Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts

Tuesday 23 November 2010

Wawancara dengan Rahwana

Wawancara dengan Rahwana

oleh: Yudistira ANM Massardi



Sesaat sebelum Anoman menyungsepkan kepalanya ke dasar bumi, Rahwana sempat menghujat: “Jasadku boleh jadi lenyap sesudah ini, tetapi jisimku akan tetap hidup. Menyusup ke dalam jiwa setiap manusia. Sepanjang abad…”

Bumi yang menghimpitnya, kemudian menelan dan melumatnya. Langit menggelegar. Lalu kelam. Dari rekahan tempat tokoh tragis penguasa Alengka itu terbenam, menghambur jutaan gelembung hitam yang serentak menyebar ke seluruh jagad.

Sanjaya –wartawan perang pertama di dunia yang menjadi penyiar pandangan mata pertempuran besar Keluarga Bharata di Kurusetra dan sempat juga menyaksikan kematian bandit besar tadi –segera menguber. Ia minta tolong pada Anoman untuk dibenamkan ke dalam bumi, menuju akhirat, mengikuti arwah Rahwana.

Berikut ini petikan wawancara Sanjaya dengan biang segala kejahatan itu.



Sanjaya (S): “Setujukah anda dengan cara dan kematian yang barusan anda alami?”

Rahwana (R): “Kematian atau pun kehidupan, bukanlah hal yang perlu disetujui atau tak disetujui. Keduanya adalah hal yang amat sederhana, sehingga tak perlu dipersoalkan benar. Sedangkan ‘cara’ begitu pentingkah hal itu? Manusia memang punya bermacam-macam kebiasaan buruk. Sebagaimana halnya anda, mereka selalu bernapsu untuk mempertanyakan bagaimana cara seseorang mati dan bagaimana cara seseorang hidup. Itu adalah pertanyaan tragis yang hanya dimaksud untuk kepentingan dramatik dari lakon yang dimainkan.

Cara kematian saya yang anda tadi saksikan, memang dramatis. Bagaimana seseorang yang sangat berkuasa, sakti mandraguna dan kaya-raya, menemui ajal secara begitu nista dan tanpa daya. Itulah ketentuan yang sudah digariskan. Tapi anda harus yakin. Saya tidaklah mati dalam pengertian yang biasa. Sebab pada dasarnya saya tetap hidup. Kematian saya adalah sarana bagi kehidupan langgeng jisim saya di dunia.

Kehancuran jasad saya adalah untuk keperkasaan jisim saya. Anda bisa buktikan nanti, sesudah peristiwa ini maka dunia akan dipenuhi gelembung-gelembung…anda melihatnya tadi? (Sanjaya mengangguk). Itulah bentuk kekuasaan saya yang baru. Suatu kejahatan yang tangguh.



Nah, haruskah saya memprotes cara dan kematian saya? Tidak bukan? (Sanjaya menggangguk lagi). Dan cara hidup saya selama jadi penguasa Alengka, apakah akan anda ungkapkan secara menyolok untuk kepentingan dramatik tadi? Oya, mau disiarkan di mana wawancara ini? Ah, tidak, tidak. Disiarkan atau tidak, tak penting bagi saya. Tapi cara hidup saya, cara saya mengendalikan kekuasaan, cara saya memanjakan saudara-saudara dan sanak keluarga saya, agaknya memang penting diungkapkan dalam laporan anda nanti. Tulislah apa pandangan anda tentang semua itu. Bongkarlah apa yang selama ini anda anggap sebagai skandal. Ganyanglah semuanya kalau memang cukup dramatis untuk diganyang. Saya tidak akan sedih. Sebab saya akan berada di dalam jiwa semua pengganyangnya. Saya akan berada dalam darah setiap orang yang ingin mengangkangi sisa kekuasaan serta harta benda saya. Tugas jisim sayalah untuk menggebrakkan semua itu.

S: “Bisakah anda gambarkan secara konkrit besarnya kekuasaan itu?”

R: “Sebesar kosmos.”

S: “Apakah anda menguasai setiap manusia?”

R: “Setiap manusia memiliki naluri kejahatan.”



S: “Apakah keuntungan anda dengan kekuasaan semacam itu?”

R: “Selalu saja begitu. Setiap orang selalu berpikir mengenai keuntungan dan kerugian. Apa sih pentingnya kedua hal itu? Dan anda tentu tahu, saya bukan pedagang. Betapa pun durjananya, kasta saya adalah kesatria. Kesatria tidak pernah berpikir seperti pedagang. Keuntungan atau kerugian tak ada artinya. Yang penting bagi saya adalah konsistensi terhadap cita-cita perjuangan. Saya harus memelihara kefatalan dan kehancuran martabat manusia. Tugas dan kewajiban sayalah membangun keangkaramurkaan di muka bumi ini.”

S: “Apakah tugas anda itu membuat anda pedih?”


R: “Aaah! Bagaimana sih, anda ini? Kesedihan, kegembiraan dan segala macam bunyi perasaan semacam itu, sebagaimana keuntungan dan kerugian, tak ada artinya bagi saya. Kesatria tidak secengeng itu. Seorang kesatria yang menggenggam suatu kekuasaan besar, tak boleh menjadi melankolis. Ia harus tegas mengemban tugasnya. Sentimentalitas semacam itu hanya milik para budak. Para Sudra. Sebab sekali seorang kesatria membiarkan dirinya terhanyut oleh perasaan, ia akan guyah. Kekuasaan akan luput dari tangannya. Sesudah itu adalah keruntuhan. Paham? Seorang kesatria pantang kehilangan apa yang sudah menjadi miliknya. Milik itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Tak ada kompromi.”



S: “Juga seandainya orang yang berada di bawah kekuasaan anda sengsara?”

R: “Kesengsaraan dan penderitaan para kawula adalah bagian terpenting dari kekuasaan mutlak. Tanpa ada kesengsaraan, tidaklah ada artinya sebuah kekuasaan. Tanpa penderitaan orang banyak bahkan tak mungkin sebuah kekuasaan bisa hadir dan kukuh.”

S: “Kalau ada kritik mengatakan bahwa anda tak mau mendengar atau memperhatikan keluhan para kawula...?”

R: “Kritik? Itu adalah bagian terindah dari kukuhnya sebuah kekuasaan. Kritik penting dari segi dramatik. Rintihan dan keluhan para kawula adalah tembang lirih bagi impian sepanjang malam.”

S: “Anda betul-betul sadis.”

R: “Seorang penguasa yang baik harus sadis. Dan kekuasaan yang ada dalam genggaman saya adalah sadisme. Karena itu dibutuhkan banyak kurban. Sebagai tumbal. Juga sebagai syarat bagi kelanggengan kekuasaan itu.”

S: “Apakah anda juga menguasai para penguasa di dunia ini?”

R: “Kenapa tidak? Setiap penguasa, setiap kekuasaan yang ada di dunia, adalah instrumen yang mengumandangkan nyanyian setiap gelembung hitam yang menghambur dari tempat jasad saya tadi nyungsep.”



S: “Apa komitmen anda dengan para penguasa itu?”

R: “He? Itu rahasia….”

S: “Baiklah. Anda nanti akan memilih surga atau neraka?”

R: “Busyet. Kenapa anda tanyakan itu? Tentu saja saya akan memilih neraka. Saya sarankan, kalau anda mati nanti, lebih baik masuk neraka saja. Di sana banyak masalah yang perlu anda dalami. Saya kira sebuah reportase dari neraka akan jauh lebih menarik. Sebab, sebagaimana tadi saya bilang, manusia kan lebih menyukai hal-hal dramatik? Surga terlalu tenang. Terlalu damai, sehingga tak ada masalah lagi. Tapi di neraka, setiap saat terjadi hiruk-pikuk dan bermacam penderitaan kumpul jadi satu di sana. Anda bisa wawancarai mereka. Segala kepedihan dan penyesalan yang mereka kemukakan tentu sangat baik untuk dijadikan peringatan bagi yang masih hidup, bukan? Untuk itu, tentu anda akan memperoleh pahala. Juga di tempat itu, anda bisa bertemu dengan semua penguasa dunia yang menghamba pada keserakahan.”

S: “Pertanyaan terakhir. Apa pendapat anda tentang Dewi Sinta, istri Sri Rama yang pernah anda culik itu?”

R: “O, very good! Very good!”

S: “Terima kasih.”

(Berikutnya, wawancara Semar dengan Marilyn Monroe)




Jakarta, Mei 1980.

“DARAH ITU MERAH, JENDERAL”

“DARAH ITU MERAH, JENDERAL”

Cerpen Seno Gumira Ajidarma


SEORANG jenderal pensiunan mengenang masa lalunya yang gemilang. Ia meluruskan kakinya di kursi malas di tepi kolam renang yang biru. Air masih menetes-netes dari tubuhnya yang tegap. Diraihnya segelas fruit punch dari meja berpayung itu, ditenggaknya sampai tandas, dipasangnya kacamata hitam sang jenderal berbaring diterpa cahaya matahari.

“Sekarang aku tidak perlu takut ditembak,” katanya dalam hati, kepada dirinya sendiri.

Memang tidak ada alasan untuk takut ditembak. Ia berada di rumahnya sendiri. Sebuah rumah yang besar dan luas dengan tembok tinggi di sebuah kompleks perumahan mewah. Tidak sembarang makhluk bisa keluar masuk dengan gampang di kompleks itu. Hampir di setiap belokan terdapat portal, lengkap dengan satpam, dan toh kalau ada ninja bisa melewati tembok yang dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahankaca seperti itu, maka sang jenderal yang memiliki naluri seorang prajurit sejati akan siap menembaknya. Baginya, menembak tepat dari jarak 50 meter bukanlah soal yang terlalu besar.

Ia pernah masuk Koran karena menembak maling. Ia menembak maling itu pada kakinya.

“Baru menembak kaki maling saja jadi berita,” pikirnya ketika itu, “Bagaimana kalau mereka tahu bagaimana kami bertempur?”.

Tapi, kini mereka akan tahu bagaimana ia berjuang di medan perang, karena – seperti juga rekan-rekannya – ia sedang menulis memoir, buku kenang-kenangan tentang perjuangan hidupnya.

“Hidup adalah perjuangan,” ujarnya, suatu ketika, pada seorang wartawan,” Dan perjuangan seorang prajurit sejati, adalah perjuangan antara hidup dan mati.

Banyak anak buah Anda yang kini jadi pejabat, sedangkan Anda tidak, ada perasaan kesal?

“Kenapa sih? Namanya dunia kan begitu. Masa’ saya harus iri?”

Anak-anak Anda berbisnis?

“Tak ada yang jadi tentara. Semua kerja di swasta. Yah, pengusaha kecil-kecilan. Pensiunan kan sudah tak bisa memberi fasilitas.”

Tidak memakai fasilitas anak buah yang kini jadi pejabat?

“Ah, malu. Iya kalau dikasih, kalau tidak kan malu. Walau sudah lumarh di sini, tapi tidak saya lakukan. Ya ada yang membantu, satu dua orang. Tapi kan terbatas juga. Namanya juga manusia, ada yang lupa, padahal dulu ngemis-ngemis ikut saya. Setelah jadi orang hanya memikirkan grupnya dia saja. Macam itulah.

Waktu masih menjabat banyak sabetannya dong?

“Bukan sabetan, itu namanya take and give. Jangan katakan itu tempat “basah”. Kalau saya menentukan persentase, itu baru basah dan saya salah. Kalau dikasih ya terserah, itu rezeki. Demi Tuhan saya bersumpah, saya tidak pernah memeras orang. Tapi kalau dikasih stick golf ya diterima. Terus terang saja. Ya, masa’ kalau jadi pejabat tidak dapat hal yang begitu. Jujur saja.

Pejabat kan kayanya dari situ. Gaji kecil, tapi tip-nya yang gede.

Tip Anda banyak ketika itu?

“Lho, jujur saja memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, ‘Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.” Saya terima saja, tidak malu.” *)

Tubuhnya sudah kering, diraihnya Koran International Herald Tribune yang segera dibacanya dengan perasaan memamah sepotong keju. Jenderal itu orang lapangan, tidak tertarik pada politik, dan tidak cocok dengan pekerjaan administratif.

“Seorang prajurit diuji di lapangan,” ujarnya.

“Bukan di belakang meja.”

Hidupnya memang habis di medan tempur. Sejak umur belasan tahun ia sudah ikut tempur dalam perang kemerdekaan. Sebelum akhirnya direkrut menjadi tentara. Setiap kali ada pemberontakan ia selalu diterjunkan untuk memadamkannya. Ia hampir selalu dikirim, karena setiap tugas yang dibebankan padanya selalu beres.

Dalam suatu operasi penumpasan, pasukannya dihajar bazooka. Kepalanya kena pecahan peluru.

“Hampir mati waktu itu, tapi tidak jadi.”

Setahun lamanya ia dirawat. Rasanya bosan sekali. Kini bekas luka di pelipis kanannya bagaikan bintang tanda jasa yang bersinar-sinar. Tidak semua orang bisa menjadikan luka sebagai kebanggaan. Pensiunan jenderal itu bangga dengan luka-luka yang didapatnya dari medan pertempuran. Seringkali ia berpikir, tiada pekerjaan yang lebih mulia selain menjadi tentara. Ia berpendapat menjadi tentara itu mulia, karena dengan menjadi tentara seseorang telah menyerahkan nyawanya. Menjadi tentara itu lebih dari sekedar sebuah profesi.

“Huuaahhh!”

Jenderal itu tiba-tiba membuang Koran yang sedang dibacanya.

“Berita itu lagi! Berita itu lagi!

Sudaha lama memang merasa muak membaca berita itu.

Apa yang mereka ketahui tentang risiko kehilangan nyawa, pikirnya, apa yang mereka ketahui tentang bagaimana rasanya dikepung musuh di medan tak dikenal dan dibantai tanpa kenal ampun?

“Daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa, apa sekarang kita harus menyerahkannya kembali?”

Koran dan wartawan, kertas dan pena, baginya itu kerja yang tak sebanding dengan menghadapi peluru berdesing-desing. Sudah lama ia merasa kesal. Kesal terhadap wartawan, kesal terhadap diplomat, kesal terhadap politisi, kesal terhadap para mahasiswa.

“Mereka tahu apa? Bisanya Cuma ngomong doing! Mereka tahu apa tentang keluarga tentara yang ditinggal mati, tentang menjadi cacat tanpa kaki dan tanpa tangan, tentang perjuangan tanpa pamrih yang dilecehkan sebagai penindasan? Ini penghinaan! Wilayah itu kita istimewakan, kita bangun lebih cepat dari wilayah-wilayah lain, kok malah dibilang menjajah! Kok dibilang mau memusnahkan bangsa! Apa-apaan?”

Jenderal itu beranjak, dan …. Byuurr! Ia melompat ke kolam renang, bagai mencoba mendinginkan hatinya yang panas. Ia berenang bolak-balik seperti ikan, kadang-kadang menyelam, ia ingin mengeyahkan segala soal yang telah mengganggu ketenangannya. Ya, ketenangan seorang pensiunan jenderal. Ia tak habis mengerti kenapa pengorbanan darah dan air mata bisa menjadi salah.Aku akan membongkar semuanya dalam memoirku nanti, batinnya menggerutu. Ia ingin mengungkapkan bahwa kehidupan seorang tentara itu hanya berjuang, berjuang, dan berjuang. Jenderal itu masih berenang ketika langit mendadak berubah menjadi kelabu tua. Mendung menggumpal dan segera saja hujan menitik, mula-mula gerimis, tapi dengan cepat bagaikan ditumpahkan dari langit. Namun jenderal itu tidak peduli. Ia berenang terus dalam hujan. Ia menyelam. Muncul lagi, dan segera mengerti bahwa ia belakangan ini menjadi terlalu cepat marah karena kurang pekerjaan. Tepatnya –tidak pernah lagi bertempur. Betapa sepinya hidup tanpa pertempuran. Maka ia pun berenang, berenang, dan berenang, lantas berjemur di kursi malas, sambil sesekali menerima telepon dari teman-teman seperjuangannya di medan perang.

Kini ia berenang di bawah hujan deras yang tetesannya mengingatkan pada desingan peluru di medan tempur. Ia sudah terlanjur kecanduan situasi krisis, hanya dalam ketegangan ia merasa hidup, hanya dalam bahaya ia merasa tenang. Kepuasan hidup dicapai ketika mengalahkan musuh, dan untunglah sejarah memberikan peran padanya sebagai pihak yang menang. Dalam hujan ia berenang, dalam hujan ia terkenang seribu satu pertempuran yang telah diarunginya – apa boleh buat, sejarah hidupnya adalah perjalanan mengarungi lautan darah.

“Jenderal! Presiden musuh sudah tertawan!”

“Siapa?”

“Ribalta!”

Ia teringat presiden musuh yang tertawan itu. Begitu kumuh, begitu lusuh – orang seperti ini presiden?

“Orang seperti ini presiden?”

“Hahahaha!”

“Hahahaha!”

“Hahahaha!”

Nasib orang itu tidak terlalu bagus. Para pemenang dengan segera berfoto bersama tawanan yang tubuhnya penuh lubang. Mayat itu mereka pasangi topi dan mulutnya dipasangi rokok. Mereka berfoto bersama seperti para pemburu berfoto bersama macan hasil buruan.

Ia sudah lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, baru sekarang ia sadar, cukup banyak juga darah ditumpahkannya – lewat peluru, dinamit, mortar, granat dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara, tak selalu bersenjata, dan tak selalu seperti orang yang sedang memberontak, tapi sama berbahayanya, jadi harus disikat juga.

Jenderal itu masih berenang dalam hujan. Kolam renangnya berubah jadi merah. Mula-mula seperti kecampuran sirop. Tapi kemudian mengental. Sang jenderal berenang dalam lautan darah. “Darah itu merah, jenderal,” katanya pada diri sendiri.

Dalam hujan, yang makin lama makin menderas, jenderal pensiunan itu berenang dengan tenang, dengan perasaan yang sangat santai. “Memang, sudah waktunya aku pension,” pikirnya lagi.

Jakarta, Februari 1994

_______
*) Petilan dari sebuah wawancara dalam rubrik Sebagian Kehidupan, majalah Jakarta Jakarta No. 368, 24-30 Juli 1993. Namun cerpen ini, tentu saja, tetap sebuah cerpen.

SEORANG PEMBANTU PADA HARI RAYA

SEORANG PEMBANTU PADA HARI RAYA

Cerpen Gendut Riyanto

(Horison/XXIV/590)




1.
Hari raya sudah tiba. Seluruh persiapan menyambutnya, hampir tak ada sedikit pun yang tercecer. Sup hangat mengepul dari setiap mulut panci. Bau gurih daging cincang, bertabur di setiap penjuru rumah. Ikan gurameh bakar. Sambal tomat, ikan lele. Belimbing wuluh, dedaunan kenikir. Sledri dan kacang panjang, serta jeruk nipis. Gaduh suara terompet. Anak-anak mengenakan pakaian baru, menyanyi bersama. Klakson kendaraan menjerit-jerit di jalan raya. Balon gas warna-warni berayun di tangan anak-anak. Bahkan suara komposisi musik terburuk sekalipun, mereka putar berulangkali. Dengan rasa cinta—atau sedikit kegembiraan habis-habisan—yang sukar dilukiskan. Kecuali, tentunya, Anda sendiri masuk di dalamnya.

Tiada lukisan terindah, selain kehidupan yang tengah berlangsung. Akan tetapi: tidak.

Pada puncak sambutan hari raya, tiba-tiba seorang pembantu, menarik dirinya, menuju dapur. Ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Sesudah ia menyelesaikan hampir seluruh masakan di hari raya itu.

Matanya berkeliaran di setiap pori-pori dapur. Akan tetapi, sesaat kemudian, murung pandang matanya. Ia tak menemukan sesuatu yang diharapkannya. Bahkan selembar daun sledri pun tak tercecer di lantai dapur.

Ada yang lenyap dari badannya!

2.
Astaga!

Ia meraba jemari tangannya. Ia lihat pula betis dan jemari kakinya: “Di mana lenyapnya jari tangan dan kakiku. Di mana pula betisku…” ia bergumam, dengan rasa tak percaya yang habis-habisan. Kedua lengannya kini tak ditumbuhi jari-jari lagi. Demikian pula kedua belah kakinya yang tinggal separohnya saja: “Aku kini buntung…”

Barangkali yang kucincang, bukan daging sapi, namun betis ini. Barangkali bukan makroni, usus kambing, sosis atau kacang panjang. Namun, jari jemariku. Urat-urat badanku. Tulang-tulangku…

Jadi? Pada akhirnya, sampailah pembantu itu pada kesimpulan, bahwa: “Tuan-tuan, dan Nyonya-nyonya beserta keluarganya sebetulnya tengah menikmati sup dan perkedel bagian diriku. Untuk pesta hari raya. Untuk pesta bersama, bergembira bersama, bahagia bersama…”
Sampai hari raya usai, mereka saling meminta dan memberi maaf. Sekurang-kurangnya hutang khilaf—sengaja dan tidak—sudah dilunasi pula.

Tak satu pun luput dari salam-salaman. Bahkan majikan-majikan menuju dapur. Termasuk majikan pembantu buntung.

“Maafkan saya, Tuan dan Nyonya,” kata pembantu itu tersipu-sipu. “Tak ada lagi yang bisa saya gunakan bersilaturahmi. Juga, saya tak mungkin beranjak dari lantai dapur ini, karena…”
“Di mana kamu simpan jemari tangan dan kakimu?”

“Ah, maafkan saya, Tuan. Beribu saya minta maaf, Nyonya. Dalam panci sup dan di semua tempat masakan, sebagian diri saya tersimpan. Dan tentunya, sekarang semua itu tak ada lagi. Hilang bersama selesainya pesta hari raya. Hilang bersama-sama Tuan. Hilang bersama-sama, Nyonya. Hilang…” ***

otista, juni’86

Batu Menangis dan Sore yang Ganjil

Batu Menangis dan Sore yang Ganjil

Cerpen Radhar Panca Dahana


Nana dan Nano

Barangkali seperti kata orang, kami kembar identik. Tapi, sejak puting susu pertama disodorkan ke mulut kami yang berteriak, satu relasi penting--bahkan eternal--segera kami sadari: persaingan. Kalau Nano dapat berbuat apa saja, aku pun dapat berbuat serupa, bahkan merusaknya dengan hasil yang sama sempurna. Jika dia dapat buang air kecil dan besar sambil berdiri, aku melakukannya dengan berlari.

Berdua, kami kepala batu. Lebih karang dari Pratapa, lelaki yang mengaku ayah kami, yang 15 tahun lebih mendidik kami seperti mengajar batu. Kami berkembang bersama Pratapa, tanpa perbedaan sama sekali. Nano mengangkat batu, aku mengangkat batu. Nano mengukir batu, aku mengukir batu. Pratapa adalah pengrajin batu, seperti ia merajini kepalanya sendiri. Kami tidak pernah menangis. Bagaimana batu bisa menangis? "Tangis dan air mata itu musuh batu. Karena air itu waktu. Karena airlah batu terkikis dan habis." Sekali itu saja, Pratapa memberi ajaran dengan kata-kata, yang kemudian menjadi moral tunggal bagi kami berdua.

Aku berkembang tidak seperkasa Nano. Tapi aku mengatasinya dengan kelincahan luar biasa. Karena itu kami mampu mengangkut batu sama banyaknya. Karena itu kami berdua berlari sama cepatnya, dengan celana pendek maupun rok panjang yang diberikan Pratapa pada kami. Kami bersaing keras. Itu membuatku tak suka apa pun yang bisa dan dimiliki Nano. Kebencian itu, entah kenapa, menebal setelah kami melewati usia empat belas. Tak ada penanda umur di keluarga gunung ini. Waktu adalah musuh abadi keluarga kami. Kecuali satu tetangga, yang mengamati pinggulku membesar dan dadaku membukit, kecil padat. "Sudah perawan. Berapa umurmu, Na?" kata Pradata, spesialis pemecah batu, tetanggaku itu.

Aku tidak tersinggung. Aku mengamati diri sendiri. Aku mendapati bercak merah di celana pendekku satu kali. Aku memerhatikan Nano. Kurasa ia tidak mengalami hal serupa. Ia pasti juga tidak memiliki perasaan serupa denganku, saat aku mengamatinya. Ia memiliki semua yang aku tidak: ototnya, jakunnya, pundaknya, perut bertelurnya, panjang penisnya, kakinya, suara beratnya.... Aku benci semua itu. Tepatnya jijik.

Ketika perasaan menjijikkan itu menjadi siksaan, satu peristiwa terjadi. Longsor dan banjir bandang yang menyerbu semua desa seputar gunung ini. Pratapa ditemukan mati. Murdipa, perempuan yang kukenal sebagai ibu, meringkuk di sebelahnya. Mati juga. Nano entah di mana. Berbelas tahun setelah itu, tak ada yang berhasil menjumpainya.

Aku tidak pernah ikut mencari. Tapi, aku memikirkannya selalu. Entah kenapa. Bukan semacam rindu. Aku karena rasa jijik yang dulu. Setelah semua tiada, aku pun merasa bukan apa-apa. Tanpa Nano. Dialah alasan dan sumber keberadaanku. Aku tidak mencarinya, dalam badan dalam kesadaran. Dalam perasaan? Entah. Yang jelas, aku terus berlari. Mencari Nano. Mencari diriku sendiri.

Kolonel Jon Dukusemak

Panggil saja aku, lelaki 40-an ini, "Jon”, dari Sir Marjon Dukusemak. Anakku dua, istriku--Drita--sarjana magister untuk manajemen. Kami keluarga bahagia, tepatnya: menjanjikan. Rumahku cukup bagus, tidak mewah. Sebuah jips sederhana, berusia hampir setengah umurku, mengantar kami sekeluarga menjalankan wajib hidup tiap harinya. Penghasilan istriku delapan juta sebulan, kotor. Aku sekitar tiga jutaan, bersih. Kami pekerja keras. Untukku, sangat keras.

Baru sepuluh bulan lalu, sebagai prajurit aku masuk jajaran perwira tinggi: kolonel, karena prestasiku memimpin misi pasukan perdamaian internasional di sebuah negara konflik di tengah Afrika. Baru sejak enam bulan lalu, aku tergolek di rumah sakit ini, dua kali lima jam tiap minggunya. Perawatan permanen yang harus kujalani seumur hidup. Satu bentuk pengobatan yang membuatku waktu hidupku yang tersisa lumpuh.

Kecelakaan berat terjadi saat aku memimpin satu latihan tempur, hampir delapan bulan lalu. Delapan tulang rusukku patah, setengah badan tak dapat bergerak selama dua minggu, delapan belas jahitan di ubun-ubun, kedua ginjal bocor, dan infus darah dua kali seminggu selama dua bulan. Tiga minggu dirawat rumah sakit, aku keluar dengan satu pekerjaan tambahan: hemodialisis atau cuci darah. Seperti isi got di kota ramai ini, darahku kotor dan membunuh. Ia harus dibersihkan, dengan mesin. Dua kali seminggu.

Dunia memang tidak selesai karena itu. Tapi waktu berhenti. Rutin pengobatan itu memang tidak membunuhku, malah membuat hidupku bertahan (satu hal yang kemudian kusesali). Tapi dunia sekeliling kini hanyalah tempat pemakaman untukku. Aku menjauh dari istri dan Drita seperti mengubur jutaan keluhan di palung mata dan gurat bibirnya. Tugasku pindah dari lapangan ke sebuah meja di markas besar, dan aku tak bisa lagi memegang pistol tanpa gemetar, bahkan hanya untuk mengangkat anak bungsuku.

Dunia memang tidak selesai. Namun, pertunjukan usai. Lampu-lampu menjadi gulita, panggung lengang, cerita hampa. Aku aktor yang bermain tanpa peran. Aktor zombi yang cuma terdiam, saat lawan mainku di sebelah, berteriak-teriak minta mati. Lalu ia mati, ketika jarum suntik masih menghujam dan berbagai selang mengurung tubuhnya. Temanku bicara, Pak Lakatepa, terjatuh di kamar mandi suatu pagi, saat ia menyanyikan lagu Darah Muda, dan ditemukan tewas hanya tiga menit setelahnya.
Banyak cara menyelesaikan dunia. Bagi sejawat di ruang dialisis, seperti pedagang India itu, menghabisi nyawanya dengan mengunyah satu porsi daging kambing di depan istrinya yang sangat cantik. Seorang pejabat pemerintah, yang baru saja kawin keempat kalinya, menyusuri pantai dekat rumah peristirahatannya sambil membawa sesisir pisang ambon. Buah paling berbahaya. Sore hari, ia ditemukan kaku disiram air pasang. Pisang sesisir belum habis dinikmatinya.

