Karena sebutir korma
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa.
Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
"Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram," jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
"Astaghfirullahal adzhim" Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?" tanya Ibrahim.
"Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma" jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?". Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat.
"Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?".
"Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang.
Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya." "Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu."
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap.
"Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain.
Sekarang ia sudah bebas."
Pada hadits yang lain beliau bersabda; 'Siapa yang merampas hak orang Islam dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkannya masuk surga. Seorang laki-laki bertanya, walaupun sedikit ya Rasulullah? Nabi menjawab, walaupun sebatang kayu sugi.'
(Riwayat Muslim).
Hatiku selembar daun...
Friday, 12 November 2010
Cerita nenek Tua dari madura
Cerita nenek Tua dari madura
"Dahulu kala di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunga nya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, iapergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudu, masuk mesjid, dan melakukan shalat Dhuhur. setelah membaca wirid sekadarnya, ia keluar masjid dan membungkuk - bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembarpun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. padahal matahari madura di siang hari itu sungguh menyengat. Keringat nya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. pada suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satupun daun terserak di situ. ia kembali ke masjid dan menangis keras. Ia mempertanyakan mengapa daun - daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang - orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "jika kalian kasihan kepadaku." kata nenek itu. "Berikan kesempatan padaku untuk membersihkannya."
Singkat cerita , nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun - daun itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya;kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.
"Saya ini perempuan bodoh ,pak Kiai." tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat tanpa syafaat Kangjeng nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya"
Hatiku selembar daun...
"Dahulu kala di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunga nya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, iapergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudu, masuk mesjid, dan melakukan shalat Dhuhur. setelah membaca wirid sekadarnya, ia keluar masjid dan membungkuk - bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembarpun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. padahal matahari madura di siang hari itu sungguh menyengat. Keringat nya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. pada suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satupun daun terserak di situ. ia kembali ke masjid dan menangis keras. Ia mempertanyakan mengapa daun - daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang - orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "jika kalian kasihan kepadaku." kata nenek itu. "Berikan kesempatan padaku untuk membersihkannya."
Singkat cerita , nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun - daun itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya;kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.
"Saya ini perempuan bodoh ,pak Kiai." tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat tanpa syafaat Kangjeng nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya"
Hatiku selembar daun...
Waktu Yang Berharga
Waktu Yang Berharga
Anto adalah salah satu pegawai yang cukup sibuk yang bekerja untuk salah satu perusahaan swasta terkemuka, sehingga seringkali ia pulang kerja hingga larut malam. Suatu ketika Anto pulang kerja, ternyata Budi (anaknya) yang masih kelas 2 SD membukakan pintu untuknya, dan sepertinya Budi memang sengaja menunggu ayahnya tiba di rumah. “Kok kamu belum tidur?”, sapa Anto setelah mencium keningnya. Budi menjawab,“Aku memang sengaja menunggu ayah pulang karena aku ingin bertanya, berapa sih gaji ayah?”. “Lho, kok kamu nanya gaji ayah sih?”, “Nggak, Budi cuma mau tahu aja ayah..”, timpal Budi. Ayahnya pun menjawab, “Kamu hitung sendiri, setiap hari ayah bekerja 10 jam dan dibayar Rp.400.000, dan tiap bulan rata-rata ayah bekerja 25 hari. Hayoo.. jadi berapa gaji ayah dalam 1 bulan?”. Budi langsung bergegas mengambil pensilnya, sementara ayahnya melepas sepatu. Ketika Anto beranjak menuju kamar, Budi berlari mengikutinya.
Kemudian Budi menjawabnya, “Kalo 1 hari ayah dibayar Rp.400.000 untuk 10 jam, berarti 1 jam ayah digaji Rp.40.000 donk?”. “Pinter anak ayah sekarang ya.., sekarang kamu cuci kaki dan tidur ya”, jawab ayahnya. Tetapi, Budi tidak juga beranjak. Sambil memperhatikan ayahnya ganti pakaian, Budi kembali bertanya, “Ayah, boleh pinjam uang 5rb nggak?”. “Sudah, buat apa uang malam-malam begini?! Ayah capek, mau mandi dulu, sekarang kamu tidur!”, jawab ayahnya. Dengan wajah melas Budi menjawab, “Tapi ayah..”, ayahnya pun langsung menghardiknya, “Ayah bilang tidur!!”. Anak kecil itupun langsung berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Anto menyesali perbuatannya yang telah menghardik anaknya tersebut. Ia pun melihat kondisi anaknya tersebut. Dan ternyata, anak kesayangannya itu belum tidur. Ternyata Budi dilihatnya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000 di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala anaknya itu, Anto berkata, “Maafkan ayah ya nak. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kita beli ya. Jangankan minta 5rb, lebih dari itupun ayah kasih”. Budipun menjawab, “Ayah, aku nggak minta uang. Aku cuma mau minjem. Nanti aku kembalikan lagi setelah aku nabung minggu ini”. “Iya iya, tapi buat apa?”, tanya Budi dengan lembut. “Aku nunggu ayah dari jam 8 tadi, aku mau ngajak ayah main ular tangga. Cuma tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang, kalau waktu ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ternyata cuma ada Rp.15.000. tapi, karena ayah bilang ayah tiap 1 jam ayah digaji Rp.40.000, jadi setengah jamnya ayah digaji Rp.20.000. Uang tabunganku kurang 5rb, jadi makanya aku mau pinjam uang ayah 5rb”, jawab Budi dengan polos.
Anto pun terdiam, dan dipeluknya anak kecil itu erat-erat..
Hatiku selembar daun...
Anto adalah salah satu pegawai yang cukup sibuk yang bekerja untuk salah satu perusahaan swasta terkemuka, sehingga seringkali ia pulang kerja hingga larut malam. Suatu ketika Anto pulang kerja, ternyata Budi (anaknya) yang masih kelas 2 SD membukakan pintu untuknya, dan sepertinya Budi memang sengaja menunggu ayahnya tiba di rumah. “Kok kamu belum tidur?”, sapa Anto setelah mencium keningnya. Budi menjawab,“Aku memang sengaja menunggu ayah pulang karena aku ingin bertanya, berapa sih gaji ayah?”. “Lho, kok kamu nanya gaji ayah sih?”, “Nggak, Budi cuma mau tahu aja ayah..”, timpal Budi. Ayahnya pun menjawab, “Kamu hitung sendiri, setiap hari ayah bekerja 10 jam dan dibayar Rp.400.000, dan tiap bulan rata-rata ayah bekerja 25 hari. Hayoo.. jadi berapa gaji ayah dalam 1 bulan?”. Budi langsung bergegas mengambil pensilnya, sementara ayahnya melepas sepatu. Ketika Anto beranjak menuju kamar, Budi berlari mengikutinya.
Kemudian Budi menjawabnya, “Kalo 1 hari ayah dibayar Rp.400.000 untuk 10 jam, berarti 1 jam ayah digaji Rp.40.000 donk?”. “Pinter anak ayah sekarang ya.., sekarang kamu cuci kaki dan tidur ya”, jawab ayahnya. Tetapi, Budi tidak juga beranjak. Sambil memperhatikan ayahnya ganti pakaian, Budi kembali bertanya, “Ayah, boleh pinjam uang 5rb nggak?”. “Sudah, buat apa uang malam-malam begini?! Ayah capek, mau mandi dulu, sekarang kamu tidur!”, jawab ayahnya. Dengan wajah melas Budi menjawab, “Tapi ayah..”, ayahnya pun langsung menghardiknya, “Ayah bilang tidur!!”. Anak kecil itupun langsung berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Anto menyesali perbuatannya yang telah menghardik anaknya tersebut. Ia pun melihat kondisi anaknya tersebut. Dan ternyata, anak kesayangannya itu belum tidur. Ternyata Budi dilihatnya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000 di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala anaknya itu, Anto berkata, “Maafkan ayah ya nak. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kita beli ya. Jangankan minta 5rb, lebih dari itupun ayah kasih”. Budipun menjawab, “Ayah, aku nggak minta uang. Aku cuma mau minjem. Nanti aku kembalikan lagi setelah aku nabung minggu ini”. “Iya iya, tapi buat apa?”, tanya Budi dengan lembut. “Aku nunggu ayah dari jam 8 tadi, aku mau ngajak ayah main ular tangga. Cuma tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang, kalau waktu ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ternyata cuma ada Rp.15.000. tapi, karena ayah bilang ayah tiap 1 jam ayah digaji Rp.40.000, jadi setengah jamnya ayah digaji Rp.20.000. Uang tabunganku kurang 5rb, jadi makanya aku mau pinjam uang ayah 5rb”, jawab Budi dengan polos.
Anto pun terdiam, dan dipeluknya anak kecil itu erat-erat..
Hatiku selembar daun...
Gatotkaca Lena
Gatotkaca Lena
Panglima panglima sepuh Hastina telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Resi Bhisma tergolek lemah setelah ribuan panah Srikandi menghujam raganya. Meski sukma dan raga Resi Bhisma masih bersatu, namun cukuplah ribuan panah itu menyingkirkan sang resi dari gelanggang pertempuran. Pandita Dorna tewas dengan mengenaskan di tangan Drestajumna. Kepala dan badannya terpisah setelah menduga anaknya tewas.
Mendung menggelayut di kedua belah kubu.
Pihak Pandawa masih berduka mengenang eyang dan guru mereka yang telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Korban atas perang yang terjadi diantara cucu cucu Bhisma. Korban atas perang diantara anak-anak didik Pandita Dorna. Kegamangan perang kembali meyeruak.
Sementara pihak Kurawa resah mencari pengganti panglima perang mereka. Hanya yang memiliki kehebatan setara Resi Bisma dan Pandita Durna yang pantas menggantikan mereka.
Malam semakin gelap. Pandawa dan Kurawa masih menyiapkan strategi untuk Bharatayuda esok pagi. Pandawa masih mencoba menerka siapa yang akan mereka hadapi di Kurusetra. Setelah tumbangnya Resi Bisma dan Pandita Dorna, tinggal Prabu Salya yang pantas dan sanggup menjadi panglima sepuh pihak Kurawa. Apakah setelah menghadapi Eyang kemudian Guru, apakah sekarang saatnya menghadapi Paman mereka? Atau ada panglima muda yang akan mereka hadapi esok pagi?
Prabu Kresna tiba-tiba resah luar biasa ketika tersiar berita Adipati Karna yang maju menjadi panglima, dan didampingi Prabu Salya sebagai saisnya. Keresahan itu menyeruak demikian hebat. Keeresahan akan keselamatan Arjuna. Keresahan akan akhir perang ini. Dia tahu, Bharatayuda tidak mungkin dimenangkan oleh Pandawa tanpa penengahnya, tanpa Arjuna. Dan dia tahu hanya Arjunalah yang akan dicari dan diajak bertarung oleh Karna. Yah, itulah pemenuhan ikrar Karna kepada Kunti ibunya.
”Dalam perang Bharatayuda nanti, saya hanya akan bertarung dengan Arjuna, agar putera Ibu ”tetap” lima”
Dan Kresna juga tahu, Adipati Karna, putra tertua Dewi Kunti, tidak mungkin dikalahkan oleh Arjuna selama Karna masih memengang senjata sakti para dewa. Senjata Konta. Konta Wijayadanu.
Dalam keresahannya, Prabu Kresna melesat ke angkasa.
Sementara itu, jauh diatas mega Gatotkaca terbang dengan eloknya. Sesekali melakukan manuver-manuver di udara. Melesat cepat, menukik, langsung melesat ke atas setelah berjumpalitan diudara tiga kali. Dikejarnya angin dan ditangkapnya sang angin. Namun kadang pula angin yang menggulung gulung Gatotkaca. Mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban. Namun terkadang pula Gatotkaca melayang, mengambang saja. Membiarkan dirinya dihanyutkan oleh angin. Dibelai oleh angin, dimanjakan oleh angin. Asyik sekali Gatotkaca bermain dengan angin, bagai anak kecil bermain dengan kakeknya. Yach.. benar!! Gatotkaca sedang bermain main!! Bermain dengan kakeknya, Bathara Bayu.
Dalam tegap tubuhnya, dan dalam garang kumis yang melintang tersembunyi jiwa kekanakan Gatotkaca. Suara berat raganya, menindas celoteh riang batinnya. Raga dan suara itu menjebak Gatotkaca yang sebenarnya masih sangat muda. Masih remaja. Gatotkaca yang malang. Gatotkaca yang instant. Gatotkaca yang dipaksa berperang ketika bayi, demi ketentraman kahyangan. Jabang Tetuko, bayi Gatotkaca, dipaksa berperang melawan raja Raksasa. Kawah Candradimuka memaksa tubuhnya menjadi perkasa. Jabang bayi yang baru lahir dipaksa menjadi satria.
