Showing posts with label Kota. Show all posts
Showing posts with label Kota. Show all posts

Saturday 19 February 2011

PP 31/1980, PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

PP 31/1980, PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan;
b.bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis, agar mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara Republik Indonesia;
c.berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negera;

3.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1.Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak *19741 sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

2,Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

3.Menteri adalah Menteri Sosial.

4.Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya : a.pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya; b.meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya; c.pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

5.Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

6.Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

BAB II TUJUAN, WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB

Pasal 2

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Pasal 3

(1)Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan *19742 pengemis ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah.

(2)Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 4

(1)Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.

BAB III USAHA PREVENTIF

Pasal 5

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

Pasal 6

Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 5, dilakukan antara lain dengan:

a.Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b.Pembinaan sosial;
c.Bantuan sosial;
d.Perluasan kesempatan kerja;
e.Pemukiman lokal;
f.Peningkatan derajat kesehatan.

Pasal 7

Pelaksanaan usaha-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

BAB IV USAHA REPRESIF

Pasal 8

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan-baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Pasal 9

Usaha represif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi :

a.razia;
b.penampungan sementara untuk diseleksi;
c.pelimpahan. *19743 Pasal 10

(1)Razia dapat dilakukan sewaktu-waktu baik oleh pejabat yang berwenang untuk itu maupun oleh pejabat yang atas perintah Menteri diberi wewenang untuk itu secara terbatas.

(2)Razia yang dilakukan oleh pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas dilaksanakan bersama-sama dengan Kepolisian.

Pasal 11

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi.

Pasal 12

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dimaksudkan untuk menetapkan kwalifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari :

a.dilepaskan dengan syarat ;
b.dimasukkan dalam Panti Sosial
c.dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
d.diserahkan ke Pengadilan;
e.diberikan pelayanan kesehatan.

Pasal 13

Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

BAB V USAHA REHABILITATIF

Pasal 14

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.

Pasal 15

(1)Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan melalui Panti Sosial.

(2)Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menseleksi gelandangan dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial.

Pasal 17

*19744 Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.

Pasal 18

Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif manjadi keadaan yang produktif.

Pasal 19

Dalam melaksanakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pasal 20

Tatacara pelaksanaan penyantunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 21

(1)Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan ketrampilan kerja dalam rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui jalur-jalur transmigrasi swakarya, dan pemukiman lokal.

(2)Tatacara pelaksanaan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Pasal 22

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis.

Pasal 23

Usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 antara lain dilakukan dengan :

a.meningkatkan kesadaran berswadaya;
b.memelihara, memantapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;
c.menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

Pasal 24

Pelaksanaan usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT

*19745 Pasal 25

Organisasi Sosial masyarakat dapat menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis dengan mendirikan Panti Sosial.

Pasal 26

Organisasi Sosial yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mendaftarkan dan memberikan laporan berkala kepada Menteri melalui Instansi dalam lingkungan Departemen Sosial setempat.

Pasal 27

Menteri dapat memberikan bantuan/subsidi kepada Organisasi Sosial Masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 28

Menteri atau pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi sosial masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 29

Pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam bab ini diatur oleh Menteri.

BAB VII KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 30

Segala peraturan perundang-undangan tentang gelandangan dan pengemis yang sudah ada tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 31

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO,SH. *19746

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1980 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

UMUM

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039) menyatakan "Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila". Keadaan tersebut hanya akan tercapai dengan baik apabila keadaan masyarakat dan Negara berada dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyeluruh dan merata. Adalah merupakan kenyataan, bahwa keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat meningkatnya gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota besar. Masalah gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah sosial, yang antara lain sebagai akibat sampingan dari proses pembangunan Nasional, maka penanggulangan perlu dikoordinasikan dalam program-program lintas sektoral, regional, dengan pendekatan yang menyeluruh baik antar profesi maupun antar instansi disertai pertisipasi aktif dari masyarakat (koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi). Maksud Pemerintah mengikut sertakan partisipasi masyarakat, agar dapat ditingkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab, sosial masyarakat, sehingga potensi yang ada dalarn masyarakat dapat berperan untuk menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis. Agar pelaksanaannya tidak menimbulkan kesimpang siuran dan dapat berjalan dengan lancar, maka perlu untuk memberikan penegasan aparat (instansi) yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diserahkan kepada Menteri Sosial. Peraturan Pemerintaah ini menekankan pada sasaran pokok dalam usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis yaitu :

1.Perorangan maupun kelompok masyarakat yang yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

2.Keseluruhan gelandangan dan pengemis, baik yang masih memiliki potensi dan kemampuan untuk direhabilitaskan maupun yang mengalami masalah atau gangguan jasmaniah, rohaniah dan atau sosial yang bersifat kronis.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

*19747 Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebijaksanaan dalam pasal ini dapat berupa pengaturan, pembinaan,. dan pengawasan, sebagai usaha pengendalian terhadap usaha-usaha penanggulangan sehingga dapat mencapai tujuan yang sebaik-baiknya. Ayat (2) Gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial yang berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, penanggulangngannya merupakan sebagian dari tugas pokok Departemen Sosial.

Namun demikian mengingat pergelandangan dan pengemisan disebabkan oleh keadaan yang berbeda-beda, maka agar usaha penanggulangan dapat berhasil, Menteri Sosial perlu dibantu oleh suatu badan koordinasi yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur Departemen /Lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanaan usaha-usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis. Selanjutnya dalam usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis, Departemen Sosial memerlukan kerjasama dengan Instansi Departemen lain, misalnya : a. Pendidikan di bidang mental dengan Departemen Agama; b.Pendidikan di bidang pertanian dengan Departemen Pertanian; c.Pendidikan di bidang ketrampilan dan penempatan /penyaluran dengan Departemen Tenaga Kerja dan Tranmigrasi

Pasal 4

Bahwasanya masalah gelandangan dan pengemis di daerah-daerah mempunyai latar belakang dan situasi yang berbeda. Oleh karena itu dalam usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis, kapada Pemerintah Daerah perlu diberi wewenang kebijaksanaan khusus sehingga dapat menerapkan rencana dan usahanya sesuai dengan situasi dan kondisi daerah.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Dalam rangka Penyuluhan dan Bimbingan Sosial serta Pembinaan Sosial perlu ditekankan masalah kebersihan, ketertiban, sosial, dan keserasian lingkungan.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

a. Cukup jelas b. Cukup jelas c.Pengertian "pelimpahan" dalam hal ini dimaksudkan *19748 karena usaha represif bagi gelandangan dan pengemis ada yang langsung ditandatangani oleh Departemen Sosial, yaitu bagi mereka yang masih memungkinkan untuk direhabilitasikan, tetapi bagi mereka yang diduga melakukan suatu pidana, penyelesaiannya diserahkan ke Pengadilan.

Pasal 10

Ayat (1) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang untuk itu adalah petugas Kepolisian. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas adalah.petugas Satuan Pengamanan (Satpam) Sosial.

Pasal 11

Penampungan sementara dimaksudkan sebagai tindakan sementara sampai selesainya seleksi.

Pasal 12

Pada umumnya timbulnya gelandangan dan pengemis diakibatkan oleh tekanan ekonomis, dengan mempunyai latar belakang permasalahan yang berbeda - beda diantara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sehingga mereka jadi gelandangan dan pengemis itu dilakukan dalam keadaan terpaksa satu dan lain hal untuk mempertahankan hidupnya. Mengingat tujuan utama usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah agar mereka kembali menjadi Warganegara yang berguna bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan tindakan terhadap gelandangan dan pengemis, berupa :

a. dilepaskan dengan syarat;
b.dimasukkan dalam Panti Sosial apabila menurut pertimbangan pejabat yang bersangkutan akan lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya daripada diserahkan ke Pengadilan;
c.dikembalikan ke dalam masyarakat, antara lain kepada orang tua/wali/keluarga, ke tempat asal, dipekerjakan dan sebagainya menurut bakat dan kemampuan masing-masing;
d.penyerahan ke Pengadilan bagi yang diduga melakukan penggelandangan dan pengemis sebagai mata pencahariannya dan atau yang diduga telah berulangkali melakukan perbuatan tersebut, sehingga perlu ada keputusan Hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Penampungan disini dimaksudkan penampungan sementara dalam asrama untuk diberi pendidikan, ketrampilan kerja, dan sebagainya. Pengertian seleksi, dalam pasal ini berada dengan pengertian seleksi di dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Seleksi dalam pasal ini dimaksudkan untuk menentukan terapie sosial dengan bakat dan kemampuannya. Pengertian tidak lanjut adalah pembinaan lanjut ("aftercare") sesudah penyaluran.

Pasal 15

*19749 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukupjelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Swakarya, ialah suatu usaha rehabilitasi sosial melalui pendidikan mental, sosial, dan ketrampilan kerja guna mengembalikan fungsi sosialnya sehingga setelah mereka dikembalikan ke daerah asal mereka dalam waktu relatif singkat dapat menolong diri sendiri secara swakarya untuk berswasembada. Untuk berhasilnya usaha tersebut perlu adanya kerjasama secara terpadu antar instansi Pemerintah dan masyarakat. Pemukiman lokal. ialah suatu usaha rehabilitasi sosial melalui pendidikan mental, sosial, dan ketrampilan kerja guna mengembalikan fungsi sosialnya, sehingga dalam pemukimannya dalam waktu singkat bisa berdiri sendiri. Dalam hal ini perlu adanya suatu usaha secara terpadu antara Departemen Sosial dengan Instansi-Instansi Pemerintah di daerah, sehingga kebutuhan areal pemukiman, tambahan pembiayaan dan lain-lain fasilitas serta pembinaan lebih lanjut akan mendapatkan dukungan secara bersama.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Pengaturan lebih lanjut untuk pelaksanaan usaha tindak lanjut dilakukan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 25

Cukupjelas

Pasal 26

Kewajiban untuk mendaftarkan dan memberikan laporan, dimaksud kan agar usaha-usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh masyarakat dapat diawasi dan diarahkan dengan sebaik-baiknya.

Pasal 27

Pemberian subsidi/bantuan, dimaksudkan untuk memberikan *19750 dorongan agar organisasi sosial masyarakat lebih meningkatkan usahanya.

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas.

