Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata
Seperti diterjang angin puyuh, aku tercabik dari rangkaian utuh jari daunku. Tak terlihat oleh siapa pun di dalam ruangan itu, aku yang hanya sebesar biji saga melayang dan tersuruk di belakang kaki kursi dari orang yang dengan bengis membanting gumpalan badanku bersama ratusan, atau mungkin ribuan, daun sekaumku.
Dari balik kaki kursinya yang terletak di bagian belakang, kulihat orang itu kembali menghardik, “Kalau bukan untuk membiayai orang-orang Aceh yang hatinya berbulu, para pemberontak yang berkeliaran di Jawa ini, untuk apa lagi daun haram ini? Katakan, untuk apa? Kalau ini diuangkan, kau tau, dia jauh lebih dari cukup untuk membiayai seribu orang seperti kau ini jadi doktor. Omong kosong ayahmu mengirimkannya untuk membiayai kuliahmu. Jangan berbohong! Katanya mahasiswa, mengapa tak mau belajar jujur?! Katakanlah, kepada siapa daun laknat ini akan kau berikan?! Siapa kontakmu di sini?”
Dari balik kaki kursi di mana aku tergeletak tak berharga, kulihat orang itu menahan napas. Coba menenteramkan hantaman jantungnya. Tetapi, nyata sekali matanya tetap melotot pada gadis yang duduk seperti tunggul yang dipacakkan di kursi, di seberang meja. “Ayo! Katakan…!”
Hanya beberapa menit yang lalu, aku padat berimpitan dengan kaumku dalam bungkusan karton tipis yang terletak di atas meja itu. Sekarang, tangan orang yang begitu durjana memisahkan aku dari kaumku, mengangkat bungkusan berisi daun ganja kering yang sedarah serumpun sepersemaian denganku. Dengan tiba-tiba dia kembali membantingkan kaumku itu ke daun meja, walau sudah tak sekeras bantingan pertama, yang membuat diriku tercabik dan tercampak dari indukku. Yang menestapakan aku di lantai, di belakang kaki kursi ini. Orang itu tidak melihat aku. Barangkali lantaran amarahnya sudah begitu memuncak sehingga dia sudah tak menghiraukan aku lagi. Ya, memang, apalah aku ini, selinting pun tak sampai. Aku hanya secabik kecil dari satu kesatuan daun yang kering. Daun terkutuk lagi. Yang membuat gadis Aceh yang manis di depanku ini begitu hinanya.
“Akuilah!”
“Apa yang harus aku akui?”
“Kalau memang perempuan Aceh, kau jangan berlagak pilon!”
“Sudah saya katakan, si pengirim adalah ayah saya. Bapak bisa baca di pojok parsel itu di mana dengan jelas tertulis nama ayah saya; dia yang mengirimkannya. Dan saya persilakan Bapak membaca lagi surat yang terselip di situ. Kalau semua baris kalimatnya yang begitu sederhana, dan juga begitu kaku, Bapak anggap sebagai sandi bagi perjuangan kaum pemberontak di perantauan, maka itu terpulanglah kepada kesimpulan Bapak. Saya tak bisa berkata apa-apa, saya hanya pesakitan.”
“Akh….” Orang itu tersentak bangkit dari kursinya. Kalau dia menggeser kursinya, pastilah aku tercampak lebih jauh lagi. Tapi, tidak. Dan, dari balik kaki kursinya bisa kulihat wajahnya yang penuh dengki dan permusuhan yang disemburkannya ke arah gadis yang berada di bawah penaklukannya.
“Sudah seminggu aku memeriksamu. Aku tak sudi terus-menerus mengurusmu, terus-menerus menelan kebohonganmu. Jangan bikin aku marah. Aku ini juga jantan, bisa naik pitam! Atau kau baru mau mengaku kalau kaki meja ini sudah melumatkan jari-jari kakimu?! Pipimu yang menawan ini sudah saya totolin dengan bara rokok sampai melentung gosong. He… orang Aceh tidak hanya pencari keadilan, mereka juga pemuja keberanian dan pengagum kecantikan. Pikirkanlah apa yang akan terjadi kalau dirimu penuh cacat. Sekarang, aku masih kasih kau kesempatan untuk berpikir, berdamai dengan apa yang kau rahasiakan di dalam hatimu.”
Orang itu meninggalkan pesakitannya. Aku cuma cabikan daun. Tetapi, melihat bagaimana gadis itu disemprot hardik dan ancaman sekasar itu, simpatiku tumpah ruah kepadanya.
Gadis itu tak bergerak di kursinya. Ketika orang yang berhati durjana itu menghilang di balik pintu, perlahan dia merundukkan kepalanya, seperti mau menyembunyikan matanya yang memerah menahan amarah. Melihat dia seperti itu aku berbisik di dalam hati: kalau kau memang mau menahan tangis, karena keteguhan hatimu, lantaran air mata buatmu barangkali adalah lambang kelemahan, maka bendunglah air matamu supaya jangan sampai membasahi pipimu. Biarkanlah aku yang berderai air kesedihan. Walau aku hanya secabik daun ganja yang kering, yang hina dina. Aku berurai air mata melihat bagaimana kau diperlakukan. Aku tahu persis kau bukanlah pendusta. Dan orang itu harus tahu bahwa Aceh itu tak hanya seperti yang dia kenal. Aceh adalah juga hati yang mulia. Orang yang durjana, seperti dia, tentu tak bisa memahaminya.
Kau tinggal jauh di Jawa sini, kawanku. Tak kau lihat bagaimana ayahmu memperlakukan aku dalam onggokan daun kering yang membuatmu jadi susah begini. Pahitnya masa di bawah kekuasaan tangan besi, manakala pemerintah memutuskan Aceh di bawah kungkungan daerah operasi militer dulu, telah memberikan pelajaran kepadanya tentang bagaimana menghadapi masa-masa sulit di kemudian hari. Entah siapa yang memberitahukan kepadanya, pergilah dia mencari daun ganja kering barang sebungkah, di mana aku turut terbalut. Dengan hati-hati sekali, seperti meletakkan intan di atas tatakannya yang terbuat dari beledru berlapis sutra halus, yang tak boleh terusik jangat yang kasar, maka disembunyikanlah kami di para-para, di atas tungku dapur keluargamu, jauh di kampung tempat kau dilahirkan.
Aku siap menjadi saksi betapa gelisahnya ayahmu menerima surat yang kau tulis tempo hari, yang mengabarkan bahwa kau sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan kuliahmu. Bahwa kau memerlukan ongkos untuk bolak-balik naik kereta api, karena kau akan melakukan penelitian di perpustakaan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta. Dan dari situ kau akan mengakses homepage Dag Hammarskjold Library di New York. Kau katakan di dalam suratmu itu dengan seloroh yang manis, yang membuat senyum tersungging di bibir ayahmu, bahwa kalau kantongnya sedang subur-suburnya kirimkanlah peng lebih banyak. Karena kau harus membayar ongkos tik komputer, fotokopi, penjilidan, sewa toga, dan lain-lain.
Bukan main gundahnya perasaan ayahmu. Bisa dimaklumi. Cobalah kau merenung barang sedetik. Tempatkan dirimu di posisinya. Dia harus menyediakan uang, padahal suasana perekonomian belum pulih benar setelah masa daerah operasi militer disudahi. Dia jadi gamang. Memang, kau tak menyebutkan jumlah. Tetapi, dia tahu kau memerlukan uang yang lebih besar dari biasanya. Terkadang wajah ayahmu kusut masai kalau perasaannya sudah suntuk memikirkan uang yang sangat kau butuhkan. Tapi, jangan terlalu bersedih, dan jangan lupa, suratmu itu juga membawa kebahagiaan yang amat sangat bagi ayahmu. Pagi-pagi, begitu matahari baru saja terapung di kaki langit, sambil duduk mencangkung di pematang, terkadang paras wajah ayahmu bersimbah kebahagiaan. Karena dia tahu, jerih payahnya menyekolahkanmu jauh-jauh ke daratan yang terletak di ujung selatan sana tidak sia-sia. Benih yang ditabur akhirnya sudah mulai berkecambah. Tercapailah cita-cita anakku, ya Tuhan, katanya perlahan mengusipkan doa yang bersambut derai embun pagi.
Sejak di sekolah menengah atas kau memang bercita-cita ingin mempelajari ilmu politik, khususnya hubungan internasional. Karena kau ingin tahu dan ingin memberikan jawaban mengapa bangsamu ini begitu hinanya di mata dunia. Apa saja yang dilakukan Indonesia, terutama setelah pembantaian yang terjadi tahun 1965-1966, pembunuhan di Tanjung Priok dan Lampung, penyirnaan nyawa manusia secara misterius, apalagi soal Timor Timur, malunya bangsa ini di mata dunia bukan kepalang. Dulu, katamu, kau yang senang belajar sejarah, presiden republik yang pertama berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih dan menggeledek di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, di New York, karena dia mau merombak dunia. Asia, Afrika, Amerika Latin menyimak dan mendukung kata-katanya. Tetapi, presiden yang menjatuhkannya, yang berbicara di podium yang sama juga, menggunakan bahasa yang belum diakui sebagai bahasa pergaulan internasional. Sudah begitu, lafal bahasa Indonesianya begitu buruk sehingga jadi bahan ledekan bagi mereka yang sinis dan para punakawan.
Hai gadis yang duduk terpaku di kursi. Kau kulihat bukannya menahan tangis karena harus berhadapan dengan kelaliman seorang interogator. Aku tahu hatimu tercabik-cabik, tak tahan mengenang ratusan, mungkin ribuan, ibu dan anak-anak mereka yang sedang mengusung tikar, kasur, dan belanga menyeberangi hutan dan sungai menuju pengungsian, menghindari ancaman perang. Janganlah terus merunduk seperti itu. Liriklah aku. Akan kuceritakan kepadamu bagaimana ayahmu begitu gelisah menunggu datangnya hari kiamat kedua setelah dinyatakannya Aceh berada di bawah daerah operasi militer, hari dikobarkannya api peperangan di seluruh gampong tanah tumpah darahmu. Begitulah wajah kekerasan yang hendak memadamkan pemberontakan yang diciptakan oleh kekuasaan itu sendiri.
Pagi itu aku lihat ayahmu mencangkung lagi di pematang. Maaf, wajahnya murung. Sebentar-sebentar dia coba menantang bersit sinar matahari. Sebentar-sebentar jari- jarinya menari membelai bulir padi yang masih hijau. Kemudian, seperti embun yang menggumpal, air mata menyeruak di pojok matanya. Orangtua itu menangis, menyesali diri, karena dia tak punya kekuatan untuk memecut lajunya pertumbuhan padi di sawahnya yang hijau melaut, sehingga dalam hitungan empat puluh dia sudah bisa panen, menjualnya, dan mengirimkan uang kepadamu. Dia menghapus hidungnya yang menggelegak karena menahan emosi dengan menggunakan bahu bajunya.
Tiba-tiba saja, dia bangkit dan berlari-lari kecil sepanjang pematang. Memanjat tangga rumahmu dan langsung menuju para-para. Pelan-pelan diturunkannyalah kami dari situ. Ya, kami, bongkahan ganja yang padat kering. Rupanya, kamilah yang menjadi tumpuannya yang terakhir. Bukan siapa-siapa. Dia sudah tak melihat pintu kesempatan yang lain. Baginya, jalan sudah buntu mencekik. Sejauh lima kilometer dia berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menuju kota terdekat. Di kantor pos, dengan rapi kami dia masukkan ke dalam amplop. Jari-jarinya gemetar menuliskan alamat rumah kosmu, di jalan ini, di nomor itu, di kota anu.
Ketika pegawai kantor pos menanyakan apa isi parsel itu, dengan tenang dan pasti dia jawab, “Buku, sajadah.”
Aku tak tahu pasti, apa yang terjadi ketika ayahmu kembali ke rumah. Dan, oh gadis kawanku, maka datanglah hari yang dia tunggu dengan penuh kecemasan itu, Senin, 19 Mei 2003. Sungguh aku tak tahu apakah sawahnya turut menjadi medan di mana kendaraan-kendaraan baja yang menjadi mesin peperangan juga melindas dengan deru deram rodanya yang melumatkan padi yang belum bunting. Aku tak tahu. Karena aku dan seluruh kaum yang terhina di dalam parsel itu berada dalam perjalanan menuju Jawa. Yang aku tahu pasti, ketika sudah sampai di satu kantor pos, ada anjing yang sengaja didekatkan kepada kami yang terbungkus rapi di dalam kardus. Ketajaman penciuman dan kesetiaan anjing itu jangan kau persalahkan. Itu adalah kodrat yang diberikan kepada mereka. Memang, kedengarannya tak adil, mengapa kami, yang adalah juga makhluk, di ujung yang lain, dikodratkan untuk menanggung malu dan kutukan, walau kami tahu itu adalah kesalahan manusia yang menyalahgunakan kami. Kalaupun kau ikut kecewa, namun janganlah terlalu kau perturutkan perasaanmu. Biarlah kami memikul nasib ini tanpa harus membebani orang lain. Juga tidak, sekalipun itu adalah engkau.
Malang, untuk jasanya, anjing itu tak dapat persen. Bungkusan langsung dirobek. Dan begitu terbuka, siapa lagi, tentu kamilah itu, daun- daun kering yang dimasukkan ke dalam kategori barang haram, yang bisa menyeret orang yang terlibat ke depan regu tembak, seperti kau ini, gadis manisku. Kemudian, kau sendiri sudah tahu apa kejadian yang datang menyusul. Mereka menemukan alamatmu. Tengah malam kau disergap orang-orang yang berpakaian yang saru di tengah kegelapan. Lenganmu yang halus, yang dirayakan bulu-bulumu yang sensual, mereka perkosa dengan lilitan borgol. Kau digiring dengan bentakan ketika kau berbalik hendak menutup Al Quran yang masih ternganga di rehal. Masih untung kekerasan dan penghinaan itu berhenti di situ. Dan kau dijadikan pesakitan seperti ini. Mereka memaksamu untuk mengakui apa yang tidak ada dalam goresan niatmu. Terus terang, sakit hatiku. Namun, apa mau dikata, aku hanya seupil ganja. Di balik kaki kursi bagian belakang, persis di bawah bokong orang yang begitu jahat membentak dan mengancammu aku hanya bisa meratap.
Interogator itu masuk lagi ke dalam ruang pemeriksaan. Begitu kerasnya daun pintu dibantingkannya sehingga angin yang dikibaskannya menyeret tubuhku, dan aku teringsut ke samping. Dia lakukan itu, apalagi kalau bukan hendak meruntuhkan mental gadis yang mau dia taklukkan. Tapi, ah, manisnya kau. Bukannya takut, kau malahan tampak lebih anggun dalam mempertahankan dirimu.
“Katakan, siapa saja kontakmu!” Orang itu menghampiri si gadis, dan dia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. “Kenal ini? Di mana, dan kapan kau bertemu dengan dia.”
“Tidak.”
Interogator itu mundur mengikuti kesebalan hatinya. Dia menyandarkan bokongnya di bibir meja. “Baik, kalau memang begitu maumu, mari kita kuat-kuatan. Sampai kau menyerah dan menyebutkan kepada siapa saja ganja ini mau kau berikan. Ingat, kesabaran tetap ada batasnya.”
Dia tegak, dan ketika dia mau meletakkan bokongnya di kursi, persis di atas kepalaku, tampaklah olehnya serpihan daun ganja sebesar kelingking, merana di kaki kursinya. Dia julurkan tangannya memungutku. Kemudian dia sumpalkan diriku ke dalam jejalan kaumku yang tergolek di meja. Lantas dia keluar menenteng kami. Akan ke manakah kami dibawa? Aku yakin, kalau sudah tak dibutuhkan lagi untuk menghukummu secara palsu, kami akan dibakar, atau oleh tangan- tangan yang jauh lebih jahat dari interogator itu, kami diedarkan ke pasar gelap.
Kalau boleh, aku ingin dibakar saja. Mati hanya sekali. Dan buat kami kematian datang dengan cepat. Sekelebat api. Tidak seperti kau yang disiksa berlama-lama. Doaku cuma satu, gadis manisku, semoga perjalanan waktu akan membebaskanmu. Manusia-manusia tak berperasaan seperti orang yang menginterogasimu ini begitu mudah lupa. Karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana membuat dosa yang baru supaya yang lama dilupakan. Mudah-mudahan saat itu akan datang, dan kau bebas, karena kau memang suci tak bersalah.
Martin Aleida
Showing posts with label Oktober 2003. Show all posts
Showing posts with label Oktober 2003. Show all posts
Sunday, 20 February 2011
Setyawati
Setyawati
Setyawati adalah nama ibuku. Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun.
Hal pertama yang kuingat dari diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati, kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi melatinya masih tercium.
Ibuku selalu bisa bersikap manis bahkan ketika sedang marah. Kalau ada dia, rasanya semuanya bisa diurus dengan baik. Semua orang sayang padanya. Bahkan, kupikir bunga-bunga di kebun itu mengangguk-angguk bukan hanya karena tertiup angin, tapi juga karena ingin menyapa Ibu.
Ibu sangat sayang padaku meski aku hanya jarang-jarang saja berada di dekatnya. Aku sangat sering pergi.
Kadang aku pergi dan kembali hanya untuk sebuah alasan sederhana. Kadang bahkan tak perlu alasan sama sekali. Dan aku senang melakukannya. Tapi Ibu tidak.
Tiap kali aku muncul di depan pintu, kata pertama bukan “selamat datang” atau paling tidak “hai sayang”, tapi “berapa lama kau akan tinggal?” dan kalau jawabanku adalah “besok aku harus kembali” wajahnya jadi muram seakan- akan aku sedang pamit perang melawan seribu orang raksasa.
Orang menganggap ibuku wanita yang sangat beruntung padahal sebenarnya dia orang yang malang. Orang-orang yang Ibu cintai selalu meninggalkan Ibu sendirian. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, Senin ke Jepang, Rabu ke Singapura, Kamis ke Swiss, dan minggu berikutnya entah ke mana lagi. Kalau Ibu protes, paling-paling Ayah akan pulang dengan wajah tidak berdosa sambil membawa sebuket bunga, kalung permata, dan ajakan makan malam berdua. Begitu saja Ibu langsung tersipu-sipu. Ayah memang pandai merayu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia berpamitan pada Ibu keesokan harinya sebelum dia menghilang di balik pintu.
Walaupun begitu, Ibu boleh bangga karena Ayah sangat mencintainya. Bagi Ayah, itu adalah rahasia terbesarnya, tapi aku tahu karena aku laki-laki dan juga putra Ibu.
Pernah suatu ketika, di antara sedikit waktu luang Ayah, dia menceritakan bagaimana dulu dia harus berjuang keras untuk mendapatkan cinta Ibu.
Ibu adalah gadis paling manis yang pernah dikenal Ayah, sedangkan Ayah adalah laki-laki paling brengsek yang pernah diketahui Ibu. Vila keluarga mereka di Kaliurang berdekatan, tapi keluarga keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang penuh martabat dan tata krama, sedangkan keluarga Ayah merupakan gambaran paling ideal untuk penganut paham materialisme dan pemikiran liberal: punya segalanya, tapi jelas tidak bahagia. Tapi, sudah merupakan hukum Tuhan kalau kutub positif magnet selalu bertemu dengan kutub negatifnya.
Sejak melihat Ibu pertama kali, Ayah tak pernah membiarkan Ibu lepas dari pengawasannya. Dia terus berkeliaran di sekitar Ibu sampai Ibu menyadari keberadaannya. Tapi waktu itu Ibu masih sangat muda sehingga terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ayah mencintainya.
Berkat kerja keras dan didukung kepintarannya dalam mempengaruhi orang, Ayah berhasil membujuk orangtua Ibu untuk menikahkannya dengan Ibu. Ayah sama sekali tak merasa perlu membujuk Ibu karena dia tahu Ibu itu sangat penurut dan menganut paham: cintailah apa yang kau miliki.
Suatu ketika kutemukan buku harian tua di salah satu sudut loteng yang digunakan sebagai gudang. Buku bersampul kulit itu milik Ayah, ditulis ketika aku mungkin masih berupa sel-sel yang tercecer di dalam tanah. Di dalamnya tertulis kalimat yang sudah cukup menggambarkan seperti apa cinta Ayah pada Ibu. Kalimat itu adalah “Aku sangat mencintainya sampai rasanya ingin memakannya”.
Ibu adalah contoh istri yang luar biasa. Dia mengabdi sepenuhnya pada suami. Mencintainya, merawatnya, dan sebisa mungkin tidak melakukan apa yang tidak disukai Ayah. Ibu sangat setia pada Ayah, mungkin seperti Setyawati dalam cerita pewayangan yang rela jari-jarinya dipotong demi menolong suaminya.
Setelah melahirkan aku, Ibu tidak pernah bisa benar-benar sehat seperti sebelumnya, padahal Ibu ingin punya banyak anak supaya rumah jadi ramai. Meski begitu, Ibu punya anak yang lain, Ayah, dia jelas lebih merepotkan dari anak mana pun juga dan bayi yang tidak pernah menjadi besar.
Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban setidaknya menelepon Ibu untuk laporan harian sebelum tidur dan harus meluangkan waktu senggangku untuk pulang.
Sebenarnya berada di rumah sangat menyenangkan. Ada Ibu dan segala bentuk perhatiannya dan kalau aku cukup beruntung, ada Ayah yang bisa aku ajak menonton pertandingan bola.
Tapi ada terlalu banyak daya tarik yang ada di luar rumah sehingga aku tidak bisa berlama-lama berada di rumah. Meskipun begitu, tetap saja aku merindukan Ibu dan menyimpannya sebagai alasan untuk pulang di bulan berikutnya.
Suatu kali aku pulang. Ada kabar gembira yang harus kusampaikan pada Ibu.
“Bu, aku sedang jatuh cinta,” kataku. “Hebat sekali, bukan?”
Ibu memandangku lama, kelihatan sangat heran, tapi kemudian tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat. “Oya? Benarkah? Ayo ceritakan pada Ibu.”
Lalu aku pun bercerita. Tentang seorang gadis yang berasal dari desa yang namanya tak tercantum di peta. Tentang bidadari kecil yang sangat manis. Tentang mahasiswi paling pintar di kampus. Tentang wanita angkuh yang pernah menampar wajahku.
Ibu sangat heran. “Dia menamparmu?”
“Ya, aku berdebat dengannya di sebuah forum diskusi. Dia melawan dengan gigih. Sewaktu acara usai, aku mencoba mengajaknya kencan dan dia menamparku.”
Ibu tertawa. “Kamu pasti jadi marah sekali.”
“Tentu saja. Setelah hari itu aku membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia marah, jengkel, dan kadang ketakutan. Lucu sekali.”
“Kenapa kamu mengganggunya? Terang-terang kamu yang salah. Bukankah seharusnya kamu minta maaf padanya?”
“Ibu bercanda. Masa gadis seperti itu harus dibiarkan saja? Karena dia sudah membuatku susah, maka dia harus dihukum. Bagaimanapun dia harus jadi milikku.”
“Ya ampun, kau persis ayahmu.”
Aku tersipu malu. “Ah, aku lebih suka mirip Ibu.”
“Tidak, Nak, kau persis ayahmu.”
Beberapa bulan kemudian aku telah berhasil menjadikan gadis itu pacarku. Ketika liburan semester tiba, aku membujuknya agar mau menghabiskan liburan di rumahku. Aku sangat ingin mengenalkannya pada Ibu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari Kanada dan kurasa sedang punya keinginan yang luar biasa untuk berada di rumah bersama Ibu.
Oya, pacarku itu bernama Setyawati. Tahu itu Ayah tertawa. “Itu adalah nama yang khusus diberikan pada wanita yang hebat,” katanya. Saat itu Ayah sedang melirik Ibu, tapi pacarku tersipu-sipu.
Selama seminggu itu Setyawati mendominasi ibuku. Mereka berkeliaran berdua sepanjang hari, dari mulai memetik buah di kebun, membuat kue-kue kecil aneka rupa yang nama-namanya sangat aneh, keluar masuk toko mencoba segala jenis gaun, sampai membicarakan sesuatu yang tak pernah bisa kumengerti meskipun sudah kucoba.
Aku dan Ayah mengawasi mereka berdua sambil tertawa cekikikan. Lucu sekali melihat bagaimana dua orang itu berkeliaran di sekeliling kami seperti angin ribut dan amat sangat repot mengerjakan ini dan itu untuk kami.
“Apakah kau menyadarinya?” tanya Ayah. “Kita ini memang ayah dan anak.”
Itu memang benar, pikirku, tapi tak perlu mengatakan sesuatu yang sudah jelas, kan?
Setelah pacarku pulang, aku menemui Ibu. Kukatakan kalau aku ingin menikahi Setyawati.
“Jangan menikahinya, Nak,” kata Ibu.
Aku mengerti. Kukira Ibu menyukainya. “Kenapa, Bu?”
“Jangan. Jangan menikahinya.”
“Bu, dia memang miskin, tapi dia sangat baik.”
“Aku tahu, tapi kau tak boleh menikahinya, Nak.”
“Kenapa, Bu? Aku mencintainya. Dia manis seperti Ibu.”
“Dan kau seperti ayahmu.”
“Aku tak mengerti.”
“Kalau kau menikahinya, kau akan membuatnya menderita seperti yang ayahmu lakukan pada Ibu.”
Aku tak pernah tahu kalau Ayah bisa membuat Ibu menderita. Hanya saja kalau Ayah tidak pulang, aku sering melihat Ibu duduk termenung di dekat jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi tampaknya lembarannya tak berganti. Aku curiga dia memang tidak sedang membaca. Pikirannya mungkin terbang pada Ayah. Tapi sebelum ini aku tak pernah memikirkan hal itu dengan serius meski aku melihatnya.
“Tidak, Bu, aku tidak seperti Ayah. Aku akan membuatnya bahagia. Ibu akan melihatnya nanti dan Ibu akan bangga.”
Seperti yang aku inginkan, memang pada akhirnya aku menikahi Setyawati. Bukankah sudah seharusnya begitu?
Setyawati persis seperti yang aku harapkan dari seorang istri. Manis, menyenangkan, dan mengurus segala keperluanku dengan baik. Dia menyediakan apa yang aku butuhkan: makanan yang lezat, rumah yang nyaman, dan cinta. Aku sangat mencintai Setyawati dan sangat kusadari bahwa hidupku pasti tak akan sesempurna ini tanpa dirinya.
Aku bekerja di perusahaan Ayah, mewakili Ayah dalam beberapa hal. Ternyata bekerja itu sangat menyenangkan, membaca laporan, memimpin rapat, memikirkan strategi baru, menandatangani banyak sekali dokumen dan kertas kerja, setelah itu uang datang seperti hujan.
Aku sangat suka pekerjaanku, termasuk setiap sentimeter kantorku. Bekerja memberiku kegairahan yang sama seperti saat aku bersama Setyawati. Banyak sekali kemajuan yang satu per satu dapat aku raih. Itu adalah suatu prestasi dan tentu saja berarti uang. Aku senang karena dengannya aku dapat membelikan Setyawati barang-barang paling bagus, perhiasan, gaun, dan apa saja yang terlintas di benakku atau apa saja yang dianjurkan sekretarisku yang menurutnya akan diterima oleh seorang wanita dengan senang hati.
Aku yakin Setyawati sangat bangga padaku. Tiap kali aku pulang, aku melihat pijar di matanya. Seperti biasa dia sangat baik hingga tak akan mau menyentuh makan malam sebelum aku pulang.
Ketika aku terlalu sibuk untuk makan bersamanya, aku merasa menyesal dan untuk menebus kesalahan itu kusuruh sekretarisku mengirimkan padanya rangkaian bunga mawar putih dan sebuah kartu berisi ucapan maaf. Setyawati akan mengeluh dan marah, tapi cuma sebentar karena aku punya cara paling manjur untuk membujuknya, yaitu dengan meminta maaf dan ditambah sedikit keluhan capek atau sakit kepala. Dia akan tergopoh- gopoh mengurusku dan lupa sama sekali dengan kemarahannya.
Tahun demi tahun berlalu, kurasakan waktu berjalan dengan begitu cepat sehingga aku hampir selalu kekurangan waktu untuk segala hal. Setyawati telah menjadi lebih memahamiku sehingga makin lama makin jarang mengeluh. Dia memang mirip Ibu. Ekspresi wajahnya serupa Ibu ketika menyambut aku di muka pintu. Dan aku sangat mencintainya.
Suatu hari aku pulang, berharap menemukan Setyawati yang cantik sedang menungguku di ruang keluarga sambil merajut. Tapi Setyawati tidak ada di mana-mana. Di atas bantalnya kutemukan selembar surat.
Untuk suamiku tercinta,
Selama ini telah kau berikan segalanya padaku, uang, kemewahan, kedudukan yang terhormat, semuanya. Kau juga telah begitu baik padaku. Tapi kau melupakan satu hal, bahwa aku sangat membutuhkanmu di sampingku, sesuatu yang kurasa hampir setiap saat kau lupakan. Aku telah mencoba bertahan, aku benar-benar telah mencobanya, tapi aku menyadari aku bukan wanita luar biasa yang sanggup diabaikan setiap waktu. Karena itu aku memilih pergi. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tahu aku akan sangat menderita jika terus bersamamu. Kumohon, demi kebaikan kita berdua, uruslah surat cerai secepatnya. Kalau kau lakukan itu, aku akan sangat berterima kasih.
Dariku, Setyawati.
Ini semua tidak mungkin. Kenapa? Bukankah semuanya baik-baik saja? Aku tak mengerti, tapi surat itu ada di sana dan Setyawati telah benar-benar pergi.
Aku menelepon Ibu.
“Nak,” katanya. “Sekarang kau mengerti, bukan? Kau seperti ayahmu.”
Lalu kutanyakan padanya apa yang ingin aku tahu. “Apakah Ibu juga akan pergi? Meninggalkan Ayah?”
Jawabnya, “Nak, Setyawati yang ini berbeda dengan Setyawati-mu. Dia punya sayap yang kuat untuk terbang, sedangkan Ibu, Nak, Ibu tak punya kekuatan dan keberanian untuk pergi. Sayap-sayap Ibu telah patah. Nak, sudah sejak lama. Lama sekali.”
Aku sangat ingin menangis dan meminta maaf pada Setyawati. Dan juga pada Ibu.
Yuni Kristianingsih
Setyawati adalah nama ibuku. Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun.
Hal pertama yang kuingat dari diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati, kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi melatinya masih tercium.
Ibuku selalu bisa bersikap manis bahkan ketika sedang marah. Kalau ada dia, rasanya semuanya bisa diurus dengan baik. Semua orang sayang padanya. Bahkan, kupikir bunga-bunga di kebun itu mengangguk-angguk bukan hanya karena tertiup angin, tapi juga karena ingin menyapa Ibu.
Ibu sangat sayang padaku meski aku hanya jarang-jarang saja berada di dekatnya. Aku sangat sering pergi.
Kadang aku pergi dan kembali hanya untuk sebuah alasan sederhana. Kadang bahkan tak perlu alasan sama sekali. Dan aku senang melakukannya. Tapi Ibu tidak.