Namun seperti sarung Senjata Konta yang bersemayam dalam pusarnya, ada kekosongan di dalamnya. Jiwa kanak-kanak itu tetap ada. Yah.. sarung Senjata Konta, keras diluar namun tetap saja kosong di dalamnya. Sarung Senjata Konta, itulah Gatotkaca. Jiwanya masih kanak, berbeda dengan Bima ayahnya. Keteguhan jiwa Bima, pencerahan budi Bima, hanya untuk Bima. Hanya untuk dia yang mengarungi samudra, menapaki dasarnya, bergelut dengan naga, dan berguru pada Dewaruci. Kemuliaan budi dan jiwa Bima tidak bisa diwariskan ke siapa pun. Tidak juga kepada Gatotkaca, anaknya. Perjalanan pencarian keteguhan jiwa itu yang tidak dialami Gatotkaca. Dia dipaksa dewasa oleh para dewa.
”Selamat Malam, Kangmas Batara Bayu. Maaf mengganggu, mohon ijin ketemu Gatotkaca,” sapa Prabu Kresna mengusik keasyikan Gatotkaca yang sedang ditimang oleh angin semilir.
Suasana tiba-tiba hening. Angin mati.
”Ada apa uwa Prabu. Kok malam-malam menyusul kemari” tanya Gatotkaca keheranan.
”Gatotkaca, uwa minta kamu besok maju ke medan perang. Hadapi Adipati Karna!”
Gatotkaca diam saja.
”Bagaimana Gatotkaca, kamu besok tanding dengan Karna”
Gatotkaca menggeleng pelan
”Tidak uwa! Aku tetap pada tugasku saja. Menghadapi ribuan pasukan dan raksasa raksasa yang lain. Biarlah panglima Kurawa dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain”
Memang selama ini Gatotkaca bertugas untuk menghancurkan pasukan yang lain, sementara senapati-senapati dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain. Ada Seta, Uttara, Setyaki, Drestajumna, Srikandi, Abimanyu atau oleh Pandawa sendiri. Kalau pun ada tugas lain, adalah menjadi ”satelit” ketika Arjuna mencari Jayadrata untuk membalas kematian Abimanyu.
”Asyik, bertempur dengan pasukan rendahan dan para raksasa. Bisa bertarung seperti halnya bermain-main saja”
Memang bertempur dengan ribuan pasukan bagi Gatotkaca seperti mainan saja. Melesat ke sana, tendang sini, pukul situ, terjang kanan, sambar kiri.
”Masa kamu hanya berhadapan dengan kroco-kroco saja. Kini saatnya menunjukkan kesaktianmu yang sesungguhnya” bujuk Kresna
Gatotkaca tetap menggelengkan kepalanya.
“Tidak uwa. Selama ini saya selalu menuruti permintaan uwa. Permintaan para dewa. Sekarang saya mau bertempur sesuai kesenangan saya sendiri. Saya menikmati perang ini. Menyenangkan sekali bisa menghajar ratusan prajurit itu.”
Kresna terkejut mendengar jawaban Gatotkaca. Tidak pernah dia seperti ini. Akalnya perputar keras. Gatotkaca harus maju perang, atau rancangan para dewa berantakan.
”Apa kamu tidak mau membalas kematian saudaramu Abimanyu. Kamu tahu, Abimanyu gugur dikeroyok para satria Kurawa. Memang serangan terakhir oleh Jayadrata, tapi Karna juga ikut mengeroyok waktu itu. Bahkan dialah yang menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Jika Abimanyu tidak kehilangan busurnya, tentu dia akan selamat. Karnalah yang membuka jalan kematian Abimanyu. Jayadrata telah dibunuh pamanmu Arjuna. Sekaranglah saatnya bagi kamu untuk bertarung dengan Karna sebagai pembalasan atas kematian Abimanyu”.
Kenangan akan Abimanyu selalu menggugah emosi Gatotkaca. Abimanyu dan Gatotkaca, generasi kedua penerus Pandawa ini, memang sering berpetualang bersama. Mencari tantangan bersama, melatih diri bersama. Kenangan akan Abimanyu sempat menguak juga luka lama Gatotkaca. Kenangan kelam akan tewasnya Kalabendo. Kenangan akan kecerobohan yang mengakibatkan kematian paman dan pengasuh yang sangat disayanginya itu.
Dalam emosi yang terguncang, dan provokasi Kresna, melesatlah Gatotkaca menuju medan perang. Gatotkaca mengamuk luar biasa. Korban berjatuhan. Berpuluh pasukan menghadang, berpuluh pula terlentang. Beratus pasukan menangkal, beratus pula terjungkal. Dicarinya Karna yang telah membuka jalan kematian Abimanyu.
Di lain pihak, Adipati Karna terus merangsek mencari Arjuna. Kehabatan memanahnya luar biasa. Banyak korban tumbang hanya dalam sekali tarikan busur. Dari kejauhan Gatotkaca melihat sepak terjang Karna. Melesatlah dia kesana! Menerjang secepat kilat. Dari sudut mata, Karna melihat datangnya bahaya. Segera dia mengarahkan busur dan melontarkan panah-panahnya.
”Dhuuarrr…!!!”
Ledakan dahsyat terjadi ketika panah panah sakti Karna dihantam dengan pukulan Gatotkaca. Sejenak serangan Gatotkaca berhenti. Namun kemudian dia menyerang lagi. Di balas dengan panah lagi oleh Karna. Gatotkaca menghindar dan menyerang dari segala penjuru. Demikian juga Karna, menahan gempuran Gatotkaca dengan panah-panahnya.
Pertempuran berlangsung sengit. Debu beterbangan dihempas angin yang tercipta oleh lesatan Gatotkaca maupun desingan panah Karna. Sama-sama tangguh. Para prajurit sejenak menghentikan pertempuran mereka, menyempatkan diri untuk menyaksikan pertarungan seru ini.
Gatotkaca dan Karna saling serang dan saling ejek untuk memancing emosi lawannya.
”Ayo raksasa kunthing tunjukkan pukulan saktimu!!” teriak Karna
”Buktikan kamu pantas bertarung di Bharatayuda!! Anak kusir tak pantas melawan Pandawa, cukup aku lawanmu!!” balas Gatotkaca.
Pecahnya konsentrasi Karna sebagai panglima membuat gerak pasukan Kurawa tidak terarah. Tanpa komado yang jelas mereka dilibas oleh pasukan Pandawa dibawah komando Arjuna. Hal ini menyebabkan Duryudana resah, dan mendesak Karna utuk segera mengakhiri pertarungannya.
”Karna, segera habisi Gatotkaca!! Bukan cecunguk itu lawanmu! Arjunalah seharusnya yang kamu hadapi”
Pertarungan telah berlangsung berjam-jam. Karena jumlah anak panah yang semakin menipis dan desakan Duryudana, Karna menggosok-gosokkan tangannya. Dari kedua belah tangannya munculah cahanya menyilaukan. Senjata Konta, senjata para dewa, siap dilepaskan. Gatotkaca terkesima dengan apa yang dihadapinya. Segera dia melesat menjauh. Konta dilepaskan Karna. Meluncur, mendesing, mengejar Gatotkaca.
Gatotkaca terbang setinggi-tingginya, berusaha menghindari Konta. Sementara itu angin berhembus kencang melawan arah Konta. Bhatara Bayu berusaha menahan senjata itu. Dia tahu, senjata itulah jalan kematian bagi cucunya. Namun tetap saja angin tidak mampu menahan laju senjata Konta.
Kerinduan senjata Konta untuk kembali bersatu sarungnya mampu mengatasi kekhawatiran sang bayu. Kerinduan setelah sekian tahun berpisah. Kerinduan yang membara itulah yang sanggup mendorong senjata Konta untuk melaju, meskipun ketempat yang sangat tinggi, mengejar sarungnya.
Sementara itu lesatan Gatotkaca tiba tiba terhenti. Ada suara-suara yang memanggilnya. Suara yang dia kenal sejak masa kecil. Suara yang telah sekian lama hilang itu muncul lagi.
”Tetuko….Tetuko…. hendak kemana engkau terbang sedemikian cepat! Tunggu pamanmu ini. Tunggu aku Tetuko.”
Gatotkaca terkesima mendengar suara Kalabendo yang memanggil manggil nama kecilnya. Sesaat Gatotkaca termangu, menghentikan terbangnya, dan membalikkan badannya, mencoba menunggu Kalabendo pamannya. Di kejauhan tampak bayangan Kalabendo berlari mendekat. Rambut gimbalnya melambai lambai tertiup angin. Gatotkaca tertegun. Direntangkannya kedua tangannya, ingin menyambut Kalabendo sang paman. Seperti anak kecil dia bergerak maju ingin memeluk pamannya. Paman yang sangat dikasihinya. Paman yang telah dia tampar tingga tewas.
Bayangan Kalabendo semakin mendekat, berusaha memeluk Gatotkaca. Sementara itu angin semakin keras bertiup seakan hendak mengingatkan Gatotkaca akan bahaya yang mengancam! Gatotkaca maju menyambut pelukan sang paman. Kalabendo pun memeluk erat Gatotkaca bersamaan dengan bersatunya senjata Konta dengan sarungnya. Pelukan kematian.
Senjata Konta bersatu dengan sarungnya. Gatotkaca diantar Kalabendo ke kematiannya. Pemenuhan kerinduan yang memakan korban.
Senjata Konta telah utuh sempurna. Senjata dan sarung kembali bersatu, lalu kembali ke kayangan, ke tanah para dewa.
Kalabendo dan Gatotkaca kembali bersatu, berpelukan, bermain dan bercanda, seperti dulu.
Gatotkaca gugur!!!
Gegap gempita pasukan Kurawa membahana di Kurusetra menyambut kemengan Karna.
Di langit badai mengamuk, mengabarkan kedukaan Bathara Bayu yang kembali kehilangan cucunya.
Adipati Karna tersenyum kecut. Bayangan kematian datang menghampirinya setelah kehilangan senjata andalannya.
Kresna tersenyum puas, taktiknya berhasil, dan Bharatayudha berjalan sesuai dengan rancangan para dewa.
Hatiku selembar daun...
Panglima panglima sepuh Hastina telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Resi Bhisma tergolek lemah setelah ribuan panah Srikandi menghujam raganya. Meski sukma dan raga Resi Bhisma masih bersatu, namun cukuplah ribuan panah itu menyingkirkan sang resi dari gelanggang pertempuran. Pandita Dorna tewas dengan mengenaskan di tangan Drestajumna. Kepala dan badannya terpisah setelah menduga anaknya tewas.
Mendung menggelayut di kedua belah kubu.
Pihak Pandawa masih berduka mengenang eyang dan guru mereka yang telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Korban atas perang yang terjadi diantara cucu cucu Bhisma. Korban atas perang diantara anak-anak didik Pandita Dorna. Kegamangan perang kembali meyeruak.
Sementara pihak Kurawa resah mencari pengganti panglima perang mereka. Hanya yang memiliki kehebatan setara Resi Bisma dan Pandita Durna yang pantas menggantikan mereka.
Malam semakin gelap. Pandawa dan Kurawa masih menyiapkan strategi untuk Bharatayuda esok pagi. Pandawa masih mencoba menerka siapa yang akan mereka hadapi di Kurusetra. Setelah tumbangnya Resi Bisma dan Pandita Dorna, tinggal Prabu Salya yang pantas dan sanggup menjadi panglima sepuh pihak Kurawa. Apakah setelah menghadapi Eyang kemudian Guru, apakah sekarang saatnya menghadapi Paman mereka? Atau ada panglima muda yang akan mereka hadapi esok pagi?
Prabu Kresna tiba-tiba resah luar biasa ketika tersiar berita Adipati Karna yang maju menjadi panglima, dan didampingi Prabu Salya sebagai saisnya. Keresahan itu menyeruak demikian hebat. Keeresahan akan keselamatan Arjuna. Keresahan akan akhir perang ini. Dia tahu, Bharatayuda tidak mungkin dimenangkan oleh Pandawa tanpa penengahnya, tanpa Arjuna. Dan dia tahu hanya Arjunalah yang akan dicari dan diajak bertarung oleh Karna. Yah, itulah pemenuhan ikrar Karna kepada Kunti ibunya.
”Dalam perang Bharatayuda nanti, saya hanya akan bertarung dengan Arjuna, agar putera Ibu ”tetap” lima”
Dan Kresna juga tahu, Adipati Karna, putra tertua Dewi Kunti, tidak mungkin dikalahkan oleh Arjuna selama Karna masih memengang senjata sakti para dewa. Senjata Konta. Konta Wijayadanu.
Dalam keresahannya, Prabu Kresna melesat ke angkasa.
Sementara itu, jauh diatas mega Gatotkaca terbang dengan eloknya. Sesekali melakukan manuver-manuver di udara. Melesat cepat, menukik, langsung melesat ke atas setelah berjumpalitan diudara tiga kali. Dikejarnya angin dan ditangkapnya sang angin. Namun kadang pula angin yang menggulung gulung Gatotkaca. Mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban. Namun terkadang pula Gatotkaca melayang, mengambang saja. Membiarkan dirinya dihanyutkan oleh angin. Dibelai oleh angin, dimanjakan oleh angin. Asyik sekali Gatotkaca bermain dengan angin, bagai anak kecil bermain dengan kakeknya. Yach.. benar!! Gatotkaca sedang bermain main!! Bermain dengan kakeknya, Bathara Bayu.
Dalam tegap tubuhnya, dan dalam garang kumis yang melintang tersembunyi jiwa kekanakan Gatotkaca. Suara berat raganya, menindas celoteh riang batinnya. Raga dan suara itu menjebak Gatotkaca yang sebenarnya masih sangat muda. Masih remaja. Gatotkaca yang malang. Gatotkaca yang instant. Gatotkaca yang dipaksa berperang ketika bayi, demi ketentraman kahyangan. Jabang Tetuko, bayi Gatotkaca, dipaksa berperang melawan raja Raksasa. Kawah Candradimuka memaksa tubuhnya menjadi perkasa. Jabang bayi yang baru lahir dipaksa menjadi satria.
Namun seperti sarung Senjata Konta yang bersemayam dalam pusarnya, ada kekosongan di dalamnya. Jiwa kanak-kanak itu tetap ada. Yah.. sarung Senjata Konta, keras diluar namun tetap saja kosong di dalamnya. Sarung Senjata Konta, itulah Gatotkaca. Jiwanya masih kanak, berbeda dengan Bima ayahnya. Keteguhan jiwa Bima, pencerahan budi Bima, hanya untuk Bima. Hanya untuk dia yang mengarungi samudra, menapaki dasarnya, bergelut dengan naga, dan berguru pada Dewaruci. Kemuliaan budi dan jiwa Bima tidak bisa diwariskan ke siapa pun. Tidak juga kepada Gatotkaca, anaknya. Perjalanan pencarian keteguhan jiwa itu yang tidak dialami Gatotkaca. Dia dipaksa dewasa oleh para dewa.
”Selamat Malam, Kangmas Batara Bayu. Maaf mengganggu, mohon ijin ketemu Gatotkaca,” sapa Prabu Kresna mengusik keasyikan Gatotkaca yang sedang ditimang oleh angin semilir.
Suasana tiba-tiba hening. Angin mati.
”Ada apa uwa Prabu. Kok malam-malam menyusul kemari” tanya Gatotkaca keheranan.
”Gatotkaca, uwa minta kamu besok maju ke medan perang. Hadapi Adipati Karna!”
Gatotkaca diam saja.
”Bagaimana Gatotkaca, kamu besok tanding dengan Karna”
Gatotkaca menggeleng pelan
”Tidak uwa! Aku tetap pada tugasku saja. Menghadapi ribuan pasukan dan raksasa raksasa yang lain. Biarlah panglima Kurawa dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain”
Memang selama ini Gatotkaca bertugas untuk menghancurkan pasukan yang lain, sementara senapati-senapati dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain. Ada Seta, Uttara, Setyaki, Drestajumna, Srikandi, Abimanyu atau oleh Pandawa sendiri. Kalau pun ada tugas lain, adalah menjadi ”satelit” ketika Arjuna mencari Jayadrata untuk membalas kematian Abimanyu.
”Asyik, bertempur dengan pasukan rendahan dan para raksasa. Bisa bertarung seperti halnya bermain-main saja”
Memang bertempur dengan ribuan pasukan bagi Gatotkaca seperti mainan saja. Melesat ke sana, tendang sini, pukul situ, terjang kanan, sambar kiri.
”Masa kamu hanya berhadapan dengan kroco-kroco saja. Kini saatnya menunjukkan kesaktianmu yang sesungguhnya” bujuk Kresna
Gatotkaca tetap menggelengkan kepalanya.
“Tidak uwa. Selama ini saya selalu menuruti permintaan uwa. Permintaan para dewa. Sekarang saya mau bertempur sesuai kesenangan saya sendiri. Saya menikmati perang ini. Menyenangkan sekali bisa menghajar ratusan prajurit itu.”
Kresna terkejut mendengar jawaban Gatotkaca. Tidak pernah dia seperti ini. Akalnya perputar keras. Gatotkaca harus maju perang, atau rancangan para dewa berantakan.
”Apa kamu tidak mau membalas kematian saudaramu Abimanyu. Kamu tahu, Abimanyu gugur dikeroyok para satria Kurawa. Memang serangan terakhir oleh Jayadrata, tapi Karna juga ikut mengeroyok waktu itu. Bahkan dialah yang menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Jika Abimanyu tidak kehilangan busurnya, tentu dia akan selamat. Karnalah yang membuka jalan kematian Abimanyu. Jayadrata telah dibunuh pamanmu Arjuna. Sekaranglah saatnya bagi kamu untuk bertarung dengan Karna sebagai pembalasan atas kematian Abimanyu”.
Kenangan akan Abimanyu selalu menggugah emosi Gatotkaca. Abimanyu dan Gatotkaca, generasi kedua penerus Pandawa ini, memang sering berpetualang bersama. Mencari tantangan bersama, melatih diri bersama. Kenangan akan Abimanyu sempat menguak juga luka lama Gatotkaca. Kenangan kelam akan tewasnya Kalabendo. Kenangan akan kecerobohan yang mengakibatkan kematian paman dan pengasuh yang sangat disayanginya itu.
Dalam emosi yang terguncang, dan provokasi Kresna, melesatlah Gatotkaca menuju medan perang. Gatotkaca mengamuk luar biasa. Korban berjatuhan. Berpuluh pasukan menghadang, berpuluh pula terlentang. Beratus pasukan menangkal, beratus pula terjungkal. Dicarinya Karna yang telah membuka jalan kematian Abimanyu.
Di lain pihak, Adipati Karna terus merangsek mencari Arjuna. Kehabatan memanahnya luar biasa. Banyak korban tumbang hanya dalam sekali tarikan busur. Dari kejauhan Gatotkaca melihat sepak terjang Karna. Melesatlah dia kesana! Menerjang secepat kilat. Dari sudut mata, Karna melihat datangnya bahaya. Segera dia mengarahkan busur dan melontarkan panah-panahnya.
”Dhuuarrr…!!!”
Ledakan dahsyat terjadi ketika panah panah sakti Karna dihantam dengan pukulan Gatotkaca. Sejenak serangan Gatotkaca berhenti. Namun kemudian dia menyerang lagi. Di balas dengan panah lagi oleh Karna. Gatotkaca menghindar dan menyerang dari segala penjuru. Demikian juga Karna, menahan gempuran Gatotkaca dengan panah-panahnya.
Pertempuran berlangsung sengit. Debu beterbangan dihempas angin yang tercipta oleh lesatan Gatotkaca maupun desingan panah Karna. Sama-sama tangguh. Para prajurit sejenak menghentikan pertempuran mereka, menyempatkan diri untuk menyaksikan pertarungan seru ini.
Gatotkaca dan Karna saling serang dan saling ejek untuk memancing emosi lawannya.
”Ayo raksasa kunthing tunjukkan pukulan saktimu!!” teriak Karna
”Buktikan kamu pantas bertarung di Bharatayuda!! Anak kusir tak pantas melawan Pandawa, cukup aku lawanmu!!” balas Gatotkaca.
Pecahnya konsentrasi Karna sebagai panglima membuat gerak pasukan Kurawa tidak terarah. Tanpa komado yang jelas mereka dilibas oleh pasukan Pandawa dibawah komando Arjuna. Hal ini menyebabkan Duryudana resah, dan mendesak Karna utuk segera mengakhiri pertarungannya.
”Karna, segera habisi Gatotkaca!! Bukan cecunguk itu lawanmu! Arjunalah seharusnya yang kamu hadapi”
Pertarungan telah berlangsung berjam-jam. Karena jumlah anak panah yang semakin menipis dan desakan Duryudana, Karna menggosok-gosokkan tangannya. Dari kedua belah tangannya munculah cahanya menyilaukan. Senjata Konta, senjata para dewa, siap dilepaskan. Gatotkaca terkesima dengan apa yang dihadapinya. Segera dia melesat menjauh. Konta dilepaskan Karna. Meluncur, mendesing, mengejar Gatotkaca.
Gatotkaca terbang setinggi-tingginya, berusaha menghindari Konta. Sementara itu angin berhembus kencang melawan arah Konta. Bhatara Bayu berusaha menahan senjata itu. Dia tahu, senjata itulah jalan kematian bagi cucunya. Namun tetap saja angin tidak mampu menahan laju senjata Konta.
Kerinduan senjata Konta untuk kembali bersatu sarungnya mampu mengatasi kekhawatiran sang bayu. Kerinduan setelah sekian tahun berpisah. Kerinduan yang membara itulah yang sanggup mendorong senjata Konta untuk melaju, meskipun ketempat yang sangat tinggi, mengejar sarungnya.
Sementara itu lesatan Gatotkaca tiba tiba terhenti. Ada suara-suara yang memanggilnya. Suara yang dia kenal sejak masa kecil. Suara yang telah sekian lama hilang itu muncul lagi.
”Tetuko….Tetuko…. hendak kemana engkau terbang sedemikian cepat! Tunggu pamanmu ini. Tunggu aku Tetuko.”
Gatotkaca terkesima mendengar suara Kalabendo yang memanggil manggil nama kecilnya. Sesaat Gatotkaca termangu, menghentikan terbangnya, dan membalikkan badannya, mencoba menunggu Kalabendo pamannya. Di kejauhan tampak bayangan Kalabendo berlari mendekat. Rambut gimbalnya melambai lambai tertiup angin. Gatotkaca tertegun. Direntangkannya kedua tangannya, ingin menyambut Kalabendo sang paman. Seperti anak kecil dia bergerak maju ingin memeluk pamannya. Paman yang sangat dikasihinya. Paman yang telah dia tampar tingga tewas.
Bayangan Kalabendo semakin mendekat, berusaha memeluk Gatotkaca. Sementara itu angin semakin keras bertiup seakan hendak mengingatkan Gatotkaca akan bahaya yang mengancam! Gatotkaca maju menyambut pelukan sang paman. Kalabendo pun memeluk erat Gatotkaca bersamaan dengan bersatunya senjata Konta dengan sarungnya. Pelukan kematian.
Senjata Konta bersatu dengan sarungnya. Gatotkaca diantar Kalabendo ke kematiannya. Pemenuhan kerinduan yang memakan korban.
Senjata Konta telah utuh sempurna. Senjata dan sarung kembali bersatu, lalu kembali ke kayangan, ke tanah para dewa.
Kalabendo dan Gatotkaca kembali bersatu, berpelukan, bermain dan bercanda, seperti dulu.
Gatotkaca gugur!!!
Gegap gempita pasukan Kurawa membahana di Kurusetra menyambut kemengan Karna.
Di langit badai mengamuk, mengabarkan kedukaan Bathara Bayu yang kembali kehilangan cucunya.
Adipati Karna tersenyum kecut. Bayangan kematian datang menghampirinya setelah kehilangan senjata andalannya.
Kresna tersenyum puas, taktiknya berhasil, dan Bharatayudha berjalan sesuai dengan rancangan para dewa.
Hatiku selembar daun...
ONENG KECELAKAAN
ONENG KECELAKAAN
Oneng Menelpon
Oneng : "bang, telpon kite jelek nih"
Badjuri : "emang nape?"
Oneng : "kagak bise nelpon 911 bang?"
Bajuri : "lagak lu kayak bule' aje, emangnye lu udah coba pencet?"
Oneng : "kagak bisa dipencet, kagak ade angka 11 nye."
Oneng Kecelakaan
Oneng datang ke dokter dengan kedua telinganya luka bakar.
Dokter : Apa yang terjadi?
Oneng : Aye sedang nyeterika dan telepon berdering, aye salah mengambil gagang telpon, kagak sengaje aye
angkat seterika dan menempelkannye di telinge aye.
Dokter : Wow..! Tetapi apa yang terjadi dengan telinga Anda yang satu lagi?
Oneng : Teman aye yang goblok itu menelepon lagi.
Oneng Di Apotek
Oneng : Mpok, aye mo beli vitamin buat anak aye.
Apoteker : Vitamin A, B atau C, bu?
Oneng : Ape aje deh, anak aye blon ngerti hurup kok...!!
Oneng Belanja
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "gue kagak jual ntu neng"
Oneng: "oh iye, makasih mpok"
Besoknya datang lagi...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "kagak jual neng..."
Oneng: "oh iye, makasih mpok"
Besoknya masih datang lagi...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "pan gue ude bilang 2 kali, GUE KAGAK JUAL dan gak akan pernah jual,
sekali lagi lu tanya, gue paku kaki lu ke lantai...!!! "
Oneng: "galak amat, maafin aye mpok...."
Eh, besoknya gak kapok-² masih datang...
Oneng: "ade martil gak mpok?"
Mpok: "kagak jual"
Oneng: "kalo paku ade mpok?"
Mpok: "kagak"
Hening sejenak...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Oneng Sok Tau
Badjuri pulang narik bajaj dengan wajah murung...
Oneng: "nape bang? kok mukenye kusut kayak cucian kering"
Badjuri: "abang malu neng, tadi abis diketawain ama temen-²"
Oneng: "diketawain kenape? pan bagus bisa ngibur orang"
Badjuri: "gue jawabnye salah pas ditanya paris ntu letaknye dimane?"
Oneng: "mangkenye bang, kalo naroh barang diinget baek-² letaknye"
Oneng dan Kokok Ayam
Ponakan Oneng memanggil Oneng ke belakang rumah sambil teriak...
Ponakan: “mpok oneng... mpok... sini buruan...”
Oneng: “nape sih? pake tereak-² segala...”
Ponakan: “pratiin tu mpok, matenye mpok...”
Oneng: “merem? trus nape?
Ponakan: “ntu die mpok, kenape ayam kalo berkokok matenye merem?”
Oneng: “yee... begituan ditanyain, pan ayam ude hapal teksnye...”
Oneng Kehilangan Uang
Masuk rumah muka Oneng sedih, matanya berkaca-²...
Badjuri: "eh, elu nape neng? abis ngiris bawang? hehe..."
Oneng: "si abang becande mulu', oneng lagi sedih niy"
Badjuri: "sedih kenape?"
Oneng: "duit aye ilang bang dijalan, 20 rebu"
Badjuri: "iya ela... gitu aje nangis, ude ni abang ganti"
Tangis Oneng jadi makin keras...
Badjuri: "nah lho... duitnye ude diganti, male tambah kenceng"
Oneng: "pan, kalo duit oneng kagak ilang sekarang ude jadi 40 rebu bang.
Hatiku selembar daun...
Oneng Menelpon
Oneng : "bang, telpon kite jelek nih"
Badjuri : "emang nape?"
Oneng : "kagak bise nelpon 911 bang?"
Bajuri : "lagak lu kayak bule' aje, emangnye lu udah coba pencet?"
Oneng : "kagak bisa dipencet, kagak ade angka 11 nye."
Oneng Kecelakaan
Oneng datang ke dokter dengan kedua telinganya luka bakar.
Dokter : Apa yang terjadi?
Oneng : Aye sedang nyeterika dan telepon berdering, aye salah mengambil gagang telpon, kagak sengaje aye
angkat seterika dan menempelkannye di telinge aye.
Dokter : Wow..! Tetapi apa yang terjadi dengan telinga Anda yang satu lagi?
Oneng : Teman aye yang goblok itu menelepon lagi.
Oneng Di Apotek
Oneng : Mpok, aye mo beli vitamin buat anak aye.
Apoteker : Vitamin A, B atau C, bu?
Oneng : Ape aje deh, anak aye blon ngerti hurup kok...!!
Oneng Belanja
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "gue kagak jual ntu neng"
Oneng: "oh iye, makasih mpok"
Besoknya datang lagi...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "kagak jual neng..."
Oneng: "oh iye, makasih mpok"
Besoknya masih datang lagi...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Mpok: "pan gue ude bilang 2 kali, GUE KAGAK JUAL dan gak akan pernah jual,
sekali lagi lu tanya, gue paku kaki lu ke lantai...!!! "
Oneng: "galak amat, maafin aye mpok...."
Eh, besoknya gak kapok-² masih datang...
Oneng: "ade martil gak mpok?"
Mpok: "kagak jual"
Oneng: "kalo paku ade mpok?"
Mpok: "kagak"
Hening sejenak...
Oneng: "ade makanan bebek, mpok?"
Oneng Sok Tau
Badjuri pulang narik bajaj dengan wajah murung...
Oneng: "nape bang? kok mukenye kusut kayak cucian kering"
Badjuri: "abang malu neng, tadi abis diketawain ama temen-²"
Oneng: "diketawain kenape? pan bagus bisa ngibur orang"
Badjuri: "gue jawabnye salah pas ditanya paris ntu letaknye dimane?"
Oneng: "mangkenye bang, kalo naroh barang diinget baek-² letaknye"
Oneng dan Kokok Ayam
Ponakan Oneng memanggil Oneng ke belakang rumah sambil teriak...
Ponakan: “mpok oneng... mpok... sini buruan...”
Oneng: “nape sih? pake tereak-² segala...”
Ponakan: “pratiin tu mpok, matenye mpok...”
Oneng: “merem? trus nape?
Ponakan: “ntu die mpok, kenape ayam kalo berkokok matenye merem?”
Oneng: “yee... begituan ditanyain, pan ayam ude hapal teksnye...”
Oneng Kehilangan Uang
Masuk rumah muka Oneng sedih, matanya berkaca-²...
Badjuri: "eh, elu nape neng? abis ngiris bawang? hehe..."
Oneng: "si abang becande mulu', oneng lagi sedih niy"
Badjuri: "sedih kenape?"
Oneng: "duit aye ilang bang dijalan, 20 rebu"
Badjuri: "iya ela... gitu aje nangis, ude ni abang ganti"
Tangis Oneng jadi makin keras...
Badjuri: "nah lho... duitnye ude diganti, male tambah kenceng"
Oneng: "pan, kalo duit oneng kagak ilang sekarang ude jadi 40 rebu bang.
Hatiku selembar daun...
Arjuna Si Pertapa Tampan
Arjuna Si Pertapa Tampan
Alkisah sang arjuna di suruh bertapa di puncak gunung Indrakila. Dia bertapa untuk mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, agar dapat digunakan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Dalam perjalanan, di kaki gunung indrakila, arjuna di hadang oleh babi hutan. Babi hutan itu menyeruduk arjuna, menanduk, menyepak sehingga kewalahan. Kemana arjuna lari tetap dikejar. Akhirnya Sang Arjuna melompat agak jauh, memasang anak panah pada gendawanya, dan membidik tepat ke perut babi itu. Ceeep …. babi itu tewas seketika.
Setelah mengalahkan babi, Arjuna melanjutkan perjalanan mendaki gunung itu. Dalam pendakian, setelah menyeberang sungai nan jernih dan indah, tiba-tiba Arjuan dikejutkan oleh ular berkepala dua yang menghadang perjalanannya. Singkat cerita, dia diserang, dipatuk di lilit. Ekor ular di pegang Arjuna, kepalanya mematuk dia. Kepala yang satu di pegang, kepala lain menubruk dari belakang. Arjuna kerepotan, kembali dia melompat menjauh, sambil merapal mantra memasang dua anak panah sekaligus pada busurnya. Anak panah melesat, langsung menembus dua kepala yang dimiliki oleh si ular. Ular lemas tergeletak tak berdaya.
Ular telah dikalahkan, arjuna beristirahat lalu mandi di tengah telaga nan jernih. Sehabis mandi dia tersentak melihat Goa di tepi telaga. Lalu dia melewati goa itu, yang ternyata rumah seorang raksasa sakti mandraguna. Sang raksasa bangun mencium bau adanya manusia. Dan dia marah, karena Arjuna telah berani mandi di telaga miliknya. Arjunapun marah mendengar kata-kata kasar dari raksasa lalu menantangnya untuk berkelahi. Sang Raksasa wajahnya merah, rambutnya gimbal, mata melotot dan taringnya tajam. Mereka sama saktinya. Masalahnya adalah, ketika raksasa itu dipukul oleh arjuna, bukannya tambah loyo, bahkan tambah kuat. Di panah tidak mempan. Di pukul pake batang kayu, malah tambah kuat dan garang. Arjuna kehilangan akal. Lalu dia melompat ke belakang, lalu dia duduk mencakupkan tangan, hening, memusatkan pikiran dan pasrah pada kehendak Sang Pencipta. Anehnya raksasa itu makin kecil, kecil, kecil akhirnya hilang.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke puncak gunung Indrakila. Di sanalah Arjuna bertapa dengan khusus, memohon berkah dari Hyang Manon. Di tengah upaya tapanya, datanglah goodaan bidadari supraba yang diutus oleh Bhatara Guru. Arjuna tak tergoda, akhirnya Sang Hyang Siwa berkenan datang ke hadapan Arjuna dan memberikan panah yang disebut Panah Pasopati. Panah Pasopati itu adalah senjata ampuh arjuna, ketika menjadi panglima saat perang Bharatayudha.
Cerita ini sangat menarik dan ada makna di baliknya :
Babi adalah lambang keserakahan. Serakah adalah sifat umum manusia. Manusia yang berhati serakah, diberi seluruh kekayaan bumipun tidak merasa puas. Ingat film James Bond - World is not enough. Karena itulah, bekal untuk mengarungi kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengendalikan atau bahkan mematikan keserakahan itu.
Berikutnya adalah ular berkepala dua, yang jadi simbul dengki iri hati. Makanya orang yang licik itu, terkadang disebut ular berkepala dua. Dalam melaksanakan hidup, kita terkadang memiliki rasa iri hati yang semuanya itu berasal dari pikiran kita. Atau juga kita terkadang menghadapi orang dengki iri hati. Orang iri ini sangat berbahaya, mulutnya manis, tapi bisa nikam dari belakang. Karena itulah, pikiran iri hati harus di-”bunuh” dan orang dengkipun harus “dibunuh” pikiran dengkinya.
Setelah masalah iri hati, berikutnya raksasa yang menjadi simbol amarah. Raksasa berwajah merah rambut gimbal taring tajam adalah lambang kemarahan. Kemarahan kalau dilawan dengan marah, bagaikan api disiram bensin. Kemarahan akan padam dengan sendirinya jika dilawan dengan hening, mundur selangkah lalu pasrah.
Yang terakhir, godaan di puncak gunung adalah nafsu birahi. Begitu banyak orang yang sedang berada di puncak kekuasaannya, tergelincir karena nafsu birahi. Berat sekali cobaan yang dihadapi oleh Arjuna untuk mendapatkan panah pasopati.
Hatiku selembar daun...
Alkisah sang arjuna di suruh bertapa di puncak gunung Indrakila. Dia bertapa untuk mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, agar dapat digunakan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Dalam perjalanan, di kaki gunung indrakila, arjuna di hadang oleh babi hutan. Babi hutan itu menyeruduk arjuna, menanduk, menyepak sehingga kewalahan. Kemana arjuna lari tetap dikejar. Akhirnya Sang Arjuna melompat agak jauh, memasang anak panah pada gendawanya, dan membidik tepat ke perut babi itu. Ceeep …. babi itu tewas seketika.
Setelah mengalahkan babi, Arjuna melanjutkan perjalanan mendaki gunung itu. Dalam pendakian, setelah menyeberang sungai nan jernih dan indah, tiba-tiba Arjuan dikejutkan oleh ular berkepala dua yang menghadang perjalanannya. Singkat cerita, dia diserang, dipatuk di lilit. Ekor ular di pegang Arjuna, kepalanya mematuk dia. Kepala yang satu di pegang, kepala lain menubruk dari belakang. Arjuna kerepotan, kembali dia melompat menjauh, sambil merapal mantra memasang dua anak panah sekaligus pada busurnya. Anak panah melesat, langsung menembus dua kepala yang dimiliki oleh si ular. Ular lemas tergeletak tak berdaya.