Dan aku tahu, sebagai aktor aku harus menyelesaikan drama menggelikan ini. Aku tidak akan bermanis-manis. Tidak membalas dendam semua larangan yang ada padaku. Tidak mau mautku datang seperti pencuri tengah hari. Tidak. Aku harus mati dengan keras. Laiknya seorang prajurit. Aku harus turun panggung dengan tegas, mendebat sutradara mengapa peranku jadi kosong belakangan ini.

Aku berhenti hemodialisis.

Aku berjalan. Berjalan. Seperti seorang aktor menjalani panggung.

Perempuan yang Tersenyum

Aku pelacur. Setidaknya di hati. Di luar itu, aku selalu gagal. Bukan karena Tuhan tidak mengizinkan atau aku tidak menginginkan. Tapi tak ada yang mau membayarku, atau menawariku tidur dengan imbalan berapa saja. Tubuhku langsing padat, kulitku kuning langsat, bola mataku hitam padam, tak berkerut di mata maupun dahi, kecuali sedikit lesung di pipi. Bibirku bergaris kuat, dan senyum tak pernah pergi darinya.

Senyum bukan tradisi di wajahku, bukan bawaan hatiku. Senyum adalah terapi terbaik untuk pikiran dan perasaanku. Sejak Marpola, suami yang memberiku tiga putra, kena PHK dari perusahaan sepatu asing, senyum menjadi obat bagi semua hal yang menghimpit, memuakkan, dan kerap memintaku membunuh diri atau membunuh siapa, apa pun. Ketiga anak kami hanya berselang rata-rata enam belas bulan. Yang terbesar baru lima tahun. Dan Marpola adalah suami sejati. Pergi pagi pulang petang hari. Tanpa buah tangan sama sekali, tapi meminta nasi dan lauk harus siap tersaji. Meminta televisi dan wayang kulit radio tetap menyala. Meminta kupijat tiap malamnya. Meminta servis lebih setiap menjelang paginya. Meminta sebagian modal dagang kainku menjelang berangkat kerjanya.

Aku dagang kain, di samping puluhan tugas rumah tiap harinya. Dengan sebuah pikap, mengantarku belanja dan mengirim pesanan kain. Saat ini segala terasa mencekik, karena tak ada harga yang tak naik. Cuma pembeli kain dan harapan yang turun drastis. Biaya TK si sulung pun naik. Air ledeng naik. Gas naik. Listrik naik. Telepon naik (sudah kuputus dua minggu lalu). Bahkan Marpola menaikiku makin sering, tiap menjelang subuh. Juga ada semacam perasaan atau gejolak dalam diriku yang belakangan naik dengan cukup radikal.

Seminggu lalu, Marpola meminta seluruh modalku untuk modal bisnis barunya. Ia pertaruhkan seluruh yang ia miliki (entah apa), kalau perlu perkawinan ini (entah kenapa) untuk membuatku percaya. Aku tak percaya. Tapi kuberikan modal itu padanya. Setelah itu ia tak pulang. Aku tahu, ia kalah judi--bisnis baru yang disebutnya itu. Ia tak cuma tinggalkan empat nyawa, tapi juga rentenir, Pak RT, biaya TK si sulung, utang kain, uang belanja, susu si bungsu, dan pikap berharga tak seberapa.

Dalam diriku, tertinggal satu, senyum. Bukan hanya sebagai obat, juga senjata. Untuk dijual. Bumbu dari tubuhku. Walau aku selalu gagal, namun aku tak berhenti tersenyum. Karena kata-kata sudah cukup lama aku tak punya. Aku tersenyum saat menyusui anakku dengan tetek kering, saat utang belanjaan, bila Pak RT menjawil pantatku, juga tersenyum saat kuputar kepala ayam tetangga untuk makan tengah malam anakku.

Menjelang magrib ini, aku pun tersenyum. Dadaku penuh dan kosong. Baru saja kuikat mulut, kaki, dan tangan ketiga anakku. Kubawa dengan pikap, dan kubuang mereka di sungai yang diderasi hujan gunung. Lalu, dengan menginjak pedal gas sedalamnya, aku pergi. Sekali lagi tersenyum, mendengar makian orang saat pikapku melewati begitu saja lampu merah.

Bersama rem yang sudah rusak, aku melaju keras. Tak terkendali....

Batu Menangis

Pada asalnya, aku hanya sebuah batu. Hidupku panjang, sebagaimana batu. Aku tak tahu siapa nenek moyangku. Sekumpulan ranting pohon, tulang belulang brontosaurus, atau entah apa. Kampungku seputar batuan gunung. Jatuh bertebar menyesaki kota ramai ini lewat satu ledakan berapi gunung yang kudiami. Tak banyak riwayat dalam biografiku. Seperti batu-batu yang lain aku lebih menjadi saksi, ribuan mungkin jutaan peristiwa di sekitarku. Aku tidak tumbuh, aku mengeras karena usia. Tak seperti makhluk lainnya, yang melapuk bahkan bisa mati dan lenyap karena waktu. Karenanya aku seperti oposisi waktu. Waktu itu lunak, lembut, mengisi, memengaruhi, dan membunuh. Aku tidak mengalami semuanya.

Seperti sepi, aku adalah kediaman yang panjang. Abadi? Tidak. Waktu pada akhirnya menguasai. Aku bisa melebur dan mengeras bersama batu yang lain. Waktu mengubah wujudku. Begitu pun manusia. Itu yang kualami di kota ramai ini. Manusia itu seperti waktu, tepatnya berambisi menjadi waktu atau dalam bahasa mereka, “mengalahkan waktu!” Manusialah yang membuatku berubah, dalam bentuk, fungsi, keberadaan, tapi tidak esensi. Aku tetap batu.

Aku tetap kediaman panjang. Saksi peristiwa yang setia. Semua tercerap dalam tubuhku dalam jiwaku. Mungkin aku adalah esensi dari semua. Manusia bisa menemukan masa lalu, peristiwa, sejarah, dirinya sendiri, bahkan rahasia semesta dalam diriku. Tapi lebih banyak lagi yang tak peduli dengan semua itu. Aku hanya menjadi bahan campuran semen, peninggi tembok, dasar aspal, hiasan, atau peluru katapel. Itulah nasibku yang mutakhir. Peluru katapel.

Tepatnya, di tangan seorang remaja, Rasol namanya. Ia hidup di pinggir jalan. Tak jelas mamak dan bapaknya. Bapak, menurut dia, adalah paku besi yang dipipih seperti pisau lewat lindasan ban kereta api. Ibu? Adalah botol solar yang ia ciumi selalu, terutama saat ia merasa tidak enak hati. Nama Rasol berasal dari kegemarannya. Kegemaran yang kemudian berganti, mengisi botol kecilnya dengan bensin, lem kayu atau spiritus.

Bersama Rasol sudah puluhan burung terluka dan mati karenaku. Rasol tidak suka dengan apa pun yang ada di ketinggian. Ia bilang, tidak membutuhkan ketinggian. Sebenarnya ia merasa, hidupnya permanen ada di kerendahan. Ketinggian adalah sesuatu yang ia rasakan selalu mengkhianati, menyakitkan. Karenanya, siapa pun yang ada di ketinggian akan menjadi sasaran kemarahannya. Burung terutama.

Dan itulah soalnya. Rasol sama sekali tidak memperhitungkanku. Ia memakai tubuhku jadi senjata kebencian. Bukan dia yang melukai dan membunuh, tapi aku. Di kota ramai, biografiku pun ramai. Termasuk jadi pembunuh. Aku memang tidak bisa, bahkan mungkin tak akan pernah mati. Tapi aku tak mau menciptakan kematian bagi yang lain. Aku bukan waktu. Aku bukan waktu.

Aku adalah oposisi waktu.

Dan Satu Ketika...

Sore itu, satu peristiwa terjadi lagi. Kali ini aku tak hanya saksi, tapi terlibat, bahkan penyebab utama. Semuanya aneh. Semua kebetulan. Tapi itulah kota ramai. Tempat di mana waktu terasa ganjil, tak seperti gunung. Tempat semua direncanakan, tapi koinsiden yang terjadi. Bermula dari Rasol yang entah karena hatinya kurang enak, bidikannya meleset. Aku terlempar kencang dari katapelnya, tak mengenai dada atau kepala burung seperti biasa, namun membentur tiang listrik beton.

Tubuhku jatuh memantul beberapa kali di aspal. Dan baru terhenti ketika sebuah sol sepatu yang kasar dan berat menginjakku. Aku menggelinjang dan terlontar. Pemakai sol sepatu itu jatuh dan memaki. Makian kasar. Tapi nasib bertindak lembut padanya. Karena aku, ia jatuh, dan terhindar dari tubrukan dengan pikap yang meluncur tak terkendali, setelah menerobos lampu merah.

Aku menggelinding sambil mendengar lelaki 40 tahunan dengan sol sepatu kasar itu terus memaki, bukan mensyukuri. Tampaknya ia menyesal maut tak jadi menjemput. Aneh! Sedang pikap itu justru mengambil korban lain: lelaki tegap yang baru saja mulai menyeberang jalan. Tubrukan keras sekali. Lelaki tegap itu terlontar cukup jauh. Tubuh, terutama dada dan kepalanya, hancur. Orang-orang pun datang berkerumun, coba menyelamatkan. Tapi orang banyak itu mendesah, menyesal dan merasa sia-sia. Kecuali satu rintihan perempuan di antara mereka, yang dalam melebihi tangisan. Mulutnya bersuara kering, seperti jeritan purba, "Nano...Nano...Nano...mengapa begini?"

Sementara dari dalam pikap yang terguling, satu wajah muncul. Wanita cantik, kering, bermata dalam, kerut tajam di dahi, dan bibir tersenyum abadi. Aku bergidik dan merasa aneh. Kejadian apa ini? Aku termangu sampai tiba-tiba gelap semua pandangku. Akhirnya aku jatuh ke dalam lubang got besar. Gorong-gorong. Kini tubuhku basah air jorok. Atau mungkin airma taku. Aku termangu. Banjir air di tubuhku. Seperti tenggelam aku dalam waktu. Pertanda buruk bagi batu. Dan air itu, terus menyeretku.

Menyeret semua, tak kecuali.***



Diambil dari di Media Indonesia 05/28/2006

Sepotong Daster

Sepotong Daster

Cerpen Tusthi Eddy, Nyoman



Istriku sedang hamil tiga bulan. Ia hanya mempunyai sebuah daster sudah agak lusuh. Tetapi karena ia seorang wanita bersahaja, ia tidak menuntut dibelikan pakaian hamil. Justru karena itu aku merasa kasihan kepadanya. Aku ingin membelikannya sebuah daster.

AKU ikut berkerumun dengan pembeli lain memilih sepotong daster yang kira-kira cocok untuk istriku. Di hadapanku berjajar tiga orang pedagang yang menggelar dagangannya berdekatan. Aku bebas pindah dari dagang satu ke dagang lain.

Ketika pembeli tinggal dua orang aku mulai menawar sepotong daster.

''Pak, mau daster?''
''Ya, yang ini berapa?'' aku langsung menawar.

''Yang itu enam puluh ribu. Katunnya bagus, tidak luntur.''

Sebenarnya aku sudah ingin mengambil uang dan membayarnya tanpa menawar, karena aku ingin menggembirakan istriku. Tapi kiat belanja yang diajarkan istriku kucoba juga.

''Bagaimana kalau tiga puluh lima ribu? Kalau boleh saya beli dua potong.''

''Maaf Pak tidak bisa, saya rugi tidak kembali pokok.''

Ketika tawar-menawar aku sempat berpandang-pandangan dengan dagang itu. Maksudku aku ingin melihat mimiknya apakah ada kemungkinan ia melepaskan barang dagangannya dengan harga tawaranku.

Aku sedikit terkejut karena dagang itu mirip sekali dengan istriku yang pertama, yang telah bercerai tujuh tahun lalu. Mula-mula kupikir kemiripan itu cuma kebetulan saja. Banyak orang yang satu mirip yang lain, padahal mereka tidak ada hubungan keluarga.

Aku terus tawar-menawar. Selain daster, aku juga menawar baju anak-anak sambil mencuri pandang sekujur tubuh dagang itu. Seluruh ciri tubuhnya persis sama dengan ciri tubuh istriku. Cuma dagang ini lebih tua sedikit. Terakhir aku dengarkan suaranya dengan sungguh-sungguh. Suaranya pun mirip suara istriku.

Aku mulai berpikir, apakah ini mantan istriku yang sengaja berlagak tak kenal denganku? Pikiranku ini terus menguat karena perceraianku dengan istriku yang pertama prosesnya agak aneh. Rasanya tak ada hujan tak ada angin, istriku minta cerai. Setelah kutanyakan alasannya, ia hanya mengatakan aku tidak cocok beristrikan dia. Padahal aku tidak pernah bertengkar. Jangankan bertengkar yang sepele, bertengkar yang prinsip pun tak pernah.

''Tidak cocoknya di mana? Apakah karena aku serba kekurangan?''

''Sama sekali bukan. Selama aku masih menjadi istri kakak, hidup kakak akan begitu-begitu saja. Karier kakak tidak akan maju.''

''Karier apa? Aku tidak pernah merasa terganggu, baik sebagai pegawai kantoran maupun penulis. Malahan aku merasa diperhatikan. Saat aku sedang menulis, kau membuatkan aku secangkir kopi.''

''Kak, biarkan aku pergi, daripada rumah tangga kita tinggal sandiwara saja, atau terjadi hal-hal buruk di antara kita. Aku tak akan menuntut gono-gini. Aku hanya minta barang-barangku dan barang-barang yang pernah kakak belikan untukku. Setelah pisah aku tak akan kawin lagi. Aku berusaha hidup mandiri dan sendiri.''

Tekadnya telah bulat. Aku tak bisa berbuat apa, selain mengurut dada karena kecewa dan sakit hati. Setelah hampir tujuh tahun menduda, aku kawin lagi. Kudengar berita mantan istriku yang pertama tinggal bersama keluarga iparnya.

***

Aku tersentak dari lamunan masa lalu ketika dagang itu menegurku.

''Pak, di mana dasternya?''

Aku cepat-cepat menyembunyikan kegugupanku.

''Oh, ya saya masih memilih warna dan ukurannya. Bagaimana kalau empatpuluh ribu saja? Tapi saya hanya beli satu. Baju anak-anak ini saya beli tiga potong kalau diberikan lima belas ribu sepotong.''

''Ya ambil, Pak! Saya pakai pengelaris karena sejak pagi saya belum dapat jualan.''

''Terima kasih.''

''Bapak mau pilih mana? Kalau istri bapak kulitnya putih, yang ini bagus.''

Ia memperlihatkan daster warna ungu dan coklat muda kombinasi hitam.

''Apa ukuran badan istri bapak ada sebesar saya?''

''Ya, kira-kira, cuma barangkali lebih tinggi sedikit, dan kulitnya putih.''

''Jika begitu ini pasti pas, Pak.''

Ia menyodorkan daster ungu itu sambil tersenyum puas.

Aku merogok dompetku dan mengambil selembar ratusan ribu. Keringatku menetes deras karena gugup mendengar kata-kata dagang itu. Aku gelisah ketika dagang itu membandingkan ukuran tubuhnya dengan tubuh istriku sekarang. Soalnya ia sangat mirip dengan istriku yang pertama. Kata-kata itu seperti membongkar, mengacak-acak pengalaman pahit perceraianku dengan istriku yang pertama. Aku merasa tersentil dan tersindir oleh kata-katanya.

''Pak, ini saya berikan ekstra sebuah handuk kecil. Keringat Bapak kok begitu. Muka bapak juga pucat.''

''Udara sangat panas. Tadi malam aku sangat lelah dan tidak bisa tidur.'' Aku berkata bohong, sambil berusaha menutupi kegugupanku. Kupikir, jangan-jangan orang ini mantan istriku yang sengaja membuka identitas dirinya pelan-pelan. Mungkin ia memakai kelemahanku yang cepat lupa kepada rupa seseorang. Aku ingin mengusutnya. Tapi dengan cara apa agar aku tidak malu jika orang ini bukan mantan istriku. Jika aku salah terka mengusut pribadi orang, aku merasa malu.

''Bapak ikut rombongan?''

''Tidak, sendiri.''

''Dari mana, Pak?''

''Dari Bali.''

''Saya juga dari Bali, sekarang tinggal di sini. Jika ke sini, jangan lupa mampir belanja ya, Pak!''

''Oh ya, saya sangat suka mengunjungi taman ini, dan suka duduk berlama-lama di tepi kolam. Terima kasih.''

''Terima kasih kembali, Pak.''

Aku meninggalkan Taman Narmada dengan perasaan gulana. Entah mengapa aku merasa dipecundang oleh mantan istriku. Tapi benarkah dia mantan istriku? Aku berdosa punya pikiran yang bukan-bukan jika dia bukan mantan istriku. Jika bukan, adakah dua orang yang mirip seratus persen? Aku belum pernah menemui persamaan yang demikian. Namun begitu bukan berarti tidak ada. Siapa tahu ini pengalaman unikku yang pertama.

Pergulatan perasaanku menyebabkan aku tegang dan stres. Di hotel semalaman aku tak bisa tidur. Kejadian itu terus saja mencubitku dan menguntitku hingga aku pulang ke Bali.

***

Ketika anakku dari istri kedua lahir, aku telah lupa dengan peristiwa itu. Tapi anakku lahir muda. Ia hanya berumur seminggu. Kematian anakku menyebabkan istriku sedih berkepanjangan. Aku berhasil meredakan kesedihannya setelah hampir sebulan.

Dalam libur semesteran aku mengajak istriku ke Mataram. Maksudku agar dia bisa melupakan kesedihannya. Di samping itu aku bermaksud mengajaknya ke Taman Narmada, tempat aku membelikan dia daster. Kupikir jika dagang itu mantan istriku, pasti ia tak ragu-ragu menegur dan berakrab-akrab dengan istriku yang kedua karena sebelumnya ia sudah saling mengenal. Tapi gagasan ini aku rahasiakan kepada istriku.

Betapa terkejutnya aku ketika masuk Taman Narmada. Dagang itu sudah tak ada lagi. Di tempat yang dulu aku membeli daster hanya ada seorang dagang.

''Mari Pak! Mau baju, Pak? Ini ada daster untuk ibu.''

''Ya, saya lihat-lihat dulu. Kok sendiri jualan?''

''Dagang yang di sini keduanya sudah pindah ke Cakra.''

''Oh, ya?''

Rencanaku gagal. Tapi aku berhasil menyembunyikan kekecewaanku kepada istriku.

***

Setelah kematian anakku dari istriku yang kedua, ia belum memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sebuah peristiwa pahit yang lebih menyayat terjadi lagi padaku. Istriku yang kedua tiba-tiba minggat tak tentu sebabnya. Aku jadi bingung dan stres. Berbagai jalan sudah kutempuh untuk menemukannya, tetapi tak berhasil.

Ketika kubuka lemari pakaiannya, semua barang miliknya dan barang yang pernah kubelikan dibawanya. Hanya sepotong daster yang kubelikan terakhir tak dibawanya. Di sana disematkan secarik surat, ''Corak daster ini bagus, sayang tak enak dipakai.''

Aku kehilangan jalan dan kehabisan akal. Kawan-kawan yang merasa kasihan kepadaku, mengajakku mencari penyelesaian ke seorang paranormal. Semula aku ragu-ragu, karena kupikir penyelesaian cara mistik akan memperkeruh keadaan. Tetapi karena terus didesak, dan aku tak lagi punya pilihan, aku jadi pasrah.

Hasilnya membuat aku lebih terkejut. Sang paranormal memberikan penjelasan dengan hati-hati. ''Daster itu telah menggusur istri bapak yang kedua. Sebab istri bapak yang pertama digusur dengan cara serupa.'' ''Jadi, dagang itu mantan istriku?''

Sang paranormal hanya tersenyum dan mengangguk lembut.

''Semua ini buah karma Bapak. Jangan disesali. Banyaklah berdoa!''

Aku hanya bisa terbengong-bengong menerima kenyataan ini.

***


Diambil dari Bali Post,12/12/2004

Poligami

Poligami

Cerpen PUTU WIJAYA


Di akhir 2006, sebuah SMS muncul di HP hampir semua orang:

"Banyak jalan untuk mencari pahala, kenapa harus berpoligami. Karena pasti ada yang tersakiti. Dan adil hanyalah milik Allah serta para nabi. Hilang sudah teladan suami yang setia di mata ibu-ibu. Masih pantaskah kita mendengar ceramahnya tentang keluarga sakinah? (Gerakan ibu-ibu antipoligami, tolong sebarkan lagi pada ibu-ibu yang lain)."

Ami buru-buru meneruskan pesan itu ke teman-temannya. Pernikahan dai kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan Alfarini Eridani (37 tahun) memang telah menjadi badai di kalangan perempuan. Kaum ibu marah, beringas, ngomel dari pagi sampai malam hingga para suami kebingungan.

Pernikahan itu seakan-akan mengguncang semua rumah tangga, karena bisa jadi lampu hijau bagi suami mereka. Sebelum kena getahnya, mereka pun berteriak.

"Kalau itu terjadi, aku benar-benar tak siap, Kang!"

"Lebih baik aku mati daripada dimadu, Bang!" kata seorang istri sambil melotot kepada suaminya.

Memang konon Teh Ninih, istri Aa Gym yang pertama menerima peristiwa itu dengan lapang dada. Sebuah koran ibu kota mengutip komentarnya:

"Ternyata setelah Aa Gym menikah... luar biasa, tidak seperti yang selama ini ditakutkan orang."


Istri beranak 7 yang dimadu itu pun konon menambahkan bahwa ia telah menerima banyak sekali SMS yang isinya sebagian besar mendoakan agar dia sebagai istri bisa bersikap ikhlas atas perkawinan kedua suaminya. "Yang berat dirasakan sejak lima tahun yang lalu itu, ternyata tidak terjadi," katanya sambil tertawa kecil.

Ami kemudian menunjukkan SMS itu kepada bapaknya.

"Apa komentar Bapak?" tanya Ami.

Amat, bapak Ami, membaca SMS itu berulang-ulang.

"Kok mikir Pak?"

Amat tersenyum.

"Lho kok senyum?"

Amat tertawa.

"Bapak ketawa melihat nasib perempuan diperlakukan semena-mena seperti itu? Terlalu!"

Amat cepat-cepat memotong.

"Ami, aku berpikir, tersenyum, dan, kemudian, tertawa karena aku prihatin."

"Prihatin terhadap nasib perempuan di negeri kita ini? Atau bersimpati pada kedudukan perempuan di seluruh dunia? Bagus!"

Amat kembali mesem.

"Prihatin terhadap nasib manusia di negeri ini. Karena semakin jelas bahwa kita tidak mampu berpikir yang jernih. Tidak bisa berpikir proposional!"

"Maksud Bapak?"

"Maksudku, coba dengarkan baik-baik, Ami. Renungkan dengan mendalam dan tenang, jangan pakai emosi. Kita ini 'kan masih dikepung oleh berbagai bencana dahsyat. Lumpur Lapindo belum beres, di Kalimantan ada lagi lumpur panas muncrat. Masalah pajak, kebakaran hutan, sejumlah menteri memberikan jaminan terhadap bekas menteri yang ditahan karena diduga korupsi. Masalah RUU APP yang juga tak jelas bagaimana penyelesaiannya. Begitu banyak soal. Kenapa ada orang kawin saja kita kok sudah ribut tidak ketulungan? Memangnya enggak ada soal lain? Itu 'kan soal tempat tidur orang lain? Masalah pribadi? Kok kita jadi ikut sewot?"

Ami ternganga.

"O, jadi Bapak setuju?!"

Amat cepat senyum lagi.

"Rasanya kamu belum menangkap apa yang Bapak katakan!"

"Ah, apaan! Ami menangkap! Bahkan mengerti semua yang belum Bapak katakan! Itu semua memang reaksi rata-rata laki-laki yang menganggap semua penderitaan perempuan adalah lelucon!"

"Sabar, Ami."

"Sabar apa! Bagaimana bisa sabar kalau bapakku sendiri setuju dengan poligami!? Ya? Bapak setuju?!"

"Bukan begitu Ami. Coba tenang dulu. Coba baca dengan pikiran waras beritanya. Yang kawin lagi itu 'kan nampaknya sudah lama memikirkan hal itu bersama keluarganya. Dan setelah kawin lagi, dia berjanji akan bersikap adil. Lagipula istrinya 'kan sudah menerima dengan lapang dada. Di samping itu, banyak SMS yang bukannya menghujat tetapi malah mengajak istri yang dimadu itu berjiwa besar! Jadi...."

"Nah betul dugaan Ami, Bapak setuju poligami!"

"Bukan soal setuju atau tidak, kamu keliru Ami. Ini 'kan persoalan pribadi mereka yang kawin itu. Tidak bisa kemudian kebahagiaan kita yang dijadikan ukuran. Kalau orangnya senang-senang saja, kenapa jadi kita yang repot?"

"Karena ini bukan hanya persoalan mereka, ini adalah juga persoalan kita. Persoalan dunia! Dan persoalan Ibu!"

Amat terkejut.

"Ibu?"

"Ya! Ibu menangis ketika membaca berita ini. Bapak tidak tahu?"

"Ibu kamu menangis?"

"Bercucuran air mata!"

Amat nampak bingung.

"Masak Bapak tidak tahu?"

Amat menggeleng lemah.

"Lho, kenapa sampai tidak tahu?"

"Kenapa? Ya, Bapak 'kan tidak mau kawin lagi?!"

"Memang! Tapi jangan lupa, kalau yang berbuat itu adalah tokoh masyarakat, figur publik, maka seluruh tindakannya akan secara langsung menyangkut perasaan kita semua. Itu bedanya antara orang biasa dan pemimpin. Orang biasa bebas berbuat apa saja, sebab dia tidak merupakan panutan. Tapi seorang tokoh masyarakat, salah ngomong saja dia bisa bikin sakit hati semua orang. Itu presiden Bush pernah salah ngomong waktu menara kembar rontok, langsung dunia marah dan menghardik, sampai dia bilang maaf. Benar tidak?"

Amat mengangguk.

"Makanya! Kalau mau seenak perut sendiri, jangan menjadi tokoh masyarakat. Kalau mau jadi tokoh masyarakat, harus berani memikul perasaan seluruh rakyat, jangan seenak udel sendiri! Itu pelajaran SD, masak seorang panutan masyarakat tidak tahu?"

Amat termenung, lalu menjawab lirih.

"Tapi, itu berarti tidak manusiawi, Ami?"

"Apa?!"

"Aku bilang tidak manusiawi."

"Maksud Bapak?"

"Seorang pemimpin 'kan juga manusia, manusia biasa seperti penyanyi rock itu?"

Ami langsung meledak.

"Tidak! Siapa bilang!"

"Lho, berarti kamu sendiri sudah tidak manusiawi lagi Ami. Apa hak kamu menghukum pemimpin itu bukan manusia biasa?"

Ami tambah jengkel.

"Bapak jangan debat kusir! Takaran kemanusiaan seorang pemimpin beda dengan ukuran kemanusiaan rakyat jelata yang tak punya tanggung jawab! Kalau rakyat ukurannya hanya satu digit, pemimpin bisa seratus digit atau seribu bahkan sejuta digit. Kalau rakyat tidak boleh bicara kasar, pemimpin pun jangankan bicara kasar, berperasaan kasar yang tidak diucapkan pun salah!"

"Wah itu diskriminatif namanya Ami!"

"Memang! Karena itu susah jadi pemimpin. Tidak sembarang orang bisa memimpin. Yang tidak memenuhi syarat langsung rontok karena proses seleksi alam."

"Itu tidak adil Ami."

"Keadilan itu berlapis-lapis sesuai dengan kapasitas manusia, Pak. Itu dia yang tidak dipahami oleh para pemimpin kita. Sebab kualitas mereka hanya rata-rata. Para pemimpin kita semua masih terlalu sayang sama perasaan-perasaannya sendiri, padahal dia sudah menjadi idola. Kalau begini caranya, seorang pemimpin besar seperti Gandhi tidak akan pernah lahir di Indonesia. Kita akan terus menjadi anak ayam yang kehilangan induk!"

Amat mau menjawab lagi, tapi Ami langsung membentak.

"Sudah! Ami sudah tahu apa yang Bapak simpan dalam hati. Dan Ibu juga tahu!"

Ami berbalik dan pergi.

Amat terkesima. Kata-kata Ami itu sangat menggetarkan. Badannya gemetar. Ia cepat menoleh kanan dan kiri lalu diam-diam mengeluarkan dompetnya. Sambil membalikkan badan ke arah tembok, ia lalu memeriksa dengan teliti.

Muka Amat pucat-pasi setelah mengetahui yang dicarinya tak ada lagi di situ. Keringat dingin segera berleleran. Seperti cacing kepanasan Amat memeriksa lagi dengan lebih teliti. Ia menumpahkan seluruh isi dompetnya. Tapi yang dicari sudah hilang.