Tiap kali aku muncul di depan pintu, kata pertama bukan “selamat datang” atau paling tidak “hai sayang”, tapi “berapa lama kau akan tinggal?” dan kalau jawabanku adalah “besok aku harus kembali” wajahnya jadi muram seakan- akan aku sedang pamit perang melawan seribu orang raksasa.
Orang menganggap ibuku wanita yang sangat beruntung padahal sebenarnya dia orang yang malang. Orang-orang yang Ibu cintai selalu meninggalkan Ibu sendirian. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, Senin ke Jepang, Rabu ke Singapura, Kamis ke Swiss, dan minggu berikutnya entah ke mana lagi. Kalau Ibu protes, paling-paling Ayah akan pulang dengan wajah tidak berdosa sambil membawa sebuket bunga, kalung permata, dan ajakan makan malam berdua. Begitu saja Ibu langsung tersipu-sipu. Ayah memang pandai merayu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia berpamitan pada Ibu keesokan harinya sebelum dia menghilang di balik pintu.
Walaupun begitu, Ibu boleh bangga karena Ayah sangat mencintainya. Bagi Ayah, itu adalah rahasia terbesarnya, tapi aku tahu karena aku laki-laki dan juga putra Ibu.
Pernah suatu ketika, di antara sedikit waktu luang Ayah, dia menceritakan bagaimana dulu dia harus berjuang keras untuk mendapatkan cinta Ibu.
Ibu adalah gadis paling manis yang pernah dikenal Ayah, sedangkan Ayah adalah laki-laki paling brengsek yang pernah diketahui Ibu. Vila keluarga mereka di Kaliurang berdekatan, tapi keluarga keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang penuh martabat dan tata krama, sedangkan keluarga Ayah merupakan gambaran paling ideal untuk penganut paham materialisme dan pemikiran liberal: punya segalanya, tapi jelas tidak bahagia. Tapi, sudah merupakan hukum Tuhan kalau kutub positif magnet selalu bertemu dengan kutub negatifnya.
Sejak melihat Ibu pertama kali, Ayah tak pernah membiarkan Ibu lepas dari pengawasannya. Dia terus berkeliaran di sekitar Ibu sampai Ibu menyadari keberadaannya. Tapi waktu itu Ibu masih sangat muda sehingga terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ayah mencintainya.
Berkat kerja keras dan didukung kepintarannya dalam mempengaruhi orang, Ayah berhasil membujuk orangtua Ibu untuk menikahkannya dengan Ibu. Ayah sama sekali tak merasa perlu membujuk Ibu karena dia tahu Ibu itu sangat penurut dan menganut paham: cintailah apa yang kau miliki.
Suatu ketika kutemukan buku harian tua di salah satu sudut loteng yang digunakan sebagai gudang. Buku bersampul kulit itu milik Ayah, ditulis ketika aku mungkin masih berupa sel-sel yang tercecer di dalam tanah. Di dalamnya tertulis kalimat yang sudah cukup menggambarkan seperti apa cinta Ayah pada Ibu. Kalimat itu adalah “Aku sangat mencintainya sampai rasanya ingin memakannya”.
Ibu adalah contoh istri yang luar biasa. Dia mengabdi sepenuhnya pada suami. Mencintainya, merawatnya, dan sebisa mungkin tidak melakukan apa yang tidak disukai Ayah. Ibu sangat setia pada Ayah, mungkin seperti Setyawati dalam cerita pewayangan yang rela jari-jarinya dipotong demi menolong suaminya.
Setelah melahirkan aku, Ibu tidak pernah bisa benar-benar sehat seperti sebelumnya, padahal Ibu ingin punya banyak anak supaya rumah jadi ramai. Meski begitu, Ibu punya anak yang lain, Ayah, dia jelas lebih merepotkan dari anak mana pun juga dan bayi yang tidak pernah menjadi besar.
Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban setidaknya menelepon Ibu untuk laporan harian sebelum tidur dan harus meluangkan waktu senggangku untuk pulang.
Sebenarnya berada di rumah sangat menyenangkan. Ada Ibu dan segala bentuk perhatiannya dan kalau aku cukup beruntung, ada Ayah yang bisa aku ajak menonton pertandingan bola.
Tapi ada terlalu banyak daya tarik yang ada di luar rumah sehingga aku tidak bisa berlama-lama berada di rumah. Meskipun begitu, tetap saja aku merindukan Ibu dan menyimpannya sebagai alasan untuk pulang di bulan berikutnya.
Suatu kali aku pulang. Ada kabar gembira yang harus kusampaikan pada Ibu.
“Bu, aku sedang jatuh cinta,” kataku. “Hebat sekali, bukan?”
Ibu memandangku lama, kelihatan sangat heran, tapi kemudian tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat. “Oya? Benarkah? Ayo ceritakan pada Ibu.”
Lalu aku pun bercerita. Tentang seorang gadis yang berasal dari desa yang namanya tak tercantum di peta. Tentang bidadari kecil yang sangat manis. Tentang mahasiswi paling pintar di kampus. Tentang wanita angkuh yang pernah menampar wajahku.
Ibu sangat heran. “Dia menamparmu?”
“Ya, aku berdebat dengannya di sebuah forum diskusi. Dia melawan dengan gigih. Sewaktu acara usai, aku mencoba mengajaknya kencan dan dia menamparku.”
Ibu tertawa. “Kamu pasti jadi marah sekali.”
“Tentu saja. Setelah hari itu aku membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia marah, jengkel, dan kadang ketakutan. Lucu sekali.”
“Kenapa kamu mengganggunya? Terang-terang kamu yang salah. Bukankah seharusnya kamu minta maaf padanya?”
“Ibu bercanda. Masa gadis seperti itu harus dibiarkan saja? Karena dia sudah membuatku susah, maka dia harus dihukum. Bagaimanapun dia harus jadi milikku.”
“Ya ampun, kau persis ayahmu.”
Aku tersipu malu. “Ah, aku lebih suka mirip Ibu.”
“Tidak, Nak, kau persis ayahmu.”
Beberapa bulan kemudian aku telah berhasil menjadikan gadis itu pacarku. Ketika liburan semester tiba, aku membujuknya agar mau menghabiskan liburan di rumahku. Aku sangat ingin mengenalkannya pada Ibu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari Kanada dan kurasa sedang punya keinginan yang luar biasa untuk berada di rumah bersama Ibu.
Oya, pacarku itu bernama Setyawati. Tahu itu Ayah tertawa. “Itu adalah nama yang khusus diberikan pada wanita yang hebat,” katanya. Saat itu Ayah sedang melirik Ibu, tapi pacarku tersipu-sipu.
Selama seminggu itu Setyawati mendominasi ibuku. Mereka berkeliaran berdua sepanjang hari, dari mulai memetik buah di kebun, membuat kue-kue kecil aneka rupa yang nama-namanya sangat aneh, keluar masuk toko mencoba segala jenis gaun, sampai membicarakan sesuatu yang tak pernah bisa kumengerti meskipun sudah kucoba.
Aku dan Ayah mengawasi mereka berdua sambil tertawa cekikikan. Lucu sekali melihat bagaimana dua orang itu berkeliaran di sekeliling kami seperti angin ribut dan amat sangat repot mengerjakan ini dan itu untuk kami.
“Apakah kau menyadarinya?” tanya Ayah. “Kita ini memang ayah dan anak.”
Itu memang benar, pikirku, tapi tak perlu mengatakan sesuatu yang sudah jelas, kan?
Setelah pacarku pulang, aku menemui Ibu. Kukatakan kalau aku ingin menikahi Setyawati.
“Jangan menikahinya, Nak,” kata Ibu.
Aku mengerti. Kukira Ibu menyukainya. “Kenapa, Bu?”
“Jangan. Jangan menikahinya.”
“Bu, dia memang miskin, tapi dia sangat baik.”
“Aku tahu, tapi kau tak boleh menikahinya, Nak.”
“Kenapa, Bu? Aku mencintainya. Dia manis seperti Ibu.”
“Dan kau seperti ayahmu.”
“Aku tak mengerti.”
“Kalau kau menikahinya, kau akan membuatnya menderita seperti yang ayahmu lakukan pada Ibu.”
Aku tak pernah tahu kalau Ayah bisa membuat Ibu menderita. Hanya saja kalau Ayah tidak pulang, aku sering melihat Ibu duduk termenung di dekat jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi tampaknya lembarannya tak berganti. Aku curiga dia memang tidak sedang membaca. Pikirannya mungkin terbang pada Ayah. Tapi sebelum ini aku tak pernah memikirkan hal itu dengan serius meski aku melihatnya.
“Tidak, Bu, aku tidak seperti Ayah. Aku akan membuatnya bahagia. Ibu akan melihatnya nanti dan Ibu akan bangga.”
Seperti yang aku inginkan, memang pada akhirnya aku menikahi Setyawati. Bukankah sudah seharusnya begitu?
Setyawati persis seperti yang aku harapkan dari seorang istri. Manis, menyenangkan, dan mengurus segala keperluanku dengan baik. Dia menyediakan apa yang aku butuhkan: makanan yang lezat, rumah yang nyaman, dan cinta. Aku sangat mencintai Setyawati dan sangat kusadari bahwa hidupku pasti tak akan sesempurna ini tanpa dirinya.
Aku bekerja di perusahaan Ayah, mewakili Ayah dalam beberapa hal. Ternyata bekerja itu sangat menyenangkan, membaca laporan, memimpin rapat, memikirkan strategi baru, menandatangani banyak sekali dokumen dan kertas kerja, setelah itu uang datang seperti hujan.
Aku sangat suka pekerjaanku, termasuk setiap sentimeter kantorku. Bekerja memberiku kegairahan yang sama seperti saat aku bersama Setyawati. Banyak sekali kemajuan yang satu per satu dapat aku raih. Itu adalah suatu prestasi dan tentu saja berarti uang. Aku senang karena dengannya aku dapat membelikan Setyawati barang-barang paling bagus, perhiasan, gaun, dan apa saja yang terlintas di benakku atau apa saja yang dianjurkan sekretarisku yang menurutnya akan diterima oleh seorang wanita dengan senang hati.
Aku yakin Setyawati sangat bangga padaku. Tiap kali aku pulang, aku melihat pijar di matanya. Seperti biasa dia sangat baik hingga tak akan mau menyentuh makan malam sebelum aku pulang.
Ketika aku terlalu sibuk untuk makan bersamanya, aku merasa menyesal dan untuk menebus kesalahan itu kusuruh sekretarisku mengirimkan padanya rangkaian bunga mawar putih dan sebuah kartu berisi ucapan maaf. Setyawati akan mengeluh dan marah, tapi cuma sebentar karena aku punya cara paling manjur untuk membujuknya, yaitu dengan meminta maaf dan ditambah sedikit keluhan capek atau sakit kepala. Dia akan tergopoh- gopoh mengurusku dan lupa sama sekali dengan kemarahannya.
Tahun demi tahun berlalu, kurasakan waktu berjalan dengan begitu cepat sehingga aku hampir selalu kekurangan waktu untuk segala hal. Setyawati telah menjadi lebih memahamiku sehingga makin lama makin jarang mengeluh. Dia memang mirip Ibu. Ekspresi wajahnya serupa Ibu ketika menyambut aku di muka pintu. Dan aku sangat mencintainya.
Suatu hari aku pulang, berharap menemukan Setyawati yang cantik sedang menungguku di ruang keluarga sambil merajut. Tapi Setyawati tidak ada di mana-mana. Di atas bantalnya kutemukan selembar surat.
Untuk suamiku tercinta,
Selama ini telah kau berikan segalanya padaku, uang, kemewahan, kedudukan yang terhormat, semuanya. Kau juga telah begitu baik padaku. Tapi kau melupakan satu hal, bahwa aku sangat membutuhkanmu di sampingku, sesuatu yang kurasa hampir setiap saat kau lupakan. Aku telah mencoba bertahan, aku benar-benar telah mencobanya, tapi aku menyadari aku bukan wanita luar biasa yang sanggup diabaikan setiap waktu. Karena itu aku memilih pergi. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tahu aku akan sangat menderita jika terus bersamamu. Kumohon, demi kebaikan kita berdua, uruslah surat cerai secepatnya. Kalau kau lakukan itu, aku akan sangat berterima kasih.
Dariku, Setyawati.
Ini semua tidak mungkin. Kenapa? Bukankah semuanya baik-baik saja? Aku tak mengerti, tapi surat itu ada di sana dan Setyawati telah benar-benar pergi.
Aku menelepon Ibu.
“Nak,” katanya. “Sekarang kau mengerti, bukan? Kau seperti ayahmu.”
Lalu kutanyakan padanya apa yang ingin aku tahu. “Apakah Ibu juga akan pergi? Meninggalkan Ayah?”
Jawabnya, “Nak, Setyawati yang ini berbeda dengan Setyawati-mu. Dia punya sayap yang kuat untuk terbang, sedangkan Ibu, Nak, Ibu tak punya kekuatan dan keberanian untuk pergi. Sayap-sayap Ibu telah patah. Nak, sudah sejak lama. Lama sekali.”
Aku sangat ingin menangis dan meminta maaf pada Setyawati. Dan juga pada Ibu.
Yuni Kristianingsih
Malam Sepasang Lampion
Malam Sepasang Lampion
Hujan-yang kau sangka bisa menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam, atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar.
Dan kau, Xi Shi, diimpit gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau, tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan.
Kau tahu apa yang kau harapkan Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka, perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The Chinese Garden of Friendship.
Ya, ya, kau pasti membayangkan kristal-kristal air itu akan berubah menjadi jarum-jarum tato yang menusuk-nusuk ke sekujur tubuh. Kau pasti mengharapkan petir akan menyambar sepasang bahu indah, membakar rambut panjang terurai, dan mengabukan jasad naga yang senantiasa menjelita di keriuhan ruang kasino dan restoran-restoran bergorden sutra. “Maka, sungguh busuk hati para turis yang tak segera memotret tarianmu. Sungguh bodoh mereka yang tak bergegas mengabadikan kenikmatan seorang perempuan mendamba kematian.”
Aduh! Aku sebenarnya tak perlu mendengus-dengus seperti itu, Xi Shi. Mataku masih waras untuk memergoki ketololan para pejalan kaki. Mereka memang membelalakkan mata harimau dan berharap kau segera telanjang, tetapi sesungguhnya terlalu takut menatap tubuhmu yang terus-menerus menggelinjang itu ditabrak mobil polisi yang berpatroli. Mereka memang mengasah keberanian untuk menyeretmu dari amuk petir, tetapi tak sejumput nyali pun mengecambah untuk sekadar membebaskanmu dari cambukan hujan.
Namun, Thian1) dan naga paling ganas tak mengasah lidah api di langit Sussex. Hujan mereda justru ketika kau mengharapkan kota ini dihantam banjir dahsyat, terhapus dari peta Sydney dan keangkuhan para perintis asal Guangdong yang membangun taman-taman persahabatan sembari melupakan penghinaan besar-besaran terhadap orang-orang Asia pada masa Politik Australia Putih.2)
Maka, dipandang dari angkasa yang jauh, Chinatown hanyalah sebuah akuarium penuh cahaya lampion. Kau dan turis-turis yang memuja kosmetik dan kepalsuan kostum Negeri Leluhur yang disewakan secara murah tak lebih dari ikan-ikan konyol yang berenangan dari Hay Market ke Sussex, Dixon ke Goulburn, atau Sussex ke Dixon. Kau hanya melingkar-lingkar dalam labirin dan jadi tontonan turis bego. Apakah kau juga menikmati penjara yang ditebarkan lampion-lampion indah itu, Xi Shi?
Sudah kuduga Xi Shi tak akan menjawab pertanyaanku. Aku juga yakin dia tak akan pernah peduli pada siapa pun yang menebarkan sepasang mata ke sekujur tubuhnya saat itu.
Musim dingin memang menjijikkan. Namun, bukan lantaran sayatan-sayatan udara minus 8 Celsius itu yang membuat Xi Shi abai pada kekasih. Bergaul dengan dia sepanjang waktu, aku jadi paham kapan perempuan indah itu menebar senyum, merokok, mengisap marijuana, teler, menari, memimpin gerombolan bandit merampok toko, berjalan sambil mengendus- endus bau anjing, menangis, atau bercumbu.
Bahkan, andai kata dia tahu sudah sesiang tadi aku menguntit ketika dia bercermin di kehijauan kolam yang dikepung bambu-bambu di Kuil Kupu-kupu, sangat mungkin Xi Shi mengabaikan kehadiranku.
Xi Shi memang suka bercermin. Namun, aku tahu benar, dia bukan jenis perempuan narsistis. Rasa-rasanya dia hanya percaya pada cermin atau apa pun yang bisa memantulkan sekujur tubuhnya. Cermin telah memberikan pemahaman tak kunjung habis tentang siapa dirinya. Menatap cermin lama-lama Xi Shi tahu Thian telah memberikan anugerah sekaligus kutukan.
“Apa yang kaurasakan saat bercermin, Xi Shi?” selalu aku bertanya sehabis kami mengisap marijuana.
“Aku melihat keheningan kuil-kuil sehabis hujan, kolam yang senantiasa hijau, sepasang undan tak henti-henti menciptakan gelombang transversal, gunung penuh sukma leluhur, mata burung phoenix setelah membakar sayap, dan kera-kera kecil bergelantungan. aku melihat diriku sebagai ratu naga paling rupawan.”
“Apa yang kau rasakan saat bercermin, Xi Shi?” aku selalu mengulang pertanyaan itu.
“Aku melihat Buddha menatap kesedihan dari jalanan sunyi ke lorong-lorong mesum. Aku melihat Yesus mengerang-ngerang dan lambungnya mengucurkan penderitaan terus-menerus. Aku melihat bocah-bocah kecil menadahkan tangan dan aku sedikitpun tak pernah merasa kasihan.”
Dan ketahuilah tak seorang pun menganggap Xi Shi edan. Dia memang perempuan bandit yang sejak kecil membawa pisau lipat ke mana-mana, namun tak sepercik pun darah orang Sussex menetes oleh kebengisannya. Dia memang pemimpin gerombolan perampok tengil, namun tak sepotong pun jarum orang Sussex hilang oleh tangan iblisnya.
Mungkin karena itulah, penduduk membiarkan Xi Shi menari-nari atau berteriak-teriak tak keruan di jalanan. Tak ada alasan bagi mereka untuk tak memuja Xi Shi. Xi Shi membuat Sussex tak dijarah preman-preman Aborigin. Xi Shi membuat pria-pria sok polisi mati berdiri saat menatap dia menari di ruang-ruang kasino atau telanjang bulat di penjara yang sunyi.
Berlebihan? Tidak. Xi Shi memang lahir untuk menjadi perempuan yang tak pernah peduli pada tubuhnya sendiri. Bagaimana harus percaya pada tubuh, kalau sejak kecil sudah jadi sarang pukulan ayahnya yang bengis? Bagaimana percaya pada tubuh kalau pada usia dua belas tahun sudah diganyang preman jalanan? O, bagaimana dia merasa memiliki tubuh jika pada saat umur mulai mengelopak pacar dan sang ibu berebut mencumbu dirinya?
Kesakitan demi kesakitan itukah yang menjadikannya sebagai perempuan iblis? Apa jadinya jika sihir sang Mahasakit telah kehilangan teluhnya? Entahlah. Yang jelas Xi Shi telah menjadi batu yang cuek dan terluka. Yang jelas Thian memberikan sepasang mata indah sekaligus tak pernah menganugerahkan rasa sakit kepadanya.
Maka, pahamilah mengapa sejak siang tadi Xi Shi mengabaikan kehadiranku. Kehadiran orang lain yang dia sangka sebagai neraka itu.3) Ya, di yang ya, aku, penderita bodoh ini, relung mata Xi Shi ganjil, tetap sebagai pelukis tato. Tetap saja hanya budak impian ingin menebarkan rasa sakit tubuhnya.
Aha! Kau pasti ingin bertanya mengapa sepanjang hari aku menguntit Xi Shi? Minumlah kopi di kafe-kafe dulu. Ciumlah kekasih-kekasihmu di jalanan gelap dulu. Setelah itu, dengarlah ceritaku!
Yu Chao, bandit bengis Makau yang ingin menguasai Sussex-lah, yang memperkenalkan aku kepada Xi Shi. Waktu itu di Star City, di ruangan kasino berarsitektur Cina mewah yang dikepung 200 meja permainan dan 1.500 mesin slot, bersama para penari lain Xi Shi menarikan salah satu nomor Shanghai Dance.
“Jangan menganggap remeh penari bermata liar itu. Dia memang suka menari, tetapi dia bandit yang tak terkalahkan. Dia memang menebar mata indah. Namun, sesungguhnya dia hanya ingin menatap lama-lama calon korbannya. Setelah mereka teperdaya, habislah riwayat kekayaan para pria bodoh itu. Perempuan licik ini akan mengajak mereka berjudi terus-menerus dan mencumbu serigala-serigala bloon itu hingga mereka tak punya keberanian menolak segala keinginan Xi Shi, bahkan akhirnya mempercayai dia sebagai ratu,” Yu Chao mendesis.
