Showing posts with label Samin. Show all posts
Showing posts with label Samin. Show all posts

Tuesday 25 January 2011

KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO

KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO

J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM)



A. PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari
sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki
berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang
paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya
(endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua,
lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat
dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang
tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik
di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media
penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu
sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya.
Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat
panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun
karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui
proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di
atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses
eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakanretakan
pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam.
Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi
akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong
gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya.
Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan
budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi
keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen
hingga permulaan Holosen (40.000 – 10.000 tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari
fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebingtebing
bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah
permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini.
Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataairmataair
bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong
bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi
activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan
dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup.
Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di
beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di
Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen
Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten
1Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst
Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.
2
Wonogiri belum lama diungkap (Yuwono, 2004; Sutikno dan Tanudirjo, 2006), namun
kandungan informasinya tidak berbeda jauh dengan segmen-segmen tetangganya di
Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi D.I. Yogyakarta) dan Kabupaten Pacitan (Propinsi
Jawa Timur) yang sudah lebih lama diteliti.
Di wilayah selatan Jawa Tengah, Kawasan Karst Gombong juga menyediakan
potensi prasejarah serupa. Beberapa kali pengamatan di wilayah ini menemukan buktibukti
artefak (sisa perkakas prasejarah) di beberapa gua. Belum adanya penggalian
arkeologi (ekskavasi) di wilayah ini mengakibatkan kurangnya informasi untuk
mengungkapkan aspek-aspek hunian prasejarah di bagian selatan Jawa Tengah. Kasus
serupa juga dijumpai di Kawasan Karst Blora di ujung timur Jawa Tengah bagian utara.
Potensi arkeologi di wilayah ini sudah dikenali melalui survei permukaan oleh Balai
Arkeologi Yogyakarta (Yuwono, 2005). Hasil-hasil penelitian Blora ternyata tidak dapat
dipisahkan dari potensi arkeologi Kawasan Karst Tuban di sebelah timurnya, yang
sedikitnya mengandung 20 situs gua arkeologi (Suhartono, 2000). Dua di antaranya, yaitu
Gua Gede dan Gua Kandang di Kecamatan Semanding, bahkan sudah diteliti oleh W.J.A.
Willems pada tahun 1938.
Sebagai bagian dari Perbukitan Rembang, Kawasan Karst Sukolilo di Kabupaten
Pati dan Grobogan, Jawa Tengah, diduga kuat juga memiliki nilai arkeologi seperti
kawasan-kawasan karst lainnya. Bahkan jalur pegunungan lain yang membujur barattimur
di sebelah selatannya (Punggungan Kendeng), telah terbukti mengandung situssitus
yang lebih tua lagi (situs-situs kala Pleistosen). Di antaranya adalah Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di
sayap selatan Kendeng. Melalui dugaan ini maka survei awal untuk mengungkap potensi
arkeologi Kawasan Karst Sukolilo dilakukan.
B. TUJUAN SURVEI
1. Tujuan Akademis:
a. Pada skala meso, survei ini ditujukan untuk menjajagi dan
mengidentifikasi kemungkinan adanya situs-situs arkeologi (situs gua) di
Kawasan Karst Sukolilo yang selama ini belum pernah diteliti. Penemuanpenemuan
baru nantinya, jelas akan memperkaya khasanah sejarah budaya
wilayah Jawa Tengah utara, yang selama ini masih terfokus di daerah
Sangiran dan situs-situs lain di Punggungan Kendeng.
b. Pada skala makro, penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan posisi
Sukolilo dalam konteks penghunian/migrasi purba di Jawa, sehingga nilai
tambah Kawasan Karst Sukolilo dapat diperoleh.
2. Tujuan Praktis:
a. Mengangkat potensi arkeologi karstik Kawasan Karst Sukolilo, yang
bersama-sama dengan potensi lainnya (hidrologi, speleologi, biologi,
ekowisata, dan lain-lain), dapat memberikan penguatan untuk
penetapannya sebagai Kawasan Lindung.
b. Memberikan nilai tambah dalam pengemasan dan pengembangan
ekowisata setempat untuk jangka panjang, yang berdampak positif
terhadap kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan dampak kerusakan
yang berarti.
3
C. PELAKSANAAN SURVEI
Bentuk Kegiatan : Survei permukaan dengan melakukan pengamatan dan
pengukuran terhadap beberapa kriteria, meliputi: a) kriteria
morfologi dan genesa gua, b) kriteria lingkungan dan
morfoasosiasi, c) kriteria kandungan. Melalui kriteria-kriteria
tersebut akan diketahui berpotensi tidaknya suatu gua sebagai
situs arkeologi.
Waktu kegiatan : Tanggal 1 – 5 September 2008
Lokasi : Kawasan Karst Sukolilo di Pegunungan Kendeng Utara atau
Perbukitan Rembang, meliputi Desa Jimbaran, Kedungmulyo,
Kedungwinong, Sukolilo, Sumbersuko, Tompegunung
(Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah); dan Desa
Sedayu (Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa
Timur) (Lihat Peta).
Pemilihan desa-desa di atas dilakukan secara purposif, dengan
mempertimbangkan potensi hidrologi (gua dan mataair) yang
sudah diinventarisasi sebelumnya, antara lain oleh Tim ASC
Yogyakarta. Hasil inventarisasi sementara menunjukkan bahwa
lokasi terpilih merupakan bagian inti karst yang paling kompleks
potensi dan permasalahannya, paling strategis perannya, dan
karenanya paling mendesak untuk diselamatkan.
4
D. DESKRIPSI HASIL SURVEI
Kegiatan survei selama 5 hari telah mendata 19 gua. 11 gua di antaranya sudah
dikunjungi sedangkan sisanya belum (Lihat Tabel). Delapan gua yang belum
diprioritaskan untuk dikunjungi sebagian besar berupa gua-gua vertikal dan gua-gua air
yang secara arkeologis tidak berpotensi sebagai situs hunian. Gua-gua yang dimaksud
adalah Gua Gondang, Gua Banyu, Gua Tangis, Gua Ngancar, dan Gua Telo (Desa
Sumbersuko); serta Gua Lowo (Desa Tompegunung). Sedangkan Gua Tapan (Desa
Kedungmulyo) dan Gua Gogak (Desa Kedungwinong) merupakan gua-gua horisontal dan
kering yang memungkinkan untuk dihuni, tetapi selama 5 hari di lapangan belum sempat
dikunjungi.
Pemerian di bawah ini adalah hasil pengamatan dan deskripsi terhadap 11 gua
yang telah dikunjungi, terdiri atas 2 gua di Kabupaten Grobogan dan 9 gua di Kabupaten
Pati (Lihat Peta).
Tabel Potensi Gua Kawasan Karst Sukolilo
NO NAMA JENIS DESA KEC. KAB. POTENSI ARKEOLOGI
1 G. Bandung Collapse doline Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
2 G. Serut Horisontal, kering Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial
3 G. Kidang Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial kandungan
4 C. Watupayung Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial morfologi
5 G. Gogak Horisontal Sukolilo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
6 G. Pawon Ceruk Kedungwinong Sukolilo Pati Potensial kandungan
7 G. Gondang Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
8 G. Banyu Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
9 G. Tangis Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
10 G. Ngancar Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
11 G. Telo Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial
12 G. Tapan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang
13 G. Lowo Horisontal, berair Tompegunung Sukolilo Pati Tidak potensial
14 G. Wareh Horisontal, berair Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
15 G. Plemburan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial
16 G. Pancor A Horisontal, berair Jimbaran Sukolilo Pati Tidak potensial
17 G. Pancor B Horisontal, kering Jimbaran Sukolilo Pati Potensial kandungan
18 G. Lawa Horisontal, kering Sedayu Grobogan Grobogan Potensial morfologi
19 G. Macan Collapse doline Sedayu Grobogan Grobogan Tidak potensial
Gregorius D.K (dimodifikasi)
5
KABUPATEN GROBOGAN
Kecamatan Sedayu
1. Gua Lawa
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan.
Letak Koordinat : UTM 49L 494608 9228945
Elevasi/lereng : 332 m.dpal/150
Deskripsi : Gua Lawa memiliki dua mulut, masing-masing menghadap ke arah
tenggara dan barat. Mulut pertama memiliki bentangan 1,85 m,
tinggi 2,5 m, dan melebar ke arah dalam. Tanah di bagian mulut
lebih tinggi 1 m dibandingkan bagian lorong, dengan kemiringan
sekitar 15°. Mulut kedua memiliki bentangan sekitar 7 m,
ketinggian tanah lebih tinggi 3 m dibandingkan dasar lorong.
Lorong Gua Lawa secara keseluruhan memiliki panjang 80-100 m,
terbagi atas dua ruangan yang dipisahkan oleh timbunan bongkah
runtuhan atap. Ruang pertama berada di sekitar mulut gua dengan
pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Kondisi tanahnya
kering dengan sedimen tebal dan permukaannya relatif datar.
Ketinggian atap pada ruang pertama 2-3 m, kemudian naik 7-8 m
di bagian barat laut. Speleothem di bagian ruang ini sudah tidak
aktif.
Ruang kedua terletak lebih ke dalam dan posisinya lebih rendah
dibandingkan ruang pertama. Kondisi ruangannya lebih gelap dan
lembab, dan tanahnya pun berlumpur.
Potensi : Secara arkeologis gua ini cukup berpotensi, terutama diprediksi
melalui morfologi dan dimensi ruangannya, sedangkan indikasi
temuan arkeologinya tidak diperoleh karena tingkat gangguannya
sudah tinggi.
Potensi pariwisata sudah dikembangkan dengan membuat jalan
setapak dari semen selebar 1 m hingga ke bagian dalam gua.
6
2. Gua Macan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan,
Koordinat : UTM 49L 494589 9229026
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 350 m.dpal/140
Deskripsi : Gua Macan terletak pada punggungan sebuah bukit dengan lorong
memanjang ke arah barat. Mulut gua berupa collapse doline,
dengan akses masuk menurun 15-20 m, kemiringan 30°-35°.
Lorong gua memiliki lebar 5-7 m, tinggi 7-15 m, panjang sekitar
50 m dengan aven di bagian tengah dan ujung lorong.
Potensi : Gua Macan sudah dikelola sebagai tempat wisata oleh pemerintah
daerah setempat, dengan membuat jalan selebar 1 m hingga ke
mulut gua. Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
7
KABUPATEN PATI
Kecamatan Sukolilo
3. Gua Pancor A
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497807 9234418
(sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa).
Elevasi/lereng : 46 m.dpal/30
Deskripsi : Gua Pancor A memiliki dua mulut menghadap ke barat yang salah
satunya merupakan outlet dari aliran sungai bawahtanah. Panjang
8
lorong gua yang dapat dikenali sekitar 600 m. Menurut
kepercayaan masyarakat, gua ini merupakan petilasan Mbah
Saridin (Syeh Jangkung) yang dipercaya sebagai tokoh mitologis
setempat. Petilasan tersebut berupa sumber air hangat dan sumuran
yang terdapat di dalam gua.
Potensi : Di samping sebagai sumber air yang vital bagi penduduk setempat,
potensi lain yang paling menonjol di gua ini adalah kandungan
etnografi dan wisata religinya. Hingga sekarang banyak peziarah
yang datang untuk melakukan ritual-ritual yang didasari beberapa
permohonan, di antaranya untuk penglarisan, memperoleh jodoh,
dan ngalap berkah.
Indikasi sebagai situs arkeologi tidak dijumpai, namun potensi
airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada
masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi orientasi
ekologis bagi para pemukim purba untuk memilih lokasi
habitasinya.
4. Gua Pancor B
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 497546 9234396
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 44 m.dpal/30
Deskripsi : Pancor B merupakan sebuah ceruk (rockshelter) yang menghadap
ke barat, dengan bentangan mulut 20 m. Kedalaman horizontal
ruangannya 8,6 m, dan tinggi atap di bagian dripline sekitar 8 m.
Kondisi tanahnya kering dan tebal, dan terdapat bekas-bekas galian
di beberapa bagian lantainya. Pada bekas galian tersebut banyak
ditemukan ekofak organik berupa cangkang kerang, fragmen gigi,
dan fragmen tulang yang menunjukkan ciri-ciri kekunoan.
Di bagian dalam terdapat ruang pertama dengan tinggi langit-langit
1-1,5 m dari permukaan tanah. Ukuran ruangannya seluas 6,37 x
5,20 m, dan memiliki dua pintu masuk. Permukaan tanah pada
9
ruang pertama lebih tinggi 1-1,5 m dibandingkan bagian mulut
gua. Kondisi tanahnya agak basah, sirkulasi udaranya baik dan
cukup terang.
Di sisi timur ruangan pertama terdapat dua lorong yang
menghubungkannya dengan ruangan kedua. Langit-langitnya
miring ke utara, dengan ketinggian 0,5 m (sisi utara) dan 2,5 m
(sisi selatan). Permukaan tanahnya lebih tinggi 0,5 m dibandingkan
ruangan pertama. Kondisi di dalam ruangan gelap dan lembab,
tanahnya tebal tetapi basah karena ornamen di atasnya masih aktif
meneteskan air.
Potensi : Potensi arkeologinya tinggi, terbukti dengan kandungan ekofak
organik yang ada di dalam sedimennya. Ekofak yang dimaksud
berupa fragmen gigi dan fragmen tulang, serta cangkang kerang.
Salah satu temuan gigi dikenali sebagai gigi molar hewan dari jenis
Cervidae, sedangkan kerang lautnya berupa kerang bivalvia dari
Famili Veneridae dan Mytilidae. Di samping itu juga ditemukan
beberapa cangkang kerang air tawar (fresh water) bercampur
dengan kerang laut.
5. Gua Wareh
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495619 9234217
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua Wareh memiliki dua mulut/lorong masing-masing menghadap
barat dan utara. Lorong yang menghadap ke barat merupakan gua
kering, sedangkan lorong yang menghadap ke utara merupakan
outlet sungai bawahtanah yang kemudian membentuk semacam
kedung di mulut gua, sebelum airnya keluar sebagai sungai
permukaan. Kedung tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar
untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
Panjang lorong kering 40–50 m, meninggi 5 m ke arah dalam
dengan kemiringan sekitar 20ยบ. Di ujung lorong terdapat aven yang
10
kemudian dibangun tangga dari semen sebagai jalan masuk.
Kondisi tanahnya basah dan lengket, dengan ornamen dinding dan
atap yang masih aktif.
Potensi : Meliputi potensi hidrologi dan wisata religi. Menurut masyarakat
setempat, Gua Wareh merupakan petilasan semar, gareng, petruk,
yang masih dikeramatkan hingga sekarang. Sisa-sisa sesaji berupa
bunga setaman dan kemenyan masih dijumpai di sekitar mulut gua.
Potensi arkeologinya sejauh ini tidak dijumpai.
6. Gua Plemburan
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 495656 9234408
(sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A)
Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00
Deskripsi : Gua ini menghadap ke arah baratlaut (230°), memiliki sebuah
ruangan berupa lorong selebar 10 m, panjang 15 m, dan tinggi
langit-langit 6-7 m. Lantai gua berupa flowstone dan tidak
memiliki sedimen tanah. Ketinggian lantai di bagian dalam hampir
sejajar dengan lantai di bagian depan gua. Kondisi gua kering, sisa
ornamen berupa stalaktit di bagian mulut juga sudah tidak aktif.
Potensi : Saat ini ruangan gua dimanfaatkan penduduk setempat untuk
menyimpan peralatan pertanian. Potensi etnografi dapat dijumpai,
berupa kepercayaan lokal bahwa gua ini masih memiliki kaitan
dengan Gua Wareh, yaitu sebagai petilasan Punokawan sehingga
tetap dikeramatkan. Tidak ada indikasi arkeologi yang dijumpai.
11
7. Gua Pawon
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 489420 9232914
Elevasi/lereng : 59 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Pawon terletak di lereng atas tebing dengan beda tinggi dari
dasar lembah 20-25 m, kemiringan lereng 35°-40°, dengan arah
hadap mulut ke barat (240°). Vegetasi di depan gua jarang
sehingga tanahnya mudah longsor. Pada endapan koluvial di depan
gua ditemukan beberapa ekofak organik berupa fragmen cangkang
kerang laut, fragmen tulang, dan fragmen gigi Bovidae. Sisa-sisa
runtuhan atap banyak dijumpai di sepanjang tebing hingga dasar
lembah. Ada kemungkinan gua ini dahulunya memiliki atap yang
panjang, yang kemudian runtuh hingga tinggal menyisakan lorong
yang pendek.
Bentangan mulut gua selebar 5 m dengan kedalaman sisi
horisontalnya 7,5 m, dan ketinggian sisa atap dari lantai gua 2,8 m.
Kondisi lantai rata, terbentuk oleh endapan tanah yang kering dan
tidak begitu tebal. Beberapa speleothem yang dijumpai sudah tidak
aktif lagi.
Potensi : Gua ini memiliki potensi arkeologi sebagai bekas situs hunian,
meskipun morfologinya sudah banyak mengalamami degradasi.
12
8. Gua Bandung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490078 9232543
Elevasi/lereng : 100 m.dpal/190
Deskripsi : Gua Bandung berupa collapse doline dengan dua lorong di bagian
bawah yang saling berhadapan, masing-masing menghadap
tenggara (155°) dan timurlaut (30°). Lorong timurlaut berukuran
kecil karena sebagian besar tertutup runtuhan atap, sedangkan
lorong satunya berukuran lebih besar. Kondisi di dalamnya lembab
dengan lapisan tanah yang basah dan berlumpur, disebabkan oleh
masuknya limpasan air pada saat hujan.
Potensi : Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.
9. Gua Serut
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 490125 9232190
Elevasi/lereng : 150 m.dpal/210
Deskripsi : Gua Serut berada di lereng tengah sebuah tebing dengan pintu
menghadap ke timur, yaitu ke sebuah lembah dengan beda tinggi
terhadap dasar lembah sebesar 10-15 m. Bentangan mulut gua 8 m,
13
tinggi 6 m, permukaan tanah di dalam lorong gua lebih rendah
dibandingkan bagian mulut, dengan kemiringan sekitar 15°. Pada
kedalaman horisontal 15 m, lorong ini bertemu dengan lorong lain
yang membujur utara-selatan.
Kondisi lantai di sekitar mulut gua bergelombang, diakibatkan oleh
adanya beberapa bekas galian dan timbunan tanah. Di bagian
sekitar mulut kondisi lantainya kering, semakin ke dalam semakin
lembab. Di bagian dalam lorong masih dapat dijumpai speleothem
yang aktif.
Potensi : Tidak ditemukan indikasi arkeologi.
10. Gua Kidang
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 492112 9234082
Elevasi/lereng : 52 m.dpal/240
Deskripsi : Gua Kidang merupakan ceruk di bagian lereng atas tebing, dengan
ketinggian sekitar 80 m dari dataran di bawahnya. Mulut ceruk
menghadap ke utara (330°), yaitu ke dataran aluvial yang luas. Di
lokasi ini terdapat dua ceruk yang berjajar timur-barat.
Ceruk timur memiliki bentangan mulut 19,5 m, kedalaman
horisontal 8 m, tinggi atap 4-7 m. Sebagian atap bagian depan
ceruk telah runtuh, sehingga tanah di bagian depan mulut banyak
tererosi dan longsor oleh air hujan. Kondisi lantai ceruk kering,
tersusun oleh sedimen tanah yang tebal, dan banyak terkandung
fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang fauna. .
Di bagian dalam ceruk terdapat ruang kedua seluas 3,6 x 8,5 m,
terhubung dengan ruang pertama melalui semacam lorong dengan
lebar 1,7 m dan tinggi 2,15 m. Ketinggian tanah di ruang ini lebih
tinggi 0,5 m dibandingkan ruang pertama. Kondisi tanahnya juga
kering, tebal, dan banyak terdapat bongkah runtuhan atap.
14
Ceruk barat berada pada jarak 6 m dari ceruk timur, dengan
bentangan mulut 6,5 m, kedalaman horizontal ruangannya 7,5 m,
dan tinggi langit-langit 4 m. Kondisi tanahnya datar, kering,
dengan sedimen tebal. Pada permukaannya banyak dijumpai
ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut dan fragmen
tulang.
Potensi : Dimensi, morfologi, dan indikasi temuan ekofak di gua ini
menunjukkan bahwa potensinya sebagai situs arkeologi sangat
tinggi.
11. Ceruk Watupayung
(Foto: Gregorius D.K)
Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Koordinat : UTM 49L 491903 9233770
Elevasi/lereng : 75 m.dpal/00
Deskripsi : Ceruk Watupayung berada di lembah yang memanjang barat-timur,
dengan arah hadap selatan. Bentangan ceruk sekitar 52 m, atap
yang menggantung selebar 7 m dengan tinggi 18 m dari permukaan
tanah. Terdapat sisa-sisa runtuhan atap di sebelah timur. Kondisi
permukaan tanah umumnya kering dan miring ke sisi timur dengan
sedimen tanah yang tebal.
Potensi : Potensi yang dijumpai di gua ini berupa potensi wisata religi,
karena gua ini masih dikeramatkan dan sering digunakan untuk
bertapa. Bahkan sudah dibuatkan beberapa fasilitas untuk
kepentingan tersebut, berupa bangunan tempat semedi dan lantai
yang sudah di semen.
Potensi arkeologi berupa temuan permukaan tidak diperoleh, tetapi
morfologi dan dimensi ceruk memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai tempat hunian sementara.
15
E. PEMBAHASAN
1. Kawasan Arkeologis Sukolilo
Hasil survei pada tahap awal ini membuktikan bahwa Kawasan Karst Sukolilo,
seperti halnya kawasan karst lain yang sudah banyak diteliti, merupakan kawasan yang
mengandung nilai kultural penting. Hal ini tampak dari beberapa gua dan ceruk yang
memiliki potensi arkeologi tinggi, baik dikaji melalui aspek morfologi, lingkungan,
maupun indikasi temuan permukaannya. Indikasi yang dimaksud berupa data ekofak
organik yang terdiri atas fragmen tulang, gigi, dan cangkang kerang baik yang berasal
dari lingkungan marin maupun non-marin (darat dan air tawar).
Di dalam kajian arkeologi dikenal sedikitnya tiga bentuk data, yaitu artefak
(artifact), ekofak (ecofact), dan fitur (feature) (Sharer & Ashmore, 1992). Artefak adalah
data yang berupa perkakas atau sisa perkakas buatan manusia. Adanya ciri-ciri tertentu
yang menunjukkan bahwa suatu benda pernah diubah atau dibuat oleh manusia, baik
untuk fungsi praktis, fungsi seni dan religi, maupun fungsi sosial, merupakan kriteria
penting untuk menyebut sebuah temuan sebagai artefak. Berbeda dengan artefak yang
mengandung makna teknologis, ideologis, dan sosiologis, maka ekofak lebih bermakna
ekologis. Data yang dikategorikan sebagai ekofak tidak memiliki ciri-ciri ubahan secara
sengaja untuk menciptakan perkakas, tapi dapat berupa limbah atau sisa aktivitas. Bahkan
objek-objek yang tidak pernah berhubungan dengan aktivitas manusia, tetapi dapat
dipakai sebagai bahan untuk menjelaskan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa
lalu, dapat dikategorikan sebagai ekofak. Adapun yang dimaksud dengan fitur adalah
gejala-gejala di permukaan atau di dalam tanah yang menunjukkan anomali tertentu, dan
dapat digunakan sebagai referensi untuk mengungkapkan kondisi suatu budaya atau
lingkungan masa lalu, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan bagaimana deposit
budaya terbentuk di dalam lapisan sedimen.
.Pada umumnya, temuan yang dijumpai pada survei permukaan di situs-situs gua
berupa ekofak, khususnya ekofak organik, meskipun tidak tertutup kemungkinan
ditemukannya pula data artefak. Pada beberapa kasus, sisa-sisa tulang hewan atau