Monday 20 December 2010

Desain sebagai Simbol: Menggugat Istana Presiden

Desain sebagai Simbol: Menggugat Istana Presiden


Oleh: Jamaludin Wiartakusumah






DALAM waktu tidak lama lagi bangsa kita akan mengadakan hajatan nasional, yaitu memilih warga negara untuk dijadikan kepala negara dan berkantor di Istana Presiden di kawasan Gambir, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, beberapa puluh meter dari Tugu Monumen Nasional (Monas).
BANGSA kita, entah siapa yang memulai, menyebut dua bangunan di kawasan Gambir yang sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi atau rumah dinas) presiden itu dengan nama mentereng dan gagah: Istana Negara dan Istana Merdeka.
Barangkali tanpa sadar, penamaan itu, di balik kekaguman khas bangsa inferior, secara langsung menjadi ironi bagi bangsa Indonesia. Mari sejenak lupakan “kebanggaan nasional” terhadap kedua gedung megah itu dan cobalah menggunakan cara pandang seperti ini: kedua gedung itu dulunya adalah kediaman atau rumah dinas sekaligus kantor gubernur jenderal pemerintah kolonial Belanda. Para gubernur jenderal itu bersemayam di sana sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Belanda nun di Eropa sana untuk melaksanakan administrasi pemerintahan negara jajahan bernama Hindia Belanda.
Ironisnya, sekarang bangunan itu dipakai sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia, presiden dari negara yang merdeka dan berdaulat. Yang membedakan zaman penjajahan dan kemerdekaan hanya orangnya: presiden sekarang adalah saudara sebangsa se-Tanah Air, sedangkan gubernur jenderal adalah orang asing. Gedungnya tetap itu-itu juga. Sepertinya tak pernah terlintas dalam pikiran nasionalis atau kebangsaan kita pertanyaan seperti ini: Apa betul, kepala negara bangsa sendiri yang adalah lambang negara merdeka berkantor di bekas kediaman dan kantor gembong penjajah negeri ini?
Seolah-olah presiden yang berkantor di sana hanya meneruskan apa yang pernah dilakukan pemerintahan kolonial dulu dalam pengertian negatif: menjalankan pemerintahan dengan kecenderungan untuk menindas rakyat Indonesia, atau bertindak seperti layaknya gubernur jenderal yang cenderung mengisap dan menjajah. Atau paling tidak, memiliki nuansa kolonial dan feodal. Dan, malangnya, kali ini, rakyat yang “dijajah” adalah bangsa sendiri.
Bangunan dan fungsi simbolis
Secara umum, selain mengakomodasi keperluan praktis sesuai penggunaan atau tujuan suatu bangunan didirikan, bangunan didesain dengan karakteristik tertentu sehingga memiliki makna simbolis yang tugasnya merepresentasi fungsi praktis tadi ke dalam bentuk-bentuk desain yang penuh muatan citra visual.
Ketika Indonesia merdeka, Bung Karno menggunakan gedung itu untuk kantor sekaligus kediamannya yang barangkali dengan satu tujuan: memberi tempat yang layak bagi kepala negara yang baru merdeka yang sayangnya hanya sejajar dengan gubernur jenderal. Seharusnya lebih tinggi karena gubernur jenderal hanya pemerintahan satelit alias perpanjangan tangan penguasa pusat yang dalam hal ini Ratu Belanda. Untuk memikirkan kantor dan kediaman presiden Indonesia, waktu itu, sepertinya belum terbayangkan. Yang ada adalah membangun monumen baru yang melambangkan atau mencerminkan perjuangan kemerdekaan bangsa.
Benar, bahwa pemerintahan harus disimbolkan oleh suatu bangunan yang memiliki karakteristik yang di samping gagah dan berwibawa, juga harus monumental. Untuk keperluan itu, bangunan istana presiden (Istana Merdeka dan Istana Negara) sudah tepat. Tetapi, ketika bangunan itu adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial, karakteristik kolonialismenya akan terus menempel pada bangunan oleh fakta sejarah: bangunan itu didirikan semata untuk kepentingan pemerintah kolonial dalam rangka mengatur negeri jajahan. Arsitek dan para gubernur jenderal Belanda waktu itu pastinya tidak pernah berpikir bahwa suatu saat gedung ini akan menjadi lambang Pemerintah Indonesia yang berdaulat adil dan makmur, tapi semata untuk keperluan merepresentasikan pemerintahan kolonialisme Belanda yang berkuasa terhadap tanah jajahannya, melambangkan kejayaan kerajaan Belanda, dan menunjukkan betapa bangsa Belanda adalah bangsa superior.
Barangkali dari cerita di atas bisa dipahami-dengan pikiran suudzon atau ultranasionalis super sayap kanan-pantas saja kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat di sana belum banyak artinya dalam upaya menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya.
Rakyat tidak benar-benar merdeka. Bilapun merdeka, kemerdekaan itu dipahami sebagai hal yang rada semena-mena. Sekali Merdeka, Merdeka Sekali! Bila itu benar, jangan-jangan semua kekusutan yang diderita bangsa ini gara-gara salah memilih simbol itu: presiden masih berkantor dan berumah dinas di bangunan buatan pemerintah kolonial.
Tapi, ada yang menarik. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dibangun kantor presiden di sekitar Istana Negara yang diberi nama Bina Graha dengan langgam arsitektur modern tapi berinterior dengan ciri lokal, misalnya, dengan meja kerja Pak Harto yang penuh ukiran model Jepara. Ia memiliki peran simbolik: pemerintah bermaksud membangun negara dan bangsa dengan cara modern menuju masyarakat Indonesia modern, tapi dengan isi nasionalisme Indonesia. Sayang sekali faham Modernisme ini anti sejarah, anti masa lalu, dan hanya mengajarkan makna tunggal dan keseragaman, sementara Indonesia terdiri dari ratusan budaya suku-bangsa yang hingar bingar dengan sejarah masing-masing yang beragam dan panjang.
Nama dan kantor presiden: istana?
Orang Amerika-dalam kasus ini-seperti orang Sunda: memberi julukan pada gedung paling penting di masing-masing wilayahnya tidak dengan bahasa mentereng, cukup dengan bahasa sehari-hari yang akrab dan sederhana. Orang Amerika cukup dengan White House, untuk menunjuk rumah dinas merangkap kantor presidennya hanya karena bangunan seluruhnya bercat putih, tidak dengan nama White Palace, misalnya. sementara Kantor Gubernur Jawa Barat cukup dengan Gedung Sate, padahal semua orang tahu di gedung itu tidak ada dan mungkin tidak akan diizinkan orang jualan sate, paling di seberang jalannya. Terlepas dari bahwa kantor itu mungkin sekarang menjadi tempat menyate anggaran yang aslinya untuk kesejahteraan rakyat Jabar, julukan itu, menurut kuncen Bandung, Haryoto Kunto (1996), berasal dari ciri khas gedung yang dipuncaknya terdapat enam kotak besi berwarna hitam yang tersusun pada sebatang besi penangkal petir. Ya, mirip sate. Konon kotak besi hitam itu melambangkan jumlah dana yang dipakai pemerintah kolonial Belanda untuk membangun gedung itu. Bila satu kotak melambangkan satu juta gulden, berarti biaya pembangunan Gedung Sate menghabiskan enam juta gulden. Dari simbol sate itu saja kita memahami bahwa bangunan karya arsitek Ir J Gerber yang dibangun pada tahun 1920 itu dibangun oleh dan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka memperkokoh posisinya sebagai penjajah terhadap Ibu Pertiwi. Istana Merdeka, Istana Negara di Jakarta, Istana Bogor, dan Gedug Sate serta gedung-gedung yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tetap merupakan bangunan kolonial meskipun dihuni atau dipakai oleh bangsa sendiri. Mereka tidak akan pernah menjadi lambang kemerdekaan bangsa.
Istana Negara, dengan demikian, selamanya akan berlaku sebagai lambang kolonialisasi terhadap bumi pertiwi-bukan dan maaf-maaf saja-ia tidak akan pernah berhasil untuk dipakai sebagai simbol kemerdekaan bangsa di Nusantara. Monumen Nasional (Monas) yang dibangun atas gagasan cemerlang Bung Karno-untuk membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa merdeka-sepertinya tidak terlalu berhasil untuk hadir sebagai simbol yang mewakili perjuangan kemerdekaan bangsa karena beberapa ratus meter darinya ada gedung bekas kediaman dan kantor gubernur jenderal yang ironisnya sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi) kepala negara. Istana gubernur jenderal itu seperti meredam kewibawaan (untuk tidak mengatakan melecehkan) Monas. Menjadi ironi yang tiada habisnya. Seperti kondisi sekarang, kedaulatan bangsa yang selalu dirongrong oleh badan-badan dunia. Seperti kondisi RI yang takut tidak bisa hidup sehingga tiap tahun minta utang pada IMF, CGI, atau lembaga dunia lain dan tidak marah ketika negara tetangga memberi kritikan yang berlebihan dan cenderung sok menggurui yang wilayahnya-bila dibanding Indonesia-hanya seluas sebuah kabupaten.
Nama Istana Merdeka menjadi ironi terhadap diri bangsa Indonesia dan gedung itu sendiri: yang merdeka adalah gedung itu sendiri, bukan rakyat Indonesia. Gedung itu tetap tegak dan malah dipelihara dengan rapi melebihi barak tentara penjaga negara serta berdiri gagah di tengah bangsa yang dulu dijajah penghuninya. Yang dulu diperjuangkan ternyata hanyalah mengusir orang bule dari negeri ini, tidak serta merta menghancurkan atau mengurangi citra kolonial yang menempel pada begitu banyak artefak peninggalan kolonialisme. Barangkali tidak menjadi masalah penting dan mendasar bila gedung-gedung warisan Belanda kita pakai untuk rumah tinggal orang biasa atau kantor lain, tapi bila untuk kantor kepala negara, rasanya tidak cukup membuat bangsa ini tegak dengan status kemerdekaannya yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan 45.
Kita berani merebut kemerdekaan, kita berani merebut gedung. Tapi kita belum berani menciptakan ikon baru yang maha penting bagi kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya: kantor dan rumah dinas kepala negara dan kepala provinsi yang mencerminkan sebuah karakter bangsa besar bernama Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya luhur termasuk dalam seni bangunan.
Alangkah eloknya jika seorang Presiden RI berkantor dalam gedung dengan langgam bangunan yang dimiliki oleh bangsanya sendiri. Supaya kesan pusat yang berlambangkan bangunan kolonial seperti sekarang, tidak lagi memberi kesan “menjajah” daerah yang umumnya hadir dalam bentuk langgam arsitektur lokal yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Terlepas dari kaidah kepantasan menurut kaca mata Barat, terlepas dari intelektualitas estetika klasik hasil adopsi dari Barat yang nyata-nyata “menindas” dan “meminggirkan” langgam bangunan warisan leluhur bangsa yang sesungguhnya merupakan jati diri atau identitas bangsa yang merdeka. Untuk bangunan kantor presiden, begitu banyak langgam yang dimiliki tiap daerah di Nusantara, tinggal memilih atau mencampurnya kalau perlu, atau memilih salah satu berdasar karakter yang paling mewakili seperti terpilihnya bahasa Melayu Riau yang lalu dijadikan bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Kita bisa, kalau mau!