Ular telah dikalahkan, arjuna beristirahat lalu mandi di tengah telaga nan jernih. Sehabis mandi dia tersentak melihat Goa di tepi telaga. Lalu dia melewati goa itu, yang ternyata rumah seorang raksasa sakti mandraguna. Sang raksasa bangun mencium bau adanya manusia. Dan dia marah, karena Arjuna telah berani mandi di telaga miliknya. Arjunapun marah mendengar kata-kata kasar dari raksasa lalu menantangnya untuk berkelahi. Sang Raksasa wajahnya merah, rambutnya gimbal, mata melotot dan taringnya tajam. Mereka sama saktinya. Masalahnya adalah, ketika raksasa itu dipukul oleh arjuna, bukannya tambah loyo, bahkan tambah kuat. Di panah tidak mempan. Di pukul pake batang kayu, malah tambah kuat dan garang. Arjuna kehilangan akal. Lalu dia melompat ke belakang, lalu dia duduk mencakupkan tangan, hening, memusatkan pikiran dan pasrah pada kehendak Sang Pencipta. Anehnya raksasa itu makin kecil, kecil, kecil akhirnya hilang.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke puncak gunung Indrakila. Di sanalah Arjuna bertapa dengan khusus, memohon berkah dari Hyang Manon. Di tengah upaya tapanya, datanglah goodaan bidadari supraba yang diutus oleh Bhatara Guru. Arjuna tak tergoda, akhirnya Sang Hyang Siwa berkenan datang ke hadapan Arjuna dan memberikan panah yang disebut Panah Pasopati. Panah Pasopati itu adalah senjata ampuh arjuna, ketika menjadi panglima saat perang Bharatayudha.
Cerita ini sangat menarik dan ada makna di baliknya :
Babi adalah lambang keserakahan. Serakah adalah sifat umum manusia. Manusia yang berhati serakah, diberi seluruh kekayaan bumipun tidak merasa puas. Ingat film James Bond - World is not enough. Karena itulah, bekal untuk mengarungi kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengendalikan atau bahkan mematikan keserakahan itu.
Berikutnya adalah ular berkepala dua, yang jadi simbul dengki iri hati. Makanya orang yang licik itu, terkadang disebut ular berkepala dua. Dalam melaksanakan hidup, kita terkadang memiliki rasa iri hati yang semuanya itu berasal dari pikiran kita. Atau juga kita terkadang menghadapi orang dengki iri hati. Orang iri ini sangat berbahaya, mulutnya manis, tapi bisa nikam dari belakang. Karena itulah, pikiran iri hati harus di-”bunuh” dan orang dengkipun harus “dibunuh” pikiran dengkinya.
Setelah masalah iri hati, berikutnya raksasa yang menjadi simbol amarah. Raksasa berwajah merah rambut gimbal taring tajam adalah lambang kemarahan. Kemarahan kalau dilawan dengan marah, bagaikan api disiram bensin. Kemarahan akan padam dengan sendirinya jika dilawan dengan hening, mundur selangkah lalu pasrah.
Yang terakhir, godaan di puncak gunung adalah nafsu birahi. Begitu banyak orang yang sedang berada di puncak kekuasaannya, tergelincir karena nafsu birahi. Berat sekali cobaan yang dihadapi oleh Arjuna untuk mendapatkan panah pasopati.
Hatiku selembar daun...
Lahirnya Bima
Lahirnya Bima
Raja negara Gajahoya, Destarata memanggil Sangkuni dan Jakapitana. Mereka diperintahkan mencari senjata untuk membuka bungkus bayi dari Raden Bungkus yang dibuang di hutan Setragandamayit.
Batara Guru dan Batara Narada di khayangan kedatangan Raden Pandu untuk meminjam Lembu Andini sebagai permintaan Dewi Madrim, istri Raden Pandu. Batara Guru mengizinkannya.
Pandu pulang ke Astina dan disambut Dewi Madrim dengan sukacita lalu mereka naik lembu Andini mengitari pendopo hingga tiga kali lalu ke Andrawira dan menuju kamar mereka untuk bermain cinta. Namun Dewi Madrim meminta Raden Pandu untuk menahan diri dalam sepekan.
Dewi Madrim kemudian meminta kepada Dewi Kunti untuk diajari ajian “Punta Wekasing Tunggal tanpa Lawan”. Oleh Dewi Kunthi diajari sampai dua kali. Maka seketika itu pula Dewi Madrim hamil bayi kembar.
Di negara Barareta, Prabu Kaladergangsa, ratu raksasa mengutus Patih Bragalda meminang putri Tasikmadu, setelah surat lamaran dibuka lalu dibalas dengan jawaban akan diadakan sayembara perang.
Bala tentara Batareta segera menyerbu negara Tasikmadu. Bala tentara Tasikmadu kalah lalu Raden Citra Warsita masuk hujan dengan bala tentaranya.
Semar dan anak-anaknya membuat gara-gara setelah mengajak Raden Harjuna untuk pulang ke Astina tetapi Harjuna tidak mau karena sedang prihatin tidak ada senjata ampuh yang bisa membuka bungkus jabang bayi yang dibuang ayahnya di hutan Setragandamayit.
Pada saat itu datanglah Raden Citra Wasma meminta tolong pada Harjuna mengusir raksasa di Tasikmadu. Harjuna segera menolong dan mengalahkan para raksasa. Sampai di Tasikmadu, Harjuna meminta senjata pada Prabu Tasikmadu untuk memecah bungkus. Tetapi dijawab bahwa tidak ada senjata yang ampuh kecuali kehendak Dewata sendiri. Harjuna merasa lega dan pulang ke Astina.
Batara Guru dan Narada sedang membicarakan gara-gara yang terjadi disebabkan oleh Raden Bungkus di Hutan Setragandamayit.
”Kalau bungkus pecah akan hilang uger-ugering Pandawa, tali kasihnya,” kata Batara Guru.
Batara Guru memanggil anaknya bernama Gajahsena dan meminta untuk memecah bungkus di hutan Setragandamayit. Batara Narada diminta mengiringinya. Batara Narada dan Gajahsena pun pergi menjalankan tugas. Kemudian Batara Guru meminta istrinya Dewi Uma untuk memberikan pakaian kepada Raden Bungkus. Dewi Uma lalu mengambil kain”Poleng Bang”dan turun ke hutan Setragandamayit dan memasukkan kain tersebut bayi Raden Bungkus.
Lalu datanglah Gajahsena dan Batara Narada.Gajahsena segera menusuk bungkus dengan gadingnya, sehingga bungkus tersebut pecah. Namun dengan pecahnya bungkus tersebut hilang pula Gajahsena. Dan yang muncul adalah Raden Bungkus yang memakai Cawat “Poleng Bang”melihat ke kiri dan ke kanan dimana Batara Narada berada. Raden Bungkus kemudian bertanya,” Kamu siapa?” Batara Narada lalu menerangkan siapa dirinya dan memberi tahu bungkus tentang asal-usulnya. Bahwa Raden Bungkus sebenarnya adalah anak Pandu dengan Dewi Kunthi yang lahir berupa bungkus dan dibuang di hutan Setragandamayit.
“Karena kamu bisa keluar dari bungkus tetapi Gajahsena hilang maka kamu saya beri nama Raden Bratasena. Karena tapamu di dalam bungkus dan Gajahsena yang menolongnya. Kamu mempunyai kakak Yudhistira dan adik Raden Harjuna, sekarang kamu pulanglah ke negara Astina, temuilah ayahmu Raden Pandu Dewanata,” perintah Batara Narada.
Batara Narada terbang ke angkasa sambil membawa bungkus bayi yang telah robek. Lalu dia turun di hutan Banakeling kemudian menaruh bungkusan yang mengeluarkan cahaya tersebut diatas batu gilang itu.
Tidak berselang lama, Prabu Sempani di Banakeling yang sedang disuruh istrinya untuk mencari bayi untuk dijadikan anak, melihat ada cahaya di tengah hutan Banakeling. Setelah didekati ternyata ada bungkus di atas batu gilang. Setelah dipegang dan dibaui ternyata berbau bayi. Oleh Prabu Sempani lalu diciptakan menjadi bayi kembar dan dibawa pulang.
Kepada istrinya, Prabu Sempani berkata,”Jangan kamu susui bayi-bayi itu, akan aku mandikan dengan ‘air gege’ supaya cepat besar. Setelah dimandikan segera menjadi jejaka kemudian diberi nama Raden Tirtanata dan Jajadrata.
Di tempat lain, alam perjalanannya menuju Astina, Raden Harjuna bertemu dengan Raden Bungkus, Harjuna bertanya,”Kamu anak dari mana?” Raden Bungkus menjawab,”Namaku si Bungkus. Anak yang dibuang ayahku Pandu Dewanata dan Ibuku Dewi Kunthi.
Segera Harjuna menyembah kepada kakaknya tersebut dan menangis yang tentu saja membuat Raden Bungkus bingung.
“Mengapa kamu berbuat seperti itu?”tanya Raden Bungkus.
Harjuna menjawab bahwa dia adalah adiknya, yang bernama Harjuna. Lalu Bratasena merangkul adiknya tersebut lalu meminta Harjuna pulang terlebih dulu, dia akan menyusul kemudian.
Di tengah jalan Harjuna bertemu dengan Jakapitana dan Sangkuni yang berusaha membunuhnya. Mereka mengeroyok Harjuna beramai-ramai namun Harjuna bisa mengelak. Tidak berama lama Raden Bungkus melihat adiknya dikerubuti orang lalu datang membantunya. Sengkuni lalu bertanya kepada Raden Bungkus yang tinggi besar, ”Siapa kamu kok berani turut campur?” Raden Bungkus menjawab, ”Aku bocah dari Setragandamayit, si bungkus namaku, si Harjuna saya bela karena dia adikku.” Para Kurawa setelah melihat itu lalu bubar melarikan diri.
Harjuna dan Raden Bungkus pulang ke Astina disambut Prabu Abiyasa dan Raden Pandu, Puntadewa dan Dewi Kunthi. Mereka lalu menceritakandari awal hingga akhirnya. Keluarga besar itu pun berangkulan bahagia. Namun Raden Bungkus tidak mau duduk tetapi berdiri saja. Raden Bungkus kemudian dipanggil Raden Bratasena.
Hatiku selembar daun...
Raja negara Gajahoya, Destarata memanggil Sangkuni dan Jakapitana. Mereka diperintahkan mencari senjata untuk membuka bungkus bayi dari Raden Bungkus yang dibuang di hutan Setragandamayit.
Batara Guru dan Batara Narada di khayangan kedatangan Raden Pandu untuk meminjam Lembu Andini sebagai permintaan Dewi Madrim, istri Raden Pandu. Batara Guru mengizinkannya.
Pandu pulang ke Astina dan disambut Dewi Madrim dengan sukacita lalu mereka naik lembu Andini mengitari pendopo hingga tiga kali lalu ke Andrawira dan menuju kamar mereka untuk bermain cinta. Namun Dewi Madrim meminta Raden Pandu untuk menahan diri dalam sepekan.
Dewi Madrim kemudian meminta kepada Dewi Kunti untuk diajari ajian “Punta Wekasing Tunggal tanpa Lawan”. Oleh Dewi Kunthi diajari sampai dua kali. Maka seketika itu pula Dewi Madrim hamil bayi kembar.
Di negara Barareta, Prabu Kaladergangsa, ratu raksasa mengutus Patih Bragalda meminang putri Tasikmadu, setelah surat lamaran dibuka lalu dibalas dengan jawaban akan diadakan sayembara perang.
Bala tentara Batareta segera menyerbu negara Tasikmadu. Bala tentara Tasikmadu kalah lalu Raden Citra Warsita masuk hujan dengan bala tentaranya.
Semar dan anak-anaknya membuat gara-gara setelah mengajak Raden Harjuna untuk pulang ke Astina tetapi Harjuna tidak mau karena sedang prihatin tidak ada senjata ampuh yang bisa membuka bungkus jabang bayi yang dibuang ayahnya di hutan Setragandamayit.
Pada saat itu datanglah Raden Citra Wasma meminta tolong pada Harjuna mengusir raksasa di Tasikmadu. Harjuna segera menolong dan mengalahkan para raksasa. Sampai di Tasikmadu, Harjuna meminta senjata pada Prabu Tasikmadu untuk memecah bungkus. Tetapi dijawab bahwa tidak ada senjata yang ampuh kecuali kehendak Dewata sendiri. Harjuna merasa lega dan pulang ke Astina.
Batara Guru dan Narada sedang membicarakan gara-gara yang terjadi disebabkan oleh Raden Bungkus di Hutan Setragandamayit.
”Kalau bungkus pecah akan hilang uger-ugering Pandawa, tali kasihnya,” kata Batara Guru.
Batara Guru memanggil anaknya bernama Gajahsena dan meminta untuk memecah bungkus di hutan Setragandamayit. Batara Narada diminta mengiringinya. Batara Narada dan Gajahsena pun pergi menjalankan tugas. Kemudian Batara Guru meminta istrinya Dewi Uma untuk memberikan pakaian kepada Raden Bungkus. Dewi Uma lalu mengambil kain”Poleng Bang”dan turun ke hutan Setragandamayit dan memasukkan kain tersebut bayi Raden Bungkus.
Lalu datanglah Gajahsena dan Batara Narada.Gajahsena segera menusuk bungkus dengan gadingnya, sehingga bungkus tersebut pecah. Namun dengan pecahnya bungkus tersebut hilang pula Gajahsena. Dan yang muncul adalah Raden Bungkus yang memakai Cawat “Poleng Bang”melihat ke kiri dan ke kanan dimana Batara Narada berada. Raden Bungkus kemudian bertanya,” Kamu siapa?” Batara Narada lalu menerangkan siapa dirinya dan memberi tahu bungkus tentang asal-usulnya. Bahwa Raden Bungkus sebenarnya adalah anak Pandu dengan Dewi Kunthi yang lahir berupa bungkus dan dibuang di hutan Setragandamayit.
“Karena kamu bisa keluar dari bungkus tetapi Gajahsena hilang maka kamu saya beri nama Raden Bratasena. Karena tapamu di dalam bungkus dan Gajahsena yang menolongnya. Kamu mempunyai kakak Yudhistira dan adik Raden Harjuna, sekarang kamu pulanglah ke negara Astina, temuilah ayahmu Raden Pandu Dewanata,” perintah Batara Narada.
Batara Narada terbang ke angkasa sambil membawa bungkus bayi yang telah robek. Lalu dia turun di hutan Banakeling kemudian menaruh bungkusan yang mengeluarkan cahaya tersebut diatas batu gilang itu.
Tidak berselang lama, Prabu Sempani di Banakeling yang sedang disuruh istrinya untuk mencari bayi untuk dijadikan anak, melihat ada cahaya di tengah hutan Banakeling. Setelah didekati ternyata ada bungkus di atas batu gilang. Setelah dipegang dan dibaui ternyata berbau bayi. Oleh Prabu Sempani lalu diciptakan menjadi bayi kembar dan dibawa pulang.
Kepada istrinya, Prabu Sempani berkata,”Jangan kamu susui bayi-bayi itu, akan aku mandikan dengan ‘air gege’ supaya cepat besar. Setelah dimandikan segera menjadi jejaka kemudian diberi nama Raden Tirtanata dan Jajadrata.
Di tempat lain, alam perjalanannya menuju Astina, Raden Harjuna bertemu dengan Raden Bungkus, Harjuna bertanya,”Kamu anak dari mana?” Raden Bungkus menjawab,”Namaku si Bungkus. Anak yang dibuang ayahku Pandu Dewanata dan Ibuku Dewi Kunthi.
Segera Harjuna menyembah kepada kakaknya tersebut dan menangis yang tentu saja membuat Raden Bungkus bingung.
“Mengapa kamu berbuat seperti itu?”tanya Raden Bungkus.
Harjuna menjawab bahwa dia adalah adiknya, yang bernama Harjuna. Lalu Bratasena merangkul adiknya tersebut lalu meminta Harjuna pulang terlebih dulu, dia akan menyusul kemudian.
Di tengah jalan Harjuna bertemu dengan Jakapitana dan Sangkuni yang berusaha membunuhnya. Mereka mengeroyok Harjuna beramai-ramai namun Harjuna bisa mengelak. Tidak berama lama Raden Bungkus melihat adiknya dikerubuti orang lalu datang membantunya. Sengkuni lalu bertanya kepada Raden Bungkus yang tinggi besar, ”Siapa kamu kok berani turut campur?” Raden Bungkus menjawab, ”Aku bocah dari Setragandamayit, si bungkus namaku, si Harjuna saya bela karena dia adikku.” Para Kurawa setelah melihat itu lalu bubar melarikan diri.
Harjuna dan Raden Bungkus pulang ke Astina disambut Prabu Abiyasa dan Raden Pandu, Puntadewa dan Dewi Kunthi. Mereka lalu menceritakandari awal hingga akhirnya. Keluarga besar itu pun berangkulan bahagia. Namun Raden Bungkus tidak mau duduk tetapi berdiri saja. Raden Bungkus kemudian dipanggil Raden Bratasena.
Hatiku selembar daun...
WEJANGAN DEWA RUCI UNTUK BIMA
WEJANGAN DEWA RUCI UNTUK BIMA
Termangu sang Bima di tepian samudera, dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis.Tak ada lagi tempat bertanya, sesirnanya sang naga nemburnawa.
Dewaruci, Sang Marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.
Menghampiri sang Dewa Ruci sambil menyapa, "Apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."
Terkejut sang Bima dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"
"Serba sunyi di sini", lanjut sang Marbudyengrat. Mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya.
Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.
"Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya diriku ini," tanya Bima
"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewaruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. Yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.
"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Durna, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.
"Bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.
"Sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa. Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.
"Duh, pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," pasrah Bima berkata.
"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," lanjut sang marbudyengrat.
Sang Bena tertegun tak percaya mendengarnya.
"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.
"Wahai Werkudara si dungu ,anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.
Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.
Yang telah terserap ke arahnya.
"Hai, Werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.
"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.
"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata.
Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.
"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.
"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.
"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putihlah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. Hanya bisa menang dengan bantuan sang sukma. Adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan. Di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
"Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu," jawab Bima.
"Setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna. Ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar," lanjut Bima.
"Itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih. Semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. Sering disebut jagad agung dan jagad cilik. Dari sanalah asal arah mata angin dan empat warna hitam merah kuning putih itu. Seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, Tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading," ujar Dewa Ruci melanjutkan wejangannya.
"Amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku," lanjut Dewa Ruci.
"Semakin cerah rasa hati hamba," ucap Bima.
"Kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. Warna sejatikah yang hamba saksikan itu?" tanya Bima.
"Bukan, anakku yang dungu, bukan," jawab Dewa Ruci.
"Berusahalah segera mampu membedakannya. Zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat. Tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. Sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan. Ia tidak ikut merasakan lapar, kenyang, haus, lelah dan mengantuk dan sebagainya. Dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati. Ialah yang merawat raga. Tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
"Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba. Lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?" tanya Bima.
"Itu tidaklah mudah dijelaskan," ujar sang Dewa Ruci. Gampang-gampang susah.
"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.
"Mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda. Di saat itulah sang sukma akan menghampirimu. Dan batinmu akan berada di dalam sang sukma sejati. Janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur. Pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini. Pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu, tak perlu lagi segala aji kewijayaan, semuanya sudah termuat di sini.
Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.
Bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta.
Dan blassss . . . !
Sudah keluarlah sang Bima dari raga Dewa Ruci sang marbudyengrat. Kembali ke alam nyata di tepian samudera luas sunyi tanpa sang Dewa Ruci.
Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali, siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.
Hatiku selembar daun...
Termangu sang Bima di tepian samudera, dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis.Tak ada lagi tempat bertanya, sesirnanya sang naga nemburnawa.
Dewaruci, Sang Marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.
Menghampiri sang Dewa Ruci sambil menyapa, "Apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."
Terkejut sang Bima dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"
"Serba sunyi di sini", lanjut sang Marbudyengrat. Mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya.
Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.
"Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya diriku ini," tanya Bima
"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewaruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. Yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.
"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Durna, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.
"Bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.
"Sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa. Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.
"Duh, pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," pasrah Bima berkata.
"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," lanjut sang marbudyengrat.
Sang Bena tertegun tak percaya mendengarnya.
"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.
"Wahai Werkudara si dungu ,anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.
Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.
Yang telah terserap ke arahnya.
"Hai, Werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.
"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.
"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata.
Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.
"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.
"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.
"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putihlah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. Hanya bisa menang dengan bantuan sang sukma. Adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan. Di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
"Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu," jawab Bima.
"Setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna. Ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar," lanjut Bima.
"Itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih. Semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. Sering disebut jagad agung dan jagad cilik. Dari sanalah asal arah mata angin dan empat warna hitam merah kuning putih itu. Seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, Tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading," ujar Dewa Ruci melanjutkan wejangannya.
"Amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku," lanjut Dewa Ruci.
"Semakin cerah rasa hati hamba," ucap Bima.
"Kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. Warna sejatikah yang hamba saksikan itu?" tanya Bima.
"Bukan, anakku yang dungu, bukan," jawab Dewa Ruci.
"Berusahalah segera mampu membedakannya. Zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat. Tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. Sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan. Ia tidak ikut merasakan lapar, kenyang, haus, lelah dan mengantuk dan sebagainya. Dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati. Ialah yang merawat raga. Tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
"Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba. Lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?" tanya Bima.
"Itu tidaklah mudah dijelaskan," ujar sang Dewa Ruci. Gampang-gampang susah.
"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.
"Mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda. Di saat itulah sang sukma akan menghampirimu. Dan batinmu akan berada di dalam sang sukma sejati. Janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur. Pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini. Pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu, tak perlu lagi segala aji kewijayaan, semuanya sudah termuat di sini.
Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.
Bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta.
Dan blassss . . . !
Sudah keluarlah sang Bima dari raga Dewa Ruci sang marbudyengrat. Kembali ke alam nyata di tepian samudera luas sunyi tanpa sang Dewa Ruci.
Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali, siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.
Hatiku selembar daun...
Bima - Dorna - Dewaruci
Bima - Dorna - Dewaruci
Dewaruci adalah dewa kejujuran dan keberanian. Cerita ini mengisahkan tentang falsafah hidup yang mendalam, dimana sifat dan karakter yang baik diperankan oleh Bima atau Bratasena, saudara kedua Pandawa Lima dari kerajaan Amarta sedangkan sepupu Bima dari kerajaan Astina mempunyai seratus saudara kurawa yang memiliki sifat jahat. Kurawa selalu iri kepada Pandawa karena selalu mengalahkan mereka dalam segala hal. Diantara keluarga Pandawa dan Kurawa ini memiliki seorang Guru ( orang yang mempunyai peran sebagai penasehat agama dan juga sebagai guru) yaitu Pendeta Dorna. Sejak Dorna tinggal di Astina, Kurawa mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada Pandawa, dan oleh karena Bima selalu mengupayakan kebaikan untuk seluruh umat manusia, Kurawa meminta Guru Dorna memberi tugas yang mustahil kepada Bima untuk mencari “Tirta Amerta” yaitu Air Kehidupan.
Karena ketaatannya, dan selalu patuh kepada Sang Guru (Pandita Dorna), Bima mulai mencari “Tirta Amarta”. Dalam petualangannya, Bima bertarung melawan Raksasa yang bernama Rukmana dan Rukmakala dan dapat dikalahkan. Kemudian Bima menuju dasar laut dan bertarung melawan Naga raksasa, keletihan dan keraguan menghinggapinya, saat itulah Bima melihat Dewaruci dan bercerita bahwa dia diperintah Sang Guru untuk mencari “Tirta Amarta”. Untuk mendapatkannya, Dewaruci memerintahkan Bima masuk ke dalam raganya yang kecil bila dibandingkan dengan badan Bima.
Akhirnya di dalam raga Dewaruci, Bima menemukan kebenaran sebagaimana Dewaruci itu sendiri. Dewaruci sebenarnya adalah penjelmaan dari Sang Hyang Wenang, Dewa yang paling tinggi tingkatannya.Dalam upayanya mencari kebenaran, Bima harus melewati banyak rintangan atau halangan, tapi berkat ketabahan dan keberaniannya, akhirnya Bima mendapatkan apa yang dia cari.
Hatiku selembar daun...
Dewaruci adalah dewa kejujuran dan keberanian. Cerita ini mengisahkan tentang falsafah hidup yang mendalam, dimana sifat dan karakter yang baik diperankan oleh Bima atau Bratasena, saudara kedua Pandawa Lima dari kerajaan Amarta sedangkan sepupu Bima dari kerajaan Astina mempunyai seratus saudara kurawa yang memiliki sifat jahat. Kurawa selalu iri kepada Pandawa karena selalu mengalahkan mereka dalam segala hal. Diantara keluarga Pandawa dan Kurawa ini memiliki seorang Guru ( orang yang mempunyai peran sebagai penasehat agama dan juga sebagai guru) yaitu Pendeta Dorna. Sejak Dorna tinggal di Astina, Kurawa mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada Pandawa, dan oleh karena Bima selalu mengupayakan kebaikan untuk seluruh umat manusia, Kurawa meminta Guru Dorna memberi tugas yang mustahil kepada Bima untuk mencari “Tirta Amerta” yaitu Air Kehidupan.
Karena ketaatannya, dan selalu patuh kepada Sang Guru (Pandita Dorna), Bima mulai mencari “Tirta Amarta”. Dalam petualangannya, Bima bertarung melawan Raksasa yang bernama Rukmana dan Rukmakala dan dapat dikalahkan. Kemudian Bima menuju dasar laut dan bertarung melawan Naga raksasa, keletihan dan keraguan menghinggapinya, saat itulah Bima melihat Dewaruci dan bercerita bahwa dia diperintah Sang Guru untuk mencari “Tirta Amarta”. Untuk mendapatkannya, Dewaruci memerintahkan Bima masuk ke dalam raganya yang kecil bila dibandingkan dengan badan Bima.
Akhirnya di dalam raga Dewaruci, Bima menemukan kebenaran sebagaimana Dewaruci itu sendiri. Dewaruci sebenarnya adalah penjelmaan dari Sang Hyang Wenang, Dewa yang paling tinggi tingkatannya.Dalam upayanya mencari kebenaran, Bima harus melewati banyak rintangan atau halangan, tapi berkat ketabahan dan keberaniannya, akhirnya Bima mendapatkan apa yang dia cari.
Hatiku selembar daun...
MARI BELAJAR BAHASA INDONESIA DI MALAYSIA??!!
MARI BELAJAR BAHASA INDONESIA DI MALAYSIA??!!
Subject: Re: [AusAID Alumni] Do you care about Bahasa Indonesia?
Dear Alumni,
Malaysian Department of Tourism is currently offering sponsorship to Australian school teachers of Indonesian to visit the country fro free topractically browse some cultural aspects like batik, ground tours, etc. They also try to promote Indonesian language teaching services for Australianstudents of Indonesian. We all know Australian students and teachers areofficially allowed to travel to Indonesia, like they did during thepre-bombing incidents in may parts of Indonesia - security reasons,politically correct. I guess Malaysia should thank to Mr. N. Topp. Hah?
In 2006 a travel agent in Melbourne promote 'Let's learn Indonesian inMalaysia' campaign to Australian students. In the July 2007 InternationalBIPA (Indonesian as a Second Language) Workshop in Jakarta I voiced verystrongly to the government to provide Indonesian language teaching(learning) scholarship to Australian teachers and students of Indonesian. Sofar, nothing has happened. Do you care?
For more information about BIPA programs in Indonesia visitwww.apbipabali.org.
From: alumni-bounces@adsindonesia.or.id[mailto:alumni-bounces@adsindonesia.or.id] On Behalf Of Nyoman RiasaSent: Tuesday, September 08, 2009 5:54 PMTo: alumni@adsindonesia.or.id.
Subject: Re: [AusAID Alumni] Do you care about Bahasa Indonesia?
Dear Alumni,
Malaysian Department of Tourism is currently offering sponsorship to Australian school teachers of Indonesian to visit the country fro free topractically browse some cultural aspects like batik, ground tours, etc. They also try to promote Indonesian language teaching services for Australianstudents of Indonesian. We all know Australian students and teachers areofficially allowed to travel to Indonesia, like they did during thepre-bombing incidents in may parts of Indonesia - security reasons,politically correct. I guess Malaysia should thank to Mr. N. Topp. Hah?
In 2006 a travel agent in Melbourne promote 'Let's learn Indonesian inMalaysia' campaign to Australian students. In the July 2007 InternationalBIPA (Indonesian as a Second Language) Workshop in Jakarta I voiced verystrongly to the government to provide Indonesian language teaching(learning) scholarship to Australian teachers and students of Indonesian. Sofar, nothing has happened. Do you care?
For more information about BIPA programs in Indonesia visitwww.apbipabali.org.
From: alumni-bounces@adsindonesia.or.id[mailto:alumni-bounces@adsindonesia.or.id] On Behalf Of Nyoman RiasaSent: Tuesday, September 08, 2009 5:54 PMTo: alumni@adsindonesia.or.id.
Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)
Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)
Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).
Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).
Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.
Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.
Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).
Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Hatiku selembar daun...
Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).
Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).
Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.
Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.
Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).
Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Hatiku selembar daun...
Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)
Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)
Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).
Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Kesimpulan
Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).
Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Kesimpulan
Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
A Morning Westward Walk
Sapardi Djoko Damono
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
Hatiku selembar daun...
A Morning Westward Walk
Sapardi Djoko Damono
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
Hatiku selembar daun...
Semangkuk Mie Kuah
Semangkuk Mie Kuah
Oleh: Tidak Diketahui
Diterjemahkan: Li Kuei Chuen
Pendahuluan:
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.
Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko).
Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.
Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar - bercorak kotak - yang telah usang.
"Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan salam.
Wanita itu berkata dengan takut-takut: "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah ?"
Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang.
"Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur: "Semangkuk mie kuah !"
Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali !"
Sang kakak berkata: "Ma, kamu juga coba-coba dong!"
Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih!" serta membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.
Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.
"Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah ?"
"Tentu, tentu, silakan duduk !"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah!".
Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan.
Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami: "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?"
"Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak."
Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko.
"Sangat wangi... sangat hebat... sangat nikmat!"
"Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!"
"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."
Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.
"Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru."
Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama.
Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai berperasaan tidak tenang.
Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.
Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.
Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya.
"Silakan masuk! Silakan masuk " Istri majikan toko menyambut dengan hangat.
Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut berkata: "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?"
"Baik, silakan duduk!"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie".
Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.
"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !"
"Terima kasih !"
"Mengapa ?"
"Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."
"Ya, hal ini kami tahu!" Sang kakak menjawab.
Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan.
"Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini !"
"Oh, mama, benarkah ?"
"Ya, benar, karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa."
"Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam."
"Saya juga ingin terus mengantar koran."
"Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!"
"Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."
"Benar ada hal ini ? Lalu ?"
"Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)",
Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."
"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun."
"Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat.. 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."
"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor 1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung! Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!"
Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.
"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata."
"Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?"
"Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan."
"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin untuk memperhatikan adik saya."
Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie.
Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!"
Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul.
Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya.
Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.
Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.
Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba... terbuka kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.
Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.
Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan: "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?"
Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu.
Sang suami di balik dapur juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut dan mengatakan: "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar."
"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo."
"Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."
Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata: "Selamat datang! Silakan... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah."
Hatiku selembar daun...
Oleh: Tidak Diketahui
Diterjemahkan: Li Kuei Chuen
Pendahuluan:
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.
Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko).
Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.
Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar - bercorak kotak - yang telah usang.
"Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan salam.
Wanita itu berkata dengan takut-takut: "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah ?"
Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang.
"Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur: "Semangkuk mie kuah !"
Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali !"
Sang kakak berkata: "Ma, kamu juga coba-coba dong!"
Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih!" serta membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.
Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.
"Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah ?"
"Tentu, tentu, silakan duduk !"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah!".
Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan.
Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami: "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?"
"Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak."
Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih.
Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko.
"Sangat wangi... sangat hebat... sangat nikmat!"
"Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!"
"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."
Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.
"Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru."
Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama.
Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai berperasaan tidak tenang.
Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.
Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.
Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya.
"Silakan masuk! Silakan masuk " Istri majikan toko menyambut dengan hangat.
Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut berkata: "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?"
"Baik, silakan duduk!"
Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie".
Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.
"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !"
"Terima kasih !"
"Mengapa ?"
"Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."
"Ya, hal ini kami tahu!" Sang kakak menjawab.
Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan.
"Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini !"
"Oh, mama, benarkah ?"
"Ya, benar, karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa."
"Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam."
"Saya juga ingin terus mengantar koran."
"Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!"
"Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."
"Benar ada hal ini ? Lalu ?"
"Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)",
Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."
"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun."
"Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat.. 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."
"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor 1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung! Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!"
Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.
"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata."
"Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?"
"Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan."
"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin untuk memperhatikan adik saya."
Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie.
Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!"
Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul.
Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya.
Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.
Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.
Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba... terbuka kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.
Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.
Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan: "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?"
Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu.
Sang suami di balik dapur juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut dan mengatakan: "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar."
"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo."
"Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."
Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata: "Selamat datang! Silakan... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah."
Hatiku selembar daun...
Laki-Laki Yang Membenci Isterinya
Laki-Laki Yang Membenci Isterinya
Lima tahun usia pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit.
Semakin hari semakin tidak ada kecocokan diantara kami. Kami bertengkar
karena hal-hal kecil. Karena Ellen lambat membukakan pagar saat aku
pulang kantor. Karena meja sudut di ruang keluarga yang ia beli tanpa
membicarakannya denganku, bagiku itu hanya membuang uang saja.
Hari ini, 27 Agustus adalah ulan tahun Ellen. Kami bertengkar pagi
ini karena Ellen kesiangan membangunkanku. Aku kesal dan tak mengucapkan
selamat ulang tahun padanya, kecupan di keningnya yang biasa kulakukan
di hari ulang tahunnya tak mau kulakukan. Malam sekitar pukul 7, Ellen
sudah 3 kali menghubungiku untuk memintaku segera pulang dan makan malam
bersamanya, tentu saja permintaannya tidak kuhiraukan.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, aku merapikan meja kerjaku dan
beranjak pulang. Hujan turun sangat deras, sudah larut malam tapi jalan
di tengah kota Jakarta masih saja macet, aku benar-benar dibuat kesal oleh
keadaan. Membayangkan pulang dan bertemu dengan Ellen membuatku semakin
kesal! Akhirnya aku sampai juga di rumah pukul 12 malam, dua jam perjalanan
kutempuh yang biasanya aku hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai di
rumah.
Kulihat Ellen tertidur di sofa ruang keluarga. Sempat aku berhenti
di hadapannya dan memandang wajahnya. "Ia sungguh cantik" kataku dalam
hati, "Wanita yang menjalin hubungan denganku selama 7 tahun sejak duduk di
bangku SMA yang kini telah kunikahi selama 5 tahun, tetap saja cantik". Aku
menghela nafas dan meninggalkannya pergi, aku ingat kalau aku sedang
kesal sekali dengannya.
Aku langsung masuk ke kamar. Di meja rias istriku kulihat buku itu,
buku coklat tebal yang dimiliki oleh istriku. Bertahun-tahun Ellen
menulis cerita hidupnya pada buku coklat itu. Sejak sebelum menikah, tak pernah
ia ijinkan aku membukanya. Inilah saatnya! Aku tak mempedulikan Ellen,
kuraih buku coklat itu dan kubuka halaman demi halaman secara acak.
14 Februari 1996. Terima kasih Tuhan atas pemberianMu yang berarti
bagiku, Vincent, pacar pertamaku yang akan menjadi pacar terakhirku.
Hmm. aku tersenyum, Ellen yakin sekali kalau aku yang akan menjadi
suaminya.
6 September 2001, Tak sengaja kulihat Vincent makan malam dengan
wanita lain sambil tertawa mesra. Tuhan, aku mohon agar Vincent tidak
pindah ke lain hati.
Jantungku serasa mau berhenti...
23 Oktober 2001, Aku menemukan surat ucapan terima kasih untuk
Vincent, atas candle light dinner di hari ulang tahun seorang wanita
dengan nama Melly. Siapakah dia Tuhan? Bukakanlah mataku untuk apa yang Kau
kehendaki agar aku ketahui.
Jantungku benar-benar mau berhenti. Melly, wanita yang sempat dekat
denganku disaat usia hubunganku dengan Ellen telah mencapai
5 tahun. Melly, yang karenanya aku hampir saja mau memutuskan hubunganku
dengan Ellen karena kejenuhanku. Aku telah memutuskan untuk tidak
bertemu dengan Melly lagi setelah dekat dengannya selama 4 bulan, dan memutuskan
untuk tetap setia kepada Ellen. Aku sungguh tak menduga kalau Ellen
mengetahui hubunganku dengan Melly.
4 Januari 2002, Aku dihampiri wanita bernama Melly, Ia menghinaku
dan mengatakan Vincent telah selingkuh dengannya. Tuhan, beri aku
kekuatan yang berasal daripadaMu.