cangkang kerang yang ditemukan di suatu situs bukan lagi berupa data ekofak, namun
sudah dapat dikategorikan sebagai artefak karena sudah ada unsur-unsur pengerjaan oleh
manusia. Sebagai contoh adalah fragmen cangkang kerang yang dipertajam untuk
membuat serut, atau fragmen tulang yang dipertajam untuk lancipan, mata panah, pisau,
atau benda-benda seni. Namun karena kondisi permukaannya umumnya sudah
tersementasi oleh endapan karbonat, maka ciri-ciri yang dimaksud sulit dikenali. Dengan
kata lain, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk menggolongkan suatu temuan dari
situs gua sebagai artefak, baik secara magaskopis ataupun mikroskopis.
Uraian di atas dimaksudkan untuk memberikan penekanan, bahwa ditemukannya
data ekofak di suatu gua dapat dipakai sebagai petunjuk awal bahwa gua tersebut pantas
diduga sebagai situs arkeologi. Apalagi jika ekofak organik tersebut berupa sisa fauna
yang habitatnya bukan dari lingkungan gua, tetapi dari lingkungan ekologis yang
berbeda. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah ditemukannya cangkang-cangkang
kerang laut di suatu gua yang lokasinya relatif di pedalaman. Asumsi bahwa cangkang
kerang tersebut diambil oleh manusia dari habitatnya dan dibawa ke dalam lokasi
huniannya untuk dikonsumsi dagingnya, atau untuk membuat perkakas tertentu, dapat
16
menguatkan anggapan bahwa gua-gua yang mengandung temuan ekofak tersebut adalah
bekas lokasi hunian manusia.
Data di atas tentunya bukan satu-satunya indikator bahwa suatu gua adalah situs
arkeologi. Kriteria lain perlu dipertimbangkan, misalnya layak dan tidaknya gua-gua
tersebut dijadikan lokasi hunian. Oleh karena itu, kriteria morfologi dan dimensi gua juga
perlu dipertimbangkan. Demikian pula kondisi atau dayadukung lingkungan sekitar gua
yang menjadikan para penghuninya dapat eksis untuk tinggal dan hidup di lingkungan
tersebut. Sebagai contoh adalah kedekatannya dengan sumberair, baik itu mataair, sungai,
atau telaga; ketersediaan fauna untuk diburu, atau kondisi lahan yang memungkinkan
untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di tempat terbuka.
Berdasarkan kriteris-kriteria di atas, yaitu morfologi gua, kondisi lingkungan, dan
adanya indikasi permukaan berupa artefak, ekofak, ataupun fitur, maka beberapa gua
kering (dry caves) di Kawasan Karst Sukolilo merupakan situs arkeologi, yaitu sebagai
bekas gua hunian manusia. Gua-gua yang dimaksud ada lima buah, yaitu (Lihat Peta):
a. Gua Kidang : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
b. Gua Watupayung : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
c. Gua Pawon : Desa Kedungwinong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
d. Gua Pancor B : Desa Jimbaran, Kec. Sukolilo, Kab. Pati
e. Gua Lawa : Desa Jimbaran, Kec. Grobogan, Kab. Gobogan
Berdasarkan kualitas sampel dari lima gua di atas, maka Kawasan Karst Sukolilo
dapat disebut sebagai salah satu kawasan arkeologis penting di bagian utara Jawa Tengah
yang perlu dilindungi, diselamatkan dari berbagai tindakan degradatif, dan dikaji lebih
mendalam untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam
skala meso, Kawasan Karst Sukolilo adalah sebuah kawasan yang ikut merekam buktibukti
kehadiran manusia prasejarah di wilayah utara Jawa Tengah. Kehadiran mereka
tentunya didukung sumberdaya setempat yang memungkinkan mereka untuk hidup.
Sumberdaya terpenting yang juga teramati melalui hasil survei ini terutama sumberdaya
air, flora, dan fauna. Hingga kini, ketiga sumberdaya lahan ini tetap memiliki arti penting
bagi masyarakat setempat, yaitu masyarakat Samin yang tinggal di daerah Pati,
Grobogan, dan sekitarnya. Kedekatan mereka dengan lingkungan karst Sukolilo telah
mampu menghasilkan suatu kearifan lokal dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya
lingkungan secara arif dan tidak berlebihan. Bersamaan dengan upaya pemanfaatan
tersebut, berkembang pula pemaknaan lokal untuk melindungi aset lingkungan mereka
melalui bentuk-bentuk mitos dan pantangan/tabu sebagai bentuk penghormatan terhadap
alam dan sumberdayanya. Beberapa dari gua-gua yang dikeramatkan ternyata berupa
gua-gua sumberair yang telah menghidupi mereka. Gua-gua tersebut adalah Gua Pancor
A di Desa Jimbaran dan Gua Wareh di Desa Kedungmulyo. Meskipun keduanya bukan
situs arkeologi, namun secara kontekstual atau morfoasosiasi telah menjadi panduan bagi
para pemukim purba untuk menentukan lokasi-lokasi hunian di sekitarnya.
2. Kawasan Arkeologis Sukolilo dalam Kajian Makro
Bagian utara Jawa Tengah sebagian besar tersusun atas bentangalam tua yang
dicirikan oleh tinggian-tinggian dan depresi dengan konfigurasi yang khas. Di bagian
selatan terdapat Punggungan Kendeng membujur barat – timur mulai daerah Ungaran
hingga ujung timur Jawa. Di sebelah barat Ungaran, Pegunungan Serayu Utara membujur
17
ke barat seolah meneruskan jalur Kendeng di sebelah timurnya. Di sebelah utara Kendeng
dijumpai dataran aluvial dengan Sungai Lusi mengalir di bagian tengahnya. Secara
genetis dataran ini adalah sebuah depresi antar pegunungan yang dikenal sebagai
Randublatung, yang memisahkan Punggungan Kendeng di selatan dengan Perbukitan
Rembang di utaranya. Di utara Perbukitan Rembang, terdapat dataran aluvial berikutnya
yang langsung berbatasan dengan pesisir Laut Jawa dan Kompleks Muria di bagian barat.
Sekilas gambaran di atas, menegaskan bahwa bagian wilayah Jawa Tengah ini
memiliki peran penting dalam proses migrasi purba di Jawa. Bahkan dapat disimpulkan
bahwa Jalur Utama kolonisasi Homo erectus di Jawa telah mengikuti Pegunungan Serayu
Utara dan Punggungan Kendeng, dari arah barat ke timur. Jejak-jejak mereka antara lain
terekam di situs-situs manusia purba Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong,
Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng (Yuwono,
2005a). Temuan fosil-fosil di daerah Mranggen (Demak), pada bukit-bukit terisolasi di
sebelah utara Kendeng (Bukit Dieng dan Bukit Rowosari) (Yuwono, 2004a, 2005b), Situs
Semedo di jalur Pegunungan Serayu Utara daerah Tegal, dan Bukit Patiayam, semakin
menguatkan hipotesis ini.
Permasalahannya adalah, dari manakah para penghuni situs-situs gua di kawasan
karst Gunung Sewu dan Tuban berasal? Jawaban sementara adalah, bahwa telah terjadi
percabangan ke dua arah dari jalur utama Kendeng. Ke selatan melalui Gunung Wilis Tua
masuk ke Gunung Sewu, dan ke utara memasuki Perbukitan Rembang yang sebagian
besar bertopografi karst. Jalur utara ini sementara telah terlacak di Kawasan Karst Tuban
dan Blora dengan situs-situs gua karstnya (Yuwono, 2005). Meskipun pengujian secara
kronometrik belum dilakukan, dan lebih banyak mempertimbangkan aspek fisiografi,
distribusi situs, serta pertanggalan relatif, namun sejauh ini belum pernah ada koreksi
terhadap hipotesis di atas.
Ditemukannya potensi arkeologi di Kawasan Karst Sukolilo, justru merupakan
peluang untuk memperkaya hipotesis di atas, sehingga dinamika pergerakan Homo
sapiens setelah keluar dari jalur Kendeng dapat digambarkan. Tentu saja dibutuhkan data
pertanggalan terukur dan pemahaman konteks temuan situs melalui ekskavasi di beberapa
gua kawasan Sukolilo.
Periode penghunian gua di beberapa kawasan karst memang merupakan fenomena
kultural yang sangat khas, berbeda dengan periode-periode hunian sebelum dan
sesudahnya. Ciri menonjol mengenai hal ini adalah adanya perubahan dari kehidupan
open site -- cave site – open site. Pada kasus Jawa Tengah bagian utara, pergeseran
tersebut berlangsung dari Punggunggan Kendeng – Perbukitan Rembang – Datarandataran
Aluvial. Dengan demikian, hunian di kawasan karst merupakan salah satu mata
rantai untuk merunut sejarah panjang okupasi manusia terhadap lingkungannya. Periode
ini berlangsung kira-kira pada Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal dan Pertengahan.
Sebagai perbandingan, di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Thailand,
penghunian gua telah berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada 40.000 –
11.000 BP (Pleistosen), gua-gua digunakan secara sporadis dan hanya dihuni sementara
(temporary campsites). Para penghuni gua mulai menggunakan api, mengenal bendabenda
seni, dan mengkonsumsi makanan dari hewan atau tumbuhan; Tahap kedua,
11.000 – 6.500 BP (Holosen Awal), beberapa gua mulai diokupasi dalam jangka waktu
lebih lama, sehingga memungkinkan terbentuknya timbunan-timbunan sampah dan sisasisa
aktivitas, termasuk deposit penguburan pada tempat-tempat tertentu di dalam gua;
18
Tahap ketiga, 6.500 – 3.500 BP (Holosen Tengah), fungsi gua telah bergeser dari lokasi
hunian menjadi tempat penguburan. Sejak pertengahan Holosen pula, pemanfaatan
dinding gua sebagai media pengekspresian seni mulai berkembang (Anderson, 2005).
Apakah tahap-tahap di atas juga berlangsung di tempat-tempat lain, termasuk di gua-gua
kawasan Sukolilo? Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam.
F. PENUTUP
Kawasan Karst Sukolilo merupakan kawasan karst yang relatif baru dikenal.
Namun demikian, data arkeologi permukaan yang baru teramati dalam waktu singkat,
sudah menunjukkan bahwa kandungan temuan di dalam tanah cukup besar. Apalagi
beberapa gua memiliki morfologi dan lingkungan yang sangat mendukung suatu bentuk
hunian purba. Oleh karena itu, survei lanjutan dan ekskavasi di kawasan ini sangat
diperlukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang posisi arkeologis dan strategis
kawasan ini, bagi kepentingan ilmiah maupun kemanusiaan.
Ucapan Terima Kasih:
PEKINDO dan Bapak Hanang Samodra, atas
kesempatan yang telah diberikan untuk mengenal dan
menyelami Kawasan Karst Sukolilo.
G. DAFTAR BACAAN
Anderson, D., 2005, “The Use of Caves in Peninsular Thailand in the Late Pleistocene and Early
and Middle Holocene”, Asian Perspectives 44 (1), The University of Hawai’i Press,
Spring, p.137-153.
Sharer, R.J. and W. Ashmore, 1992, Archaeology: Discovering Our Past, 2nd edition, Mayfield
Publishing Co., California.
Suhartono, D., 2000, “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”,
Skripsi, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta.
Sutikno, D.A. Tanudirjo, 2006, ”Kajian Geoarkeologi Kawasan Gunungsewu sebagai Dasar
Pengembangan Model Pelestarian Lingkungan Karst”, Laporan Hasil Penelitian -
Hibah Penelitian Tim Pascasarjana – HPTP Tahun 2006, Dirjendikti, Depdiknas -
UGM, Yogyakarta.
Yuwono, J.S.E, 2004, “Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Potensi Kawasam: Introduksi
tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu”, Pendidikan dan Pelatihan Scientific
Karst Exploration Tingkat Nasional, Rasamala KPA Sylvalestari dan Lawalata IPB,
Bogor, 10-13 April 2004.
----------, 2004a, “Posisi Geoarkeologis Temuan Artefak dan Fosil di Kecamatan Mranggen,
Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah”, Seminar Hasil Penelitian dengan Dana
Masyarakat 2004, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, 23
Oktober 2004.
----------., 2005, “Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi Arkeologisnya”, Makalah
untuk laporan penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan
Pegunungan Kendeng di Kab. Blora dan Rembang, Balai Arkeologi, Yogyakarta.
19
----------., 2005a, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan Implikasinya terhadap
Penyusunan Hipotesis tentang Migrasi Lokal Komunitas Prasejarah di Jawa Bagian
Timur, dalam Sumijati As dan Sumarsono (ed), 2005, Potret Transformasi Budaya di
Era Global, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163.
----------., 2005b, “Potensi Fosil di Wilayah Jawa Tengah: Nilai Penting dan Tantangannya”,
Lokakarya Permuseuman: Peranan Museum dalam Pembentukan Jati Diri
Masyarakat, Ungaran, Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, 18-19 Juli 2005.

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Oleh: Agus Budi Purwanto



Pada akhir bulan November 1885, seorang Kontrolir di Pulung, Karesidenan Madiun terselamatkan dari amuk masa. Hanya saja, rumahnya hancur lebur. Pemerintah telah menaikan pajak tanah sebesar 10 persen dan akan naik lagi untuk tahun-tahun sesudahnya. Masyarakat desa marah, kemudian mengadu ke Carik (sekretaris) desa Patik. Selanjutnya Carik dijadikan Ratu baru oleh penduduk desa dengan gelar "Pangeran Lelono". Bersama pangeran Lelono, massa mengamuk. Huru-hara tersebut hanya berlangsung sehari saja kemudian berhenti. Pengamanan berhasil dilakukan, dan tidak ada korban se-nyawa pun.
Hari senin bersejarah di Cilegon. Tiga tahun setelah peristiwa di Pulung, tepatnya 9 Juli 1888, Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid memimpin murid dan petani menyerang punggawa kolonial. Cilegon, sebagai ibu kota afdeling Anyer menjadi sentra kediaman para pejabat Eropa dan pribumi yang meliputi asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, dan ajun kolektor. Haji Ismail dan Haji Wasid sepakat, pemberontakan dimulai di Cilegon. Rumah Dumas (seorang juru tulis) digedor empat orang, Dumas lari bersembunyi di rumah jaksa tetangganya, kemudian dini hari (senin) pindah ke Tan Keng Hok, ditempat itu Dumas tewas bersama sang tuan rumah. Patih juga kena sasaran, ia dikenal acuh terhadap kegiatan keagamanan serta keras dalam menjalankan aturan kolonial, namun ia sedang pergi ke serang. Wedono juga didatangi pemberontak, demikian halnya jaksa dan ajun kolektor. Asisten residen juga, semuanya terjadi pada hari itu, hari bersejarah, hari senin.
Setahun sesudahnya, tanggal 7 Februari 1889, di Blora, perkampungan di tengah hutan, seorang tokoh desa bernama Samin berpidato di depan masyarakat. Isi pidatonnya cuma seringkas ini: “tanah ini milik kalian, karena sudah di wariskan Pandawa lalu ke raja-raja Jawa. Belanda tidak punya se-nyari-pun (seujung kuku) tanah di sini.” Ia hanya berpidato.
Untuk kasus di Pulung, Onghokham bilang: tidak faktor milenarisme, apa lagi tidak ada mesias dalam pandangan hidup orang Jawa (Subangun). Onghokham meyimpulkan ini soal beban pajak yang tinggi. Menurut Sartono Kartodirdjo, faktor-faktor kausalitas pemberontakan "senin" itu berkisar pada tradisi berontak, ketersingkiran politis, penetrasi agama, pemimpin revolusioner, alat organaisasi (nativisme Kasultanan Banten). Menurut Benda & Castles, Samin berpidato juga karena pajak dan akses tanah serta kayu (hutan). Akhir abad XIX, pedesaan jawa kisruh karena Pajak, puncak penderitaan (Kerja wajib, tanam paksa, liberalisasi perkebunan), serta ramalan joyoboyo ratu adil. Kisruhnya karena hal sama yakni kebencian pada polah tingkah negara kolonial. Mereka pingin merubah keadaan, dengan senjata, dengan pidato. Kita dapat melakukan hal yang sama, setidaknya dengan cara kedua atau dengan cara ketiga: menulis pidato!
Pada masanya (1880-an), perlawanan pedesaan terjadi di dua tempat yakni Cilegon dan Pulung. Keduanya memperlihatkan perlawanan fisik yang menimbulkan korban jiwa di antara kedua belah pihak yakni pejabat kolonial Belanda dan pribumi. Bagaimana menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan yang dilakukan Samin Surosentiko beserta pengikutnya? Pertanyaan inilah yang menimbulkan banyak spekulasi. Pertama, jika ditilik dari jumlah pengikut yang pada tahun 1905 berjumlah 3000 orang, maka perlawanan fisik sangat dimungkinkan, namun ternyata tidak terjadi. Kedua, jika runutan sejarah perlawanan masyarakat di sekitar Blora, cenderung menggunakan kekuatan fisik berupa perlawanan bersenjata, misalnya: noyo gimbal, dan maling kentiri. Namun Samin Surosentiko tidak melakukan perlawanan bersenjata seperti halnya pendahulunya.
Hal yang mirip dilakukan oleh Samin Surosentiko adalah perlawanan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India. Narasi yang kita terima saat ini tentang perlawanan Mahatma Gandhi, selalu di dominasi oleh nilai-nilai yang diperjuangkan Mahatma Gandhi dalam perlawanannya. Namun, penjelasan perihal sejarah perlawanan Samin Surosentiko tidak
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page2
banyak yang menyinggung soal nilai-nilai yang diperjuangkan, melainkan soal obyek sengketa serta deskripsi pihak yang bersengketa. Narasi ini juga mendominasi dalam penjelasan kausalitas gerakan Samin.
Geger Samin atau gerakan Samin dimulai pada 7 Februari tahun 1889 ketika Samin Surosentiko pertama kali berbicara di depan pengikutnya di oro-oro ii dusun Bapangan, kabupaten Blora. Pada malam hari, dengan diterangi obor, Samin Surosentiko mengumpulkan pengikutnya di sekitar Bapangan dan mengkampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa. Setahun setelah pidatonya di Bapangan, pada tahun 1889, Samin Surosentiko mendirikan perguruan Adam atau Paguron Adam di desa Klopoduwur, kabupaten Blora. Orang-orang desa di sekitarnya banyak yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan.
Menurut Suripan Sadi Hutomo, Samin dan para pengikutnya mengidentifikasikan diri sebagai penganut Agama Adam atau The Religion of Adam, sebuah agama kawitan (baca: permulaan) yang mengutamakan hubungan baik dengan Alam dan hubungan bagi antar sesama manusia. Kitab sebagai pedoman agama ini adalah Jamuskalimasada yang terdiri dari 5 buku: Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip (Hutomo, 1996: 11-40). Pada lima serat inilah perjalanan spiritualitas Samin dan pengikutnya disandarkan. Manifestasi agama Adam terlihat dalam prinsip hidup sehari-hari. Dalam hubungan sosialnya, Samin menganggap semua orang adalah saudara, sinten mawon kulo aku sedulur (Nurudin dkk, 2003: 55-60). Sedangkan terhadap alam, mereka memiliki prinsip lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, dan kayu menjadi milik bersama.
Perdebatan Kausalitas
Secara umum, pengertian kausalitas dalam kajian sejarah dapat disejajarkan dengan istilah “sebab”. Kata “sebab” lazimnya diperuntukkan untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah peristiwa sejarah terjadi. Selanjutnya, menjelaskan penyebab juga mensyaratkan “keterangan” atas peristiwa sejarah. Maka dalam menjelaskan sebab, maka dapat dipergunakan “keterangan” historis. Oleh karena itu, menurut Ankersmit, pengertian “sebab” dapat dipahami menurut dua macam arti yakni menurut metode eksplanasi sejarah Coverage Law Models (CLM) dan metode eksplanasi sejarah Hermeneutic (Ankersmit, 1987: 191-192).
Pertama, eksplanasi sejarah CLM melihat kausalitas sebuah peristiwa tertentu serta memperbandingkannya dengan kausalitas peristiwa yang lain, sehingga ditemukan konsekuensi-konsekuensi yang sama dengan pola-pola umum yang telah tercipta. Atau dengan analisa kausalitas kedua peristiwa sejarah, kemudian membuat kausalitas umum yang baru. Ataupun analisa lebih kronologis, misalnya: sebab sebuah peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan oleh sebuah pola hukum umum pula.
Kedua, eksplanasi sejarah Hermeneutic. Penyebab suatu peristiwa ialah intensi atau motif seorang pelaku historis yang mengakibatkan peristiwa itu terjadi. Kecenderungan eksplanasi sejarah yang kedua ini cukup mengakomodasi keunikan sebuah peristiwa sejarah, bahwa waktu dan tempat atau dimensi temporal dan spasial sebuah peristiwa sejarah sama sekali unik dan sekali terjadi. Eksplanasi model ini menghindari semaksimal mungkin pengandaian pola-pola umum dalam perilaku menyejarah manusia. Hal ini didasarkan pada keunikan manusia sebagai makhluk yang dinamis, berkembang, berubah, serta memiliki pertimbangan-pertimbangan yang terkadang tidak terduga.
Harry J. Benda dan Lance Castles, Victor King, serta Pieter Korver telah meneliti kausalitas gerakan Samin. Hasil penelitian mereka dapat dilihat dalam jurnal KITLV edisi 125, 129, 132, dan 133. Eksplanasi sejarah Gerakan Samin dalam rangkaian seri jurnal
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page3
tersebut kendati memperhatikan dengan sungguh-sungguh keunikan gerakan Samin di beberapa wilayah, namun semuanya mengarah pada penyimpulan hukum-hukum umum atas kausalitas Gerakan Samin. Berikut beberapa ringkasan dari pendapat mereka sekaligus perdebatan di antaranya.
Harry J. Benda dan Lance Castles menyatakan bahwa kausalitas gerakan Samin adalah berlatarbelakang faktor ekonomi. Demikian, sehingga penyebab pertama dan utama atas gerakan Samin awal yakni beban pajak serta intervensi pemerintah kolonial dalam bidang kehutanan melalui peraturan kehutanan (Benda & Castles, 1969: 219). Mereka menggunakan Laporan J.E. Jasper sebagai referensi utama. iii1 Berdasarkan laporan dari Jasper, pada tahun 1916 pengikut Samin sudah berjumlah 2.305 kepala keluarga, tersebar di beberapa daerah, meliputi: 1.701 kepala keluarga di Blora, 283 kepala keluarga di Bojonegoro, dan selebihnya tersebar di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus.
Melihat tempat kelahiran Samin di wilayah Randublatung, Blora yang memiliki konstruksi tanah batu berkapur, serta penyebaran ajaran Samin di sekitarnya wilayah tersebut yang memiliki kondisi alam relatif sama, maka hal tersebut mencirikan tingkat kesejahteraan petani yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Beberapa fakta tentang semakin beratnya beban ekonomi masyarakat Samin disebutkan misalnya ketika pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kerbau dari Bengal atau Bangladesh, masyarakat Samin diharuskan menyerahkan uang 5 sampai 10 gulden. Dan sering kali masyarakat Samin masih diminta untuk menyerahkan tenaga untuk bekerja bagi pemeliharan kerbau tersebut, tanpa dibayar. Hal ini mengurangi waktu bekerja masyarakat Samin dalam kehidupan bertani sehari-hari di sawahnya masing-masing. Selain itu, di beberapa desa dilakukan pengurangan luasan terhadap tanah-tanah komunal yang dikerjakan bergilir oleh para petani. Perngurangan tersebut tidak termasuk tanah bengkok milik pejabat desa.
Sementara dalam sektor kehutanan, pembatasan akses masyarakat terhadap hutan dimulai sejak Daendels berkuasa di Jawa. Sejak saat itu, hutan menjadi milik Negara Kolonial. Pengelelolaan hutan dilakukan oleh negara melalui sebuah lembaga yang bernama Boschwezen. Masyarakat sudah mulai dibatasi aksesnya terhadap hutan dengan harus mengurus ijin ketika akan menebang pohon. Kemudian pada tahap selanjutnya, pembatasan tersebut semakin jelas ketika muncul peraturan kehutanan pertama tahun 1865 serta disusul oleh Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memisahkan secara tegas, di mana lahan masyarakat berakhir dan kawasan hutan di mulai.
Peraturan-peraturan kehutanan tersebut telah membatasi hubungan antara masyarakat dengan hutannya. Samin dan pengikutnya tidak terkecuali terkena dampak tersebut. Mengingat Samin dan pengikutnya menyandarkan hidup pada pertanian dan kehidupan berhutan. Wilayah yang paling dipengaruhi oleh sistem baru ini, pertama-tama adalah wilayah Blora dan Grobogan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Benda dan Castles berikut ini:
“Tidak ada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh inovasi kehutanan ini melainkan wilayah Blora dan Grobogan. Hingga pada tahun 1918, hampir semua hutan di kedua wilayah ini telah menjadi Houtvesterijen (Houtvesterij). Inovasi pengelolaan hutan tersebut menjadi pusat sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial Belanda.”(Ibid: 222)
Benda dan Castles menyimpulkan bahwa kausalitas Gerakan Samin adalah konflik antara Kaum Samin dengan otoritas di atasnya (struktural kepemerintahan) yang merupakan perwujudan resistensi dari tekanan ekonomi yang dialami, terutama terkait dengan kenaikan pajak, tanah, air, dan akses kayu jati. Menurut Benda dan Castles, meski tidak menjadi kausalitas tunggal, namun faktor ekonomi menjadi kausalitas utama dalam Gerakan Samin (Ibid: 219).
1 J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page4
Victor King menyatakan bahwa Benda dan Castles tidak terlalu banyak memberikan penjelasan mengenai status dan posisi individu-individu yang bergabung dalam masyarakat Samin. Faktor kemiskinan ditempatkan sebagai salah satu faktor penyebab mengapa Samin melakukan gerakan tersebut. Dan secara umum “keluhan” ekonomi menjadi kausalitas utama terutama faktor ekonomi dalam aspek kehidupan agraria masyarakat Samin. Victor King berpendapat bahwa faktor materi bukanlah menjadi kausalitas utama. Karena banyak petani miskin yang tidak bergabung dalam gerakan ini. King berpendapat bahwa kausalitas gerakan ini adalah faktor sosial melalui teori keresahan/kerusuhan pedesaan “rural unrest” (King, 1973: 461).
Faktor ekonomi yang mendorong meletusnya gerakan Samin harus ditempatkan dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, khususnya soal diferensiasi status kehidupan masyarakat pedesaan pada saat itu. Terdapat semacam pergantian poros kekuasaan/pengaruh sosial politik. Para pemilik tanah yang sebelumnya mendapati posisi penting dalam kebijakan desa, pada gilirannya status sosial politik tersebut berkurang seiring peraturan pemerintah tahun 1906 yang menempatkan kepala desa sebagai satu-satunya pejabat yang mengambil keputusan. Tokoh yang tidak masuk dalam pejabat birokrasi desa merasa ada “perongrongan status” atas diri mereka.
Nampaknya, pendapat Victor King disepakati oleh Emmanuel Subangun. Subangun sepakat bahwa pajak yang terlalu menekan, dan perampasan tanah milik rakyat menjadi tanah pemerintah Hindia Belanda yang dijadikan hutan jati ikut mempengaruhi keadaan. Tapi gerakan itu sendiri bisa pecah akan lebih ditentukan oleh kelompok petani kaya pemilik tanah, seperti Samin Surosentiko yang merasa nilai kehormatannya terganggu. Subangun berpendapat bahwa persaingan dan perongrongan status (status deprivation) inilah yang merupakan casus belli, dan masalah pajak dan masalah perampasan tanah rakyat yang kemudian menjadi dasar ikatan rakyat petani yang lebih miskin.
“Gerakan itu tidak muncul dari kepahitan pengalaman bersama, tapi adalah dimulai dari kekecewaan elit dalam masyarakat petani, dan rakyat banyak kemudian menjadi pengikut gerakan” (Subangun,1997:26-7)
Sementara Pieter Korver menyatakan bahwa Benda & Castles serta Victor King sama-sama menggunakan pendekatan mono-kausal. Menurut Korver, gerakan Samin merupakan gerakan mileniarisme. Untuk mencari kausalitasnya, maka perlu untuk mengkomparasikan dengan gerakan-gerakan mileniarisme yang lain. Komparasi tersebut untuk menghindari kemandegan analisa kausalitas gerakan Samin yang acapkali berhenti pada kesimpulan kausalitas tunggal. Korver meyakini bahwa kausalitas gerakan Samin sangat beragam. Gerakan milinearisme selalu disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang berbeda-beda serta keterkaitan diantaranya (Korver, 1976: 249-266).
Kausalitas selalu berhubungan dengan implikasi yang ditimbulkan. Sebelum membicarakan kausalitas lebih lanjut, mari kita lihat implikasi-implikasi atau manifestasi-manifestasi gerakan pembangkangan yang dilakukan dibidang kehutanan, perpajakan, serta bidang-bidang yang lain. Dalam bidang kehutanan masyarkat pengikut Samin menolak untuk tidak masuk ke hutan, kendati alasan ekonomi dan tekanan kebutuhan akan hutan, layaknya tidaklah arif jika mengabaikan landasan berfikir seperti apa yang dijadikan pijakan masyarakat pengikut Samin dalam konteks penolakan tersebut. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bagi Samin dan pengikutnya, hutan adalah warisan nenek moyang dan anak cucu berhak atas pemakaiannya: lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, kayu menjadi milik orang banyak. Masyarakat Samin menghormati tanah dan peran manusia dalam mengolahnya. Mereka berpandangan bahwa peran mereka dalam mengubah alam menjadi pangan, yakni hakekat kehidupan, menyebabkan mereka memiliki status yang setara dengan pihak-pihak yang mengklaim hak mengatur dan menguasai akses hutan.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page5
Dalam bidang perpajakan, penolakan atas berbagai tekanan pajak tidak juga dimotivasikan semata-mata karena rongrongan status Samin dan pengikutnya yang memiliki lahan milik wajib pajak, namun prinsip keikhlasan serta proporsionalitas dalam pemanfaatan uang pajaklah yang menjadi perhatian utama. Bagi Samin dan para pengikutnya, pemberian pajak kepada pemerintah Hindia Belanda adalah salah alamat. Negara yang diinginkan Samin dan pengikutnya tidak terdapat dalam negara kolonial Belanda. Negara yang melindungi rakyatnya serta negara yang berkeadilan, tidak ada pajak yang harus dibayar kepada negara serta dapat mengambil kayu jati di hutan ketika membutuhkan. Sebuah negara yang dapat menjadi tempat berlindung rakyatnya, sebuah negara beserta rakyatnya yang memperhatikan keutamaan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Jika gerakan Samin dikategorikan sebagai gerakan milenarisme (negara berkeadilan) dan mesianisme (ratu adil), Samin sendiri telah membantahnya (Benda & Castles, 1969: 212).
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa akan datang jaman baru yang dipimpin oleh Ratu Adil atau Heru Tjokro?
Samin
:
Saya tidak tahu sama sekali soal itu dan saya tidak pernah mengatakan hal itu!
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa anda akan menjadi Raja atau Ratu?
Samin
:
Tidak!
Figure 1. Alur Kausalitas Gerakan Samin
Epilog
Patut diakui bahwa kausalitas gerakan Samin di berbagai wilayah beragam (multikausal), namun nilai-nilai kehidupan Samin dalam hubugannya dengan alam, Tuhan, negara, dan sesama manusia tidakkah mempunyai peran yang kuat bahkan dominan? bagaimana menjelaskan pilihan gerakan tanpa kekerasan ditengah-tengah perlawanan pedesaan yang mayoritas menggunakan perlawanan fisik? Nilai-nilai kehidupan yang dipegang Samin Surosentiko dan pengikutnya mengajarkan bahwa berbuat baik, jujur, dan tidak menggunakan kekerasan nyaris diabaikan dalam menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan tersebut.
Muara dari semua itu adalah pertanyaan awal, jika segala faktor menjadi kausalitas yakni faktor ekonomi, status sosial (perongrongan status), serta milenarisme, manakah kausalitas yang dapat tergantikan dengan yang lain, dan mana kausalitas yang determinan harus ada? Yang menjadi kausalitas yang tidak tergantikan dan merupakan kausalitas determinan adalah Samin Surosentiko beserta pengikutnya yang menyandarkan diri pada nilai-nilai kehidupan pada agama Adam.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page6
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Benda, Harry J. dan Lance Castles. 1969. The Samin Movement. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 125.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi dari Blora. Penerbit Citra Almamater. Semarang.
King, Victor T. 1973. Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java: Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 129.
Korver, A. Pieter E. 1976. The Samin Movement and Millenarisme. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132., hlm. 249-266.
Nurudin dkk (Ed). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKIS bekerjasama dengan FISIP UMM Malang. Yogyakarta.
Subangun, Emmanuel, “Tidak ada Mesias dalam Pandangan Hidup Jawa”, dalam Prisma, Januari 1997, no. 1, Jakarta.
i Alumni Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma. Saat ini aktif di Citralekha, Komunitas Penggemar Sejarah USD.
ii Tanah lapang tanpa pepohonan
iii J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.

Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin

Kompas, Rabu, 25 Januari 2006, 16:51 WIB

Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin

Jakarta, KCM




Pada suatu malam di bulan Januari, penyanyi Franky Sahilatua mengirim SMS ke HP saya. Isinya, ia
diundang oleh tokoh muda masyarakat Samin untuk menyanyi bersama Emha Ainun Nadjib di alun-alun Pati
dalam acara "Temu Tani" yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Pati (SPP). Jika saya tertarik, bolehlah
saya ikut bersamanya.
Tentu saja saya tertarik dengan ajakan tersebut. Terlebih, karena dalam ajakannya itu Franky menyebut nama
Samin, sebuah nama yang tak asing bagi saya sejak masih kuliah. Samin, meski sudah kerap mendengar
"gosip" tentang masyarakat Samin, tapi hingga kini saya belum pernah bertemu dengan mereka.
Terus terang, saya penasaran. Apakah benar, orang Samin itu adalah sekelompok masyarakat yang menganut
faham "asal beda", suka menentang pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga kini? Sehingga istilah
Samin akhirnya menjadi olok-olok untuk mereka yang berlaku "norak", tak kooperatif, uneducated, bebal, dan
lain-lain.
Atau dalam istilah Jaspers, seorang asisten Residen Tuban kala itu, melukiskan ajaran Samin sebagai
"kelainan jiwa" (mental afwijking) yang disebabkan oleh kelewat beratnya beban pajak yang harus mereka
tanggung.
"Tapi ongkosnya kita tanggung bersama ya," ujar Franky kemudian setelah saya hubungi lewat HP-nya.
"Maklum, yang mengundang petani... he he he..." lanjut Franky.
Maka jadilah, pada Selasa malam, 17 Januari lalu, saya, Franky, dan dua pekerja sosial bernama Beni dan
Agus serta seorang sopir bernama Acan, meluncur menuju Pati dengan berkendara mobil.
Di sepanjang jalan pantai utara Jawa yang jalannya tak pernah beres itu, kami berdiskusi perihal kelompok
masyarakat yang hendak kami datangi.
Itulah soalnya kami langsung menyusun rencana, sebelum menuju alun-alun Pati pada Kamis, 19 Januari, saya
dan Franky sepakat untuk mengenal Sedulur Sikep lebih dalam.
Untunglah, Beni dan Agus, sudah cukup lama mengenal masyarakat Samin. Terlebih Beni, ia mengaku sudah
10 tahun berkawan akrab dengan warga Samin. Karena itu, sepanjang perjalanan kami mendapatkan
gambaran yang cukup jelas tentang siapakah warga Samin itu.
"Tapi mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep," kata Beni.
Beni melanjutkan, Sedulur Sikep itu merupakan faham atau pemahaman mereka mengenai hidup yang harus
selalu berpegang pada kejujuran dan kebenaran. Sedangkan Samin, adalah seorang tokoh yang amat
dihormati oleh warga Sedulur Sikep dan sekaligus perintis ajaran Sikep.
Maka mulailah, sambil menikmati suara gamelan dari tape mobil di sepanjang jalan tol Jakarta-Cikampek, Beni
menerangkan perihal Samin dan Sedulur Sikep.
Tentang Samin Surosentiko
Katanya, Samin itu adalah nama yang dipakai oleh Raden Kohar agar lebih merakyat. Samin. Kompletnya
Samin Surosentiko. Lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, pada 1859. Samin mulai
menyebarkan ajarannya pada 1890 di Klopoduwur, Blora. Dalam waktu singkat, penduduk sekitar banyak yang
tertarik mengikuti jejaknya.
Page 2 of 6
Tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin tersebar di 34
desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro.
Pada 1907, populasi orang Samin sudah mencapai angka 5.000 orang. Nah, saat itulah, pemerintah Belanda
mulai was-was, sehingga pengikut Samin pun mulai ditangkapi satu demi satu.
Pada 8 November 1907, orang Sikep mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu
Panembahan Suryangalam. Namun sayang, baru 40 hari sejak pengangkatan itu, Samin ditangkap oleh Raden
Pranolo, asisten Wedana Randublatung.
Selanjutnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke wilayah Sumatra, tepatnya di Sawahlunto. Samin
Surosentiko meninggal di pengasingan pada tahun 1914.
Samin Surosentiko memang telah ditangkap, tapi ajaran Samin tetap hidup. Benarlah apa kata pepatah: Mati
satu tumbuh seribu. Sepeninggal Samin, muncullah Wongsorejo, salah satu pengikut Samin yang gigih
menyebarkan ajaran gurunya hingga Madiun. Nasib Wongsorejo tak ubahnya sang guru, ia pun ditangkap dan
dibuang ke luar Jawa.
Wongsorejo silam, muncul menantu Samin Surosentiko yang bernama Surohidin pada 1911. Surohidin
bersama pengikutnya, Engkrak, bahu membahu menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan, sementara
pengikut Samin lainnya yang bernama Karsiyah menyebarkan ajaran Samin hingga daerah Kajen, Pati.
Berbarengan dengan tahun mangkatnya Samin Surosentiko (1914), pecah pemberontakan warga Samin atau
yang terkenal dengan sebutan Geger Samin. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan titik kulminasi dari
kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda yang menaikkan pajak bagi pribumi.
Perlawanan dari masyarakat Samin berupa penolakan membayar pajak pun timbul di mana-mana. Mulai dari
Purwodadi, Madiun, Pati, Bojonegoro.
Perdebatan antara orang Sikep dan polisi kolonial berikut ini mungkin bisa menjadi gambaran logika penolakan
membayar pajak masyarakat Samin terhadap pemerintah kolonial kala itu, seperti dimuat Majalah Desantara
(edisi 06/2002) yang mengutip tulisan Takashi Shiraishi berjudul Dangir’s Testimony.
"Kamu masih hutang 90 persen kepada negara"
"Saya tidak hutang kepada negara"
"Tapi kamu mesti membayar pajak"
"Wong Sikep (orang Samin) tak mengenal pajak"
"Apa kamu gila atau pura-pura Gila?"
"Saya tidak gila, dan tidak pura-pura gila"
"Kamu biasanya bayar pajak, mengapa sekarang tidak?"
"Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tidak habis-habisnya minta uang?"
"Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin
merawat jalan dengan baik."
"Kalau menurut kami, jika keadaan jalan itu tidak baik, kami bisa membetulkannya sendiri."
"Jadi kamu tidak membayar pajak?"
"Wong sikep tak mengenal pajak."
Tentang Sedulur Sikep
Sedulur Sikep adalah turunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memiliki keyakinan betapa
pentingnya menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur dan tidak menyakiti orang lain.
Dalam perilakunya, Sedulur Sikep harus menghindari sikap drengki, srei, dahwen, kemeren, panasten (yang
benar disalahkan atau sebaliknya, membesar-besarkan persoalan, iri hati, dan tidak menginginkan orang lain
berbuat baik).
Page 3 of 6
Selain ajaran tersebut, Sedulur Sikep juga harus menghindari perilaku bathil lainnya seperti bedok, colong,
petil, jumput dan nemu (merampok, mencuri, nguti, mengambil milik orang lain, bahkan sampai menemukan
barang orang lain pun tak boleh dilakukan).
"Dan mereka mempraktikkan ajaran itu tiap waktu, tiap saat," ujar Beni saat kami usai mengisi perut di daerah
Indramayu.
Makanya, ujar Beni, minimal sekali dalam setahun, ia selalu berkunjung ke Sedulur Sikep yang berada di
wilayah Pati dan Kudus. Katanya, kunjungannya ke Sedulur Sikep untuk charge pikiran dan hati.
"Aku yakin ini bukan melulu karya manusia. Ini pasti ada campur tangan Sang Pemilik Hidup," Franky
menanggapi pertanyaan saya, kenapakah hingga kini ajaran Samin masih terus hidup.
Ya, padahal, dari waktu ke waktu mereka senantiasa menghadapi persoalan administratif negara. Sebutlah,
soal Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak di antara warga Sikep hingga kini tak memiliki KTP lantaran agama
mereka yang menurut istilah mereka disebut agama Adam tak pernah diakui oleh pemerintah RI.
Belum lagi masalah pernikahan. Sedulur Sikep yang memiliki tata cara pernikahan sendiri, tentu saja kerap
menimbulkan masalah lantaran tak pernah melibatkan pejabat negara.
Apapun masalahnya, toh Sedulur Sikep senantiasa mampu mengatasi persoalannya sendiri. Buktinya, hingga
detik ini mereka masih eksis dan telah mendapatkan pengakuan dari negara.
Siang telah membentang ketika kami sampai di Semarang. Seorang kawan lain yang juga hendak menuju Pati
kami jemput di restoran Soto Bangkong di Banyumanik. Mas Hermanu, begitulah kami memanggilnya. Dialah
doktor lulusan Amerika yang hingga kini juga masih setia menemani Sedulur Sikep.
Usai sarapan, mobil kami hela menuju Pati. "Lewat Purwodadi saja, lebih enak pemandangannya," kata
Hermanu.
Mranggen, Tegowanu, Gubuk, Purwodadi, kami lewati. Sebentar lagi, Sukolilo ada di hadapan kami. Di sanalah
nanti kami akan bertemu dengan guru-guru kami, para Sedulur Sikep.
Jabat Erat Sedulur Sikep
Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki Kecamatan Sukolilo. Setelah beberapa kali tikungan dan
jalan menurun, sampailah kami di mulut gang menuju Dukuh Bombong.
Atas saran Hermanu, tujuan pertama kami adalah rumah Mbah Sampir. Lelaki tua berusia di atas 70 tahun
yang ditokohkan oleh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong.
Sayang disayang, Mbah Sampir ternyata tak sedang di rumah. Sebagai gantinya, istri, anak, cucu, menantu
dan saudara Mbah Sampir lainnya yang membentuk puak di sekitar rumah Mbah Sampir menyambut kami
dengan hangat.
"Nepangaken, pangaran njenengan sinten?"
"Saking pundi?"
"Ra’ sami seger kawarasan toh?"
Begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut keturunan Mbah Sampir, tak kecil tak besar, tak tua tak muda.
Sambil memegang erat tangan tamunya, mereka berucap dengan tegas dan lugas perihal nama dan asal
tamunya, serta tak lupa harapan agar sang tamu dalam keadaan sehat wal afiat.
Page 4 of 6
Selanjutnya, setelah saling berkenalan, sebagian anggota keluarga Mabah Sampir menyingkir, sebagian
lainnya ada bersama kami. Salah satunya, adalah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Gunarti,
adiknya Mas Gunritno.
Gunarti perlu menyebut nama Gunritno, sebab itulah nama yang menurutnya sudah dikenal, setidaknya oleh
teman-teman seperjalanan saya: Beni, Agus, dan Hermanu.
Padahal, ayah Gunarti yang bernama Wargono sebetulnya juga cukup terkenal sebagai salah satu tokoh
Sedulur Sikep. Sebagai orang yang baru kenal, saya tentu saja tak berani lancang bertanya mengapakah ia
justru memperkenalkan nama kakak dan bukan nama ayahnya.
Umur cuma satu, buat selamanya
Setelah bertukar kabar,mulailah kami bertanya-tanya.
"Gimana kemarin, apakah Sedulur Sikep menerima dana kompensasi BBM?" tanya Mas Hermanu. "Untuk soal
itu, kami kalis," jawab Gunarti. Mas Hermanu langsung menerjemahkan istilah kalis. Katanya, kalis itu adalah
seperti daun keladi yang tak basah oleh air yang ada bersamanya. Menurut Gunarti, lebih baik dana
kompensasi itu diberikan kepada warga lainnya yang lebih membutuhkan.
Gunarti mengatakan, kendati warga Sedulur Sikep cukup berat menanggung beban hidup lantaran semua
harga kebutuhan naik, tapi ia dan Sedulur Sikep lainnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal,
ujar Gunarti, sawah yang ia harapkan bakal memberinya berkarung-karung gabah bulan depan, ternyata
terendam banjir.
Obrolan pun.. ah ya, saya hampir lupa, "obrolan" adalah kosa kata yang paling dihindari Sedulur Sikep untuk
sebuah perbincangan. Sedulur Sikep lebih suka menyebut perbincangan dengan istilah rembugan. Sebab
katanya, rembugan itu adalah perbincangan yang akan menghasilkan sesuatu. Sedangkan ngobrol, lebih
banyak menghasilkan kesia-siaan.
Dari pengertian ini, karenanya Sedukur Sikep senantiasa serius jika diajak berbincang-bincang. Seperti di siang
itu. Gunarti pun dengan seksama menyimak pertanyaan-pertanyaan saya dan teman lainnya.
"Maaf, umur Mbak berapa sekarang?"
"Umur saya satu, buat selamanya," jawab Gunarti.
Mendengar jawaban Gunarti, saya pun jadi salah tingkah. Saya mulai bertanya kepada Mas Hermanu,
bagaimana caranya menanyakan soal umur kepada Sedulur Sikep.
"Waktu anda lahir, kira-kira pas zaman apa ya Mbak?" tanya saya setelah mendapat bisikan dari Mas
Hermanu.
"Menurut kedua orang tua, saat menikah saya berusia 16 tahun. Sekarang usia anak saya yang pertama sudah
16 tahun, jadi kurang lebih 29 tahun," jawab Gunarti.
Anda yang belum mengenal Sedulur Sikep, boleh jadi akan berprasangka yang macam-macam mendengar
penuturan Gunarti. Padahal, ujar Gunarti, mengapa para Sedulur Sikep selalu menjawab begitu tiap kali ditanya
berapa umurnya, adalah karena semata mereka takut berbohong.
"Bagaimana saya bisa menjawab dengan tepat kalau saya tidak tahu apa-apa saat saya lahir?" tambah
Gunarti.
Hmm... sebuah logika yang tak terbantahkan bukan?
"Sekarang kegiatan Mbak Gunarti apa?" saya melanjutkan pertanyaan.
"Tiap hari saya pergi ke sawah. Hari Minggu saya ke pasinaon..."
Page 5 of 6
"O, jadi guru juga toh?"
"Ah tidak. Saya nggak mau disebut guru. Guru itu kan digugu lan ditiru. Sementara saya, belum tentu
perbuatan saya bisa digugu (dipercaya) dan ditiru," ucap Gunarti merendah.
Pendeknya, lanjut Gunarti, yang penting dirinya bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah sebab, tiap hari Minggu,
sekitar 15 anak-anak Sedulur Sikep mendapat pengajaran dari Gunarti tentang baca dan tulis serta budi
pekerti.
Kegiatan belajar mengajar ini, menurut Gunarti, dimulai sejak anak-anak mulai berpikir dan bertindak.
"Bukankah anak bisa jalan, bisa bicara, itu orang tua yang mengajari. Karenanya, apabila kita ingin anak-anak
kita berperilaku baik, ya harus diajari sejak dini," tutur Gunarti.
"Yang utama dari pembelajaran itu adalah mebcike kelakuan (meluruskan perbuatan). Sebab kita kerap
keblasak-keblusuk (tersesat)," tandas Gunarti.
O ya, perlu Anda ketahui, wahai pembaca yang budiman, anak-anak Sedulur Sikep itu memang tidak
bersekolah secara formal. Nah, orang semacam Gunarti ini, karena dipandang pintar, maka dia berkewajiban
membagi ilmunya kepada anak-anak dari keluarga Sedulur Sikep.
Buat Sedulur Sikep, ada dua hal yang mereka hindari dalam hidup. Yakni, bersekolah (formal) dan berdagang
(mencari margin). Sekolah, kata mereka, membuat orang jadi pintar. Setelah pintar, manusia bisanya
cenderung membohongi sesamanya. Begitu juga dengan berdagang. Biasanya, dalam mencari untung para
pedagang itu suka mengabaikan nilai-nilai kejujuran.
Karena itu, profesi yang dipilih oleh Sedulur Sikep adalah bertani. Jika pun harus menjual hasil pertaniannya,
Sedulur Sikep biasanya akan berpatokan pada harga yang berlaku di masyarakat.
Makan siang dengan nasi jagung
Meski sudah diganjal soto bangkong di Semarang pagi tadi, toh perut langsung keroncongan manakala mata
melihat sajian yang digelar di atas meja di rumah Mbah Sampir.
Di meja kini ada nasi jagung, botok, lodeh terong, tempe goreng, goreng ikan kutuk, dan telor goreng. Setelah
tuan rumah mempersilakan kami menyantap hidangan, kami pun secara bergantian mengambil hidangan yang
tersaji.
Saya dan Franky mengambil nasi jagung plus botok yang di dalamnya terdapat anakan ikan kutuk.
Rasanya...hmmm... yummy betul. Lain benar rasanya dengan masakan orang Jakarta yang sudah
terkontaminasi dengan unsur kimia sejak masih ditanam hingga ketika dimasak.
Inilah kiranya rasa makanan yang dihasilkan dengan cara yang berbeda dengan masakan kebanyakan. Bahkan
sejak sebelum padi ditanam hingga setelah padi dipanen, mereka selalu mengupayakannya dengan doa atau
biasa disebut dengan istilah brokohan. Tujuannya, ujar ayah Gunarti (Wargono) untuk kebaikan manusianya
dan juga kebaikan yang ditanam.
Perihal sajian di rumah Mbah Sampir itu, perlu Anda ketahui juga, adalah salah satu cara Sedulur Sikep
menghormati tamu-tamunya. Oleh karena itu jangan heran, jika sekali waktu Anda berkunjung ke keluarga
Sedulur Sikep, selain disuguhiminum dan nyamikan, Anda juga akan disuguhi makan.
Makanya saat lepas dari Semarang Mas Beni wanti-wanti, siapkan perut Anda sebelum datang ke rumah para
Sedulur Sikep. Sebab, bila dalam satu hari kita datang ke lima rumah, boleh jadi kita akan diberi sajian makan
berat sebanyak lima kali pula.
Page 6 of 6
Tentu, mereka pun tak akan memaksa Anda untuk makan hingga kenyang. Tapi, alangkah baiknya jika Anda
merasakan juga apa yang mereka hidangkan sebagai simbol penghormatan terhadap tuan rumah.
"Memangnya Mbah Sampir punya kolam ikan ya Mbak," tanya saya kepada Mbak Gun.
"Ah, nggak," jawab Gunarti.
"Trus ikan ini dari mana?" sambung saya.
"Dari sawah."
"Maksudnya, piara ikan di sawah?"
"Bukankah dimana pun ada air, di situ selalu ada ikannya," ujar Mbak Gun sambil tersenyum.
Ah, kembali saya tertohok oleh logika yang tak terbantahkan dari Mbak Gun. Coba bayangkanlah..., ikan dan
air..., bukankah mereka bagian dari semesta yang mestinya memang berpasang-pasangan?
Sedang saya merasai bolak-balik ketohok oleh ucapan Gunarti, mendadak Mbah Pasmi (istri Mbah Sampir)
berucap, "Tambah lo, Mas..."
Sebelum saya mengiyakan atau menolak, tiba-tiba saya ingat pesan Mas Beni supaya jangan kelewat kenyang
makan di satu tempat. Sebab setelah ini, bisa jadi tiga atau empat rumah bakal kami kunjungi lagi.
He he he..., demi menghormati tuan-tuan rumah yang bakal saya kunjungi, saya pun mengekang tawaran
Mbah Pasmi dengan ucapan "maturnuwun". Padahal..., botok dan nasi jagungnya itu...hhmmm, enaaak tenan.
Sungguh.
Penulis: Jodhi Yudono

Samin Surosentiko

Samin Surosentiko


Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin
Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah
nama yang bernafas kerakyatan.
Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten
Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.
Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah
banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik
dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak
membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang
tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran
Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial
Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU
ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu,
Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap
Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada
tahun 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo,
salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa
dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan
baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan
ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban,
tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda
menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati
Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat
untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa
dan Polisi
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu
dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak
ada figur pimpinan yang tanggguh
Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan,
disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto
Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang
waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar
dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial
Belanda dengan cara lain
Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa,
hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di
Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.
Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT
JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat
Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.
Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal ? manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning
dumadi ?. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai
? rangka umanjing curiga ?( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat
Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :
?Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini
menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila
mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang
menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang
dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah,
daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok)
kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.?
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :
? Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun
(aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita
(yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang
disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip
mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.?
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah
? Saderek gangsal kalima pancer? adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag
mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:
? Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu
mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya).
Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun
jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada
kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat.
Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama
kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas
adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati
di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai
pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh
Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang
umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.
Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang
dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan
sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya
yang berbunyi :
? ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya.
Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan
perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira,
sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya.
Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada
asal-usulnya masing-masing?.?
Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran.
Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:
? ?Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak raguragu
lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir
dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat
menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami
kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan,
apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan?,?
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai ? angger-angger pratikel? (hukum
tindak tanduk), ? angger-angger pengucap ? (hukum berbicara), serta ? angger-angger lakonana?
(hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Hukum yang pertama berbunyi ?Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput,
mbedog colong.? Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang
lain, dan dilarang mengambil milik orang.
Hukum ke dua berbunyi ? Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga
budhelane ana pitu.? Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara
angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus
memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang
lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup
manusia ini tidak sempurna.
Adapun hukum yang ke tiga berbunyi ? Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale
dilakoni.? Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat ? bagaikan
orang mati dalam hidup ?
Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang
menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang
berbunyi sebagai berikut : ??Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa
kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih ?mati? senyampang masih hidup (mencicipi mati)
sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan
Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.?
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang
meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau
sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini
diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang
bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :
? ?Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal
mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila
manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta
Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu
diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia).
Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim
wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).?
Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ?Penitisan?
tapi menganut faham ? manunggaling kawulo Gusti? atau ?sangkan paraning dumadi?.
Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang ?theis?.
Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah,
sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :
? Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat.
Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan
bukti bahwa Tuhan itu ada?.?
Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya
akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini
maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi
tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang
mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini
:
? Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi.?
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk
meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan ?Atmaja Tama? (anak yang mulia). Dalam
ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang
berbunyi kurang lebih demikian : ? Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama?? Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani
berdua.?
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang
sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan
Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
1. Penolakan membayar pajak
2. penolakan memperbaiki jalan
3. penolakan jaga malam (ronda)
4. penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh
Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai
tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup
dalam perdamaian.
Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis
legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan
Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat
Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah
Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik ? wong Jawa ?. Oleh karena
itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati
dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda,
sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.
Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja
desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas
pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang
religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran
yang penuh kreatifitas dan keberanian.
Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah
perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin
mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar
biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa
daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati,
Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU
DIPERHATIKAN JASA-JASANYA.

Monday 20 December 2010

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG EKSKLUSIF PADA PERMUKIMAN KAUM SAMIN

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG….
(Retno Hastijanti)

Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
133

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG EKSKLUSIF PADA
PERMUKIMAN KAUM SAMIN

