Sunday 29 June 2008

DEFINISI KEBUDAYAAN

PARSUDI SUPARLAN

UNIVERSITAS INDONESIA



Definisi Kebudayaan

"Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya." (Hlm. 2-18 alinea I)

"Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya." (Hlm. 2-19 alinea III)

"Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang dihadapi oleh pendukungnya." (Hlm. 2-19/2-20 alinea terakhir).

"...melihat kebudayaan sebagai: (1) Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut; (2) Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan; (3) Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; (4) Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan; karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada kebudayaan yang dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.

Sebagai pengetahuan, kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk memilah (mengkategorisasi) konsep-konsep dan merangkai hasil pilahan untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan dalam mewujudkan tindakan-tindakan dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan dan sumber-sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan adalah sebagai pedoman dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya." (Hlm. 4-1 alinea II & III)

"Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.

Sebagai pengetahuan, kebudayaan dengan demikian adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukannya suatu tindakan yang merupakan satuan gejala. Sebagai suatu satuan ide yang menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma, dan model-model pengetahuan, baik dengan secara sadar maupun tidak, baik secara rasionil maupun secara intuitif dan penuh perasaan, telah digunakan secara selektif oleh yang bersangkutan untuk memahami dan menjadi pedoman tingkah lakunya dalam menghadapi lingkungan alam, sosial, dan budaya." (Hlm. 5-6 alinea II & III)

Unsur kebudayaan

"... Sehingga dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) Bahasa dan komunikasi; (2) Ilmu Pengetahuan; (3) Teknologi; (4) Ekonomi; (5) Organisasi Sosial; (6) Agama; dan (7) Kesenian." (Hlm. 2-3 alinea III)

"Setiap kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang universal, yaitu: struktur sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan teknologi, sistem agama, serta sistem bahasa dan komunikasi." (Hlm. 2-19 alinea III)

Definisi Kota

"... secara ringkas kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat pemukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan hidup yang lebih besar pengelompokannya daripada sebuah klen atau marga atau keluarga luas. Kota juga merupakan sebuah tempat di mana terdapat kesempatan-kesempatan ..." (hlm. 3-2 al. III & hlm. 3-24 alinea III)

" ... kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal yang dihuni secara permanen dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokkannya daripada kelompok klen atau keluarga. Kota juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatan-kesempatan dan permintaan-permintaan yang mewujudkan adanya sistem pembagian kerja, yang kemudian menciptakan adanya kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggungjawab di antara golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai macam bentuk dan corak spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macam kota yang sesuai dengan peranan khusus kota dalam kedudukan fungsional dengan daerah-daerah pedesaan/pedalaman di sekelilingnya dan berada dalam kekuasaannya." (Hlm. 3-80 alinea I)

Syarat Terwujudnya Kota

"...Dalam keadaan demikian, para warga pemukiman tersebut dihadapkan pada pilihan untuk saling merampok dan membunuh karena memperebutkan sumber-sumber rezeki atau saling bekerja sama untuk mengatur kehidupan bersama dengan mendistribusikan fungsi-fungsi sosial dan spesialisasi-spesisalisasi kerja. Kepadatan penduduk saja tidak akan dapat mewujudkan adanya kota. Untuk terwujudnya kota diperlukan syarat-syarat:

(1) Harus terletak dipersimpangan jalur lalu lintas darat atau air;

(2) Para warganya mempunyai kelebihan teknologi dan kekuatan militer sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah pertanian dan pedalaman yang ada disekitarnya dan mengatur kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dari warga wilayah disekeliling kota tersebut." (Hlm. 3-4 alinea II bawah)

"... Dalam keadaan demikian, sebenarnya mereka dihadapkan pada suatu alternatif pilihan, yaitu: saling merampok dan membunuh atau bekerjasama untuk mengatur kehidupannya dengan mendistribusikan fungsi-fungsi sosial dan spesialisasi-spesialisasi kerja. Tetapi kepadatan penduduk saja tidak akan dapat mewujudkan adanya kota. Syarat-syarat lain yang diperlukan adalah: (1) Harus terletak di persimpangan jalur lalu lintas perdagangan (darat atau air); (2) Warganya mempunyai kelebihan dalam hal teknologi dan kekuatan militer sehingga dapat mengintegrasikan wilayah-wilayah pertanian yang ada di sekelilingnya serta mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya mereka." (Hlm. 3-25 alinea II & hlm. 3-81 alinea I).

Kebutuhan

" ... ada tiga golongan kebutuhan manusia yang sifatnya universal, yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih baik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:

1. Kebutuhan Utama atau Primer, yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan:
a. Makanan/minuman/air;
b. Buang air besar/kecil;
c. Perlindungan dari iklim/suhu udara;
d. Istirahat, tidur;
e. Pelepasan dorongan seksual dan reproduksi;
f. Kesehatan yang baik.

2. Kebutuhan Sosial atau Sekunder, yang terwujud sebagai hasil akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan primer, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan:
a. Berkomunikasi dengan sesama;
b. Melakukan kegiatan-kegiatan bersama dengan orang lain;
c. Keteraturan sosial dan kontrol sosial;
d. Kepuasan akan benda-benda material dan kekayaan;
e. Sistem pendidikan.

3. Kebutuhan Integratif, yang muncul dan terpancar dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral, yang fungsinya mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan menjadi satu satuan sistem dan masuk akal bagi para pelakunya, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan:
a. Adanya perasaan benar-salah, adil-tidak adil;
b. Mengungkapkan perasaan-perasaan kolektif/ kebersamaan;
c. Perasaan keyakinan diri dan keberadannya;
d. Rekreasi dan hiburan.

Berbeda dengan hewan yang dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya diperoleh dari lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan spesialisasi fisik/tubuh yang diwarisinya secara genetika; manusia menggunakan kebudayaannya sebagai pedoman hidup dan bertindak, sebagai alat dan jembatan yang mengantarainya dengan berbagai sumberdaya yang ada dalam lingkungannya. Keanekaragaman kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia telah menyebabkan juga terwujudnya beranekaragam model-model pengetahuan, yang beroperasi pada berbagai tingkat kognitif dan afektif, yang masing-masing berguna untuk usaha-usaha pemenuhan masing-masing satuan kebutuhan atau sejumlah satuan kebutuhan manusia ..." (Hlm. 2-2 alinea terakhir s/d hlm. 2-3 alinea III)

"Untuk dapat hidup manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh tubuhnya untuk dipenuhi, seperti bernafas, makan, minum, buang air dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan itu digolongkan sebagai kebutuhan primer, karena kalau tidak makan atau minum maka tubuhnya akan mati. Kebutuhan-kebutuhan lainnya adalah kebutuhan-kebutuhan sosial, karena manusia itu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik-biologinya dalam kehidupannya sebagai manusia melalui kehidupan sosialnya. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan kemanusiaan yang berada, bermoral, mempunyai etika, dan estetika. Kebutuhan terakhir inilah yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dapat membedakan dirinya dari hewan." (Hlm. 4-2 alinea I)

"Secara universal ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia untuk dapat hidup sebagai manusia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: (1) kebutuhan primer, yang kemunculannya bersumber dari aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia; (2) kebutuhan sekunder yang kemunculannya bersumber dari aspek-aspek sosial manusia, yang hampir dapat dikatakan hanya dapat memenuhi kebutuhan primernya dalam kehidupan sosial; dan (3) kebutuhan tertier atau kebutuhan budaya atau adab, yang kemunculannya bersumber dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral. Dua kebutuhan yang pertama (biologi dan sosial) adalah mutlak harus dipenuhi untuk dapat hidup. Hewan juga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, terkecuali makhluk bersel satu. Sedangkan kebutuhan ketiga, yaitu kebutuhan budaya dan adab hanya dilakukan pemenuhannya oleh manusia.

Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan hidupnya, menjadi energi dalam dan bagi kehidupannya dengan menggunakan kebudayaannya. Kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman menyeluruh bagi kehidupan yang dimiliki oleh sebuah masyarakat. Isinya adalah konsep-konsep dan cara-cara mengklasifikasi konsep-konsep serta merangkainya secara selektif untuk digunakan pada situasi atau lingkungan tertentu yang dihadapi. Dalam konsep-konsep tersebut tercakup emosi-emosi dan perasaan-perasaan serta keyakinan-keyakinan beserta penilaian dan nilai-nilai mengenai sesuatu gejala yang ada dalam lingkungan dan kehidupannya." (Hlm. 6-18 alinea terakhir s/d hlm. 6-19 alinea I)


Fungsi Dominan dalam Kehidupan Kota

"Karena itu setiap kota mempunyai banyak fungsi, yang mencakup: (1) Manufaktur dan produksi; (2) perdagangan dan bisnis; (3) administrasi dan politik; (4) pendidikan dan kebudayaan; (5) rekreasi dan wisata; (6) militer. Tetapi setiap kota juga menunjukkan ciri-ciri yang menyolok atau dominan berdasarkan salah satu fungsi atau sejumlah fungsi seperti tersebut di atas. Ciri-ciri yang menyolok berdasarkan atas fungsinya tersebut menyebabkan sesuatu kota menjadi pusat kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan fungsinya. Hal ini mempengaruhi corak kebudayaan dari kota yang bersangkutan, sebagaimana terlihat dari corak kehidupan masyarakat dan kegiatan sehari-hari dari warga masyarakat kota tersebut. Perincian dari ciri-ciri kota adalah sebagai berikut:

1. Pusat produksi. Kota yang fungsinya sebagai pusat produksi dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu: (a) produksi primer atau produksi hulu, ..dan (b) produksi sekunder/ produksi hilir,.. dst.
2. Pusat perdagangan dan bisnis. Pada hakekatnya semua kota... dst.
3. Pusat Administrasi dan Politik. Setiap negara mempunyai sistem nasional yang jaringan administrasinya terpusat di kota-kota ... dst.
4. Pendidikan dan Kebudayaan. ... adalah kota sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan ... dst.
5. Kota Militer. Kota yang menjadi pusat kegiatan militer ... dst.
6. Kota Wisata. Kalau kita datang ke kota Honolulu di Hawaii kita langsung dapat merasakan bahwa kota tersebut adalah kota wisata. Berbagai pelayanan kegiatan sehari-hari adalah pelayanan untuk wisatawan. Dari fasilitas untuk menginap atau hotel, transportasi, rumah makan, hiburan siang dan malam,... dst."

(Hlm. 3-6 alinea terakhir s/d hlm. 3-9)

"... Fungsi-fungsi yang dipunyai oleh setiap kota mencakup:
1. Manufaktur dan Produksi;
2. Perdagangan dan Bisnis;
3. Politik dan Administrasi Pemerintahan;
4. Pendidikan dan Kebudayaan;
5. Rekreasi dan Wisata; dan
6. Militer
(Hlm. 3-38 alinea II akhir)

"... Fungsi-fungsi yang menjadi dasar keberadaan, perkembangan, dan kelestarian kehidupan kota serta kehidupan kota-kota lainnya, kehidupan pedesaan, kehidupan negara dan hubungan-hubungannya dengan negara lain, serta kehidupan warga kota yang bersangkutan, mencakup: (1) Perdagangan dan Bisnis; (2) Manufaktur dan Produksi; (3) Politik dan Administrasi Pemerintah; (4) Pendidikan dan Kebudayaan; (5) Hiburan, Rekreasi, dan Wisata; dan (6) Militer." (Hlm. 6-30 alinea II)

" ... Fungsi-fungsi tersebut mencakup; (1) Administrasi pemerintahan dan politik, (2) Manufaktur dan produksi, (3) Perdagangan dan bisnis, (4) Pendidikan dan kebudayaan, (5) Hiburan, rekreasi dan wisata serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya, (6) Militer, (7) Permukiman." (Hlm. 6-43 alinea I)

Lingkungan Kebudayaan (Cultural Spheres)

"... Salah satu dari model-model ini adalah yang telah dikembangkan seorang ahli antropologi yang bernama Leo Despres, dimana dia mengemukakan akan adanya tiga macam lingkungan kebudayaan (cultural spheres) yang terdiri atas: (1) lingkungan nasional; (2) lingkungan sukubangsa; dan (3) lingkungan pasar atau campuran. Lingkungan atau spheres terwujud dari adanya sistem atau struktur yang dapat berupa situasi sosial atau serangkaian situasi sosial yang merupakan arena tempat terjadinya interaksi.

Dengan menggunakan kebudayaan nasional yang terwujud dalam berbagai kegiatan sosial yang resmi sifatnya, seperti berbagai kegiatan sosial yang lahir dari hubungan kerja di kantor, hubungan guru dan murid di kelas atau sekolah, dalam berbagai upacara nasional, rapat-rapat kerja, seminar dan sebagainya, yang terwujud adalah simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan nasional ..." (Hlm. 2-24 alinea III & IV)

"Dalam kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku tetapi yang kegunaannya sebagai acuan berbeda-beda menurut konteks lingkungan kegiatannya. Kebudayaan yang pertama adalah kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional. Kegiatan-kegiatan sehari-hari warga kota yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan pada waktu mereka harus bertindak sebagai warganegara dan berada dalam suasana-suasana nasional. ... " (Hlm. 3-10 alinea II)

" ... ada 3 kategori kebudayaan dalam masyarakat Indonesia, ... ketiganya terwujud dalam struktur kehidupan perkotaan, yaitu: (1) Kebudayaan nasional Indonesia atau kebudayaan bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam suasana-suasana nasional dan arena-arena interaksi yang terwujud dalam struktur-struktur serta pranata-pranata yang diciptakan oleh dan yang menjadi unsur-unsur pendukung dari sistem nasional. (2) Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang berfungsi dan operasional dalam suasana-suasana sukubangsa dan arena-arena interaksi yang ada dalam pranata-pranata dan struktur-struktur kebudayaan sukubangsa masing-masing, terutama dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan. (3) Kebudayaan umum-lokal yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam berbagai fase kehidupan pergaulan umum (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan) yang berlaku dalam lokal-lokal di tempat umum." (Hlm. 3-84 alinea terakhir)
***
" ... Berbeda dengan kebudayaan nasional kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota." (Hlm. 3-11 alinea II)

"...Prinsip tawar-menawar yang ada dalam kebudayaan umum inilah terutama yang membedakan dari kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan nasional Indonesia." (Hlm. 3-11 alinea III)

Tipe Kemajemukkan - Bruner

"... Adapun unsur-unsur yang tercakup dalam teori "hipotesa kebudayaan dominan" adalah:
1. Secara demografi sosial atau rasio populasi terdapat adanya mayoritas
2. Adanya kebudayaan lokal atau setempat yang mantap yang berlaku dalam kehidupan kota tersebut
3. Ada atau tidaknya semacam pengistimewaan bagi satu kelompok etnik atau sukubangsa yang mayoritas dan yang mempunyai kebudayaan lokal yang mantap dari kota tersebut untuk mendominasi kekuasaan dan pendistribusiannya di dalam administrasi pemerintahan setempat." (Hlm. 3-12 alinea III)

"... Adapun unsur-unsur yang tercakup dalam hipotesa kebudayaan dominan tersebut adalah:
1. Secara demografi sosial atau rasio populasi terdapat adanya mayoritas;
2. Adanya kebudayaan lokal yang dominan dan mantap yang berlaku dalam kehidupan masyarakat perkotaan tersebut;
3. Ada atau tidak pengistimewaan bagi satu kelompok etnik atau sukubangsa yang mayoritas dan mempunyai kebudayaan-kebudayaan lokal yang mantap di kota tersebut untuk mendominasi kekuasaan dan pendistribusiannya di dalam administrasi pemerintahan setempat." (Hlm. 3-45 alinea kedua)

"Menurut Bruner, teori "hipotesa kebudayaan dominan" tersebut terdiri atas 3 komponen, yaitu: (1) demografi sosial atau rasio populasi dan bukan hanya semata-mata heterogenitas atau homogenitas etnik dan kebudayaan; jadi harus ada sebuah kelompok etnik yang secara mayoritas hidup dalam kota tersebut; (2) Adanya kebudayaan lokal yang mantap yang berlaku dalam kota tersebut, sehingga anggota-anggota kelompok etnik lainnya harus secara keseluruhan ataupun sebagian menggunakannya dalam kehidupan mereka di kota; (3) Letak kekuasaan dan pendistribusiannya di antara berbagai kelompok etnik yang hidup di kota tersebut yaitu ada atau tidaknya semacam pengistimewaan bagi satu kelompok etnik mayoritas dan mempunyai kebudayaan lokal yang mantap untuk mendominasi kekuasaan pemerintahan setempat." (Hlm. 3-86 alinea terakhir)

"Bruner (1974) menyatakan bahwa ada atau tidak adanya kelompok kebudayaan dominan dalam suatu masyarakat yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnik yang berbeda, dan khususnya di daerah perkotaan, mempengaruhi corak dan wujud interaksi serta mempengaruhi perwujudan ungkapan etnisitasnya. Selanjutnya dikatakannya bahwa hipotesis itu terdiri atas unsur-unsur: (a) rasio kependudukan dari kelompok-kelompok etnik yang ada; (b) ada atau tidaknya kebudayaan yang baku yang berlaku setempat dalam masyarakat tersebut; dan (c) siapa pemegang kekuasaan dan pendistribusian dari kekuasaan tersebut di antara kelompok-kelompok etnik. Hasil perhitungan dari ketiga unsur itu mencerminkan ada atau tidaknya kelompok kebudayaan dominan dalam masyarakat setempat." (Hlm. 4-13 alinea terakhir)

***

"Dari kasus Bandung dan Medan yang ditelitinya, Bruner menunjukkan bahwa di Bandung ada kebudayaan lokal yang mantap yang dijadikan pedoman bagi kehidupan orang Sunda yang mayoritas secara demografi berbeda dengan kondisi kota Medan, di mana tidak ada kebudayaan lokal yang mantap dan tidak ada mayoritas secara demografi. Yang ada di Medan adalah satuan-satuan etnik atau sukubangsa yang hidup mengelompok di pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh mereka yang mempunyai asal etnik atau sukubangsa yang sama. Berbeda dengan Bandung, di Medan tidak ada kebudayaan dominan yang menjadi acuan utama dalam kehidupan kota ..." (Hlm. 3-13 alinea I)

"Dari kasus-kasus di Bandung dan Medan yang ditelitinya, Bruner menunjukkan bahwa di Bandung ada kebudayaan lokal yang mantap yang dijadikan acuan bagi kehidupan masyarakat perkotaan Bandung, secara demografi sosial ada golongan etnik yang mayoritas dan dominan. Sedangkan di Medan, tidak terdapat kebudayaan lokal yang mantap tetapi yang ada adalah kebudayaan-kebudayaan etnik atau sukubangsa, secara demografi sosial tidak terdapat adanya golongan yang mayoritas dan dominan, yang ada hanyalah satuan-satuan etnik atau sukubangsa yang hidup mengelompok di pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh masing-masing asal etnik yang sama." (Hlm. 3-45 alinea III)

"Pembahasan mengenai contoh-contoh tersebut menjadi relevan dengan dan mendukung teori "hipotesa kebudayaan dominan" dari Prof. Bruner (1974). Dalam teorinya tersebut, Bruner yang menggunakan kasus Bandung dan Medan sebagai satuan analisa, mengemukakan bahwa perbedaan yang menyolok antara struktur kehidupan kota Bandung dan Medan adalah ada atau tidaknya sebuah kebudayaan dominan dari golongan mayoritas. Dan ada atau tidaknya itu mempengaruhi corak struktur perkotaan, kehidupan komuniti dan ekspresi kesukubangsaan. Bandung adalah kota Orang Sunda dan kebudayaan yang dominan adalah kebudayaan Sunda, sedangkan Medan adalah kota kelompok-kelompok minoritas dan tidak mempunyai sebuah kebudayaan yang dominan, sehingga terdapat suatu kontras antara struktur perkotaan yang dilihat dari corak perspektif tempat-tempat umum-lokal. Di Bandung semuanya bercorak Sunda-Bandung, sedangkan di Medan tergantung pada komposisi etnik dan dominasi etnik setempat. Dari segi komuniti, corak struktur kehidupan di Bandung adalah Sunda-Bandung, sedangkan di Medan pemukiman-pemukiman adalah komuniti etnik atau campuran etnik. ... dst." (Hlm. 3-86 alinea II)

***

"Berbagai kritik telah dikemukakan atas ciri-ciri urbanisme yang dikemukakan oleh Wirth, terutama kritik atas munculnya individualisme dan anonimiti. Kritik-kritik tersebut terutama ditujukan pada pemukurataan cara-cara hidup atau kebudayaan perkotaan yang sebenarnya tidak berlaku dalam kehidupan keluarga, kekerabatan, pertemanan, dan persahabatan, dan bahkan juga ketetanggaan atau tetangga kiri kanan rumah. Bruner (1974) misalnya, telah menunjukkan bahwa kehidupan dalam masyarakat perkotaan di Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan teori urbanismenya Wirth. Justru dalam masyarakat perkotaanlah peranan etnik dan kekerabatan itu diaktifkan oleh para pelakunya dan menonjol untuk adaptasi dan mobilitas dalam kehidupan perkotaan; baik bagi para pendatang baru maupun bagi mereka yang sudah mapan kehidupannya di kota." (Hlm. 3-45 alinea I)

"Berbagai kritik atas ciri-ciri urbanisme yang dikemukakan oleh Wirth, terutama berkenaan mengenai munculnya individualisme dan anonimiti. Kritik-kritik tersebut terutama ditujukan pada pemukurataan cara hidup perkotaan yang berlaku dalam pranata-pranata yang dasar, yaitu keluarga, kekerabatan, dan ketetanggaan. Di antara kritik-kritik tersebut, Bruner (1974) telah menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan teori urbanisme. Justru dalam masyarakat kota, peranan etnik dan kekerabatan menjadi penting untuk adaptasi dan mobilitas dalam kehidupan perkotaan bagi para pendatang baru maupun yang sudah mapan hidup di kota..." (Hlm. 3-79 alinea II)

Ciri-ciri Urbanisme - Wirth

"... Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:
1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia, ... dst.
2. Anonimiti, atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan ... dst.
3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu ... dst.
4. Urbanisme atau cara hidup perkotaan bukan hanya milik orang kota saja, tetapi secara bertahap juga mempengaruhi cara hdup masyarakat yang terletak di daerah pinggirannya, ... dst." (Hlm. 3-13 s/d 3-14 alinea III)

"... Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:
1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia, ... dst.
2. Anonimiti, atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan ... dst.
3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu ... dst.
(Hlm. 3-44 s/d 3-45 alinea II)

"Menurut Wirth corak masyarakat kota ditandai oleh adanya urbanism atau cara hidup perkotaan yang ciri-cirinya terutama adalah: (1) Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia yang datang dan pergi, sehingga dia tidak dapat dan tidak mampu untuk mengenal semuanya. ... (2) Anomiti, atau identitas pribadinya tidak dikenal; yang merupakan akibat dari tidak dapat dan tidak mau mengenal semua orang dalam masyarakat kotanya, sehingga mampu untuk bergerak di antara warga masyarakat kotanya tanpa dikenal atau "anonim". (3) Mobilitas tinggi, yaitu warga kota mempunyai kemampuan untuk tidak terikat pada tradisi yang ada dan mempunyai kecenderungan untuk menciptakan tradisi-tradisi baru dalam kehidupan mereka ... mempunyai kecenderungan untuk toleran ... bahkan juga diadopsi tradisi-tradisi baru; dan bukan hanya diri mereka yang tinggi mobilitasnya tetapi juga mentoleransi dan bahkan mengagumi mobilitas tinggi yang dipunyai oleh orang lainnya. Dalam pengertian mobilitas tinggi tercakup pengertian bahwa Orang kota mempunyai kemampuan penyesuaian yang tinggi terhadap lingkungannya yang selalu berubah (transiens) untuk manfaat dan kepentingan diri mereka masing-masing. (4) Urbanisme atau cara hidup perkotaan bukan hanya milik orang kota saja tetapi juga secara bertahap mempengaruhi cara hidup masyarakat yang terletak di daerah pinggirannya, termasuk daerah atau masyarakat pedesaan. Ini berlangsung melalui proses urbanisasi, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang muda dari desa dan melalui berbagai jaringan administrasi pemerintahan, ekonomi, dan perdagangan, pendidikan, media komunikasi massa, dan hubungan-hubungan pribadi antara warga kota dan desa melalui jaringan-jaringan kekerabatan dan sosial yang ada." (Hlm. 3-78 alinea II)

Perkembangan Kota

"Wilayah kota dapat juga berkembang menjadi suatu wilayah yang padat dengan bangunan, barang, dan manusia. Dalam keadaan demikian, wilayah kota sebenarnya sudah tidak mampu lagi menampung pengembangan berbagai kegiatan dari warganya. Kecuali dengan cara mengembangkan luas wilayah kota atau bangunan gedung-gedung secara bertingkat untuk menampung pengembangan kegiatan-kegiatan tersebut. Pembangunan kota di masa lampau, sebelum zaman industri, direncanakan oleh penguasa kota dan terutama untuk kepentingan penguasa kota yang bersangkutan. Benteng-benteng untuk pertahanan kota, gedung-gedung tempat tinggal, taman-taman, monumen-monumen, bangunan-bangunan keagamaan, dan berbagai bangunan fisik lainnya dibangun untuk kepentingan penguasa kota atau warga terhormat dari kota tersebut. Warga kota biasa tidak turut campur dalam perencanaan pengembangan kotanya. Seringkali, pengembangan kota terjadi karena warga kota secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama membangun rumah untuk dihuni, bangunan-bangunan untuk kepentingan ekonomi, jalan-jalan, saluran-saluran air, atau bangunan-bangunan lainnya. Dalam keadaan demikian kota berkembang tanpa sesuatu perencanaan untuk masa depan." (Hlm. 3-15 alinea I)

"Wilayah kota dapat juga berkembang menjadi sebuah wilayah yang padat dengan bangunan, barang dan manusia ... Dalam keadaan kesemrawutan, wilayah kota tersebut sebenarnya tidak mampu lagi untuk menampung berbagai kategori kegiatan dari para warganya. Pemecahannya hanya dengan cara meluaskan wilayah kota atau membangun gedung-gedung bertingkat atau membangun anak kota atau satelit kota."

"Pembangunan kota dimasa lampau, sebelum zaman industri, direncanakan oleh penguasa kota untuk kepentingannya sendiri. Benteng-benteng untuk pertahanan kota, bangunan-bangunan untuk hunian, taman-taman, monumen-monumen, bangunan-bangunan pemerintah, keagamaan, dan bangunan-bangunan untuk berbagai fungsi lainnya dibangun untuk kepentingan penguasa kota atau golongan warga terhormat dari kota tersebut. Warga kota biasa atau mereka yang kedudukan sosialnya rendah tidak ikut campur dalam perencanaan tata ruang kota tersebut..."

"Dalam keadaan dimana warga masyarakat perkotaan tidak mengetahui isi dari perencanaan tata ruang kota, maka yang sering terjadi adalah pemanfaatan ruang-ruang kota yang dilakukan oleh para warganya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk kepentingan mereka masing-masing. Lahan-lahan yang ada di kota dimanfaatkan untuk bangunan-bangunan hunian, pemukiman, jalan-jalan, pemanfaatan air tanah, saluran-saluran pembuangan air limbah, tempat-tempat pembuangan sampah, bangunan-bangunan untuk kepentingan komersial dan bisnis, hiburan dan rekreasi, dan industri ... Sehingga terdapat kesan bahwa kota tersebut telah berkembang tanpa adanya rencana tata ruang kota sebagai patokan atau pedomannya." (Hlm. 3-40 s/d 3-41 alinea III, IV dan V)

"Di masa lampau, yaitu dalam sejarah kota-kota kuno, penataan ruang-ruang kota diperuntukkan bagi kepentingan penguasa kota yang bersangkutan secara sepihak. Perencanaan tata ruang kota biasanya dilakukan secara intuitif dan impulsif yang muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan-perkembangan yang ada dalam lingkungannya atau sesuai dengan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan penguasa tersebut..." (Hlm. 6-31 alinea II)
***
"Kota didirikan oleh sebuah masyarakat untuk memenuhi berbagai kegunaan yang dirasakan penting oleh masyarakat tersebut. Secara sadar atau tidak sadar wilayah kota ditata untuk kepentingan tersebut. Dalam perspektif sejarah kota berkembang karena pertambahan jumlah penduduknya atau karena meningkatnya fungsi-fungsi pelayanannya, baik secara nasional maupun internasional. Pengembangan kota berarti juga pengembangan wilayah fisik kota. Fisik kota menjadi lebar dan meluas atau bangunan-bangunannya naik ke atas, agar dapat menampung kegiatan-kegiatan para warganya yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya." (Hlm. 3-14 alinea terakhir = hlm. 3-40 alinea II)
***"Kota sebagai tempat tinggal yang permanen dari sebuah masyarakat, menempati sebuah wilayah fisik tertentu. Kota dengan demikian, dapat dilihat sebagai sebuah satuan fisik yang berisikan bangunan-bangunan, jalan-jalan, saluran-saluran air bersih dan air kotor, taman-taman dan ruang-ruang terbuka, dan manusia yang menjadi penghuni atau tinggal sementara di kota tersebut. Secara umum kota melayani berbagai kebutuhan para warga masyaraka kota, dan karena itu wilayah-wilayah dalam kota dibangun untuk dapat melayani kebutuhan-kebutuhan kota tersebut. Karena itu, di dalam kota, ada pusat-pusat bisnis dan perdagangan, pusat-pusat perkantoran. Gedung-gedung pemerintah, pasar, tempat-tempat hiburan dan rekreasi, pusat-pusat kegiatan kesenian, wilayah-wilayah pemukiman, dan sebagainya. Batas-batas fisik antara satu jenis pusat kegiatan dengan jenis pusat kegiatan lainnya tidak selamanya terwujud jelas, bahkan seringkali yang terjadi adalah adanya saling tumpang tindih dalam satu wilayah di antara berbagai jenis kegiatan yang dibutuhkan oleh para warga kota." (Hlm. 3-14 alinea IV)

"Sebagai sebuah tempat tinggal atau hunian yang permanen dari sebuah masyarakat, kota dapat dilihat sebagai sebuah satuan fisik. Dalam ruang fisik tersebut kegiatan-kegiatan kehidupan warga dilakukan. Karena itu isi dari ruang fisik kota adalah berbagai bangunan dengan corak dan fungsinya masing-masing, jalan-jalan, ruang-ruang terbuka, saluran-saluran air bersih dan kotor, sampah-sampah, dan manusia yang menjadi penduduknya... Karena itu, di dalam kota ada wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat kegiatan bisnis dan perdagangan, industri, pemerintahan, umum, lalulintas, pasar, hiburan dan rekreasi, kesenian dan wilayah-wilayah pemukiman." (Hlm. 3-40 alinea pertama)

Model-model Pertumbuhan Kota

"Dalam kepustakaan sosiologi perkotaan, dikenal adanya model-model pertumbuhan kota. Model pertama adalah model pertumbuhan yang terpusat atau konsentrik, yang digunakan oleh Burgess. Secara singkat model konsentrik ini mencakup konsep kota sebagai sebuah lingkaran yang pusat dari lingkaran tersebut adalah pusat bisnis. Di luar pusat bisnis, secara bertahap dan melingkarinya, terdapat pusat perdagangan grosir barang kelontong, pemukiman golongan rendah, pemukiman golongan menengah, pemukiman golongan atas, wilayah industri berat, menengah, pemukiman golongan atas, dan wilayah karyawan ulang alik (commuter’s zone). Adapun model-model lainnya, seperti model bintang, model teori sektor, atau model Chicago dapat dilihat dalam tulisan Nas (1984)." (Hlm. 3-15 alinea III)

"Burgess melihat kota sebagai suatu satuan kehidupan yang tumbuh dan berkembang menurut potensi-potensi yang dipunyai dan mengikuti suatu model yang konsentrik polanya, berdasarkan atas kepentingan fungsi-fungsi kota dan penduduknya. Model konsentrik ini adalah model pertumbuhan yang terpusat atau yang terkonsentrasi. Model ini, secara singkat, melihat sebuah kota yang kegiatan-kegiatan warganya menyebabkan pengaturan kehidupan yang mewujudkan pola kota sebagai sebuah lingkaran-lingkaran spiral yang pusat dari lingkaran tersebut adalah pada pusat bisnis dan komersial. Di luar pusat bisnis dan komersial tersebut secara bertahap dan melingkar terdapat pusat-pusat perdagangan grosir barang kelontong, pemukiman dari golongan sosial yang rendah, dan di bagian lingkaran luarnya terdapat pemukiman golongan sosial menengah, sedangkan di bagian yang paling luar adalah golongan sosial tinggi; dan di luarnya lagi terdapat wilayah atau terminal bagi karyawan yang ulang alik (commuters). Adapun model-model lainnya, seperti model bintang, model sektor, ataupun model Chicago dapat diperiksa dalam tulisan Nas (1984)." (Hlm. 3-47 alinea pertama)
***"Pada masa kini, dimana ekonomi pasar telah menjadi bagian dari kehidupan di kota, semua sumberdaya alamiah maupun buatan serta tenaga kerja manusia, harus ditransformasikan menjadi model sebelum dapat digunakan atau dimanfaatkan. Setelah itu maka sumberdaya tersebut dapat menjadi faktor produksi yang dapat diperjual belikan, yang dapat mempunyai nilai sebagai komoditi. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan kota. Tanah sebagai sumberdaya alamiah mempunyai nilai ekonomi berlipatganda, berdasarkan perhitungan rasional ekonomi, pada waktu tanah tersebut ditransformasikan menjadi komoditi. Tanah untuk real-estate, misalnya, mempunyai nilai berlipatganda dibandingkan dengan yang bukan. Begitu juga tanah yang berstatus, memiliki sertifikat, mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan tanah garapan atau tanah adat. Bidang-bidang tanah yang terletak di wilayah bisnis adalah komoditi dibandingkan dengan tanah pekarangan yang terletak di pemukiman yang jauh dari pusat bisnis ataupun dari akses terhadap jalur lalu lintas kendaraan bermotor." (Hlm. 3-16 alinea I)

"Pada masa kini, dimana ekonomi pasar telah menjadi bagian dari kehidupan di kota, semua sumberdaya alamiah maupun buatan serta manusia, telah ditransformasikan menjadi modal untuk dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kehidupan perkotaan. Setelah itulah maka sumber-sumberdaya tersebut dapat menjadi faktor produksi yang dapat diperjualbelikan, yang dapat mempunyai nilai sebagai komoditi. Tanah sebagai sumber daya alamiah mempunyai nilai ekonomi yang berlipatganda, berdasarkan perhitungan rasional ekonomi, pada waktu tanah tersebut ditransformasikan menjadi komoditi. Contohnya adalah tanah untuk real-estate, yang semula bersifat alamiah setalah diolah, diberi sertifikat, mempunyai akses yang mudah terhadap jalur-jalur lalu lintas yang menghubungkan tanah tersebut ke pusat-pusat bisnis-bisnis perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan pusat-pusat kegiatan lainnya, menjadi komoditi dengan nilai ekonominya berlipat ganda ..." (Hlm. 3-41 alinea III)
***
"Walaupun perhitungan rasional ekonomi dominan dalam kehidupan kota, khususnya dalam penentuan nilai komoditi tanah misalnya; tetapi faktor-faktor kekuasaan, prestise, sentimen kesinambungan dengan masa lampau, tradisi-tradisi dan berbagai aspek sosial-budaya lainnya, juga turut memainkan peranannya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa di negara-negara maju, perencanaan pengembangan kota tidak hanya dilakukan oleh pemerintah kota yang dibantu oleh para ahli perencanaan tetapi juga dibantu oleh masyarakat melalui partisipasi mereka. Dalam negara maju seperti Amerika Serikat, rencana tata kotanya bukan suatu dokumen yang rahasia. Bagi mereka rencana tata kota adalah sebuah dokumen terbuka, yang setiap orang atau warga kota berhak untuk mengetahuinya dan berhak pula untuk berpartisipasi dalam menentukan isi dari rencana tersebut. Maksud dari keterbukaan rencana tata kota tersebut adalah agar kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan kota ataupun orang bisnis atau konglomerat tidak digunakan secara tidak semestinya dalam pengelokasian wilayah-wilayah yang ada dalam rencana tata kota, yang hanya akan menguntungkan pihaknya saja." (Hlm. 3-16 alinea II)

"Walaupun perhitungan rasional ekonomi itu dominan dalam kehidupan perkotaann, dan khususnya dalam penentuan nilai komoditi tanah, misalnya; tetapi faktor-faktor kekuasaan, prestise, sentimen-sentimen kesinambungan dengan masa lampau, tradisi-tradisi dan berbagai aspek sosial-budaya lainnya, juga turut memainkan peranannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila di negara-negara maju, perencanaan pengembangan sebuah kota tidak hanya dilakukan oleh pemerintah kota yang bersangkutan saja tetapi dibantu oleh masyarakat perkotaan yang bersangkutan melalui partisipasi mereka. Dalam negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, rencana tata kota bukanlah sebuah dokumen rahasia. Bagi mereka rencana tata kota adalah sebuah dokumen terbuka, dimana setiap warganya berhak untuk mengetahuinya dan berhak pula untuk berpartisipasi dalam menentukan isi dari rencana tersebut. Maksud dari keterbukaan rencana tata kota tersebut adalah agar kekuasaan yang dimiliki pejabat pemerintahan kota ataupun orang bisnis atau konglomerat, tidak digunakan secara tidak semestinya dalam hal pengelokasian ruang-ruang kota, yang hanya akan menguntungkan pihaknya saja." (Hlm. 3-42 alinea I)

***
"Karena kompleksnya kehidupan kota, dengan berbagai bentuk keanekaragaman dan kemajemukkannya, dan karena kota juga pusat kekuasaan politik, peredaran uang dan ekonomi, sosial dan kebudayaan, maka merencanakan penataan ruang kota adalah juga suatu permasalahan yang kompleks. Yaitu harus memperhitungkan adanya berbagai kelompok interest yang hanya memikirkan kepentingan diri atau kelompoknya saja, harus memperhitungkan berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat kota maupun yang ada pada tingkat nasional, dan harus setia pada tujuan dilakukannya penataan ataupun perbaikan tata ruang kota yang dibuat." (Hlm. 3-16 alinea III)

"Karena kompleksnya kehidupan perkotaan, dengan berbagai corak keanekaragaman dan kemajemukkannya, dan karena kota juga merupakan pusat kekuasaan politik, uang dan ekonomi, sosial dan kebudayaan, maka merencanakan penataan tata ruang ataupun merencanakan perbaikan tata ruang kota adalah merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Karena harus memperhitungkan adanya berbagai kelompok interes yang hanya memikirkan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, harus memperhitungkan berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat perkotaan yang bersangkutan maupun yang ada pada tingkat nasional, dan keharusan adanya kesetiaan dari pihak pemerintahan kota pada tujuan dilakukannya penataan ataupun perbaikan tata ruang kota yang telah dibuatnya." (Hlm. 3-42 alinea II)

Tujuan Rencana Penataan Tata Ruang Kota

"Tujuan dari setiap rencana penataan atau perbaikan tata ruang kota adalah:
1. Peredaran atau lalu lintas orang dan barang serta kendaraan dapat berjalan secara lancar, sehingga secara ekonomi menguntungkan. ... dst.
2. Pengalokasian tanah dan ruang dalam kota ke dalam wilayah-wilayah yang masing-masing mempunyai fungsi-fungsi khusus, ... dst.
3. Menciptakan suatu suasana yang kondusif dan merangsang pengembangan kuantitas dan mutu pendidikan, kesenian dan kehidupan sosial budaya dari masyarakat kota, ... dst.
4. Mendorong terciptanya suatu kehidupan komuniti yang teratur, ... dst.
5. Merencanakan ruang-ruang dalam kota yang dapat digunakan untuk upaya-upaya pelayanan kesehatan, ... dst.
6. Meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi jumlah dan kwalitas kekumuhan dari pemukiman kumuh." (Hlm. 3-17 alinea pertama)

"Tujuan dari setiap rencana penataan atau perbaikan tata ruang kota adalah untuk: (1) Terwujudnya peredaran atau lalu lintas orang dan barang serta kendaraan dapat berjalan secara lancar, sehingga secara ekonomi penataan tersebut menguntungkan dan secara kejiwaan tidak menjengkelkan; (2) Pengalokasian tanah dan ruang dalam wilayah kota ke dalam satuan-satuan ruang yang masing-masing mempunyai fungsi-fungsi khusus dalam struktur kehidupan perkotaan, yang satu sama lainnya tidak campur aduk kegiatan-kegiatannya atau semrawut; (3) Menciptakan suatu suasana yang kondusif dan merangsang pengembangan kwantitas dan kwalitas pendidikan, kesenian dan kehidupan etika, estetika, dan moral masyarakatnya; (4) Mendorong terciptanya kehidupan komuniti atau pemukiman yang teratur, warganya saling mengenal dan tolong menolong, menjaga kelestarian lingkungannya yang sehat dan kondusif untuk pengembangan kreativitas anak-anak; (5) Merencanakan ruang-ruang dalam kota untuk upaya-upaya pelayanan kesehatan, keamanan, hiburan dan rekreasi, pabrik sumber energi dan penyalurannya, air bersih, pembuangan air limbah, berbagai pelayanan lainnya; dan (6) Meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi jumlah dan kwalitas kekumuhan dari pemukiman kumuh yang ada." (Hlm. 3-42 alinea terakhir)

Usaha Formal-legal - Pamudji

"Prof. Pamudji (1980) telah memperlihatkan berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia. Penekanan uraian beliau adalah pada usaha formal-legal bagi pembinaan dan pengembangan struktur dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali fungsinya dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat dan kebudayaan di kota. Karena mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dan bahkan "memaksakan" arah dan corak perkembangan kota-kota di Indonesia." (Hlm. 3-19 alinea terakhir)

"Prof. Pamudji (1980) memperlihatkan adanya berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk penataan perkotaan. Penekanan uraiannya adalah pada upaya-upaya legal-formal dalam pembinaan dan pengembangan struktur organisasi dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga kota, sebab peraturan legal-formal ini mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dan memaksakan arah dan corak perkembangan perkotaan di Indonesia dan khusunya kondisi pemukiman perkotaan." (Hlm. 3-52 alinea I)

"Prof. Pamudji (1980) memperlihatkan berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia termasuk daerah perkotaan. Penekanan uraian beliau sebenarnya pada usaha formal-legal bagi pembinaan dan pengembangan struktur dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan usaha memperhatikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan perkotaan. Karena peraturan formal-legal ini mempunyai kekuatan untuk mengarahkan, bahkan "memaksakan" arah dan corak perkembangan perkotaan di Indonesia. Satu hal yang mungkin patut kita perhatikan adalah corak masyarakat dan kebudayaan perkotaan yang tidak sama dengan corak masyarakat dan kebudayaan perkotaan. Begitu juga masyarakat dan kebudayaan perkotaan mempunyai corak yang beranekaragam yang terwujud secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan kedudukan dan posisi kota dalam struktur administrasi pemerintahan yang hierarki.

Peraturan yang mendasar mengenai struktur pemerintahan dari kedudukan puncak sampai ke tingkat komuniti (kelurahan, RW, RT) memang patut diberlakukan secara nasional. Yang harus diperinci untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan warga serta kehidupan perkotaan mungkin adalah isi dari satuan-satuan dan jabatan-jabatan tersebut, yaitu: corak, beban, dan fungsi kewenangannya sesuai dengan corak struktur perkotaan dan corak serta tingkat lapisan sosial komunitinya.

Peraturan formal-legal sebenarnya tidak hanya untuk pemerintahan tetapi juga diperlukan untuk menata kehidupan ekonomi, sosial, dan rasa aman, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman guna mensejahterakan kehidupan warga dalam komuniti maupun warga sebagai pribadi, dan seterusnya akan mensejahterakan kehidupan masyarakat kota yang bersangkutan. Sebuah masalah yang pernah dikemukakan oleh berbagai pemikir dan pakar mengenai perkembangan masyarakat perkotaan masa kini adalah peranan komuniti dalam kehidupan perkotaan. Karena melalui komuniti warga masyarakat sebagai individual dapat berkembang sebagai warga yang bermoral dan bertanggung jawab sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat dan negara; karena apa yang disajikan oleh negara yaitu secara formal hanya akan ditanggapi secara superfisial dan rasional oleh individu dan bukannya sebagai bagian dari ungkapan emosi dan perasaan serta keseluruhan kepribadian individu." (Hlm. 3-87 alinea I s/d III)

Kebudayaan dan Tata Ruang - Hall

"Edward T. Hall, seorang ahli antropologi yang mempelopori kajian-kajian hubungan antara kebudayaan dan penataan ruang, mengatakan:

".....manusia telah menciptakan sebuah dimensi baru, dimensi budaya, yang mana proxemic (penataan dan penggunaan ruang sesuai dengan konsep-konsep kebudayaannya), hanyalah merupakan sebagian daripadanya. (Karena) hubungan antara manusia dengan dimensi budaya merupakan satu kesatuan, yang dalam hal mana baik manusia maupun lingkungannya sama-sama berpartisipasi dalam membentuk satu sama lainnya. Manusia pada saat sekarang ini sebenarnya sedang menciptakan suatu dunia yang satu dan menyeluruh di mana dia hidup.." (Hlm. 2-1 al.I akhir)

"Hal ini sejalan dengan konsep Edward T. Hall (1966) yang melihat bahwa ketika manusia itu menata ruang-ruang untuk kepentingan kehidupannya, sebenarnya penataan tersebut dilakukan dengan berpedoman pada kebudayaannya dan hasilnya adalah sebuah lingkungan budaya, seperti yang dikatakannya:

"...manusia telah menciptakan sebuah dimensi baru, dimensi budaya termasuk dalam dimensi tersebut adalah proxemic (penataan dan penggunaan ruang sesuai dengan konsep-konsep kebudayaannya). Karena hubungan antara manusia dengan dimensi budaya (yaitu lingkungan budaya) merupakan satu kesatuan, maka sebenarnya baik manusia maupun lingkungannya sama-sama berpartisipasi dalam saling membentuk satu dan lainnya." (Hlm. 3-29 al.I & hlm. 3-82 al.IV)

Kota dibangun para pendatang - Mayling Oey

"... Mereka yang datang dengan keahlian dan modal telah menunjukkan sumbangannya dalam turut membangun kota Jakarta seperti yang dikatakan oleh Mayling Oey (1977)". (Hlm. 3-30 alinea III)

"... Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Mayling Oey (1977) mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh kaum pendatang." (Hlm. 4-9 alinea II)

"... Mayling Oey (1977), pernah mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang." (Hlm. 4-23 alinea II)

"... Mayling Oey pernah mengatakan, pada akhir tahun 1970-an, bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang, dan para pendatang berjaya di kota Jakarta." (Hlm. 6-59 alinea I)

Jakarta penuh kontras - M. Lubis

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras. Apa yang dikemukakan beliau sebenarnya bukan hanya berlaku di kota Jakarta saja, tetapi juga untuk kota-kota lainnya, hanya tingkat kualitas dan kuantitas kontrasnya tidak sebesar yang terdapat di kota Jakarta. Agak berbeda dengan Mochtar Lubis, saya lebih senang menggunakan istilah keanekaragaman dalam mengidentifikasi corak kehidupan yang ada di kota Jakarta atau di kota-kota lainnya di Indonesia. Karena sesungguhnya berbagai perbedaan yang terwujud dalam kehidupan perkotaan tersebut diakomodasi dan dinaungi oleh struktur perkotaan yang bersangkutan, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tersebut menciptakan suatu kehidupan yang penuh dengan dinamika karena satu dengan lainnya saling memerlukan dan menghidupi." (Hlm. 3-33 alinea I)

"Jakarta penuh kontras" begitu ucapan budayawan Mochtar Lubis beberapa tahun yang lalu. Memang benar ucapan tersebut." (Hlm. 4-4 alinea I)

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras." (Hlm. 4-19 alinea I)

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras." (Hlm. 6-37 alinea terakhir)

Evolusi biologi ke industri - La Barre

"Weston La Barre (1984:11-22) telah memperlihatkan bahwa evolusi manusia telah bergeser dari evolusi biologi ke evolusi teknologi yang menjadi kepanjangan dari organ-organ tubuhnya, sehingga proses evolusi itu sendiri telah berjalan dengan kecepatan kemajuan yang tidak terbatas karena tidak dibebani oleh hambatan-hambatan fungsi biologinya. Sebagai akibat dari pergeseran proses evolusi tersebut, manusia bukan hanya menciptakan teknologi dan kebudayaan sebagai medium atau perantara antara dirinya sebagai organisme yang sama kedudukannya dengan makhluk-makhluk hewan lainnya, dengan lingkungan alam/fisik, tetapi juga merubah dan menciptakan lingkungan alam/fisiknya menjadi suatu lingkungan budaya. Sehingga bila dilihat dari satu segi, dirinya sendiri merupakan salah satu unsur dari lingkungan budaya yang diciptakannya. Dalam merubah atau menciptakan lingkungan alam/fisik menjadi lingkungan budaya, manusia sebenarnya telah menata dan menggunakan ruang-ruang yang ada dalam lingkungan alam/fisik tersebut sesuai dengan konsep-konsep kebudayannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga fungsional dalam struktur kehidupannya." (Hlm. 2-1 alinea I)

"Weston La Barre (1984:11-12) telah memperlihatkan bahwa evolusi manusia telah bergeser dari evolusi biologi ke evolusi teknologi yang menjadi kepanjangan dari organ-organ tubuhnya sehingga proses evolusi itu sendiri telah berjalan dengan kecepatan kemajuan yang tidak terbatas sebab tidak dibebani oleh hambatan-hambatan fungsi biologi. Sebagai akibat dari pergeseran proses evolusi tersebut, manusia bukan hanya menciptakan teknologi dan kebudayaan sebagai medium atau perantara dirinya dengan lingkungan fisik; tetapi juga telah merubah dan menciptakan lingkungan fisiknya sebagai lingkungan budaya." (Hlm. 3-82 alinea III)

Fungsi Pelayanan Kota

"Selanjutnya kota itu ada dan hidup karena bisa memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di dalam kota, maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka yang mengadakan perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota tersebut. Pelayanan ini dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan, ... dst." (Hlm. 3-24 alinea IV s/d hlm. 3-26 alinea terakhir & hlm. 3-80 alinea II s/d hlm. 3-82 alinea II)

Pemeo Orang Betawi

Dominasi kebudayaan umum-lokal yang menekankan pentingnya uang mungkin telah merasuki kehidupan dalam komuniti dan keluarga, sebab ada pameo Orang Betawi: "Ada uang abang sayang, tak ada uang abang boleh dibuang". (Hlm. 3-85 alinea III)

"Bahkan ada sebuah pameo yang dulu pernah populer di Jakarta yang bunyinya: "Ada uang abang sayang...". (Hlm. 4-22 alinea II)

"... walaupun pada waktu itu lagu jali-jali telah mengumandangkan amat pentingnya uang.
Paling enak si mangga udang
ada uang abang disayang
tidak ada uang abang dibuang dan seterusnya" (Hlm. 6-55 alinea I)

Melting Pot

"... identitas Orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik mulai dikenal adanya sejak abad ke-19. Dikatakannya bahwa mereka merupakan hasil dari suatu melting pot atau percampuran dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia dan dari luar Indonesia." (Hlm. 4-7 alinea I)

"... Orang Betawi dengan kebudayaan Betawinya, sebagai hasil suatu proses melting pot yang berlangsung secara tetap dan lama dari saling hubungan penduduk Jakarta (Batavia) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar Indonesia" (hlm. 4-23 alinea I)

Kegagalan Rencana Tata Ruang

"... Kekacauan dari penetapan tata ruang kota seperti itu biasanya disebabkan oleh: (1) Tata ruang yang dibuat tidak atau kurang memperhitungkan perkembangan kependudukan atau dikarenakan sukarnya meramalkan pertambahan penduduk, terutama yang dikarenakan pendatang-pendatang baru dari pedesaan yang mencari kerja dan menetap di kota tersebut; (2) Tata ruang yang dibuat kurang memperoleh dukungan dari salah satu atau sejumlah kelompok-kelompok kepentingan yang ada; (3) Warga kota yang bersangkutan tidak mengetahui seperti apa rencana penataan kotanya, sehingga melakukan kegiatan-kegiatan fungsional dalam ruang-ruang kota yang seharusnya tidak dilakukan; (4) Warga masyarakat setempat mempunyai pola tata ruang sendiri (seperti, model bangunan pita yang ada dalam kehidupan masyarakat Jakarta) yang berbeda atau bertentangan dengan model tata ruang yang dibuat oleh pemerintah kota; (5) Kurang atau tidak efektifnya petugas pemerintahan kota dalam menerapkan pola tata ruang yang telah dibuat, dalam mengawasi dan merawat ruang-ruang yang telah tertata sesuai fungsi-fungsinya; (6) Atau kombinasi dari semua sebab-sebab tersebut di atas." (Hlm. 6-31 alinea terakhir)

"... kegagalan dari penerapan tata ruang kota yang telah dibuat itu biasanya disebabkan oleh salah satu atau gabungan dari sebab-sebab berikut ini:
1. Tata ruang kota yang dibuat tidak atau kurang memperhitungkan perkembangan kependudukan, atau disebabkan sukarnya meramalkan pertambahan penduduk terutama pertambahan penduduk karena urbanisasi dari daerah pedesaan.
2. Tata ruang kota yang dibuat kurang memperoleh dukungan dari salah satu atau sejumlah kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai kekuatan politik.
3. Warga kota yang bersangkutan kurang atau tidak mengetahui rencana penataan kotanya, sehingga melakukan kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata kota yang telah dibuat.
4. Warga masyarakat setempat mempunyai pola tata ruang tersendiri, seperti pola "bangunan pita" yang serba tumpang tindih yang ada dalam kehidupan kota Jakarta, yang sebenarnya berbeda dari dan bertentangan dengan tata ruang kota yang telah dibuat oleh pemerintah kota.
5. Kurang atau tidak efektifnya petugas pemerintahan kota dalam menerapkan pola tata ruang kota yang telah dibuat serta dalam mengatasi, menjaga, dan merawat ruang-ruang yang telah ditata sesuai fungsi-fungsinya ataupun yang belum. (Hlm. 6-44 alinea terakhir).

MASYARAKAT MAJEMUK DAN PERAWATANNYA

MASYARAKAT MAJEMUK DAN PERAWATANNYA


Parsudi Suparlan


Universitas Indonesia






Pendahuluan


Asal muasal dari konsep masyarakat majemuk (plural society) yang dikenal dalam ilmu-limu sosial sebenarnya mengacu pada tulisan Furnival (1948a), yang mengidentifikasi masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Yaitu, sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok, yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka itu saling bertemu, tetapi hanya di pasar. Masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi saling terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka itu merupakan sebuah masyarakat karena dipersatukan secara paksa, tidak karena secara sukarela. Kekuasaan yang absolut berada di tangan sejumlah kecil elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dan warga masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut.

Apa yang menarik dari uraian Furnival (1948b) antara lain adalah, bahwa penguasa masyarakat jajahan atau masyarakat majemuk itu sebenarnya hanya berkuasa untuk memantapkan kepentingan ekonomi mereka. Kekuasaan dengan paksa alat kekerasan, yang menggunakan tentara dan polisi, adalah untuk menegakkan kekuasaan demi kepentingan ekonomi para penguasa dan bukan untuk menciptakan tertib hukum dan keteraturan sosial yang menjamin terwujudnya kesejahteraan hidup warga masyarakat jajahan. Sebaliknya, warga masyarakat jajahan untuk dapat tetap hidup dan melanjutkan kehidupannya, harus dapat menyenangkan hati tuan-tuan penjajah dengan cara melayaninya dan hidup dengan cara meniru kebudayaan penjajah yang coraknya eksploitatif terhadap masyarakat jajahan yang dikuasainya dan terhadap lingkungan serta sumber-sumber dayanya yang dianggap sebagai miliknya. Atau, bila tidak, maka mereka itu harus menjadi pemberontak yang siap untuk ditumpas oleh tentara dan polisi. Karena itu, Furnval mengatakan bahwa masysrakat jajahan seperti Hindia Belanda itu tidak mempunyai “common will”, sebagaimana yang biasanya terdapat dalam kehidupan sesuatu bangsa, yang karena itu membuat mereka sebagai bangsa dapat bertahan dari serangan luar maupun dari perpecahan dan kehancuran dan dalam bangsa itu sendiri.


Corak masyarakat majemuk sebenamya bukan hanya seperti yang digambarkan oleh Furnival tersebut diatas, yang otoriter dan militeristik. Bila kita melihat keanekaragaman corak masyarakat majemuk sebagai berada dalam suatu garis berkesinambungan, maka pada kutub yang satu terdapat masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik sedangkan pada kutub lainnya adalah masyarakat majemuk yang demokratis. Contoh dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini kita temukan pada akhir abad ke-20, yang sekarang sudah runtuh, yaitu Soviet Russia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di zaman orde baru. Contoh masyarakat majemuk yang demokratis yang berada di kutub lainnya adalah Amerika Serikat, yang dikenal sebagai masyarakat yang multikultural atau bercorak budaya banyak, dari sebagian negara-negara Eropah Barat. Sedangkan diantara masyarakat majemuk yang otoriter dan masyarakat majemuk yang demokratis tersebut terdapat corak masyarakat majemuk yang masih memperhitungkan keanekaragaman kesukubangsaan masyarakatnya yang diwadahi dalam tatanan demokrasi. Masyarakat majemuk seperti ini mempunyai corak demokrasi yang konsosiasional (Lijphart, 1969). Contohnya adalah Belanda, dan Suriname sebelum kemerdekaannya pada bulan Desember 1974 (Dew 1978, Suparlan 1995a), dan juga Malaysia.

Masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri (van den Berghe, 1990). Kekejaman dan kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya sendiri tersebut dikarenakan penguasa negara atau oknum-oknumnya tidak menginginkan adanya ketidakpatuhan dati penentangan terhadap tindakan-tindakan eksploitatif yang rakus dan sewenang-wenang dari para penguasa tersebut. Dampak dari kekerasan dan kekejaman terhadap warga masyarakat tersebut oleh negara, adalah bahwa pada waktu rezim otoriter tersebut runtuh maka berbagai bentuk kekerasan dan kerusuhan yang dapat berpotensi disintegrasi masyarakat majemuk tersebut tidak dapat dihindari. Kecuali Afrika Selatan yang tidak mengalami kegoncangan-kegoncangan sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam integrasinya. Tishkov (1997) menggambarkan konflik-konflik yang terjadi di Soviet Russia yang acuannya adalah solidaritas kcsukubangsaan, baik semasa zaman komunis maupun setelah runtuhnya rezim komunis, yang kesukubangsaan tersebut menjadi landasan bagi permunculan nasionalisme baru yang merupakan ancaman disintegrasi Soviet Russia setelah runtuhnya rezim komunis. Soviet Russia telah hancur berantakan begitu juga dengan Yugoslavia. Indonesia sedang mengalami disorganisasi, oleh adanya kerusuhan dan kekerasan berdarah antar sukubangsa, keyakinan keagamaan, dan asal daerah atau komuniti yang berbeda. Di samping itu, ancaman disintegrasi tersebut juga berasal dari adanya tuntutan dart sejumlah propinsi untuk merdeka, terlepas dari negara kesatuan Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia akan mengalarni nasib yang sama dengan Soviet Russia dan Yugoslavia, yang berkeping-keping menjadi negara-negara baru, yang nasionalismenya dilandasi oleh kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan? Bila kita, mayoritas bangsa Indonesia, tidak menginginkan terpecah belahnya Indonesia, apakah yang harus kita lakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, uraian berikut ini akan mencakup pembahasan mengenai masyarakat majemuk Indonesia, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dalam era demokratisasi Indonesia, dan upaya-upaya yang harus kita lakukan bersama sebagai bangsa dan warga masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.


Indonesia: Masyarakat Majemuk

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa[1] yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation), yaitu bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang bercorak republik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, yang menempati sebuah wilayah yang berada dibawah kekuasaan negara Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, masalah-masalah yang kritikal yang biasanya dihadapi adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintahan negara dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang menjadi rakyat negara tersebut, hubungan diantara sukubangsa-sukubangsa yang berbeda kebudayaannya (termasuk keyakinan-keyakinan keagamaannya), dan hubungan diantara sesama warga masyarakat di tempat-tempat umum terutama di pasar dan berbagai pusat kegiatan pelayanan ekonomi[2].

Hubungan antara sistem nasional, yang terwujud sebagai pemerintah atau negara dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalam masyarakat majemuk adalah hubungan yang tidak seimbang, yaitu sistem nasional lebih kuasa atau dominan dibandingkan dengan sistem-sistem sukubangsa. Dalam masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik, sistem nasional dikuasai oleh oknum-oknum yang otoriter dan militer atau militeristik yang mempunyai kepentingan-kepentingan ekonomi melalui kekuasaan dan legitimasi penguasaan yang dipunyainya. Legitimasi biasanya dengan mengatasnamakan konstitusi atau undang-undang dasar atau juga dilakukan dengan melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik kebudayaan. Sebuah contoh dari politik kebudayaan seperti ini di zaman orde baru misalnya, adalah, para pendiri bangsa ini yang berideologi demokrasi telah mencantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa...... kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah...... Tetapi oleh resim orde baru, pernyatan tersebut dibuat menjadi "... kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah...". Perhatikan kata "di" telah dibuang. Dan konsep baru mengenai kebudayaan daerah ini disebarluaskan dan dimantapkan sebagai sebuah kebijaksanaan politik. Yaitu, kebudayaan-kebudayaan sukubangsa dianggap tidak ada. Yang ada adalah kebudayaan daerah. Dan, kebudayaan daerah adalah sama dengan kebudayaan yang ada dalam wilayah sebuah propinsi. Padahal wilayah sebuah propinsi adalah produk dari sistem nasional dan dibuat untuk kepentingan adminsitrasi sistem nasional; dan bukan produk sistem sukubangsa.

Implikasi lebih lanjut dari kebijaksanaan politik kebudayaan ini adalah hak budaya dari komuniti atau masyarakat sukubangsa dipreteli atau ditiadakan. Yaitu untuk diseragamkan menjadi hak budaya masyarakat propinsi. Hak budaya komuniti sukubangsa yang secara tradisional mencakup hak untuk hidup sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan masing-masing, hak-hak budaya atas tanah, hutan, dan air (yang biasanya dinamakan sebagai hak ulayat sesual dengan adat) dengan demikian dianggap tidak ada. Sehingga memudahkan dan melegitimasi berbagai bentuk penggusuran masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat (yang dinamakan sebagai masyarakat terasing oleh Dep. Sosial, R.I. di masa orde baru) dan aneksasi serta penguasaan wilayah-wilayah tanah, hutan, dan air oleh oknum-oknum penguasa sistem nasional dan kroni-kroninya. Padahal apa yang telah dilakukan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Penggusuran masyarakat setempat dan perampasan hak ulayat tersebut telah dimungkinakan untuk dilegitimasi karena tidak adanya mekanisme kontrol terhadap rezim yang ototiter.

Penyeragaman kebudayaan-kebudayaan sukubangsa di daerah-daerah telah dilakukan antara lain dengan menyudutkan kebudayaan-kebudayaan tersebut sebagai terkebelakang dan harus di-Indonesiakan. Peng-Indonesia-an dilakukan dengan cara penataran P4 (lihat Suparlan 1995b) dalam PKMT (Pemukiman Kesejahteraan Masyarakat Terasing), yang dilakukan oleh Dep. Sosial, R.I. Warga masyarakat Sakai di Muara Basung dilokalisasi di PKM'I Sialang Rimbun, dan tanah serta hutan yang secara adat adalah milik dan merupakan sumber kehidupan mereka di jual-sewa kepada perusahaan perkebunan karet oleh pemerintah. Orang-orang Sakai dapat menjadi pekeja atau kuli di perkebunan tersebut.

Kekayaan dari hasil ekspolitasi sumber-sumber alam di daerah-daerah telah memperkaya orang-orang pusat (Jakarta), yang sebenarnya adalah oknum-oknum dan kroni-kroninya; dan membuat Jakarta menjadi pusat kegiatan ekonomi, bisnis, dan peredaran uang. Konsep dikotomi ‘pusat’ dan ‘daerah’ menjadi mantap. ‘Pusat’ adalah tempat peradaban, kemajuan, kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup. Sedangkan ‘daerah’, sebagai lawannya, adalah alam, keterbelakangan, kekurangan dan kemiskinan, ketidak berdayaan dan dikuasai, dan kesengsaraan hidup. Lebih lanjut, ‘pusat’ seringkali disamakan dengan Jawa karena Jakarta sebagai “pusat” itu letaknya di pulau Jawa dan karena kebanyakan pejabat-pejabat pemerintah nasional itu adalah orang-orang Jawa. Sehingga muncul dan berkembangnya anti ‘pusat’ yang ekspolitatif tersebut seringkali berubah menjadi anti Jawa (perhatikan kampanye anti ‘pusat’ yang dilakukan oleh tokoh-tokoh GAM yang menyatakan ‘pusat’ sama dengan Jawa). Padahal mereka yang tinggal di pulau Jawa, dan bahkan di Jakarta juga cukup banyak menderita karena ulah oknum-oknum tersebut.

Seorang teman di Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu mengatakan kepada saya:
“Kita semua telah menjalani hidup di zaman orde baru, dan kita tahu betapa besarnya kekuasaan pemerintah dan terutama kekuasaan presiden Suharto dan keluarganya. Hampir dapat dikatakan tidak ada batasnya. Diantara kita ada yang dapat memanfaatkan tantangan kekuasaan yang tanpa batas tersebut sebagai peluang untuk menangguk rezeki dan jabatan. Tetapi lebih banyak diantara kita yang hidupnya pas-pasan. Bahkan ada diantara teman-teman kita yang menjadi oknum dan korup, yang bisa memperkaya diri dengan cara mensengsarakan orang lain, dengan alasan gaji kecil cuma cukup untuk kebutuhan makan. Tetapi ada juga diantara teman-teman kita yang tidak sempat menjadi oknum, bahkan harus menjadi korban oknun yang teman satu kantor.”

Hampir di semua masyarakat yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil dan militer amat kecil. Yang besar adalah fasilitas dan pendapatan tambahan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya. Sistem penggajian seperti ini sebenarnya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kesetiaan para abdi negara tersebut. Mereka yang setia akan mendapat jabatan dan fasilitas serta uang tunjangan jabatan. Disamping itu, pejabat-pejabat juga mendapat komisi dari proyek-proyek kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kantornya. Semakin tinggi jabatannya semakin besar prosentase dari komisi yang diterimanya; dan semakin banyak proyeknya akan semakin besar pula uang komisi yang akan diterimanya.

Mereka yang tidak menjadi pejabat atau yang tidak diikut sertakan dalam sesuatu proyek oleh atasannya, akan hanya hidup dari gaji bulanannya saja. Mereka ini akan dengan sadar atau tidak berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi. Bahkan mereka yang sudah memperoleh komisi dari proyek pun, bila dapat melakukan korupsi akan dilakukanriya juga. Bisa dalam bentuk uang pelicin dari pengusaha untuk memudahkan dan mempercepat perizinan, atau memberikan sesuatu proyek pembangunan kepada anggota keluarga atau kerabatnya, dan berbagai cara lainnya yang menguntungkannya. Bahkan uang pelicin ini juga dituntut dari mereka yang membutuhkan pelayanan yang memang sudah menjadi tugas jabatannya, seperti pembuatan KTP, pembuatan SIM dan perpanjangannya, pembuatan akte kelahiran, perizinan peruntukan bangunan, penerimaan mahasiswa atau siswa baru, dsb-nya.

Perbuatan oknum-oknum tcrsebut bukan hanya dalam hal pelayanan-pelayanan resmi kantor-kantor pemerintah kepada umum, tetapi juga mereka lakukan di tempat-tempat umum. Memberi izin berjualan kepada pedagang kaki lima di tempat-tempat umum yang terlarang untuk berjualan, dan sebagai imbalannya para pedagmg tersebut niemberikan restribusi. Menjadi beking para preman atau perjudian merupakan kegiatan yang menambah penghasilan. Para preman di tempat-tempat umum atau pasar melakukan pengutipan uang keamanan atas kegiatan ekonomi dan bisnis besar dan kecil dan atas berbagai jasa pelayanan angkutan umum. Uang keamanan ditentukan besarnya oleh organisasi preman dan wajib dibayar oleh pelaku bisnis atau sopir. Tetapi dampak dari beking ini adalah berkembang biaknya kegiatan-kegiatan preman, dan semakin berani dan brutalnya mereka karena merasa ada yang menjadi beking mereka. Perang antar kelompok preman di kota-kota besar di Indonesia bukan hal yang asing pada masa kini, yang juga merugikan masyarakat umum.

Pemerintahan yang otoriter, sadar atau tidak sadar, telah menghasilkan rasa takut yang meluas dan mencekam karena adanya ancaman yang mereka bayangkan atas diri serta keluarga dan harta benda mereka. Hak-hak individual atau harga diri menjadi menciut atau menghilang, bukan semata-mata karena adanya ancaman yang nyata tetapi juga karena adanya ancaman mengerikan yang mereka bayangkan. Rasa aman biasanya muncul pada waktu mereka itu merasa ada yang melindungi atau yang menjadi patron, bisa oknum atau preman - yang untuk itu merek harus mengeluarkan biaya untuk jaminan rasa aman tersebut. Atau karena adanya kerabat yang menjadi anggota ABRI atau pejabat, yang dapat menjadi pelindung rasa aman mereka.

Rasa terpuruk karena ketidak adilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya menjadi meluas selain pemerintahan orde baru; baik secara individual maupun secara kolektif. Keterpurukan ini ditambah lagi dengan musibah krismon yang menjadi krisis ekonomi secara nasional. Keruntuhan rezim orde baru, dengan lengsernya presiden Suharto, tidak terjadi semata-mata karena demonstrasi oleh mahasiswa dan umum di Indonesia. Tetapi juga karena negara-negara donor, yang melihat investasi mereka di Indonesia menjadi sangat mahal karena praktek-praktek korupsi dan kronisme. Besarnya biaya overhead yang harus mereka keluarkan menyebabkan bahwa mereka juga menjadi pelanggar HAM karena upah buruh harus ditekan bila mereka itu masih ingin untung. Negara-negara donor ini juga melihat bahwa perang dingin telah selesai dengan runtuhnya tembok kota Berlin berikut keruntuhan rezim-rezim komunis. Sehingga politik pembendungan (the politics of containment) terhadap komunisme tidak diperlukan lagi. Fungsi Suharto dalam politik pembendungan ini tidak ada lagi karena struktur kekuatan komunisme telah hancur berantakan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pada masa pasca politik pembendungan, negara-negara otoriter yang dulunya adalah rezim otoriter yang didukung oleh negara-negara donor karena anti komunis, satu demi satu diruntuhkan oleh kekuatan-kekuatan demokrasi. Di Asia Tenggara mungkin hanya pemerintah Myanmar dan Indonesia dibawah presiden Suharto yang masih otoriter dan militeristik.

Kerusuhan dan Potensi Disintegrasi

Keruntuhan rezim orde baru membuka peluang bagi kemunculan demokrasi di Indonesia yang terwujud sebagal masyarakat sipil. Transformasi dari rezim otoriter yang militeristik ke rezim sipil yang demokratis bukanlah sebuah proses yang lembut. Seorang mahasiswa saya di Program S2 Ilmu Politik, U.I., pada waktu sedang maraknya demonstrasi mahasiswa untuk menjatuhkan presiden Suharto mengatakan kepada saya:
“Mana mungkin tentara akan memihak kepada mahasiswa. Selama ini tentara kan menikmati posisinya yang dominan yang secara sah mereka punyai. Mana mau prajurit-prajurit disuruh kembali ke barak. Kalau kembali ke barak mana bisa mereka itu hidup. Gajinya kan cuma cukup untuk hidup seminggu”.

Tiga minggu yang lalu si mahasiswa tersebut bertemu dengan saya. Dia mengatakan kepada saya: “Lihat pak. Betul kan kata saya. Militer terlibat dalam kerusuhan”. Sambil menunjukkan pernyataan Dr. Thamrin Tomagola di koran dan tabloid yang selama ini disimpannya. Saya katakan bahwa saya melihat kerusuhan-kerusuhan di Indonesia, yang terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, Maluku, Aceh, dan di banyak tempat lainnya telah terjadi karena dipicu oleh para preman (lihat: Suparlan 1999a, 2000, dan Suparlan, dkk 1999). Kalau diperhatikan lebih lanjut, kerusuhan terjadi karena ketidak puasan dari masyarakat setempat atas perbuatan sewenang-wenang preman; dan, ditambah lagi dengan adanya campur tangan politik pada tingkat lokal oleh oknum-oknum pusat, sebagaimana dikemukakan oleh Boedhisantoso (Suparlan, dkk 1999).