Jamaludin Wiartakusumah Alumnus Magister Desain ITB Dosen Jurusan Desain Itenas






Sumber: Kompas, Minggu 18 Mei 2003

Bangunan Tua di Menteng Merana

Bangunan Tua di Menteng Merana



BANGUNAN tua eks Kantor Imigrasi Jakarta Pusat itu betul-betul merana. Dinding-dindingnya berlubang di sana-sini, catnya mengelupas, dan tumbuhan liar terlihat di sekeliling gedung yang dibangun arsitek PAJ Moojen pada tahun 1913.
“Mengapa pemerintah seolah cuek dengan bangunan bersejarah ini, ya,” ujar Sisy, peserta kegiatan “Plesiran Tempo Doeloe”, sambil menggelengkan kepala. Kegiatan yang diselenggarakan Sahabat Museum, Minggu (28/9), itu memang membuat hampir seluruh peserta tercenung. Mereka mengagumi sekaligus memprihatinkan kondisi sebagian bangunan tua di kawasan Menteng yang tidak dipelihara, bahkan ada yang telah rata dengan tanah.
Gedung seluas 3.270 meter persegi di Jalan Teuku Umar itu awalnya digunakan untuk pameran dan pertunjukan seni. Tahun 1936, di sana pernah dipamerkan lukisan Pablo Picasso dan Vincent van Gogh.
Tahun 1974, gedung yang merupakan “pintu masuk” Gondangdia itu difungsikan untuk Kantor Imigrasi Jakarta Pusat. Setelah ditukar guling, dan Kantor Imigrasi pindah ke Kemayoran, bangunan yang pernah digunakan untuk syuting film Tusuk Jelangkung itu dimiliki swasta.
Menurut Darmawan, aktivis dari Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu), sejak saat itulah bangunan mulai dibiarkan tidak terawat. Setelah dibeli Pemprov DKI Jakarta, bangunan itu bahkan dibiarkan begitu saja. “Pernah ada penjarahan secara massive. Dulu ada tangga yang sangat bagus, tapi dicopot. Itu tidak mungkin dilakukan dalam sehari. Namun, entah mengapa pelakunya tidak tertangkap,” katanya.
Bulan Juni lalu, Walibatu bekerja sama dengan Pemprov DKI mengadakan sayembara “Gagasan Fungsi dan Pengelolaan Gedung Eks Kantor Imigrasi”. Pemenangnya pun sudah ada. Namun, hingga sekarang belum terlihat tanda- tanda renovasi.
PARA peserta kembali berjalan menyusuri beberapa ruas jalan di daerah Menteng. Pikiran melayang, membayangkan suasana tempo dulu. Kawasan permukiman terbaik di Jakarta dengan pepohonan dan taman-taman asri nan teduh.
Andi, seorang peserta, menunjukkan foto bangunan eks apotek di Jalan Cikini Raya, yang diambil tahun 1939. Ternyata bangunan itu sudah lenyap. “Rupanya bangunan itu telah dibongkar dan yang ada sekarang adalah bangunan baru yang tampak belum selesai,” katanya.
“Kabarnya, bangunan itu akan dijadikan pusat perbelanjaan atau semacam itu,” ujar seorang pemandu dari Sahabat Museum.
Bangunan eks Asrama Kristen Wanita di Jalan Menteng Raya juga terlihat tidak terpelihara. Rumput liar tumbuh subur. Padahal, tempat itu masih dipakai, antara lain untuk kegiatan misa.
Menurut Darmawan, bangunan tua di Menteng kini hanya tersisa 40 persen. “Padahal, Menteng bisa dilihat juga sebagai suatu cara hidup. Ada ruang di antara rumah satu dengan yang lain sehingga sirkulasi udara terjaga. Tahun 1970-an, Menteng dicanangkan sebagai kawasan pemugaran oleh Gubernur Ali Sadikin. Namun, banyak orang memugar bangunan dengan tidak pas, bahkan ada yang mengubah total,” katanya.
Alhasil, kawasan permukiman kini malah berubah menjadi kawasan bisnis dan pertokoan.
Saat ini sebenarnya Pemkot Jakarta Pusat sedang giat melakukan razia izin mendirikan bangunan (IMB). Bangunan yang tidak sesuai IMB harus dibongkar. Belakangan, sudah dua bangunan dibongkar paksa oleh petugas karena dianggap melanggar IMB. Akankah langkah itu terganjal oleh tawaran komersialisasi?


Harian kompas, Senin, 29 September 2003

Menteng yang Asri Itu Telah Hilang

Menteng yang Asri Itu Telah Hilang





TAMAN SUROPATI – Foto udara pada tahun 1939 memperlihatkan daerah di sekitar Gedung Bappenas (Gedung Loge). Mesjid Sunda Kelapa yang ada sekarang (di belakang Bappenas) dulu merupakan bagian Taman Suropati. Foto ini reproduksi dari buku “Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia” karya Adolf Heuken dan Grace Pamungkas.
“KAMI tinggal di Menteng sejak akhir tahun 1960-an. Pada waktu itu, jalan-jalan utama pun banyak berlobang, lampu jalanan sebagian rusak. Jalan Cokroaminoto belum ramai, karena berakhir di Kali Banjir dan Bioskop Menteng termasuk bioskop nomor sari di Jakarta.
Kavaleri bermarkas di Jalan Gereja Teresia dan satuan tentara lainnya di Jalan Mangunsarkoro. Waktu itu, Jenderal Soeharto tinggal di bundaran Jalan H Agus Salim dan Jalan Cendana masih sepi.
Mesjid Sunda Kalapa belum dibangun dan pengunjung Gereja HKBP belum memadati Jalan Jambu. Jalan-jalan di sekitar Gereja Teresia dan Sarinah sering dilanda banjir besar, sehingga banyak mobil mogok.
Menteng -selain bulevar Jalan Imam Bonjol-Diponegoro- merupakan kawasan pemukiman tenang. Orang-orang sangat nyaman duduk di teras rumah pada sore dan malam hari sambil memandangi jalan melalui pagar hijau yang rendah, membaca koran, atau menerima tamu.
Toko Li baru berubah menjadi Toserba Gelael pertama, dan lapangan Persidja belum dikelilingi tembok tinggi. Menteng ini telah hilang….”
Demikianlah sebuah cuplikan pengalaman dari seorang pengamat sekaligus sejarawan, Adolf Heuken, yang dicurahkan dalam bukunya yang diberi Judul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia.
Kegalauan hati dan kecemasan Heuken itu timbul setelah melihat perkembangan Menteng yang semakin hari semakin tidak terkendali.
Menteng yang dulunya didesain sedemikian rupa sebagai kota taman sudah berubah. Banyak bangunan cagar budaya yang berubah bentuk, bahkan hancur. Juga bangunan tempat tinggal yang berubah bentuk.
Hal ini menggelisahkan mengingat Pemprov DKI Jakarta sendiri mengakui bahwa di Menteng banyak terdapat bangunan bersejarah, bangunan dengan nilai arsitektur sangat baik, serta lingkungan yang sudah teratur dan serasi. Ketika Jakarta belum bisa menata kawasan lain, kawasan yang sudah asri seperti Menteng justru semakin rusak.
Rancangan
Kawasan Menteng mulai dirancang dan dibangun secara lebih modern oleh pemerintahan Belanda tahun 1910. Seorang arsitek bernama PAJ Moojen yang membuka suatu biro teknis dan mendirikan Kunstkring di Bandung (1904) dan Batavia. Pada tahun 1909, ia merancang kantor pusat Nillmij di Jalan Juanda, gedung yang sekarang dipakai oleh asuransi Jiwasraya. Pada gedung inilah, untuk pertama kalinya digunakan kontstruksi beton bertulang di Jakarta.
Moojen merupakan anggota Dewan Kotapraja dan Commisie van toesicht op het beheer van het land Menteng (Komisi Pengawasan dan Pengurusan Tanah Menteng) atau Kondangdia-commissie. Komisi inilah yang bertugas untuk merencanakan dan membangun Nieuw-Gondangdia, nama semula untuk Menteng.
Pada tahun 1910, Moojen merancang pola jaringan jalan untuk Nieuw-Gondangdia. Pembangunan pola jaringan jalan ini menandakan pertama kalinya di Indonesia, perluasan sebuah kota dilakukan dengan perencanaan yang matang. Menteng juga dijadikan model pembangunan bagi wilayah-wilayah pemukiman baru di kota-kota lain di Pulau Jawa seperti Surabaya, dan Semarang. Nieuw-Godangdia dirancang sebagai kota taman (tuinstad) dengan luas tanah melebihi 500 hektare.
Perkembangan Menteng juga tidak bisa dilepaskan dari seorang arsitek bernama Ir FJL Ghijsels. Arsitek ini lahir di Tulung Agung, Jawa Timur 1882.
Tahun 1916, ia mendirikan biro arsitek sekligus kontraktor yang dinamakan AIA (Algemeen Ingenieurs- en Architecten Bureau). Tahun 1918, ia ikut merancang jalan dan rumah di Menteng. Pada tahun 1925, perusahaannya membangun antara lain Logegebouw, kini gedung Bappenas di Taman Suropati. Ghijsels jugalah yang merancang Gereja GPIB Paulus yang berada tepat di samping gedung Bappenas.
Padas era tersebut, mulai dikembangkan juga metode pembangunan Blokkenbouw yang artinya membangun satu blok atau deretan rumah, dimana satu bahkan beberapa jalan yang sejajar dirancang sebagai satu kesatuan yang serasi.
Keseragaman ini dirancang baik-baik sehingga menciptakan suasana rapi dan asri pada beberapa jalan di Menteng, misalnya Jalan Kusumaatmaja.
Namun sayang, suasana harmonis ini sejak tahun 1970-an dirusak dan terus diabaikan oleh orang yang tidak peduli akan keindahan kota Jakarta dan dengan mudah mendapat persetujuan Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K).
Keadaan ini terus berlanjut sampai sekarang. Rumah-rumah dibangun sampai perbatasan dengan kapling-kapling tetangga sehingga rumah-rumah induk tidak lagi berdiri lepas lepas dari rumah tetangga. Cara inilah yang mengubah karakter “Kota Taman” secara total.
Kondisi ini lebih diperparah lagi sejak 1960-an dimana urban planning Jakarta tak pernah menyeluruh dan bersifat parsial dan tambah sulam. Kawasan Menteng yang semula berada di daerah pinggiran, kini berubah menjadi daerah pusat yang dilewati lalu lintas padat.
Tingginya frekwensi lalu lintas menyebabkan banyaknya pemukim pindah ke daerah lain dan digantikan dengan bisnis. Kondisi trotoar juga dilalaikan dan tidak dipedulikan oleh warga Menteng sendiri, karena sebagian besar memakai mobil pribadi. ”Ini semua tidak hanya mengubah Menteng, melainkan merusaknya,” ujar Heuken.
Mereka yang gelisah dan prihatin tak hanya para pengamat atau mereka yang peduli pada tata kota. Beberapa penghuni lama di Jalan Lembang, Menteng, seperti Siti Oemijati Djajanegara dan Siti Utamini, kesal dengan kondisi Menteng yang telah banyak berubah.
“Dulu tahun 1943, pohon-pohon asam daunnya hijau merunduk membuat suasana di sana sangat sejuk, orang-orang juga bebas berjalan kaki di sana,” kata Oemijati menunjuk Situ Lembang.
Asri, nyaman, dan tenang, membuat Taman Situ Lembang tidak pernah kehilangan pengunjung. Kondisi itu mulai berubah ketika tempat itu dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta dan dibuka sebagai tempat pemancingan. Diperparah dengan kehadiran pedagang makanan yang berdagang di kawasan Situ Lembang.
Bukan hanya perubahan lingkungan yang terjadi di Jalan Lembang, tetapi juga beberapa bangunan mulai berubah bentuk. Bahkan, ada yang jelas-jelas telah mengubah bentuk asli dari bangunan itu dan membuat menjadi sebuah bangunan modern, tanpa menyisahkan karakteristik bangunan lama.
Sebenarnya, banyak perubahan bentuk rumah di Jalan Lembang itu, karena pemilik bangunan lama sudah menjual ke penghuni baru. Sementara penghuni yang baru itu, tidak mau memelihara ciri khas bangunan tua, dengan mendirikan bangunan modern tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada. Anehnya aparat Pemprov DKI pun seolah menutup mata.
Menjual Rumah
Mempertahankan kawasan Menteng memang tidak mudah. Para pemilik rumah berarsitektur asli itu kebanyakan adalah pensiunan pegawai negeri. Untuk merawat bangunan tua membutuhkan biaya yang tidak sedikit ditambah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kawasan Menteng yang tak kecil. Siti Utamini, pemilik rumah di Jalan Lembang 33 mencontohkan, PBB rumahnya yang seluas 760 m2 sebesar Rp 5 juta per tahun.
Karena itu tidak sedikit para pemilik yang menjual rumahnya. Sementara penghuni baru -yang tentunya berduit- datang dengan membawa model rumah model sekarang. “Padahal, setelah mereka mengubah bentuk rumah mereka tidak tinggal di sini,” kata Siti.
Para pensiunan yang setia bertahan dan mempertahankan bangunan asli itu kemudian menyiasatinya dengan menyewakan sebagian bangunan.
“Saya kos bersama dengan tiga keluarga. Rumah ini masih dengan arsitektur asli sehingga kita di dalam rumah terasa nyaman, adem,” kata Heru (35), seorang penghuni di kawasan Menteng.
Adolf Heuken, yang juga tinggal di Menteng, mensinyalir sekitar 70 persen rumah, taman, jalan, di Menteng telah berubah dan menyimpang dari rencana semula.
Menurut dia, Menteng dari sejarahnya dirancang menjadi sebuah pilot project pembangunan kota berwawasan lingkungan pertama di Indonesia. Tapi karena keserakahan uang dan tidaknya ada pengawasan, membuat kawasan ini pembangunannya tidak terkendali.
Menurut Heuken, langkah Pemerintah Daerah (kini Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta dan DPRD DKI yang menelorkan Peraturan Daerah No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, tidak efektif karena hanya sebagai macam kertas dan tidak dilaksanakan. ”Pokoknya ada duit, bangun. Mau bangun apa saja silakan,” tutur Heuken.
Pelanggaran
Seperti diberitakan, renovasi rumah milik Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad di Jalan Suwiryo 39. Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) DKI Jakarta telah menyegel dan menghentikan pembangunan rumah yang hampir rampung itu.
Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah No D/IV/6098/d/33/1975 soal Penataan Kawasan Menteng disebutkan, rumah-rumah di Menteng dibagi atas empat golongan.
Untuk golongan A, bangunan ini tidak boleh ditambah, diubah, dibongkar, atau dibangun baru. Untuk golongan B, bangunan di bagian badan utama, struktur utama, atap, dan pola tampak muka tidak boleh diubah alias harus sesuai bentuk asli.Kemudian golongan C, bangunan jenis ini beloh diubah atau dibangun baru tetapi dalam perubahan itu harus disesuaikan dengan pola bangunan sekitarnya. Dan golongan D, bangunan yang masuk dalam kategori ini boleh dibongkar sesuai dengan keinginan pemilik asal dibangun seusia perencanaan kota DKI Jakarta.
Sedangkan dasar pertimbangan masing-masing golongan berdasarkan pada nilai historis, umur, keaslian, kelangkaan, dan arsitektur bangunan. Rumah disebut masuk dalam kategori A didasarkan pada tingginya nilai historis dan keaslian tempat.
Kategori B, didasarkan atas pertimbangan keaslian, kelangkaan landmark, arsitektur, dan umur. Sedangkan pemukiman golongan C didasarkan pada umur dan arsitektur bangunan.
Karena Menteng masuk ke dalam lingkungan pemugaran bersama dua daerah lainnya yakni Kebayoran Baru dan Kota, bangunan-bangunan yang berdiri dilindungi sesuai ketentuan di atas. “Rumah Pak Fadel itu golongan B. Kesalahannya, semua bagian bangunan dirombak, padahal harus ada beberapa bagian yang dipertahankan keasliannya,” ujar Djumhana, Kepala Dinas P2B DKI Jakarta.




Sumber: Harian Suara Pembaruan, 21 Oktober 2003.

Pemkot Mesti Membantu Pemeliharaan

Pemkot Mesti Membantu Pemeliharaan




BANDUNG, (PR).- Sekira 400 bangunan bersejarah di Kota Bandung, terutama yang dimiliki masyarakat kurang mendapat perhatian dari pemerintah kota (pemkot). Idealnya Pemkot Bandung juga memerhatikan hak-hak masyarakat pemiliknya, misalnya membantu dalam pemeliharaan bangunan.
“Di luar negeri, selain masyarakat dilarang membongkar bangunan bersejarah, pemerintah juga memberikan biaya pemeliharaan. Di Bandung baru sebatas larangan pembongkaran tapi biaya pemeliharaannya belum diperhatikan,” komentar Kepala Dinas Bangunan Kota Bandung Ubad Bachtiar kepada wartawan, Senin (15/3).
Menurut dia, bentuk perhatian Pemkot Bandung bisa pula berupa pembebasan pajak bangunan, dsb. Hanya saja, belum ada peraturan daerah atau dasar hukum yang mengatur soal itu. Dengan demikian pemeliharaan bangunan bersejarah milik masyarakat diserahkan kepada pemiliknya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah mendiskusikan soal pemeliharaan bangunan bersejarah dengan Bandung Heritage, sehingga hak dan kewajiban pemilik bangunan bersejarah betul-betul diperhatikan.
Ubad membenarkan, selama 10 tahun terakhir jumlah bangunan bersejarah di Kota Bandung sudah berkurang dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. “Ya ada bangunan bersejarah yang tiba-tiba sudah rata dengan tanah. Ada pula bangunan bersejarah di Jln. Riau yang dibongkar, akhirnya Dinas Bangunan dan Bandung Heritage merenovasi bangunan ini disesuaikan lagi dengan aslinya. Memang untuk mengubah struktur bangunan bersejarah, harus ada izin dari Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD),” jelas Ubad.
Mengenai Toko Dezon sebagai salah satu bangunan bersejarah yang akan dipakai menampung pedagang kaki lima, Ubad menyatakan, boleh saja sepanjang tidak mengubah art deco bangunan tersebut. Lagi pula penataan yang dilakukan cuma interior bagian dalam gedung saja.
Tentang kemungkinan gedung bersejarah itu menjadi kumuh, Ubad berpendapat, konsepnya lebih baik berbuat daripada tidak melakukan apa-apa. Minimal ada itikad baik untuk menyejahterakan masyarakat karena gedung itu tidak dipakai.
Aset daerah
Sementara itu, Kepala Dinas Tata Kota Bandung Taufik Rachman membenarkan, Pemkot Bandung belum mampu memberikan kontribusi kepada pemilik gedung untuk memelihara bangunan bersejarah miliknya.
“Untuk pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah meskipun belum ada perdanya, prinsipnya pertahankankanlah aset-aset daerah yang berada di Kota Bandung. Sebab, bangunan-bangunan bersejarah juga merupakan kekayaan budaya,” ujar Taufik.
Untuk ke depan, Taufik mengharapkan bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung seperti di negara-negara maju, makin antik dan tua makin mahal harganya. Masyarakat seharusnya menyadari bangunan bersejarah punya nilai yang tidak dimiliki bangunan lain.
Soal Toko Dezon yang akan dipakai tempat penampungan PKL, Taufik mengatakan, itu bukan masalah sepanjang bagian luar bangunan tidak mengalami perubahan. Toko tersebut juga tidak berubah fungsi, masih tetap komersial.
“Di bagian dalam Dezon, kan hanya disekat-sekat saja untuk mengatasi persoalan PKL di tujuh titik. Pengaturannya juga cukup bagus, yaitu dikelompokkan untuk pedagang baju, pedagang asesoris, dsb., dan tidak ada pedagang basahan. Konsepnya cukup memerhatikan kebersihan,” tutur Taufik.



Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 17 Maret 2004

Aturan Sudah Jelas, Sanksi tak Ada

Aturan Sudah Jelas, Sanksi tak Ada



KESADARAN masyarakat, anggota dewan , dan pemerintah terhadap pentingnya bangunan bersejarah atau bangunan yang berada dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB) masih lemah. Bahkan, dapat dikatakan belum mempunyai kepedulian. Hal ini tercermin dari minimnya aturan yang berlaku dan penegakan hukum bagi pelanggar masalahan ini.
Sebenarnya, menurut Francis B. Affandi, Direktur Eksekutif Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage), yang juga Ketua ICOMOS Indonesia, bangunan bersejarah seperti tertera dalam UU No.5 Tahun 1992, yaitu bangunan yang sudah berumur 50 tahun atau lebih, yang kekunoannya (antiquity) dan keasliannya telah teruji. Demikian pula ditinjau dari segi estetika dan seni bangunan, memiliki “mutu” cukup tinggi (master piece) dan mewakili gaya corak-bentuk seni arsitektur yang langka. Bangunan atau monumen tersebut tentu bisa mewakili zamannya dan juga mempunyai arti dan kaitan sejarah dengan Kota Bandung, maupun peristiwa nasional/internasional.
Sedang kategori bangunan BCB itu, dilihat dari segi estetika memiliki sesuatu yang khusus dalam sejarah perkembangan atau style dalam kurun waktu tertentu, sedangkan dari segi tipikal bangunan merupakan dapat mewakili dari kelas atau type bangunan tertentu. Selain itu, termasuk dalam BCB juga dapat dikategorikan bangunan langka, atau peninggalan terakhir dari gaya yang mewakili zamannya.
Peranan sejarah dalam kaitannya dengan bangunan, yaitu tempat terjadi peristiwa bersejarah, sebagai ikatan simbolis antara peristiwa yang lalu dengan peristiwa sekarang. Biasanya terlihat dari sifat bangunan yang agak menonjol ketika pertama dibuat, dan berukuran besar serta tinggi.
Sedangkan aturan yang melindungi keberadaan gedung bersejarah, itu pun sudah jelas, yaitu tertera dalam UU RI No.5 Tahun 1992 Tentang BCB. Juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 mengenai BCB. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 087/P/1993 Tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 062/U/1995 Tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 063/U/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 064/U/1995 Tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs dan Indonesia Charta mengenai inventarisasi bangunan bersejarah, maupun oral history yang dilakukan lewat penelusuran sejarah, seperti Bandung Lautan Api dan sebagainya.
“Hanya persoalannya aturan yang melindungi keberadaan gedung bersejarah ini masih tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh pemerintah daerah. Juga tidak pernah tersosialisasikan dengan baik, sehingga masyarakat sama sekali tidak memahaminya dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Jangankan masyarakat, pemerintah daerah sendiri pun masih kurang peduli. Maka tidak aneh, kita sering mendengar terjadinya peruntuhan gedung bersejarah, sedangkan pemerintah tidak berbuat apa pun,” paparnya.
Menurut Francis, kalau terjadi pelanggaran atas perusakan bangunan bersejarah, itu tertera dalam UU No.5 Tahun 1992 pada Ban VIII Tentang Ketentuan Pidana, yang berbunyi, Barang Siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
“Sayangnya di Indonesia belum pernah ada pengadilan mengenai ini dan belum pernah ada orang yang melanggar atau memugar atau membongkar bangunan bersejarah yang dikenakan sanksi pidana, ungkapnya.
Francis contoh kasus pembongkaran Batu Tulis di Bogor. Hanya cukup dengan permohonan maaf saja, kasus tersebut dianggap selesai, tanpa ada tindak lanjut atau class action. Menyedihkan memang, tapi kami dari Bandung Heritage terus mengingatkan, baik itu kepada pemerintah maupun masyarakat.
Menurut Francis, Pemkot Bandung sampai itu nampak masih merahasiakan perkara bangunan bersejarah, sehingga apabila terjadi pembongkaran Bandung Heritage tidak pernah mengetahuinya. Biasanya pemkot memberitahu setelah bangunan sudah rata dengan tanah.
“Kelemahan lain yang sulit untuk diatasi di Kota Bandung ini, adalah tidak adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Benda Cagar Budaya atau Bangunan bersejarah. Anggota dewan yang terhormat pun tidak pernah perduli terhadap permasalahan bangunan bersejarah atau bangunan BCB. Menyedihkan,” keluhnya.


Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 23 Maret 2004

Memudarnya Wajah “Eropa di Surga Tropis”

Memudarnya Wajah “Eropa di Surga Tropis”




SEJARAH tua Kota Bandung dengan segala keindahan dan “keromantisannya” adalah sebuah masa yang amat menarik untuk ditelusuri kembali. Anda yang pernah membaca dua buku masterpiece karya “sang kuncen Bandung” (Alm.) Haryoto Kunto –Semerbak Bunga di Bandung Raya dan Bandoeng Tempo Doeloe– niscaya bisa merasakan daya magnetis serta aura romantisme yang muncul dari penggalan sejarah yang ditulis Harry Kunto itu.
GEDUNG Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung, tempat lahirnya sejumlah peristiwa penting dunia.*AGUS ARDJITO/”PR”
Persoalannya, tidak semua pihak memandang semua modal keindahan kota yang telah dimiliki itu sebagai sebuah produk sosio-kultural yang harus dipelihara.
Kapitalisme ekonomi dengan segenap “dogma” keuntungan finansial secepat mungkin, seringkali memang tidak pernah seiring dengan gerakan humanisme kultural. Padahal, sejatinya di sana masih tersisa ruang yang tidak saling menegasikan satu sama lain.
Memang, dari teknis penulisan buku itu amat enak dibaca, mengalir dalam kebersahajaan tuturan bahasa. Namun, justru semakin menjadi daya pikat dua buku itu. Akan tetapi, bobot kemenarikan itu senyatanya semakin mengental karena secara substansial apa yang disajikan buku itu sudah memberi daya pikat tersendiri. Romantisme Bandung tempo doeloe adalah daya pikat sejati dari apapun tulisan yang menjadikannya sebagai objek.
Apalagi, jika kemudian paparan sejarah (historiografi) Kota Bandung lama itu dikomparasikan dengan situasi Bandung kontemporer. Sungguh, sebuah kerinduan bakal mengendap membayangkan imaji Bandung yang masih terbebas dari hiruk-pikuk sosok Kota “modern” dengan segudang persoalan sosial di dalamnya. Pertanyaan pun akan tercuat; Kapan Bandung akan kembali mencapai masa-masa keemasannya sebagai sosok Kota modern dalam makna kesejatiannya? Sebagaimana sempat ditampilkannya ketika masih bernama Negoriij Bandoeng.
Salah satu dari daya pikat utama Bandung di masa lalu, yang semestinya terus dihidupkan adalah bangunan-bangunan kuno yang menjadi contoh karya masterpice para arsitek terdepan dunia di masa itu. Dokumentasi yang disusun organisasi pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Kota ini, Bandung Heritage menulis bahwa pada mulanya, Kabupaten Bandung berada di bawah kekuasaan Mataram. Namun pada Oktober 1677, Kabupaten Bandung jatuh ke tangan VOC akibat Perjanjian I Mataram-Kompeni. Seiring dengan berakhirnya kekuasaan VOC di Indonesia pada Desember 1799, kekuasaan diambil alih Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Tatkala Kabupaten Bandung dipimpin Bupati R.A.A. Wiranatakusumah II (1794-1829), terjadi pemindahan ibuKota kabupaten dari Karapyak yang berada di bagian selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang terletak di bagian tengah wilayah tersebut. Saat itu, perubahan kondisi sosial di Bandung termasuk lamban. Perubahan fisik Kota Bandung berawal dari peresmian berdirinya Kota yang dilakukan oleh Deandels dengan surat keputusan (besluit) tanggal 25 September 1810.
Ada suatu cerita, ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jalan Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jalan Asia Afrika sekarang). Di tempat itu Deandels menancapkan tongkat seraya berkata, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah Kota telah dibangun!).
Rupanya Deandels menghendaki pusat Kota Bandung dibangun di tempat itu. Tak heran jika di daerah tersebut cukup banyak dibangun pusat-pusat perkantoran, perhotelan dan pertokoan yang sangat indah dan menarik. Daerah ini telah menjadi pendukung pariwisata yang sangat penting pada waktu itu.
Selama ini, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa Kota Bandung didirikan oleh Gubernur Jenderal H. W. Daendels tahun 1810, namun hasil penelitian sejarawan Dr. Sobana Hardjasaputra dalam disertasinya Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906 menyatakan sebaliknya.
Kota Bandung didirikan oleh dan atas kebijakan Bupati Bandung keenam, R.A.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) Kota Bandung. Akan tetapi, memang Daendelslah yang mempercepat proses tersebut.
Masa keemasan
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan IbuKota? Keresiden Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Dengan adanya perpindahan Kota keresidenan ini, Bandung menjadi lebih ramai dan pertumbuhan Kotanya sangat hidup, apalagi setelah Bandung dijadikan sebagai pusat transportasi kereta api Jalur Barat.
Masa inilah yang menjadi era keemasan pembangunan fisik Kota Bandung. Gedung Pakuan yang kini merupakan kediaman resmi Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat menjadi saksi bisu peristiwa kepindahan tersebut. Pembangunan gedung yang sejak jaman kolonial telah menjadi tempat persinggahan tamu-tamu penting dan tokoh dunia ini dibangun pada tahun 1864 dan berakhir pada 1867. Bentuk arsitekturnya yang anggun dan monumental menunjukkan langgam Indische Empire Style yang juga diterapkan pada bangunan Sakola Raja yang kini menjadi Kantor Polwiltabes Bandung Jalan Merdeka (1866).
Hingga waktu itu, Kota Bandung dinilai masih gundul dan belum banyak ditumbuhi pepohonan. Hal inilah yang medorong Asisten Wedana Bandung, Pieter Sijthof untuk menggalakkan penghijauan di Bandung. Pada saat itu pula, Kota Bandung masih sering dilanda banjir sehingga Bupati R.A.A Martanegara (1893-1918) membangun beberapa irigasi, bendungan air, jembatan dan juga taman seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark), Taman Maluku (Molukenpark), Taman Ganesha (Ijzermanpark) dan sebagainya. Kota Bandung menjadi jauh lebih berkembang sejak ada rencana pemindahan ibuKota dari Batavia ke Bandung.
Dengan adanya rencana ini, beberapa pembangunan baik untuk perkantoran maupun tempat tinggal mulai dilakukan. Pembangunan Gedung Sate yang kini berfungsi sebagai Kantor Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat sangat erat kaitannya dengan rencana tersebut.
Sebenarnya, pembangunan Gedung Sate hanyalah merupakan bagian kecil atau sekitar 5% dari “Kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintah Sipil” Hindia Belanda yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi yang disediakan oleh Gemeente Van Bandoeng lewat Raadbesluit yang disahkan pada tanggal 18 Desember 1929. Sayangnya, akibat resesi ekonomi (malaise) tahun 1930an, rencana boyong ibuKota negara beserta bangunan-bangunan pemerintah pusat dari Batavia ke Bandung tidak terlaksana.
Selain Gedung Sate, ada beberapa gedung yang sudah dirampungkan diantaranya, Hoofdbureau PTT (Kantor Pusat Pos dan Giro), Laboratorium dan Museum Geologi serta bangunan Pensioen Fonds (Dana Pensiun) yang kini menjadi gedung Dwi Warna.
Sejak tahun 1920-an, Kota Bandung mengalami penataan yang lebih komprehensif. Beberapa kawasan perumahan dibangun dengan rancangan yang menarik, misalnya di daerah Cipaganti. Awalnya, daerah ini hanya sampai perempatan Jalan Pasteur namun terus berkembang ke arah utara hingga rumah villa Pangeran Siam yang pada waktu itu disebut Bunderan Siam. Selain daerah Cipaganti, pembangunan perumahan juga dilakukan di daerah Jalan Arjuna, Jalan Riau (R.E Martadinata), di sekitar Gedung Sate, dan lain-lain. Pada tahun ini juga, langgam gaya arsitektur art deco mencapai puncaknya sebagai ganti langgam arsitektur Indische Empire Style. Salah satu diantaranya adalah Gedung Bumi Siliwangi yang kini menjadi Kantor Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Gedung yang dirancang oleh Prof Wolf P. Schoemaker, guru besar arsitektur di Technische Hogeschool, kini Institut Teknologi Bandung (ITB), memiliki bentuk yang menyerupai kapal laut. Langgam arsitektur art deco lainnya bisa dijumpai di sepanjang jalan Braga, berbaur dengan langgam arsitektur lainnya. Beberapa bangunan peninggalan masa kolonial lainnya antara lain Masjid Cipaganti di jalan Cipaganti, Gedung Merdeka di jalan Asia Afrika, Gedung Jaarbeurs yang pada jaman Belanda digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pasar malam (kini Markas Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI J1. Aceh), Gereja Kathedral St. Petrus Jl. Merdeka, dan beberapa rumah tinggal di kawasan Ciumbeuleuit yang dulunya diperuntukkan sebagai villa dengan sebutan bloemen. Selain itu, masih banyak rumah tinggal peninggalan jaman kolonial maupun rumah tinggal bergaya etnik Cina dan Sunda yang tersebar di seluruh daerah Bandung.
Tren Eropa
Menurut staf pengajar Jurusan Arsitektur dari Unikom Bandung, Salmon Priaji Martana, S.T, M.T dalam artikelnya bertajuk Bandung, Sejarah dan Konsep “Urban Heritage Tourism”, apa yang dilakukan para arsitek yang mengerjakan pembangunan gedung-gedung berbagai pusat kegiatan di awal perkembangan Kota Bandung adalah menjiplak langgam yang sedang menjadi tren di Eropa, seperti Art Nouveau (dibawa oleh arsitek P.A.J. Moijen sekira tahun 1905) dan Art Deco yang lebih fungsional (dibawa oleh arsitek generasi berikutnya setelah tahun 1920-an). “Akibatnya, wajah Kota Bandung kala itu benar-benar merupakan jiplakan wajah Eropa, seperti yang masih dapat kita saksikan sisa-sisanya di pertokoan Jalan Braga dan sekitarnya,” tulis Salmon.
Inilah salah satu daya tarik Bandung, yang sering dingkapkan kerap membuat “kesengsem” para sinyo dan noni Belanda. Mereka rela untuk mengembuskan napas terakhir mereka di tengah semilir angin tropis “cekungan Bandung”, namun juga mengandung sepenggal romantisme gothic Eropa di beberapa sudut wajah Kotanya.
Yang menarik, gedung-gedung itu tidak semata menyontek habis gagasan arsitektural Eropa. Pada perkembangan berikutnya terjadi semacam “akulturasi arsitektural” antara langgam gedung Eropa dengan kultur bangunan setempat. Bukankah dalam khazanah budaya Sunda juga dikenal istilah-istilah julang ngapak, parahu kumereb, atau tagog anjing? Ini menunjukkan kultur setempat juga memiliki kultur arsitektural yang tidak kalah.
Bangunan-bangunan seperti Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Gedung Asia Africa Cultural Centre (AACC/dulu Bioskop Majestic), Hotel Preanger, atau bahkan Gedung Sate adalah bukti nyata akulturasi semacam itu. Sebuah proses praktik antarbudaya yang semakin memperkaya khazanah dinamika sosio-kultural Kota.
Persoalannya, tidak semua pihak memandang semua modal keindahan Kota yang telah dimiliki itu sebagai sebuah produk sosio-kultural yang harus dipelihara. Kapitalisme ekonomi dengan segenap “dogma” keuntungan finansial secepat mungkin, seringkali memang tidak pernah seiring dengan gerakan humanisme kultural. Padahal, sejatinya di sana masih tersisa ruang yang tidak saling menegasikan satu sama lain.
Keuntungan ekonomi sebetulnya bisa muncul dari kerja keras pemegang otoritas untuk mempertahankan keaslian wajah Kotanya. Kuncinya –meminjam pernyataan Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja– jangan melihat sesuatu dari keuntungan finansial jangka pendek (tangible). Mempertimbangkan keuntungan intangible (tidak serta-merta/kasat mata) itulah pertanda kebijaksanaan (wisdom) pemegang otoritas sebuah Kota.


Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 23 Maret 2004.

Bangunan Tua Merana Sejarah Bangsa Pudar

Bangunan Tua Merana Sejarah Bangsa Pudar




Pengantar
KOTA Bandung sangat kaya dengan bangunan tua yang mencerminkan perjalanan sejarah. Namun tarikan modernisasi menyebabkan warisan kota itu perlahan musnah. Wartawan ”PR” Erwin Kustiman, Samuel Lantu, Wilda Nurlianti dan Diro Aritonang melaporkan kondisi bangunan bersejarah ini di halaman 1, 24 dan 25. Selain itu, Dr. Mauro Rahardjo juga menyumbangkan artikel di halaman 25. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
SEJARAWAN Prof. Dr. Taufik Abdullah kerap berkata bahwa belajar dan mempelajari sejarah bukan semata demi mengetahui tonggak-tonggak peristiwa penting di masa lampau. Lebih dari itu, mengurai benang-benang peristiwa sejarah di masa lampau secara ilmiah dengan perspektif masa depan, berguna untuk “merancang” masa depan. Perspektif berpikir sejarah dengan aneka tonggak peristiwa penting di masa lampau itu, layak disebut sebagai salah satu sumber kearifan hidup.
“Lewat kajian historis terhadap peristiwa-peristiwa penting di masa lampau kita yang hidup sekarang bisa mempelajari pola tingkah laku (behavioral patterns) manusia dan menganalisisnya demi kepentingan hidup kita sekarang dan masa-masa selanjutnya,” demikian Taufik Abdullah.
Dan, sejarah eksistensi sebuah peradaban, tidak hanya dapat ditelusuri lewat historiografi atau pun catatan aktivitas pejuangan masyarakatnya. Selain misalnya memerinci kajian geologis, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut mengalami masa kejayaan. Salah satu dari saksi bisu itu adalah bangunan-bangunan tua, yang banyak di antaranya menyimpan catatan sejarah autentik.
Kota Bandung adalah satu dari segelintir kota besar di Indonesia yang di masa lalu menjadi pusat kegiatan bangsa Eropa. Tak pelak, di kota ini cukup banyak ditemui bangunan-bangunan tua dengan berbagai genre atau langgam arsitektural. Sebutan sebagai laboratorium arsitektur sempat disandang kota ini, dengan seabrek bangunan kokoh dengan cita rasa seni tinggi berbentuk neo-gothic, art nouveau, art deco, functionalism modem dan lain sebagainya.
Sejatinya, bagi kita yang hidup di masa kini, banyak hal yang bisa dipetik dari warisan sejarah bangunan tua itu. Tidak hanya men jadi penanda zaman ketika negeri ini pernah mengalami cengkeraman kuku penjajah. Lewat bangunan-bangunan yang didirikan dengan perhitungan arsitektur mahatinggi itu, juga bisa dipetik pelajaran berharga serta inspirasi, dan penelitian-penelitian menyangkut soal itu. Apa jadinya, kalau kita serta generasi mendatang, tidak bisa lagi menelusuri jejak awal pendirian kota di mana kita berpijak.
**
TOH, kepentingan ekonomi jangka pendek memang kerap melenakan. Tatkala orientasi manusia sudah tertuju kepada pendapatan yang sudah di pelupuk mata, ketika itu pula segala risiko akan dipertaruhkan. Apalagi, jika risiko itu sendiri dipandang tidak pernah terkait langsung dengan kepentingan dirinya. Itulah tipikal egosentrisme yang kerap kali justru inheren dalam kebijakan pembangunan yang dijalankan pemegang otoritas kota.
Kecenderungan itu pula yang melanda kota ini dalam penggalan sejarah kontemporernya. Jumlah bangunan tua –bahkan yang memiliki muatan sejarah mahapenting, selain kekhasan arsitekturnya– perlahan menyurut, seiring derap pembangunan fisik kota atas nama modernisasi. Kenyataannya, semua itu tidak pernah lepas dari apa yang disebut sebagai komersialisme; sekadar penghalusan dari paham materialisme yang diidap para pemilik otoritas.
Segenap aktivitas fisik seperti pelebaran jalan, pendirian pusat-pusat perdagangan, gedung-gedung baru atas nama dinamika perputaran ekonomi, kerap menggusur gedung-gedung lama yang dianggap perintang. Dalam satu dekade terakhir sejumlah bangunan hancur tanpa bekas, sebut saja Gedung Singer, bangunan pojok berlanggam art-deco di Simpang Lima, Bioskop New Panti Karya, bangunan rumah tinggal di Jln. RE Martadinata, bangunan rumah tinggal di Jln. Pagergunung yang dulunya terdiri dari 12 rumah dan sekarang tinggal 8, bangunan di Ciumbeuleuit dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut data dari Dinas Bangunan Kota Bandung, sampai akhir 1999, ada sekira 421 bangunan bersejarah dan berarsitektur khas yang bisa digolongkan benda cagar budaya (BCB) dengan usia paling tua 109 tahun. Tapi beberapa bulan kemudian, bangunan rumah toko Lux Vincent di Jln. Martadinata yang berdiri sejak 1930, musnah. Dua tahun lalu, giliran Wisma Siliwangi di Jln. Ciumbuleuit yang berdiri sejak tahun 1930, rata dengan tanah.
Sedangkan bangunan yang masuk cagar budaya sebagai bangunan tertua adalah sebuah rumah tinggal di Jln. Cihampelas 184 yang dibangun tahun 1890. Untuk perkantoran adalah Kantor Mapolwiltabes Bandung di Jln. Merdeka yang dibangun pada 1895, serta Kawasan Kantor Komandan Militer di Jln. Aceh 59 — sekarang menjadi Markas Kodam III Siliwangi — yang dibangun tahun 1900. Bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan Kantor Pemkot Bandung Jln. Aceh 1 yang dibangun arsitek E.H. de Roo pada 1929.
Sesuai UU No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, ada beberapa kriteria benda cagar budaya, termasuk di dalamnya bangunan kuno, yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kriteria tersebut yaitu berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Di Bandung, bangunan-bangunan yang dianggap sebagai benda cagar budaya dan harus dilindungi sudah dimasukkan dalam daftar. Daftar yang selama ini menjadi acuan ada dua. Pertama yang disusun oleh Seksi Museum dan Kepurbakalaan (Muskala) Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat sebanyak 421 bangunan. Daftar kedua disusun oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) bekerja sama dengan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage).
“Keduanya tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak kunjung disahkan baik dengan SK Mendikbud ataupun SK Wali kota. Ini mengakibatkan kurang kuatnya landasan hukum untuk mengikat pemilik bangunan agar memelihara bangunan tersebut ataupun menindak pemilik yang menyalahi ketentuan perawatan maupun pemugaran,” ungkap Direktur Eksekutif Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage), Francis G. Affandy.
Beberapa bangunan kuno masih ada namun mengalami perubahan yang cukup drastis sehingga bisa dibilang sudah tidak ada lagi. Nilai heritage-nya sangat kecil, contohnya bangunan di Jalan Gatot Subroto yang sekarang menjadi Holland Bakery, beberapa bangunan di Jln. Wastukancana, Jln. Cicendo, Jln. Ir. H. Juanda, juga Jln. Setiabudi. Bahkan, Kantor Polwiltabes Bandung yang berlanggam Indische Empire Stijl juga mengalami perubahan pada bagian mukanya akibat renovasi yang kini tengah berlangsung. Bangunan-bangunan tersebut telah mengalami kerusakan desain yang biasanya terjadi karena berubahnya fungsi bangunan akibat pemasangan papan reklame atau billboard. Kasus seperti ini dengan mudah kita jumpai di sepanjang Jalan Ir. H. Juanda.
Kepala Seksi Registrasi Izin Mendirikan Bangunan Dinas Bangunan Kota Bandung, Sihar, mengatakan selama beberapa tahun terakhir, jumlah pemilik bangunan bersejarah yang mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk melakukan perombakan bisa dihitung dengan jari. Misalnya Marabu di Jln. Suniaraja, sebuah ruko di Jln. Kebonjati, dan toko di Jln. Pecinan.
Disbang tidak bisa menolak pemilik bangunan bersejarah yang mengajukan IMB karena kebutuhan ruang ketika keluarganya berkembang. Tapi pemiliknya tetap perlu menyertakan surat rekomendasi dari yayasan yang mengelola bangunan bersejarah tersebut.
“Setelah mereka mengajukan izin untuk pengembangan atau perluasan bangunan, Disbang melakukan kajian teknis ke lapangan. Jika bangunan tersebut masuk BCB, pasti kami pertahankan bangunan aslinya. Dia boleh menambah di sebelahnya dengan bentuk menyesuaikan bangunan asli. Yang tidak ketahuan jika pemiliknya merobohkan bangunan duluan,” jelasnya.
Kendala lainnya, Disbang tidak punya wewenang untuk menjatuhkan hukuman terhadap pemilik bangunan. Di sisi lain, pemilik bangunan juga tidak merasa punya kewajiban memelihara bangunannya karena tidak mendapat kontribusi apa-apa dari pemerintah jika mempertahankan bentuk asli bangunannya.
“Ada seorang warga Bandung yang mengeluh karena bangunan lamanya tidak laku dijual karena tidak boleh berubah bentuk, sementara struktur bangunannya sudah bertambah lapuk dan dia butuh uang,” paparnya.
Menurut Sihar, tidak semua bangunan BCB memiliki struktur bangunan yang bagus, terutama jika strukturnya dari kayu. Berbeda dengan bangunan yang memiliki struktur dari beton. Angka pengajuan IMB bangunan bersejarah sangat jarang, karena jumlahnya yang memang sedikit. Kesulitan lain dalam pengawasan bangunan bersejarah adalah belum adanya komputerisasi data.
**
BERDASARKAN UU No. 5/1992 itu, rumusan BCB adalah benda buatan manusia, begerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Benda cagar budaya juga bisa berupa benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Intinya, BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya.
