Sunday 29 June 2008

DEFINISI KEBUDAYAAN

PARSUDI SUPARLAN

UNIVERSITAS INDONESIA



Definisi Kebudayaan

"Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya." (Hlm. 2-18 alinea I)

"Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya." (Hlm. 2-19 alinea III)

"Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang dihadapi oleh pendukungnya." (Hlm. 2-19/2-20 alinea terakhir).

"...melihat kebudayaan sebagai: (1) Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut; (2) Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan; (3) Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; (4) Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan; karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada kebudayaan yang dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.

Sebagai pengetahuan, kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk memilah (mengkategorisasi) konsep-konsep dan merangkai hasil pilahan untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan dalam mewujudkan tindakan-tindakan dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan dan sumber-sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan adalah sebagai pedoman dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya." (Hlm. 4-1 alinea II & III)

"Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.

Sebagai pengetahuan, kebudayaan dengan demikian adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukannya suatu tindakan yang merupakan satuan gejala. Sebagai suatu satuan ide yang menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma, dan model-model pengetahuan, baik dengan secara sadar maupun tidak, baik secara rasionil maupun secara intuitif dan penuh perasaan, telah digunakan secara selektif oleh yang bersangkutan untuk memahami dan menjadi pedoman tingkah lakunya dalam menghadapi lingkungan alam, sosial, dan budaya." (Hlm. 5-6 alinea II & III)

Unsur kebudayaan

"... Sehingga dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) Bahasa dan komunikasi; (2) Ilmu Pengetahuan; (3) Teknologi; (4) Ekonomi; (5) Organisasi Sosial; (6) Agama; dan (7) Kesenian." (Hlm. 2-3 alinea III)

"Setiap kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang universal, yaitu: struktur sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan teknologi, sistem agama, serta sistem bahasa dan komunikasi." (Hlm. 2-19 alinea III)

Definisi Kota

"... secara ringkas kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat pemukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan hidup yang lebih besar pengelompokannya daripada sebuah klen atau marga atau keluarga luas. Kota juga merupakan sebuah tempat di mana terdapat kesempatan-kesempatan ..." (hlm. 3-2 al. III & hlm. 3-24 alinea III)

" ... kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal yang dihuni secara permanen dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokkannya daripada kelompok klen atau keluarga. Kota juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatan-kesempatan dan permintaan-permintaan yang mewujudkan adanya sistem pembagian kerja, yang kemudian menciptakan adanya kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggungjawab di antara golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai macam bentuk dan corak spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macam kota yang sesuai dengan peranan khusus kota dalam kedudukan fungsional dengan daerah-daerah pedesaan/pedalaman di sekelilingnya dan berada dalam kekuasaannya." (Hlm. 3-80 alinea I)

Syarat Terwujudnya Kota

"...Dalam keadaan demikian, para warga pemukiman tersebut dihadapkan pada pilihan untuk saling merampok dan membunuh karena memperebutkan sumber-sumber rezeki atau saling bekerja sama untuk mengatur kehidupan bersama dengan mendistribusikan fungsi-fungsi sosial dan spesialisasi-spesisalisasi kerja. Kepadatan penduduk saja tidak akan dapat mewujudkan adanya kota. Untuk terwujudnya kota diperlukan syarat-syarat:

(1) Harus terletak dipersimpangan jalur lalu lintas darat atau air;

(2) Para warganya mempunyai kelebihan teknologi dan kekuatan militer sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah pertanian dan pedalaman yang ada disekitarnya dan mengatur kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dari warga wilayah disekeliling kota tersebut." (Hlm. 3-4 alinea II bawah)

"... Dalam keadaan demikian, sebenarnya mereka dihadapkan pada suatu alternatif pilihan, yaitu: saling merampok dan membunuh atau bekerjasama untuk mengatur kehidupannya dengan mendistribusikan fungsi-fungsi sosial dan spesialisasi-spesialisasi kerja. Tetapi kepadatan penduduk saja tidak akan dapat mewujudkan adanya kota. Syarat-syarat lain yang diperlukan adalah: (1) Harus terletak di persimpangan jalur lalu lintas perdagangan (darat atau air); (2) Warganya mempunyai kelebihan dalam hal teknologi dan kekuatan militer sehingga dapat mengintegrasikan wilayah-wilayah pertanian yang ada di sekelilingnya serta mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya mereka." (Hlm. 3-25 alinea II & hlm. 3-81 alinea I).

Kebutuhan

" ... ada tiga golongan kebutuhan manusia yang sifatnya universal, yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih baik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:

1. Kebutuhan Utama atau Primer, yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan:
a. Makanan/minuman/air;
b. Buang air besar/kecil;
c. Perlindungan dari iklim/suhu udara;
d. Istirahat, tidur;
e. Pelepasan dorongan seksual dan reproduksi;
f. Kesehatan yang baik.

2. Kebutuhan Sosial atau Sekunder, yang terwujud sebagai hasil akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan primer, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan:
a. Berkomunikasi dengan sesama;
b. Melakukan kegiatan-kegiatan bersama dengan orang lain;
c. Keteraturan sosial dan kontrol sosial;
d. Kepuasan akan benda-benda material dan kekayaan;
e. Sistem pendidikan.

3. Kebutuhan Integratif, yang muncul dan terpancar dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral, yang fungsinya mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan menjadi satu satuan sistem dan masuk akal bagi para pelakunya, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan:
a. Adanya perasaan benar-salah, adil-tidak adil;
b. Mengungkapkan perasaan-perasaan kolektif/ kebersamaan;
c. Perasaan keyakinan diri dan keberadannya;
d. Rekreasi dan hiburan.

Berbeda dengan hewan yang dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya diperoleh dari lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan spesialisasi fisik/tubuh yang diwarisinya secara genetika; manusia menggunakan kebudayaannya sebagai pedoman hidup dan bertindak, sebagai alat dan jembatan yang mengantarainya dengan berbagai sumberdaya yang ada dalam lingkungannya. Keanekaragaman kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia telah menyebabkan juga terwujudnya beranekaragam model-model pengetahuan, yang beroperasi pada berbagai tingkat kognitif dan afektif, yang masing-masing berguna untuk usaha-usaha pemenuhan masing-masing satuan kebutuhan atau sejumlah satuan kebutuhan manusia ..." (Hlm. 2-2 alinea terakhir s/d hlm. 2-3 alinea III)

"Untuk dapat hidup manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh tubuhnya untuk dipenuhi, seperti bernafas, makan, minum, buang air dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan itu digolongkan sebagai kebutuhan primer, karena kalau tidak makan atau minum maka tubuhnya akan mati. Kebutuhan-kebutuhan lainnya adalah kebutuhan-kebutuhan sosial, karena manusia itu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik-biologinya dalam kehidupannya sebagai manusia melalui kehidupan sosialnya. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan kemanusiaan yang berada, bermoral, mempunyai etika, dan estetika. Kebutuhan terakhir inilah yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dapat membedakan dirinya dari hewan." (Hlm. 4-2 alinea I)

"Secara universal ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia untuk dapat hidup sebagai manusia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: (1) kebutuhan primer, yang kemunculannya bersumber dari aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia; (2) kebutuhan sekunder yang kemunculannya bersumber dari aspek-aspek sosial manusia, yang hampir dapat dikatakan hanya dapat memenuhi kebutuhan primernya dalam kehidupan sosial; dan (3) kebutuhan tertier atau kebutuhan budaya atau adab, yang kemunculannya bersumber dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral. Dua kebutuhan yang pertama (biologi dan sosial) adalah mutlak harus dipenuhi untuk dapat hidup. Hewan juga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, terkecuali makhluk bersel satu. Sedangkan kebutuhan ketiga, yaitu kebutuhan budaya dan adab hanya dilakukan pemenuhannya oleh manusia.

Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan hidupnya, menjadi energi dalam dan bagi kehidupannya dengan menggunakan kebudayaannya. Kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman menyeluruh bagi kehidupan yang dimiliki oleh sebuah masyarakat. Isinya adalah konsep-konsep dan cara-cara mengklasifikasi konsep-konsep serta merangkainya secara selektif untuk digunakan pada situasi atau lingkungan tertentu yang dihadapi. Dalam konsep-konsep tersebut tercakup emosi-emosi dan perasaan-perasaan serta keyakinan-keyakinan beserta penilaian dan nilai-nilai mengenai sesuatu gejala yang ada dalam lingkungan dan kehidupannya." (Hlm. 6-18 alinea terakhir s/d hlm. 6-19 alinea I)


Fungsi Dominan dalam Kehidupan Kota

"Karena itu setiap kota mempunyai banyak fungsi, yang mencakup: (1) Manufaktur dan produksi; (2) perdagangan dan bisnis; (3) administrasi dan politik; (4) pendidikan dan kebudayaan; (5) rekreasi dan wisata; (6) militer. Tetapi setiap kota juga menunjukkan ciri-ciri yang menyolok atau dominan berdasarkan salah satu fungsi atau sejumlah fungsi seperti tersebut di atas. Ciri-ciri yang menyolok berdasarkan atas fungsinya tersebut menyebabkan sesuatu kota menjadi pusat kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan fungsinya. Hal ini mempengaruhi corak kebudayaan dari kota yang bersangkutan, sebagaimana terlihat dari corak kehidupan masyarakat dan kegiatan sehari-hari dari warga masyarakat kota tersebut. Perincian dari ciri-ciri kota adalah sebagai berikut:

1. Pusat produksi. Kota yang fungsinya sebagai pusat produksi dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu: (a) produksi primer atau produksi hulu, ..dan (b) produksi sekunder/ produksi hilir,.. dst.
2. Pusat perdagangan dan bisnis. Pada hakekatnya semua kota... dst.
3. Pusat Administrasi dan Politik. Setiap negara mempunyai sistem nasional yang jaringan administrasinya terpusat di kota-kota ... dst.
4. Pendidikan dan Kebudayaan. ... adalah kota sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan ... dst.
5. Kota Militer. Kota yang menjadi pusat kegiatan militer ... dst.
6. Kota Wisata. Kalau kita datang ke kota Honolulu di Hawaii kita langsung dapat merasakan bahwa kota tersebut adalah kota wisata. Berbagai pelayanan kegiatan sehari-hari adalah pelayanan untuk wisatawan. Dari fasilitas untuk menginap atau hotel, transportasi, rumah makan, hiburan siang dan malam,... dst."

(Hlm. 3-6 alinea terakhir s/d hlm. 3-9)

"... Fungsi-fungsi yang dipunyai oleh setiap kota mencakup:
1. Manufaktur dan Produksi;
2. Perdagangan dan Bisnis;
3. Politik dan Administrasi Pemerintahan;
4. Pendidikan dan Kebudayaan;
5. Rekreasi dan Wisata; dan
6. Militer
(Hlm. 3-38 alinea II akhir)

"... Fungsi-fungsi yang menjadi dasar keberadaan, perkembangan, dan kelestarian kehidupan kota serta kehidupan kota-kota lainnya, kehidupan pedesaan, kehidupan negara dan hubungan-hubungannya dengan negara lain, serta kehidupan warga kota yang bersangkutan, mencakup: (1) Perdagangan dan Bisnis; (2) Manufaktur dan Produksi; (3) Politik dan Administrasi Pemerintah; (4) Pendidikan dan Kebudayaan; (5) Hiburan, Rekreasi, dan Wisata; dan (6) Militer." (Hlm. 6-30 alinea II)

" ... Fungsi-fungsi tersebut mencakup; (1) Administrasi pemerintahan dan politik, (2) Manufaktur dan produksi, (3) Perdagangan dan bisnis, (4) Pendidikan dan kebudayaan, (5) Hiburan, rekreasi dan wisata serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya, (6) Militer, (7) Permukiman." (Hlm. 6-43 alinea I)

Lingkungan Kebudayaan (Cultural Spheres)

"... Salah satu dari model-model ini adalah yang telah dikembangkan seorang ahli antropologi yang bernama Leo Despres, dimana dia mengemukakan akan adanya tiga macam lingkungan kebudayaan (cultural spheres) yang terdiri atas: (1) lingkungan nasional; (2) lingkungan sukubangsa; dan (3) lingkungan pasar atau campuran. Lingkungan atau spheres terwujud dari adanya sistem atau struktur yang dapat berupa situasi sosial atau serangkaian situasi sosial yang merupakan arena tempat terjadinya interaksi.

Dengan menggunakan kebudayaan nasional yang terwujud dalam berbagai kegiatan sosial yang resmi sifatnya, seperti berbagai kegiatan sosial yang lahir dari hubungan kerja di kantor, hubungan guru dan murid di kelas atau sekolah, dalam berbagai upacara nasional, rapat-rapat kerja, seminar dan sebagainya, yang terwujud adalah simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan nasional ..." (Hlm. 2-24 alinea III & IV)

"Dalam kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku tetapi yang kegunaannya sebagai acuan berbeda-beda menurut konteks lingkungan kegiatannya. Kebudayaan yang pertama adalah kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional. Kegiatan-kegiatan sehari-hari warga kota yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan pada waktu mereka harus bertindak sebagai warganegara dan berada dalam suasana-suasana nasional. ... " (Hlm. 3-10 alinea II)

" ... ada 3 kategori kebudayaan dalam masyarakat Indonesia, ... ketiganya terwujud dalam struktur kehidupan perkotaan, yaitu: (1) Kebudayaan nasional Indonesia atau kebudayaan bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam suasana-suasana nasional dan arena-arena interaksi yang terwujud dalam struktur-struktur serta pranata-pranata yang diciptakan oleh dan yang menjadi unsur-unsur pendukung dari sistem nasional. (2) Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang berfungsi dan operasional dalam suasana-suasana sukubangsa dan arena-arena interaksi yang ada dalam pranata-pranata dan struktur-struktur kebudayaan sukubangsa masing-masing, terutama dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan. (3) Kebudayaan umum-lokal yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam berbagai fase kehidupan pergaulan umum (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan) yang berlaku dalam lokal-lokal di tempat umum." (Hlm. 3-84 alinea terakhir)
***
" ... Berbeda dengan kebudayaan nasional kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota." (Hlm. 3-11 alinea II)

