Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Friday 12 November 2010

Laporan Komnas HAM Tentang Kasus Tanjung Priok

Laporan Komnas HAM Tentang Kasus Tanjung Priok


I. PENGANTAR

Laporan ini disusun untuk memenuhi permintaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia kepada Komnas HAM melalui surat Nomor : R-29/E/7/2000 tanggal 11 Juli 2000 untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T mengenai hal-hal sebagai berikut:

-Pemastian jumlah korban (24 orang) dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan dan pemeriksaan dokumen di RSPAD Gatot Subroto

-Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 orang (keluarga Tan Keu Lim ) oleh massa.

-Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi.

-Perumusan ulang rekomendasi.

Untuk itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rapat paripurna tanggal 12 Juli 2000 telah memutuskan untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T yang dilaksanakan dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor : 012/KOMNAS HAM/VII/2000 tanggal 12 Juli 2000 dengan masa tugas selama 3 (tiga) bulan dari tanggal 12 Juli 2000 sampai dengan 12 Oktober 2000.


II. LATAR BELAKANG dan PERISTIWA

Kejadian berawal dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian di bon dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.

Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh, Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, di dalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa’adah yang ditahan.

Setelah mengetahui keempat orang tersebut belum dibebaskan pada pukul 23.00, 12 september 1984, Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja.

Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.

1. KORBAN KE RUMAH SAKIT

Dari tempat kejadian, korban diangkut ke RSPAD Gatot Subroto dengan menggunakan truk yang sebelumnya digunakan untuk membawa pasukan. Beberapa korban yang sementara dirawat di Rumah Sakit Koja dan Rumah Sakit Suka Mulia kemudian dievakuasi ke RSPAD Gatot Subroto, sesuai dengan perintah dari Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya yang datang ke tempat kejadian bersama Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib.

Dari BAP petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan sebagai berikut:
-Jumlah korban luka yang dirawat adalah 36 orang semuanya dapat disembuhkan. Jumlah korban luka yang diberi pengobatan tetapi tidak dirawat adalah 19 orang.

-Jumlah korban meninggal adalah 23 orang terdiri dari 9 orang dapat dikenali identitasnya dan 14 orang tidak diketahui identitasnya yang dapat dikategorikan sebagai orang hilang.

-Identitas dari 9 jenasah tersebut adalah Amir Biki, Zainal Amran, Kasmoro bin Ji’an, M. Romli, Andi Samsu, Tukimin, Kastori, M. Sidik, Kembar Abdul Kohar.

- Pada tanggal 13 September 1984 dini hari Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib dan Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk melihat keadaan korban. Try Soetrisno memerintahkan untuk menguburkan para korban.

2. DARI RSPAD GATOT SOEBROTO KE PEMAKAMAN DAN PENAHANAN

Seluruh korban luka yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto setelah sembuh langsung ditahan di Kodim Jakarta Pusat, Laksusda V Jaya, Pomdam V Jaya dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Selama dalam penahanan, para korban mengalami penyiksaan.

Salah satu korban tewas yakni Amir Biki diambil oleh keluarga pada dini hari tanggal 13 September 1984 yang selanjutnya dimakamkan di halaman Masjid Al A’raaf, Sukapura, Jakarta Utara. Sementara itu, ke-22 korban lainnya dimakamkan pada malam hari, tanggal 13 September 1984 di Mengkok, Pondok Ranggon dan Condet. Satu korban lainnya bernama Mardani diketemukan oleh massa kemudian diserahkan kepada keluarganya dan dikuburkan di pemakaman Dobo, Jakarta Utara.





III. BUKTI BARU BERKAITAN DENGAN KORBAN MENINGGAL DALAM PERISTIWA TANJUNG PRIOK

1. PROSES DAN HASIL PENGGALIAN

Penggalian pada TPU Mengkok Sukapura langsung dilakukan pada makam-makam yang sudah teridentifikasi melalui nama yang tertera di batu nisan dan keterangan keluarga korban. Makam Kembar Abdul Kohar akhirnya ditemukan, namun makam Kastori dan M. Sidik tidak ditemukan.

Di Pemakaman Wakaf Kramat Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, terdapat 8 makam yang masing-masing berisi satu kerangka, berbeda dengan keterangan awal dari Rohisdam dan Try Soetrisno bahwa yang dikuburkan adalah tujuh orang korban.

Penggalian di TPU Gedong, Condet, Jakarta Timur tidak dapat dilaksanakan, karena tidak ada bukti dan saksi pendukung yang dapat menunjukkan titik letak kuburan dengan pasti.

2. TEMUAN FORENSIK MENGENAI TANDA KEKERASAN DAN SEBAB KEMATIAN

Penilaian keadaan tulang belulang, termasuk penilaian garis-patah lama dan baru, serta pengujian laboratorium atas bercak pewarnaan kehitaman pada tulang-tulang tersebut telah dapat mengidentifikasi cedera tulang yang diakibatkan oleh kekerasan yang terjadi perimortal. Pada jenis patah tulang yang spesifik dan didukung oleh hasil pemeriksaan kandungan elemen-elemen yang berasal dari senjata api pada garis patah tulang atau kerokan tulang pada daerah cedera tersebut, telah dapat mengindikasikan adanya cedera tulang yang diakibatkan oleh senjata api.

Setidaknya 6 korban (4 dari Mengkok dan 2 dari Kramat Ganceng) dapat dipastikan telah memperoleh kekerasan dalam bentuk tembakan senjata api, dengan ciri yang sesuai dengan tembakan senjata api berkecepatan tinggi. Selain itu, terdapat 3 kasus yang mengalami kekerasan, namun jenis kekerasannya tidak dapat dipastikan apakah akibat kekerasan tumpul yang hebat ataukah tembakan senjata api dengan kecepatan tinggi. Terdapat pula 5 kerangka yang memiliki jejas bukan patah tulang yang diduga akibat kekerasan, sehingga tidak ada satu kerangka pun yang tidak menunjukkan kemungkinan adanya kekerasan.

Pemeriksaan dan analisis yang teliti dapat disimpulkan bahwa empat kerangka dipastikan mati akibat tembakan senjata api, tiga kerangka mati akibat kekerasan tumpul atau tembakan senjata api, satu kerangka mati akibat kekerasan tumpul, dan enam lainnya tidak dapat dipastikan penyebab kematiannya.

c. KESAKSIAN KELUARGA KORBAN TAN KEU LIM

Delapan orang keluarga Tan Keu Lim beserta satu orang pembantunya tewas terbakar di rumah. Mengenai hal tersebut telah diperoleh kesaksian dan bukti-bukti baru berupa satu buah Kartu Keluarga milik keluarga Tan Keu Lim (terlampir) serta kesaksian ketua RT 001/007 Kelurahan Koja Selatan Jakarta Utara dan kesaksian dari keluarga Tan Keu Lim yang masih hidup.

d. PEMERIKSAAN DOKUMEN RSPAD GATOT SUBROTO

Rekaman medik korban Tanjung Priok dinyatakan telah dimusnahkan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto karena telah memenuhi batas waktu lima tahun. Namun berita acara pemusnahan dokumen dimaksud tidak dapat diberikan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto dengan alasan tidak dapat ditemukan lagi.

IV. PELAKU DAN PENANGGUNG JAWAB

Regu yang melakukan penembakan dipimpin oleh Serda Sutrisno Mascung. Regu ini adalah bagian dari peleton yang dipimpin oleh Kapten Sriyanto dan berada di bawah perintah Dandim Jakarta Utara. Sedangkan Dandim tersebut berada dibawah perintah Pangdam V Jaya, yang selanjutnya berada dibawah perintah Panglima ABRI.

Mengacu kepada prinsip-prinsip command responbility, maka ada dua aspek tindakan yang diabaikan aparat militer sebagai pelaku dan penanggung jawab peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, yakni aspek secara langsung melakukan tindakan yang tidak mematuhi prosedur baku sebagaimana peristiwa yang terjadi di lapangan dan tidak diambilnya tindakan-tindakan yang dapat mencegah terjadinya peristiwa tersebut, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan jabatan yang diembannya sebagai komandan sesuai dengan jenjang komando.

Aspek yang pertama itu menyangkut antara lain sikap dan tindakan dengan menghilangkan barang bukti, melakukan penyiksaan-penyiksaan, serta sejumlah tindakan teror serta intimidasi terhadap para korbannya. Sedangkan aspek yang kedua antara lain menyangkut kelalaian aparat yang tidak dapat mengendalikan pasukannya.

V. KATEGORI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI

1. Pembunuhan secara kilat (summary killing)

Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.


2. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)

Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.

3. Penyiksaan (Torture)

Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.

4. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)

Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

VI. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan :

1. Tentang jumlah korban

Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto dan usaha mencari saksi-saksi tambahan.

Dari hasil penggalian di TPU Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan jumlah korban yang telah dikuburkan di halaman Masjid Al A’raaf, bekas makam Dobo, TPU Mengkok, Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dan TPU Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya, walaupun ada selisih jumlah korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon.

Jumlah yang pasti dari korban tak dapat diberikan kualifikasi final, karena RSPAD Gatot Subroto akhirnya mengakui bahwa dokumen Berita Acara Pemusnahan Dokumen korban peristiwa Tanjung Priok tidak ditemukan. Sedangkan informasi lain tentang adanya korban jiwa selain 24 orang tidak dapat diklarifikasi karena tidak ditemukan bukti dan saksi tambahan.

Korban terbakar

Keluarga Tan Keu Lim (9 orang) di Apotik Tanjung yang sekaligus merupakan tempat tinggal korban meninggal karena tidak dapat menyelamatkan diri dari kebakaran Apotik Tanjung. Kebakaran ini diduga keras dilakukan oleh rombongan massa yang bergerak ke arah Polsek Koja.


2. Tentang nama para pelaku dan penanggungjawab yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pelaku atas seluruh pelanggaran tersebut diatas bisa dilihat dalam tiga kategori.

