Showing posts with label Putu Wijaya. Show all posts
Showing posts with label Putu Wijaya. Show all posts

Monday 13 February 2012

MOKSA

MOKSA

Cerpen Putu Wijaya

Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. ***