Tengkuk Amat basah. Ia melirik ke arah dapur. Terdengar bunyi air mendidih di teko. Amat segera berbalik hendak pergi ke kamar. Tetapi begitu hendak melangkah, Bu Amat sudah menghadang di depannya.

"Aduh, jantungku!" teriak Amat terkejut.

Bu Amat tersenyum.

"Kalau dibiasakan terkejut, memang nanti jantung lama-lama bisa kuat, Pak," kata Bu Amat sambil tertawa kecil.

Amat takjub memandang istrinya.

"Ibu kok ketawa?"

"Habis, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang istri yang mencintai suami dan anaknya, kalau suaminya memang menghendaki itu? Perempuan 'kan hanya akan bisa tersenyum dan tertawa."

Peluh dingin tambah deras mengucur, telapak tangan Amat ikut basah. Apalagi ketika Bu Amat mengulurkan foto janda kembang genit di samping rumah yang telah menggoda Pak Amat. Tangan Amat gemetar menerima foto itu.

"Fotoku dan Ami tidak pernah Bapak simpan di dompet seperti ini. Ya 'kan Pak? Kalau sebelum dinikahi saja tak mampu berbuat adil, apalagi kalau sudah dinikahi!"

Bu Amat tersenyum, menepuk pundak suaminya, lalu kembali ke dapur.

Amat menatap kelu. Foto di tangannya terasa membakar. Lalu ia melihat seakan sekujur tubuh istrinya basah oleh air mata karena hatinya luluh.

Ami menghampiri bapaknya.

"Jadi Bapak akan mengikuti jejak?"

Amat menyabarkan perasaannya.

"Ini tidak adil Ami."

"Tidak adil bagaimana? Sudah jelas foto janda itu ada di dompet Bapak."

"Tapi, foto ibu kamu juga bertahun-tahun aku taruh di dompetku dulu, sebelum kami menikah."

"O ya?"

"Ya. Bahkan bukan hanya satu foto. Sampai sepuluh foto. Zaman dulu dompet itu besar-besar. Foto ibu kamu yang bapak simpan itu juga semua ukuran kartu pos."

Ami mengangguk.

"Ya kalau 22 tahun yang lalu saja 10 foto Ibu Bapak simpan di dompet dengan ukuran kartu pos, sekarang 'kan mestinya sudah ratusan bahkan ribuan. Kok masih ada tempat buat foto janda itu?"

Amat tak bisa menjawab. Ami pun tak perlu jawaban. Ia tersenyum lalu meninggalkan Amat. Lelaki itu jadi salah tingkah. Seakan-akan mata istrinya mengintip dari dapur, Amat lalu membuang foto janda itu ke tempat sampah.

Malam hari di meja makan, Amat mencoba memperbaiki kesalahannya. Ia mulai hendak berkicau memberikan alasan kuat, mengapa foto janda itu tersesat ke dompetnya. Itu adalah ulah salah seorang koleganya yang memang mau bikin lelucon yang tidak lucu.

Tapi belum sempat ngomong, Ami sudah mendahului memukul.

"Ami tadi sudah riset satu harian di lingkungan kita ini," kata Ami sambil tertawa kecil. "Jadi di samping janda yang cantik itu, masih ada lagi janda lain yang beranak tujuh. Hidupnya sangat susah. Ia benar-benar memerlukan perlindungan, karena usianya sudah manula. Ada juga yang masih perawan, tapi kurang diurus keluarganya karena tergolong autis, jadi hidupnya pasti akan merana. Barangkali Bapak bisa memasukkannya ke dalam nominasi. Tinggal pilih mau perawan tapi autis, atau yang beranak tujuh tapi manula, atau tetap janda cantik yang sebenarnya hidupnya sudah makmur itu, biar kita ikut makmur?"

Amat terpaksa tertawa lebar untuk menutupi malu.

"Sudahlah, lupakan soal foto itu, itu 'kan olok-olok kawan bapak yang mau bercanda. Nih lihat apa yang ada di dompet bapak sekarang," kata Amat sambil menunjukkan dompetnya yang berisi foto Bu Amat dan Ami.

Tapi begitu Amat menggeber dompetnya, Bu Amat berteriak.

"Aduh kenapa dibuang ke tong sampah orang cantik begini!"

Bu Amat muncul sambil membawa foto janda yang tadi dibuang Amat.

"Kenapa dibuang ke tong sampah Pak? Kasihan, apa salahnya orang cantik. Kecantikan itu 'kan karunia yang harus disyukuri? Mbok simpan di dompet lagi. 'Kan sudah bagus di situ."

"Tidak bisa!"

"Kenapa?

Amat menggeber dompetnya ke arah istrinya.

"Karena di sini sudah ada kamu dan Ami!"

Bu Amat tertegun. Ia memandangi potret itu. Amat tersenyum lebar, berharap akan dapat pujian. Tetapi tiba-tiba di luar perhitungannya, muka istrinya berubah. Merah padam dan menyemprot.

"Potretku hanya kebagian tempat di dalam dompet? Ih! Puluhan tahun aku hidup menemani Bapak, mengurus rumah, mengurus anak. Hadiahnya hanya jadi pajangan di dompet! Itu tidak adil!"

Amat terkejut.

Bu Amat merebut dompet itu dari tangan Amat. Sebelum sempat dicegah, tangan wanita itu sudah merenggutkan foto itu, lalu membentak dengan suara keras.

"Ini tidak adil! Harusnya tempatku sudah ada di dalam sini!"

Bu Amat meletakkan foto itu di dada Amat.

"Jauh di dalam sana sehingga tidak bisa dijangkau lagi!!!"

Sambil menghentakkan kaki, Bu Amat kemudian melangkah ke ruang tengah dengan kesal. Ami mengambil foto janda itu dan kemudian memasukkannya ke dompet Amat.

"Berarti Ibu tidak berkeberatan kalau tempatnya di sini, hanya saja harus ada jaminan foto Ibu dan fotoku ada di ruang dalam dada Bapak!"

Ami kemudian membanting foto itu ke meja, lalu mengikuti ibunya. Amat tak mampu mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian dia mendengar televisi disetel keras-keras. Lagu dangdut menghempas keras seperti hendak meletupkan ruangan.

Amat berpikir keras. Perlahan-lahan kemudian ia menyusul ke ruang tengah. Istri dan anaknya duduk bersebelahan, memandang ke layar televisi. Tetapi Amat tahu pikiran mereka tertuju ke arahnya.

Amat mendekati pesawat tv lalu mematikannya. Setelah menarik nafas panjang, ia menatap anak istrinya dan berkata lirih.

"Aku bersyukur. Anak istriku marah dan menentang, hanya gara-gara sebuah foto. Apalagi kalau aku benar-benar mau poligami. Itu berarti aku sangat berharga. Masih cukup berharga dan berguna. Aku terharu dan bangga karena dipertahankan. Aku merasa diriku sekarang berarti lagi dan dicintai. Terimakasih. Memang kalianlah, istri dan anak yang harusnya bertindak tegas, sebelum seorang lelaki tersesat."***


Jakarta, 14 Desember 2006

Source: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/122006/16/khazanah/index.html

Keroncong Pembunuhan

Keroncong Pembunuhan

Cerpen Seno Gumira Ajidarma



hampir malam di Yogya
ketika keretaku tiba

Lagu keroncong membuatku ngantuk, padahal malam ini aku harus membunuh seseorang. Orang-orang tua memang menyukai lagu keroncong, ini membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.

Mereka terserak di bawah sana, di sekitar kolam renang, tapi tampaknya tak banyak yang mendengarkan lagu keroncong itu dengan sungguh-sungguh. Mereka bercakap sendiri, riuh dan tawa sesekali pecah dari tiap kerumunan.

Tak semuanya tua memang, bahkan banyak wanita muda. Paling tidak itulah yang menarik perhatianku. Lewat teleskop pada senapan ini, aku memperhatikan mereka satu per satu, seolah-olah aku berada di antara mereka. Sebuah pesta yang meriah. Ada kambing-guling. Hmmm…

Garis silang pada teleskop itu terus saja bergerak. Sesekali berhenti pada dahi seseorang, dan mengikutinya. Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan berlubang. Dan tubuh orang itu akan roboh. Bisa roboh perlahan-lahan seperti pohon ditebang, bisa pula tersentak dan mengacaukan kerumunan orang yang sedang tertawa-tawa itu, menumpahkan gelas pada nampang yang dibawa pelayan. Tentu lebih menarik lagi kalau tubuh itu terpental ke kolam renang dengan suara bergedebur sehingga airnya muncrat membasahi pakaian para tamu dan kolam renang itu segera berwarna merah karena darah dan wanita-wanita berteriak: “Auuww!”

Tapi aku belum menemukan orang yang mesti kubunuh. Memang belum waktunya. Ia akan datang sebentar lagi. Dan sebetulnya aku pun tak perlu terlalu repot mencarinya karena pesawat komunikasi yang terpasang pada telingaku siap menunjukkan orangnya.

“Kamu sudah siap?” terdengar suara pada headphone itu, sebuah suara yang merdu.

“Dari tadi aku sudah siap, yang mana orangnya?”

“Sabar dong, sebentar lagi.”

Dari teras lantai 7 hotel ini, aku masih mengintip lewat teleskop. Angin laut yang basah terasa asin di bibirku. Iseng-iseng sambil menunggu sasaran, aku mencari orang yang berbicara padaku. Dan aku melihat wajah-wajah pada teleskop. Para wanita dengan pakaian malam yang anggun. Ada yang punggungnya terbuka. Cantik sekali. Aku tak mengira seorang wanita akan terlibat dalam pembunuhan seperti ini.

“Siapa sasaranku?” tanyaku minggu lalu, ketika dia memesan penembakan ini. Dilakukan lewat telepon seperti itu, tentu wajahnya hanya bisa kukira-kira saja.

“Kau tidak perlu tahu, ini bagian dari kontrak kita.”

Kontrak semacam ini memang sering terjadi. Aku dibayar untuk menembak, siapa yang jadi sasaran bukan urusanku.

“Tapi satu hal kau boleh tahu.”

“Apa?"

“Orang itu pengkhianat.”

“Pengkhianat?”

“Ya, pengkhianat bangsa dan negara.”

Jadi, sasaranku adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara. Apakah aku termasuk pahlawan jika menembaknya? Kugerakkan lagi senapanku. Dari balik teleskop kuteliti orang-orang yang makin banyak saja berdatangan. Ada sesuatu yang terasa kurang enak setiap kali aku menatap wajah orang-orang di bawah itu.

Memang wajah mereka adalah wajah orang baik-baik, tapi entahlah apa yang kurang enak di sana. Apakah karena banyak yang memakai baju resmi, seragam yang kubenci? Ataukah karena perasaanku saja. Namun sungguh mati, aku akan sangat berbahagia kalau korbanku kali ini adalah seseorang yang memuakkan.

Kuedarkan lagi senapanku. Mengintip kelakuan orang tanpa diketahui rasanya menyenangkan.

sepasang mata bola
dari balik jendela

Belum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang. Di manakah wanita yang bersuara lembut itu?

Di mana-mana orang mengunyah makanan, menyeruput minuman, tersenyum dan tertawa. Ada ibu-ibu berdiri dengan kaku di samping suaminya yang sibuk bicara dengan tangan bergerak-gerak ke segala penjuru. Bapak-bapak yang dari wajahnya tampak berjiwa pegawai, menyembunyikan diri dengan sopan, tapi makan banyak-banyak. Tampak pula petugas berpakaian preman mondar-mandir membawa walkie-talkie. Agaknya pesta kambing-guling pada tepi kolam renang dalam sebuah hotel di tepi pantai ini dihadiri orang-orang penting.

Malam cerah dan langit penuh bintang. Bahkan bulan pun sedang purnama. Kuletakkan senapanku karena pegal. Aku berjalan ke dalam kamar, mengambil kacang dari meja. Kupasang televisi, tapi segera kumatikan lagi. Acara televisi selalu buruk. Sunyi sekali rasanya kamar hotel ini. Aku ingin buru-buru menembak sasaranku, lantas pulang dan minum segelas bir.

“Hei, kamu masih di situ?” tiba-tiba terdengar lagi suara itu.

“Ya, kenapa?”

“Jangan main-main! Aku tahu kamu tidak di tempat!”

Aku bergegas kembali ke teras.

“Bagaimana? Sudah datang orangnya?”

“Dia memakai baju batik merah, kebetulan satu-satunya yang merah di sini, jadi enak untuk kamu.”

Kulihat ke bawah, mereka seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil, tentu tak terlalu jelas mana yang berbaju batik merah dari lantai 7 seperti ini. Kuangkat kembali senapanku. Kucari posisi yang enak. Sambil mengunyah kacang aku mengintip kembali lewat teleskop. Garis silang itu kembali beredar dari wajah ke wajah. Mereka masih tertawa-tawa dan tersenyum-senyum. Aku juga tersenyum. Sebentar lagi wajahmu akan ketakutan tanpa tahu malu. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku hanya bekerja berdasarkan kontrak.

“Di sebelah mana dia?” tanyaku lewat mike yang tergantung di bawah daguku.

“Dia di sudut kolam renang sebelah selatan, dekat payung hijau.”

Kugeserkan senapanku ke kanan. Kulewati lagi wajah-wajah berlemak, klimis, dan gemerlapan. Wanita-wanita cantik terpaksa kulewati begitu saja. Dan, nah, itu dia, seorang lelaki yang mamakai baju batik berwarna merah.

Wajahnya tampan dan berwibawa. Ia sudah setengah umur tapi tak tampak telah uzur. Rambutnya disisr rapi ke belakang. Ia tak banyak tertawa dan tersenyum. Orang-orang mengerumuninya dengan hormat. Ada juga yang berwajah menjilat. Garis silang pada teleskopku berhenti tepat di antara kedua matanya.

“Apakah harus kulakukan sekarang?”

“Nanti dulu, tunggu komando!”

Dan aku mengamati wajah itu. Adakah ia mempunyai firasat? Dari balik teleskop ini, wajah-wajah memunculkan pesonanya sendiri, yang berbeda dibanding dengan bila kita berhadapan langsung dengan orangnya. Ia tak banyak bicara, namun tampaknya ia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan aku merasa bahwa ia sangat hati-hati menjawab. Wajahnya menunjukkan niat bersopan santun yang tidak menyebalkan. Apakah yang akan terjadi kalau ia kutembak mati? Aku teringat kematian Ninoy di Filipina….

Tapi aku tidak tahu politik. Jadi, sambil menatap wajah yang akan berlubang itu, aku berpikir tentang yang lain. Mungkin ia punya istri, punya anak. Bahkan kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar kematian orang ini, dan tangis itu akan makin menjadi-jadi ketika mengetahui cara kematiannya. Biar saja. Bukankah ia seorang pengkhianat bangsa dan negara? Ia pantas mendapatkan hukumannya.

Agak tegang juga aku menunggu perintah menembak. Itulah repotnya selalu bekerja berdasarkan kontrak. Tidak bisa seenaknya sendiri. Aku dibayar untuk mengarahkan garis silang teleskop senapanku pada tempat yang paling mematikan, untuk kemudian menekan pelatuknya. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membunuh orang, aku hanya membidik dan menekan pelatuk.

Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya yang menghentikan kehidupan orang itu, akukah atau Kamu? Orang itu tak sadar sama sekali kalau malaikan maut telah mengelus-elus tengkuknya.

“Bagaimana? Sekarang?”

“Aku bilang tunggu perintah!”

Sialan cewek itu, berani benar membentak-bentak seorang pembunuh bayaran. Tanganku tiba-tiba bergerak sendiri menggeser senapan itu. Dengan indra keenam ia kucari di antara kerumunan orang banyak. Wajah-wajah cantik silih berganti mengisi teleskopku. Aku harus memancing dia bicara.

“Tunggu perintah apa lagi?”

“Kau tak perlu tahu, pokoknya tunggu!”

“Ini tidak ada dalam perjanjian.”

“Ada! Kamu jangan main gila.”


selendang sutra
tanda mata darimu

Busyet! Lagu keroncong itu lagi, jelas sekali di telingaku. Pasti ia berada di dekat orkes. Kucari-cari sekitar orkes. Teleskopku sempat mampir di dada penyanyi keroncong yang membusung itu. Ada beberapa kerumunan. Di telingaku juga berdentang bunyi gelas dan piring. Ia mungkin di belakang orkes, dekat meja prasmanan. Ada beberapa wanita, dan petugas-petugas berpakaian preman. Yang mana? Aku meneliti mereka satu per satu. Beberapa di antaranya jelas cuma pegawai perusahaan catering. Ada satu wanita bertampang juragan. Mungkin satunya lagi. Rambutnya lurus dan hitam dengan poni menutup dahinya. Matanya menatap tajam ke arah si baju batik merah!

“Tembaklah dia sekarang,” ujarnya pelan dalam headphone-ku, dan kulihat dari teleskop dia memang berkata-kata sendiri. Rupanya betul dia. Ia mendengar lewat giwang dan berbicara padaku lewat mikrofon yang tersembunyi dalam leontin kalungnya. Leontin yang indah, terpajang di dadanya yang tipis.

“Apa?” tanyaku lagi, karena ingin meyakinkan, memang dia orangnya.

“Tembak sekarang!”

Jadi seperti inilah semua pembunuhan itu berlangsung. Mata rantai tanpa ujung dan pangkal. Wanita ini tentu hanya salah satu mata rantai. Kualihkan senapanku kembali pada sasaran. Lelaki setengah tua itu sedang mendengarkan cerita seseorang di hadapannya dengan sabar. Orang yang bercerita itu tampak berapi-api, namun lelaki itu kelihatannya menahan diri untuk tidak ikut terbakar. Ia mengangguk-angguk sambil mencuri pandang ke sekelilingnya. Seperti khawatir ada yang mendengar.

Aku sudah siap menembak. Satu tekanan telunjuk akan mengakhiri riwayat lelaki itu. Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris. Peluruku akan menembus mata kirinya. Dan aku menatap mata orang itu. Astaga. Benarkah dia seorang pengkhianat?

“Kau tidak keliru? Benarkah ia seorang pengkhianat?”

“Tidak usah tanya-tanya, tembak sekarang!” Aku menatap lagi matanya, pengkhianat yang bagaimana?

“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”

“Apa urusanmu tolol? Tembak dia sekarang, atau kontrak kubatalkan!”

Perasaan aneh tiba-tiba merasuki diriku. Aku malah mengarahkan senapan pada wanita itu.

“Laras senapanku mengarah padamu manis,” kataku dingin.

“Apa-apaan ini?” Dalam teleskop kulihat wajahnya mendongak ke arahku dengan kaget.

“Katakan padaku,” kataku lagi, “apa kesalahan orang itu?”

“Tembak dia sekarang tolol, atau kamu akan mati!”

“Justru kamu yang bisa segera mati.”

“Omong kosong! Kamu tak tahu di mana aku.”

“Kamu memakai cheongsam dengan belahan di paha, kamu ada di belakang orkes.” Dan kulihat wajahnya menjadi pucat.

“Kamu sudah melanggar kontrak.”

“Aku tidak mau menembak orang yang tidak bersalah."

“Itu bukan urusanmu, tahun lalu kamu menembak ribuan orang yang tidak bersalah.”

“Itu urusanku sendiri, katakan cepat apa kesalahan orang itu!”

Wanita itu tampak beranjak akan lari.

“Jangan lari, tak ada gunanya, tak ada seorang pun yang akan tahu siapa menembakmu. Senapan ini dilengkapi peredam. Kamu tahu tembakanku belum pernah luput, dan aku bisa segera lenyap.”

Wajahnya menatap ke atas, ke arahku. Kulihat ia berkeringat dingin. Gelisah.

“Apa maumu?”

“Katakan kesalahannya.”

“Ia pengkhianat, ia menjelek-jelekkan nama bangsa dan negara kita di luar negeri.”

“Cuma itu?”

“Ia meresahkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang tidak benar.”

“Lantas?”

“Kamu mau apa? Aku tidak tahu banyak.”

“Aku ingin tahu, apakah semua itu merupakan alasan yang cukup untuk membunuhnya.”

“Itu bukan urusanmu. Ini politik.”

“Urusanku adalah leontinmu manis, ia bisa pecah berantakan oleh peluruku, dan peluru itu tak akan berhenti di situ.”

Wajah itu kembali menatap ke arahku dengan pandang menghiba.

“Jangan tembak aku! Aku tidak tahu apa-apa!”

“Siapa yang menyuruhmu?”

“Aku tidak tahu apa-apa.”

“Leontinmu manis...”

“Ah, jangan, jangan tembak! Please...”

“Siapa?”

“Aku…aku bisa celaka.”

“Sekarang pun kamu bisa celaka. Kuhitung sampai tiga. Satu…”

“Kamu gila, kamu merusak segala-galanya.”

“Dua....” Hmm, alangkah gugupnya dia.

“Ia ada di depan orang yang harus kamu tembak.”

“Berkacamata?”

“Ya.”

Kuarahkan senapanku ke sana. Dan aku melihat orang itu. Ia sedang bercerita dengan berapi-api. Tangannya bergerak kian kemari, mengepal dan memukul-mukulkan tinjunya pada telapak tangan yang lain. Wajahnya licik dan penuh tipu daya. Sangat memuakkan. Padahal ia pun sudah tua.

Kubidikkan garis silang teleskopku ke jantungnya, sementara di telingaku mengiang suara penyanyi itu, yang memulai lagi sebuah lagu keroncong, lagu kesenangan orang-orang tua. Ini memang akan membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.

Inilah keroncong fantasiii

Bunyi Hujan di Atas Genting

Bunyi Hujan di Atas Genting

Cerpen Seno Gumira Ajidarma



“Ceritakanlah padaku tentang ketakutan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:

Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting.

Rumahnya memang terletak di sudut mulut gang itu. Pada malam hari, kadang-kadang ia bisa mendengar bunyi semacam letupan dan bunyi mesin kendaraan yang menjauh. Namun tak jarang pula ia tak mendengar apa-apa, meskipun sesosok mayat bertato tetap saja menggeletak di mulut gang setiap kali hujan reda pada malam hari. Mungkin ia memang tidak mendengar apa-apa karena bunyi hujan yang masih deras. Hujan yang deras, kau tahu, sering kali bisa mengerikan. Apalagi kalau rumah kita bukan bangunan yang kokoh, banyak bocor, bisa kebanjiran, dan akan remuk jika tertimpa pohon yang tidak usah terlalu besar.

Mungkin pula Sawitri tidak mendengar apa-apa karena ia mengantuk dan kadang-kadang tertidur. Mungkin karena ia menyetel radionya terlalu keras. Ia suka mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia sambil menjahit. Matanya sering kali pedas karena menatap lubang jarum dalam cahaya 15 watt. Kalau matanya menjadi pedas dan berair ia menutup matanya sejenak. Saat menutup matanya sejenak itu ia mendengarkan sepotong lagu dari radio. Dan saat ia mendengarkan lagu itu kadang-kadang ia tertidur. Tapi tetap saja setiap kali hujan reda, di mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato.

Untuk melihat mayat bertato itu, Sawitri cukup membuka jendela samping rumahnya dan menengok ke kanan. Ia harus membungkuk kalau ingin melihat mayat itu dengan jelas. Kalau tidak, pandangannya akan terhalang daun jendela. Ia harus membungkuk sampai perutnya menekan bibir jendela dan tempias sisa air hujan menitik-nitik di rambutnya dan juga di sebagian wajahnya.

Dadanya selalu berdesir dan jantungnya berdegup-degup keras setiap kali hujan selesai dan bunyi sisa air hujang seperti akhir sebuah nyanyian. Tapi Sawitri tetap saja membuka jendela itu dan menengok ke kanan sambil membungkuk untuk melihat mayat itu. Meskipun ia tertidur bila hujan turun tengah malam dan iramanya mengajak orang melupakan dunia fana namun Sawitri selalu terbangun ketika hujan reda dan ia akan langsung membuka jendela lantas menengok ke kanan sambil membungkuk.

Ia selalu merasa takut, tapi ia selalu ingin menatap wajah mayat-mayat bertato itu. Jika mayat itu sudah terlanjur dikerumuni para tetangga, Sawitri pun selalu menyempatkan diri ke luar rumah dan menyeruak di antara kerumunan itu sampai ia melihat mayat. Ia tidak selalu berhasil melihat wajahnya karena kadang-kadang mayat itu sudah terlanjur ditutup kain. Tapi Sawitri cukup lega kalau sudah melihat sebagian saja dari mayat itu, apakah kakinya, tangannya atau paling sedikit tatonya.

Sawitri pernah membuka kain penutup mayat untuk melihat wajahnya tapi ia tak ingin melakukannya lagi. Sekali-sekalinya ia membuka kain penutup wajah, yang ia lihat adalah wajah menyeringai dengan mata terbeliak dan giginya meringis seperti masih hidup. Sebuah wajah yang menyeramkan.

Namun sebetulnya Sawitri cukup jarang ikut berkerumun di antara tetangganya. Sawitri hampir selalu menjadi orang pertama yang melihat mayat-mayat bertato itu. Ketika hujan belum benar-benar selesai sehingga tampak seperti tabir yang berkilat dalam cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Sosok tubuh manusia itu tergeletak betul-betul seperti bangkai. Sawitri hanya akan melihatnya sepintas, tapi cukup jelas untuk mengingat bagaimana darah membercak pada semen yang basah dan sosok itu pun segera jadi basah dan rambut dan brewok dan celana kolor orang itu juga basah.

Tidak semua wajah mayat-mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum. Orang-orang bertato itu tidur nyenyak dan tersenyum dalam buaian gerimis yang di mata Sawitri kadang-kadang tampak bagaikan layar pada sebuah panggung sandiwara. Cahaya lampu merkuri yang pucat kekuning-kuningan kadang-kadang membuat warna darah pada dada dan punggung orang itu tidak berwarna merah melainkan hitam. Darah itulah yang membedakan mayat bertato itu dengan orang tidur.

Kadang-kadang mata mayat bertato itu menatap tepat pada Sawitri, ketika ia menoleh ke kanan setelah membuka jendela dan membungkuk, setelah hujan mereda. Sawitri juga sering merasa bahwa ia menatap mereka tepat pada akhir hidupnya. Mata itu masih hidup ketika bertemu dengan mata Sawitri. Dan Sawitri bisa merasa, betapa mata itu pada akhir pandangannya begitu banyak bercerita. Begitu sering Sawitri bertatapan dengan sosok-sosok bertato itu, sehingga ia merasa mengerti apakah orang itu masih hidup atau sudah mati, hanya dengan sekilas pandang. Ia pun segera bisa merasa, apakah nyawa orang itu masih ada di tubuhnya, atau baru saja pergi, atau sudah lama melayang, entah ke surga atau ke neraka.

Sawitri seolah-olah merasa melihat begitu banyak cerita pada mata itu namun ia merasa begitu sulit menceritakannya kembali. Sawitri kadang-kadang merasa orang itu ingin berteriak bahwa ia tidak mau mati dan masih ingin hidup dan ia punya istri dan anak-anak. Kadang-kadang Sawitri juga melihat mata yang bertanya-tanya. Mata yang menuntut. Mata yang menolak takdir.

Tapi tubuh-tubuh bertato yang tegap itu tetap saja basah. Basah oleh darah dan hujan dan kerjap halilintar membuat darah dan tubuh yang basah itu berkilat dan darah dan basah hujan pada semen juga berkilat. Kepala orang-orang itu terkulai ke depan atau ke belakang seperti dipaksakan oleh takdir itu sendiri. Sesekali kepala itu menelungkup mencium bumi atau tengadah ke langit dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dan bila hujan belum betul-betul selesai, maka Sawitri melihat mulut yang menganga itu kemasukan air hujan.

Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangganya itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Dari dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengerumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

“Lihat! Satu lagi!”

“Mampus!”

“Modar!”

“Tahu rasa dia sekarang!”

“Ya, tahu rasa dia sekarang!”

“Anjing!”

“Anjing!”

Kadang-kadang mereka juga menendang-nendang mayat itu dan menginjak-injak wajahnya. Kadang-kadang mayat itu mereka seret saja sepanjang jalan ke kelurahan sehingga wajah orang bertato itu berlepotan dengan lumpur karena orang-orang kampung menyeret dengan memegang kakinya. Sawitri tak pernah ikut dalam arak-arakan yang bersorak-sorai gembira itu. Ia cukup membuka jendela setiap kali hujan reda dan menengok ke kanan sambil membungkuk lantas menutupnya kembali setelah melihat sesosok mayat bertato.

Sawitri akan menarik napas panjang bila ternyata mayat itu bukan Pamuji. Bukankah Pamuji juga bertato seperti mayat-mayat itu dan bukankah di antara mayat-mayat yang tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda juga terdapat kawan-kawan Pamuji? Sesekali Sawitri mengenali mayat-mayat bertato itu, Kandang Jinongkeng, Pentung Pinanggul…

Mayat-mayat itu menggeletak di sana, betul-betul seperti bangkai tikus yang dibuang di tengah jalan. Sawitri merasa nasib mereka lebih buruk dari binatang yang disembelih. Mayat-mayat itu tergeletak di sana dengan tangan dan kaki terikat jadi satu. Kadang-kadang hanya kedua ibu jari tangannya saja yang disatukan dengan tali kawat. Kadang-kadang kakinya memang tidak terikat. Bahkan ada juga yang tidak terikat sama sekali. Namun mayat-mayat yang tidak terikat itu biasanya lebih banyak lubang pelurunya. Lubang-lubang peluru membentuk sebuah garis di punggung dan dada, sehingga lukisan-lukisan tato yang indah itu rusak.

Sawitri kadang-kadang merasa penembak orang bertato itu memang sengaja merusak gambarnya. Sebenarnya mereka bisa menembak hanya di tempat yang mematikan saja, tapi mereka juga menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan. Apakah mereka menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan hanya karena ingin membuat orang-orang bertato itu kesakitan? Di tempat-tempat yang tidak mematikan itu kadang-kadang terdapat gambar tato yang rusak karena lubang peluru.

Ia selalu memperhatikan tato orang-orang yang tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda. Begitulah caranya Sawitri mengenali Kandang Jinongkeng. Wajahnya tertelungkup, namun cahaya lampu merkuri cukup terang untuk membuat Sawitri mengenali tato di punggungnya yang sudah berlubang-lubang. Sebuah tulisan SAYANG MAMA, dan gambar salib di lengan kiri. Sawitri bisa mengingat dengan jelas lukisan-lukisan pada mayat-mayat itu. Jangkar, jantung hati, bunga mawar, tengkorak, nama-nama wanita, tulisan-tulisan, huruf-huruf besar…

Sawitri selalu memperhatikan tato karena Pamuji juga bertato. Ia pernah menato namanya sendiri di dada Pamuji. Ia menulis di dada bidang lelaki itu: SAWITRI. Tulisan itu masih dilingkari gambar jantung hati tanda cinta. Sawitri ingat, ia membutuhkan waktu dua hari untuk mencocok-cocok kulit Pamuji dengan jarum.

Namun bukan hanya nama Sawitri yang bertato di dada Pamuji. Ia selalu ingat di lengan kirinya ada lukisan mawar yang bagus. Di bawah mawar itu ada tulisan Nungki. Menurut Pamuji, itulah kekasihnya yang pertama. Lantas ada lukisan wanita telanjang. Di dada wanita telanjang itu ada tulisan Asih. Menurut Pamuji pula, ia pernah jatuh cinta pada Asih, tapi tidak kesampaian. Sawitri mengenal Asih. Mereka dulu sama-sama melacur di Mangga Besar. Karena Asih itulah maka Sawitri berkenalan dengan Pamuji. Ah, masa-masa yang telah berlalu!

Maka hujan pun turun seperti sebuah mimpi buruk. Semenjak tahun-tahun terakhir ini, semenjak mayat-mayat bertato bergelimpangan di segala sudut, hidup bagaikan mimpi buruk bagi Sawitri. Semenjak itulah Pamuji menghilang tak tentu rimbanya.

Dulu mayat-mayat itu bergelimpangan hampir setiap saat. Pagi siang sore malam mayat-mayat menggeletak di sudut-sudut pasar, terapung di kali, terbenam di got, atau terkapar di jalan tol. Setiap hari koran-koran memuat potret mayat-mayat bertato dengan luka tembakan di tengkuk, di jidat, di jantung, atau di antara kedua mata. Kadang-kadang bahkan mayat bertato itu dilemparkan pada siang hari bolong di jalan raya dari dalam sebuah mobil yang segera menghilang. Mayat-mayat itu jatuh di tengah keramaian menggemparkan orang banyak. Orang-orang mengerumuni mayat itu sambil berteriak-teriak sehingga jalanan jadi macet. Sawitri melihat dengan mata kepala sendiri ketia sedang berbelanja pada suatu siang. Ia melihat debu mengepul setelah mayat itu terbanting. Debu mengepul dan membuatnya sesak napas. Pamuji o Pamuji, di manakah kamu?

Potret mayat-mayat itu kemudian menghilang dari koran-koran. Tapi mayat-mayat bertato itu masih bermunculan dengan ciri yang sama. Tangan dan kaki mereka terikat. Mereka tertembak di tempat yang mematikan, namun masih ada lubang-lubang peluru lain di tempat yang tidak mematikan. Kalau mereka menembak di tempat yang tidak mematikan itu lebih dulu, rasanya pasti sakit sekali, batin Sawitri. Apalagi dengan kaki tangan terikat seperti itu.

Apakah Pamuji telah menggeletak di suatu tempat seperti mayat-mayat di mulut gang? Sawitri pernah menerima surat dari Pamuji tanpa alamat pengirim, tapi hanya satu kali. Sawitri sebetulnya yakin Pamuji tak akan tertangkap. Pamuji sangat cerdik. Dan kalau para penembak itu memberi kesempatan pada Pamuji untuk melawan, ia belum tentu kalah. Sawitri tahu, Pamuji juga sangat pandai berkelahi. Tapi, jika setiap kali hujan selesai selalu ada mayat tergeletak di ujung gang itu, siapa bisa menjamin Pamuji tidak akan mengalami nasib yang sama?

Itulah sebabnya Sawitri selalu gemetar setiap kali bunyi hujan mulai menitik di atas genting. Setiap kali hujan selesai, di mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Mata mereka selalu menatap ke arah Sawitri, seolah-olah tahu Sawitri akan membuka jendela lantas menengok ke kanan…

“Apakah pada akhir cerita Sawitri akan berjumpa kembali dengan Pamuji?” tanya Alina pada juru cerita itu.

Maka juru cerita itu pun menjawab: “Aku belum bisa menjawab Alina, ceritanya masih belum selesai.”


Jakarta, 15 Juli 1985

Asmoro

Asmoro

Cerpen Djenar Maesa Ayu
(Kompas 07/28/2002)


ASMORO, waktu kita hampir habis.


LANGKAH Asmoro mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya, Adjani bersimbah peluh.

Adjani bersimbah peluh. Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Orang-orang di sekeliling Adjani membisu. Semua menahan napas. Semua tidak berani bergerak. Ruangan itu begitu sunyi. Sangat sunyi hingga suara sehelai rambut yang jatuh bisa membuat siapa pun yang berada di dalam ruangan itu terlunjak dari kursi. Tetapi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menyaksikan Adjani menahan luka. Tidak ada yang berani bertanya di mana persisnya Adjani terluka. Atau mengapa Adjani bisa terluka. Mereka hanya tahu Adjani luka. Luka yang begitu dalam. Luka yang begitu perih. Luka dari segala maha luka.

Adjani bersimbah peluh. Pipinya merah terbakar matahari. Kuncir rambutnya bergerak-gerak setiap kali kakinya mengentak tanah. Sesekali ia mengusap peluh di dahi yang menetes ke matanya dengan handuk yang ia selendangkan di bahunya. Tetapi, tidak sekalipun ia menghentikan larinya. Kadang-kadang ia biarkan saja peluh itu menetes hingga mulutnya. Setiap kali Adjani membuka mulut untuk membuang napas, maka masuklah tetesan keringat itu dan menyebabkan rasa asin di lidahnya.

Ketika Adjani berlari, tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Waktu ia menyeberang jalan, mobil-mobil langsung berhenti. Bahkan, lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah, berubah hijau dan membiarkan Adjani lewat. Kalaupun ada Metro Mini ngebut yang tidak sempat menginjak rem ketika Adjani melintas secara mendadak, yang terjadi hanyalah Metro Mini itu menembus tubuh Adjani bagai menembus udara. Jika ada mobil yang kebetulan posisinya menyamping di depan Adjani, langsung terbelah dua. Jembatan rubuh berdiri kembali seperti adegan ulang dalam kamera. Sungai terbelah. Tembok tinggi merendah. Tidak ada satu pun yang dapat menghentikan Adjani.


Cerita tentang Adjani segera tersebar dari mulut ke mulut. Menyeberang dari satu telinga ke telinga, rumah ke rumah, sungai ke sungai, laut ke laut dan benua ke benua. Berbagai media massa baik koran maupun televisi meliput berita tentang Adjani. Para fotografer, kuli tinta, reporter lengkap dengan helikopter menunggu Adjani di setiap sudut jalan. Yang tidak kuat mengimbangi lari Adjani terpaksa mewawancarai di atas mobil, motor, bahkan bajaj. Selain wawancara dan melihat keajaiban yang disebabkan Adjani, mereka berharap menjadi orang pertama yang dapat mengabadikan saat-saat Adjani menyerah dan berhenti berlari. Maka, pada setiap headline koran-koran, majalah-majalah, siaran radio, talk show, siaran berita televisi, semua memuat, menceritakan dan membahas Adjani.

Di dalam sebuah kamar apartemen ukuran studio, sebuah televisi berukuran 24 inci juga sedang menayangkan talk show tentang Adjani. Bintang tamunya seorang produser besar Hollywood sedang diwawancara, apakah ia tertarik membuat film tentang Adjani. Tetapi, di dalam ruangan itu tidak ada penonton. Pesawat televisi yang panas, kursi ruang tamu dari rotan yang berdebu, asbak keramik berisi putung-putung rokok yang tidak pernah dibersihkan, pendingin ruangan yang tidak dinyalakan, onggokan baju-baju kotor yang berbau tidak sedap di dalam laundry room sebelah ruang tamu, menjadi bukti bahwa si pemilik apartemen mungil itu sudah lama tidak pernah keluar kamar.

Sudah hampir sebulan Asmoro mengunci diri di dalam kamar dan putus hubungan dengan dunia luar maupun berita-berita lokal dan mancanegara. Asmoro hanya mau menulis. Sudah lama Asmoro tidak dapat menulis. Tetapi, sebulan menyepi tidak juga membuat Asmoro dapat menulis. Di tengah-tengah rasa putus asa, Asmoro mendengar jendela kamarnya diketuk dari luar. Awalnya ia tidak mempedulikan. Tetapi, ketukan itu tidak juga berhenti, walaupun terkesan tidak memaksa. Ketukan itu begitu halus dan begitu menggoda. Hati Asmoro yang tergoda akhirnya memutuskan untuk melirik ke jendela. Tetapi, tidak ada apa-apa di sana, sementara ketukan itu terus membahana. Barulah Asmoro sadar, ia berada di lantai ketujuh. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetuk jendelanya? Asmoro berjalan mendekati jendela lalu membukanya. Saat itu angin dingin sepoi menampar mukanya. Tangan-tangan angin dengan lembut menarik wajah Asmoro dan mendekatkan bibirnya di dekat telinga Asmoro. "Adjani bersimbah peluh," bisik angin, lalu pergi meninggalkan Asmoro sendiri di kamarnya.

Mendadak perut Asmoro keroncongan. Sudah tidak pernah ia bernafsu makan, padahal sudah sebulan ia hanya minum air mineral dan penganan ringan. Asmoro ingin segera memesan makanan dari brosur-brosur yang ditaruhnya di bawah meja ruang tamu. Pada saat itulah ia melihat pesawat televisi yang masih menayangkan talk show. Di sela-sela talk show itu terkadang ditampilkan insert gambar Adjani yang berlari. Adjani yang bersimbah peluh.

ADJANI bersimbah peluh. Lalu ada dua Adjani bersimbah peluh. Lalu empat Adjani bersimbah peluh. Lalu delapan Adjani bersimbah peluh. Penggandaan Adjani bersimbah peluh terus tumbuh hingga kepala Asmoro sudah tidak lagi punya ruang bagi hal lain, kecuali Adjani bersimbah peluh. Peluh yang membungkus tubuh Adjani bersinar keemasan tertimpa matahari. Dari sinar keemasan itu beterbangan ratusan kupu-kupu, kumbang, dan burung-burung gereja. Sinar keemasan itu menyerbak wangi bunga. Kadang mawar. Kadang melati. Kadang sedap malam. Kadang lili. Dari sinar keemasan itu juga keluar nada lagu. Irama musik sendu mendayu-dayu. Menyerang segenap jiwa Asmoro. Menyekap pikirannya untuk hanya terpaku pada Adjani yang bersimbah peluh.

Duduk di bawah temaram lampu sorot di atas meja, Asmoro menumpahkan segenap pikirannya itu ke dalam tulisannya. Adjani yang berlari dengan kupu-kupu. Adjani yang menyeka peluh di hidungnya dengan handuk. Derap kaki Adjani yang teratur. Mata Adjani yang menyipit ketika sinar matahari menyeruak dari sela-sela dedaunan pohon gundul. Naik-turun dada Adjani mengatur napas. Tangan Adjani yang mengepal ke depan dan bergerak kiri-kanan. Dan setiap kali Asmoro mengetik huruf per huruf demi melukiskan Adjani, ia mendengar suara musik nan indah menerpa telinganya. Ia mencium semerbak bunga yang mewangi dari tubuh Adjani. Asmoro mabuk kepayang. Ia tidak dapat berhenti menulis. Dan semakin ia menulis, gambaran Adjani bersimbah peluh makin lama makin mendekat ke dirinya.

Asmoro dapat mendengar sayup-sayup derap kaki Adjani dari kejauhan, lalu makin lama semakin jelas tertangkap pendengaran. Dan bau wangi yang samar-samar, lama kelamaan makin tajam. Suara lembut denting piano tunggal, berubah menjadi kesatuan orkestra besar. Asmoro menunggu Adjani.

Adjani bersimbah peluh, terus berlari di bawah samudera. Di kiri kanan dan depan Adjani air laut menjulang tinggi sementara di belakangnya air laut runtuh kembali. Oleh sebab itu tidak ada lagi yang mengikuti di belakang Adjani kecuali helikopter yang terbang rendah di atasnya. Air laut yang menjulang tinggi itu bagai akuarium bawah laut raksasa. Ada gurita, paus, ikan pari, dan berbagai jenis hewan laut menontonnya. Kadang-kadang kaki telanjang Adjani menginjak bangkai ikan juga bangkai bekas kapal karam. Peluh yang membungkus tubuh Adjani kini berwarna jingga kemerah-merahan tertimpa matahari senja. Dari sinar kemerahan itu, burung-burung senja berkepakan terbang dan sebagian yang tertinggal di belakang mau tidak mau tertelan air laut yang siap luruh bagai pohon tumbang. Walaupun matahari tidak lagi bersinar dengan garang, tubuh Adjani masih bersimbah peluh. Asin keringatnya bertambah ketika bercampur dengan percikan air laut.

Ketika Adjani hampir sampai di bibir pantai, angkasa sudah menyulap senja menjadi malam. Bulan bersinar temaram. Bintang-bintang bercengkerama dan ada dua bintang yang asyik bercanda sambil berdorong-dorongan, hingga bintang yang satunya jatuh dari cakrawala.

"Bintang jatuh," bisik Adjani dalam hati sambil terus berlari. Adjani tahu, seharusnya ia memohon satu permintaan yang konon akan terkabul jika melihat bintang jatuh. Tapi Adjani tidak punya keinginan apa-apa selain berlari tanpa henti. Dan ia pun sangat tahu, ia tidak akan berhenti. Tidak akan ada yang dapat menghentikannya berlari.

Pada saat itu juga melintas angin yang sama dengan angin yang baru saja mengetuk jendela apartemen Asmoro. Angin itu membuka hidung Adjani dan mengantarkan aroma segar tubuh laki-laki. Dan Adjani terkaget ketika menjilat peluhnya sendiri. Peluh itu tidak hanya asin, tetapi juga ada sedikit rasa manis madu menggoda lidahnya. Bintang yang jatuh hampir saja tenggelam hilang dari penglihatan Adjani ketika Adjani memohon, "Antarkan saya kepada aroma segar ini. Antarkan saya kepada rasa manis di lidah ini."

ASMORO, waktu kita hampir habis.

Adjani bersimbah peluh. Sudah hampir dua ratus halaman yang diketik Asmoro demi menggambarkan pujaan hatinya Adjani yang berlari dan bersimbah peluh. Sementara derap kaki Adjani makin jelas. Dengus napasnya semakin dekat. Suara orkestra semakin keras. Dan wangi bunga memenuhi seluruh ruangan apartemen Asmoro.

Tapi Asmoro tidak bisa berhenti menulis. Bahkan ia tidak dapat memperlambat laju tangannya sendiri. Asmoro tahu, sebentar lagi tulisannya selesai. Asmoro tahu sebentar lagi ia akan bertemu Adjani sekaligus berpisah dengan Adjani.

Adjani bersimbah peluh. Ia berlari menyusuri jalan raya yang padat. Lautan manusia berdiri di sisi kiri dan kanannya. Jalanan macet total. Lampu-lampu lalu lintas tidak bekerja. Indeks harga saham berhenti karena tidak ada transaksi. Semua orang keluar dari rumah, gedung perkantoran, restoran, hanya untuk menyaksikan Adjani. Aktivitas di kota itu lumpuh.

Seorang reporter meliput, "Sudah ada tanda-tanda kelelahan pada Adjani, tetapi Adjani terus berlari tanpa mau menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Adjani hanya bergumam... Asmara... Asmara... mungkinkah Adjani sedang jatuh cinta?"

Dari liputan itu, stasiun-stasiun televisi lain segera menayangkan gambar-gambar Adjani yang pernah disiarkan. Semua yang berbicara dengan Adjani diperhatikan secara saksama, dengan harapan mereka dapat menjawab teka-teki asmara Adjani. Ada juga yang mendramatisir adegan wawancara Adjani dengan seorang wartawan muda dan langsung dihubungkan dengan pertalian asmara. Semua orang dari seluruh pelosok dunia tinggal di rumah atau menghentikan kegiatan hanya untuk mengikuti kisah asmara Adjani. Segala asumsi pun merebak. Kapan mereka berciuman? Pastilah pacar Adjani pelari, jadi mereka bisa berciuman sambil berlari. Atau orang kaya, sehingga bisa menyewa helikopter supaya setiap saat bisa berdekatan dengan Adjani. Atau jangan-jangan orang kaya itu, salah satu pemilik stasiun televisi? Hanya ada satu perdebatan, satu suara, satu tema di seluruh dunia, yaitu Adjani.

Di kota itu, satu-satunya orang yang bertahan dalam gedung ketika semua orang turun ke jalanan untuk menyaksikan Adjani lewat adalah Asmoro. Tangan kirinya memegang kencang tangan kanannya, tetapi tangan kanannya melawan dan terus mengetik. Lantas tangan kanannya berubah menghentikan tangan kiri, dan tangan kirinya yang ganti melawan balik dan terus mengetik. Asmoro tidak dapat berhenti. Sama seperti Adjani yang tidak bisa berhenti. Keletihan di muka Adjani yang tertangkap mata-mata penontonnya, tidak lain adalah keletihan yang diakibatkan karena Adjani berusaha keras menghentikan kaki-kakinya seperti Asmoro yang sedang berusaha menghentikan kedua tangannya. Ada pergulatan aneh yang merasuki mereka berdua. Keinginan yang meledak-ledak untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagai satu mata koin dengan sisi yang berbeda. Betapapun besar usaha mereka untuk memperpanjang kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi.

Adjani bersimbah peluh. Peluhnya menetes di atas marmer dingin lobi apartemen dan menguap ke atas kamar Asmoro.

ASMORO, waktu kita hampir habis.

Asmoro bersimbah peluh. Dihirupnya dalam-dalam aroma peluh Adjani ketika tangannya berhenti pada titik terakhir tulisannya.

Adjani bersimbah peluh. Jatuh tersungkur di depan pintu Asmoro. Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Semua orang yang mengikuti di belakang Adjani terdiam. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Tidak ada yang berani meliput. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka hanya dapat iba menatap tubuh Adjani yang tergeletak di atas karpet, hingga akhirnya menjelma menjadi seekor kupu-kupu.

Asmoro membuka pintu kamar apartemennya. Langkah Asmoro mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya, Adjani bersimbah peluh. Dan abadi di atas tumpukan kertasnya, yang mengumandangkan kepak sayap kupu-kupu....


Jakarta, 21 April 2002, 14:47:47

Untuk sebulan bersama Asmorodadi

Di Meja Perjamuan

Di Meja Perjamuan

Cerpen Evi Idawati



Seakan embun yang menggumpal dari pekat kabut dan udara yang menempel di daun pagi ini, kekasihku. Tetesan yang jatuh perlahan dari ujung ke rimbun, seperti detak jantungku. Sunyi menggelepar di meja perjamuanku.

Menarik tanganku untuk menyentuhnya. Aku tak ingin membedahnya atau menari bersamanya. Sendok dan garpu di meja perjamuanku hanya menjadi patung abadi dari kegelisahan. Sepi yang menggantung di dinding telah jatuh. Dengan segenap hatiku, aku menangkapnya. Mendekap dan menyetubuhinya.

Aku tak bisa beranjak dari kursi di meja perjamuanku. Hidangan yang terhampar seperti lukisan mati. Hitam dan putih. Goresannya tegas dan kuat. Tanganku tak mampu melenturkannya atau menggantinya dengan beragam warna. Lalu suara sayup dari jauh menusuk. Nyeri yang terkirim lewat udara dan mengantarkannya untukku, memperlambat detakan jantungku. Aku semakin terpaku.

Suara ketukan mengejutkan, ibarat gong pertama diawal pertunjukan. Aku hanya mampu mengerdipkan mataku. Menajamkan pendengaranku. Aku hendak bangkit, membuka pintu. Tapi ketukan itu beku. Mendinginkan waktu. Aku menggigil sambil mencengkeram kuat telapak meja. Tak kuat menahan lama jari-jariku melepaskannya. Karena tak ada tenaga.


Kembali aku menatap sunyi yang menggelepar di meja perjamuan. Meski lapar seleraku hilang. Hanya inilah yang terhidang. Kumpulan dari segala nyeri dan duka. Bumbu dari kepedihan dan nestapa. Tak kuasa aku menelannya. Tapi aku tak akan bisa menguatkan kaki untuk beranjak, berdiri, apalagi berlari jika sampai sumsumnya aku tak memakannya. Aku hendak muntah, karena menahan diri untuk diam dan berpuasa. Tapi sudah berbulan-bulan waktu berjalan, jika aku diam, kematian yang akan datang. sekarang aku tak punya tenaga untuk menggerakkan tangan apalagi berkata. Aku meletakkan telapak tanganku dimeja. Menggesernya perlahan, mengambil pisau disisi kanan. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku mengangkat pisau dan menggerakkannya. Aku menyentuh jari sunyi dengan tangan kiri. Menariknya mendekat. Lalu memotongnya.

Kemudian aku diam. Aku berharap sunyi merintih didepanku dan menghiba padaku untuk tetap membiarkannya berdiam dan mukim dimeja perjamuanku. Tapi sunyipun mati. Dia tidak merintih apalagi menghiba. Dia memandangku dengan matanya yang dingin. Seakan mengejek dan mengatakan, aku hanya perempuan pengecut yang tidak berani melahapnya meski sekian lama dia menggoda. Ibarat khuldi, dia pernah menarikku untuk memetiknya. Seakan malam, aku ingin mencicipinya. Tapi genderang yang terdengar setelahnya menampar dan menampar. Sekarang aku hanya memotong jarinya, membakar dan memakannya. Rasanya angus karena gosong. Api yang aku nyalakan terlalu besar untuk mematangkan secuil jari sunyi. Tapi aku toh tetap memakannya. Untuk bertahan. Tak ingin terpaku terus menerus dikursi dengan sunyi yang menggelepar dimeja perjamuan. Aku ingin memusnahkannya. Hanya ada satu cara. Aku harus memakannya.

Tapi sunyi yang menggelepar di meja perjamuan ini kekasihku, bangunan dari pedih dan dukaku. Kamu tahu, jari-jarinya aku tabung dari tetesan airmata. Tubuhnya aku bentuk dari kesendirianku ditengah malam. Dari redaman bisikan gairah dan rindu yang tak padam. Sementara wajahnya, aku ambilkan dari bintang-bintang yang terhampar. Aku memetiknya dari langit malam. Jika langit membelah dan mengirimkan jembatan. Aku menujunya membawa keranjang cinta dan meletakkan bintang di dalamnya. Bagaimana aku hendak memakannya.

Namun jarinya sudah terpotong. Dengan angusnya masuk ke tubuhku mengisi perutku. Barangkali sekarang sudah menyatu dengan darahku. Aku tak boleh berhenti untuk terus memakan dan memusnahkannya. Tapi aku tak tega. Terkadang aku merasa hidupku selesai hanya dengan memandangnya. Ada saatnya dia begitu berkilau dan mempesona. Itulah yang membuatku terpaku. Bertahun-tahun lamanya. Asyik duduk menghadap meja perjamuan dengan sunyi yang terhampar. Hari berjalan, waktu yang mengendap lambat tak membuatku sadar. Semua sudah berubah tapi aku masih lena dengan langit dan bintang. Dengan pikatan sunyi yang memabukkan.

Sementara aku semakin tidak berdaya dan tidak punya tenaga. Sudah begitu lama malam menggauliku dan aku tidak bisa beranjak darinya. Untuk menggerakkan jari tangan saja. Aku harus meyakinkan diri berjam-jam bahwa aku sanggup melakukannya. Terkadang ingin kuhabiskan waktuku hanya dengan memandang sunyi. Biarkanlah aku mati jika takdirku hanya memakuku di kursi ini. dan suara-suara dari jauh yang kadang dikirimkan membuatku bangun dan tersadar. Bukan dengan cara seperti ini aku memujamu, kekasihku.

Maka aku kuatkan hati untuk melahap sunyi. Menghabiskannya malam ini. aku akan menggunakan segala cara untuk memusnahkannya. Aku tikam jantungnya. Mencacah dan mencincang tubuhnya. Membakar dan memasaknya. Aku mengambil pisau yang terbuat dari ragam kenangan pahit dari silamku.

Dengan kaki gemetar aku berusaha berdiri. Menggeser kursi ke belakang. Aku lihat sekali lagi sunyi. Aku menutup mata dan berbalik melangkahkan kaki. Menjauhi meja perjamuan. Langkah kakiku yang lambat seakan batu yang memberat. Aku ambruk ditanah. Sambil duduk aku mencoba meraih pisau yang jatuh. Seperti menyayat kulit dari dagingku dalam kebisuan aku mengasah pisau. Menajamkannya.

Agar bisa kubunuh sunyi dan memusnahkannya dari meja perjamuanku. Setiap kali kugesek pisau, terasa nyeri di seluruh badanku. Sakitnya melenting, melompat-lompat, berpindah-pindah merajai seluruh tubuhku. Setiap kali kugesek, darah mengalir dan mengucur dari lukaku. Luka lama yang sepanjang usia mengigilkan aku. Ingin aku berhenti, tapi tak kuasa kukendalikan jari. Lirih suara mengaduh dari bibir yang gemetar. Aku mabuk dalam nyeri.

Sedang pagi sudah lewat hari dan aku masih mengasah sunyi. Tekad hati untuk beranjak telah berhenti. Tak ada kehendak apa-apa kecuali menjatuhkan airmata. Aku menyayat diriku sendiri. Pedihnya menjadi kebisuan abadi. Aku tak ingin berdiri dan membunuh sunyi. Biarlah aku memandang dan menikmatinya. Bumi memangkuku menjadi tempat membuang segala lara. Aku memaku mataku dengan gerakan tangan yang gemetar, aku meraba ujung pisau dan menyentuhnya. Tajam. aku menempelkan ujungnya di dadaku. Menggores kulit dadaku. Lalu turun ke bawah hingga ke ulu hatiku. Aku menghentikan ujung pisau disitu. Hanya perlu satu hentakan untuk menuntaskan semuanya. Jika aku membunuh sunyi maka sama saja aku memusnahkan diriku sendiri. Sekaranglah saatnya.

Meski, embun yang menggumpal dari pekat kabut dan udara yang menempel didaun pagi ini, kekasihku. Luruh oleh kepedihanku. Aku tak akan mengakhiri dan membunuh sunyi. Biarlah dia terhidang senantiasa dimeja perjamuanku. Dan aku hanya memandangnya. Sesekali menikmatinya sambil mendendangkan lara.

Aku kembali pada kursiku dan aku tetap akan memujamu. Dengan segenap jiwa yang kadang rapuh, sambil menyebut namamu, aku akan menghidupkan sunyi, untuk bangun dan menciptakan tarian dari keselarasan. Aku dan dia telah menyatu. Menari meniti mimpi.

Dan siapapun tak bisa mengganggu. Kecuali dirimu.***


* Jogja 2008