Tak kurespons kekaguman Yu Chao. Dan sebagai perempuan mata-mata yang dibayar Yu Chao untuk menenggelamkan para pemain kasino atau bandit lain ke ceruk kekalahan, aku memang tak berhak membuncahkan kata-kata yang paling tak bermakna sekalipun.
“Aku dengar dia mencari perempuan penato yang bisa mengguratkan sepasang naga di sekujur tubuh. Aku dengar dia ingin menunjukkan kepada para bandit Sussex betapa rasa sakit paling sakit pun tak membuatnya gigrik menghadapi kehidupan. Dan sekarang, kau, Cit Li, kutugaskan untuk menenggelamkan dia ke comberan.”
“Kenapa aku? Kenapa harus seorang perempuan penato? Bukankah Fan Li, pemimpin Gerombolan Naga Sembilan, musuh bebuyutan yang paling kita takuti pun telah bertekuk lutut kepadanya?”
“Karena Fan Li tak punya apa-apa, kecuali pistol dan kebodohan. Kau lain, Cit Li. Kau punya jarum-jarum tato. Kau…,” Yu Chao mendesiskan alasan-alasan aneh.
Tak butuh musim demi musim yang lebih menjijikkan untuk menyusup ke ceruk kehidupan Xi Shi. Sebulan menguntit perempuan iblis itu, aku menemukan keindahan sekaligus kerapuhan jiwa moleknya Xi Shi-yang kutaksir telah 30 tahun tak usai-usai memahami kepedihan-sangat menyukai penari-penari muda. Dan karena aku sangat mahir menarikan nomor-nomor Shanghai Dance, dia meminta aku mengajarinya sepanjang hari di apartemennya. Xi Shi-seperti dugaan Yu Chao-juga membutuhkan perempuan penato. Dan karena menganggap aku sebagai penato hebat, dia memaksaku menusukkan jarum-jarum tatoku ke tubuh indah yang seharusnya tak membutuhkan tambahan keindahan itu.
Sampai di sini harus kukatakan kepadamu: Yu Chao keliru ketika memilihku menjadi kaki tangannya. Dia tak tahu betapa aku sangat bisa dan cepat berpaling dari serigala-serigala bengis yang tak percaya pada kekuatannya sendiri. Dia keliru menafsirkan kelembutanku sebagai perempuan. Dia juga keliru ketika terlalu percaya pada ketakmungkinanku terperosok dalam sihir cinta monster cantik itu. Maka, sebengis apa pun kemarahan Yu Chao, perintah-perintah dan bayaran setinggi langit agar aku segera membunuh Xi Shi pun kuabaikan.
Memang seorang pelukis tato hanya berhak memandang keindahan tanpa boleh memiliki sejumput keinginan mencumbu tubuh para pelanggan. Namun, Xi Shi telah menebar candu cinta yang begitu dahsyat sehingga aku memiliki keberanian melanggar segala pantangan. Melanggar petuah-petuah leluhur dan melawan aturan-aturan Thian hanya untuk sebuah kisah kasih yang konyol. Hanya untuk wajah liar Xi Shi saat didera sepotong rembulan.
Apakah Yu Chao menyangka aku tak bisa mencintai perempuan?
Tak perlu dia menjawab pertanyaan itu. Namun, seharusnyalah dia mendengarkan desis Xi Shi ketika pada suatu malam menebarkan teluh cinta kepadaku.
“Maukah kau segera mengguratkan tato sepasang naga, Cit Li?”
“Ya, Xi Shi, ya, akan kutatokan sepasang naga di sekujur tubuhmu. Akan kuguratkan juga sepasang lampion indah di bahumu.”
“Dalam warna-warni pelangi yang kusuka?”
“Ya, dalam warna-warni pelangi yang kau suka.”
Apakah Yu Chao masih berani menyangka kami hanya sepasang undan yang tak mungkin bercinta?
Sekarang izinkan aku menceritakan kepadamu tentang keindahan segurat kepedihan. Ketahuilah, tak seorang pun pelangganku yang mampu menahan rasa sakit. Setiap jarum- jarum tajam itu kuhunjamkan ke tubuh, mereka akan meringis atau berteriak-teriak menyebut nama Thian. Xi Shi sungguh sebuah perkecualian. Tak pernah menyebut nama Thian. Tak mengeluh sedikit pun saat jarum menusuk-nusuk membentuk ekor, kepala, sisik, dan taring tajam.
“Masih adakah yang lebih sakit daripada tusukan-tusukan indahmu, Cit Li?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Ingatanku melayang ke cerita Nenek tentang Sussex puluhan tahun lalu. “Dulu… dulu sekali… di Sussex hanya ada delapan perempuan Cina, Cucuku. Kau tahu, apa yang terjadi ketika delapan perempuan itu harus menghadapi pria-pria serigala?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab pertanyaan Nenek. Namun, kini aku bisa membayangkan rasa sakit yang meletup-letup saat serigala-serigala itu mencabik-cabik daging indah para perempuan selembut keramik. “Karena itu, Cucuku, setiap perempuan Sussex diajari melupakan rasa sakit dan sebaliknya harus mampu menebarkan kesakitan yang luar biasa. Hanya dengan cara itu mereka bisa hidup. Hanya dengan cara itu Nenek bisa memiliki cucu secantik kamu.”
Maka, aku jadi tahu mengapa pada saat usiaku menginjak enam tahun. Nenek mengajariku menato tubuh sendiri. Mula- mula memang rasa sakit itu menebar ke sekujur tubuh, namun lama-lama menimbulkan kenikmatan luar biasa.
Nenek juga mengajari aku membenci setiap laki-laki. Laki- laki adalah serigala bodoh. Kata Nenek, dia selalu mencakar wajah Kakek saat mereka bercumbu. Ibuku juga lahir sebagai betina perkasa. Dia bercinta habis-habisan dengan Ayah, namun setiap malam membawa pria Aborigin atau serigala-serigala Sydney ke ranjang.
Lalu, kalaupun aku kemudian bekerja untuk Yu Chao, itu hanyalah siasat untuk menggiring pria bodoh Makau ini ke jurang paling dalam. “Hanya orang-orang yang bisa pelanggan yang sedang kautato. Kalau kaulanggar, jari-jemarimu akan patah. Matamu akan buta. Cintamu akan menghunjam ke comberan…..”
“Tak ada lagikah rasa sakit yang kau hunjamkan ke tubuhku, Cit Li?” Xi Shi mendesis lagi.
Lagi-lagi tak kujawab pertanyaan itu. Sambil memandang lukisan sepasang naga setengah jadi di tubuh Xi Shi, ingatanku melambung pada puluhan perempuan yang dicumbu dan dicambuki pria-pria sadis, pada pria-pria ganas yang menyiksa perempuan Cina di negara tetangga, pada kegilaan Yu Chao yang tak habis-habis mengusung puluhan penari ke apartemennya. O, apakah kami-para perempuan yang dicipta serupa bidadari-memang telah benar-benar melupakan rasa sakit? Dan Xi Shi, monster cantik itu, apakah telah melupakan pedih perih hingga ke tulang sumsum? Tak bisa kujawab pertanyaan itu. Tak bisa.
“Sepasang lampion itu telah kau guratkan ke bahuku, Cit Li?” Xi Shi membuyarkan lamunanku, “Apakah tubuhku terlalu indah bagimu?”
Aku mengangguk.
“Seperti dirimu, aku tahu, Cit Li, kau dikutuk untuk tak pernah merasakan kesakitan dan dilarang mencintai serigala- serigala Sussex bukan?”
Aku mengangguk lagi. Namun, Xi Shi tak tahu, aku juga tak boleh mencintai pelangganku. Xi Shi tak tahu keliaran dan sepasang lampion di matanya telah menaklukkan tebaran kutuk leluhur yang melilit diriku sepanjang waktu.
Kegairahan dan ketakutan itu akhirnya justru membuatku abai pada segala hal. Maka, dengan berahi dan cinta yang meletup-letup kutusuk-tusukkan jarum-jarum tato hingga sepasang naga betina dan sepasang lampion cantik menggurat di tubuh Xi Shi yang mestinya terlalu indah untuk dilukai. “Setelah ini, kau tak boleh ke mana-mana Xi Shi. Kau tak boleh menari. Kau tak boleh berkeliaran ke kuil-kuil. Kau tak boleh asyik-masyuk di ruang kasino atau melahap makanan sembarangan di restoran,” aku mendesis tak keruan dan merasa mengubah Xi Shi hanya menjadi seekor cacing.
“Kalau kulanggar?”
“Sepasang naga dan lampion-lampion itu akan hilang.”
Namun, di relung-relung musim Sussex yang menjijikkan, kau menghilang, Xi Shi. Rasa sakit yang kutebar lewat jarum tatoku, bahkan tak kaupedulikan. Dengan lipstik merah di cermin yang senantiasa memantulkan percumbuan kita, kau menuliskan kata-kata bodoh yang tak bakal dikenang oleh orang-orang yang mengaku sangat peduli pada penderitaan. Apa arti tulisan “Melawan sakit adalah kebodohan?” Apa pula makna “Melupakan sakit sama dengan melupakan Thian?” Bukankah kita telah lama melupakan penderitaan dan carut- marut zaman? Bukankah kita tak mampu berbuat apa-apa ketika manusia-manusia ganas membakar perempuan-perempuan lembut di ujung jalan?
Memang kemudian kau kutemukan di keriuhan kutuk hujan, tetapi tak lama lagi sepasang naga dan lampion-lampion itu akan menghilang. Kulitmu bakal mengelupas. Keliaranmu tanggal. Kau tak akan bisa menari di ruang kasino. Kau tak akan bisa merampok orang-orang kaya di pedesaan. Jiwamu bakal rontok di trotoar.
Karena itu, mesti tarianmu kian kacau, aku akan terus-menerus menguntitmu, Xi Shi. Aku harus menjagamu, wahai naga betinaku. Hanya kau yang kelak mampu memaknai surga Sussex. Hanya kau yang mampu menebarkan derita paling terkutuk pada orang-orangyang telah melupakan rasa sakit. Maka peluk kecup4) serigala, yang melupakan lalu buang ke selokan. Peluk kecup perempuan garang kemontokan dirinya sendiri, tinggalkan kalau merayu5). Namun, jangan kau jadikan aku boneka mainanmu.
“Apakah sepasang naga yang kautatokan di tubuhku telah hilang, Cit Li?” suaramu mengiang.
“Yu Chao yang telah hilang dan kembali ke Makau.”
“Apakah sepasang lampion itu juga telah sirna, Cit Li?”
“Aku yang telah hilang karena segala cintaku kauabaikan.”
Maka, sungguh sialan kalau aku masih ingin menguntitmu, Xi Shi. Sungguh aneh kalau aku terpaku di bawah sepasang lampion dan terus-menerus menatap tarian gilamu.
“O, adakah yang lebih edan daripada sepasang kekasih yang menggelegakkan tawa bahagia di riuh malam yang kehilangan amuk hujan, Xi Shi? Adakah yang lebih konyol daripada sepasang tawa yang kehilangan jiwa?”
Aku tahu… kau terus menari hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari.
Semarang 2003-Sussex 2001
Catatan:
1) Thian adalah bahasa Cina untuk menggantikan kata Tuhan.
2) Pada awal abad ke-20 Australia memberlakukan White Australia Policy yang melarang imigran Asia, termasuk Cina, masuk ke Benua Kanguru. Orang-orang Cina yang telah bekerja dan tinggal di berbagai kota didiskriminasi, dihina, dan diperlakukan secara tak adil.
3) Neraka adalah orang lain adalah ungkapan khas Sartre.
4) dan 5) bagian sajak Chairil Anwar, “Kepada Kawan”.
Triyanto Triwikromo
Hujan-yang kau sangka bisa menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam, atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar.
Dan kau, Xi Shi, diimpit gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau, tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan.
Kau tahu apa yang kau harapkan Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka, perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The Chinese Garden of Friendship.
Ya, ya, kau pasti membayangkan kristal-kristal air itu akan berubah menjadi jarum-jarum tato yang menusuk-nusuk ke sekujur tubuh. Kau pasti mengharapkan petir akan menyambar sepasang bahu indah, membakar rambut panjang terurai, dan mengabukan jasad naga yang senantiasa menjelita di keriuhan ruang kasino dan restoran-restoran bergorden sutra. “Maka, sungguh busuk hati para turis yang tak segera memotret tarianmu. Sungguh bodoh mereka yang tak bergegas mengabadikan kenikmatan seorang perempuan mendamba kematian.”
Aduh! Aku sebenarnya tak perlu mendengus-dengus seperti itu, Xi Shi. Mataku masih waras untuk memergoki ketololan para pejalan kaki. Mereka memang membelalakkan mata harimau dan berharap kau segera telanjang, tetapi sesungguhnya terlalu takut menatap tubuhmu yang terus-menerus menggelinjang itu ditabrak mobil polisi yang berpatroli. Mereka memang mengasah keberanian untuk menyeretmu dari amuk petir, tetapi tak sejumput nyali pun mengecambah untuk sekadar membebaskanmu dari cambukan hujan.
Namun, Thian1) dan naga paling ganas tak mengasah lidah api di langit Sussex. Hujan mereda justru ketika kau mengharapkan kota ini dihantam banjir dahsyat, terhapus dari peta Sydney dan keangkuhan para perintis asal Guangdong yang membangun taman-taman persahabatan sembari melupakan penghinaan besar-besaran terhadap orang-orang Asia pada masa Politik Australia Putih.2)
Maka, dipandang dari angkasa yang jauh, Chinatown hanyalah sebuah akuarium penuh cahaya lampion. Kau dan turis-turis yang memuja kosmetik dan kepalsuan kostum Negeri Leluhur yang disewakan secara murah tak lebih dari ikan-ikan konyol yang berenangan dari Hay Market ke Sussex, Dixon ke Goulburn, atau Sussex ke Dixon. Kau hanya melingkar-lingkar dalam labirin dan jadi tontonan turis bego. Apakah kau juga menikmati penjara yang ditebarkan lampion-lampion indah itu, Xi Shi?
Sudah kuduga Xi Shi tak akan menjawab pertanyaanku. Aku juga yakin dia tak akan pernah peduli pada siapa pun yang menebarkan sepasang mata ke sekujur tubuhnya saat itu.
Musim dingin memang menjijikkan. Namun, bukan lantaran sayatan-sayatan udara minus 8 Celsius itu yang membuat Xi Shi abai pada kekasih. Bergaul dengan dia sepanjang waktu, aku jadi paham kapan perempuan indah itu menebar senyum, merokok, mengisap marijuana, teler, menari, memimpin gerombolan bandit merampok toko, berjalan sambil mengendus- endus bau anjing, menangis, atau bercumbu.
Bahkan, andai kata dia tahu sudah sesiang tadi aku menguntit ketika dia bercermin di kehijauan kolam yang dikepung bambu-bambu di Kuil Kupu-kupu, sangat mungkin Xi Shi mengabaikan kehadiranku.
Xi Shi memang suka bercermin. Namun, aku tahu benar, dia bukan jenis perempuan narsistis. Rasa-rasanya dia hanya percaya pada cermin atau apa pun yang bisa memantulkan sekujur tubuhnya. Cermin telah memberikan pemahaman tak kunjung habis tentang siapa dirinya. Menatap cermin lama-lama Xi Shi tahu Thian telah memberikan anugerah sekaligus kutukan.
“Apa yang kaurasakan saat bercermin, Xi Shi?” selalu aku bertanya sehabis kami mengisap marijuana.
“Aku melihat keheningan kuil-kuil sehabis hujan, kolam yang senantiasa hijau, sepasang undan tak henti-henti menciptakan gelombang transversal, gunung penuh sukma leluhur, mata burung phoenix setelah membakar sayap, dan kera-kera kecil bergelantungan. aku melihat diriku sebagai ratu naga paling rupawan.”
“Apa yang kau rasakan saat bercermin, Xi Shi?” aku selalu mengulang pertanyaan itu.
“Aku melihat Buddha menatap kesedihan dari jalanan sunyi ke lorong-lorong mesum. Aku melihat Yesus mengerang-ngerang dan lambungnya mengucurkan penderitaan terus-menerus. Aku melihat bocah-bocah kecil menadahkan tangan dan aku sedikitpun tak pernah merasa kasihan.”
Dan ketahuilah tak seorang pun menganggap Xi Shi edan. Dia memang perempuan bandit yang sejak kecil membawa pisau lipat ke mana-mana, namun tak sepercik pun darah orang Sussex menetes oleh kebengisannya. Dia memang pemimpin gerombolan perampok tengil, namun tak sepotong pun jarum orang Sussex hilang oleh tangan iblisnya.
Mungkin karena itulah, penduduk membiarkan Xi Shi menari-nari atau berteriak-teriak tak keruan di jalanan. Tak ada alasan bagi mereka untuk tak memuja Xi Shi. Xi Shi membuat Sussex tak dijarah preman-preman Aborigin. Xi Shi membuat pria-pria sok polisi mati berdiri saat menatap dia menari di ruang-ruang kasino atau telanjang bulat di penjara yang sunyi.
Berlebihan? Tidak. Xi Shi memang lahir untuk menjadi perempuan yang tak pernah peduli pada tubuhnya sendiri. Bagaimana harus percaya pada tubuh, kalau sejak kecil sudah jadi sarang pukulan ayahnya yang bengis? Bagaimana percaya pada tubuh kalau pada usia dua belas tahun sudah diganyang preman jalanan? O, bagaimana dia merasa memiliki tubuh jika pada saat umur mulai mengelopak pacar dan sang ibu berebut mencumbu dirinya?
Kesakitan demi kesakitan itukah yang menjadikannya sebagai perempuan iblis? Apa jadinya jika sihir sang Mahasakit telah kehilangan teluhnya? Entahlah. Yang jelas Xi Shi telah menjadi batu yang cuek dan terluka. Yang jelas Thian memberikan sepasang mata indah sekaligus tak pernah menganugerahkan rasa sakit kepadanya.
Maka, pahamilah mengapa sejak siang tadi Xi Shi mengabaikan kehadiranku. Kehadiran orang lain yang dia sangka sebagai neraka itu.3) Ya, di yang ya, aku, penderita bodoh ini, relung mata Xi Shi ganjil, tetap sebagai pelukis tato. Tetap saja hanya budak impian ingin menebarkan rasa sakit tubuhnya.
Aha! Kau pasti ingin bertanya mengapa sepanjang hari aku menguntit Xi Shi? Minumlah kopi di kafe-kafe dulu. Ciumlah kekasih-kekasihmu di jalanan gelap dulu. Setelah itu, dengarlah ceritaku!
Yu Chao, bandit bengis Makau yang ingin menguasai Sussex-lah, yang memperkenalkan aku kepada Xi Shi. Waktu itu di Star City, di ruangan kasino berarsitektur Cina mewah yang dikepung 200 meja permainan dan 1.500 mesin slot, bersama para penari lain Xi Shi menarikan salah satu nomor Shanghai Dance.
“Jangan menganggap remeh penari bermata liar itu. Dia memang suka menari, tetapi dia bandit yang tak terkalahkan. Dia memang menebar mata indah. Namun, sesungguhnya dia hanya ingin menatap lama-lama calon korbannya. Setelah mereka teperdaya, habislah riwayat kekayaan para pria bodoh itu. Perempuan licik ini akan mengajak mereka berjudi terus-menerus dan mencumbu serigala-serigala bloon itu hingga mereka tak punya keberanian menolak segala keinginan Xi Shi, bahkan akhirnya mempercayai dia sebagai ratu,” Yu Chao mendesis.
Tak kurespons kekaguman Yu Chao. Dan sebagai perempuan mata-mata yang dibayar Yu Chao untuk menenggelamkan para pemain kasino atau bandit lain ke ceruk kekalahan, aku memang tak berhak membuncahkan kata-kata yang paling tak bermakna sekalipun.
“Aku dengar dia mencari perempuan penato yang bisa mengguratkan sepasang naga di sekujur tubuh. Aku dengar dia ingin menunjukkan kepada para bandit Sussex betapa rasa sakit paling sakit pun tak membuatnya gigrik menghadapi kehidupan. Dan sekarang, kau, Cit Li, kutugaskan untuk menenggelamkan dia ke comberan.”
“Kenapa aku? Kenapa harus seorang perempuan penato? Bukankah Fan Li, pemimpin Gerombolan Naga Sembilan, musuh bebuyutan yang paling kita takuti pun telah bertekuk lutut kepadanya?”
“Karena Fan Li tak punya apa-apa, kecuali pistol dan kebodohan. Kau lain, Cit Li. Kau punya jarum-jarum tato. Kau…,” Yu Chao mendesiskan alasan-alasan aneh.
Tak butuh musim demi musim yang lebih menjijikkan untuk menyusup ke ceruk kehidupan Xi Shi. Sebulan menguntit perempuan iblis itu, aku menemukan keindahan sekaligus kerapuhan jiwa moleknya Xi Shi-yang kutaksir telah 30 tahun tak usai-usai memahami kepedihan-sangat menyukai penari-penari muda. Dan karena aku sangat mahir menarikan nomor-nomor Shanghai Dance, dia meminta aku mengajarinya sepanjang hari di apartemennya. Xi Shi-seperti dugaan Yu Chao-juga membutuhkan perempuan penato. Dan karena menganggap aku sebagai penato hebat, dia memaksaku menusukkan jarum-jarum tatoku ke tubuh indah yang seharusnya tak membutuhkan tambahan keindahan itu.
Sampai di sini harus kukatakan kepadamu: Yu Chao keliru ketika memilihku menjadi kaki tangannya. Dia tak tahu betapa aku sangat bisa dan cepat berpaling dari serigala-serigala bengis yang tak percaya pada kekuatannya sendiri. Dia keliru menafsirkan kelembutanku sebagai perempuan. Dia juga keliru ketika terlalu percaya pada ketakmungkinanku terperosok dalam sihir cinta monster cantik itu. Maka, sebengis apa pun kemarahan Yu Chao, perintah-perintah dan bayaran setinggi langit agar aku segera membunuh Xi Shi pun kuabaikan.
Memang seorang pelukis tato hanya berhak memandang keindahan tanpa boleh memiliki sejumput keinginan mencumbu tubuh para pelanggan. Namun, Xi Shi telah menebar candu cinta yang begitu dahsyat sehingga aku memiliki keberanian melanggar segala pantangan. Melanggar petuah-petuah leluhur dan melawan aturan-aturan Thian hanya untuk sebuah kisah kasih yang konyol. Hanya untuk wajah liar Xi Shi saat didera sepotong rembulan.
Apakah Yu Chao menyangka aku tak bisa mencintai perempuan?
Tak perlu dia menjawab pertanyaan itu. Namun, seharusnyalah dia mendengarkan desis Xi Shi ketika pada suatu malam menebarkan teluh cinta kepadaku.
“Maukah kau segera mengguratkan tato sepasang naga, Cit Li?”
“Ya, Xi Shi, ya, akan kutatokan sepasang naga di sekujur tubuhmu. Akan kuguratkan juga sepasang lampion indah di bahumu.”
“Dalam warna-warni pelangi yang kusuka?”
“Ya, dalam warna-warni pelangi yang kau suka.”
Apakah Yu Chao masih berani menyangka kami hanya sepasang undan yang tak mungkin bercinta?
Sekarang izinkan aku menceritakan kepadamu tentang keindahan segurat kepedihan. Ketahuilah, tak seorang pun pelangganku yang mampu menahan rasa sakit. Setiap jarum- jarum tajam itu kuhunjamkan ke tubuh, mereka akan meringis atau berteriak-teriak menyebut nama Thian. Xi Shi sungguh sebuah perkecualian. Tak pernah menyebut nama Thian. Tak mengeluh sedikit pun saat jarum menusuk-nusuk membentuk ekor, kepala, sisik, dan taring tajam.
“Masih adakah yang lebih sakit daripada tusukan-tusukan indahmu, Cit Li?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Ingatanku melayang ke cerita Nenek tentang Sussex puluhan tahun lalu. “Dulu… dulu sekali… di Sussex hanya ada delapan perempuan Cina, Cucuku. Kau tahu, apa yang terjadi ketika delapan perempuan itu harus menghadapi pria-pria serigala?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab pertanyaan Nenek. Namun, kini aku bisa membayangkan rasa sakit yang meletup-letup saat serigala-serigala itu mencabik-cabik daging indah para perempuan selembut keramik. “Karena itu, Cucuku, setiap perempuan Sussex diajari melupakan rasa sakit dan sebaliknya harus mampu menebarkan kesakitan yang luar biasa. Hanya dengan cara itu mereka bisa hidup. Hanya dengan cara itu Nenek bisa memiliki cucu secantik kamu.”
Maka, aku jadi tahu mengapa pada saat usiaku menginjak enam tahun. Nenek mengajariku menato tubuh sendiri. Mula- mula memang rasa sakit itu menebar ke sekujur tubuh, namun lama-lama menimbulkan kenikmatan luar biasa.
Nenek juga mengajari aku membenci setiap laki-laki. Laki- laki adalah serigala bodoh. Kata Nenek, dia selalu mencakar wajah Kakek saat mereka bercumbu. Ibuku juga lahir sebagai betina perkasa. Dia bercinta habis-habisan dengan Ayah, namun setiap malam membawa pria Aborigin atau serigala-serigala Sydney ke ranjang.
Lalu, kalaupun aku kemudian bekerja untuk Yu Chao, itu hanyalah siasat untuk menggiring pria bodoh Makau ini ke jurang paling dalam. “Hanya orang-orang yang bisa pelanggan yang sedang kautato. Kalau kaulanggar, jari-jemarimu akan patah. Matamu akan buta. Cintamu akan menghunjam ke comberan…..”
“Tak ada lagikah rasa sakit yang kau hunjamkan ke tubuhku, Cit Li?” Xi Shi mendesis lagi.
Lagi-lagi tak kujawab pertanyaan itu. Sambil memandang lukisan sepasang naga setengah jadi di tubuh Xi Shi, ingatanku melambung pada puluhan perempuan yang dicumbu dan dicambuki pria-pria sadis, pada pria-pria ganas yang menyiksa perempuan Cina di negara tetangga, pada kegilaan Yu Chao yang tak habis-habis mengusung puluhan penari ke apartemennya. O, apakah kami-para perempuan yang dicipta serupa bidadari-memang telah benar-benar melupakan rasa sakit? Dan Xi Shi, monster cantik itu, apakah telah melupakan pedih perih hingga ke tulang sumsum? Tak bisa kujawab pertanyaan itu. Tak bisa.
“Sepasang lampion itu telah kau guratkan ke bahuku, Cit Li?” Xi Shi membuyarkan lamunanku, “Apakah tubuhku terlalu indah bagimu?”
Aku mengangguk.
“Seperti dirimu, aku tahu, Cit Li, kau dikutuk untuk tak pernah merasakan kesakitan dan dilarang mencintai serigala- serigala Sussex bukan?”
Aku mengangguk lagi. Namun, Xi Shi tak tahu, aku juga tak boleh mencintai pelangganku. Xi Shi tak tahu keliaran dan sepasang lampion di matanya telah menaklukkan tebaran kutuk leluhur yang melilit diriku sepanjang waktu.
Kegairahan dan ketakutan itu akhirnya justru membuatku abai pada segala hal. Maka, dengan berahi dan cinta yang meletup-letup kutusuk-tusukkan jarum-jarum tato hingga sepasang naga betina dan sepasang lampion cantik menggurat di tubuh Xi Shi yang mestinya terlalu indah untuk dilukai. “Setelah ini, kau tak boleh ke mana-mana Xi Shi. Kau tak boleh menari. Kau tak boleh berkeliaran ke kuil-kuil. Kau tak boleh asyik-masyuk di ruang kasino atau melahap makanan sembarangan di restoran,” aku mendesis tak keruan dan merasa mengubah Xi Shi hanya menjadi seekor cacing.
“Kalau kulanggar?”
“Sepasang naga dan lampion-lampion itu akan hilang.”
Namun, di relung-relung musim Sussex yang menjijikkan, kau menghilang, Xi Shi. Rasa sakit yang kutebar lewat jarum tatoku, bahkan tak kaupedulikan. Dengan lipstik merah di cermin yang senantiasa memantulkan percumbuan kita, kau menuliskan kata-kata bodoh yang tak bakal dikenang oleh orang-orang yang mengaku sangat peduli pada penderitaan. Apa arti tulisan “Melawan sakit adalah kebodohan?” Apa pula makna “Melupakan sakit sama dengan melupakan Thian?” Bukankah kita telah lama melupakan penderitaan dan carut- marut zaman? Bukankah kita tak mampu berbuat apa-apa ketika manusia-manusia ganas membakar perempuan-perempuan lembut di ujung jalan?
Memang kemudian kau kutemukan di keriuhan kutuk hujan, tetapi tak lama lagi sepasang naga dan lampion-lampion itu akan menghilang. Kulitmu bakal mengelupas. Keliaranmu tanggal. Kau tak akan bisa menari di ruang kasino. Kau tak akan bisa merampok orang-orang kaya di pedesaan. Jiwamu bakal rontok di trotoar.
Karena itu, mesti tarianmu kian kacau, aku akan terus-menerus menguntitmu, Xi Shi. Aku harus menjagamu, wahai naga betinaku. Hanya kau yang kelak mampu memaknai surga Sussex. Hanya kau yang mampu menebarkan derita paling terkutuk pada orang-orangyang telah melupakan rasa sakit. Maka peluk kecup4) serigala, yang melupakan lalu buang ke selokan. Peluk kecup perempuan garang kemontokan dirinya sendiri, tinggalkan kalau merayu5). Namun, jangan kau jadikan aku boneka mainanmu.
“Apakah sepasang naga yang kautatokan di tubuhku telah hilang, Cit Li?” suaramu mengiang.
“Yu Chao yang telah hilang dan kembali ke Makau.”
“Apakah sepasang lampion itu juga telah sirna, Cit Li?”
“Aku yang telah hilang karena segala cintaku kauabaikan.”
Maka, sungguh sialan kalau aku masih ingin menguntitmu, Xi Shi. Sungguh aneh kalau aku terpaku di bawah sepasang lampion dan terus-menerus menatap tarian gilamu.
“O, adakah yang lebih edan daripada sepasang kekasih yang menggelegakkan tawa bahagia di riuh malam yang kehilangan amuk hujan, Xi Shi? Adakah yang lebih konyol daripada sepasang tawa yang kehilangan jiwa?”
Aku tahu… kau terus menari hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari.
Semarang 2003-Sussex 2001
Catatan:
1) Thian adalah bahasa Cina untuk menggantikan kata Tuhan.
2) Pada awal abad ke-20 Australia memberlakukan White Australia Policy yang melarang imigran Asia, termasuk Cina, masuk ke Benua Kanguru. Orang-orang Cina yang telah bekerja dan tinggal di berbagai kota didiskriminasi, dihina, dan diperlakukan secara tak adil.
3) Neraka adalah orang lain adalah ungkapan khas Sartre.
4) dan 5) bagian sajak Chairil Anwar, “Kepada Kawan”.
Triyanto Triwikromo
Saya di Mata Sebagian Orang
Saya di Mata Sebagian Orang
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!
Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!
Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!
Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!
Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!
Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.
Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.
Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM
Djenar Maesa Ayu
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!
Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!
Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!
Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!
Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!
Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.
Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.
Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM
Djenar Maesa Ayu
Subscribe to:
Posts (Atom)