Pertama adalah pelaku di lapangan yang menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga jatuh korban meninggal dan luka-luka. Mereka yang melakukan penyiksaan kepada korban yang masih hidup.

Kedua adalah penanggung jawab komando operasional yaitu komandan yang membawahi teritorial di tingkat Kodim dan Polres tidak mampu mengantisipasi keadaan dan mengendalikan pasukan sehingga terjadi tindakan summary killing, tindakan penyiksaan dan terlibat aktif dalam penghilangan barang bukti dan identitas korban serta membiarkan terjadinya penyiksaan-penyiksaan dalam tahanan, dan memerintahkan penguburan tanpa prosedur resmi.

Ketiga adalah para pemegang komando yang tidak mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia dan atau memerintahkan secara langsung satu tindakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut

Dengan tiga kategori pelaku dan atau penanggungjawab di atas maka dalam pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok ini diduga terlibat terutama tapi tidak terbatas pada nama-nama dibawah ini:

Dari Satuan Arhanud Tanjung Priok :
Serda Sutrisno Mascung
Pratu Yajit
Prada Siswoyo
Prada Asrori
Prada Kartijo
Prada Zulfata
Prada Muhson
Prada Abdul Halim
Prada Sofyan Hadi
Prada Parnu
Prada Winarko
Prada Idrus
Prada Sumitro
Prada Prayogi

Dari Jajaran Kodim Jakarta Utara :
Letkol. RA. Butar-Butar, Dandim Jakarta Utara
Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara

Dari Jajaran Kodam V Jaya :
Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya
Kol. CPM Pranowo, Kapomdam V Jaya
Kapten Auha Kusin, BA, Rohisdam V Jaya
Kapten Mattaoni, BA, Rohisdam V Jaya

Dari Jajaran Mabes TNI AD :
Brigjen TNI Dr. Soemardi, Kepala RSPAD Gatot Soebroto
Mayor TNI Darminto, Bagpam RSPAD GATOT SOEBROTO

Dari Mabes ABRI :
Jenderal TNI L. Benny Moerdani, Panglima ABRI / Pangkopkamtib


Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia atas keluarga Tan Keu
Lim walaupun belum didapatkan bukti pendukung untuk menyebut siapa nama mereka.

Tentang rekomendasi
a. Para Pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat harus dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.

b. Untuk mewujudkan tanggungjawab negara khususnya pemerintah terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia, maka :

Pemerintah meminta maaf terhadap korban/keluarga korban dan masyarakat luas atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok.

Merehabilitasi nama baik para korban

Memberikan kompensasi yang layak kepada korban/keluarga korban

Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai orang hilang. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan korban dan mengembalikannya kepada keluarga yang bersangkutan.

Untuk mencegah keterulangan (non-recurence) pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam Peristiwa Tanjung Priok di masa depan maka berbagai kebijakan dan tindakan harus diambil untuk :

Meningkatkan profesionalisme anggota TNI dari jajaran pimpinan sampai anggota dengan pangkat terendah, melalui pendidikan dan latihan termasuk bidang hak asasi manusia.

Meningkatkan pengawasan yang intensip terhadap pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap pelaksanaan tugas TNI yang menjunjung tinggi penghormatan hak asasi manusia.

Dengan sungguh-sungguh melakukan penertiban atas kewajiban-kewajiban pejabat publik atas dokumen dan arsip yang menyangkut kepentingan publik.

Mengajak masyarakat meninggalkan praktek-praktek penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi politik.

Menata kembali wacana kehidupan keagamaan, sehingga ajaran agama benar-benar membawa rahmat bagi seluruh alam, dan terjaminnya rasa aman dan bebas bagi seluruh umat beragama melaksanakan ibadahnya.

Jakarta, 11 Oktober 2000

TIM TINDAK LANJUT HASIL KOMISI PENYELIDIK DAN PEMERIKSAAN
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TANJUNG PRIOK

DRS. KOESPARMONO IRSAN, SH, MM, MBA
Ketua

S A M S U D I N
Anggota

DR. SAAFROEDIN BAHAR
Anggota

Sumber: Komnas HAM



Source:
http://74.125.155.132/search?q=cache%3AKjsqOhNSO4cJ%3Awww.kontras.org%2Ftpriok%2Fdata%2FKomnas%2520HAM%2520tentang%2520Kasus%2520Tanjung%2520Priok.doc+tanjung+priok+ham&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=au

Saatnya Komnas HAM selidiki ’petrus’

Saatnya Komnas HAM selidiki ’petrus’



SEBAGAI seseorang yang pernah menjadi target kebijakan penembakan misterius (’’petrus”) pada 1980-an, Bathi Mulyono (60) mengaku masih sangat terluka bila mengingat masamasa kelam tersebut.

’’Bayangkan, bahkan ada orang yang ditembak pada Hari Raya Idul Fitri. Padahal, Lebaran seharusnya adalah saat-saat seseorang berkumpul dengan anggota keluarganya yang lain,” kata Bathi.

Lelaki asal Jawa Tengah itu mengaku mengetahui dirinya menjadi target setelah rumahnya dan rumah orang tuanya pernah digerebek oleh sejumlah petugas pada 1983. Saat itu ia menjabat sebagai ketua perhimpunan eks narapidana Fajar Menyingsing wilayah Jawa Tengah dan DIY.

Setelah sadar dijadikan target, ia mengaku sempat melarikan diri hingga ke sejumlah negara luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Bahkan, Bathi juga tidak sempat melihat perkembangan anaknya yang dilahirkan bersamaan dengan saat lelaki yang akrab dipanggil BM itu melarikan diri dari kejaran para pelaku ’’petrus”.

Namun, Bathi dan anaknya yang kini berusia 25 tahun, Lita, telah bertemu kembali. Lita kini menjadi seorang biduan yang telah merilis album berjudul ’’Tirai Kelahiran 1983”, yang lagu-lagunya banyak mengupas kekelaman masa lalunya terutama yang terkait dengan ’’petrus”.

Peluncuran album itu dilakukan di Kantor Komnas HAM pada 15 Juli 2008, yang dihadiri oleh sejumlah aktivis seperti Ketua Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid dan istri dari pejuang HAM Munir, Suciwati.

Peluncuran album tersebut memiliki momen yang pas karena pada saat ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memulai penyelidikan terhadap kasus ’’petrus”, yang dimulai sejak Juli 2008.

Ketua Tim Adhoc Peristiwa ’’Petrus” 1981-1983, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, pada zaman Orba, ’’petrus” merupakan sebuah jalan pintas yang digunakan pemerintah untuk mengurangi angka kejahatan.

Caranya, lanjut Yosep, dengan mengeksekusi mati sejumlah orang dengan cara menembak mereka yang dituduh sebagai preman dan membiarkan mayatnya tergeletak di jalanan. Kebanyakan dari mereka umumnya dijumpai masyarakat dalam keadaan mengenaskan.

Selain ’’petrus”, ujar Yosep, terdapat pula istilah lainnya yang dikaitkan dengan peristiwa tersebut antara lain ’’matius’ (mayat misterius) dan ’’hilarius” (orang hilang misterius).

Ia juga memaparkan, sebagian korban sebelum ditembak mengalami penyiksaan yang sangat berat, seperti ada korban yang ditemukan dengan dua tembakan di kepala dan kepalanya patah menghadap belakang serta di lehernya terdapat bekas jeratan tali.

Kasus penembakan misterius ini mendapat perhatian dari sejumlah organisasi internasional, termasuk dari Menteri Luar Negeri Belanda Hans van Broek yang pada 4 Januari 1984 melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Diperkirakan jumlah korban ’’petrus” memperkirakan mencapai angka ribuan.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, penyelidikan terhadap kasus ’’petrus” yang terjadi di Tanah Air pada 1980-an juga bermanfaat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia yang skeptis terhadap hukum dan sistem peradilan. Guna mengembalikan kepercayaan kepada hukum, perlu menyelidiki kembali apa yang terjadi dengan operasi ’petrus’ tersebut.

Menurut dia, penyelidikan kasus tersebut oleh Komnas HAM bukanlah dalam rangka membalas dendam, tetapi untuk mengungkapkan akar kesalahannya agar tidak terulang kembali di masa mendatang. Ifdhal menuturkan, kini sudah saatnya bagi seluruh anggota masyarakat untuk tidak menyetujui operasi-operasi pembersihan preman semacam ’’petrus”.

Ia menyesalkan masih terdapat sejumlah anggota masyarakat yang masih main hakim sendiri dan melontarkan kata-kata seperti ’’bunuh saja, tidak usah ke pengadilan” bila mereka menemui penjahat yang tertangkap basah.

Untuk itu, ujar Ifdhal, langkah serius yang harus dilakukan agar operasi semacam ’’petrus” tidak muncul lagi di tengah masyarakat adalah dengan menguatkan sistem hukum pidana di Indonesia.

Masih rahasia
Mengenai tindakan penyelidikan yang akan dilakukan, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Hesti Armiwulan mengatakan, pihaknya masih merahasiakan berbagai rincian prioritas menyangkut hal tersebut.

Namun, ujar dia, secara garis besar penyelidikan akan dilakukan antara lain dengan meminta keterangan para saksi atau memanggil sejumlah orang yang berkaitan dengan kasus ’’petrus”.

Ia menuturkan, Komnas HAM kemungkinan besar juga akan memanggil sejumlah pejabat yang terindikasi memiliki kaitan dengan kasus ’’petrus” yang telah menyebabkan banyak orang tewas ditembak pada paruh awal dari dekade 1980-an itu. Bisa juga pihaknya mencari bukti dengan mengotopsi kembali jenazah para korban.

Selain itu, Komnas HAM juga akan melakukan dialog intensif dengan Kejaksaan Agung agar kedua instansi tersebut dapat menemukan kebenaran dalam peristiwa ’’petrus” pada zaman Orba.