Kerusuhan bisa dilihat sebagai produk dari ketidak puasan atas kondisi kehidupan mereka sebagai akibat dari situasi sosial dan ekonoini yang mereka hadapi sehari-hari, yang menyebabkan mereka itu dengan mudah termakan oleh isyu-isyu yang diedarkan oleh provokator. Isyu-isyu yang mudah diterima oleh warga masyarakat adalah yang isinya dapat menunjukkan adanya 'kambing hitam' penyebab segala keterpurukan yang sedang mereka jalani. Isyu 'kambing hitam' ini dengan mudah diterima karena jawaban kongkrit mengenai sebab-sebab kehidupan mereka yang menderita itu tidak pernah dengan jelas ditunjukkan oleh pemerintah yang berwenang untuk mengumumkannya. Karena 'kambing hitamnya' sudah jelas, maka sumber malapetaka dalam kehidupan mereka yang menderita itu dengan jelas dapat diidentifikasi untuk ditumpas.

Kerusuhan di kota Ambon yang bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan supir Angkot Ambon, telah meluas melibatkan konflik antara orang-orang Ambon dengan orang-orang Bugis, Buton, Makasar. Konflik ini berlanjut menjadi konflik antara orang-orang Kristen dengan orang-orang Islam, yang mencakup juga konflik antara orang-orang Ambon Kristen dengan orang-orang Ambon Islam (lihat: Suparlan dkk 1999). Hal yang sama juga terjadi di Maluku Utara, dimana konflik yang bermula dari dua kelompok sukubangsa yang berbeda berubah menjadi konflik antara dua penganut agama yang berbeda, penganut Kristen dengan penganut Islam. Kerusuhan di kabupaten Sambas juga bermula dari perbuatan kriminal yang dilakukan oleh preman Madura terhadap warga sebuah desa di kabupaten Sambas.

Sedangkan konflik-konflik di Jakarta dan di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang terwujud sebagai kerusuhan antar kampung atau antar desa, bermula dari perebutan wilayah pemalakan atau pemerasan untuk memperoleh uang keamanan antara dua kelompok preman yang saling bersaing. Kerusuhan yang terjadi bukan hanya menyebabkan jatuhnya korban yang luka-luka dan meninggal dari dua kelompok preman yang bertarung tetapi juga menyebabkan jatuhnya korban warga masyarakat biasa dan hancurnya harta benda mereka yang bukan preman. Dalam kerusuhan seperti ini, masing-masing melihat pihak lawan tidak lagi sebagai manusia atau orang perorang tetapi mereka lihat sebagai kategori musuh yang harus ditumpas. Siapapun yang berasal dari wilayah kategori musuh atau mempunyai jatidiri sebagai orang yang sama dengan kategori musuh adalah musuh. Warga masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa mengenai sumber konflik secara tidak mereka sadari menjadi terlibat dalam kerusuhan tersebut. Lebih lanjut, kategori kampung atau desa bisa meluas menjadi kategori sukubangsa, sehingga kerusuhan yang terjadi bisa melibatkan mereka yang tergolong sebagai dua sukubangsa atau lebih. Konflik antar sukubangsa dapat berkembang menjadi konflik antara dua penganut agama yang berbeda, pada waktu solidaritas keagamaan dikembangkan oleh salah satu pihak yang bertarung atau oleh kedua belah pihak.

Agama tradisi besar atau agama wahyu di Indonesia pada dasarnya adalah agama sukubangsa. Karena agama-agama tradisi besar tersebut (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) telah masuk dan diterima oleh masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia sebelum adanya Indonesia pada tahun 1945. Agama-agama tradisi besar yang berisikan petunjuk-petunjuk hidup di dunia dan akhirat bagi pemeluknya masing-masing, pada dasarnya berisikan ajaran etika dan moral yang mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Agama-agama tradisi besar ini juga membedakan secara tegas antara mereka yang percaya dan yang tidak percaya. Di Indonesia, sejumlah agama tradisi besar dipeluk oleh warga sebuah masyarakat sukubangsa. Sehingga sebuah sukubangsa mempunyai warga yang berbeda-beda keyakinan keagamaan mereka. Karena itu di banyak sukubangsa di Indonesia, antara lain sukubangsa-sukubangsa yang hidup di pulau Seram dan Ambon dan di sejumlah pulau di Maluku Selatan, terdapat pranata pela gandong; yang arti harafiahnya adalah satu saudara sekandung. Pela gandong mencakup hak dan kewajiban diantara kelompok-kelompok kerabat (kampung-kampung) yang beragama Kristen dan Islam, yang intinya menekankan kehidupan bersama yang rukun walaupun berbeda agama. Bila dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi gaib yang menimpa si pelanggar. Hubungan pela gandong antara dua kelompok kerabat dibakukan dengan diadakannya sebuah upacara sakral, yang paling lambat setiap lima tahun sekali upacara tersebut dilakukan kembali. Konflik atau perang diantara kampung-kampung yang berbeda agamanya dan tidak terikat dalam hubungan pela gandong, dapat tedadi, sedangkan konflik diantara kampung-kampung berbeda agama yang terikat oleh hubungan pela gandong tidak mungkin terjadi.

Disamping berbagai kerusuhan yang dipicu oleh para preman, terdapat juga potensi disintegrasi yang disebabkan oleh adanya perlakuan tidak adil yang bersumber pada eksploitasi sumber-sumber daya alam secara rakus selama pemerintahan orde baru, seperti yang terjadi di Irian Jaya (Papua) dan Riau, yang menuntut untuk merdeka dan bebas dari kedaulatan negara Republik Indonesia. Di Riau tidak pernah ada bibit-bibit nasionalisme Riau atau nasionalisme Melayu. Sedangkan di Irian Jaya (Papua) terdapat bibit-bibit nasionalisme Papua, sebagai peninggalan dari pemerintah jajahan Belanda di Papua. Bibit nasionallsine ini ada dan berkembang di antara mereka yang terpelajar yang mengenyam pendidikan Belanda, dan terorganisasi dalam apa yang dinamakan scbagal OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang bergerak di bawah tanah.

Mereka ini pada mulanya berjumlah sedikit, dan orientasi politik mereka adalah pada Belanda. Pemerintahan orde baru yang otoriter dan eksploitatif terhadap sumber-sumber daya alam, termasuk di Papua, telah antara lain mcnyebabkan popularitas OPM sebagai organisasi yang tetap berjuang menolak pemerintahan orde baru di Papua. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, diantara mereka yang mendukung OPM juga banyak yang pada mulanya mendukung Republik Indonesia di Papua. Tetapi mereka yang mendukung Republik Indonesia ini menjadi tergelincir ke dalam OPM karena berbagai bentuk kesewenang-wenangan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Inti permasalahannya adalah, bahwa keberadaan dan berkembang biak-nya OPM bukan karena kesadaran nasionalisme Papua tetapi karena respons mereka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintahan orde baru sehingga perlawanan OPM menjadi juga perlawanan warga masyarakat Papua terhadap Indonesia. Dan, bentuk perluasan serta perkembangan dari OPM ini dapat, membangkitkan bibit-bibit nasionalisme baru Papua, yang dapat merupakan potensi disintegrasi Indonesia.

Apa yang terjadi di Aceh juga pada dasarnya sama dengan apa yang terjadi di Papua. Bila sekiranya tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan preman-preman terhadap warga masyarakat Aceh, dan bila sekiranya tidak, terdapat kerakusan yang berlebihan dalam penguasaan dari eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh oknum-oknum pemerintah dan kroni-kroninya, barangkali GAM akan mati sendiri. Karena pada dasarnya lebih banyak pendukung Republik Indonesia dibandingkan dengan pendukung GAM, sebelum terjadinya kerusuhan Aceh yang sekarang ini.

Kerusuhan-kerusuhan yang terwujud dalam bentuk pelanggaran HAM pada sekarang ini nampak transparan, dengan diaktifkannya konsep HAM sebagai sebuah konsep sakral yang harus dihargai dan dijunjung tinggi dalam era reformasi. Konsep HAM yang dalam zaman pemerintahan presiden Suharto sama sekali tidak ada harganya, kecuali HAM dari pejabat yang harus dilindungi oleh pemerintah. Penghargaan dan penjunjungan tinggi HAM pada masa sekarang ini telah dimungkinkan terwujud karena perjuangan dari LSM, mahasiswa, dan seluruh bangsa Indonesia yang merasa terpuruk hak-hak individualnya di masa lampau.
Apa yang patut kita pikirkan pada masa sekarang ini adalah ‘Hak Budaya Komuniti’ atau Masyarakat setempat. Berbagai bentuk penggusuran di masa lampau telah dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto. Dan, masa kini penghancuran kampung-kampung, desa-desa, dan komuniti sedang dan terus berlangsung dan melalui kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Begitu juga hak hidup sebuah komuniti yang mempunyai corak kebudayaan yang berbeda dari masyarakat setempat juga berada dalam ancaman untuk digusur oleh masyarakat yang merasa paling asli di wilayah tersebut, pada masa sekarang oleh masyarakat setempat. Di Aceh misalnya, mereka yang bukan Orang Aceh, terutama Orang Jawa, di gusur dari Aceh.

Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Barat, yang telah dilakukan oleh Orang Melayu Sambas terhadap Orang Madura. Padahal hampir sebagian besar Orang Madura, yang tergusur dari desa-desa mereka di Sambas dan menjadi pengungsi di Pontianak adalah generasi kedua atau lebih Orang Madura di Sambas. Mereka sudah tidak punya tanah air lagi di Madura, dan merasa Sambas-lah tanah air mereka. Hal yang sama juga terjadi di Ambon, MalukuUtara, dan di beberapa tempat lainnya di Indonesia. Kalau perjuangan HAM, atau hak individual, di masa lampau dapat berhasil dan menjadi ketentuan hukum; apakah ‘hak budaya komuniti’ itu tidak mungkin untuk diperjuangkan sebagai ketentuan hukum sehingga secara langsung atau tidak, langsung akan meredam berbagai bentuk kerusuhan yang mengancam disintegrasi bangsa dan negara Indonesia? Karena, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selalu berupa penghancuran kampung atau desa yang merupakan wadah kehidupan masyarakatnya.

Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah?

Saya akan menjawabnya: Mungkin! Tetapi jawaban saya tersebut hanya mungkin dapat terlaksana bila syarat-syarat untuk melakukannya dipenuhi. Kalau Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme menjadi multikulturalisme (lihat: Suparlan 1999), dan Afrika Selatan yang semula merupakan masyarakat majemuk otoriter yang ditandai oleh ideologi rasisme menjadi masyarakat yang demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya? Kita tentu saja dapat mereformasi atau merubah masyarakat majemuk kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat sipil yang demokratis dan bercorak bhinneka tunggal ika. Dengan syarat-syarat bahwa:
Kita betul-betul berupaya menjadikan masyarakat kita sebuah masyarakat sipil.
Betul-betul berpegang pada demokrasi sebagai pedoman utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hak Individual atau Hak Azasi Manusia, Hak Budaya Komuniti atau Masyarakat, dan Negara atau Pemerintah harus diperlakukan sama sakral atau posisinya dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.
Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan didalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk kesejahteraan demi kelangsungan hidup masyarakat.

Berikut ini akan saya coba untuk menjelaskan sccara singkat apa yang dimaksudkan dengan dengan syarat-syarat tersebut diatas. Pertama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut faham bahwa masyarakatnya adalah masyarakat sipil, tidak ada dominasi militer atau adanya peran sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Militer adalah pasukan perang, dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota militer akan harus menjadi orang sipil yang harus tunduk, pada hukum yang berlaku dalam masysrakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghidari kekhilafan sehingga berperan dalam bidang sosial politik, maka di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik sehingga pada waktu mereka dibebastugaskan dari dinas militernya akan mempunyai pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat. Mantan militer ini akan menjadi tenaga-tenaga produktif yang handal yang berguna bagi terwujudnya kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan harus mencakup pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik diantara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling menghancurkan tetapi untuk saling memeriksa guna terwujudnya keseimbangan (check and balances), terutama dalam kaitan hubungan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat supranasional, tetapi juga pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.

Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis landasan demokrasi pada hakekatnya terletak pada hubungan keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur individu dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM, dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah satuan politik. Tiga unsur tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam hubungan keseimbangan diantara konflik-konflik yang terjadi diantara ketiga unsur tersebut. Pada satu saat, untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau negaralah yang dimenangkan, sedangkan pada saat lainnya individu yang harus diutamakan, dan pada saat lainnya lagi kepentingan komuniti atau masyarakat harus dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan individu.

Di masa lampau kepentingan pemerintahlah yang selalu dimenangkan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan individual (HAM) dan komuniti. Di masa sekarang, kepentingan individual (HAM) sudah dipertungkan dalam upaya penegakkan hukum yang menjamin tercapainya cita-cita masyarakat demokrasi. Tetapi kepentingan komuniti atau masyarakat diabaikan, barangkali karena belum terpikirkan betapa penting posisi dan fungsinya dalam masyarakat demokratis. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti telah diuraikan diatas, posisi dari masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalamnya tidaklah dalam posisi yang seimbang. Sehingga ada masyarakat yang kebudayaannya dominan dan ada yang minoritas. Dalam masyarakat sipil yang demokratis, masyarakat-masyarakat yang minoritas ini diberi hak lebih untuk hidup dibandingkan dengan yang dominan agar tidak hancur dalam kontak-kontak hubungan dengan masyarakat sukubangsa yang dominan. Hak lebih tersebut adalah hak untuk dapat hidup menurut kebudayaannya, diberi perlindungan terhadap hak ulayat atas tanah, hutan dan air yang secara adat menjadi miliknya. Hak untuk dapat hidup sesuai dengan tradisi budayanya yang mencakup juga hak untuk mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda dari agama yang secara mayoritas diyakini oleh masyarakat setempat yang dominan. Mereka harus diberi perlindungan dari kampanye-kampanye keagamaan yang sistematik dan efektif dari penyebar-penyebar agama wahyu, atau upaya penggusuran mereka dari wilayahnya, ataupun dari upaya-upaya penipuan sistematik untuk menguasai tanah dan sumber-sumber dayanya dari para pebisnis sehingga mereka itu tergusur dari wilayahnya.
Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebar luaskan dari sejak sekarang. Dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya yang sakral mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu masyarakat Amerika tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.


Yang terakhir atau ke-empat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang berasal dari pemerintahan penjajahan Belanda sudah waktunya untuk dirubah menjadi tatanan hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis yang menghargai hak-hak individual dan hak-hak budaya komuniti dalam kaitan hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara. Permasalahan hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah hak budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau kabupaten itu tidak diperhatikan. Yang bisa menjadi potensi bagi gagalnya upaya pelaksanaan otonoini daerah, bisa antara lain disebabkan oleh adanya pendominasian struktur politik lokal oleh golongan sukubangsa yang mayoritas dan dominan. Sehingga sukubangsa-sukubangsa yang kecil jumlah warganya dan minoritas posisinya akan terpuruk kehidupannya. Sehingga ketentuan hukum mengenai hak budaya komuniti juga seharusnya mencakup ketentuan hukum yang diberlakukan pada tingkat propinsi dan kabupaten. Permasalahan lainnya yang bisa menjadi potensi kegagalan pelaksanaan otonomi daerah adalah konsep mengenai warga masyarakat setempat. Kecenderungannya adalah, adanya anggapan bahwa otonomi daerah itu diperuntukkan bagi masyarakat sukubangsa asli setempat. Orang-orang asal pendatang yang tinggal dalam wilayah tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan disitu tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang hak-haknya dibedakan dari yang asli. Masalah ini patut dipikirkan secara sungguh-sungguh, mengingat pola-pola kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di Indonesia adalah pengusiran terhadap mereka yang dianggap sebagi ‘orang luar’ oleh mereka yang menganggap dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara sungguh-sungguh, maka politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli dan dominan akan berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.

Yang terakhir, berkenaan dengan upaya penegakkan hukum bagi kesejahteraan hidup masyarakat, adalah upaya pemberantasan preman dan oknum. Mereka ini adalah benalu masyarakat yang menggrogoti kesejahteraan hidup dan potensi ekonomi serta potensi berproduksi warga, masyarakat, dan negara. Sudah waktunya untuk memikirkan upaya merubah cara hidup benalu ini menjadi cara hidup produktif, sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai warga masyarakat dan negara. Atau kalau mereka tidak mau atau tidak dapat, maka harus diupayakan untuk menyingkirkan mereka dari kehidupan masysrakat sipil demokratis yang bercorak bhinneka tunggal ika yang kita cita-citakan.


Daftar Kepustakaan

Barth, F., 1969, “Introduction”. Dalam Fredrik Barth (ed.), Ethnic Groups and Boundaries.
Boston: Little, Brown. Hal. 9-38.

Dew, E., 1978, The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and politics in a plural society.
The Hague: Martinus Nijhoff

Furnival, J.S., 1948a, Colonial Policy and Practice: A comprative study of Burma and the
Netherlands India, New York: New York University Press,

------------- ,1948b, Netherlands India: A study of plural economy. London: Cambridge
University Press.

Lijphart, A., 1969, "Consociationbal Democracy", World Politics No.21: 207-205.
Suparlan, P., 1979, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian Quarterly, 7, 2:55-73.
--------- 1991, "Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika”, Jurnal Studi Amerika, 1, 2: 4-11.

-----------, 1995a, The Javanese In Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society. Tempe Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

----------1995b, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan OBOR.

---------- 1999a, “Kerusuhan Sambas”. Dalam Laporan Kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri. Jakarta: Maret 1999.

---------- 1999b, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturatisme”, Jurnal Studi Amerika, V. Agustus-Desember: 35-43.

---------2000, Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia. Makalah disampaikan sebagai ceramah khusus di Dept. of Anthropology, University of Ilinois. Urbana, Illinois, 27 April 2000.

Tishkov, V., 1997, Ethnicity and Nationalism In and Ater the Soviet Union. London: Sage. van den Berghe, P., 1990, "Introduction". In Pierre van den Berghe (ed.), State Violence and Ethnicity. Hal. 1-1 8. London: Sage.


[1] Diperkirakan ada 500 sukubangsa yang hidup di Indonesia. Sedangkan dari Sensus 1930, yang tidak mencakup Irian Jaya atau Papua, tercatat 300 sukubangsa. Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia beranekaragam corak dan tingkat kebudayaannya. Ada sukubangsa-sukubangsa yang secara sosial, ekonomi, dan politik telah berkembang dan mengenal sistem pemerintahan kerajaan; dan ada sukubangsa-sukubangsa yang secara sosial, ekonomi, dan politik masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan atas aturan kekerabatan dan hidup dari meramu dan berburu (lihat: Suparlan 1978)

[2] Sistem nasional adalah sebuah wadah yang merupakan sebuah struktur dan pedoman bagi warga masyarakat scbuah negara scbagai acuan bagi kehidupan berbangsa dan berncgara. Sebagai sebuah sistcm, sistem nasional mempunyai pedoman yang hakiki sebagaimana yang ada dalam kebudayaan nasionalnya (Pancasila dan UUD 1945, untuk bangsa Indonesia), yang digunakan untuk mcnjabarkan dan mcmproscs masukan-masukan guna dijadikan keluaran-keluaran sesuai dcngan diberadakan dan difungsikannya sistem nasional tersebut. Kalau kita melihat dan memahami kebudayaan sebagai pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat, maka Pancasila dan UUD 1945 yang dilihat sebagai scbuah pedoman menycluruh dari sistem nasional dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila dan UUD 1945 dapat dilihat sebagai kebudayaan nasional bagi bangsa Indonesia. Bedanya dengan kebudayaan masyarakat dalam pengertian umum adalah, Pancasila dan UUD 1945 adalah adalah kebudayaan yang ideal sedangkan yang aktualnya bisa menyimpang karena disimpangkan oleh penguasa sistem nasional.


Sedangkan pengertian sukubangsa mengacu pada pengertian yang dikembangkan oleh Fredrik Barth (1969: 9-38), yang dilihat sebagai sebuah gololgan sosial yang khusus. Kekhususan sukubangsa sebagai sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu: diperoleh secara askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya atau asalnya, dan yang muncul dalam interaksi berdasarkan atas pengakuan oleh warga sukubangsa yang bersangkutan dan oleh sukubangsa lainnya. Ciri-ciri dari sukubangsa merupakan ciri-ciri yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan sebagai identitas atau jatidiri pribadi dan kelompoknya, yang tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadaka. Hanya dapat disimpan atau tidak digunakan sebagai acuan bagi jatidiri dalam interaksi yang berlaku, karena ciri-ciri tersebut melekat seumur hidup bersama dengan keberadaannya sejak kelahirannya.


Sistem sukubangsa adalah sebuah tatanan kehidupan atau kebudayaan yang digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk hidup sebagai warga masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, baik sebagai pribadi ataupun sebagai warga masyarakat sukubangsanya. Kebudayaan sukubangsa mencakup pedoman-pedoman untuk- menghadapi lingkungan alam atau fisik serta cara-cara pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup. Juga mencakup pedoman bagi menghadapi serta mengatasi atau memanfaatkan berbagai gejala serta masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, dan hukum yang ada dalam kehidupan sukubangsa yang bersangkutan. Kebudayaan sukubangsa menyajikan jawaban-jawaban berkenaaan dengan keberadaan atau asal muasal manusia dan mengenai alam semesta beserta isinya, menyajikan formula-formula yang dapat dipilih untuk digunakan dalam menghadapi dunia gaib dan ketidak pastian kehidupan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dari warga sukubangsa yang bersangkutan. Inti dari kebudayaan adalah patokan nilai-nilai etika dan moral, baik yang tergolong sebagai yang ideal, yang biasanya dinamakan worldview atau pandangan hidup dan yang aktual di dalam kehidupan sehari-hari yang dinamakan ethos atau etos. Secara operasional kebudayaan sukubangsa terwujud dalam bentuk pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat sukubangsa, seperti misalnya, keluarga, pasar, pemerintahan desa, pesantren, hukum adat berkenaan dengan tanah dan hutan, atau lainnya. Keberadaan dan fungsi dari pranata-pranata sosial tersebut dalam masayarakat adalah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang dianggap penting dan harus dipenuhi oleh warga masyarakat yang bersangkutan.


Kebudayaan umum lokal, ada dan berfungsi dalam tempat-tempat umum. Tempat umum adalah sebuah ruang fisik yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan bersama atau umum atau siapa saja baik untuk kepentingan-kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan-kepentingaan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sebuah ruang fisik dapat dilihat sebagai sebuah ruang sosial, karena penekanan dari kegiatan-kegiatan para penggunanya adalah pada interaksi-interaksi sosial uniuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mereka anggap penting dan hanya dapat dilakukan di tempat tersebut. Ruang sosial bagi umum tersebut juga dapat dilihat sebagai pranata sosial, karena ruang sosial tersebut merupakan sebuah sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oleh warga masyarakat yang bersangkutan, melalui interaksi-interaksi sosial dari para pelakunya. Pedoman bagi adanya norma-norma dan peranan-peranan sosial para pelakunya adalah kebudayaan yang berlaku dalam tempat-tempat umum yang bersangkutan. Tempat-tempat umum biasanya melayani kebutuhan-kebutuhan untuk hiburan dan rekreasi, pelayanan jasa sosial atau perdagangan, dan interaksi-interaksi sosial. Kebudayaan tempat-tempat umum tersebut terwujud dari berbagi kebiasaan atau konvensi sosial yang berupa norma-norma sosial dan menjadi mantap karena telah berlangsung cukup lama. Tercakup dalam norma-norma sosial tersebut adalah patokan-patokan etika dan moral yang menandai corak tindakan-tindakan dan pola-pola kelakuan yang berlaku di tempat-tempat umum yang bersangkutan. Patokan etika dan moral tersebut berbeda dari corak patokan-patokan yang berlaku dalam suasana sukubangsa (keluarga, kerabat, atau upacara-upacara lingkaran hidup, atau upacara-upacara keagamaan), dan berbeda pula dari patokan-patokan etika dan moral yang berlaku bagi kegiatan-kegiatan di dalam suasana kegiatan-kegiatan nasional. Patokan-patokan yatig berlaku dalam kebudayaan tempat-tempat umum adalah prinsip-prinsip egalitarian (kesamaan derajat) dan kemampuan tawar-menawar barang, uang, dan jasa. Dalam tawar-menawar yang dilakukan oleh para pelaku mencakup penggunaan kekuatan, baik keuatan uang, kekuatan fisik tubuh, maupun kekuatan sosial yang mengacu pada kategori sosial dari masing-masing pelaku yang bersangkutan