Pemerintah kolonial menyadari hal itu dengan keluarnya Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblaad Tahun 1931 Nomor 238, dan diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblaad Tahun 1934 Nomor 515. Tentu saja produk warisan kolonial tersebut sudah tidak sesuai dengan masa kini.
Karena itu, pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang No. 5/1992 tentang BCB, disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 10/1993 tentang Pelaksanaan UU 5/1992 itu. Kedua peraturan itu merumuskan apa yang disebut BCB dan situs dengan segala seluk-beluknya.
Pasal 3 UU No. 5/1992 menjelaskan, UU ini tidak hanya meliputi BCB, tapi juga benda-benda yang diduga BCB, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs. Berdasarkan Pasal 15 ayat 1, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.
Lalu Pasal 18 ayat 1 menegaskan, pengelolaan BCB dan situs adalah tanggung jawab pemerintah, dan berdasarkan Pasal 24 ayat 1, pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap BCB beserta situs yang ditetapkan. Sedangkan masyarakat, kelompok, atau perseorangan berperan serta dalam pengelolaan BCB dan situs.
Untuk lebih menegaskan, Pasal 26 mengatur ancaman hukuman pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta bagi mereka yang dengan sengaja merusak BCB dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).
**
MAKIN berkurangnya bangunan bersejarah di Kota Bandung juga diakui salah seorang anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Emi Klanawidjaja. Menurutnya, bangunan-bangunan bersejarah tersebut merupakan aset Kota Bandung yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk objek wisata.
“Walaupun misalnya belum ada perda yang mengatur soal bangunan bersejarah di Bandung, kan UU No. 5/1992 sudah mengatur soal itu, termasuk ancaman pidananya. Jadi kalau ada perusakan atau penghancuran bangunan bersejarah, polisi bisa langsung bertindak. Masalahnya, apakah aparat penegak hukum tahu ada bangunan-bangunan bersejarah yang dilindungi UU?” tuturnya.
Ia berpendapat, berkurangnya bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung juga akibat law enforcement atau penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik. Karena UU sudah mengatur soal BCB, kepentingan pribadi bisa dikesampingkan.
Jika yang dipermasalahkan soal perlindungan bangunan bersejarah, maka tidak perlu ada perda karena kedudukannya lebih rendah dari UU. Lagipula jika diatur dalam perda maka ancaman hukumannya cuma Rp 50 ribu atau kurungan 6 bulan.
Namun jika menyangkut soal kompensasi kepada pemilik bangunan bersejarah, Emi menganggap keberadaan perda perlu. Inisiatif pembuatan perda bisa datang dari eksekutif atau legislatif. “Kita imbau, tolong bangunan-bangunan bersejarah dijaga,” tandasnya.
Wali Kota Bandung Dada Rosada sepakat bahwa BCB harus dipertahankan dan sedapat mungkin tidak boleh dibangun kembali apalagi dirusak untuk mempertahankan sejarah bangsa. “Jadi, kalaupun akan dilakukan rehabilitasi hanya bagian dalamnya saja sementara untuk bagian luar tidak,” ungkapnya.
Menurutnya, Bandung dapat meniru negara-negara Eropa yang mempertahankan keaslian bangunan bersejarah di bagian luar sementara bagian dalamnya direnovasi sesuai perkembangan zaman. “Kita harus mempertahankan bangunan-bangunan itu karena kita belum tentu dapat membangun yang serupa di masa kini. Lihat saja renovasi yang dilakukan terhadap Balai Kota, kan tidak sama dengan bangunan yang lama. Begitu juga pembangunan Gedung DPRD Jawa Barat, kan tidak sama dengan Gedung Sate,” tuturnya.
Pemkot, menurutnya, tidak berkeberatan adanya bantuan dari luar negeri atau pihak-pihak lain selama bertujuan mempertahankan kelestarian BCB. Bahkan, dirinya menyambut baik karena sampai saat ini pemkot memang belum dapat memberikan kontribusi bagi para pemilik bangunan bersejarah untuk melakukan pemeliharaan.
Tidak adanya kontribusi yang diberikan, menurutnya, karena pemkot hanya memiliki kewenangan dalam lingkup pengaturan dan pengendalian. Sejauh ini, pelestarian BCB yang dapat dilakukan Pemkot Bandung pun terbatas pada pengendalian saja.
Jika seseorang mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau mengubah fungsi BCB, maka izinnya tidak akan diluluskan. “Jika memang bangunan itu terdaftar sebagai BCB, kami akan melarang pembangunan tersebut,” tandasnya.
Walhasil, pemkot pun tak kuasa bila sejumlah bangunan peninggalan masa lalu itu pun kerap berpindah tangan dari satu pemilik kepada pemilik lainnya. “Yang dapat kita kendalikan hanyalah kalau mereka sudah mengajukan izin mendirikan bangunan atau perubahan fungsi bangunan,” tambahnya.
Kasus semacam itu pernah terjadi pada rencana tukar guling (ruilslag) Kantor Mapolwiltabes Jln. Merdeka yang sedianya akan dijadikan pusat perdagangan. Saat itu, pemkot mengajukan surat kepada pemerintah pusat untuk meyakinkan kembali apakah gedung tersebut termasuk BCB yang harus dilindungi.
Setelah diajukan kepada presiden, maka perubahan fungsi itu pun dilarang sehingga ruilslag pun dibatalkan. Pembatalan ruilslag itu, menurutnya, salah satu contoh kasus di mana pemerintah kota tidak bisa melakukan pelarangan, namun dapat mengajukan hal itu kepada pemerintah pusat.
Kelestarian BCB diharapkan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun asing manakala berkunjung ke Kota Bandung. Bangunan antik dan bersejarah seperti Gedung Merdeka, Gedung Sate, Kantor Pos Jln. Diponegoro, Balai Kota, Mapolwiltabes, Hotel Preanger, Hotel Homann dan sejumlah gedung di Jln. Braga dapat menjadi objek wisata yang menarik sebagai ciri khas Kota Bandung. “Kita sangat mengharapkan dapat mengembangkan budaya di Kota Bandung agar dapat menjadi seperti Bali dan Yogyakarta,” tekadnya.
Manusia tanpa sejarah niscaya akan kehilangan jatidiri mereka. Pun begitu dengan sosok sebuah kota. Perjalanan panjang sejarahnya bisa terlukis lewat kekayaan warisan arsitektur yang menggambarkan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Membiarkan warisan itu hilang begitu saja– tanpa upaya apa pun untuk mencegahnya– berarti membiarkan salah satu penggalan kehidupan kota tercabik dari penggalan kehidupan lainnya.



Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 23 Maret 2004

Gedung-gedung Kuno Tunggu Uluran Tangan

Gedung-gedung Kuno Tunggu Uluran Tangan



SEBAGIAN besar gedung kuno di Kota Lama saat ini tidak lagi ditempati pemiliknya. Kalaupun ada yang tinggal di sana, bisa dihitung dengan jari. Aktivitas ekonomi di kawasan itu juga tak seramai dahulu, saat Belanda menjadikannya sebagai little Netherland. Mereka yang dahulu menjalankan aktivitas bisnis di kawasan Kota Lama ramai-ramai mengalihkan modalnya ke pusat ekonomi baru. “Jangankan pendatang baru, pengusaha lama yang dahulu membuka usaha di sini saja mengalihkan perusahaannya ke tempat lain,” ungkap Budiarta, salah seorang pengusaha yang membuka kantor di dekat Gedung Speeke.
Sebagai pengusaha, naluri bisnisnya menyatakan kawasan tempat dia membuka usaha saat ini tidak cukup menarik bagi investor luar. Budiarta lantas bercerita, pada 1970-an suasana kawasan itu tidak sesepi sekarang.
Saat itu meski tidak sangat ramai, Budiarta bersedia tinggal di rumah yang difungsikan sekaligus sebagai kantor. Akan tetapi, kini dia bermukim di tempat lain. “Dahulu di kanan kiri kantor ini ada perusahaan sirup dan percetakan koran. Meski tidak banyak penghuninya, setidaknya kami punya tetangga dekat. Lambat laun kedua perusahaan itu bangkrut dan akhirnya tutup,” tutur dia. Kendati dari segi bisnis kurang menguntungkan, dia berusaha melebarkan sayap perusahaannya.
Ketika para pemilik bangunan di Kota Lama ramai-ramai menjual atau menyewakan bangunan kunonya, dia justru membeli dua bangunan bekas perusahaan sirup dan koran yang terletak tepat di samping kantornya. Agar tampak lebih bersih, dia merehab beberapa bagian tanpa mengubah bentuk aslinya. “Kami merasa sudah mapan di tempat ini. Untuk merenovasi bangunan kuno itu, kami didampingi konsultan karena bangunan tersebut termasuk gedung yang dikonservasi,” ungkapnya.
Beragam Dilema
Keinginan untuk menghidupkan kembali kawasan itu, bagi dia seolah menghadapi beragam dilema. Rangsangan ekonomi dan keamanan tetap menjadi faktor yang dipertimbangkan para pengusaha. “Tanpa keramaian, siapa yang bersedia membuka usaha di sini?” tanya dia.
Kewajiban melestarikan bangunan kuno, menurut pandangan salah seorang pemilik bangunan lain, merupakan beban tersendiri. Sebab, biaya pemeliharaan bangunan lama tergolong relatif tinggi. Merasa kurang menguntungkan, jika diizinkan, pemilik toko di Jalan Taman Srigunting itu sudah sejak lama ingin membongkar bangunan lama miliknya untuk diganti bangunan baru.
Konsultan PT Wiswa Karman yang juga konsultan Perda Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Wiryani, baru-baru ini mengemukakan, telah menyiapkan konsep penataan Kota Lama. Kawasan itu, rencananya dibagi menjadi beberapa segmen. “Sekitar Gereja Blenduk dan kolam retensi Tawang, akan menjadi ruang publik untuk pertunjukan seni dan budaya,” ungkap Wiryani.
Pihaknya juga sudah berusaha menggandeng beberapa lembaga asing dan investor yang bersedia membuka usaha di Kota Lama. Sesuai dengan konsep konservasi bangunan kuno, pihaknya bersedia memberikan konsultasi bagi investor yang akan menggunakan bangunan lama untuk fungsi tertentu.


Sumber: Harian Suara Merdeka, Jumat, 26 Maret 2004

Kota Pahlawan Jangan Hanya Berbentuk Tugu

Kota Pahlawan Jangan Hanya Berbentuk Tugu



Sebutan Kota Pahlawan kepada Surabaya sudah terkenal hingga pelosok dunia. Namun sampai kini sebutan itu hanya diwujudkan dalam bentuk Tugu Pahlawan saja. Sementara, terjemahannya dalam kehidupan kota, masih menjadi pertanyaan besar. Kelebihan yang dimiliki Surabaya daripada kota lain, tidak pernah didokumentasikan, sehingga pembentukan image pahlawan tidak beranjak dari tugu itu.
Demikian topik yang dibicarakan dalam seminar dan peluncuran website “Surabaya Memory” oleh Universitas Kristen Petra, di Surabaya, Rabu (31/5). Hadir sebagai narasumber ahli tata kota Prof Johan Silas dan Benny Poerbantanoe MSP.
Menurut Silas, Bung Karno pernah mengatakan kalau kita harus menjadi pahlawan pembangunan, sesaat setelah kemerdekaan. Imbauan Bung Karno itu ditanggapi Surabaya dengan mendirikan Tugu Pahlawan, Hotel Olympic, dan Pasar Wonokromo. Ketiga bangunan itu merupakan bangunan pertama di Indonesia yang dibuat tanpa menunggu bantuan pemerintah pusat. Sayang, dua dari tiga bangunan bersejarah yang menguatkan kepahlawanan Surabaya itu, nyaris tidak terawat.
“Surabaya mutlak harus mendokumentasikan pembangunan kota, mulai dari Perda sampai memo penyerahan tanggung jawab saat ada pergantian pejabat. Dengan begitu, ciri kepahlawanan Surabaya tidak akan hilang,” kata Silas.
Selain itu, warisan budaya seperti nama tempat, punden, dongeng, dan bangunan tua, ritual dan kekhasan arek, jangan sampai tersingkir atau musnah karena kepentingan investor.
Alat utama
Sementara itu Poerbantanoe mengatakan, pendokumentasian dan pelestarian warisan kota perlu diupayakan agar tidak sekadar sebagai kegiatan mengumpulkan, mencatat, dan meregistrasi benda-benda mati (arsitektur bangunan gedung). Pendokumentasian dan pelestarian warisan kota merupakan salah satu alat utama yang tersedia bagi para perencana, yang berupaya untuk meletakkan perkembangan fisik, sosial, ekonomi, politik, dan estetika dengan baik.
Pelestarian warisan kota sebagai suatu aplikasi pada penataan ruang, berlangsung dalam skala (teretori) dan situasi yang berbeda-beda. Dengan demikian penyelenggaraan kegiatan pelestarian tidak hanya terbatas dalam kaitan dengan bangunan gedung atau lingkungan permukiman saja. Prasarana transportasi, baik jaringan jalan raya maupun rel kereta, penerangan jalan, penutup lubang pematusan, lokasi-lokasi bersejarah, ruang terbuka hijau, dan muka bangunan (facade), sama perlunya dilestarikan sebagaimana bangunan-bangunan individu, karena benda-benda itu juga elemen-elemen penting bagi perwujudan bentuk serta sifat kota.


Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2004

Bangunan Bersejarah di Kota Jambi Makin Banyak yang Rusak

Bangunan Bersejarah di Kota Jambi Makin Banyak yang Rusak


JAMBI – Bangunan bersejarah di Kota Jambi kian banyak yang rusak akibat maraknya pembangunan rumah toko (ruko) dan bangunan rumah tembok di kota itu. Kerusakan bangunan bersejarah itu sangat disesalkan karena sebagian bangunan itu sudah dijadikan sebagai cagar budaya.
Hal itu diungkapkan Gubernur Jambi Drs Zulkifli Nurdin kepada wartawan ketika mengunjungi TPS di Kelurahan Mudunglaut, Jambi Kota Seberang, Senin (5/7).
Menurut Gubernur Jambi, kehancuran bangunan-bangunan bersejarah itu harus segera dihindari dengan mengendalikan pembangunan ruko, rumah tembok dan gedung bertingkat. Untuk itu, Pemerintah Kota Jambi, khususnya para camat di kota itu diminta tidak terlalu mudah memberikan izin pembangunan ruko, rumah tembok dan gedung di tempat-tempat bangunan bersejarah.
“Saya minta camat (Camat Jambi Selatan, John Eka Powa, Red) tidak sembarangan memberikan izin pembangunan ruko dengan membongkar rumah-rumah bersejarah di Jambi Kota seberang ini. Negara modern saja menghargai bangunan bersejarah, kok kita tidak. Jangan hanya demi uang kita rusak peninggalan sejarah,” katanya.
Menurut Gubernur Jambi, Kota Jambi, khususnya Jambi Kota Seberang (seberang Sungai Batanghari), merupakan daerah cagar budaya yang sudah lama dikukuhkan pemerintah. Di wilayah itu terdapat bangunan rumah dan mesjid bersejarah dengan arsitektur unik. Rumah dan mesjid tersebut berupa bangunan rumah panggung dan arsitekturnya pun khas Jambi.
“Bangunan bersejarah tersebut harus dilestarikan sebagai salah satu ciri khas Kota Jambi. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut juga dapat dijadikan menjadi salah satu daya tarik wisata di kota ini,” katanya.
Disebutkan, selain karena adanya bangunan bersejarah, Jambi Kota Seberang juga memiliki daya tarik dan keunikan lain seperti adanya sentra kerajinan batik, yakni di Desa Mudung Laut. Sentra kerajinan batik tersebut juga harus dilestarikan dan dikembangkan sebagai salah satu kebanggaan masyarakat Jambi sekaligus daya tarik wisata.
Karena itu Pemkot Jambi diminta membuat program-program pembinaan terhadap para perajin batik di kota tersebut.





Sumber: Suara Pembaharuan, 7 Juli 2004

Sunday 28 November 2010

Sejarah Glodok

Glodok adalah salah satu bagian dari kota lama Jakarta. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini juga dikenal sebagai Pecinan -- bahkan yang terbesar di Indonesia -- karena mayoritas pedagang di Glodok merupakan masyarakat keturunan Tionghoa. Di masa kini Glodok dikenal sebagai salah satu sentra penjualan elektronik di Jakarta, Indonesia. Secara administratif, daerah ini termasuk dalam wilayah kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda "Golodog". Golodog berarti pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa(Jakarta) merupakan pintu masuk ke kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi atau Batavia, Sunda Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan 'G' jadi 'K' di belakang sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda, terutama suku Jawa dan Melayu yang kemudian banyak menghuni Jakarta. Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah. Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) – pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok. Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga ke luar Jakarta. Pada 4 Oktober 1984, tiga gedung Bank Central Asia (BCA), satu di antaranya di Glodok, dibom. Beberapa orang yang dituduh terlibat dalam kasus ini ditangkap, termasuk H.R. Dharsono. Pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang menyebabkan turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya, Pasar Glodok menjadi sasaran amuk massa yang paling parah. Banyak toko yang dijarah dan kemudian dibakar. Pada 13 Mei 2000, daerah Glodok kembali dirusak oleh massa yang mengamuk setelah Mabes Polri melakukan razia terhadap para penjual VCD porno. Terbit desas-desus bahwa kerusuhan ini dimaksudkan untuk menggoyahkan kedudukan Presiden Abdurrahman Wahid.

Sejarah Depok, Pondok Cina, dan Margonda

Awalnya Depok merupakan sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696 seorang pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah yang meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya dan Bojonggede. Chastelein mempekerjakan sekitar seratusan pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina.

Selain mengelola perkebunan, Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat DEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal. Sampai saat ini, keturunan pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga. Adapun marga-marga tersebut adalah :

1. Jonathans
2. Laurens
3. Bacas
4. Loen
5. Soedira
6. Isakh
7. Samuel
8. Leander
9. Joseph
10. Tholense
11. Jacob
12. Zadokh

Tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat Gemeente (Desa Otonom).

Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942. Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung. Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha, namun dihapus pada tahun 1952 setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak lainnya.

Sejak saat itu, dimulailah pemerintahan kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui proyek perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I dan Perumnas Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok yang lebih pesat sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk kota Administratif Depok yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud).

Sejak tahun 1999, melalui UU nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :

1. Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
2. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
4. Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 2.595,3 Ha.
5. Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
6. Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.

ASAL USUL PONDOK CINA

Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong. Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok. Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.

Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota. Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.

Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu. Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar. Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api. Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat. Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.

Sebagai daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok. Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu menyulitkan mereka. Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa memakan waktu setengah hari, pedagang-pedagang tersebut membuat tempat transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong. Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut. Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.

Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina. Sebutan ini berawal ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam. Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa. Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”

Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang. Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah. Yang tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan Tionghoa. Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri. Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda. Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke tempat lain. Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.

“Saya sangat senang tinggal disini, karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”. Dulunya, cerita Sri, penduduk di Pondok Cina sangat sedikit. Itupun masih terbilang keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,” kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.

“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan disini,” kata ibu Sri lagi. Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat. Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini. Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas di Pondok Cina.

ASAL USUL MARGONDA

Margonda yang kini menjadi nama jalan protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda. Yang jelas, nama Margonda kini identik dengan Depok. Sebut saja “Margonda”, maka pasti orang akan mengasosiasikannya dengan “Depok”, beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang kian terus berkembang.