"...Prinsip tawar-menawar yang ada dalam kebudayaan umum inilah terutama yang membedakan dari kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan nasional Indonesia." (Hlm. 3-11 alinea III)

Tipe Kemajemukkan - Bruner

"... Adapun unsur-unsur yang tercakup dalam teori "hipotesa kebudayaan dominan" adalah:
1. Secara demografi sosial atau rasio populasi terdapat adanya mayoritas
2. Adanya kebudayaan lokal atau setempat yang mantap yang berlaku dalam kehidupan kota tersebut
3. Ada atau tidaknya semacam pengistimewaan bagi satu kelompok etnik atau sukubangsa yang mayoritas dan yang mempunyai kebudayaan lokal yang mantap dari kota tersebut untuk mendominasi kekuasaan dan pendistribusiannya di dalam administrasi pemerintahan setempat." (Hlm. 3-12 alinea III)

"... Adapun unsur-unsur yang tercakup dalam hipotesa kebudayaan dominan tersebut adalah:
1. Secara demografi sosial atau rasio populasi terdapat adanya mayoritas;
2. Adanya kebudayaan lokal yang dominan dan mantap yang berlaku dalam kehidupan masyarakat perkotaan tersebut;
3. Ada atau tidak pengistimewaan bagi satu kelompok etnik atau sukubangsa yang mayoritas dan mempunyai kebudayaan-kebudayaan lokal yang mantap di kota tersebut untuk mendominasi kekuasaan dan pendistribusiannya di dalam administrasi pemerintahan setempat." (Hlm. 3-45 alinea kedua)

"Menurut Bruner, teori "hipotesa kebudayaan dominan" tersebut terdiri atas 3 komponen, yaitu: (1) demografi sosial atau rasio populasi dan bukan hanya semata-mata heterogenitas atau homogenitas etnik dan kebudayaan; jadi harus ada sebuah kelompok etnik yang secara mayoritas hidup dalam kota tersebut; (2) Adanya kebudayaan lokal yang mantap yang berlaku dalam kota tersebut, sehingga anggota-anggota kelompok etnik lainnya harus secara keseluruhan ataupun sebagian menggunakannya dalam kehidupan mereka di kota; (3) Letak kekuasaan dan pendistribusiannya di antara berbagai kelompok etnik yang hidup di kota tersebut yaitu ada atau tidaknya semacam pengistimewaan bagi satu kelompok etnik mayoritas dan mempunyai kebudayaan lokal yang mantap untuk mendominasi kekuasaan pemerintahan setempat." (Hlm. 3-86 alinea terakhir)

"Bruner (1974) menyatakan bahwa ada atau tidak adanya kelompok kebudayaan dominan dalam suatu masyarakat yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnik yang berbeda, dan khususnya di daerah perkotaan, mempengaruhi corak dan wujud interaksi serta mempengaruhi perwujudan ungkapan etnisitasnya. Selanjutnya dikatakannya bahwa hipotesis itu terdiri atas unsur-unsur: (a) rasio kependudukan dari kelompok-kelompok etnik yang ada; (b) ada atau tidaknya kebudayaan yang baku yang berlaku setempat dalam masyarakat tersebut; dan (c) siapa pemegang kekuasaan dan pendistribusian dari kekuasaan tersebut di antara kelompok-kelompok etnik. Hasil perhitungan dari ketiga unsur itu mencerminkan ada atau tidaknya kelompok kebudayaan dominan dalam masyarakat setempat." (Hlm. 4-13 alinea terakhir)

***

"Dari kasus Bandung dan Medan yang ditelitinya, Bruner menunjukkan bahwa di Bandung ada kebudayaan lokal yang mantap yang dijadikan pedoman bagi kehidupan orang Sunda yang mayoritas secara demografi berbeda dengan kondisi kota Medan, di mana tidak ada kebudayaan lokal yang mantap dan tidak ada mayoritas secara demografi. Yang ada di Medan adalah satuan-satuan etnik atau sukubangsa yang hidup mengelompok di pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh mereka yang mempunyai asal etnik atau sukubangsa yang sama. Berbeda dengan Bandung, di Medan tidak ada kebudayaan dominan yang menjadi acuan utama dalam kehidupan kota ..." (Hlm. 3-13 alinea I)

"Dari kasus-kasus di Bandung dan Medan yang ditelitinya, Bruner menunjukkan bahwa di Bandung ada kebudayaan lokal yang mantap yang dijadikan acuan bagi kehidupan masyarakat perkotaan Bandung, secara demografi sosial ada golongan etnik yang mayoritas dan dominan. Sedangkan di Medan, tidak terdapat kebudayaan lokal yang mantap tetapi yang ada adalah kebudayaan-kebudayaan etnik atau sukubangsa, secara demografi sosial tidak terdapat adanya golongan yang mayoritas dan dominan, yang ada hanyalah satuan-satuan etnik atau sukubangsa yang hidup mengelompok di pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh masing-masing asal etnik yang sama." (Hlm. 3-45 alinea III)

"Pembahasan mengenai contoh-contoh tersebut menjadi relevan dengan dan mendukung teori "hipotesa kebudayaan dominan" dari Prof. Bruner (1974). Dalam teorinya tersebut, Bruner yang menggunakan kasus Bandung dan Medan sebagai satuan analisa, mengemukakan bahwa perbedaan yang menyolok antara struktur kehidupan kota Bandung dan Medan adalah ada atau tidaknya sebuah kebudayaan dominan dari golongan mayoritas. Dan ada atau tidaknya itu mempengaruhi corak struktur perkotaan, kehidupan komuniti dan ekspresi kesukubangsaan. Bandung adalah kota Orang Sunda dan kebudayaan yang dominan adalah kebudayaan Sunda, sedangkan Medan adalah kota kelompok-kelompok minoritas dan tidak mempunyai sebuah kebudayaan yang dominan, sehingga terdapat suatu kontras antara struktur perkotaan yang dilihat dari corak perspektif tempat-tempat umum-lokal. Di Bandung semuanya bercorak Sunda-Bandung, sedangkan di Medan tergantung pada komposisi etnik dan dominasi etnik setempat. Dari segi komuniti, corak struktur kehidupan di Bandung adalah Sunda-Bandung, sedangkan di Medan pemukiman-pemukiman adalah komuniti etnik atau campuran etnik. ... dst." (Hlm. 3-86 alinea II)

***

"Berbagai kritik telah dikemukakan atas ciri-ciri urbanisme yang dikemukakan oleh Wirth, terutama kritik atas munculnya individualisme dan anonimiti. Kritik-kritik tersebut terutama ditujukan pada pemukurataan cara-cara hidup atau kebudayaan perkotaan yang sebenarnya tidak berlaku dalam kehidupan keluarga, kekerabatan, pertemanan, dan persahabatan, dan bahkan juga ketetanggaan atau tetangga kiri kanan rumah. Bruner (1974) misalnya, telah menunjukkan bahwa kehidupan dalam masyarakat perkotaan di Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan teori urbanismenya Wirth. Justru dalam masyarakat perkotaanlah peranan etnik dan kekerabatan itu diaktifkan oleh para pelakunya dan menonjol untuk adaptasi dan mobilitas dalam kehidupan perkotaan; baik bagi para pendatang baru maupun bagi mereka yang sudah mapan kehidupannya di kota." (Hlm. 3-45 alinea I)

"Berbagai kritik atas ciri-ciri urbanisme yang dikemukakan oleh Wirth, terutama berkenaan mengenai munculnya individualisme dan anonimiti. Kritik-kritik tersebut terutama ditujukan pada pemukurataan cara hidup perkotaan yang berlaku dalam pranata-pranata yang dasar, yaitu keluarga, kekerabatan, dan ketetanggaan. Di antara kritik-kritik tersebut, Bruner (1974) telah menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan teori urbanisme. Justru dalam masyarakat kota, peranan etnik dan kekerabatan menjadi penting untuk adaptasi dan mobilitas dalam kehidupan perkotaan bagi para pendatang baru maupun yang sudah mapan hidup di kota..." (Hlm. 3-79 alinea II)

Ciri-ciri Urbanisme - Wirth

"... Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:
1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia, ... dst.
2. Anonimiti, atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan ... dst.
3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu ... dst.
4. Urbanisme atau cara hidup perkotaan bukan hanya milik orang kota saja, tetapi secara bertahap juga mempengaruhi cara hdup masyarakat yang terletak di daerah pinggirannya, ... dst." (Hlm. 3-13 s/d 3-14 alinea III)

"... Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:
1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia, ... dst.
2. Anonimiti, atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan ... dst.
3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu ... dst.
(Hlm. 3-44 s/d 3-45 alinea II)

"Menurut Wirth corak masyarakat kota ditandai oleh adanya urbanism atau cara hidup perkotaan yang ciri-cirinya terutama adalah: (1) Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang di kotanya karena kota adalah seperti tempat kerumunan manusia yang datang dan pergi, sehingga dia tidak dapat dan tidak mampu untuk mengenal semuanya. ... (2) Anomiti, atau identitas pribadinya tidak dikenal; yang merupakan akibat dari tidak dapat dan tidak mau mengenal semua orang dalam masyarakat kotanya, sehingga mampu untuk bergerak di antara warga masyarakat kotanya tanpa dikenal atau "anonim". (3) Mobilitas tinggi, yaitu warga kota mempunyai kemampuan untuk tidak terikat pada tradisi yang ada dan mempunyai kecenderungan untuk menciptakan tradisi-tradisi baru dalam kehidupan mereka ... mempunyai kecenderungan untuk toleran ... bahkan juga diadopsi tradisi-tradisi baru; dan bukan hanya diri mereka yang tinggi mobilitasnya tetapi juga mentoleransi dan bahkan mengagumi mobilitas tinggi yang dipunyai oleh orang lainnya. Dalam pengertian mobilitas tinggi tercakup pengertian bahwa Orang kota mempunyai kemampuan penyesuaian yang tinggi terhadap lingkungannya yang selalu berubah (transiens) untuk manfaat dan kepentingan diri mereka masing-masing. (4) Urbanisme atau cara hidup perkotaan bukan hanya milik orang kota saja tetapi juga secara bertahap mempengaruhi cara hidup masyarakat yang terletak di daerah pinggirannya, termasuk daerah atau masyarakat pedesaan. Ini berlangsung melalui proses urbanisasi, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang muda dari desa dan melalui berbagai jaringan administrasi pemerintahan, ekonomi, dan perdagangan, pendidikan, media komunikasi massa, dan hubungan-hubungan pribadi antara warga kota dan desa melalui jaringan-jaringan kekerabatan dan sosial yang ada." (Hlm. 3-78 alinea II)

Perkembangan Kota

"Wilayah kota dapat juga berkembang menjadi suatu wilayah yang padat dengan bangunan, barang, dan manusia. Dalam keadaan demikian, wilayah kota sebenarnya sudah tidak mampu lagi menampung pengembangan berbagai kegiatan dari warganya. Kecuali dengan cara mengembangkan luas wilayah kota atau bangunan gedung-gedung secara bertingkat untuk menampung pengembangan kegiatan-kegiatan tersebut. Pembangunan kota di masa lampau, sebelum zaman industri, direncanakan oleh penguasa kota dan terutama untuk kepentingan penguasa kota yang bersangkutan. Benteng-benteng untuk pertahanan kota, gedung-gedung tempat tinggal, taman-taman, monumen-monumen, bangunan-bangunan keagamaan, dan berbagai bangunan fisik lainnya dibangun untuk kepentingan penguasa kota atau warga terhormat dari kota tersebut. Warga kota biasa tidak turut campur dalam perencanaan pengembangan kotanya. Seringkali, pengembangan kota terjadi karena warga kota secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama membangun rumah untuk dihuni, bangunan-bangunan untuk kepentingan ekonomi, jalan-jalan, saluran-saluran air, atau bangunan-bangunan lainnya. Dalam keadaan demikian kota berkembang tanpa sesuatu perencanaan untuk masa depan." (Hlm. 3-15 alinea I)

"Wilayah kota dapat juga berkembang menjadi sebuah wilayah yang padat dengan bangunan, barang dan manusia ... Dalam keadaan kesemrawutan, wilayah kota tersebut sebenarnya tidak mampu lagi untuk menampung berbagai kategori kegiatan dari para warganya. Pemecahannya hanya dengan cara meluaskan wilayah kota atau membangun gedung-gedung bertingkat atau membangun anak kota atau satelit kota."

"Pembangunan kota dimasa lampau, sebelum zaman industri, direncanakan oleh penguasa kota untuk kepentingannya sendiri. Benteng-benteng untuk pertahanan kota, bangunan-bangunan untuk hunian, taman-taman, monumen-monumen, bangunan-bangunan pemerintah, keagamaan, dan bangunan-bangunan untuk berbagai fungsi lainnya dibangun untuk kepentingan penguasa kota atau golongan warga terhormat dari kota tersebut. Warga kota biasa atau mereka yang kedudukan sosialnya rendah tidak ikut campur dalam perencanaan tata ruang kota tersebut..."

"Dalam keadaan dimana warga masyarakat perkotaan tidak mengetahui isi dari perencanaan tata ruang kota, maka yang sering terjadi adalah pemanfaatan ruang-ruang kota yang dilakukan oleh para warganya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk kepentingan mereka masing-masing. Lahan-lahan yang ada di kota dimanfaatkan untuk bangunan-bangunan hunian, pemukiman, jalan-jalan, pemanfaatan air tanah, saluran-saluran pembuangan air limbah, tempat-tempat pembuangan sampah, bangunan-bangunan untuk kepentingan komersial dan bisnis, hiburan dan rekreasi, dan industri ... Sehingga terdapat kesan bahwa kota tersebut telah berkembang tanpa adanya rencana tata ruang kota sebagai patokan atau pedomannya." (Hlm. 3-40 s/d 3-41 alinea III, IV dan V)

"Di masa lampau, yaitu dalam sejarah kota-kota kuno, penataan ruang-ruang kota diperuntukkan bagi kepentingan penguasa kota yang bersangkutan secara sepihak. Perencanaan tata ruang kota biasanya dilakukan secara intuitif dan impulsif yang muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan-perkembangan yang ada dalam lingkungannya atau sesuai dengan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan penguasa tersebut..." (Hlm. 6-31 alinea II)
***
"Kota didirikan oleh sebuah masyarakat untuk memenuhi berbagai kegunaan yang dirasakan penting oleh masyarakat tersebut. Secara sadar atau tidak sadar wilayah kota ditata untuk kepentingan tersebut. Dalam perspektif sejarah kota berkembang karena pertambahan jumlah penduduknya atau karena meningkatnya fungsi-fungsi pelayanannya, baik secara nasional maupun internasional. Pengembangan kota berarti juga pengembangan wilayah fisik kota. Fisik kota menjadi lebar dan meluas atau bangunan-bangunannya naik ke atas, agar dapat menampung kegiatan-kegiatan para warganya yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya." (Hlm. 3-14 alinea terakhir = hlm. 3-40 alinea II)
***"Kota sebagai tempat tinggal yang permanen dari sebuah masyarakat, menempati sebuah wilayah fisik tertentu. Kota dengan demikian, dapat dilihat sebagai sebuah satuan fisik yang berisikan bangunan-bangunan, jalan-jalan, saluran-saluran air bersih dan air kotor, taman-taman dan ruang-ruang terbuka, dan manusia yang menjadi penghuni atau tinggal sementara di kota tersebut. Secara umum kota melayani berbagai kebutuhan para warga masyaraka kota, dan karena itu wilayah-wilayah dalam kota dibangun untuk dapat melayani kebutuhan-kebutuhan kota tersebut. Karena itu, di dalam kota, ada pusat-pusat bisnis dan perdagangan, pusat-pusat perkantoran. Gedung-gedung pemerintah, pasar, tempat-tempat hiburan dan rekreasi, pusat-pusat kegiatan kesenian, wilayah-wilayah pemukiman, dan sebagainya. Batas-batas fisik antara satu jenis pusat kegiatan dengan jenis pusat kegiatan lainnya tidak selamanya terwujud jelas, bahkan seringkali yang terjadi adalah adanya saling tumpang tindih dalam satu wilayah di antara berbagai jenis kegiatan yang dibutuhkan oleh para warga kota." (Hlm. 3-14 alinea IV)

"Sebagai sebuah tempat tinggal atau hunian yang permanen dari sebuah masyarakat, kota dapat dilihat sebagai sebuah satuan fisik. Dalam ruang fisik tersebut kegiatan-kegiatan kehidupan warga dilakukan. Karena itu isi dari ruang fisik kota adalah berbagai bangunan dengan corak dan fungsinya masing-masing, jalan-jalan, ruang-ruang terbuka, saluran-saluran air bersih dan kotor, sampah-sampah, dan manusia yang menjadi penduduknya... Karena itu, di dalam kota ada wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat kegiatan bisnis dan perdagangan, industri, pemerintahan, umum, lalulintas, pasar, hiburan dan rekreasi, kesenian dan wilayah-wilayah pemukiman." (Hlm. 3-40 alinea pertama)

Model-model Pertumbuhan Kota

"Dalam kepustakaan sosiologi perkotaan, dikenal adanya model-model pertumbuhan kota. Model pertama adalah model pertumbuhan yang terpusat atau konsentrik, yang digunakan oleh Burgess. Secara singkat model konsentrik ini mencakup konsep kota sebagai sebuah lingkaran yang pusat dari lingkaran tersebut adalah pusat bisnis. Di luar pusat bisnis, secara bertahap dan melingkarinya, terdapat pusat perdagangan grosir barang kelontong, pemukiman golongan rendah, pemukiman golongan menengah, pemukiman golongan atas, wilayah industri berat, menengah, pemukiman golongan atas, dan wilayah karyawan ulang alik (commuter’s zone). Adapun model-model lainnya, seperti model bintang, model teori sektor, atau model Chicago dapat dilihat dalam tulisan Nas (1984)." (Hlm. 3-15 alinea III)

"Burgess melihat kota sebagai suatu satuan kehidupan yang tumbuh dan berkembang menurut potensi-potensi yang dipunyai dan mengikuti suatu model yang konsentrik polanya, berdasarkan atas kepentingan fungsi-fungsi kota dan penduduknya. Model konsentrik ini adalah model pertumbuhan yang terpusat atau yang terkonsentrasi. Model ini, secara singkat, melihat sebuah kota yang kegiatan-kegiatan warganya menyebabkan pengaturan kehidupan yang mewujudkan pola kota sebagai sebuah lingkaran-lingkaran spiral yang pusat dari lingkaran tersebut adalah pada pusat bisnis dan komersial. Di luar pusat bisnis dan komersial tersebut secara bertahap dan melingkar terdapat pusat-pusat perdagangan grosir barang kelontong, pemukiman dari golongan sosial yang rendah, dan di bagian lingkaran luarnya terdapat pemukiman golongan sosial menengah, sedangkan di bagian yang paling luar adalah golongan sosial tinggi; dan di luarnya lagi terdapat wilayah atau terminal bagi karyawan yang ulang alik (commuters). Adapun model-model lainnya, seperti model bintang, model sektor, ataupun model Chicago dapat diperiksa dalam tulisan Nas (1984)." (Hlm. 3-47 alinea pertama)
***"Pada masa kini, dimana ekonomi pasar telah menjadi bagian dari kehidupan di kota, semua sumberdaya alamiah maupun buatan serta tenaga kerja manusia, harus ditransformasikan menjadi model sebelum dapat digunakan atau dimanfaatkan. Setelah itu maka sumberdaya tersebut dapat menjadi faktor produksi yang dapat diperjual belikan, yang dapat mempunyai nilai sebagai komoditi. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan kota. Tanah sebagai sumberdaya alamiah mempunyai nilai ekonomi berlipatganda, berdasarkan perhitungan rasional ekonomi, pada waktu tanah tersebut ditransformasikan menjadi komoditi. Tanah untuk real-estate, misalnya, mempunyai nilai berlipatganda dibandingkan dengan yang bukan. Begitu juga tanah yang berstatus, memiliki sertifikat, mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan tanah garapan atau tanah adat. Bidang-bidang tanah yang terletak di wilayah bisnis adalah komoditi dibandingkan dengan tanah pekarangan yang terletak di pemukiman yang jauh dari pusat bisnis ataupun dari akses terhadap jalur lalu lintas kendaraan bermotor." (Hlm. 3-16 alinea I)

"Pada masa kini, dimana ekonomi pasar telah menjadi bagian dari kehidupan di kota, semua sumberdaya alamiah maupun buatan serta manusia, telah ditransformasikan menjadi modal untuk dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kehidupan perkotaan. Setelah itulah maka sumber-sumberdaya tersebut dapat menjadi faktor produksi yang dapat diperjualbelikan, yang dapat mempunyai nilai sebagai komoditi. Tanah sebagai sumber daya alamiah mempunyai nilai ekonomi yang berlipatganda, berdasarkan perhitungan rasional ekonomi, pada waktu tanah tersebut ditransformasikan menjadi komoditi. Contohnya adalah tanah untuk real-estate, yang semula bersifat alamiah setalah diolah, diberi sertifikat, mempunyai akses yang mudah terhadap jalur-jalur lalu lintas yang menghubungkan tanah tersebut ke pusat-pusat bisnis-bisnis perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan pusat-pusat kegiatan lainnya, menjadi komoditi dengan nilai ekonominya berlipat ganda ..." (Hlm. 3-41 alinea III)
***
"Walaupun perhitungan rasional ekonomi dominan dalam kehidupan kota, khususnya dalam penentuan nilai komoditi tanah misalnya; tetapi faktor-faktor kekuasaan, prestise, sentimen kesinambungan dengan masa lampau, tradisi-tradisi dan berbagai aspek sosial-budaya lainnya, juga turut memainkan peranannya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa di negara-negara maju, perencanaan pengembangan kota tidak hanya dilakukan oleh pemerintah kota yang dibantu oleh para ahli perencanaan tetapi juga dibantu oleh masyarakat melalui partisipasi mereka. Dalam negara maju seperti Amerika Serikat, rencana tata kotanya bukan suatu dokumen yang rahasia. Bagi mereka rencana tata kota adalah sebuah dokumen terbuka, yang setiap orang atau warga kota berhak untuk mengetahuinya dan berhak pula untuk berpartisipasi dalam menentukan isi dari rencana tersebut. Maksud dari keterbukaan rencana tata kota tersebut adalah agar kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan kota ataupun orang bisnis atau konglomerat tidak digunakan secara tidak semestinya dalam pengelokasian wilayah-wilayah yang ada dalam rencana tata kota, yang hanya akan menguntungkan pihaknya saja." (Hlm. 3-16 alinea II)

"Walaupun perhitungan rasional ekonomi itu dominan dalam kehidupan perkotaann, dan khususnya dalam penentuan nilai komoditi tanah, misalnya; tetapi faktor-faktor kekuasaan, prestise, sentimen-sentimen kesinambungan dengan masa lampau, tradisi-tradisi dan berbagai aspek sosial-budaya lainnya, juga turut memainkan peranannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila di negara-negara maju, perencanaan pengembangan sebuah kota tidak hanya dilakukan oleh pemerintah kota yang bersangkutan saja tetapi dibantu oleh masyarakat perkotaan yang bersangkutan melalui partisipasi mereka. Dalam negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, rencana tata kota bukanlah sebuah dokumen rahasia. Bagi mereka rencana tata kota adalah sebuah dokumen terbuka, dimana setiap warganya berhak untuk mengetahuinya dan berhak pula untuk berpartisipasi dalam menentukan isi dari rencana tersebut. Maksud dari keterbukaan rencana tata kota tersebut adalah agar kekuasaan yang dimiliki pejabat pemerintahan kota ataupun orang bisnis atau konglomerat, tidak digunakan secara tidak semestinya dalam hal pengelokasian ruang-ruang kota, yang hanya akan menguntungkan pihaknya saja." (Hlm. 3-42 alinea I)

***
"Karena kompleksnya kehidupan kota, dengan berbagai bentuk keanekaragaman dan kemajemukkannya, dan karena kota juga pusat kekuasaan politik, peredaran uang dan ekonomi, sosial dan kebudayaan, maka merencanakan penataan ruang kota adalah juga suatu permasalahan yang kompleks. Yaitu harus memperhitungkan adanya berbagai kelompok interest yang hanya memikirkan kepentingan diri atau kelompoknya saja, harus memperhitungkan berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat kota maupun yang ada pada tingkat nasional, dan harus setia pada tujuan dilakukannya penataan ataupun perbaikan tata ruang kota yang dibuat." (Hlm. 3-16 alinea III)

"Karena kompleksnya kehidupan perkotaan, dengan berbagai corak keanekaragaman dan kemajemukkannya, dan karena kota juga merupakan pusat kekuasaan politik, uang dan ekonomi, sosial dan kebudayaan, maka merencanakan penataan tata ruang ataupun merencanakan perbaikan tata ruang kota adalah merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Karena harus memperhitungkan adanya berbagai kelompok interes yang hanya memikirkan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, harus memperhitungkan berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat perkotaan yang bersangkutan maupun yang ada pada tingkat nasional, dan keharusan adanya kesetiaan dari pihak pemerintahan kota pada tujuan dilakukannya penataan ataupun perbaikan tata ruang kota yang telah dibuatnya." (Hlm. 3-42 alinea II)

Tujuan Rencana Penataan Tata Ruang Kota

"Tujuan dari setiap rencana penataan atau perbaikan tata ruang kota adalah:
1. Peredaran atau lalu lintas orang dan barang serta kendaraan dapat berjalan secara lancar, sehingga secara ekonomi menguntungkan. ... dst.
2. Pengalokasian tanah dan ruang dalam kota ke dalam wilayah-wilayah yang masing-masing mempunyai fungsi-fungsi khusus, ... dst.
3. Menciptakan suatu suasana yang kondusif dan merangsang pengembangan kuantitas dan mutu pendidikan, kesenian dan kehidupan sosial budaya dari masyarakat kota, ... dst.
4. Mendorong terciptanya suatu kehidupan komuniti yang teratur, ... dst.
5. Merencanakan ruang-ruang dalam kota yang dapat digunakan untuk upaya-upaya pelayanan kesehatan, ... dst.
6. Meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi jumlah dan kwalitas kekumuhan dari pemukiman kumuh." (Hlm. 3-17 alinea pertama)

"Tujuan dari setiap rencana penataan atau perbaikan tata ruang kota adalah untuk: (1) Terwujudnya peredaran atau lalu lintas orang dan barang serta kendaraan dapat berjalan secara lancar, sehingga secara ekonomi penataan tersebut menguntungkan dan secara kejiwaan tidak menjengkelkan; (2) Pengalokasian tanah dan ruang dalam wilayah kota ke dalam satuan-satuan ruang yang masing-masing mempunyai fungsi-fungsi khusus dalam struktur kehidupan perkotaan, yang satu sama lainnya tidak campur aduk kegiatan-kegiatannya atau semrawut; (3) Menciptakan suatu suasana yang kondusif dan merangsang pengembangan kwantitas dan kwalitas pendidikan, kesenian dan kehidupan etika, estetika, dan moral masyarakatnya; (4) Mendorong terciptanya kehidupan komuniti atau pemukiman yang teratur, warganya saling mengenal dan tolong menolong, menjaga kelestarian lingkungannya yang sehat dan kondusif untuk pengembangan kreativitas anak-anak; (5) Merencanakan ruang-ruang dalam kota untuk upaya-upaya pelayanan kesehatan, keamanan, hiburan dan rekreasi, pabrik sumber energi dan penyalurannya, air bersih, pembuangan air limbah, berbagai pelayanan lainnya; dan (6) Meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi jumlah dan kwalitas kekumuhan dari pemukiman kumuh yang ada." (Hlm. 3-42 alinea terakhir)

Usaha Formal-legal - Pamudji

"Prof. Pamudji (1980) telah memperlihatkan berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia. Penekanan uraian beliau adalah pada usaha formal-legal bagi pembinaan dan pengembangan struktur dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali fungsinya dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat dan kebudayaan di kota. Karena mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dan bahkan "memaksakan" arah dan corak perkembangan kota-kota di Indonesia." (Hlm. 3-19 alinea terakhir)

"Prof. Pamudji (1980) memperlihatkan adanya berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk penataan perkotaan. Penekanan uraiannya adalah pada upaya-upaya legal-formal dalam pembinaan dan pengembangan struktur organisasi dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga kota, sebab peraturan legal-formal ini mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dan memaksakan arah dan corak perkembangan perkotaan di Indonesia dan khusunya kondisi pemukiman perkotaan." (Hlm. 3-52 alinea I)

"Prof. Pamudji (1980) memperlihatkan berbagai peraturan yang digunakan untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia termasuk daerah perkotaan. Penekanan uraian beliau sebenarnya pada usaha formal-legal bagi pembinaan dan pengembangan struktur dan pemerintahan kota. Peraturan-peraturan yang legal-formal ini penting sekali untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan usaha memperhatikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan perkotaan. Karena peraturan formal-legal ini mempunyai kekuatan untuk mengarahkan, bahkan "memaksakan" arah dan corak perkembangan perkotaan di Indonesia. Satu hal yang mungkin patut kita perhatikan adalah corak masyarakat dan kebudayaan perkotaan yang tidak sama dengan corak masyarakat dan kebudayaan perkotaan. Begitu juga masyarakat dan kebudayaan perkotaan mempunyai corak yang beranekaragam yang terwujud secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan kedudukan dan posisi kota dalam struktur administrasi pemerintahan yang hierarki.

Peraturan yang mendasar mengenai struktur pemerintahan dari kedudukan puncak sampai ke tingkat komuniti (kelurahan, RW, RT) memang patut diberlakukan secara nasional. Yang harus diperinci untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan warga serta kehidupan perkotaan mungkin adalah isi dari satuan-satuan dan jabatan-jabatan tersebut, yaitu: corak, beban, dan fungsi kewenangannya sesuai dengan corak struktur perkotaan dan corak serta tingkat lapisan sosial komunitinya.

Peraturan formal-legal sebenarnya tidak hanya untuk pemerintahan tetapi juga diperlukan untuk menata kehidupan ekonomi, sosial, dan rasa aman, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman guna mensejahterakan kehidupan warga dalam komuniti maupun warga sebagai pribadi, dan seterusnya akan mensejahterakan kehidupan masyarakat kota yang bersangkutan. Sebuah masalah yang pernah dikemukakan oleh berbagai pemikir dan pakar mengenai perkembangan masyarakat perkotaan masa kini adalah peranan komuniti dalam kehidupan perkotaan. Karena melalui komuniti warga masyarakat sebagai individual dapat berkembang sebagai warga yang bermoral dan bertanggung jawab sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat dan negara; karena apa yang disajikan oleh negara yaitu secara formal hanya akan ditanggapi secara superfisial dan rasional oleh individu dan bukannya sebagai bagian dari ungkapan emosi dan perasaan serta keseluruhan kepribadian individu." (Hlm. 3-87 alinea I s/d III)

Kebudayaan dan Tata Ruang - Hall

"Edward T. Hall, seorang ahli antropologi yang mempelopori kajian-kajian hubungan antara kebudayaan dan penataan ruang, mengatakan:

".....manusia telah menciptakan sebuah dimensi baru, dimensi budaya, yang mana proxemic (penataan dan penggunaan ruang sesuai dengan konsep-konsep kebudayaannya), hanyalah merupakan sebagian daripadanya. (Karena) hubungan antara manusia dengan dimensi budaya merupakan satu kesatuan, yang dalam hal mana baik manusia maupun lingkungannya sama-sama berpartisipasi dalam membentuk satu sama lainnya. Manusia pada saat sekarang ini sebenarnya sedang menciptakan suatu dunia yang satu dan menyeluruh di mana dia hidup.." (Hlm. 2-1 al.I akhir)

"Hal ini sejalan dengan konsep Edward T. Hall (1966) yang melihat bahwa ketika manusia itu menata ruang-ruang untuk kepentingan kehidupannya, sebenarnya penataan tersebut dilakukan dengan berpedoman pada kebudayaannya dan hasilnya adalah sebuah lingkungan budaya, seperti yang dikatakannya:

"...manusia telah menciptakan sebuah dimensi baru, dimensi budaya termasuk dalam dimensi tersebut adalah proxemic (penataan dan penggunaan ruang sesuai dengan konsep-konsep kebudayaannya). Karena hubungan antara manusia dengan dimensi budaya (yaitu lingkungan budaya) merupakan satu kesatuan, maka sebenarnya baik manusia maupun lingkungannya sama-sama berpartisipasi dalam saling membentuk satu dan lainnya." (Hlm. 3-29 al.I & hlm. 3-82 al.IV)

Kota dibangun para pendatang - Mayling Oey

"... Mereka yang datang dengan keahlian dan modal telah menunjukkan sumbangannya dalam turut membangun kota Jakarta seperti yang dikatakan oleh Mayling Oey (1977)". (Hlm. 3-30 alinea III)

"... Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Mayling Oey (1977) mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh kaum pendatang." (Hlm. 4-9 alinea II)

"... Mayling Oey (1977), pernah mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang." (Hlm. 4-23 alinea II)

"... Mayling Oey pernah mengatakan, pada akhir tahun 1970-an, bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang, dan para pendatang berjaya di kota Jakarta." (Hlm. 6-59 alinea I)

Jakarta penuh kontras - M. Lubis

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras. Apa yang dikemukakan beliau sebenarnya bukan hanya berlaku di kota Jakarta saja, tetapi juga untuk kota-kota lainnya, hanya tingkat kualitas dan kuantitas kontrasnya tidak sebesar yang terdapat di kota Jakarta. Agak berbeda dengan Mochtar Lubis, saya lebih senang menggunakan istilah keanekaragaman dalam mengidentifikasi corak kehidupan yang ada di kota Jakarta atau di kota-kota lainnya di Indonesia. Karena sesungguhnya berbagai perbedaan yang terwujud dalam kehidupan perkotaan tersebut diakomodasi dan dinaungi oleh struktur perkotaan yang bersangkutan, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tersebut menciptakan suatu kehidupan yang penuh dengan dinamika karena satu dengan lainnya saling memerlukan dan menghidupi." (Hlm. 3-33 alinea I)