Bagaimana mungkin Ellen sekuat itu, ia tak pernah mengatakan apapun
atau menangis di hadapanku setelah mengetahui aku telah
menghianatinya. Aku tahu Melly, dia pasti telah membuat hati Ellen
sangat terluka dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya.
Nafasku sesak, tak mampu kubayangkan apa yang Ellen rasakan saat itu.
14 Februari 2002, Vincent melamarku di hari jadi kami yang ke-6.
Tuhan apa yang harus kulakukan? Berikan aku tanda untuk keputusan yang
harus kuambil.
14 Februari 2003, Hari minggu yang luar biasa, aku telah menjadi
Nyonya Alexander Vincent Winoto. Terima kasih Tuhan!
18 Juli 2005, Pertengkaran pertama kami sebagai keluarga. Aku harap
aku tak kemanisan lagi membuatkan teh untuknya. Tuhan, bantu aku agar
lebih berhati-hati membuatkan teh untuk suamiku.
7 April 2006, Vincent marah padaku, aku tertidur pulas saat ia
pulang kantor sehingga ia menunggu di depan rumah agak lama.
Seharian aku berada mall mencari jam idaman Vincent, aku ingin
membelikan jam itu di hari ulang tahunnya yang tinggal 2 hari lagi. Tuhan, beri
kedamaian di hati Vincent agar ia tidak marah lagi padaku, aku tak akan
tidur di sore hari lagi kalau Vincent belum pulang walaupun aku lelah.
Aku mulai menangis, Ellen mencoba membahagiakanku tapi aku malah
memarahinya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Jam itu adalah jam
kesayanganku yang kupakai sampai hari ini, tak kusadari ia membelikannya
dengan susah payah.
15 November 2007, Vincent butuh meja untuk menaruh kopi di ruang
keluarga, dia sangat suka membaca di sudut ruang itu. Tuhan, bantu aku
menabung agar aku dapat membelikan sebuah meja, hadiah Natal untuk
Vincent.
Aku tak dapat lagi menahan tangisanku, Ellen tak pernah mengatakan
meja itu adalah hadiah Natal untukku. Ya, ia memang membelinya di malam
Natal dan menaruhnya hari itu juga di ruang keluarga.
Aku sudah tak sanggup lagi membuka halaman berikutnya. Ellen sungguh
diberi kekuatan dari Tuhan untuk mencintaiku tanpa syarat.
Aku berlari keluar kamar, kukecup kening Ellen dan ia terbangun.
"Maafkan aku Ellen, Aku mencintaimu, Selamat ulang tahun."
Source: Dari Milis Tetangga.
Hatiku selembar daun...
Lima tahun usia pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit.
Semakin hari semakin tidak ada kecocokan diantara kami. Kami bertengkar
karena hal-hal kecil. Karena Ellen lambat membukakan pagar saat aku
pulang kantor. Karena meja sudut di ruang keluarga yang ia beli tanpa
membicarakannya denganku, bagiku itu hanya membuang uang saja.
Hari ini, 27 Agustus adalah ulan tahun Ellen. Kami bertengkar pagi
ini karena Ellen kesiangan membangunkanku. Aku kesal dan tak mengucapkan
selamat ulang tahun padanya, kecupan di keningnya yang biasa kulakukan
di hari ulang tahunnya tak mau kulakukan. Malam sekitar pukul 7, Ellen
sudah 3 kali menghubungiku untuk memintaku segera pulang dan makan malam
bersamanya, tentu saja permintaannya tidak kuhiraukan.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, aku merapikan meja kerjaku dan
beranjak pulang. Hujan turun sangat deras, sudah larut malam tapi jalan
di tengah kota Jakarta masih saja macet, aku benar-benar dibuat kesal oleh
keadaan. Membayangkan pulang dan bertemu dengan Ellen membuatku semakin
kesal! Akhirnya aku sampai juga di rumah pukul 12 malam, dua jam perjalanan
kutempuh yang biasanya aku hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai di
rumah.
Kulihat Ellen tertidur di sofa ruang keluarga. Sempat aku berhenti
di hadapannya dan memandang wajahnya. "Ia sungguh cantik" kataku dalam
hati, "Wanita yang menjalin hubungan denganku selama 7 tahun sejak duduk di
bangku SMA yang kini telah kunikahi selama 5 tahun, tetap saja cantik". Aku
menghela nafas dan meninggalkannya pergi, aku ingat kalau aku sedang
kesal sekali dengannya.
Aku langsung masuk ke kamar. Di meja rias istriku kulihat buku itu,
buku coklat tebal yang dimiliki oleh istriku. Bertahun-tahun Ellen
menulis cerita hidupnya pada buku coklat itu. Sejak sebelum menikah, tak pernah
ia ijinkan aku membukanya. Inilah saatnya! Aku tak mempedulikan Ellen,
kuraih buku coklat itu dan kubuka halaman demi halaman secara acak.
14 Februari 1996. Terima kasih Tuhan atas pemberianMu yang berarti
bagiku, Vincent, pacar pertamaku yang akan menjadi pacar terakhirku.
Hmm. aku tersenyum, Ellen yakin sekali kalau aku yang akan menjadi
suaminya.
6 September 2001, Tak sengaja kulihat Vincent makan malam dengan
wanita lain sambil tertawa mesra. Tuhan, aku mohon agar Vincent tidak
pindah ke lain hati.
Jantungku serasa mau berhenti...
23 Oktober 2001, Aku menemukan surat ucapan terima kasih untuk
Vincent, atas candle light dinner di hari ulang tahun seorang wanita
dengan nama Melly. Siapakah dia Tuhan? Bukakanlah mataku untuk apa yang Kau
kehendaki agar aku ketahui.
Jantungku benar-benar mau berhenti. Melly, wanita yang sempat dekat
denganku disaat usia hubunganku dengan Ellen telah mencapai
5 tahun. Melly, yang karenanya aku hampir saja mau memutuskan hubunganku
dengan Ellen karena kejenuhanku. Aku telah memutuskan untuk tidak
bertemu dengan Melly lagi setelah dekat dengannya selama 4 bulan, dan memutuskan
untuk tetap setia kepada Ellen. Aku sungguh tak menduga kalau Ellen
mengetahui hubunganku dengan Melly.
4 Januari 2002, Aku dihampiri wanita bernama Melly, Ia menghinaku
dan mengatakan Vincent telah selingkuh dengannya. Tuhan, beri aku
kekuatan yang berasal daripadaMu.
Bagaimana mungkin Ellen sekuat itu, ia tak pernah mengatakan apapun
atau menangis di hadapanku setelah mengetahui aku telah
menghianatinya. Aku tahu Melly, dia pasti telah membuat hati Ellen
sangat terluka dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya.
Nafasku sesak, tak mampu kubayangkan apa yang Ellen rasakan saat itu.
14 Februari 2002, Vincent melamarku di hari jadi kami yang ke-6.
Tuhan apa yang harus kulakukan? Berikan aku tanda untuk keputusan yang
harus kuambil.
14 Februari 2003, Hari minggu yang luar biasa, aku telah menjadi
Nyonya Alexander Vincent Winoto. Terima kasih Tuhan!
18 Juli 2005, Pertengkaran pertama kami sebagai keluarga. Aku harap
aku tak kemanisan lagi membuatkan teh untuknya. Tuhan, bantu aku agar
lebih berhati-hati membuatkan teh untuk suamiku.
7 April 2006, Vincent marah padaku, aku tertidur pulas saat ia
pulang kantor sehingga ia menunggu di depan rumah agak lama.
Seharian aku berada mall mencari jam idaman Vincent, aku ingin
membelikan jam itu di hari ulang tahunnya yang tinggal 2 hari lagi. Tuhan, beri
kedamaian di hati Vincent agar ia tidak marah lagi padaku, aku tak akan
tidur di sore hari lagi kalau Vincent belum pulang walaupun aku lelah.
Aku mulai menangis, Ellen mencoba membahagiakanku tapi aku malah
memarahinya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Jam itu adalah jam
kesayanganku yang kupakai sampai hari ini, tak kusadari ia membelikannya
dengan susah payah.
15 November 2007, Vincent butuh meja untuk menaruh kopi di ruang
keluarga, dia sangat suka membaca di sudut ruang itu. Tuhan, bantu aku
menabung agar aku dapat membelikan sebuah meja, hadiah Natal untuk
Vincent.
Aku tak dapat lagi menahan tangisanku, Ellen tak pernah mengatakan
meja itu adalah hadiah Natal untukku. Ya, ia memang membelinya di malam
Natal dan menaruhnya hari itu juga di ruang keluarga.
Aku sudah tak sanggup lagi membuka halaman berikutnya. Ellen sungguh
diberi kekuatan dari Tuhan untuk mencintaiku tanpa syarat.
Aku berlari keluar kamar, kukecup kening Ellen dan ia terbangun.
"Maafkan aku Ellen, Aku mencintaimu, Selamat ulang tahun."
Source: Dari Milis Tetangga.
Hatiku selembar daun...
Adik Yang Menyayangi Kakaknya
Adik Yang Menyayangi Kakaknya
Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times”
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri ima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”
yah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kkalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, ” Ada seorang ppenduduk dusun menunggumu di luar sana !” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit.. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Hatiku selembar daun...
Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times”
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri ima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”
yah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kkalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, ” Ada seorang ppenduduk dusun menunggumu di luar sana !” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit.. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Hatiku selembar daun...
BAGAIMANA MENGETAHUI KARAKTER LAKI-LAKI??!!
BAGAIMANA MENGETAHUI KARAKTER LAKI-LAKI??!!
Lelaki Ramah :
Ngajak ngobrol sambil pipis, sampe temennya nggak bisa
pipis
Lelaki Gaul :
Selalu ikut temenya ke toilet, walaupun dia nggak
pipis
Lelaki Pembenci :
Sesudah pipis terus ngeludahin pipisnya
Lelaki Komunikatif :
Pipis sambil ketik SMS
Lelaki Sibuk :
Selalu nunggu sampai kebelet,….terus
erbirit-birit
lari ke toilet
Lelaki Enjoy :
Pipis sambil merem melek
Lelaki Hemat waktu :
Cuma buka resleting, dikeluarin, terus langsung
pipis
Lelaki Arogan :
Pipisnya sambil kedua tangan tolak pinggang
Lelaki Pemalu :
Jika merasa dilihat orang lain pipisnya nggak
keluar,
tapi pura-pura nyiram
Lelaki Malu-Maluin :
Pipis dicelana
Lelaki Pemabuk :
Jempol tangan kiri dipegang dengan tangan kanan,
lalu
pipis dicelana
Lelaki Edan :
Memakai Celana yang habis dipipisin
Lelaki Romantis :
Pipisnya sambil mendesah aaaahh….
Lelaki Sial :
Maunya pipis air, yang keluar malah batu
Lelaki Percaya diri :
Habis pipis, anunya dibawa jalan ke wastafel, terus
cebok di wastafel.
Hatiku selembar daun...
Lelaki Ramah :
Ngajak ngobrol sambil pipis, sampe temennya nggak bisa
pipis
Lelaki Gaul :
Selalu ikut temenya ke toilet, walaupun dia nggak
pipis
Lelaki Pembenci :
Sesudah pipis terus ngeludahin pipisnya
Lelaki Komunikatif :
Pipis sambil ketik SMS
Lelaki Sibuk :
Selalu nunggu sampai kebelet,….terus
erbirit-birit
lari ke toilet
Lelaki Enjoy :
Pipis sambil merem melek
Lelaki Hemat waktu :
Cuma buka resleting, dikeluarin, terus langsung
pipis
Lelaki Arogan :
Pipisnya sambil kedua tangan tolak pinggang
Lelaki Pemalu :
Jika merasa dilihat orang lain pipisnya nggak
keluar,
tapi pura-pura nyiram
Lelaki Malu-Maluin :
Pipis dicelana
Lelaki Pemabuk :
Jempol tangan kiri dipegang dengan tangan kanan,
lalu
pipis dicelana
Lelaki Edan :
Memakai Celana yang habis dipipisin
Lelaki Romantis :
Pipisnya sambil mendesah aaaahh….
Lelaki Sial :
Maunya pipis air, yang keluar malah batu
Lelaki Percaya diri :
Habis pipis, anunya dibawa jalan ke wastafel, terus
cebok di wastafel.
Hatiku selembar daun...
Subscribe to:
Comments (Atom)