Retno Hastijanti

Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Mahasiswa Pendidikan Program Doktor, Program Studi Arsitektur, ITS Surabaya
ABSTRAK
Kaum Samin merupakan sekumpulan orang pengikut Saminisme. Budaya Saminisme, berlatar belakang
sejarah pemberontakan Samin Surontiko melawan penjajahan Belanda (1890). Pada th.1940, Belanda melakukan
‘pembersihan’ Kaum Samin, sehingga jumlah mereka menyusut dan tercerai berai. Demi keselamatan mereka,
Kaum Samin membuat kesepakatan tak tertulis untuk menyamar dan membaur dengan orang disekitar mereka
dan selalu menganggap orang sekeliling mereka adalah sedulur. Kesepakatan tersebut tidak hanya menjadi
konsep hidup mereka tetapi tercermin pula dalam permukiman mereka. Melalui penelitian kualitatifphenomenologis
dan penggunaan metoda penerjemahan makna, dilakukan analisa terhadap ruang eksklusif pada
permukimannya. Dan terbukti bahwa konsep sedulur mengantisipasi terbentuknya ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin.
Kata kunci: Kaum samin, Konsep sedulur, Ruang eksklusif.
ABSTRACT
Saminist is Saminism followers. Their culture based on the history of the Samin’s rebellion against the
Dutch. In 1940, The Dutch exploded Saminist cleansing. For saving their life, the Saminist then made an
unwritten-agreement among them to undercover and blend in the middle of society surround, and always
assumed the society as sedulur. This unwritten-agreement became their way of life and was reflected in their
settlement. This research is qualitative-phenomenology research and using meaning-translation method for
analyzing the exclusive space of the Saminist settlement. It had been found that sedulur concept anticipated the
formed of exclusive space of Saminist settlement.
Keywords: Samin, Brotherhood concept, exclusive space.
PENDAHULUAN
Kaum Samin adalah sekumpulan orang suku
Jawa pengikut ajaran Samin. Samin Surosentiko
(Blora, 1850-1907) menyebarkan ajaran Samin
sejak 1890. Pada dasarnya ia mengajarkan
tuntunan untuk melawan kompeni Belanda.
Selama 17 tahun, ia berhasil menghimpun
kekuatan yang luar biasa, dan menjadikan
mereka salah satu musuh Belanda yang paling
berbahaya di tanah Jawa. Pada tahun 1914,
Belanda mengadakan pembersihan terhadap
Kaum Samin (dikenal sebagai geger Samin).
Mereka menyerang dan membakar desa-desa
pusat pertahanan kaum Samin di Jawa Tengah
dan di Jawa Timur. Banyak kaum Samin
terbunuh, sedangkan yang selamat tercerai berai.
Selanjutnya, Belanda melarang ajaran Samin dan
mengancam masyarakat yang menyembunyikan
mereka. Untuk lebih menghancurkan komunitas
tersebut, Belanda mendiskreditkan kaum Samin
sebagai kaum perampok dan penjahat, sehingga
pada akhirnya masyarakat (Jawa) -pun menolak
keberadaan kaum Samin. Untuk menyelamatkan
diri, kemudian Kaum Samin membuat suatu
kesepakatan tak tertulis yang berisi strategi
berperang dan bersosialisai. Kesepakatan
tersebut selain disampaikan dari mulut ke mulut,
juga disampaikan melalui kesenian sastra lisan
(kentrung). Salah satu kesepakatan mereka
adalah menyamar dan meleburkan diri dalam
lingkungan masyarakat umum dan menganggap
bahwa seluruh masyarakat sekeliling mereka
adalah ‘saudara’ /sedulur. Strategi mereka
ternyata berhasil. Terbukti mereka dapat hidup
damai dan mengamalkan ajarannya dengan
aman.
Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten
Bojonegoro (gb.1), merupakan desa tempat
tinggal pengikut Samin yang terbanyak. Disini,
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
134
ajaran Samin, baik lisan maupun tulisan,
dijalankan dengan ketat oleh para pengikutnya.
Pelaksanaan ajaran tersebut, tidak hanya
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
juga terlihat sampai pada permukimannya.
Permukiman (gb.2) tersebut tidak terlihat
berbeda secara menyolok. Sehingga bila tidak
jeli melihat, maka kita tidak akan bisa
membedakan kelompok rumah kaum Samin dan
kelompok rumah masyarakat umum. Kenyataan
ini mengingkari fenomena ruang ekslusif yang
selalu terbentuk pada permukiman heterogen
seperti ini. Fenomena terbentuknya ruang
eksklusif untuk suatu kelompok masyarakat
dengan budaya tertentu, merupakan fenomena
yang umum ditemukan. Karena Ruang eksklusif
dianggap sebagai penentu eksistensi kelompok
tersebut terhadap lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
dirumuskan permasalahan yang akan diteliti
yaitu:
1. Apakah ada ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin di Tapelan ?
2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap
keberadaan/ketiadaan ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin di Tapelan ?
Gambar 1. Sketsa peta Kabupaten Bojonegoro
Gambar 2. Sketsa pembagian dukuh Desa Tapelan
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pengelompokan Dalam Masyarakat
Perbedaan kwalitas dari tiap hubungan
sosial menghasilkan beberapa konsekwensi,
salah satunya adalah pengelompokan atau
pembentukan grup. Amos Rapoport (1977:248)
mengatakan bahwa suatu kelompok adalah hasil
dari proses yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang punya kesamaan dan kemudian
mereka memilih lingkungan dengan kwalitas
yang sesuai bagi mereka. Hasilnya adalah
‘daerah kantong’ (enclave), suatu daerah yang
menggambarkan ‘kesatuan’ dan juga
‘pemisahan’. Fischer (1976) mengamati, yang
membedakan daerah kantong yang satu dengan
lainnya dalam suatu lingkungan ketetanggaan,
adalah kesukuan (termasuk perbedaan budaya),
kebangsaan, dan sosial-ekonomi antar kelompok
tersebut. Rapoport (1977:248) mengamati bahwa
proses ini menyebabkan pembagian antara ‘kita’
dan ‘mereka’. Disini terjadi proses inklusif dan
eksklusif, akibatnya timbul ‘batas’ dan ‘identitas
sosial’ yang berbeda. Sehingga, area kemudian
terbagi menjadi 2 (dua). Bagian pertama milik
kelompok yang punya ‘kesamaan’ sifat
(homogeneity) dan bagian lain milik kelompok
yang punya sifat ‘berbeda’ (diversity). Altman
(1980:260) mengatakan bahwa keduanya akan
mudah dilihat dan ditemukan, karena manusia
adalah makhluk yang dinamis sehingga akan
selalu mencari hal-hal yang ‘sama’ (homogeneity)
maupun yang ‘berbeda’ (diversity ).
Selain itu, bergabung dengan suatu kelompok
tertentu dan merubah identitas pribadi menjadi
identitas kelompok, akan membuat seseorang
merasa ‘stabil’.
Pengelompokan masyarakat yang terjadi,
mengakibatkan jaringan sosial dan sistem
aktifitas yang spesifik. Kesemuanya tertampung
dalam setting perilaku (behavior setting). Setting
ini akan mempengaruhi perilaku melalui berbagai
isyarat yang harus terbaca dan harus
dipatuhi. Dalam kondisi seperti ini, kelompok
tersebut, punya privasi yang didefinisikan oleh
Altman (1980:77) sebagai kontrol selektif
terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian,
setiap kelompok dapat mengontrol keterbukaan
dan ketertutupan hubungan sosial mereka dengan
orang lain.
Memahami Ruang Eksklusif
Proses pemberian batas pada ruang/
pembatasan menyebabkan suatu area yang
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
135
tersegregasi. Pembahasan terhadap ruang yang
terbatasi, terkait erat dengan ‘teritori’. Irwin
Altman (1980:121), mengamati bahwa definisi
teritori itu terkait dengan ‘kepemilikan’ atau
‘kontrol terhadap’ penggunaan suatu tempat atau
barang, sehingga teritori dapat dikontrol oleh
satu atau sekelompok orang. Teritori selalu
‘ditandai’ untuk mengekspresikan identitas
pengontrolnya dan mempertegas keberadaannya.
Bryan Lawson (2001:168) menyimpulkan bahwa
ruang eksklusif adalah teritori bagi suatu
kelompok masyarakat. Apabila kita merujuk
kembali proses yang telah diterangkan
sebelumnya dan salah satu hasilnya adalah ruang
eksklusif, maka dijelaskan adanya ‘pembatas’
sebagai penegas adanya ruang tersebut. Dan bila
kita merujuk pada konsep teritori yang
diterangkan Altman (1980:143) maka
‘pembatas’ yang diterangkan oleh Lawson disini
adalah salah satu‘tanda’ yang disebut oleh
Altman. Sedangkan tanda lain, oleh Oscar
Newman (1973) disebutkan adanya jarak antar
bangunan, tatanan ruang luar dan pola
pengaturan massa bangunan.
METODOLOGI
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan landasan phenomenology
karena, selain membahas aspek fisik pada
permukiman kaum Samin, juga membahas aspek
non fisiknya, sehingga erat kaitannya dengan
masalah persepsi, pemikiran, kemauan, maupun
keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek;
ada sesuatu yang transenden.
Obyek penelitian adalah sekumpulan orang
yang menyebut dirinya kaum Samin, dan
penekanan penelitian antara lain tentang perilaku
anggota kaum Samin pada hubungan interpersonal
maupun pada keseluruhan masyarakat
atau kelompok Dukuh Tapelan tersebut. Terkait
dengan hal tersebut, maka selanjutnya, model
penelitian kualitatif-phenomenologis yang dipilih
disini dengan pendekatan model interaksionisme
simbolik. Kemudian dibutuhkan pemakaian
metode pemaknaan dan penerjemahan / translasi
dalam analisa dan pembahasan, untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Untuk mengungkap
makna yang direpresentasikan oleh bentuk
arsitektural yang ada, maka diperlukan metode
feedback, mengingat kembali kondisi kesejarahan
mereka yang merupakan alas an utama
bagi keberadaan mereka dilingkungan tersebut.
Populasi Sampel dan Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan purposive
sample, dengan satuan kajian:
· Kelompok Kaum Samin dukuh Tapelan, desa
Tapelan (27 keluarga)
· Kelompok masyarakat non-Samin dukuh
Tapelan, desa Tapelan (36 keluarga).
Sehingga lokasi penelitian merupakan suatu
neighborhood (dan merupakan behavioral setting
bagi kaum Samin) permukiman kaum Samin.
Selain itu, terdapat kategorisasi tentang keluarga
yaitu keluarga inti (orang tua dan anak) (gb.3)
dan keluarga majemuk (gb.4). Dalam keluarga
majemuk terdapat beberapa keluarga inti.
Common denominator yang membuat suatu
keluarga dikatakan sebagai keluarga majemuk
adalah bahwa lebih dari 1 (satu) keluarga inti
‘memasak’ keperluan sehari-harinya pada
‘dapur’ yang sama.
Pengertian ‘sedulur’, bhs.Jawa (saudara,
bhs.Ind..) bagi kaum Samin, juga mempunyai
kategorisasi sebagai berikut:
a) Sedulur sedarah dalam keluarga inti
b) Sedulur sedarah dalam keluarga majemuk
c) Sedulur se-kaum Samin
d) Sedulur se-lokasi / dukuh dan desa
e) Sedulur sesama ‘umat manusia’
Gambar 3. Peta Status Keluarga Inti Penghuni
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
136
Gambar 4. Peta Pembagian Lahan Keluarga
Majemuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan tentang batas lahan
sebagai penanda dan penegas eksistensi teritori
(table 1.), terdapat dua kategori batas lahan antar
rumah keluarga majemuk yaitu (1) tidak ada
pagar/tanpa pagar; dan (2) ada pagar. Untuk
kategori (2), dibagi lagi berdasarkan penggunaan
bahan untuk membuat pagar, yaitu (a) pagar
tanaman; (b) pagar kayu/bambo; (c) pagar bata/
tembok. Antar rumah keluarga inti dalam satu
keluarga majemuk, baik Samin maupun non-
Samin, seluruhnya tidak memakai pembatas.
Selanjutnya untuk batas lahan antar keluarga
majemuk Samin hasilnya adalah 53,85 % tanpa
pagar; 30,77% berpagar tanaman; 15,38 %
berpagar kayu/bambu. Lahan keluarga majemuk
Samin yang berpagar adalah lahan yang
berdampingan dengan lahan keluarga majemuk
non-Samin, dan secara visual, sangat pendek (15-
20 cm), tidak terawat dan bukan pagar yang
menerus. Sedangkan untuk keluarga majemuk
non-Samin hasilnya adalah 52,6% berpagar
tanaman; 42,1% berpagar kayu/bamboo; 5,3%
berpagar bata/tembok.
Tabel 1. Batas lahan Keluarga Majemuk
Status
Keluarga
Majemuk
Tdk ada
pagar Kel.
inti
Pagar
Tanaman
Kel. inti
Pagar
kayu/
Bambu
Kel. inti
Pagar
bata
Kel. inti
Total
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Kel.Majemuk
Samin
7 53,85% 4 30,77% 2 15,38% 13 100%
Kel. Majemuk
non-Samin
10 52,6% 8 42,1% 1 5,3% 19 100%
Kel. Majemuk
campuran
1 100% 1 100%
Untuk jarak antar rumah antar rumah
keluarga inti dalam lahan keluarga majemuk
(table.2), terdapat kategorisasi: (1) tidak ada
jarak/rumah saling menempel; (2) berjarak 1,5m-
3m; (3) berjarak lebih dari 3m. Dari pengamatan,
77,78% keluarga inti Samin masuk kategori (2)
dan 72,2% keluarga inti non-Samin yang masuk
kategori (2).
Tabel 2. Jarak antar rumah keluarga inti
dalam lahan keluarga majemuk
Status
Keluarga
Inti
Tdk ada
jarak antar
rumah
Jarak antar
rmh 1,5-3m
Jarak antar
rmh lebih
dr 3m
Total
Jml % Jml % Jml % Jml %
Kel.Inti
Samin
1 3,7 % 21 77,78% 5* 18,52% 27 100%
Kel. Inti
non-Samin
8* 22,2 % 26 72,2% 2 5,6 % 36 100%
* karena merupakan tatanan tunggal keluarga inti
Untuk pengamatan tatanan ruang luar
(gb.5), meliputi kondisi halaman depan,
samping, belakang dan ruang antar rumah
keluarga inti. Pada rumah keluarga majemuk
Samin, halaman depan ‘bersih’ tidak ada
tanaman lain kecuali rumput, yang tertata rapi.
Halaman samping seringkali ditanami pisang
atau perdu saja. Halaman belakang menjadi
kebun/ladang. Ruang antar rumah digunakan
untuk ‘ruang wanita’ bertemu sehingga tidak ada
tanaman selain lantai tanah yang bersih dan
bangku kecil. Pada rumah keluarga majemuk
non-Samin, tatanan ruang luar hampir sama
dengan rumah keluarga majemuk Samin, hanya
yang berbeda adalah ruang antar bangunan,
bukan merupakan ‘ruang wanita’, bisa saja hanya
berupa ruang untuk sirkulasi, atau ditanami. Juga
halaman depan berupa taman hias dengan pohon
peneduh.
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
137
Gambar 5. Pembagian ruag luar sekitar rumah
keluarga inti Samin
Ditemukan 6 (enam) kategori aturan tatanan
yang berbeda untuk penataan rumah keluarga
majemuk (table.3), yaitu (1) Deret; (2)
Berhadapan; (3) Bersusun; (4) Cluster; (5)
tunggal; (6) Deret berlawanan arah. Untuk
keluarga majemuk Samin, ditemukan 30,8%
kategori (1); 15,4% kategori (2);7,7% kategori
(3);38,4% kategori (5); 7,7 % kategori (6). Tidak
ditemukan kategori (4). Sedangkan untuk
keluarga majemuk non-Samin terbanyak
menggunakan kategori (5) 42,1% dan tidak
ditemukan kategori (2) dan (6).
Tabel 3. Aturan tatanan rumah keluarga majemuk
Status kel.
majemuk
Tatanan
Deret
Tatanan
Berhadapan
Tatanan
Bersusun
Tatanan
Cluster
Tatanan
Tunggal
Tatanan
Deret ><
Kel. Majemuk
Samin
4 bh
30,8 %
2 bh
15,4 %
1 bh
7,7 %
0 5 bh
38,4 %
1 bh
7,7 %
Kel. Majemuk
non-Samin
6 bh
31,6 %
0 1 bh
5,3 %
4 bh
21,0 %
8 bh
42,1 %
0
Kel.Majemuk
Campuran
1 bh
100 %
0 0 0 0 0
Total 11 bh
33,3 %
2 bh
6,1 %
2 bh
6,1 %
4 bh
12,1 %
13 bh
39,4 %
1 bh
3,0 %
Ditemukan adanya hierarki ruang yang
mengontrol aksesibilitas orang ke lahan. Dan ini
juga merupakan alat ukur bagi privacy pemilik
ruang. Kategorisasi yang dihasilkan adalah
(1)hierarki public, semua orang baik dikenal
maupun tidak dikenal boleh masuk; (2) hierarki
semi privat, hanya keluarga, tetangga, orang
yang dikenal dan orang tak dikenal tetapi
diijinkan, yang boleh masuk; (3) hierarki privat,
hanya keluarga atau orang lain yang diijinkan
masuk oleh penghuni dengan pengawasan penuh
dari penghuni. Pada lahan (ruang luar) kel.
Samin:
· Hierarki (1) pada halaman depan.
· Hierarki (2) pada halaman samping; halaman
belakang dan ruang antar rumah.
· Hierarki (3) tidak ditemukan.
Untuk lahan keluarga non-Samin:
· Hierarki (1) pada halaman depan.
· Hierarki (2) pada halaman samping dan ruang
antar rumah.
· Hierarki (3) pada halaman belakang.
Agar gambaran tentang privacy lebih lengkap,
maka dilakukan pengamatan pada hierarki
tatanan ruang dalam rumah keluarga Samin
(gb.6), dan ditemukan:
· Hierarki (1) pada teras, ruang bersama (untuk
rg.tamu + rg.keluarga + rg.makan) dan
km/wc.
· Hierarki (2) pada dapur, rg.tidur.
· Hierarki (3) tidak ditemukan.
Bila kategorisasi hierarki dihubungkan dengan
kategorisasi sedulur Kaum Samin, maka didapat
hubungan bahwa yang masuk hierarki publik
bagi kaum Samin adalah sedulur kategori
1,2,3,4 dan 5; sedangkan yang masuk hierarki
semi privat bagi kaum Samin adalah sedulur
kategori 1,2,3, dan 4.
Gambar 6. Denah dan tampak rumah keluarga
Samin
Ruang Eksklusif pada Permukiman Kaum
Samin di Tapelan
Dari analisa yang telah dilakukan didapat
pembahasan sebagai berikut:
· Pagar sebagai pembatas
Persepsi kaum Samin terhadap pagar
sebagai pembatas, tidak sama dengan masyarakat
lain. Mereka memandang pagar tidak sesuai
dengan komitmen tak tertulis yang telah dibuat
oleh pendahulu mereka, sehingga sebetulnya
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
138
mereka menolak keberadaan pagar. Tetapi bila
hal tersebut mereka terapkan, justru akan
membuat perbedaan yang menyolok antara
mereka dengan masyarakat sekitarnya. Sehingga
mereka memilih jalan tengah, kompromi dan
toleransi. Adanya pagar antara lahan keluarga
majemuk Samin dengan lahan keluarga majemuk
non-Samin, adalah representasi dari hal itu.
Kaum Samin tetap memasang pagar tetapi
dengan tujuan kompromi dan toleransi, bukan
penegas eksistensi ruang mereka. Karenanya
mereka memilih bahan yang tidak permanen,
walau mereka mampu secara finansial. Juga
ketinggian pagar dan kondisi pagar yang tidak
menerus dan tidak terawat, makin menguatkan
bukti bahwa pagar bagi mereka bukan hal
penting. Pada beberapa rumah keluarga majemuk
Samin, ada yang hanya meng-geletak-kan pagar
di depan rumah mereka. Bukan mendirikannya
seperti pada umumnya. Ini tidak saja representasi
dari ketidak-setujuan mereka pada elemen
pembatas, tetapi juga “keterpaksaan” mereka
menerima untuk menunjukkan toleransi. Makna
eksplisit yang tertangkap adalah keinginan
mereka untuk menyatu dengan lingkungannya.
Makna implisitnya, mereka menginginkan
ketiadaan halangan saat dalam kondisi darurat.
Sehingga bila terpaksa ‘lari’, maka tidak ada
pagar yang menghalangi aksesibilitas mereka.
Dengan ketiadaan pagar permanen tersebut,
maka penegas ruang ekslusif yang utamapun
tidak terwakili. Hal ini kemudian bisa dibaca
sebagai ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan
keluarga inti maupun majemuk Samin.
· Jarak antar rumah
Bagi mereka, jarak antar rumah bukanlah
pemisah ruang, tetapi justru penghubung. Ruang
antar rumah ini merupakan ‘ruang wanita’. Di
ruang ini, pertukaran informasi dan penjagaan
alamiah dilakukan. Sehingga, yang terjadi adalah
‘ruang penghubung’ bukan ‘ruang pemisah’.
Untuk menjaga konsistensi fungsi ini, mereka
selalu menyediakan bangku / tempat duduk
disini. Makna eksplisit yang terbaca adalah
kemudahan akses untuk menemukan tuan rumah,
karena ruang itu selalu ditempati oleh kaum
wanita, setiap saat. Makna implisitnya adalah
kemudahan pengawasan setiap saat kebagian luar
rumah dengan menempatkan wanita (sebagai
kaum yang tidak dicurigai) sebagai pengawas.
Dengan adanya jarak antar rumah tersebut (yang
dibaca sebagai ruang penghubung), membuat
terjadinya hubungan interaktif antara keluarga
Samin dan tetangganya, serta tamu yang akan
berkunjung. Hal ini pun kemudian bisa dibaca
sebagai ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan
keluarga inti maupun majemuk Samin.
· Tatanan ruang luar
Tatanan halaman depan, yang berupa
halaman luas tanpa tanaman, hanya rumput
belaka, merupakan identitas utama bagi rumah
keluarga inti Samin. Kemudahan aksesibilitas
menuju bagian dalam rumah, adalah makna
eksplisit yang ditangkap oleh pengunjung. Tetapi
pada dasarnya mereka punya makna implicit
pula, yaitu kemudahan akses pengawasan dari
dalam rumah keluar rumah. Sehingga pemilik
rumah sudah mendeteksi terlebih dahulu tamu
yang datang, sebelum tamu tersebut bertemu
dengan pemilik rumah. Dengan kemudahan
akses kedalam bagi orang lain, maka hal ini
kemudian bisa dibaca sebagai ketiadaan ruang
eksklusif dalam lahan keluarga inti maupun
majemuk Samin
· Tatanan rumah keluarga majemuk
Tatanan deret merupakan tatanan utama
mereka. Makna eksplisit yang terbaca adalah
keinginan mereka untuk sejajar dengan
lingkungannya. Tidak menonjolkan diri dan tidak
merendahkan diri. Sedangkan makna implisit
yang terbaca adalah kesiagaan mereka terhadap
bahaya yang akan datang. Berderet seakan
pasukan yang siap siaga untuk menyambut
musuh yang akan menyerang. Keinginan untuk
lebur dalam llingkungannya yang tercermin dari
tatanan inipun kemudian bisa dibaca sebagai
ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan keluarga
inti maupun majemuk Samin.
· Hierarki ruang
Dari hasil pengamatan, ternyata keluarga
inti Samin, memperbolehkan semua area
miliknya dikunjungi dengan bebas oleh orang
lain. Makna eksplisit yang terbaca adalah
keramahan mereka dan tidak ingin menutupi
kehidupan mereka terhadap tetangganya. Makna
implisit yang terbaca adalah dengan membiarkan
orang lain memasuki area mereka, mereka justru
dapat mengenali orang tersebut secara lebih baik.
Sehingga kemudahan akses untuk mengenal
orang tersebut tercapai. Penjelasan tentang
variable ini merupakan penjelasan kunci bagi
ketiadaan ruang eksklusif di lahan keluarga inti
dan keluarga majemuk Samin, karena privacy
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
139
adalah ukuran utama bagi keberadaan ruang
eksklusif, walaupun bukan ukuran satu-satunya.
Sehingga ketidak-butuhan orang Samin dalam
hal ini kemudian bisa dibaca sebagai ketiadaan
ruang eksklusif dalam lahan keluarga inti
maupun majemuk Samin serta bagian dalam
rumah mereka.
Konsep Sedulur pada Permukiman Kaum
Samin di Tapelan
a) Sedulur sedarah dalam keluarga inti
Ini merupakan inti dari konsep sedulur.
Bagi kaum Samin, mereka sudah tidak punya
lagi identitas personal. Identitas mereka adalah
dalam keluarga inti. Sehingga istilah ‘satu
dicubit yang lain ikut sakit’ adalah istilah yang
tepat untuk menggambarkan komitmen mereka.
Dari sini dikembangkan konsep sedulur yang
lainnya. Dari sini dikembangkan pula konsep
‘kepemilikan’ yang non-personal. Tidak ada
barang milik satu orang. ‘Satu untuk semua’
adalah istilah bagi gambaran tentang hal tersebut.
Demikian pula dengan kepemilikan ‘ruang’.
Tidak ada ‘ruang’ milik sendiri. Paling tidak itu
adalah milik keluarga. Ini menyebabkan
eksklusifitas ruang dalam keluarga inti Samin,
tidak ada.
b) Sedulur sedarah dalam keluarga majemuk
Pengembangan komitmen konsep sedulur
yang pertama adalah pada keluarga majemuk.
Bila masyarakat, Jawa khususnya dan Indonesia
umumnya, menjunjung tinggi komitmen tentang
keluarga majemuk, mungkin hingga keturunan
yang dibatasi (misanan-mendoan), maka kaum
Samin mengembangkannya hingga tak terbatas.
Akan tetapi ada hierarki yang terkait dengan
penghormatan kepada saudara yang terdekat
dengan kepala keluarga pemilik lahan. Sehingga,
makin dekat saudara tersebut dengan kepala
keluarga, makin terhormat kedudukannya dalam
lahan keluarga majemuk tersebut.
c) Sedulur se-kaum Samin
Sejarah membuktikan bahwa kaum Samin
dapat meneruskan hidup dan keturunan sampai
sekarang adalah berkat komitmen persaudaraan
yang mereka bangun sejak jaman Samin
Surontiko. Ini kemudian membentuk suatu
hubungan sosial yang spesifik dan tercermin
dalam bentukan arsitektural permukiman
mereka, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Pada dasarnya sifat keanggotaan mereka sanggat
terbuka, ini tercermin dari pernikahan campuran
yang telah dijalankan oleh beberapa orang Samin
yang menikah dengan orang non Samin. Dan hal
tersebut diperbolehkan. Hal ini kemudian bisa
dibaca sebagai ketiadaan eksklusifitas dalam
keluarga Samin.
d) Sedulur se-lokasi / dukuh dan desa
Dengan sifat keanggotaan yang terbuka,
maka bagi mereka, memungkinkan untuk
membayangkan bahwa dimasa yang akan datang,
bisa saja orang lain, utamanya yang se-dukuh
dan se-desa, menjadi anggota keluarga mereka.
Dengan demikian, anggapan bahwa mereka juga
merupakan sedulur terbangun dari dasar
pemikiran seperti itu.
e) Sedulur sesama ‘umat manusia’
Pengembangan anggapan yang didasari oleh
sifat keanggotaan kaum Samin tersebut dalam
kondisi maksimal, membuat mereka juga pada
akhirnya menganggap bahwa siapapun (manusia)
adalah saudara / sedulur mereka. Walaupun
mereka baru berkenalan / belum pernah bertemu
sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan tersebut diatas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
· Tidak ada ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin di Tapelan.
· Faktor yang paling berrpengaruh dan
menyebabkan ketiadaan ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin di Tapelan adalah
konsep sedulur, sehingga kita dapat menyebut
konsep ini sebagai faktor yang menghalangi
terbentuknya ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin.
Dengan demikian kita akan mengenal kaum
Samin sebagai kelompok masyarakat yang
sangat toleran dan bersahaja apa adanya. Mereka
secara sadar dan sukarela meminimalkan privacy
dan meniadakan eksistensi personal, bahkan
kemudian eksistensi kelompok kaum Samin,
menjadi eksistensi masyarakat sekitarnya, agar
mereka dapat hidup damai, aman, tenteram
dalam membangun kehidupan dan meneruskan
keturunan mereka
Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran
untuk kehidupan kemasyarakatan kita selanjutnya,
bahwa toleransi adalah kunci bagi segregasi
dan separasi yang saat ini seringkali terjadi
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
140
dalam masyarakat kita. Kehidupan berkelompok
adalah hal yang manusiawi, tetapi eksklusifitas
kelompok harus dibatasi perkembangannya
sehingga tidak merugikan lingkungan dan
masyarakat sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. & Chemers, Martin. Culture and
Environment. Brooks/Cole Publishing
Company, Monterey, California. 1984.
Hutomo, Suripan Sadi. Samin Surontiko dan
Ajaran-ajarannya. Basis, Majalah Kebudayaan
Umum, Januari, Yogyakarta. 1985.
---- Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya.
Basis, Majalah Kebudayaan Umum,
Februari, Yogyakarta. 1985.
Lawson, Bryan. The Language of Space.
Architectural Press, London. 2001.
Newman, Oscar. Defensible Space, people and
Design in The Violent City. Architectural
Press, London. 1972.
Rapoport, Amos. Human Aspect of Urban Form,
towards A Man-Environment Approach to
Urban Form and Design. Pergamon Press
Ltd., England. 1977.