Friday 12 November 2010

Petrus, sisi kelam pemerintahan Soeharto (1)

Petrus, sisi kelam pemerintahan Soeharto (1)
Mayat sengaja dibuang di tempat

PAGI itu, di pinggir Jalan Jenderal Sudirman Semarang seputar kawasan perumahan Cakrawala Semarang, tak jauh dari pompa bensin (kini sudah gulung tikar, red), ramai orang berkerumun. Mereka mengelilingi sebuah karung goni tergeletak di antara lalat-lalat hijau. Bagian atas karung tidak terikat, dan menyembul wajah pucat menyeringai. Sesosok mayat pria muda telanjang dada dan penuh tato terlihat. Orang-orang bergunjing. Ini adalah mayat kali kesekian yang ditemukan tergeletak di tepi jalan.

Beberapa hari kemudian, di kawasan Jalan Hasanudin juga didapati mayat dengan kondisi serupa. Tetapi tidak terbungkus. Tergeletak begitu saja, di bawah tiang listrik. Wajahnya juga menyeringai seperti menahan takut dan sakit yang amat sangat. Mereka menamakan pria-pria malang itu sebagai korban petrus (penembak misterius).

Hampir tiap pagi orang menjumpai mayat seperti itu. Hampir seluruh korban adalah pria bertato, dan belakangan diketahui mereka adalah yang dikenal sebagai bromocorah, gali, preman, dan segolongan mereka. Para korban sebagian besar tewas karena ditembak, tetapi sebagian yang lain mati tercekik, atau terjerat lehernya. Bahkan cerita dari mulut ke mulut lebih sadis dari itu. Para korban ada yang disergap di tengah jalan. Tapi tak jarang mereka dieksekusi di depan anak-istri mereka. Jika ditangkap di depan khalayak, mereka dibawa ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian ia disuruh berlari, dan ... dorr!

’Pesan’
Banyak mayat para korban seakan-akan sengaja diletakkan di tempat ramai, seolah menjadi ”pesan” kepada para preman dan penjahat untuk tidak macam-macam lagi.

Tak ayal kondisi ini membuat kelompok hitam, atau bahkan siapa saja yang di tubuhnya terdapat tato amat cemas, menunggu ”Kapan giliran saya?”. Beberapa di antara mereka berusaha menghilang sejauh mungkin, atau melenyapkan tato di tubuhnya.

”Pada suatu tengah malam, ketika kami sedang ngobrol, datang sebuah mobil. Lalu dari dalam mobil itu berhamburan 4-5 orang. Kami kalang kabut menyelamatkan diri berlarian ke sawah. Besoknya saya dapat kabar Mas Ripto ditemukan tewas. Di lehernya seperti ada bekas jeratan.” Begitulah tutur seorang warga Tawangsari.

Ripto pada masanya dikenal sebagai pimpinan sebuah geng. Dia amat disegani, bahkan ditakuti bersama (waktu itu) kelompok Kisromi dari kawasan Krobokan. Reputasi di dunia hitam menempatkannya pada target Petrus. Kabar tewas

nya Ripto membuat rekan-rekannya terpencarpencar menyelamatkan diri. Begitu juga dengan mereka yang merasa memiliki catatan di dunia hitam. Misalnya Wagiman seorang tukang copet terminal.

"Wah, saya betul-betul takut. Waktu Petrus mulai dulu, saya baru saja berumur 18 tahun. Saya sudah dua tahun "kerja" waktu itu. Karena kata orang yang dicari-cari itu yang bertato, tato di tangan dan di punggung saya, saya setrika. Karena masih khawatir juga, saya lari ke Riau dan sembunyi di kampung- kampung di sana selama empat tahun. Baru sesudah agak aman saya kembali lagi ke sini, dan mulai lagi ‘kerja". Habis bagaimana lagi! Saya perlu makan. Jadi, terpaksa yaa kerja copet ini saja. Saya biasa beroperasi di terminal dan dalam bus rute Semarang - Yogyakarta. Masak orang kayak saya ini yang ditembak. Kalau mau ditembak, ya ..., koruptor-koruptor itulah!" Trauma Berapa sebenarnya angka korban petrus? Sulit mencari data resmi karena ini operasi tertutup.

Beberapa orang menyebut, Petrus yang berlangsung tahun 1983-1985 memakan korban 5.000 orang. Namun ada pula yang menyebut angka 10.000 orang.

Petrus tak hanya menjadi horor bagi mereka yang masuk daftar golongan hitam. Keluarga mereka pun tak urung dilanda ketakutan dan trauma sepanjang hidup mereka. Ini juga yang diakui oleh Lita BM. Wanita asal Semarang putri dari Bathi Mulyono.

Bathi adalah pimpinan para mantan narapidana yang tergabung dalam organisasi Fajar Menyingsing. Dia lolos dari incaran Petrus, dan sempat menghilang beberapa tahun. Hilangnya Bathi ini menyisakan pengalaman traumatik bagi Lita.

"Aku salah satu korban operasi Petrus itu. Ayahku hilang dalam tragedi berdarah yang sampai sekarang tak pernah terungkap itu," kata Lita.

Untuk mengungkapkan perasaan gundahnya, Lita yang juga penyanyi ini kemudian merilis sebuah album berjudul Tirai Kelahiran "83.

Lita mengaku tidak ingin mencari keadilan dengan meluncurkan album ini, namun ia berharap sebagai aktualisasi diri saja. Kalaulah ada nilainya, sekadar sebagai pengingat agar tidak terjadi lagi peristiwa pembunuhan massal seperti itu lagi.

"Harapanku, apa yang terjadi padaku tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja, sangat menyakitkan. Aku hanya bisa sampaikan lewat lagu apa yang aku rasakan sejak kecil," tutur Lita yang sempat ditempa olah vokal oleh Uci dari Elfa"s, kepribadian dengan aktor Didi Petet, dan Shahnaz Haque.

Jika biasanya launching dan promo dilakukan di sebuah kafe atau restauran, Lita melantunkan lagu-lagunya dengan karaoke di sebuah demonstrasi massa. Di depan Istana Merdeka lagi. Hal itu berlangsung Kamis (24/1) siang lalu, di tengah-tengah demonstrasi para korban kemanusiaan kejahatan rezim Orde Baru, yang dikoordinasi Kontras. Demo itu antara lain menyuarakan kasus Semanggi, pembunuhan Munir, Penembakan Misterius (Petrus), peristiwa Tanjung Priok dll, bersamasama mahasiswa dan LSM. Ema/Abs-Ct



Source:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=17516&Itemid=28

No comments: