Showing posts with label Kota. Show all posts
Showing posts with label Kota. Show all posts

Sunday 28 November 2010

SEJARAH KEBUN BINATANG JAKARTA

SEJARAH KEBUN BINATANG JAKARTA 140 tahun dalam 140 Ha


Dua abad sudah terlewati dalam perjalanannya Kebun Binatang Jakarta dan tetap tegar dalam memasuki abad ke 21. Semula kebun binatang ini berada pada areal seluas 10 Ha milik seorang pelukis pribumi terkenal bernama Rd. Saleh . Terletak di pusat kota jakarta yaitu tempat pusat kesenian jakarta Taman Ismail Mardjuki Cikini Thn 1864. Kebun Binatang ini dikelola oleh perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna di Jakarta
( Culturule Vereniging Planten en Direntuin at Batavia ) selepas revolusi tepatnya tahun 1949 diganti menjadi Kebun Binatang Cikini. Bersamaan dengan kian pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta perlu dicari tempat baru yang lebih memadai dan menjamin kehidupan satwa dan pengembangannya.Akhirnya pada perayaan seabad kelahirannya di tahun1964 ,pemerintah DKI Jakarta memindahkannya pada areal yang lebih luas dengan bentang alam yang lebih menarik yaitu di wilayah Ragunan Jakarta Selatan ,disebutlah nama Taman Margasatwa Jakarta dan lebih dikenal Kebun Binatang Ragunan. Keberhasilan pemindahan ke lokasi di Ragunan tidak lepas dari jasa 3 tokoh yaitu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin serta Benyamin Galstaun dan Nyonya. Pada awalnya luas lahan di Ragunan sekitar 28 Ha, menjelang umurnya yang ke 140 luas lahan di Ragunan telah mencapai 140 Ha. Dari rencana awal oleh Gubernur Ali Sadikin seluas 200 Ha. Pada lokasi inilah dipertaruhkan nama dan citra Kebun Binatang Jakarta . Pada usianya yang ke 140, Kebun Binatang Ragunan terus berbenah melangkah maju ,menatap masa depan dengan penuh optimisme, untuk menjadi kebun binatang terbaik di Dunia. Kebun binatang modern yang berpegang pada prinsip-prinsip yang berlaku untuk kebun binatang global( universal), mampu mensejahterakan satwa yang ada selaras dengan ekosistem yang ada. Suatu kebun binatang yang mampu memadukan potensi kekayaan alam dalam satu kesatuan, yaitu menyatukan satwa seperti di alam dalam fasilitas besar dan alami. Contoh yang sudah dibangun adalah Pusat Primata Schumtzer Taman Margasatwa Ragunan yang sudah diakui berbagaio kalangan sebagai fasilitas primate terbaik di dunia. Divisi lain kerusakan lingkungan akibat bencana alam atau penebangan hutan yang tidak terkendali yaitu 2,5 juta Ha hutan Indonesia rusak setiap tahunnya dan 75% penebanagan kayu terjadi secara illegal hali ini menyebabkan kerusakan habitatt terhadap berbagai jenis satwa dan akhirnya mendorong kepada kepunahan jenis, menurunnya keanekaragaman jenis, potensi obat-obatan dan produk lain berkurang,, resiko hama penyakit akan meningkat dan daya tarik alam Indonesia untuk wisata alam berkurang. Untuk itu semakin terasa peranan pentingnya keberadaan suatu Kebun Binatang sebagai jendela terakhir penyelamat lestarinya beberapa jenis satwa langka melalui upaya konservasi ek-situ . Peranan Kebun Binatang tidak saja sebagai sarana rekreasi juga membantu dalam dunia pendidikan penelitian dan apresiasi terhadap alam dan satwa liar. Inilah Kebun Binatang Jakarta tetap jaya dalam nuansa asri,serasi dan lestari. Sejak awal berdirinya Kebun Binatang Jakarta disiapkan sebagai tempat rekreasi yang khas dan spesifik diantara tempat rekreasi di Ibukota . kehadirannya harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat ,sebagai wahana kilas balik penyegaran jasmani .Suasana bentang alam ragunan dengan tutupan canopy dan keanekaragaman hijauan yang padat membuat suasana sejuk dan asri.Jalan setapak ,hamparan rumput lapangan yang hijau , aliran sungai dan genangan danau memunculkan nuansa alam belantara di perkotaan.Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bukan saja untuk pengunjung ,tetapi menjadi sangtuari berbagai jenis burung dan tempat nyaman untuk kehidupan satwa lainnya. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang sangat berarti, tiga juta orang lebih setiap tahunnya berkunjung ke Kebun Binatang Jakarta .Pada tahun 2003 jumlah pengunjung yang datang ke kebun binatang mencapai 3.121.677 orang .Sementara itu dalam suasana liburan sekolah pada bulan Juli tahun 2004 dalam satu bulan pengunjung ke Kebun Binatang mencapai 334.782 orang.Pada hari biasa dalam 3 (tiga ) tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung.Hal ini memperlihatkan bahwa suasana metropolis Ibukota dengan berbagai persoalannya telah merambah kepinggiran kota khususnya pada lokasi Rekreasi. Kebun Binatang telah menjadi pilihan masyarakat untuk melakukan rekreasi.Kehadiran di Kebun Binatang ini kian terasa benar-benar bermain di alam ketika memasuki Pusat Primata Schmutzer (PPS).Di lokasi ini pengunjung diajak menikmati suasana yang lain dari hanya sekedar melihat kebun binatang.Suasana yang menyatukan tempat hidup satwa serasa di alamnya dan pengunjung dapat lebih dekat mengenal satwa dalam kerimbunan hijauan yang tertata asri.Sistem peragaan yang sangat berbeda dengan konsep sebelumnya menampilkan suasana peragaan kebun binatang modern .Hubungan antar peragaan saling menyatu sehingga tidak membosankan waktu kunjungan. Sejak dibukanya PPS pada bulan Agustus 2002 sampai bulan juli 2004 telah didatangi pengunjung sekitar 830.239 orang.Pertambahan jumlah pengunjung PPS dalam 6 bulan terakhir ( Januari – Juli 2004 ) menunjukan peningkatan sekitar 100% pada bulan yang sama thn 2003.Keberadaan PPS telah membantu mengangkat citra Taman Margasatwa Ragunan dengan merubah image masyarakat tentang kebun binatang.Pengunjung Kebun Binatang Jakarta tetap menikmati kunjungan dalam suasana Asri, Serasi dan Lestari. Bila anda berkunjung ke Taman Margasatwa Ragunan jangan lupa mengunjungi Si “Panjang" dan juga mampir ke Si “Conny". Kedua jenis satwa tersebut merupakan penghuni paling lama di Ragunan. Si Panjang - begitulah namanya sesuai dengan tubuhnya yang besar dan panjang merupakan jenis buaya muara (Crocodylus porosus). Panjangnya lebih dari 6 meter (belum ada pengukuran resmi – hanya perkiraan) dengan berat sekitar 600 kg (belum ada pengukuran resmi – hanya perkiraan). Mau tahu usianya ? mungkin kita harus memanggil "Si Mbah" karena usianya sudah cukup tua, 66 tahun. Sedangkan si Conny, begitulah nama yang diberikan merupakan jenis Simpanse (Pan troglodytes) berasal dari Afrika. Tingginya sekitar 1,5 m dan beratnya sekitar 80 kg . Mau tahu juga berapa usianya, 64 tahun - suatu record tersendiri bagi simpanse yang rata-rata usianya hanya 40 tahun di alam, sedang di penangkaran 50 tahun. Rupanya kondisi lingkungan di Indonesia terutama di Jakarta yang tropis sangat berpengaruh terhadap perkembangan si Conny sehingga ia dapat berumur panjang. Kini ia tinggal bersama saudara-saudaranya Petsy, Kampo, Monica dan Kasa. Keberadaan si Panjang dan si Conny tidak lepas dari sejarah kebun binatang Ragunan sendiri. Mereka merupakan saksi sejarah kepindahan kebun binatang Cikini ke Ragunan pada tahun 1964 dan dibuka pada tahun 1968. Berdasarkan keterangan Momon (79 tahun) - karyawan TMR kini sudah pensiun yang pernah merawat kedua satwa tersebut - merawat Si Panjang dilakukan sejak tahun 1941 waktu usianya baru 3 tahun dan panjangnya sekitar satu meter. Buaya tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat Sumatera Selatan. Sedang Si Conny dirawatnya dua tahun kemudian - tahun 1943 mulai dari usia 2 tahun berasal dari kebun binatang Barcelona, Spanyol. Dilihat dari usianya yang cukup panjang, buaya merupakan salah satu jenis reptil yang berhasil selamat hingga kini sejak periode Triassic 200 juta tahun yang lalu – berarti dari zaman dinosaurus buaya tidak ikut punah ketika meteorit menghujam ke bumi, dimana banyak dinosaurus punah kecuali kelompok yang berkembang menjadi burung pada 65 juta tahun yang lalu. Secara klasifikasi buaya dikelompokkan ke dalam Klas Reptilia Ordo Crocodylia dengan Familia Crocodylidae. Di alam terdapat sekitar 25 jenis buaya dengan kerabatnya seperti aligator, kaiman, konoko dan gavial. Mereka banyak diketemukan di beberapa bagian yang beriklim hangat di Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Buaya dapat dibedakan dari bentuk moncongnya yang berbeda bentuk dari jenis satu ke jenis lainnya. Buaya muara atau buaya air asin (salt water-crocodile) merupakan salah satu jenis buaya yang paling besar dan berbahaya di dunia, panjangnya dapat mencapai 6,5 meter, bahkan ada laporan sampai 9 meter, ia dapat tumbuh sepanjang hidupnya. Konon buaya muara paling banyak menyerang manusia, di Indonesia setiap tahun masih ada laporan buaya muara menyerang manusia. Buaya muara bersifat pengembara, Ia sering berkelana di kepulauan Indonesia bahkan pernah sampai ke Kepulauan Fiji dan pulau-pulau terpencil lainnya. Buaya muara termasuk satwa kosmopolit, penyebarannya meliputi India, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Indonesia sampai ke Australia. Mereka banyak mendiami daerah pantai, muara, hutan bakau, rawa dan laut. Dapat hidup baik di air tawar maupun air laut. Di alam mereka memakan mulai dari binatang kecil seperti ikan, burung, penyu dan mammalia sampai bangkai. Ukuran mangsa tergantung besarnya buaya. Buaya muara mencapai dewasa pada usia 5 - 10 tahun, pada saat itu panjangnya sudah mencapai 2,5 - 3,5 meter. Musim berkembang biak berlangsung pada musim kering. Membuat sarangnya di pinggiran sungai, menggunakan tumpukan pasir atau lumpur dicampur dengan daun-daunan, ranting pohon dan serpihan dari tanaman lainnya. Betina bertelur sebanyak 90 butir. Telur tersebut mengalami masa inkubasi selama 4 bulan. Selama masa inkubasi betina terus menjaganya dari predator seperti biawak sampai telur-telur tersebut menetas. Si Conny merupakan jenis simpanse (Pan troglodytes). Ia termasuk kera - apes bukan monyet - monkey dan tidak berekor. Lengannya lebih panjang dari kaki. Apabila berlari menggunakan ke empat anggota badannya (quadrapedal), tetapi mereka dapat berjalan dengan 2 kaki (bipedal). Secara klasifikasi simpanse termasuk Klas Mammalia, ordo Primata dan famili Pongidae. Tingginya sekitar 1 - 1,5 m dan beratnya dapat mencapai 100 Kg. Rambut hitam panjang kecuali pada bagian belakang ada sedikit warna putih. Pada bagian wajah, telinga, tangan dan kaki tidak ditumbuhi rambut. Di alam mereka banyak mendiami hutan tropis dan hutan terbuka di Guinea, Uganda, dan Tanzania. Mereka memakan segalanya dari buah-buahan, pucuk daun, bunga, akar-akaran, kulit kayu, madu, serangga sampai memakan hewan lainnya seperti bajing dan monyet. Dewasa kelamin pada usia 8-10 tahun. Betina melahirkan anak satu jarang kembar setelah masa kehamilannya berlangsung selama 7-8 bulan. Anaknya selalu dibawa kemana induknya pergi selama lima bulan pertama dan di asuhnya selama dua tahun. Di alam satwa ini dapat hidup selama 40 tahun. Sedangkan dipenangkaran dapat hidup selama 50 tahun.

Mengenang Meester Cornelis di Jatinegara

Di gapura itu tercetak tulisan “Pasar Mester”. Dari seberang Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur, hiruk pikuk manusia di sekitar gapura menyita pemandangan. Angkutan perkotaan (angkot) yang melintas pun selalu tergoda memperlambat lajunya. Memasuki gapura setinggi empat meter itu, hiruk pikuk semakin terasa. Orang-orang terkonsentrasi di dalam bangunan pasar dan lapak-lapak yang mengelilinginya. Pasar Mester memang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Jakarta Timur. Pasar ini menjadi salah satu rekomendasi bagi pemburu souvenir murah untuk pernikahan. “Pasar Mester awalnya hanya menjual bahan pokok, ayam, kambing, dan jahitan pakaian saja,” kata Muhammad Yunus, sesepuh Jatinegara. Perubahan pesat selama 60 tahun terakhir di Pasar Mester begitu lekat dalam ingatan pria kelahiran 10 Oktober 1945. Tahun 1948, kata dia, Pasar Mester hanya lapak-lapak kumuh yang dijaga para centeng. Centeng adalah sebutan preman yang menarik uang kemanan dari pedagang. “Centeng yang terkenal yaitu Kong Jaih. Ada sekitar tahun 1950,” ujar pria yang sejak usia 3 tahun menghabiskan waktu bermain di Pasar Mester. Bangunan permanen di Pasar Mester baru muncul sekitar tahun 1970. Bangunan itu kemudian direnovasi tahun 1989 setelah terbakar. Renovasi memakan waktu 1 tahun. ”Tahun 1991 pasarnya diresmikan sampai sekarang,” kata pria yang akrab disapa Babe Yunus. Pada masa Hindia Belanda, Mester tidak hanya merujuk pada bangunan pasar. Catatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Mester digunakan untuk menyebut seluruh kawasan Jatinegara. Letaknya sekira 20 kilometer dari pusat Kota Batavia di Pasar Ikan. Sejarah dimulai sejak 1661, saat guru agama Kristen asal Pulau Banda, Cornelis Senen, membuka kawasan hutan jati di daerah itu. Jabatannya sebagai guru agama membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya, yang artinya “tuan guru”. Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. “Orang awam sih dulu bilangnya mester tapi sebenarnya master. Ya sesuai dengan lidah orang Betawi biar gampang nyebutnya,” ujarnya. Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang menjadi kota satelit Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang. Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Kala itu Jepang berupaya keras menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Lantaran kawasan itu bekas hutan jati yang lebat, dipilihlah nama Jatinegara menggantikan Meester Cornelis. Tapi, penobatan Jatinegara tidak serta merta menghilangkan nama Mester. Nama sang “tuan guru” tetap terukir indah di pasar Jatinegara.



• VIVAnews

Kampung Jatinegara Kaum

Penamaan kampung Jatinegara Kaum mempunyai unsur historis yang dihubungkan dengan peristiwa penaklukan Jayakarta oleh VOC (Kompeni Belanda). Konon pada waktu kota Jayakarta direbut oleh Kompeni Belanda, Pengeran Jayakarta Wijayakrama (Bupati Jayakarta) menyelamatkan diri ke arah tenggara kota. Tempat pengasingan ini merupakan daerah hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon jati. Di tempat inilah beliau membuka hutan bersama pengikut-pengikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan dalam pengasingan. Selanjutnya Pangeran menyebut daerah ini dengan nama “Jati Negara”. Nama ini dapat diartikan sebagai “negara yang sejati” atau “pemerintahan yang sejati”. Lama kelamaan sebutan Jatinegara meluas dibarengi dengan meluasnya daerah tersebut. Untuk membedakan Jatinegara lama dengan Jatinegara hasil pengembangan kota, maka Jatinegara lama disebut Jatinegara Kaum. Kata “Kaum” ini dapat diartikan sebagai tempat pemukiman para santri sekitar masjid (pemeluk Islam yang taat). Tetapi sampai sejauh ini belum dapat dipastikan sejak kapan nama “Kaum” tersebut digunakan. Menurut informasi dari penduduk Cina yang telah lama tinggal disana mengatakan bahwa nama Jatinegara Kaum tidak dikenal, yang dikenalnya hanyalah sebutan “Kampung Dalem”. Tentunya sebutan ini mempuyai latar belakang sejarah. Sebutan Dalem menunjukkan kepada bangunan keraton atau tempat bermukimnya para pembesar kerajaan. Dalam hal ini dapat dihubungkan dengan peristiwa pengasingan Pangeran Jayakarta beserta para pengikutnya. Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk menghimpun dan menata kekuatan armadanya. Benteng J.P. Coen di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broocke. Semua ini terjadi akibat permusuhan orang Jayakarta yang dipimpin oleh Pengeran Jayakarta Wijayakrama dan dibantu oleh Inggris terhadap orang-orang Belanda. Satu bulan setelah Jayakarta ditinggalkan J.P. Coen banteng diambil alih oleh Pangeran Jayakarta dan Inggris. Pada bulan Mei 1619, J.P. Coen datang lagi ke Jakarta bersama armadanya yang sudah siap tempur. Terjadilah pertempuran sengit antara Belanda dan Jayakarta. Armada Belanda sempat membakar masjid dan keraton serta membumihanguskan kota Jayakarta. Pada saat itu pulalah Jayakarta jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Kemenangan Belanda sekaligus mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Sebelum Jayakarta dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, sebenarnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama telah ditarik terlebih dahulu oleh Sultan Banten. Pangeran dibawa oleh Tumenggung Banten ke daerah Tanara, Banten. Berita ini diperkuat dengan adanya surat-surat Pieter van den Broocke dan Jan Pieterzoon Coen yang menyebutkan bahwa Pangeran Jayakarta telah ditarik oleh Sultan Banten sebelum Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Lain lagi dengan keterangan lisan yang disampaikan oleh Rd. Junaedi yang menerangkan bahwa kekalahan Jayakarta mengakibatkan menyingkirnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama ke daerah yang disebut Jatinegara Kaum sekarang. Di daerah ini Pangeran menyusun kekuatan untuk merebut kembali Jayakarta. Dalam sejarah pemerintahan kota, Jatinegara baru masuk sebagai wilayah administratif kota pada tahun 1926, yaitu sejak masa Stadgemeente Batavia. Pada waktu itu Meester Cornelis (Jatinegara) merupakan Stadgemeente tersendiri. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1936 daeeah ini digabung dalam Stadgemeente Batavia. Sebelum tahun 1926, Jatinegara merupakan daerah di luar kota Jayakarta. Bahkan pada saat Jayakarta menjadi Stad Batavia (tahun 1619 - 1799) daerah ini masih jauh di luar kota. Begitupula pada masa Gemeente Batavia (1905 - 1926), Kampung Jatinegara belum masuk kota. Masa Gemeente Batavia membagi kota kedalam dua distrik, yaitu Distrik Batavia dan Waltevreden. Dalam hal ini Jatinegara tidak termasuk Onderdistrik manapun. Pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945), pemerintahan kota berubah lagi menjadi Djakarta Tokubetsu Shi. Pada masa ini Jakarta dibagi kedalam tujuh daerah bagian yang disebut “Siku”, termasuk diantaranya adalah Jatinegara yang merupakan siku ke-7. Keadaan ini mungkin tidak berubah pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta (1945 - 1947), sebab keadaan kota masih belum stabil. Pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta, Belanda datang lagi. Jakarta kembali dijadikan Stadgemeente dalam masa Pemerintahan Pra Federal (1947 - 1949). Pada masa ini Jatinegara (Kaum) masuk dalam onderdistrik Pulo Gadung yang dibawahi lagi oleh Distrik Bekasi. Distrik inipun dimasukkan ke dalam daerah yang berbatasan dengan kota Jakarta. Onderdistrik disamakan dengan kecamatan sekarang, sedangkan distrik adalah daerah kekuasaan di atas kecamatan. Dengan demikian sejak tahun 1947 hingga sekarang Jatinegara Kaum masuk ke dalam Kecamatan Pulo Gadung. Daerah ini baru menjadi kelurahan tersendiri pada tanggal 1 Oktober 1966 yang merupakan penggabungan dari pecahan Kelurahan Klender, Jatinegara dan Rawaterate. Dengan demikian kini secara administratif Jatinegara Kaum merupakan kelurahan di bawah Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Adapun luas wilayah Kelurahan Jatinegara Kaum ±100,5 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :

- sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pulo Gadung dan Jalan PT Dana paint,

- sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya Bekasi dan Kelurahan Jatinegara,

- sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Klender dan rel kereta api,

- sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan cipinang, Jatirawamangun,

dan Kali Sunter.

Tidak diketahui dengan pasti apakah telah ada penduduk sebelum Pangeran Jayakarta dan pengikutnya datang ke tempat ini (Jatinegara Kaum). Namun keterangan lisan menyebutkan tidak ada penduduk di tempat ini sebelum kehadiran pangeran Jayakarta. Keterangan ini dihubungkan dengan sejarah lisan yang menyebutkan bahwa daerah Jatinegara Kaum merupakan hutan lebat yang ditumbuhi oleh pohon-pohon jati. Kemudian hutan-hutan ini dibuka oreh pangeran dan pe- ngikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan pangeran Jayakarta dalam pengasingan. pangeran Jayakarta inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang. Keterangan diatas dibenarkan oleh Rachmad Sugandi yang mengatakan bahwa penduduk asli Kampung Jatinegara Kaum memamg berasal dari Banten bukan dari Betawi. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang digunakan ditempat ini sekarang, yaitu bahasa Sunda bukan bahasa Betawi atau lainnya. Bukti lain adalah adanya nama-nama orang seperti Tubagus (Bagus), Raden dan Ateng. Nama-nama ini berasal dari Banten. Ternyata sampai sekarang nama ini masih ada yang menggunakannya. Jika kita perhatikan sumber-sumber tertulis, terutama dari Babad Purwaka Caruban Nagari, maka memang benar penduduk Jatinegara Kaum berasal dari Banten. Namun bukan berarti orang Banten asli. Dalam babad tersebut disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan Fatahillah, seorang panglima tentara muslim Demak untuk merebut Banten dan Sunda Kelapa yang masih dikuasai Pajajaran. Balatentara yang hendak menyerbu Banten dan Sunda Kelapa adalah tentara gabungan dari Demak dan Cirebon. Pasukan berjumlah 1967 orang. Daerah yang pertama kali diserbu oleh pasukan ini adalah Banten, baru setahun kemudian Sunda Kelapa. Karena penyerbuan Sunda Kelapa berangkat dari Banten, maka penduduk sekarang mengira atau menafsirkan bahwa yang menyerbu Sunda Kelapa adalah Banten. Jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan tentara muslim sekaligus mengubah nama menjadi Jayakarta. Banyak tentara muslim yang menetap di Jayakarta. Kemudian ini berkembang sejalan dengan perkembangan penduduknya. Pada tahun 1619 penduduk Jayakarta ini tersingkir akibat jatuhnya Jayakarta ketangan Kompeni Belanda. Tentara Islam berikut Pangerannya tersingkir dan lari ke Jatinegara kaum. Demikian dugaan penduduk setempat yang sekarang tentang orang-orang Banten sebgai cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum. Bila dikatakan bahwa Pangeran Jayakarta adalah cikal bakalnya penduduk Jatinegara Kaum sekarang, maka terlebih dahulu harus diketahui siapa Pangeran Jayakarta dan siapa pengikutnya. Ada beberapa sebutan untuk Pangeran Jayakarta yaitu : Pangeran Jakarta, Jayakarta Wijayakrama, Jayawikarta, Kawis Adimarta, Sungasara Jayawikarta. Berita Belanda atau Inggris menyebutnya Conick atau Regen van Jacetra atau King of Jacatra. Pangeran Jayakarta Wijayakrama mempunyai seorang ayah yang bernama Tubagus Angke yang menjadi Bupati Jakayakarta yang kedua setelah Fatahillah. Pangeran Jayakarta Wijayakrama adalah seorang anak hasil perkawinan antara Tubagus Angke dengan putrid Maulana Hasanuddin yang bernama Ratu Pembayun. Kalau saja Tubagus Angke asli Banten, maka Pangeran Jayakarta Wijayakrama marupakan hasil perkawinan campur antara Banten dan Cirebon. Setelah dewasa Pangeran Jayakarta menikah dengan seorang putri pengeran Pajajaran (Sunda) yang juga dijuluki Ratu Pembayun. Para pengikut Pangeran Jayakarta adalah tentara-tentara muslim yang setia kepada Pangeran. Tentara ini berasal dari Demak dan Cirebon. Pada saat Jayakarta jatuh, mereka mengungsi ke Jatinegara Kaum dengan membawa serta istri dan anak-anaknya. Dari keterangan diatas mengenai asal Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya, terlihat keterlibatan suku Banten, Cirebon, Sunda (Pajajaran) dan Demak. Bila memang benar Pangeran Jayakarta dan pengikutnya merupakan cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang, tentunya penduduk asli bukan saja dari Banten, melainkan juga dari Cirebon, Sunda dan Demak. Jatinegara yang merupakan “Desa Historis” didukung pula oleh adanya peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut adalah masjid kuno, makam Pangeran Jayakarta Wijayakrama dan 4 buah rumah lama arsitektur khas Betawi. Peninggalan-peninggalan sejarah ini tidak sejaman. Secara kronologis bangunan masjid kuno lebih tua, kemudian makam (nisan) dan yang termuda adalah rumah berarsitektur Betawi. Masjid Jatinegara kaum terletak di wilayah RT 006/RW 03 tepatnya di Jalan Raya Jatinegara Kaum, di tepi timur sungai Sunter. Bengunan ini sudah mengalami perbaikan, penambahan dan pemugaran, sehingga bentuknya yang sekarang tidak sesuai lagi dengan bangunannya yang lama. Bagian yang asli dari bangunan masjid ini adalah atap yang terdapat di sebelah barat. Atap ini berbentuk limas/kerucut, semakin keatas semakin meruncing dengan bagian dasarnya berbentuk bujur sangkar. Atapnya genteng, sedangkan kaso, reng dan tiang penopang terbuat dari kayu. Menurut informasi Rachmad Sugandi dulunya atap ini bertumpang dua seperti lazimnya atap-atap mesjid kuno lainnya di Pulau Jawa. Berdenah bujur sangkar dengan ukuran 10x10 meter. Pintu masuk berukuran lebar yang terdiri dari dua daun pintu. Jendela berukuran besar dengan terali yang terbuat dari kayu batang pohon aren. Melihat dari gaya atapnya, maka masjid ini dapat ditentukan masanya yaitu pada masa abad 18. Akan tetapi menurut keterangan Rachmad Sugandi, masjid ini dibangun pada tahun 1620. Sebab beliau pernah melihat prasasti kayu yang bertuliskan huruf Arab yang menunjukkan angka tahun pendirian 1620. Angka tahun ini bukan berupa candrasengkala ataupun memed. Pada jaman Jepang prasasti ini masih terpampang di atas pintu masuk masjid, tetapi kini sudah tidak ada lagi. Entah hilang kemana, tegas beliau. Komplek makam yang terdiri dari makam Pangeran Jayakarta, keluarga pangeran dan masyarakat biasa terletak di sebelah barat daya dan utara masjid. Khusus makam Pangeran Jayakarta dan keluarganya berlokasi di sebelah barat daya masjid. Makam-makam ini diletakkan pada tempat yang agak tinggi. Bentuk dan hiasan nisan hampir seluruhnya serupa, yakni berbentuk pipih dengan hiasan kerawal, bentuk kijing berundak, sekarang berhiasan marmer. Rumah lama di daerah Jatinegara kaum terdapat 4 buah dengan lokasi yang berlainan. Dua buah rumah lama terdapat di Jalan Raya Jatinegara Kaum dan dua buah lagi terdapat di Jalan Raya Bekasi. Keadaan rumah ini masih baik, hanya sebuah yang sudah rusak dan tidak dihuni, yaitu yang terletak di Jalan Raya Bekasi. Rumah-rumah lama ini berarsitektur Betawi dengan serambi yang besar di bagian depan yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu dan tempat istirahat. Di belakang serambi ini terdapat ruang tidur, ruang makan dan dapur dan pada bagian belakang sekali terdapat kamar dan WC. Bahan bangunan yang digunakan adalah batu bata tegel untuk pondasi dan lantai, kayu dan bambu untuk kerangka atap, genteng untuk penutup atap. Adapun mata pencaharian penduduk Kelurahan Jatinegara Kaum sekarang pada umumnya beraneka ragam. Ada yang menjadi pegawai negri, ABRI, buruh, pengrajin, pedagang, wiraswasta dan petani. Sarana pendidikan yang tersedia di Kampung Jatinegara Kaum masih belum memenuhi syarat dan tidak seimbang bila dilihat dari segi kebutuhan pendidikan khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan ke tingkat SMP, SMA, serta perguruan tinggi masih sangat kurang. Mayoritas penduduk Kampung Jatinegara Kaum adalah beragama Islam. Agama Islam sebuah cirri identitas dari masyarakat kampung daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari selulruh kegiatan kehidupan sehari-hari dalam masyarakatnya, yaitu rukun Iman dan rukun Islam dapat mereka jalankan dengan taat. Bahkan semua peristiwa yang menyangkut tentang bulan-bulan suci agama Islam tidak pernah luput untuk disemarakkan dan dihormati dengan patuh dan penuh keyakinan, seperti bulan Maulid, Nuzulul Qur’an, Idul Adha/Qurban, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, tahun baru Hijriyah/Muharram, Idul Fitri dan sebagainya. Pendidikan tentang agama Islam terhadap anak-anak oleh para orang tua mereka mendapat perhatian yang sangat khusus. Kegiatan keagamaan seperti pengajian dan ceramah-ceramah tentang hukum-hukum akhirat dan keduniaan selalu digalakkan, baik dikalangan orang tua, pemuda, maupun anak-anak. Penduduk Kampung Jatinegara Kaum pada mulanya adalah keturunan dari Pangeran Jayakarta yang berasal dari Banten dan Cirebon, ditambah suku lainnya yaitu orang-orang Sunda dan orang-orang Jawa Tengah (Demak). Generasi selanjutnya adalah keturunan penduduk lokal dan kelompok-kelompok suku bangsa lainnya yang datang dari penjuru daerah di Indonesia. Namun demikian dalam pergaulan sehari-hari, terutama antara anggota keluarga atau kerabat mereka menggunakan bahasa Sunda dengan campuran dialek Banten dan Cirebon. Beberapa istilah kekerabatan yang masih dipergunakan dalam bahasa Sunda, misalnya :

- Ama : panggilan anak kepada ayah

- Emang : saudara laki-laki dari ayah atau ibu

- Bibi : saudara perempuan dari ayah atau ibu

- Uwa : kakak laki-laki atau perempuan dari ayah atau ibu

- Aca : saudara laki-laki yang lebih tua

- Alo : saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu

- Ateng : gelar penghormatan bagi orang yang sudah lanjut usia

- Raden : gelar dari warisan leluhur keraton

Tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakat Kampung Jatinegara Kaum mempunyai perbedaan dengan tradisi-tradisi yang ada di lingkungan kampung-kampung yang bercorak Betawi. Walaupun demikian sudah terlihat pula adanya saling mempengaruhi anatara tradisi yang ada dengan tradisi di sekitarnya yang bercorak Betawi. Bentuk campuran tradisi-tradisi dalam siklus kehidupan warga kempung tersebut masing-masing meliputi :

- Upacara kehamilan 7 bulan (nujuh bulan) bagi seorang calon ibu, yaitu dimandikan oleh seorang dukun dengan air kembang sambil dibacakan Surat Yusuf;

- Mengadzankan dan mengqomatkan seorang bayi yang baru lahir setelahnya dibersihkan;

- Mengubur ari-ari bayi yang telah dibersihkan dan diberi bumbu-bumbu ramuan di depan halaman rumah dengan mempergunakan tempayan kecil, selama satu minggu diterangi oleh sebuah pelita;

- Menyelenggarakan akikah bagi mereka yang mampu, yaitu memotong seekor kambing bagi kelahiran bayi perempuan dan dua ekor kambing bagi kelahiran bayi laki-laki;

- Upacara khitanan bagi anak laki-laki yang sudah berusia 7 – 8 tahun yang sebelumnya terlebih dahulu diarak keliling kampung;

- Upacara pernikahan yang sebelum pelaksanaannya melewati tahap-tahap berikut:

Saat pinangan diutus 4 – 5 orang dari pihak laki-laki kepada gadis yang akan dipinang untuk menanyakan status dari gadis tersebut.

2 atau 3 bulan sebelum pelaksanaan pernikahan kedua belah pihak mengadakan persiapan-persiapan begi pelaksanaan pernikahan mereka.

Saat pernikahan pihak laki-laki membawakan pihak perempuan dengan berbagai bawaan dan pengiringnya. Sebelum pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan, akan dibacakan sebuah syair. Bagi para tamu undangan, makanan nasi dalam piring telah disiapkan, hanya tinggal mengambil lauk pauknya saja. Saat ada kematian salah seorang warganya, penduduk yang lain akan segera memberikan bantuan baik dalam segi materi maupun moril. Saat setelah jenazah dikuburkan, maka pada malam harinya di rumah duka diadakan pembacaan Al-Qur’an dan doa serta sedekahan pada setiap hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 harinya. Untuk hal itu tergantung pada keadaan ekonomi dari keluarga yang terkena musibah tersebut. Kesenian yang digemari oleh penduduk Kampung Jatinegara Kaum ini adalah berupa kesenian gambus, rebana dan ketimpring yang memiliki unsur-unsur religius. Sedangkan kesenian Betawi yang berupa lenong, macam-macam tarian dan cokek kurang diminati karena tidak cocok dengan keyakinan agama mereka.




Referensi: Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993.
Sumber: Diskominfomas

Stasiun Beos Menjelang Peresmian

Stasiun Kereta Api Beos di Jakarta Kota diabadikan tahun 1929 menjelang peresmian. Belanda sendiri menyebutnya BOS kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatchapij (Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Kata BOS oleh lidah Betawi mereka sebut Beos, hingga nama itu terkenal hingga kini. Letaknya di Jalan Pintu Besar Utara/Jalan Jembatan Batu, Jakarta Kota. Stasiun yang merupakan jalur kereta api (KA) dari Batavia-Buitenzorg (Bogor) diresmikan pada 8 Oktober 1929 dengan desain putra Tulung Agung, Jawa Timur, Ir FJL Gijsels. Sebelum stasiun yang terletak di depan gedung Javasche Bank (kini Museum Bank Mandiri), yang dibangun pada 1909 stasiun KA terletak di depan Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Letaknya sekitar 200 meter dari Beos. Ketika diresmikan diadakan upacara besar-besaran, termasuk selamatan dan untuk mengusir roh jahat, juga di keempat sudut bagian muka dan belakang masing-masing diletakkan kepala kerbau. Ada kepercayaan kala itu, yang di-’amini’ pemerintah Hindia Belanda: ‘Tiap membangun gedung, pasar, atau jembatan harus ada ‘tumbal’ berupa kepala kerbau yang dikubur dan kemudian diberi bacaan-bacaan sambil ‘selamatan”. Banyak yang percaya kalau ini tidak dilakukan akan korban jiwa, terutama anak kecil, diculik roh jahat. Konon, kepercayaan berbau takhayul ini masih terjadi hingga kini. Stasiun KA Beos merupakan jalur KA menuju Bekasi dan Karawang. Beos–nama perusahaan KA BOS–merupakan jalur KA pertama dari Batavia-Bogor (Buitenzorg) yang telah beroperasi sejak 1873. Kemudian, jalur KA menuju Bandung, Yogyakarta, lewat Cirebon, Semarang, dan berakhir di Surabaya. Angkutan penumpang dari Beos kemudian meluas ke stasiun Tanjung Priok dan Merak di Banten. Ketika Beos dibangun, jalur kereta api yang telah ada sejak 1870 dipindahkan ke depan Museum Sejarah Jakarta. Stasiun Beos karya putra Belanda kelahiran Tulung Agung merupakan karya besarnya yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen, yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern Barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Kini, Beos ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No 475 tahun 1993. Saat mendatangi stasiun bersejarah ini, sangat disayangkan keadaannya kurang terawat dan tampak sampah berserakan di sana-sini. Dengan berfungsinya kereta api Jabodetabek, tiap hari dari subuh hingga malam Beos didatangi puluhan bahkan ratusan ribu penumpamg yang datang dan pergi ke berbagai penjuru tempat.



Sumber: Alwi Shahab, wartawan Republika

GELANDANGAN

GELANDANGAN



Tunawisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung.

Orang yang mempunyai tradisi tinggal di dalam tenda seperti di Mongolia tidak bisa dikatakan tunawisma. Di negara-negara maju, ada orang yang memutuskan menjadi tunawisma bukan karena kemiskinan atau tidak memiliki uang, tapi ingin bebas dari keluarga atau tanggung jawab. Di Amerika Serikat, industrialis Howard Hughes pernah untuk sementara memutuskan untuk menjadi tuna wisma. Sewaktu Perang Vietnam anak muda Amerika Serikat dengan sengaja berkeinginan jadi tunawisma, karena orang tanpa alamat yang jelas tidak menerima surat undangan wajib militer.

Gelandangan adalah istilah dengan konotasi negatif yang ditujukan kepada orang-orang yang mengalami keadaan tunawisma.

Gelandangan Pertama Kali

Apakah gelandangan itu? Secara etimologi, gelandangan dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal tetap. Dalam sejarah perkembangan masyarakat, mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari lapangan produksi, dan terbuang dari kelasnya.

Di eropa misalnya, ketika memasuki revolusi Industri, gelandangan atau vagrants berawal dari pengusiran para petani dari ladang-ladangnya, kemudian memilih berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan (urbanisasi).

Di Indonesia, untuk pertama kalinya, sebuah laporan kolonial yang menjelaskan mengenai keberadaan para gelandangan, sudah terdokumentasi pada abad 18. Dalam laporan itu disebutkan, antara Semarang dan Jogjakarta terdapat sekitar 35 ribu orang pekerja kasar, yang disebut sebagai batur. Mereka ini, menurut laporan itu, tidak memakai baju, bercelana cawet, tidak punya tempat tinggal tetap, dan juga keluarga tetap.
Setiap hari, para batur ini bekerja secara serabutan, terutama menjadi pengangkut barang di pasar-pasar. Dari pekerjaannya itu, mereka hanya mendapat hasil yang kecil, sehingga seringkali dihabiskan di tempat perjudian. Mereka hidup secara liar, sering terlibat dalam kerusuhan, sehingga dipandang sebagai pengganggu oleh pemerintah kolonial.

Menurut penelusuran sejarah, para batur sudah hadir semenjak perang diponegoro berlangsung, dan menjadi unsur penting dalam perlawanan tersebut. Mereka menjadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan diponegoro di wilayah Jawa Tengah. Pada masa pelaksaan tanam paksa, jumlah batur meningkat dengan pesat di Indonesia, sebab banyak petani yang terusir dari tanahnya, mengalami kegagalan panen, atau terjadi kekeringan panjang. Kelaparan menimpa rakyat dimana-mana, sehingga banyak diantara mereka meninggalkan desanya menuju ke kota, dengan harapan mendapatkan bahan makanan.

Bagi pemerintah kolonial, kehadiran gelandangan ini bukan hanya dipandang sebagai persoalan ekonomi dan social, tapi juga dipandang sebagai persoalan politik yang serius. Pasalnya, dalam gerakan melawan pemerintah kolonial ketika itu, para gelandangan selalu menjadi partisan paling aktif dan berani mati.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah kolonial berupaya menampung mereka dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastuktur, seperti pembuatan jalan raya, pembangunan kantor atau gudang, awak kapal, galangan kapal, dsb.

Ketika krisis ekonomi 1930-an, misalnya, pemerintah kolonial begitu aktif mengintervensi sektor industri agar tidak bangkrut dan melahirkan pengangguran. Selain itu, pemerintah juga berupaya mengatasi persoalan kelaparan. Di Indramayu, misalnya, pemerintah terpaksa mendistribusikan beras dari gudang, guna mencega kelaparan dan pemberontakan.

Problem Gelandangan Sekarang Ini

Sekarang ini, persoalan gelandangan masih menghiasi daftar kegagalan pembangunan ekonomi dan social di Indonesia. Di berbagai kota besar di seantero negeri ini, para gelandangan memadati lampu merah, emperan toko, dan kawasan-kawasan tertentu, sehingga menjadi fenomena tersendiri di dalam kehidupan social perkotaan di Indonesia.

Menurut saya, persoalan gelandangan sekarang ini agak sedikit berbeda dengan fenomena para batur di abad 12, ataupun para vagrants di eropa pada saat revolusi Industri.

Menurut Mike Davis, seorang komentator sosial berkebangsaan merika, persoalan pengangguran bersifat inheren di dalam masyarakat kapitalis. Karena motivasi seorang kapitalis adalah mencari keuntungan, maka dia akan terus menerus berupaya memperluas industri. menurutnya, peningkatan pengangguran dihasilkan oleh perkembangan industri manufaktur, terutama penggunaan teknologi atau teknik produksi yang lebih modern dan menghemat tenaga kerja.

Di sisi lain, menurut Davis, terjadi peningkatan besar dari produksi pertanian akibat penggunaan teknologi modern dalam pertanian. Situasi ini mendorong semakin banyak orang kehilangan pekerjaan, sehingga memilih pindah ke kota dan berusaha mencari pekerjaan.

Hanya saja, menurut davis, ada perbedaan antara pemicu pengangguran di Negara industri maju dengan Negara berkembang. Di Negara kapitalis maju, pengangguran dipicu oleh pengurangan jam kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, akibat penerapan mekanisasi dan teknologi modern di sektor industri. Sementara di negera berkembang, pemicu utama pengangguran adalah gejala de-industrialisasi akibat proyek neoliberal.

Menurut dia, campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam merestrukturisasi perekonomian dunia ketiga, termasuk Indonesia, telah mendorong kehancuran sektor pertanian, menghancurkan pasar domestik, penutupan pabrik, PHK besar-besaran, dan tekanan terhadap upah.

Dampak kebijakan penyesuaan structural juga nampak dalam pertumbuhan jumlah penganggur di Indonesia. Menurut catatan, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia). Nah, angka 70% ini merupakan potensial gelandangan.

Dengan komposisi pengangguran seperti itu, maka tidak heran bila gelandangan juga terus menjamur di berbagai sudut kota di Indonesia. Ini bukan fenomena orang-orang malas, seperti yang difitnahkan sejumlah orang pintar dan beragama di republik ini, melainkan persoalan kegagalan sebuah sistim ekonomi. Siapa yang patut dipersalahkan? Jawabnya: 100% pemerintah.

Jadi, misalnya, bila pemda DKI tetap memaksakan pemberlakukan Perda Tibun, maka dampak sosialnya akan sangat luas. sebab, sasaran utama dari kebijakan ini adalah sektor informal, yang jumlahnya sangat besar.

Terkait mentalitas pejabat di Indonesia, seorang sopir bajaj pernah mengatakan kepada saya; “jangan pernah jadi pejabat di Indonesia, mas,” kata dia, “nanti kehilangan hati dan otak,” ujarnya. Menurut dia, ketika menjadi pejabat di Indonesia hati nurani akan dibuang, sehingga tidak memiliki sensifitas kemanusiaan, sementara ketidaan otak membuat para pejabat itu kehilangan fikiran.

Apa yang dikatakan oleh supir bajaj tadi, mungkin saja ada benarnya. Hanya saja, kita berharap agar MUI, Pemda DKI, dan pejabat di negeri ini lebih manusiawi dalam mengurusi rakyatnya, bukan bersandar pada logika keuntungan semata.





Rudi Hartono, peneliti di Lembaga pembebasan Media dan Ilmus Sosial (LPMIS), redaksi media alternatif, Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.






For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here

Tuesday 23 November 2010

PROGRAM PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, DAN ANAK JALANAN TERPADU MELALUI PENGUATAN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA BERORIENTASI DESA

PROGRAM DESAKU MENANTI


Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]


Arif Rohman
University of New England
School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences 


Cite:
Rohman, Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).

B. Data dan Fakta

Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai berikut :
1.  Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.

2.  Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

3.   Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.

4.  Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.

5.  Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.

C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial

Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang berkembang saat ini:
1.   Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.

Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).

2.   Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.

Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.

Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.

3.   Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.

Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.

Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

D. Program Yang Diajukan

1.   Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).

2.   Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari masyarakat.

3.   Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a.   Gelandangan.
b.   Pengemis.
c.   Anak Jalanan.
d.   pemerintah Daerah.
e.   Lembaga Pendidikan.
f.    Dunia Usaha (CSR).
g.   Masyarakat.

4.   Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.    Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)  Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a)   Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b)   Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

2)  Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3)  Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.

4)  Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

b.    Kegiatan Dukungan
1)  Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2)  Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3)  Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

c.    Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1)  Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2)  Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3)  Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4)  Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.

5)  Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

5.   Tahapan Kegiatan
a.    Penjangkauan
ü Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.

b.    Registrasi dan Identifikasi
ü Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.

c.     Penentuan Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.

d.    d. Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).

e.    Tindak Lanjut
ü Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.

f.     Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.

g.    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.

6.   Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).

7.   Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a.   Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b.   Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c.   Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang.
d.   Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e.   Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f.    Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).

E. Analisis Program

1.   Kekuatan
ü  Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
ü  Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif kecil.
ü  Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.

2.   Kelemahan
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü  Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

3.   Peluang
ü  Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü  Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü  Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.

4.   Ancaman
ü  Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü  Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü  Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.

F. Pembiayaan

Pembiayaan adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

G. Penutup

Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).



Bibliografi:

Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.

Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.

Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.


*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,  yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.

**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.



Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.


Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).




[1] Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.



LAMPIRAN








For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here