Tuesday, 25 January 2011

Samin Surosentiko

Samin Surosentiko


Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin
Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah
nama yang bernafas kerakyatan.
Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten
Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.
Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah
banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik
dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak
membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang
tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran
Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial
Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU
ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu,
Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap
Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada
tahun 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo,
salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa
dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan
baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan
ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban,
tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda
menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati
Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat
untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa
dan Polisi
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu
dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak
ada figur pimpinan yang tanggguh
Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan,
disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto
Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang
waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar
dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial
Belanda dengan cara lain
Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa,
hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di
Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.
Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT
JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat
Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.
Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal ? manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning
dumadi ?. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai
? rangka umanjing curiga ?( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat
Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :
?Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini
menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila
mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang
menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang
dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah,
daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok)
kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.?
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :
? Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun
(aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita
(yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang
disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip
mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.?
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah
? Saderek gangsal kalima pancer? adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag
mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:
? Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu
mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya).
Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun
jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada
kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat.
Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama
kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas
adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati
di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai
pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh
Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang
umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.
Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang
dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan
sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya
yang berbunyi :
? ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya.
Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan
perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira,
sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya.
Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada
asal-usulnya masing-masing?.?
Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran.
Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:
? ?Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak raguragu
lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir
dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat
menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami
kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan,
apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan?,?
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai ? angger-angger pratikel? (hukum
tindak tanduk), ? angger-angger pengucap ? (hukum berbicara), serta ? angger-angger lakonana?
(hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Hukum yang pertama berbunyi ?Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput,
mbedog colong.? Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang
lain, dan dilarang mengambil milik orang.
Hukum ke dua berbunyi ? Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga
budhelane ana pitu.? Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara
angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus
memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang
lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup
manusia ini tidak sempurna.
Adapun hukum yang ke tiga berbunyi ? Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale
dilakoni.? Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat ? bagaikan
orang mati dalam hidup ?
Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang
menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang
berbunyi sebagai berikut : ??Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa
kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih ?mati? senyampang masih hidup (mencicipi mati)
sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan
Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.?
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang
meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau
sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini
diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang
bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :
? ?Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal
mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila
manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta
Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu
diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia).
Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim
wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).?
Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ?Penitisan?
tapi menganut faham ? manunggaling kawulo Gusti? atau ?sangkan paraning dumadi?.
Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang ?theis?.
Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah,
sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :
? Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat.
Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan
bukti bahwa Tuhan itu ada?.?
Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya
akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini
maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi
tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang
mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini
:
? Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi.?
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk
meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan ?Atmaja Tama? (anak yang mulia). Dalam
ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang
berbunyi kurang lebih demikian : ? Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama?? Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani
berdua.?
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang
sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan
Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
1. Penolakan membayar pajak
2. penolakan memperbaiki jalan
3. penolakan jaga malam (ronda)
4. penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh
Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai
tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup
dalam perdamaian.
Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis
legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan
Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat
Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah
Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik ? wong Jawa ?. Oleh karena
itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati
dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda,
sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.
Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja
desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas
pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang
religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran
yang penuh kreatifitas dan keberanian.
Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah
perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin
mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar
biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa
daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati,
Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU
DIPERHATIKAN JASA-JASANYA.

No comments: