--and ahistorical, meaning that its story is timeless. As history, myth is parole; as timeless, it's langue.
Levi-Strauss says that myth also exists on a third level, in addition to langue and parole, which also proves that myth is a language of its own, and not just a subset of language (like other literary productions, which are made of language, and which might be thought of as "paroles." Peter Barry gives this explanation in Chapter 2 of Beginning Theory). He explains that level in terms of the story that myth tells. That story is special, because it survives any and all translations. While poetry is that which can't be translated, or paraphrased, Levi-Strauss says that myth can be translated, paraphrased, reduced, expanded, and otherwise manipulated--without losing its basic shape or structure. He doesn't use this term, but we might call that third aspect "malleability."

He thus argues that, while myth as structure looks like language as structure, it's actually something different from language per se--he says it operates on a higher, or more complex level. Myth shares with language the following characteristics:
1. It's made of units that are put together according to certain rules.
2. These units form relations with each other, based on binary pairs or opposites, which provide the basis of the structure.

Myth differs from language (as Saussure describes it) because the basic units of myth are not phonemes (the smallest unit of speech that distinguishes one utterance from another, like a letter), morphemes (the smallest unit of relatively stable meaning that can't be subdivided, like a non-compound word), or sememes (the meaning expressed by a morpheme), or even signifiers and signifieds, but rather are what Levi-Strauss calls "mythemes." His process of analysis differs from Saussure's because Saussure was interested in studying the relations between signs (or signifiers) in the structure of language, whereas Levi-Strauss concentrates on sets of relations, rather than individual relations--or what he calls "bundles of relations."

His example for this is a musical score, consisting of both treble and bass clefs. You can read the music diachronically, left to right, page by page, and you can read it synchronically, looking at the notes in the treble clef and their relation to the bass clef. The connection between the treble and bass clef notes--the "harmony" produced--is what Levi-Strauss calls a "bundle of relations."

Basically, Levi-Strauss' method is this. Take a myth. Reduce it to its smallest component parts--its "mythemes." (Each mytheme is usually one event or position in the story, the narrative, of the myth). Then lay these mythemes out so that they can be read both diachronically and synchronically. The story, or narrative, of the myth exists on the diachronic (left-to-right) axis, in non-reversible time; the structure of the myth exists on the synchronic (up-and-down) axis, in reversible time.

In his example of laying out the Oedipus myth this way, he begins to see, in the synchronic bundles of relations, certain patterns developing, which we might call "themes." One such theme is the idea of having some problem walking upright. Levi-Strauss then takes that theme and runs with it, seeing it as an expression of a tension between the idea of chthonic (literally, from the underground gods, but here meaning an origin from something else) and autochthonic (meaning indigenous or native; here, meaning self-generated) creation. He then sees that tension--or structural binary opposition--as present in myths from other cultures. This, to Levi-Strauss, is the significance of the myth: it presents certain structural relations, in the form of binary oppositions, that are universal concerns in all cultures.

This is the subjective part of Levi-Strauss' analysis. We might come up with different interpretations for what he sees in the bundles of relations. For example, we might notice that, in one column are different ideas about walking upright; we might interpret that as an anxiety about physical ability and disability, which is an expression about fitness for survival versus needing charity and kindness, and then read that tension (between selfishness and altruism) as the fundamental structure the myth is articulating.

And here's where you can start to see how this structuralist reading might actually apply to literary interpretation as we know it. Once you've found the mythemes, the constituent units, of a myth or story, and laid them out in Levi-Strauss' pattern, you can interpret them in an almost infinite number of ways. (And that, of course, raises the idea that what you choose as mythemes, or units, and how you lay them out might well vary from person to person, depending on how you read a story. And this raises the idea that structuralism maybe isn't so "objective" and "scientific" as it hopes to be, since its basic units aren't self-evident. But Levi-Strauss, like Saussure, doesn't admit that).

After laying out this basic method, Levi-Strauss goes on to talk about perfecting his system to make it useful to anthropologists. We don't have to worry too much about this section (pp.815b-818b) because the details he discusses aren't as relevant to the analysis of literature as they are to anthropology. In these pages he talks about doing a structural analysis of all possible variations of a myth. This would be desirable because it would prove that all variants really do have the same structure, which goes back to Levi-Strauss' initial point that myth is a language,` and that structural analysis can account for any version of a particular myth. To prove his point, he goes into a rather lengthy analysis of a Zuni myth; this uses the same methods as his analysis of the Oedipus myth; he also analyzes a Pueblo myth with a similar structure.

He concludes that the structural method of myth analysis brings order out of chaos, as it provides a means to account for widespread variations on a basic myth structure, and it "enables us to perceive some basic logical processes which are at the root of mythical thought." This is important to Levi-Strauss because he wants to make the study of myth logical and "scientific" in all its aspects, and not to have to rely on any subjective interpretive factors.

On pages 819-820 Levi-Strauss does a structural reading of a Native American myth and compares it to the story of Cinderella. You might want to think of other myths, or stories, which would lend themselves to similar structural analyses.

Levi-Strauss then talks about the permutations of the myth structures he's just analyzed as algebraic formulae. Don't worry if you don't get this part--it's not important to the main idea. Levi-Strauss puts this in to insist on the scientific/logical nature of his method: if you can express it in purely mathematical terms, it must be right, and universal, and objective.

Do pay attention, however, to his three final comments on p. 821b. He says that repetition, in myth as in oral literature, is necessary to reveal the structure of the myth. Because of this need for repetition, the myth is "slated," meaning it tells its story in layer after layer (see the diagram on p. 815).

However, the layers, or "slates," aren't identical, even though they repeat key elements in the structure. Because of this, the myth "grows spiralwise," meaning the story it tells unfolds as the myth goes on. In other words, the myth "grows" as it is told; Levi-Strauss points out that this growth is continuous, while the structure of the myth, which doesn't grow, is discontinuous. This is a version of the synchronic-diachronic split mentioned earlier, and of the langue-parole distinction. Levi-Strauss compares this aspect of myth, that it both grows and remains static, to molecules (again enhancing the "scientific" nature of his method).

He also says that myths function in cultures to "provide a logical model capable of overcoming a contradiction." Such a contradiction might consist of believing in two precisely opposite things, such as chthonous and autochthonous origins, or selfishness and altruism. The important thing for Levi-Strauss is that every culture has these contradictions, because every culture organizes knowledge into binary opposite pairs of things, and that these contradictions have to be reconciled logically (and again, he wants everything to be explainable through logic and "science).
This is echoed in his third point, on p. 822, that the "logic" of myth is just as rigorous and "logical" as the logic of science. It's not that science is somehow smarter or more evolved than myth, but rather that the two modes of understanding and interpreting the world share the same basic structure (that of logic) applied to different things. And yes, one might critique this view of Levi-Strauss' by pointing out that his own explanations favor science over "myth," as he insists that his method of myth analysis is scientific, and therefore better than other methods. But that's a deconstructive reading, and we'll get to that with Derrida.