Hesti menuturkan, dialog intensif ini harus dilaksanakan agar dua institusi tersebut dapat lebih mengungkapkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Selain dengan Kejagung, ujar dia, pihak lainnya yang kemungkinan akan diajak berdialog terkait dengan kasus ’’petrus”, antara lain DPR .

Mengenai masih banyaknya hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang belum memuaskan bagi sebagian anggota masyarakat, menurut dia, Komnas HAM tidak akan mundur karena telah berkomitmen untuk mengungkapkan berbagai tindak pelanggaran HAM. ’’Komnas HAM telah mendapatkan mandat dari undang-undang dan komitmen dari negara yang harus dihormati,” kata Hesti.

Menanggapi langkah dari Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ’’petrus”, Bathi mendesak Komnas HAM agar benar-benar menunjukkan kegigihannya dalam mengusut tuntas kasus tersebut. ’’Sekarang saya ingin melihat seberapa jauh Komnas HAM punya kesungguhan dan kegigihan dalam mengungkap kasus ’petrus’,” kata Bathi.

Hesti mengatakan, pihaknya tidak berniat sedikitpun untuk menjadikan hasil penyelidikan dari Tim Adhoc Peristiwa ’’Petrus” 1981-1983 hanya semata-mata menjadi semacam kajian. ’’Kami bertekad untuk mengungkapkan kebenaran dari peristiwa tersebut,” katanya. ant-hf

Source:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24610&Itemid=62

Petrus, sisi kelam pemerintahan Soeharto (1)

Petrus, sisi kelam pemerintahan Soeharto (1)
Mayat sengaja dibuang di tempat

PAGI itu, di pinggir Jalan Jenderal Sudirman Semarang seputar kawasan perumahan Cakrawala Semarang, tak jauh dari pompa bensin (kini sudah gulung tikar, red), ramai orang berkerumun. Mereka mengelilingi sebuah karung goni tergeletak di antara lalat-lalat hijau. Bagian atas karung tidak terikat, dan menyembul wajah pucat menyeringai. Sesosok mayat pria muda telanjang dada dan penuh tato terlihat. Orang-orang bergunjing. Ini adalah mayat kali kesekian yang ditemukan tergeletak di tepi jalan.

Beberapa hari kemudian, di kawasan Jalan Hasanudin juga didapati mayat dengan kondisi serupa. Tetapi tidak terbungkus. Tergeletak begitu saja, di bawah tiang listrik. Wajahnya juga menyeringai seperti menahan takut dan sakit yang amat sangat. Mereka menamakan pria-pria malang itu sebagai korban petrus (penembak misterius).

Hampir tiap pagi orang menjumpai mayat seperti itu. Hampir seluruh korban adalah pria bertato, dan belakangan diketahui mereka adalah yang dikenal sebagai bromocorah, gali, preman, dan segolongan mereka. Para korban sebagian besar tewas karena ditembak, tetapi sebagian yang lain mati tercekik, atau terjerat lehernya. Bahkan cerita dari mulut ke mulut lebih sadis dari itu. Para korban ada yang disergap di tengah jalan. Tapi tak jarang mereka dieksekusi di depan anak-istri mereka. Jika ditangkap di depan khalayak, mereka dibawa ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian ia disuruh berlari, dan ... dorr!

’Pesan’
Banyak mayat para korban seakan-akan sengaja diletakkan di tempat ramai, seolah menjadi ”pesan” kepada para preman dan penjahat untuk tidak macam-macam lagi.

Tak ayal kondisi ini membuat kelompok hitam, atau bahkan siapa saja yang di tubuhnya terdapat tato amat cemas, menunggu ”Kapan giliran saya?”. Beberapa di antara mereka berusaha menghilang sejauh mungkin, atau melenyapkan tato di tubuhnya.

”Pada suatu tengah malam, ketika kami sedang ngobrol, datang sebuah mobil. Lalu dari dalam mobil itu berhamburan 4-5 orang. Kami kalang kabut menyelamatkan diri berlarian ke sawah. Besoknya saya dapat kabar Mas Ripto ditemukan tewas. Di lehernya seperti ada bekas jeratan.” Begitulah tutur seorang warga Tawangsari.

Ripto pada masanya dikenal sebagai pimpinan sebuah geng. Dia amat disegani, bahkan ditakuti bersama (waktu itu) kelompok Kisromi dari kawasan Krobokan. Reputasi di dunia hitam menempatkannya pada target Petrus. Kabar tewas

nya Ripto membuat rekan-rekannya terpencarpencar menyelamatkan diri. Begitu juga dengan mereka yang merasa memiliki catatan di dunia hitam. Misalnya Wagiman seorang tukang copet terminal.

"Wah, saya betul-betul takut. Waktu Petrus mulai dulu, saya baru saja berumur 18 tahun. Saya sudah dua tahun "kerja" waktu itu. Karena kata orang yang dicari-cari itu yang bertato, tato di tangan dan di punggung saya, saya setrika. Karena masih khawatir juga, saya lari ke Riau dan sembunyi di kampung- kampung di sana selama empat tahun. Baru sesudah agak aman saya kembali lagi ke sini, dan mulai lagi ‘kerja". Habis bagaimana lagi! Saya perlu makan. Jadi, terpaksa yaa kerja copet ini saja. Saya biasa beroperasi di terminal dan dalam bus rute Semarang - Yogyakarta. Masak orang kayak saya ini yang ditembak. Kalau mau ditembak, ya ..., koruptor-koruptor itulah!" Trauma Berapa sebenarnya angka korban petrus? Sulit mencari data resmi karena ini operasi tertutup.

Beberapa orang menyebut, Petrus yang berlangsung tahun 1983-1985 memakan korban 5.000 orang. Namun ada pula yang menyebut angka 10.000 orang.

Petrus tak hanya menjadi horor bagi mereka yang masuk daftar golongan hitam. Keluarga mereka pun tak urung dilanda ketakutan dan trauma sepanjang hidup mereka. Ini juga yang diakui oleh Lita BM. Wanita asal Semarang putri dari Bathi Mulyono.

Bathi adalah pimpinan para mantan narapidana yang tergabung dalam organisasi Fajar Menyingsing. Dia lolos dari incaran Petrus, dan sempat menghilang beberapa tahun. Hilangnya Bathi ini menyisakan pengalaman traumatik bagi Lita.

"Aku salah satu korban operasi Petrus itu. Ayahku hilang dalam tragedi berdarah yang sampai sekarang tak pernah terungkap itu," kata Lita.

Untuk mengungkapkan perasaan gundahnya, Lita yang juga penyanyi ini kemudian merilis sebuah album berjudul Tirai Kelahiran "83.

Lita mengaku tidak ingin mencari keadilan dengan meluncurkan album ini, namun ia berharap sebagai aktualisasi diri saja. Kalaulah ada nilainya, sekadar sebagai pengingat agar tidak terjadi lagi peristiwa pembunuhan massal seperti itu lagi.

"Harapanku, apa yang terjadi padaku tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja, sangat menyakitkan. Aku hanya bisa sampaikan lewat lagu apa yang aku rasakan sejak kecil," tutur Lita yang sempat ditempa olah vokal oleh Uci dari Elfa"s, kepribadian dengan aktor Didi Petet, dan Shahnaz Haque.

Jika biasanya launching dan promo dilakukan di sebuah kafe atau restauran, Lita melantunkan lagu-lagunya dengan karaoke di sebuah demonstrasi massa. Di depan Istana Merdeka lagi. Hal itu berlangsung Kamis (24/1) siang lalu, di tengah-tengah demonstrasi para korban kemanusiaan kejahatan rezim Orde Baru, yang dikoordinasi Kontras. Demo itu antara lain menyuarakan kasus Semanggi, pembunuhan Munir, Penembakan Misterius (Petrus), peristiwa Tanjung Priok dll, bersamasama mahasiswa dan LSM. Ema/Abs-Ct



Source:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=17516&Itemid=28

Petrus, sisi kelam pemerintah Soeharto (2-Habis)

Petrus, sisi kelam pemerintah Soeharto (2-Habis)

Habisi penjahat dekil hingga mesin politik



BENARKAH Soeharto dalang di balik Petrus? Dalam dokumen yang dimiliki Kon¬¬tras, Petrus berawal dari operasi pe¬nang¬gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng¬har¬gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber¬ha¬silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap¬an Rapim ABRI (sekarang TNI), Soehar¬to meminta polisi dan ABRI mengambil lang¬kah pemberantasan yang efektif me¬ne¬kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pang¬¬¬kopkamtib Laksamana Soedomo da¬lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja¬ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja¬ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma¬sing-masing kota dan provinsi lainnya.

Operasi Clurit yang notabene sama de¬ngan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.

Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an¬¬taranya 15 orang tewas ditembak. Ta¬hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an¬taranya tewas ditembak. Para korban Pe¬trus sendiri saat ditemukan masyarakat da¬lam kondisi tangan dan lehernya te¬ri¬kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la¬ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa¬ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke¬amanan.

Mesin politik
Menarik menyimak ucapan yang di¬lon¬tarkan Bathi Mulyono yang akrab di¬sapa BM. Mantan pimpinan Fajar Me¬nying¬sing, organisasi eks bromocorah yang eksis di Jawa Tengah sebelum tragedi penembakan misterius (Petrus) 1983. Me¬nurut BM yang pernah terlibat dalam ber¬bagai operasi politik, Petrus bukan ha¬nya ditujukan bagi penjahat kerah dekil se¬mata, tapi juga menghabisi mesin politik partai yang berkuasa waktu itu setelah se¬lesai dimanfaatkan. Istilahnya habis ma¬nis sepah dibuang!

Soal penanganan terhadap penjahat, BM yang selama 1,5 tahun sembunyi di hu¬tan Gunung Lawu sepakat dengan per¬nyataan mantan Wapres Adam Malik, ja¬ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma¬ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su¬dah terpenuhi. Adam Malik mengingat¬kan, setiap usaha yang bertentangan de¬ngan hukum akan membawa negara ini pa¬da kehancuran. (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)

Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe¬megang kekuasaan. Petrus pertama kali
dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Hasbi menyebutkan, landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat. (Kompas, 15 April 1983). Pengakuan operasi ini juga dikemukakan Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu di Semarang menegaskan, aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap. (Kompas, 23 Juni 1983).
Jika di Yogyakarta dan Jateng ada "pengakuan " operasi pemberantasan kejahatan, tapi di daerah lain tidak diakui. Contohnya, Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko selesai pertemuan mengatakan di wilayah hukum Laksusda Jaya tidak ada penembakan misterius. "Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri," ujarnya. (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).
Sementara itu Amir Machmud, Ketua MPR/DPR selesai konsultasi dengan Presiden Soeharto di Binagraha, secara pribadi menyatakan setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan. (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).
"Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan, " kata Kepala BAKIN Yoga Sugama selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Diungkapkan adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan iniitu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. "Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan," tambahnya. (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).
Lain lagi pendapat Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) Ali Murtopo, yang mengatakan penembakan misterius yang terjadi selama ini "dapat" dipertanggungjawabkan dan itu justru menurut ketentuanketentuan yang berlaku di dalam pelaksanaan tugas Hankam. "Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat," kata Ali Murtopo bersama pimpinan DPA M Panggabean, Wakil Ketua HJ Naro dan Sapardjo setelah konsultasi dengan Presiden Soeharto di Bina Graha (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).
Tentu saja ada pandangan yang tidak setuju operasi semacam Petrus. Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (FKP: fraksinya Golkar, red) Oka Mahendra SH menanggapi soal masalah "gali" mengatakan, sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. "Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya, " kata anggota dewan yang membawahi masalah Depdagri (Kompas, 16 April 1983).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH menyatakan, jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. "Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah," tegas Buyung. (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).
"Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan," kata Ketua Yayasan LBH (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).
Jika sekarang muncul tuntutan pertanggungjawaban atas tragedi Petrus, siapa yang harus bertanggung jawab? "Jadi menurut saya, tidak ada prajurit yang salah. Semua tanggung jawab di pundak pimpinan. Siapa? Soeharto! Itu sesuai pengakuannya dalam buku biografi berjudul Soeharto, Pikiran dan Tindakan Saya hasil wawancara Ramadhan KH dan G Dwipayana, tegas Bathi Mulyono yang tak ada tato satu pun di tubuhnya. Ema/Abs-sn






Source:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=17594&Itemid=28

Ranggawarsita Ternyata Masih Keturunan Demak?? Hahahaha..!!

Ranggawarsita Ternyata Masih Keturunan Demak?? Hahahaha..!!



Raden Ngabehi Rangga Warsita (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – wafat di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.

Nama aslinya adalah Bagus Burham. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu dari Yasadipura II, pujangga besar Kasunanan Surakarta.

Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burham juga memiliki seorang pengasuh setia bernama Ki Tanujoyo.

Sewaktu muda Burham terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di Desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.

Ketika pulang ke Surakarta, Burham diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.

Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karir Burham tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.

Pada tanggal 9 November 1821 Burham menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burham berkelana sampai ke pulau Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.

Bagus Burham diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian kakeknya (Yasadipura II), Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga keraton Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.

Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.

Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.

Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.

Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.

Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak keraton Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.

Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.

Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.

Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,
Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
Sapta dharma
Serat Aji Pamasa
Serat Candrarini
Serat Cemporet
Serat Jaka Lodang
Serat Jayengbaya
Serat Kalatidha
Serat Panitisastra
Serat Pandji Jayeng Tilam
Serat Paramasastra
Serat Paramayoga
Serat Pawarsakan
Serat Pustaka Raja
Suluk Saloka Jiwa
Serat Wedaraga
Serat Witaradya
Sri Kresna Barata
Wirid Hidayat Jati
Wirid Ma'lumat Jati
Serat Sabda Jati

Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.

Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.

Ranggawarsita pantas mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun perjuangannya tidak menggunakan pedang atau senapan, melainkan menggunakan tinta yang sanggup membangkitkan semangat kaum pribumi dan meresahkan pemerintah Hindia Belanda




Hatiku selembar daun...

Gajah Mada

Gajah Mada



Gajah Mada adalah salah satu tokoh besar pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai kitab dari zaman Jawa Kuno, ia menjabat sebagai Patih (Menteri Besar), kemudian Mahapatih (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Ia terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang menyatakan bahwa ia tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Di Indonesia pada masa kini, ia dianggap sebagai salah satu pahlawan penting dan merupakan simbol nasionalisme.

Menurut Pararaton, Gajah Mada memulai karirnya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada tahun 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit.

Pada waktu pengangkatannya, ia mengucapkan Sumpah Palapa, yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut:

Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museum Trowulan.“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”

Arti:
Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada, "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.

Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (di Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Beberapa spekulasi tentang asal Gajah Mada adalah sebagai berikut:

Jawa
Ada yang berpendapat bahwa ia berasal dari daerah Modo (Lamongan), karena di daerah ini banyak ditemukan prasasti-prasasti yang diduga kuat peninggalan Majapahit, termasuk adanya beberapa makam kuno prajurit dan makam kuno yang diduga masyarakat setempat sebagai makam ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andong Sari. Selain itu daerah ini teratur rapi, sehingga seperti suatu bekas tanah perdikan.

Sumatra
Pendapat lain meyakini bahwa Gajah Mada berasal dari Sumatra, karena menurut pakar sejarah Dr. Imran, di dalam Bahasa Jawa tidak dikenal istilah Gajah Mada. Kata Gajah dan Mada berasal dari Bahasa Melayu (Minang).Kata Mada artinya berhati keras tidak mau surut sebelum cita-citanya tercapai. Itu tercermin dari sifat Gajah Mada yang dicerminkan pada Sumpah Palapanya.

Dompu, Nusa Tenggara Barat
Masyarakat Bima khususnya Dompu percaya kalau Gajah Mada berasal dari daerah ini, mengingat kemiripan dengan tokoh legenda masyarakat Dompu yaitu "ombu Mada Roo Fiko". Ombu artinya Tuan, Mada artinya saya, Roo artinya telinga dann Fiko artinya lebar. Jadi ditafsirkan sebagi Tuan Mada bertelinga lebar (seperti gajah). Di daerah ini juga terdapat kuburan kuno yang diyakini sebagai makam Gajah Mada.

Kalimantan Barat
Ada pula yang meyakini Gajah Mada itu merupakan orang Dayak, Kalimantan Barat, yaitu dari sebuah kampung di Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagian masyarakat Dayak mempercayai hal ini berkaitan dengan kisah masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio. Tokoh Gajah Mada di Dayak Krio dikenal dengan nama Jaga Mada, namun masyarakat Dayak lainnya menyebutnya Gajah Mada. Ia dianggap merupakan salah satu Demung Adat yang diutus kerajaan Kutai untuk menjajah Nusantara termasuk Jawa.




Hatiku selembar daun...

Thursday 11 November 2010

Kisah Sang Bumiputra di Belanda

Kisah Sang Bumiputra di Belanda*

Judul Buku : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : xl + 194

Abad 19 merupakan gerbang terbukanya jalur pendidikan penduduk pribumi, untuk belajar di Eropa. Dengan segenap intelektualitas dan bakat seninya, Raden Saleh memperoleh beasiswa menghirup nafas pendidikan di Eropa. Awal mula tersebarnya gagasan kemerdekaan dan usaha menentang kolonialisme dengan cerdik.

Raden Saleh, sebagai salah satu pelukis besar yang dimiliki bangsa ini, lahir untuk mencetak sejarah. Sebagai putra dari salah seorang pegawai dan penerjemah untuk Belanda, Raden Saleh memulai liku-liku pengembaraanya sebagai pelukis dengan nuansa tragedi dan ironi.

Buku “Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme” yang ditulis bersama oleh Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham berusaha menjelaskan posisi Raden Saleh dalam ruang intelektualitas dan kesenian secara jernih. Buku ini mengupayakan telaah atas kerja keras, ironi, tragedi dan espektasi yang melingkupi kehidupan pelukis besar negeri ini. Raden Saleh tak hanya menacapkan tonggak pelukis masyhur, namun mengupayakan sebaran ide, kampanye kemerdekaan dan pemihakan kepada kaumnya dengan alur strategi kesenian yang cantik.

Ruang gerak kehidupan Raden Saleh memang penuh dengan politik etis kolonialisme. Harus diakui, Raden Saleh merupakan salah satu putra pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern di Eropa. Raden Saleh menginjakkan kakinya untuk menghirup udara pendidikan eropa pada 1829, sebelum Sosrokartono (1896) dan Abdul Rivai (1899) melakukan lawatan yang sama.

Bakat besar yang dimiliki Raden Saleh mengundang simpati dari berbagai pembesar dan bangsawan masa itu. Politik diplomasi dan strategi kesenian yang dilakukan Raden Saleh berhasil menghantarkan dirinya untuk berselancar menikmati dan mempelajari perkembangan seni lukis di daratan Eropa.

Alur Sejarah

Raden Saleh hidup dengan bentang benang sejarang yang kusut. Harsja W. Bachtiar menuliskan dengan jernih, sejarah kehidupan dan perkembangan mental Raden Saleh. Sejarah kelahiran Raden Saleh, masih membuka perdebatan sengit. Pasalnya, tahun 1814, sebagai titi mangsa kelahirannya, diperdebatkan banyak sejarawan. Raden saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, pada 1814, tanggal ini milik Raden Saleh sendiri. Ayahnya bernama Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang asisten residen Terboyo.

Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.

Bakat alam Raden Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.

Selepas Paijen kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan oleh Komisaris Jendral du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting seninya di Eropa.

Di Eropa, Raden Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan eropa. Raden Saleh juga menjalin hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan Paris.

Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden pulang ke tanah air, setelah melakukan lawatan panjang ke eropa. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.

Jejak Nasionalisme

Kisah kehidupan Raden Saleh dibingkai dengan pikiran orientalisme, ketegangan kolonialisme, dan beban mental inlander yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah. Namun, Raden Saleh dapat melampui penjara mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan eropa dengan lukisan artistik dan menyentuh. Sikap kosmopolitan yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa.

Nilai artistik, pola kebangsawanan dan agenda diplomasi kesenian yang dilakukan Raden Saleh tak lantas menjadikannya melupakan teriakan warga pribumi pada zamannya. Raden Saleh berjasa besar dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis.

Keprihatinan pada nasib pribumi, menemukan puncak ketika merasakan kegetiran perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa. Selepas melakukan perlawanan pada 1925-1930, Pangeran diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Pada 8 Februari 1885,Pangeran Dipanegara wafat pada masa pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan. Raden Saleh memanfaatkan momentum ini sebagai inspirasi lahirnya karya, yang disebutnya “a historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”. Karya ini merupakan hasil kerja dan komitmen kebangsaan yang menyatu dengan nafas kehidupan Raden Saleh.

Di lukisan itu, Raden Saleh menggambarkan ketegangan proses penangkapan Pangeran Dipanegara, yang berawal dari akal bulus Jendral De Kock. Pangeran Dipanegara ditangkap di Magelang, usai menyelesaikan ritual puasa, pada tahun 1930. Impresi dan ketajaman emosional yang tergambar pada lukisan ini, menyatakan simpati Raden Saleh pada perjuangan Dipanegara. Jiwa nasionalisme Raden Saleh tak meletup dengan gerakan angkat senjata, perlawanan radikal, maupun strategi perang. Raden Saleh bergulat dengan kanon lukisan “mooi indie” yang menjadi tren seni lukis masa kolonial. Nuansa romantis, fragmen keindahan alam, dan eksotisme negara jajahan, menjadi bagian lukisan bergenre moii indie, sebagai apresiasi rindu pejabat hindia belanda, ketika pulang ke negeri Holland. Namun, Raden Saleh tak sekedar menggurat romantisme, pemihakan pada kisah perjuangan kaum pribumi menempatkan sikap beliau pada ruang terhormat. Walaupun telah meninggal pada Jum’at, 23 April 1980, jam 13.oo WIB, di kota Bogor (Buitenzorg), namun nama Raden Saleh mengabadi sampai masa kini. Nama pelukis besar ini, diabadikan di sebuah oase kebudayaan di Semarang; Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).

Nasionalisme versi Raden Saleh bukanlah menyiapkan energi peperangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Justru, pilihan untuk mengabadikan momen perjuangan kaum pribumi dalam sebuah lukisan eksotik. Buku ini, merekam sosok dan perjuangan Raden Saleh dengan ironi, tragedi dan espektasi.

*Munawir Aziz, peneliti dan penikmat buku
Sumber:http://oase.kompas.com/read/2010/05/11/0256110/Kisah.Sang.Bumiputra.di.Belanda..

Apakah Marhaenisme itu?

Apakah Marhaenisme itu?

Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.

Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.

Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.

Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.

Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.

Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.

Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!

Lain kali kita kupas lebih jauh faham Marhaenisme ini; dan kita akan bandingkan juga Marhaenisme dengan Radikalisme.

Oleh: Ir. Soekarno
Sumber: Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 2—3.

Yang Tercatat dan Yang Terlupakan tentang Nagari

Yang Tercatat dan Yang Terlupakan tentang Nagari


Suryadi

Dosen & peneliti di Leiden Univeristy, Belanda






Saya tidak tahu dari bahasa apa persisnya kata pinjaman nagorij dalam bahasa Belanda. Itulah salah sartu dari ratusan kata pinjaman dalam bahasa Belanda yang diambil dari bahasa-bahasa Nusantara. Bukan tidak mungkin kata itu berasal dari kata nagari dalam bahasa Minangkabau yang secara konseptual memang unik dan jarang didapat padanannya dalam konsep geopolitik tradisional di daerah-daerah lain di Indonesia.



Mungkin oleh sebab itu seorang L.C. Westenenk (1872-1930) tertarik kepada konsep geopolitik tradisional Minangkabau yang disebut nagari itu. Walau Asisten Resident Agam itu identik dengan penumpasan Pemberontakan Pajak di Kamang tahun 1908 – dalam Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki namanya disebut ‘Tuan Siteneng’ – tapi ia berjasa menulis sebuah buku tentang nagari, dan itulah satu-satu referensi tertulis yang terlengkap mengenai sistem ‘republik-republik kecil’ Minangkabau yang khas itu.



Buku yang saya maksud adalah karya Westenenk, De Minangkabausche Nagari (Padang: Bäumer & Co., 1913), sebuah referensi ilmiah klasik tentang nagari Minangkabau yang sampai sekarang sulit dicari bandingannya. Agaknya buku itu perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, walau mungkin terasa sangat terlambat. Karya Westenenk itu menjadi rujukan penting banyak penelitian antropologis mengenai Minangkabau pada masa-masa sesudahnya.



Nagari di Minangkabau seringkali hanya tercatat dalam tradisi lisan kita. Perubahan budaya Minangkabau dan dunia, mungkin akan mengaburkan pemahaman kita tentangnya, jika kita tidak berusaha menuliskannya untuk generasi Minang masa kini dan mendatang. Mungkin orang Minangkabau begitu hapal dengan ungkapan adat: “Nagari baampek suku; babalai bamusajik; balabuah batapian”. Tapi lebih dari itu kita tak banyak tahu tentang nagari-nagari yang eksis dalam masyarakat matrilineal terbesar di dunia ini. Kita jarang mendapatkan catatan tertulis yang lengkap mengenai perjalanan sejarah sebuah nagari. Aspek-aspek yang mana dari nagari yang masih bertahan dan yang mana yang sudah berubah? Konsep ideal nagari hanya ada dalam tradisi lisan Minangkabau, sedangkan dalam realitas sistem geopolitik tradisional Minangkabau itu terus berubah. Sayangnya kita lupa bahwa tradisi lisan itu, jika tidak dibukukan, bisa hilang dalam perjalanan waktu.



Penelitian-penelitian tentang nagari di Minangkabau memang sudah pernah dilakukan, tapi belum mencapai seluruh nagari. Penelitian yang mendalam mengenai satu nagari saja juga masih jarang dilakukan orang. Padahal penelitian seperti ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek mengenai suatu nagari, mengingat bahwa sebuah nagari unik dan berbeda dengan nagari lainnya karena faktor “adat salingka nagari”. Salah satu dari sedikit contoh dari penelitian yang memfokuskan perhatian pada nagari tertentu dilakukan oleh Harsja W. Bachtiar di tahun 1980-an tentang Nagari Taram. Yang saya maksud adalah artikelnya, “Nagari Taram: A Minangkabau village community”, dimuat dalam: Koentjaraningrat (ed.), Villages in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967: 348-385). Contoh penelitian yang mendalam seperti yang dilakukan Harsja ini, yang terfokus pada satu nagari saja, perlu dilanjutkan dengan mengambil objek nagari-nagari lainnya di Minangkabau.



Sekitar tahun 1979 dilakukan pula penulisan monograf banyak nagari. Tapi monograf-monograf itu hanya penuh dengan catatan tentang luas sawah, panjang jalan, banyak rumah dan jumlah ternak di suatu nagari. Di awal tahun 1980-an pernah pula terbit suatu majalah yang berjudul Nagari, tapi majalah itu hanya bertahan terbit sekitar tiga tahun saja.



Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa penelitian yang mendalam tentang nagari di Minangkabau oleh peneliti Indonesia sendiri, khususnya para ilmuwan Minangkabau, belum mendalam dan belum banyak dilakukan. Anehnya, beberapa orang peneliti asing, seperti Westenenk, justru menunjukkan ketertarikan mereka kepada konsep nagari di Minangkabau dan bagaimana konsep itu mempengaruhi pranata kehidupan orang Minangkabau sendiri.



Mungkin sudah saatnya membuat deskripsi yang komprehensif tentang setiap nagari di Minangkabau. Baru-baru ini saya berbincang-bincang dengan Hasril Chaniago di Padang yang sangat berminat menulis ensiklopedi nagari-nagari di Minangkabau. Saya kira usul itu perlu didukung, khususnya oleh Pemerintah Daerah Propinsi Sumatra Barat. Ensiklopedi itu disusun berdasarkan pemikiran bahwa setiap nagari punya keunikan. Satu per satu nagari di Minangkabau akan dideskripsikan. Dalam ensiklopedi itu akan dicatat berbagai unsur yang ada dalam sebuah nagari: unsur geografis, demokrafis, seni budaya, kuliner, peninggalan sejarah dan lain sebagainya. Juga akan dicatat siapa saja tokoh regional, nasional atau internasional yang menonjol di suatu nagari.



Saya kira perlu diperbanyak media yang mengekspos nagari dengan segala keunikan sekaligus perubahannya. Penerbitan media cetak seperti tabloid Nagari ini patut kira sambut gembira karena kehadirannya jelas akan memberi semangat tertentu pada gerakan kembali ke nagari yang telah dicanangkan oleh Pemda Sumatra Barat. Dalam media seperti ini seyogianya disediakan rubrik khusus dimana siapa saja yang berminat dapat menulis berbagai aspek mengenai nagari-nagari di Minangkabau, dari segi geografis, kebudayaan, kesenian dan lain sebagainya. Diharapkan distribusi media seperti ini melebar sampai ke rantau, sehingga media seperti ini menjadi jembatan bagi perantau Minang dengan kampung halamannya, sekaligus untuk mengetahui fenomena yang terjadi di kampung halaman sendiri.



Melalui media seperti ini dapat pula dituangkan kembali catatan-catatan historis mengenai nagari tertentu yang mungkin bermanfaat bagi benerasi Minang masa kini untuk mengetahui sejarah kebudayaan negeri mereka. Misalnya, di Perpustakaan Universitas Leiden banyak tersimpan manuskrip schooschriften – meminjam istilah Ph S van Ronkel – mengenai unsur-unsur kebudayaan nagari-nagari tertentu yang dicatat di akhir abad ke19, misalnya naskah “Adat kawin di Pariaman” (Or.5828/VRSC 675), “Adat bertoenangan dan kawin di Matoea I & II (Or.6007a.b/VRSC 680), “Adat perempoean hamil didalam negeri Matoea” (Or.6006/VRSC 682), “Hal perempoean di Tandjoeng Ampaloe” (Or.5999/VRSC 687), “Pada menjatakan toroen mandi anak di Padang” (Or.6001/VRSC 685), “Pada menjatakan orang kawin di Padang” (Or.6004/VRSC 679), “Tjakap2-Rampai2 orang di negeri Manindjau”(Or.5905/VRSC 558), “Tjeritera anak-anak orang kampoeng di Kota Gedang” (Or.6049/VRSC 546), “Dari hal orang beranak di Kota Gedang” (Or.6005/VRSC 681), “Dari hal orang kawin di Kota Gedang” (Or.6002/VRSC 678) dan lain sebagainya. Naskah-naskah klasik itu perlu diperkenalkan kembali kepada generasi Minangkabau masa kini sehingga mereka memperoleh pengetahuan tentang unsur-unsur kebudayaan nagari-nagari di Minangkabau pada masa lampau.



Di zaman Belanda dulu beberapa nagari di Minangkabau malah memiliki media cetak sendiri, seperti Berito Koto Gadang: soerat chabar ini dikeloearkan bagi keperloean anak negeri Koto Gadang (1929), Soeara Matoer: orgaan oentoek kemadjoean negeri Matoeri dan daerahnja, (1927) atau yang berskala rantau seperti Saraso-samaloe : orgaan Sarikat Minangkabau-Pariaman dan Vereeniging Jong Pariaman-Padang Saraso-samalu (1923). Media-media tersebut menjadi sarana komunikasi anak nagari dan menjadi jembatan penghubung antara mereka yang berada di rantau dengan yang tinggal di kampung. Media-media baru seperti tabloid Nagari tentu dapat merevitalisasi peran itu dan bisa menjadi referensi tersendiri bagi orang-orang yang ingin mengetahui keunikan tiap-tiap nagari di Minangkabau. Ini mengingatkan saya pada kaset rekaman Rabab Pariaman, “Jalan Kuliliang Bilang Nagari”, yang didendangkan Amir Hosen, produksi Tanama Record. ***





Tabloid Nagari, edisi II, Tahun I, 24 Agustus - 06 September 2010, hlm. 3.

Wednesday 10 November 2010

RS Cikini Rumah Sang Maestro

RS Cikini Rumah Sang Maestro


Warta Kota, 27 Aug 2010


RUMAH SAKIT Cikini yang terletak di Jalan Raden Saleh. Cikini. Jakarta Pusat, bukan sekadar rumah sakit swasta pertama di Indonesia. Bangunan bak istana ttu Juga menyimpan sejarah seni yang penting. DI gedung itu pernah berdiam seorang maestro, pelukis

terkenal Indonesia yang bernama Raden Saleh. Namanya diabadikan menjadi nama Jalan di depan RS Cikini. Raden Saleh dilahirkan di Terboyo. Semarang. Jawa Tengah, tahun 1814. Pelukis Sang Raja" begitu gelar resmi yang diberikan Raja William Ifi kepadanya di tahun 1849. Dia bertahun-tahun bermukim dan menimba Ilmu seni lukis di Eropa.

Tahun 1951 dia menetap di Batavia bersama istrinya yang orang Belanda, Wlnkelman. yang kaya raya. Ia membangun rumah di Cikini yang saat Itu termasuk kawasan Weltevredcn, tempat orang berduit membangun rumah peristirahatan (Land Hulzen). Sementara Raden Saleh membangun rumah gaya neo gothlc Perancis. j Menurut Harsja W Bachtiar dalam artikel berjudul .Raden Saleh Bangsawan. Pelukis, dan Ilmuwan, dalam buku berjudul Raden Saleh Anak Belanda Mod Indie

Nasionalisme(2009). Istana Raden Saleh terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap dan galeri. Di bangunan utama terdapat aula yang dilengkapi dengan meja berukir dan kursi-kursi. Sedangkan di halaman depan istana itu terhampar rumput hijau dengan bunga berdaun merah. Harsja W Bachtiar yang sosiolog mengutip pernyataan seorang profesor dari Amerika Serikat Albert S Blchmore, yang pernah melancong ke Istana Raden Saleh, Tidak ada penguasa pribumi di seluruh Kepulauan Nusantara yang memiliki Istana sehebat Istana Raden Saleh".

Goresan kuas atau pensil gambarnya telah mengabadikan para pembesar istana dan pejabat pemerintah di Hindia Belanda. Raden Saleh pernah melukis Grand Duke Ernestl dari Saxe-Coburg-Gotha dan Victoria yang bergelar Duchess of Kent. Ia juga melukis wajah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud. Johannes van Den Bosch, dan Hendrik Merkus de Kock. Lukisannya yang sangat terkenal, yakni penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang. Lukisan itu dlpersembah-kannya untuk Raja William IU dari Belanda

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

J.H. Abendanon

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-

idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Abdul Ghafar Al Holandi alias Snouck Hurgronye
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.


Sumber: jonizar.wordpress.com

Thursday 4 November 2010

Jati Diri Polri Dimasalahkan

Jati Diri Polri Dimasalahkan


Dr. Bambang Widodo Umar

Staf Pengajar Program Pascasarjana KIK - UI



Latar Belakang
Kajian Daniel S. Lev tentang Politik Perkembangan Peradilan di Indonesia terutama yang mambahas “Polisi versus Jaksa” dalam bukunya Legal Evolution and Political Authority in Indonesia (2000 : 88–97) menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan di Indonesia telah terjadi persaingan antar lembaga penegak hukum untuk mendapatkan “otoritas dan prestise” yang lebih besar dalam perkembangan negara. Seperti ditunjukkan pada peristiwa tahun 1946, di mana Perdana Menteri pertama RI Sutan Syahrir mengalihkan kepolisian dari Kementerian Dalam Negeri ke Perdana Menteri, polisi menganggap hal itu sebagai pengakuan atas pentingnya lembaga kepolisian.
Kini setelah ± 61 tahun, momentum reformasi 1998 yang mampun memisahkan POLRI dari TNI berdasarkan TAP MPR Nomor : VI/MPR/2000, dan TAP MPR Nomor : VII/MPR/2000 tentang peranan TNI dan Polri, ada kecenderungan fenomena itu muncul kembali. Polri sudah merasa final dalam posisinya di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. Jika dulu pengalihan posisi polisi tidak disertai dengan revisi dua undang-undang pra-perang yang berlaku untuk organisasi dan kompetensi polisi, yaitu H.l.R dan undang-undang organisasi peradilan (rechterlijke organisatie), demikian pula saat pemisahan POLRI dari TNI tidak disertai revisi KUHAP sebagai landasan organisasi dan kompetensi Polri. Dari kedua peristiwa itu ada yang terlupakan dalam pengembangan, yaitu apa sesungguhnya jati diri Polri?
Oleh karena itu tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Polri merupakan endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang dikonfrontasikan dengan masyarakat masih aktual. Ditetapkan UU Nomor 2 Tahun 20002 tentang Kepolisian Negara R.I seharusnya membawa ke arah kelembagaan polisi menjadi semakin jelas, kuat dan legal. UU kepolisian yang lahir dalam suasana tuntutan masyarakat ke arah pemerintahan yang demokratis, sesungguhnya merupakan landasan konstitusional untuk mengubah jati diri Polri yang selama ini militeristik menjadi polisi sipil yang profesional dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance).
Keluarnya produk legislatif ini tentu bukanlah merupakan langkah yang final. Reformasi dalam bidang keamanan masih memerlukan beberapa produk legal lainnya. Sebab kemajuan legal yang telah dicapai belum menghasilkan institusi polisi yang benar-benar memenuhi kriteria polisi sipil yang demokratis dan profesional. Banyak kalangan berpendapat, pasal-pasal dalam produk legislatif itu belum benar-benar mencerminkan – untuk tidak dikatakan bertentangan – gagasan polisi sipil, demokratis dan professional.
Upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri untuk membenahi dan menciptakan jati diri Polri yang pasti dan konsisten nampaknya tidak lepas dari dinamika politik dan pergolakan sosial di negeri ini. Akhirnya, upaya itu sekedar menghasilkan “citra diri” (self-image) atas prestasi yang dicapai dalam mengungkapkan jaringan terorisme, membongkar pabrik ekstasi, menutup perjudian, memberantas illegal logging dan lain-lain, sedangkan upaya membangun jati diri polisi yang responsif, akuntabel dan profesional belum nampak hasilnya.

Aspek Sejarah Yang Membentuk Jati Diri Polri
Menurut literature kepolisian di Indonesia, polisi sebagai suatu lembaga telah mengakar di masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada di kerajaan Mojopahit guna memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan. Harsya W. Bachtiar (1994) dalam bukunya “Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu yang baru”, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata Bhayangkara berarti “yang menakutkan”. Pemakaian kata itu pada masa kerajaan Mojopahit tidak janggal, tetapi jika digunakan pada masa negara R.I yang sudah merdeka menjadi tidak relevan. Pengertian Bhayangkara lebih tepat untuk militer, karena tugasnya selain menjaga
keamanan wilayah kerajaan juga untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Di sisi lain, kajian tentang lembaga-lembaga sosial dalam lingkungan Adat di Nusantara yang identik dengan lembaga kepolisian seperti Jogoboyo di Jawa, Jayengsekar di Madura, Pecalang di Bali dan daerah-daerah lain sebagai acuan untuk membangun jati diri polisi dapat dikatakan tidak ada.
Pada tahun 1620 di kota Batavia, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mendirikan Bailluw (semacam Satpam) untuk melindungi orang-orang Belanda sekaligus perusahaan karena waktu itu sering terjadi perampokan, penyerangan, dan kerusuhan. 1 Kemudian ketika VOC diambilalih oleh pemerintah Inggris, Raffles menyempurnakan Bailluw dengan mengeluarkan Verordening over de administratie de Justitie bij de gewestelijke hoven op Java en de administratie der Politie, 11 Februari 1814 untuk mengatur organisasi, peran, dan tugas polisi, dengan rincian : (1) menjaga ketertiban umum; (2) mengawasi tindakan warga masyarakat yang menimbulkan kerugian; (3) menyidik semua tindak kejahatan yang ditujukan kepada negara maupun perorangan; (4) menjaga keamanan dan bila perlu dapat minta bantuan kepada militer (KNIL); (5) melaksanakan putusan pemidanaan; dan (6) mengawasi tahanan di penjara (Oudang, 1952).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia (1800 – 1942), Polisi Administratif merupakan bagian dari Departement Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Daniel S. Lev (2000 : 88) mengatakan bahwa, polisi dikelola sebagai bagian dari Kementerian Dalam Negeri dan membawahi pamong pradja. Kementerian ini menyelenggarakan urusan pegawai, pendidikan, latihan, perlengkapan, persenjataan, dan pengawasan korps, tetapi tidak berhak mencampuri pelaksanaan operasi kepolisian. Dalam tugas represif (police judiciare) polisi diperintah oleh Jaksa. Dalam hal ini ada pemisahan kekuasaan, pembinaan kepolisian oleh Departemen Dalam Negeri dan penggunaan kepolisian oleh Jaksa.
Keberadaan polisi adalah untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, karena itu pekerjaan polisi adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan baik dengan kekerasan atau cara apapun. Kepada rakyat diciptakan rasa takut, sehingga pemerintah Hindia Belanda tetap berkuasa. Dengan demikian wajar jika citra polisi menakutkan seperti istilah Bhayangkara pada era kerajaan Mojopahit (Effendi, 1995).
Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan pengorganisasian militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pekerjaan polisi identik dengan militer dan pelaksanaannya di masyarakat juga menggunakan pendekatan militer. Selama masa kepedudukan Jepang polisi dan jaksa mengalami sejumlah pergerakan antar kementrian, mereka kembali pada hubungan hukum pra-perang dalam peraturan hukum yang diterapkan oleh republik revolusioner.
Sejalan dengan kemerdekaan Negara R.I, Panitia Persiapan Kemerdekaan lndonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk badan Kepolisian yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri. Tanggal 2 September 1945 untuk pertama kalinya dibentuk ”Kabinet Presidensial” dalam pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Kemudian tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/SD, membentuk Jawatan Kepolisian yang bertanggungjawab kepada Perdana Menteri. Saat itu kabinet berubah menjadi Parlementer di mana Presiden tidak memegang kekuasaan eksekutif.
Ada suatu kejanggalan jika tanggal ”1 Juli” ditetapkan sebagai hari Bhayangkara, sebab organisasi kepolisian sudah dibentuk pada tanggal 19 Agusteus 1945. Alasan untuk itu menurut Awaloedin Djamin (1995) disebabkan oleh tugas polisi yang beraneka ragam di jaman Hindia Belanda perlu dijadikan satu wadah, yaitu Jawatan Kepolisian Negara. Selain itu 1 Juli juga merupakan lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia, di mana seluruh tugas kepolisian di tanah air berada dalam satu organisasi nasional dan bertanggungjawab kepada pimpinan pemerintahan yaitu Perdana Menteri.
Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 dengan sistem kabinet Presidensial. Kemudian dengan SK Presiden Nomor 154 Tahun 1959 dibentuk Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian. Kemidian pada tahun 1961 keluar UU Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961 yang memperkokoh Departemen Kepolisian dipimpin Menteri/Kepala Kepolisian Negara R.I dan bertanggungjawab kepada Presiden. Selain itu dalam UU tersebut ditegaskan bahwa Polri merupakan bagian dari ABRI dan hal ini berlangsung hingga tahun 1998.
Sebagai konsekuensi masuknya Polri menjadi bagian ABRI, terjadilah pengaburan secara pelan-pelan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat. Di sisi yang lain dalam rangka kaderisasi pimpinan Polri, pendidikan perwira polisi dilakukan melalui AKABRI yang menggunakan metode militer. Konsekuensinua Polri wajib menganut doktrin Dwi Fungsi. Dengan doktrin tersebut, politisasi terhadap Polri menimbulkan kesan yang mendalam di kalangan anggota bahwa tugas polisi adalah mempertahankan pemerintahan yang sah.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru tanggal 21 Mei 1998, kondisi Polri menunjukkan : (1) Pengorganisasian yang sentralistik dalam kerangka membangun kekuatan birokrasi yang dominan; (2) Rekrutmen personel polisi ditentukan oleh kemampuan pemerintah bukan atas kebutuhan masyarakat; (3) Pengembangan organisasi kurang berorientasi pada profesionalisme polisi; (4) Penganggaran sentralistik dengan sistem budget oriented; (5) Simbol-simbol militer melekat pada sikap perilaku keseharian polisi, sistem pendidikan, organisasi, manajemen, dan operasional Polri.
Dari uraian tentang perkembangan polisi pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang di Indonesia terdapat tiga ciri dari polisi di masyarakat. Pertama, secara struktural, polisi tersentralisir dan militeristirk. Polisi dipersenjatai dan dinilai sangat penting untuk mengendalikan masyarakat. Kedua, dalam fungsinya, polisi lebih banyak memberikan prioritas pada tugas-tugas menekan masyarakat. Misalnya, polisi digunakan untuk memberangus protes termasuk sengketa perburuhan. Ketiga, lejitimasi polisi diperoleh dari pemerintah kolonial, bukan dari penduduk yang dijajah. Tujuannya untuk mempertahankan status quo rejim pemerintahan kolonial.
Yang menarik dicermati dalam konteks setelah kemerdekaan negara R.I pada masa transisi dari polisi kolonial ke polisi nasional, perkembangan polisi lebih sebagai usaha untuk peningkatan status dibanding usaha perbaikan lembaga keadilan. Aspek kunci dari parameter jati diri polisi hingga reformasi 1998 belum menemukan standar yang fundamental. Daniel S. Lev (2000 : 97) menilai perkembangan polisi di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan politis. Mencermati hal itu penerapan nilai-nilai yang dianut polisi di Indonesia cenderung kontradiksi dengan tujuan organisasi yang dikatakan sebagai pengayom, pelindung dan pembimbing masyarakat.
Model-model Pembentukan Polisi
Ditinjau dari kelahirannya terdapat pembentukan polisi yang berasal dari masyarakat. Lembaga itu dibutuhkan karena social control dinilai tidak efektif mengatasi masalah ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Polisi sebagai lembaga sosial, seperti tithing man di Inggris, constable di Perancis, Shire reeve di Amerika Serikat lama-lama mewujud menjadi social control, dan kemudian negara memberikan wewenang untuk menegakkan hukum. Terdapat pula pembentukan polisi yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini kepolisian digunakan sebagai alat kekuasaan politik untuk menjaga kebijakannya, seperti yang pernah terjadi di Uni Sovyet, Cina, Cuba dan lain-lain.
Secara teoretik dapat dilakukan perbandingan sebagai upaya untuk melihat pembentukan polisi di beberapa negara. Perbandingan ini dapat diklasifikasikan dari perspektif liberal dan radikal, yang amat mempengaruhi bentuk organisasi, pendekatan, mekanisme kontrol, dan teknik ketahanan polisi. Tabel di bawah menunjukkan bahwa dua model yang amat kontradiktif antara perspektif liberal dengan radikal. Perspektif liberal mengarahkan polisi harus menjadi bagian dari public order dan fungsi pemolisian (policing) sebagai dasarnya. Artinya, komunitas polisi (community policing) menjadi bagian yang kuat dalam kelembagaan polisi. Karena itu masyarakat terlibat aktif dalam menciptakan kontrol terhadap polisi.
Perspektif ini menghendaki agar polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara dan pemerintah, tetapi lebih mengabdi sebagai pelindung masyarakat secara umum. Dalam perspektif ini masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap fungsi-fungsi pemolisian yang sebagian dijalankan oleh polisi.
Tabel
Police Politics Term Description Example
Perspectives
Liberal The Police are disinterested custodians of public order - policing is based on consent.
Radical The police are agents of the state and an instrument of coercion.
Organization
Bottom-Up Police forces originate from rudimentary local patterns of law enforcement. Characterised by decentralised control. Britain
USA
Top-Down The Police are under the direct control of central government. Characterised by national rather than local police forces. France
Approaches
Community Policy force is part of the community. The entire community is part of the law enforcement process. Japan
Reactive "Heavy-handed" policing. Crime is prevented by ensuring that everyone is aware of the power of the police. Authoritarian regimes
Control Mechanism
Internal The police is responsible for its own discipline, and investigates accusations wrong doing by officers. Most police forces
External Representatives of the local community for elected civilian politicians play a major role in policing the police. Sweden
Surveillance Techniques
Overt The police makes sure that people know that their actions are being closely watched Communist party states
Covert Secret surveillance of people who are deemed to be a danger to the state All countries
Sebaliknya, perspektif radikal merumuskan polisi sebagai alat negara (agen kekerasan). Dua perspektif tersebut merupakan prinsip awal dalam memposisikan politik dalam sistem kenegaraan yang dianut. Apabila kita konsisten bahwa sistem politik dan tata negara Indonesia pasca Soeharto adalah demokrasi, maka prinsip-prinsip yang ditekankan dalam pendekatan demokrasi harus menjadi landasan dalam melakukan penataan terhadap kepolisian ke depan.
Pada Tabel di atas juga terlihat dua bentuk model organisasi yaitu bottom up dan top down. Perancis misalnya, model organisasi polisinya adalah sentralistik dengan kontrol dari pemerintah pusat. Demikian juga Indonesia, sementara AS dan Britain memilih model bottom up sesuai dengan bentuk negara yang mereka gunakan (federasi). Ini menunjukkan ada kekhasan organisasi polisi sesuai dengan karakter lokal (daerah), sehingga ada desentralisasi organisasi.
Timbulnya dua tipe pemolisian adalah berasal dari perkembangan historis yang berbeda antara polisi di Inggris dan Eropa Kontinental (Belanda, Perancis, Jerman, Yunani). Tipe Eropa Kontinental berasal dari pemisahan fungsi perlindungan terhadap ketertiban umum dengan penegakan hukum. Perkembangan model ini menunjukkan bahwa fungsi kepolisian merupakan fungsi negara yang melekat dalam sejarah negara feodal (kerajaan). Sementara itu tipe anglo-saxon berasal dari sejarah polisi di Inggris. Institusi kepolisian di Inggris dimulai dari Franklepledge System, yang menempatkan fungsi kepolisian pada masing-masing individu warga masyarakat. Lembaga kepolisian tipe Anglo-Saxon itu tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat, bukan dari kekuasaan negara (sebagai alat kekuasaan negara).
Titik ekstrim dari tipe pemolisian kontinental adalah sebuah polisi yang otoriter, di mana polisi memiliki wewenang luas untuk mengatur sejumlah besar aspek kehidupan masyarakat, termasuk masalah moral, pemikiran politik, bahkan penyimpangan samar dari segi hukum. Sementara itu titik ekstrim pemolisian tipe anglo-saxon adalah pemolisian yang terfragmentasi. Pada tipe ini struktur polisi terbagi antara unit yang memiliki fungsi dan tanggungjawab umum, setingkat kota (municipal) dan desa (county) dengan tanggungjawab yurisdiksi yang khusus, dan polisi yang memiliki fungsi terbatas.
Awal abad ke-20 terjadi perubahan tipe pemolisian khususnya di negara-negara maju. Perubahannya merupakan inovasi dari tipe sebelumnya (desentralisasi model sentralistis dan sentralisasi model desentralistis). Hal ini terjadi di AS yang memusatkan dan mengkoordinasikan aktivitas hukum (khusus hukum federal) pada FBI sejak 1909. Sementara itu Inggris juga merestui terjadinya campur tangan pemerintah pusat atas penyelenggaraan fungsi kepolisian melalui pembentukan The Royal Commission on the Police (1960) yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan masalah kepolisian hingga ke tingkat lokal. Di Jepang sejak 1954 menekankan peran polisi di kota dan desa, masing-masing disebut Koban dan Chuzaisos, jumlahnya lebih dari 15.000 kantor polisi tersebar di seluruh Jepang.
Memasuki dekade 1980-an model pemolisian mulai mengalami perubahan lagi dengan diperkenalkannya problem-oriented policing, sebuah metode yang diimpelementasikan untuk meningkatkan kapasitas polisi dalam menyelesaikan misinya. Metode ini mempengaruhi seluruh aspek kegiatan polisi, baik manajerial maupun operasional. Pada saat yang hampir bersamaan, pada awal dekade 1980-an, muncul terminologi Community Oriented Policing (COP), yang menekankan pada pencegahan tindak kejahatan ketimbang pengejaran dan penangkapan para pelaku kriminalitas. Di AS penerapan COP telah menjadi begitu bervariasi, mulai dari peningkatan kerjasama dengan komunitas, desentralisasi komando, hingga yang sederhana seperti penambahan jumlah polisi yang beroperasi (beat police).
Di Inggris struktur polisi dibuat sedemikian rupa tidak seragam namun merefleksikan keseimbangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari kehadiran tiga struktur polisi yang dikenal dengan nama London Metropolitan Police, county forces dan borough police. Namun kehadiran polisi lokal jangan ditafsirkan bahwa polisi lokal itu bertanggung jawab pada komunitas lokal. Dalam praktik mereka menjadi lebih bertanggungjawab kepada elite-elite lokal.
Ciri-ciri khas polisi Eropa Kontinental sangat berbeda dengan polisi di Inggris. Pertama, secara struktural polisi tersentralisir dan militeristik. Kedua, fungsi polisi lebih menekankan pada
tugas-tugas administratif dan politik. Misalnya mengontrol pasport, pengumppulan pajak, regulasi bangunan, inspeksi susu, bahkan melakukan pengumpulan data metereologi. Ketiga, dilihat dari lejitimasinya, polisi lebih terkait dengan pemerintah dan kurang bertanggungjawab pada publik dan hukum. Secara umum polisi di EK bertanggungjawab secara langsung kepada kepala negara (head of state).
Perubahan yang menarik terjadi di Perancis. Sebagai negara yang dikenal sentralistis tipe pemolisiannya cukup sukses menerapkan Community Oriented Policing (COP) yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian. Sejak tahun 1995 pemerintah Perancis menerapkan metode COP. Untuk itu pemerintah Perancis menerapkan kerangka administratif baru bernama Local Security Contact, yang memberi payung hukum bagi hubungan interagensi antara polisi dan lembaga-lembaga komunitas kepolisian lokal dalam menyelesaikan masalah ketertiban dan keamanan.
Organisasi polisi di dunia mengenal tiga bentuk yaitu bentuk sentralisasi, desentralisasi dan gabungan antara keduanya (Tim Newburn, 2003). Beberapa negara sebagaimana disebut dalam Tabel di atas pada dasarnya memilih salah satu model organisasi tersebut. Masing-masing pengorganisasian polisi itu memiliki kekuatan dan kelemahan. Inggris misalnya, memilih model desentralisasi, demikian juga dengan Amerika Serikat. Karena itu, ada kekhususan dari setiap organisasi polisi yang dibentuknya sesuai dengan karakteristik masyarakat dan daerahnya.
Dari uraian tersebut bahwa jati diri polisi disuatu negara bisa berbeda-beda. Pada dasarnya tergantung faktor sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Contoh, jati diri polisi Jepang jelas berbeda dengan jati diri polisi AS. Jika di negeri Uncle Sam polisi lebih bersifat individual, maka di Jepang polisi lebih akrab dengan warga masyarakat. David H. Bayley (1988) mengatakan, meskipun kepolisian di kedua negara itu memiliki tanggungjawab yang sama, namun cara mereka berhubungan dengan masyarakat sangat berbeda. Polisi Jepang lebih luwes dalam berinteraksi dengan warga masyarakat dibanding dengan polisi AS.

Jati diri Polri
Ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) lejitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter lejitimasi menunjukkan dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak.
Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain. Untuk parameter lejitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hakum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Dengan mempelajari pengalaman beberapa negara dalam membentuk kepolisian mengacu pada sistem politik, ketatanegaran, serta memperhatikan kondisi masyarakat, muncul pertanyaan : (1) Apakah lejitimasi Polri tetap seperti dirumuskan dalam UU No. 2/2002 yang bertanggungjawab kepada Presiden atau diubah menjadi bertanggungjawab kepada aturan hukum dan kesepakatan publik (sebagaimana pengalaman di Inggris); (2) Apakah fungsi Polri tetap seperti sekarang ini selaku penegak hukum sekaligus pengelola keamanan, ketertiban, dan pelayan masyarakat atau menerapkan Community Oriented Policing yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian (seperti pengalaman di Perancis); dan (3) Apakah struktur Polri tetap seperti sekarang ini sentralisasi atau desentralisasi (seperti pengalaman AS dan Britain). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam membangun jati diri Polri perlu dilakukan perubahan mendasar. 7
Sasarannya adalah membangun jati diri Polri yang demokratis dan profesional. Polisi yang demokratis mengarahkan aktivitasnya kepada kebutuhan publik. Dalam hal ini polisi harus responsif, artinya merespon kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok-kelompok swasta, maupun non-negara. Akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas penggunaan wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diimplementasikan pada lembaga kepolisian: (1) Answeribilty, mengacu kepada kewajiban polisi untuk memberikan informasi dan menjelaskan atas segala apa yang mereka lakukan, (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) Punishibility, mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bilamana mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.
Prinsip profesionalisme mengacu pada tumbuhnya kemampuan untuk, (1) menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang, (2) memberikan layanan terbaik, (3) otonom, (4) memiliki kontrol kuat terhadap anggotanya, (5) mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode etik, (7) memiliki kebanggaan profesi; (8) memilih profesi sebagai pengabdian, dan (9) bertanggungjawab atas monopoli keahlian. Untuk mencapai hal itu dilakukan melalui perubahan dalam hal sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan, dan pembinaan/pengembangan karier yang mengacu pada merit-system. Demikian pula dalam hal sistem manajemen kepeolisian.
Selain demokratis dan profesional, lebih penting polisi harus bersifat sipil, karena dengan kriteria sipil pada dasarnya akan memasukkan pula karakter demokratis dan profesional. Polisi sipil mengacu kepada pengertian polisi sebagai institasi publik yang ditumbuhkembangkan secara profesional dalam masyarakat demokratik, yang menjalankan fungsi penegakan hukum, ketertiban masyarakat, dan pelayanan masyarakat, dengan tunduk terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas, penghormatan terhadap hak-hak sipil, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, adaptif terhadap perubahan masyarakat, dan mengutamakan kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya.

P e n u t u p
Dalam konteks Indonesia, sejak awal organisasi polisi yang dibentuk adalah polisi nasional yang sentralistik. Sesuai dengan perkembangan, perspektif ini perlu perubahan. Yang jelas tidak mungkin menggunakan perspektif radikal di mana ia sebagai alat kekerasan negara yang condong dan membela kekuasaan negara. Polri perlu mengubah jati dirinya dengan mengedepankan prinsip demokrasi di mana polisi adalah bagian dari masyarakat dan mampu bekerja secara independen.

1 Sebuah plakat tentang pembentukan Bailluw pada tanggal 29 Maret 1602 berbunyi : enn Bailluw over dese onse stadt Jaccatra, de domainen en de jurisdictie van dien baer, soo te water als te land uystrckende.