"Jakarta penuh kontras" begitu ucapan budayawan Mochtar Lubis beberapa tahun yang lalu. Memang benar ucapan tersebut." (Hlm. 4-4 alinea I)

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras." (Hlm. 4-19 alinea I)

"Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras." (Hlm. 6-37 alinea terakhir)

Evolusi biologi ke industri - La Barre

"Weston La Barre (1984:11-22) telah memperlihatkan bahwa evolusi manusia telah bergeser dari evolusi biologi ke evolusi teknologi yang menjadi kepanjangan dari organ-organ tubuhnya, sehingga proses evolusi itu sendiri telah berjalan dengan kecepatan kemajuan yang tidak terbatas karena tidak dibebani oleh hambatan-hambatan fungsi biologinya. Sebagai akibat dari pergeseran proses evolusi tersebut, manusia bukan hanya menciptakan teknologi dan kebudayaan sebagai medium atau perantara antara dirinya sebagai organisme yang sama kedudukannya dengan makhluk-makhluk hewan lainnya, dengan lingkungan alam/fisik, tetapi juga merubah dan menciptakan lingkungan alam/fisiknya menjadi suatu lingkungan budaya. Sehingga bila dilihat dari satu segi, dirinya sendiri merupakan salah satu unsur dari lingkungan budaya yang diciptakannya. Dalam merubah atau menciptakan lingkungan alam/fisik menjadi lingkungan budaya, manusia sebenarnya telah menata dan menggunakan ruang-ruang yang ada dalam lingkungan alam/fisik tersebut sesuai dengan konsep-konsep kebudayannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga fungsional dalam struktur kehidupannya." (Hlm. 2-1 alinea I)

"Weston La Barre (1984:11-12) telah memperlihatkan bahwa evolusi manusia telah bergeser dari evolusi biologi ke evolusi teknologi yang menjadi kepanjangan dari organ-organ tubuhnya sehingga proses evolusi itu sendiri telah berjalan dengan kecepatan kemajuan yang tidak terbatas sebab tidak dibebani oleh hambatan-hambatan fungsi biologi. Sebagai akibat dari pergeseran proses evolusi tersebut, manusia bukan hanya menciptakan teknologi dan kebudayaan sebagai medium atau perantara dirinya dengan lingkungan fisik; tetapi juga telah merubah dan menciptakan lingkungan fisiknya sebagai lingkungan budaya." (Hlm. 3-82 alinea III)

Fungsi Pelayanan Kota

"Selanjutnya kota itu ada dan hidup karena bisa memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di dalam kota, maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka yang mengadakan perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota tersebut. Pelayanan ini dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan, ... dst." (Hlm. 3-24 alinea IV s/d hlm. 3-26 alinea terakhir & hlm. 3-80 alinea II s/d hlm. 3-82 alinea II)

Pemeo Orang Betawi

Dominasi kebudayaan umum-lokal yang menekankan pentingnya uang mungkin telah merasuki kehidupan dalam komuniti dan keluarga, sebab ada pameo Orang Betawi: "Ada uang abang sayang, tak ada uang abang boleh dibuang". (Hlm. 3-85 alinea III)

"Bahkan ada sebuah pameo yang dulu pernah populer di Jakarta yang bunyinya: "Ada uang abang sayang...". (Hlm. 4-22 alinea II)

"... walaupun pada waktu itu lagu jali-jali telah mengumandangkan amat pentingnya uang.
Paling enak si mangga udang
ada uang abang disayang
tidak ada uang abang dibuang dan seterusnya" (Hlm. 6-55 alinea I)

Melting Pot

"... identitas Orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik mulai dikenal adanya sejak abad ke-19. Dikatakannya bahwa mereka merupakan hasil dari suatu melting pot atau percampuran dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia dan dari luar Indonesia." (Hlm. 4-7 alinea I)

"... Orang Betawi dengan kebudayaan Betawinya, sebagai hasil suatu proses melting pot yang berlangsung secara tetap dan lama dari saling hubungan penduduk Jakarta (Batavia) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar Indonesia" (hlm. 4-23 alinea I)

Kegagalan Rencana Tata Ruang

"... Kekacauan dari penetapan tata ruang kota seperti itu biasanya disebabkan oleh: (1) Tata ruang yang dibuat tidak atau kurang memperhitungkan perkembangan kependudukan atau dikarenakan sukarnya meramalkan pertambahan penduduk, terutama yang dikarenakan pendatang-pendatang baru dari pedesaan yang mencari kerja dan menetap di kota tersebut; (2) Tata ruang yang dibuat kurang memperoleh dukungan dari salah satu atau sejumlah kelompok-kelompok kepentingan yang ada; (3) Warga kota yang bersangkutan tidak mengetahui seperti apa rencana penataan kotanya, sehingga melakukan kegiatan-kegiatan fungsional dalam ruang-ruang kota yang seharusnya tidak dilakukan; (4) Warga masyarakat setempat mempunyai pola tata ruang sendiri (seperti, model bangunan pita yang ada dalam kehidupan masyarakat Jakarta) yang berbeda atau bertentangan dengan model tata ruang yang dibuat oleh pemerintah kota; (5) Kurang atau tidak efektifnya petugas pemerintahan kota dalam menerapkan pola tata ruang yang telah dibuat, dalam mengawasi dan merawat ruang-ruang yang telah tertata sesuai fungsi-fungsinya; (6) Atau kombinasi dari semua sebab-sebab tersebut di atas." (Hlm. 6-31 alinea terakhir)

"... kegagalan dari penerapan tata ruang kota yang telah dibuat itu biasanya disebabkan oleh salah satu atau gabungan dari sebab-sebab berikut ini:
1. Tata ruang kota yang dibuat tidak atau kurang memperhitungkan perkembangan kependudukan, atau disebabkan sukarnya meramalkan pertambahan penduduk terutama pertambahan penduduk karena urbanisasi dari daerah pedesaan.
2. Tata ruang kota yang dibuat kurang memperoleh dukungan dari salah satu atau sejumlah kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai kekuatan politik.
3. Warga kota yang bersangkutan kurang atau tidak mengetahui rencana penataan kotanya, sehingga melakukan kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata kota yang telah dibuat.
4. Warga masyarakat setempat mempunyai pola tata ruang tersendiri, seperti pola "bangunan pita" yang serba tumpang tindih yang ada dalam kehidupan kota Jakarta, yang sebenarnya berbeda dari dan bertentangan dengan tata ruang kota yang telah dibuat oleh pemerintah kota.
5. Kurang atau tidak efektifnya petugas pemerintahan kota dalam menerapkan pola tata ruang kota yang telah dibuat serta dalam mengatasi, menjaga, dan merawat ruang-ruang yang telah ditata sesuai fungsi-fungsinya ataupun yang belum. (Hlm. 6-44 alinea terakhir).

No comments: