Thursday 4 November 2010

KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN

KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN


A.E. Dumatubun

(Staf dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)


Abstract

In this article the author tries to look on social and cultural interpretation of the health
problems on Papuan’s societies. The Papuan’s traditionally, have different views to care
out their health.
As found in most – perhaps all – societies some illnesses are viewed as having “natural” or
“naturalistic” causes, while others have “magical” or “supernatural” or “personalistic
causes. In this causes, most of the Papuan’s depent on supernatural or personalistic to care
about their health. My finding is more complexs. That is how the decision was made and
what kind of help to look for depent on many factors such as perceived the gravity of the
illness, past experience with different kinds of healers, family knowledge and therapeutic
skills (couple with the advice of friends and neighbors), cost of different kinds of treatment,
and the covenience and availability of different kinds of treatment.
The author suggests that by knowing the social and cultural interpretation of health
problems on Papuan’s, it will be more easy to apply modern medicine in the rural
societies to care out their health problems.


A. PENDAHULUAN
Orang Papua berdasarkan kajian-kajian etnografi mempunyai
keanekaragaman kebudayaan yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tidak
hanya saja pada keanekaragaman kebudayaan tetapi dalam semua unsur
kebudayaan mempunyai keaneka ragaman yang berbeda satu sama lainnya.
Keaneka ragaman ini juga melukiskan adanya perbedaan terhadap
pandangan serta pengetahuan tentang kesehatan.
Kalau dilihat kebudayaan sebagai pedoman dalam berperilaku setiap
individu dalam kehidupannya, tentu dalam kesehatan orang Papua
mempunyai seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan masalah
kesehatan berdasarkan perspektif masing-masing suku bangsa. Keaneka
ragaman dalam kebudayaan baik dalam unsur mata pencaharian, ekologi,
kepercayaan/religi, organisasi sosial, dan lainnya secara langsung
memberikan pengaruh terhadap kesehatan para warganya. Dengan
demikian secara kongkrit orang Papua mempunyai seperangkat
pengetahuan berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing dalam
menanggapi masalah kesehatan.
Kajian etnografi ini akan memberikan ilustrasi tentang bagaimana
kebudayaan, kesehatan orang Papua berdasarkan perspektif antropologi,
yang dapat memberikan pemahaman kesehatan secara kultural.


B. KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEBAGAI KONSEP DASAR
Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh
lebih kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan
kebudayaan itu sendiri akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan
kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah
dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan:
“…dalam konteks suatu aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar
pengaruhnya dalam kajian antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme”
(ideationalism) (Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.
Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif- suatu
sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada
dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”. Atau kebudayaan merupakan
perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam
proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan
penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat. Dengan demikian merupakan
pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas
dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain. Hal yang sama pula
dikemukakan oleh Sathe (1985:10) bahwa kebudayaan adalah gagasan-gagasan dan
asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat yang menentukan atau
mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya
(Kalangie,1994:1-2).
Pemahaman kebudayaan seperti dalam konteks ideasionalisme bukan hanya
mengacu pada tipe-tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada
sistem-sistem yang formal (organisasi formal dalam membicarakan
pengaruh-pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme). Untuk
dapat memahami rumusan kebudayaan, tidaklah berpendapat bahwa
seluruh kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan, tetapi
masing-masing kelompok masyarakat
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan.
Bila berbicara tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai
suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat , yang diwujudkan dalam
sistem sosial di lingkungan warganya. Berbicara tentang konsep perilaku,
hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku
kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan,
nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi,
pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan
mereka masing-masing.
Kebudayaan mempunyai sifat yang tidak statis, berarti dapat berubah
cepat atau lambat karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya
gagasan baru dari luar yang dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini
berarti bahwa terjadi proses interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan
penyandangnya dengan pranata ilmu pengetahuan yang baru akan
menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung yang
mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola perilaku
dalam masyarakat secara menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti
bahwa, persepsi warga masyarakat penyandang kebudayaan mereka masingmasing
akan menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang berbeda
tentang suatu pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit,
sehat, sakit.
Dengan demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada
terapi adikodrati (personalistik), sedangkan lainnya pada naturalistik
berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan tubuh. Hal ini berarti masyarakat
ada yang menekankan pada penjelasan sehat-sakit berdasarkan pemahaman
mereka secara emik pada konsep personalistik maupun naturalistik. Jadi
keaneka ragaman persepsi sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan,
kepercayaan, nilai, norma kebudayaan masing-masing masyarakat
penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah dikatakan bahwa
kebudayaanlah yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita
sebagai akibat dari perilakunya.
Sehubungan dengan hal di atas, maka kebudayaan sebagai konsep dasar,
gagasan budaya dapat menjelaskan makna hubungan timbal balik antara
gejala-gejala sosial (sosiobudaya) dari penyakit dengan gejala biologis
(biobudaya) seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster. Berarti
orang Papua sebagai suatu kelompok masyarakat yang mempunyai
seperangkat pengetahuan, nilai, gagasan, norma, aturan sebagai konsep
dasar dari kebudayaan, akan mewujudkan bentuk-bentuk perilakunya dalam
kehidupan sosial. Perilaku itu akan mewujudkan perbedaan persepsi
terhadap suatu konsep sehat, sakit, penyakit secara kongkrit berbeda dengan
kelompok etnik lainnya. Apalagi dengan adanya keaneka ragaman
kebudayaan pada orang Papua, tentu secara kongkrit akan mewujudkan
adanya perbedaan persepsi dalam menyatakan suatu gejala kesehatan.


C. KONSEP SEHAT DAN SAKIT
C.1. KONSEP SEHAT
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan
komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari
keaneka ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan
perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan
etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang
dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
(1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
(2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat diantara ketiganya;
(3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara cepat;
(4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
(5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
(6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam
masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik
yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berart
bahwa:
Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not
merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas
terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi
mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini
dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide
kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan
sosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan
pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep
kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi
konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan yang berbeda
terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat bahwa
seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan
aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya
sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya
dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di
bawah ini sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik
(sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis.
Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan
perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian
medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar
utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan
sosialnya setiap hari seperti biasa.
Standard apa yang dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik
berkurang sehingga ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai
kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah
salah satu harapan mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit.
Gagasan orang tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan
itu dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan.
(Kalangie, 1994:39-40)


C.2. KONSEP SAKIT
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan
secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari
masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat
berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat
disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky
(2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini
ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap
hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut
terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka
akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata. Keluhan
psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan
masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang
sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak
dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman
konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana
dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin,
bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
(1) Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu
agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa),
mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk
manusia (tukang sihir, tukang tenung).
(2) Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan
bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi
karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada
dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah
dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah
penyakit (1986;63-70)


D. ORANG PAPUA DAN KESEHATAN
D.1. IMPLIKASI KONSEP SEHAT DAN SAKIT
Implikasi dari konsep sehat dan sakit tersebut di atas, dapat memberikan
perbedaan pandangan untuk setiap individu, dan hal ini akan lebih nampak
berbeda bila dikaitkan berdasarkan konsepsi kebudayaan masing-masing
penyandangnya, seperti ditulis dalam karangan Djekky (2001: 15).
Semua obyek atau situasi dapat dipersepsikan secara berlainan oleh beberapa individu.
Demikian juga halnya dengan konsep sehat dan sakit. Pandangan orang tentang kriteria
tubuh sehat dan sakit sifatnya selalu tidak obyektif, bahkan lebih banyak unsur
subyektivitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang
sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur-unsur pengalaman masa lalu,
disamping unsur sosial-budaya. Sebaliknya para medis yang menilai secara obyektif
berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu.
Perbedaan kedua kelompok ini yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan
program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan
sarana kesehatan yang tersedia sebab ia tidak merasa mengidap penyakit. Atau si
individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahluk halus, atau “gunaguna”,
maka ia akan memilih untuk berobat kepada dukun, shaman atau orang pandai
yang dianggap mampu mengusir mahluk halus tersebut atau guna-guna orang tersebut
dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Jordan, 1985; Sudarti, 1988),
dalam Djekky (2001:15).
Lebih jauh implikasi sehat dan sakit ini dapat dilihat berdasarkan
pemahaman secara “etik” oleh para medis terhadap masyarakat secara
rasionalistik dengan melihat pada istilah yang sistimatik secara naturalistik
sebagai berikut dikutip dari Djekky (2001: 12):
Para medis umumnya mendeteksi kebutuhan masyarakat akan upaya kesehatan (Health
Care) pada tahap yang lebih awal. Kebutuhan ini akan hanya dideteksi pada awal
dimulainya suatu penyakit tetapi lebih awal lagi, yaitu ketika orangnya masih sehat
tetapi membutuhkan upaya kesehatan guna mencegah timbulnya penyakit-penyakit
tertentu. Sebaliknya masyarakat baru membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah
berada dalam tahap sakit yang parah, artinya tidak dapat diatasi dengan sekedar
beristirahat atau minum jamu. Berbagai penelitian menujukkan bahwa tindakan
pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (Self Medication). Di
Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka
datang ke petugas kesehatan, yaitu pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan
tradisional lainnya (Jordan, 1985; Sarwono, 1992, Velsink, 1992) dalam Djekky (2001:
12).
Hal ini dapat berdampak negatif bila dikaitkan dengan bentuk pertolongan
yang secara etik kurang diperhatikan, sebab nampaknya masyarakat lebih
banyak melakukan tindakan pertama apabila sakit pergi ke dukun, setelah
itu baru meminta pertolongan para medis.
Yang lebih sulit lagi, konsep sehat-sakit ini berbeda-beda antar kelompok masyarakat,
oleh sebab itu untuk keberhasilan program kesehatan, perlu dilihat persepsi
masyarakat tentang konsep sehat dan sakit, mencoba mengerti mengapa persepsi
tersebut sampai berkembang sedemikan rupa dan setelah itu mengusahakan merubah
persepsi tersebut agar mendekati konsep yang lebih obyektif. Implikasi dari konsep
sehat-sakit tersebut membawa orang dalam berperilaku mencari kesembuhan yang
bervariasi pula. Suchman (Notoatmodjo, 1993), menganalisis pola pencaharian
pengobatan dimana terdapat lima macam reaksi dalam proses pencaharian pengobatan
tersebut, yaitu:
(1) Shopping, proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seorang
yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.
(2) Fragmantation, proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi
yang sama seperti berobat ke dokter, sekaligus ke dukun.
(3) Procrastination, penundaan pencarian pengobatan walaupun gejala penyakitnya
sudah dirasakan.
(4) Self Medication, pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau
obat-obat yang dinilainya tepat baginya.
(5) Discontinuity, penghentian proses pengobatan. (Djekky, 2001:13)
Bagaimana orang Papua berdasarkan kebudayaannya mengkonsepkan sehat
dan sakit. Karena keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, maka konsep sehat dan sakit itu dapat
dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka
masing-masing.
Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan
keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia.
Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw,
1994). Hal ini berarti, bahwa bagi orang Moi yang sehat, ia harus selalu menghindari
gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindari diri dari tempat-tempat
dimana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, hutan larangan, dan
sebagainya). Karena kekuatan-kekuatan alam itu berada pada lingkungan-lingkungan
yang menurut adat mereka adalah tempat pantangan untuk dilewati sembarangan.
Biasanya untuk mencari pengobatan, mereka langsung pergi ke dukun, atau mengobati
sendiri dengan pengobatan tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa
penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu terganggu langsung oleh roh
manusia).
Orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan
terdapat ketidak seimbangan dalam diri tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya
sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib karena
kedengkiannya terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994).
Ini berarti sakit itu disebabkan oleh buatan orang lain melalui kekuatan gaib
yang bisa berupa tenung, black magic. Untuk itu maka penyembuhannya
selalu melalui dukun atau orang yang dapat mengembalikan buatan orang
tersebut dengan menggunakan beberapa mantera.
Orang Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyai
konsepsi tentang sehat dan sakit, dimana apabila seseorang itu sakit berarti
orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga mempunyai
pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi
keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak
dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila
keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang sakit, dan
biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang
melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampung
secara berurutan sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali
normal dan bisa mendukung kehidupan warganya (Dumatubun, 2001).
Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila terjadi
ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbul
berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah
yang lebih berkaitan dengan tanah karena tanah adalah “mama” yang
memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka
(Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah
merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik.
Orang Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa,
kekuatan bukan manusia seperti roh halus dan kekuatan manusia dengan
menggunakan black magic. Di samping itu ada kepercayaan bahwa kalau
orang melanggar pantangan-pantangan secara adat maka akan menderita
sakit. Orang Moi, bagi ibu hamil dan suaminya itu harus berpantang
terhadap beberapa makanan, dan kegiatan, atau tidak boleh melewati
tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit
(Dumatubun,1999). Ini berarti untuk sehat, maka orang Moi tidak boleh
makan makanan tertentu pada saat ibu hamil dan suaminya tidak boleh
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti membunuh binatang besar,
dan sebagainya.
Hal yang sama pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu sungai
Beraur, (Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh
adanya gangguan roh jahat, buatan orang serta melanggar pantanganpantangan
secara adat. Misalnya bila seorang ibu hamil mengalami
keguguran atau perdarahan selagi hamil itu berarti ibu tersebut terkena
“hawa kurang baik” (terkena black magic/ atau roh jahat). Mereka juga
percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil/ tidak bisa meneruskan keturunan,
berarti ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin.
Kehamilan akan terjadi bila sang suami sudah dapat melunasinya, maka
penguncinya akan membuka black magic-nya itu (Dumatubun, 1999).
Orang Hatam yang berada di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat,
dan buatan manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit
melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan obat racun
(rumuep) yaitu suanggi, atau penyakit oleh orang lain yang disebut “priet”
(Dumatubun, 1999).
Orang Kaureh di kecamatan Lereh percaya bahwa seorang ibu yang
mandul adalah hasil perbuatan orang lain yaitu dengan black magic atau
juga karena kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian harta mas
kawin (Dumatubun, 1999).
Hal yang serupa pula pada orang Walsa (Keerom), percaya bahwa sakit
disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau terkena gangguan
dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih dahulu,
berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada pula
disebabkan oleh roh-roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga
disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik berupa
makanan yang dilarang, dan perkawinan (Dumatubun,1999).
Berdasarkan beberapa contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa
orang Papua mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri
berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang
kepercayaan tersebut bila dilihat sudah mulai berkurang terutama pada
orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan, sedangkan bagi
mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan
kesehatan moderen, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan
mereka sehari-hari
Bagaimana persepsi orang Papua tentang sehat dan sakit, dapatlah diketahui
bahwa orang Papua mempunyai persepsi bahwa sakit itu karena melanggar
pantangan secara adat, adanya gangguan roh jahat, dewa, serta pengaruh
lingkungan alam. Jadi sehat, berarti harus menghindari semua pantangan,
dan menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam serta bisa menjaga,
jangan sampai tempat-tempat keramat atau tempat roh-roh diganggu atau
dilewati dengan sengaja. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya
dengan pandangan dasar dari kebudayaan mereka masing-masing dan erat
terkait dengan unsur-unsur budaya, religi, organisasi sosial, ekonomi, sistem
pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan perilaku mereka dalam masalah
kesehatan.


D.2. INTERPRETASI ORANG PAPUA TENTANG IBU HAMIL,
MELAHIRKAN, NIFAS
Orang Papua mempunyai konsepsi dasar berdasarkan pandangan
kebudayaan mereka masing-masing terhadap berbagai penyakit demikian
halnya pada kasus tentang kehamilan, persalinan, dan nifas berdasarkan
persepsi kebudayaan mereka. Akibat adanya pandangan tersebut di atas,
maka orang Papua mempunyai beberapa bentuk pengobatan serta siapa
yang manangani, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan terhadap
konsep sakit yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, perdarahan,
pembengkakan kaki selama hamil, berdasarkan pandangan kebudayaan
mereka. Sebagai ilustrasi dapat disajikan beberapa contoh kasus pada orang
Papua ( Orang Hatam, Sough, Lereh, Walsa, Moi Kalabra). Hal yang sama
pula ada pada suku bangsa-suku bangsa Papua lainnya, tetapi secara detail
belum dilakukan penelitian terhadap kasus ibu hamil, melahirkan, dan nifas
pada orang Papua.
Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang Ibu hamil,
melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan
kebudayaan mereka secara turun temurun. Hal ini jelas didasarkan atas
perilaku leluhur dan orang tua mereka sejak dahulu kala sampai sekarang.
Bagi orang Hatam dan Sough, kehamilan adalah suatu gejala alamiah dan
bukan suatu penyakit. Untuk itu harus taat pada pantangan-pantangan secara
adat, dan bila dilanggar akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada
kehamilan seorang ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan
melakukan penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang
akan diminum oleh ibu tersebut. Tindakan lain yang biasanya dilakukan
oleh Ndaken tersebut juga berupa, mengurut perut ibu hamil yang sakit.
Sedangkan bila ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, berarti ibu
tersebut telah melewati tempat-tempat keramat secara sengaja atau pula
telah melanggar pantangan-pantangan yang diberlakukan selama ibu
tersebut hamil. Biasanya akan diberikan pengobatan dengan memberikan air
putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum ibu tersebut. Juga dapat
diberikan pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang
dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil diuruturut.
Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu
airnya diminum. Disini posisi seorang dukun perempuan atau Ndaken
sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan secara
langsung. Bagaimana persepsi orang Hatam dan Sough tentang perdarahan
selama kehamilan dan setelah melahirkan ? Hal itu berarti ibu hamil telah
melanggar pantangan, suaminya telah melanggar pantangan serta belum
menyelesaikan masalah dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila
perdarahan terjadi setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor,
dan bagi mereka adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila
terjadi perdarahan, maka Ndaken akan memberikan air putih yang telah
dibacakan matera untuk diminum oleh ibu tersebut. Selain itu akan
diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang
direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan
kerabat atau orang lain, maka suaminya secara adat harus meminta maaf. Di
sini peranan dukun perempuan (ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout,
Rengrehidodo) sangatlah penting.Persalinan bagi orang Hatam dan Sough
adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka)
yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi
ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila
terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan dalam aktivitas
berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah dari
rumah induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena menurut
orang Hatam dan Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah
keluar. Pemotongan tali pusar harus ditunggu sampai ari-ari sudah keluar.
Apabila dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau keluar.
Bagi orang Kaureh yang berada di kecamatan Lereh, juga mempunyai
interpretasi tentang ibu hamil, melahirkan dan nifas berdasarkan
pemahaman kebudayaan mereka. Orang Kaureh melihat kehamilan sebagai
suatu masa krisis, dimana penuh resiko dan secara alamiah harus dialami
oleh seorang ibu, untuk itu perlu taat terhadap pantangan-pantangan dan
aturan-aturan secara adat. Bila melanggar, ibu hamil akan memderita sakitdan bisa meninggal. Biasanya bila seorang ibu hamil mengalami penderitaan
(sakit), akan diberikan ramuan berupa air putih yang telah dibacakan
mantera untuk diminum. Yang lebih banyak berperan adalah kepala klen
atau ajibar/pikandu.
Sedangkan bila seorang ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, itu
berati ibu tersebut telah melewati tempat-tempat terlarang atau keramat. Di
samping itu pula bisa terjadi karena buatan orang dengan tenung/black
magic, atau terkena suanggi. Pengobatannya dengan cara memberikan air
putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum, atau seorang
dukun/kepala klen (ajibar/Pikandu) akan mengusirnya dengan membacakan
mantera-mantera. Apabila seorang ibu hamil mengalami perdarahan dan
setelah melahirkan mengalami perdarahan, itu bagi mereka adalah suatu hal
yang biasa saja. Perdarahan berarti pembuangan darah kotor, dan bila terjadi
banyak perdarahan berarti ibu tersebut telah melanggar pantanganpantangan
secara adat dan suami belum menyelesaikan persoalan dengan
kerabat atau orang lain. Untuk itu biasanya ajibar/Pikandu memberikan
ramuan berupa air putih yang telah dibacakan mantera yang diminum oleh
ibu tersebut. Untuk masalah pertikaian maka suami harus meminta maaf
secara adat pada kerabat dan orang lain. Sedangkan persalinan bagi orang
Kaureh adalah suatu masa krisis, dan persalinan harus dilakukan di luar
rumah dalam pondok kecil di hutan karena darah sangat berbahaya bagi
kaum laki-laki. Posisi persalinan dengan cara jongkok, karena akan mudah
bayi keluar. Pemotongan tali pusar biasanya setelah ari-ari keluar baru
dilaksanakan, sebab bila dipotong sebelumnya maka ari-ari akan tinggal
terus di dalam perut.
Bagaimana orang Walsa yang berada di kecamatan Waris daerah perbatasan
Indonesia dan Papua Niguni. Mereka juga mempunyai kepercayaan tentang
kehamilan, persalinan dan nifas yang didasarkan pada pemahaman
kebudayaan mereka secara turun temurun. Bagi orang Walsa, kehamilan
adalah kondisi ibu dalam situasi yang baru, dimana terjadi perubahan fisik,
dan ini bagi mereka bukan suatu kondisi penyakit. Sebagaimana dengan
kelompok suku bangsa yang lain, mereka juga percaya bahwa untuk dapat
mewujudkan seorang ibu hamil sehat, maka harus menjalankan berbagai
pantangan-pantangan. Namun demikian kadangkala bila ibu mengalami
sakit bisa terjadi karena adanya gangguan dari luar seperti terkena roh jahat,
atau buatan orang lain yang tidak senang dengan keluarga tersebut. Untuk
mengatasi gangguan tersebut biasanya dukun (Putua/ Mundklok) akan
membantu dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera
untuk diminum, atau dengan memberikan ramuan daun-daun yang direbus
lalu diminum ibu hamil tersebut. Sedangkan bila terjadi pembengkakan
pada kaki, berarti ibu hamil telah melanggar pantangan, menginjak tempattempat
keramat, terkena roh jahat, dan suami belum melunasi mas kawin.
Untuk mengatasi masalah tersebut, dukun akan memberikan air putih yang
dibacakan mantera untuk diminum, sedangkan untuk mas kawin, maka
suami harus lunasi dahulu kepada paman dari istrinya. Sedangkan bila
terjadi perdarahan selama hamil dan setelah bersalin, bagi orang Walsa itu
hal biasa saja, karena terjadi pembuangan darah kotor, atau ibu telah
melanggar pantangan secara adat, suami belum melunasi mas kawin dan ibu
terkena jampi-jampi. Untuk mengatasi masalah tersebut, biasanya dukun
Putua/ Mundklok akan menyarankan untuk menyelesaikan mas kawin, dan
juga diberikan ramuan daun-daun untuk diminum. Bagi orang Walsa
persalinan adalah suatu masa krisis, untuk itu tidak boleh melanggar
pantangan adat. Dahulu melahirkan di pondok kecil (demutpul) yang
dibangun di hutan, karena darah bagi kaum laki-laki sangat berbahaya. Bila
terkena darah dari ibu hamil, berarti kaum laki-laki akan mengalami
banyak kegagalan dalam usaha serta berburu. Dalam proses persalinan
biasanya dibantu oleh dukun Putua/Mundklok, tetapi disamping itu ada
bantuan juga dari dewa Fipao supaya berjalan dengan baik. Proses
persalinan dalam kondisi jongkok, biar bayi dengan mudah dapat keluar,
dan tali pusar dipotong setelah ari-ari keluar.
Orang Moi Kalabra yang berada di kecamatan Wanurian dan terletak di
hulu sungai Beraur Sorong mempunyai persepsi juga terhadap kehamilan,
persalinan dan nifas bagi ibu-ibu berdasarkan kepercayaan kebudayaan
mereka secara turun temurun. Kehamilan bagi mereka adalah si ibu
mengalami situasi yang baru dan bukan penyakit. Untuk itu ibu tersebut dan
suaminya harus menjalankan berbagai pantangan-pantangan terhadap
makanan dan kegiatan yang ditata secara adat. Mereka juga percaya bila ada
gangguan terhadap kehamilan, itu berarti ibu dan suaminya telah melanggar
pantangan, di samping itu pula ada gangguan dari roh jahat atau buatan
orang (suanggi). Untuk mengatasi hal tersebut, dukun laki-laki (Woun) dan
dukun perempuan (Naredi Yan Segren) atau Biang akan membantu dengan
air putih yang dibacakan mantera untuk diminum, atau dengan
menggunakan jimat tertentu mengusir roh jahat atau gangguan orang lain
(suanggi). Pembengkakan pada kaki ibu hamil berarti melanggar pantangan,
terekan roh jahat, disihir orang lain dan suami belum melunasi mas kawin,
serta menginjak tempat-tempat keramat. Sedangkan apabila terjadi
perdarahan pada waktu hamil dan setelah melahirkan itu adalah suatu hal
biasa, karena membuang darah kotor. Bila terjadi banyak perdarahan berati
ibu tersebut melanggar pantangan serta disihir oleh orang lain. Untuk itu
maka akan diberikan ramuan daun-daun dan kulit kayu yang direbus lalu
diminum. Kadang diberi daun jargkli, bowolas pada tempat yang sakit oleh
dukun Woun atau Naredi Yan Segren, Biang. Adapun persalinan
merupana suatu masa krisis untuk itu tidak boleh melanggar pantangan
adat. Biasanya proses persalinan dilakukan dalam pondok kecil yang
dibangun di hutan, karena darah bagi kaum pria adalah berbahaya, bisa
mengakibatkan kegagalan dalam berburu. Posisi persalinaan biasanya
dalam kondisi jongkok karena bayi akan mudah keluar, dan tali pusar
dipotong setelah ari-ari telah keluar. Untuk membantu persalinan biasanya
dukun akan memberikan ramuan daun-daun yang diminum dan pada bagian
perut dioles dengan daun jargkli, gedi, jarak, kapas, daun sereh untuk
menghilangkan rasa sakit dan proses kelahiran dapat berjalan cepat. Semua
kegiatan persalinan dibantu oleh dukun perempuan (Naredi Yan Segren).


E. POLA PENGOBATAN TRADISIONAL ORANG PAPUA
Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat
diketengahkan konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual
dapatlah dikemukakan konsep pengobatan secara “etik” dan “emik”
berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan berlandaskan
pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan
pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman
kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam,
dapatlah dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara
tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang
Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:
1. Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di
daerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip
pengobatan jimat, menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda
kuat atau jimat untuk memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah
segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan
yang berbau kuat dan berwarna tua.
2. Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di
daerah sayap burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan
kesurupan menurut van Longhem adalah seorang pengobat sering kemasukan
roh/mahluk halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi
kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan
jimat.
3. Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal
oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi,
Marind-anim, Kimaam, Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut
Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka
dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara
pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan pisau,
pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan
meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah
dan bibir daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang
dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja.
Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.
4. Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal
disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut
Oosterwal adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh,
maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai,
dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke kepala, maka injakan tersebut akan
mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
5. Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa
yang tinggal di daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan
kabupaten Jayapura yaitu suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini
menurut van Amelsvoort adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh
kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit, maka akan
keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari
hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe
penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan
daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan
kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
6. Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal
di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu
suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakit
terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa,
maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat
mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.
Apabila dikaji lebih lanjut tentang konsep sehat dan sakit menurut perspektif
kebudayaan orang Papua, maka paling sedikit ada dua kategori yang sama
seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster, berdasarkan lingkup
hidup manusianya. Kategori pertama, memandang konsep sehat-sakit
bersifat “supranatural” artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan
dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib atau
mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia. Sedangkan
kategori kedua, adalah “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena
adanya intervensi dari alam, iklim, air, tanah, dan lainnya serta perilaku
manusia itu sendiri seperti hubungan sosial yang kurang baik, kondisi
kejiwaan, dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada
orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori
supranatural, terutama pada orang Papua yang masih berada di daerah
pedesaan dan pedalaman . Sedangkan untuk orang Papua yang berada di
daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori rasionalistik
dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada
sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua.
Bila dikaji secara mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi
masalah kesehatan secara emik, masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti
orang Papua dengan keaneka ragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi
kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan variasi lingkungan
kebudayaannya secara berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa
lainnya di Papua.


F. PENUTUP
Orang Papua yang terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan memiliki
pengetahuan tentang mengatasi berbagai masalah kesehatan yang secara
turun temurun diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Nampaknya
pengetahuan tentang mengatasi masalah kesehatan pada orang Papua yang
berada di daerah pedesaan lebih cenderung menggunakan pendekatan
tradisional karena faktor-faktor kebiasaan, lebih percaya pada kebiasaan
leluhur mereka, dekat dengan praktisi langsung seperti dukun, lebih dekat
dengan kerabat yang berpengalaman mengatasi masalah kesehatan secara
tradisional, mudah dijangkau, dan pengetahuan penduduk yang masih
berorientasi tradisional.
Sebagian besar orang Papua di daerah pedesaan lebih menekankan gejala
penyakit disebabkan oleh faktor supernatural atau adanya intervensi dari
kekuatan gaib, roh jahat, suanggi, yang semuanya dapat diatasi kembali
dengan sistem pengobatan secara tradisional pula. Namun demikian bagi
orang Papua yang berada di daerah perkotaan sudah dapat
mengkombinasikan pengetahuan moderen dalam menangani masalah
kesehatan mereka.
Saya berpendapat bahwa untuk dapat dengan mudah menyelesaikan
permasalahan penanganan kesehatan pada orang Papua di daerah pedesaan,
perlu secara mendalam memahami konsep serta interpretasi mereka
terhadap sehat, sakit, dan berbagai pengobatan secara tradisional yang
terwujud melalui kebudayaan mereka dengan baik. Dengan demikian
langkah-langkah pendekatan dalam aplikasi pembangunan kesehatan
moderen dapat terealisasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan hal
tersebut perlu diinfentarisasikan secara baik lagi suku bangsa suku bangsa
Papua lainnya yang secara lengkap belum ada literatur tentang masalah
kesehatannya, sehingga dalam menyusun program kesehatan dapat
dicarikan solusi yang terbaik.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Djoht, Djekky R. “Kebudayaan, Penyakit dan Kesehatan di Papua dalam
Perspektif Antropologi Kesehatan” dalam Buletin Populasi Papua, Vol. II.
No.4 November 2001. Jayapura. PSK-UNCEN
Dumatubun, A.E. (1999). Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan
KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Prafi dan
Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura. UNICEF-PMD.
-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Beraur,
Salawati dan Kecamatan Samate, Kabupaten Sorong. Jayapura. UNICEFPMD.
-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Kaureh dan
Kecamatan Waris, Kabupaten Jayapura. Jayapura. UNICEF-PMD.
Foster, Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta. Grafiti
Glik, L.B. (1967). Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New
Guinea Highlands. Etnology Buletine.
Joordaan, Roy E. (1985). Folk Medicine In Madura. Dissertation, Faculty of
Social Science, University of Leiden.
Kalangie, Nico S. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan
Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. PT.
Kesaint Blanc Indah Corp.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer. Jilid 1, 2. Jakarta, Erlangga Penerbit.
Koentjaraningrat, (1994) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Jakarta. Jambatan.
Morin, Jack (1998). Profil Masyarakat Towe. Jayapura. Yayasan Kesehatan
Bethesda.
Muzaham, Fauzi. (1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta. UI Press.
Sarwono, R. (1992). Personalistics Belief In Health: A Case of West Java,
Leiden. Workshop on Health Care in Java.
Sarwono, S. (1993). Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta
Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada Press.
Slamet-Velsink, (1992). Sense And Nonsense of Traditional Healers.
Leiden, Workshop on Health Care in Java.
Sudarti, dkk. (1985). Persepsi Masyarakat Tentang Sehat-Sakit dan
Posyandu. Depok. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
Wambrau, D. (1994). Konsep Sehat, Persepsi Sakit dan Cara Pengobatan
pada Suku Moi di Kecamatan Sentani, Jayapura. PSK-UNCEN.
---------------, (1996). Mati Karena Dibunuh Suanggi: Suatu Konsep Sakit
dan Persepsi Penyakit Masyarakat Pulau Nunmfor, Jayapura. PSKUNCEN.
World Health Organization (WHO). (1981). Development of Indicator for
Monitoring Progress Towards Health for All by The Year 2000, Geneva,
WHO.

DR. J.VAN BAAL (SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA)

DR. J.VAN BAAL (SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA)


Frumensius Obe Samkakai

(Kepala Seksi Lingkungan Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Papua)


Abstract

Jan van Baal was born in Scheveningen, Holland in Nvember 1909. He studied
languages, culture history and law in Netherlands East Indies in Leiden from 1927
to 1931 with specialization in Anthropology.
He argues that Marind-Anim life style is complex, full of symbol and their way of
life affected by apprehended intensionality and covered by mystery of Dema. The
people proud as Animha with no disturbance from modernization.
Marind-Anim according to van Baal have ascriptive way of thinking, centred on
Dema, not like modern man who have descriptive way of thinking.


A. PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis sebagai bahan kajian histori mengenai pandangan salah
satu etnolog asal negeri kicir angin, J. van Baal mengenai penilaiannya pada
orang Marind-Anim dan otobiografinya selama bekerja di Tanah Papua.
Pandangannya pada masyarakat Marind-Anim, saya lebih fokuskan pada
aspek Ilmu Antropologi dari pada aspek penerapan ilmu antropologi seperti
yang dilakukan negara jajahan pada masyarakat jajahannya. Banyak teori
dan konsep yang ia kembangkan setelah 30 tahun dia bekerja dengan orang
Marind-Anim, yang berguna bagi pengembangan ilmu antropologi.
Konsep dan teori seperti gaya hidup orang Marind-Anim yang rumit, penuh
simbolisme, berpikir menurut asas apprehended intensionality, diliputi oleh
misteri dema ; Konsep general concepts concerning man and his life;
Konsep a system of recurring oppositions and associations. Merupakan
konsep dan teori yang sangat penting untuk perkembangan Ilmu
Antropologi.

B. GUBERNUR PENCARI DEMA
B.1. Dari Indologi ke Etnologi
Jan van Baal lahir di Scheveningen Holland Nopember 1909, belajar
bahasa-bahasa, sejarah kebudayaan, dan hukum Netherlands East Indies di
Leiden 1927-1932 dengan spesialisasi antropologi, mencapai gelar Doktor,
disertasinya tentang religi dan masyarakat Pantai Selatan Netherlands New
Guinea 1934, kemudian masuk pegawai negeri sipil. Dua tahun berdinas di
Tanah Jawa dan Madura, ke Pantai Selatan Netherlands New Guinea, pindah
lagi ke Tanah Jawa, pindah lagi ke Lombok, dipenjarakan oleh Bala Tentara
Pendukukan Dai Nippon di Sulawesi Selatan 1942-1945. Kemudian
berturut-turut berdinas kembali di Jakarta, Bali, Lombok, dan Sumatra
Timur. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pindah lagi ke
Netherlands New Guinea menjadi Penasehat Urusan Pribumi dalam
Pemerintahan Netherlands New Guinea. Menjadi anggota Parlemen
Belanda, kembali lagi ke Netherlands New Guinea memangku jabatan
Gubernur Netherlands New Guinea 1953-1958. Menjadi anggota Royal
Tropical Institute di Amsterdam 1959, menjadi direktur bidang antropologi
pada Royal Tropical Institute itu 1962-1969, asisten professor pada
Universitas Utrecht, kemudian dikukuhkan menjadi professor pada
Universitas Utrecht. Pensiun September 1975, pemrakarsa CESO (The
Centre for the Study of Education in Changing Societies 1963. Pernah
menjabat ketua WOTRO) Netherlands Foundation for the Advancement of
Tropical Research, anggota Board of the Royal Institute of Language and
Antropology di Leiden, dan anggota Unesco hingga 1972 (P.E. de Josselin
de Jong, Ed, Structural Anthropology in the Netherlands, KITLV,
Translation Series 17, Second Edition, Foris Publications Holland/U.S.A,
1983, 320-321).
Van Baal seorang administratur yang oleh minat yang dalam telah
menempuh sebuah lorong Indiologie untuk berusaha memahami isi hati
bangsa-bangsa jajahan di Kepulauan Selatan yang di Negeri Kincir Angin
lebih dikenal sebagai Netherlandsh Indie. Satu pulau pada tepi timur
Kepulauan Selatan itu yang telah lama dieksplorasi yang oleh akumulasi
pengetahuan tentang pulau itu berusaha didefinisikan sebagai satuan
administratif Netherlandsche New Guinea. Kepulauan Selatan itu makin
menarik perhatian negara-negara Eropa Barat yang sedang berusaha himpunkepercayaan diri dari kelumpuhan akibat dua Perang Dunia dan pelapukan
administrasi kolonial yang makin pasti. van Baal adalah anak zaman transisi
kolonial yang diharapkan akan selamatkan bangunan VOC yang harus
ditransformasikan ke dalam sistem kenegaraan jajahan modern dengan
perekat etnologi.
Laporan-laporan berkala oleh karya missionaris Katholik di Selatan
Nederlandsch Nieuw Guinea terutama pengumpulan kosa kata pribumi oleh
Geurtjens dan Drabbe. Pencatatan tentang kehidupan pribumi oleh
J.C.Verschueren, Vertenten, Nevermann, dan Paul Wirz, dan sejumlah arsip
pemerintahan di Afdeling Zuid Nieuw Guinea telah mendorong van Baal
rampungkan disertasi doktoralnya yang berjudul Godsdienst en
samenleving in Nederlandsch-Zuid-Nieuw Guinea, Amsterdam: Noord-
Hollandsche Uitgevermaatschappij, 1934. Disertasi doktoral itu yang
makin disempurnakan dengan fokus Marind-Anim sepanjang karir
etnologisnya yang hampir menyita seluruh masa berdinasnya sejak tahun
1934 hingga rampungnya penelitian etnologi itu tahun 1966 berjudul:
Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea),
The Hague, Martinus-Nijhoff).
Nederlandsch Nieuw Guinea dan Lombok adalah lapangan penelitian van
Baal dengan minat yang kuat dalam antropologi religi yang telah
mempersembahkan beberapa karya tulisnya sebagai berikut:
1). Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New
Guinea), The Hague, Martinus-Nijhoff, 1966);
2). Symbol for Communication, Assen, Van Gorcum, 1971;
3). The message of the three illusions, 1972;
4). Reciprocity and the position of women, 1975;
5). Aggression among equals, Assen, Van Gorcum, 1974; dan
6). Mensen in verandering, Arbeiderspers, Amsterdam, 1967.
7). Jan Verschueren’s Descriptions of Yeinan-Culture, Extracted from
the Posthumous Papers, KITLV, The Hague-Martinus Nijhoff,
1982.

B.2. Rumah Belum Selesai Dibangun
Rumah belum selesai dibangun adalah ungkapan van Baal yang berhasil
masih diingat oleh Bapak Guru Pensiun Mabad Gebze ketika penulis pada
tahun 1999 menemuinya Mabad Gebze yang adalah kakek sepupu dengan
penulis. Ungkapan rumah belum selesai dibangun itu adalah ungkapan khas
Marind-Anim untuk mengatakan sebuah perjuangan pembangunan yang
menyangkut kehidupan kemasyarakatan sebagai pembangunan Marind-
Anim berbasis kebudayaan. Rumah itu rumah Marind-Anim yang berusaha
dibangun kembali oleh van Baal melalui rekonstruksi penulisan etnologinya
lewat analisis mitologi Marind-Anim telah membuatnya terpesona oleh
gaya hidup Marind-Anim yang rumit, penuh simbolisme, berpikir menurut
asas apprehended intensionality, diliputi oleh misteri dema, mementaskan
drama keagungan ritus-ritus kehidupan, menampilkan kebanggaan diri
Marind-Anim sebagai animha tanpa terusik oleh modernisasi, pemujaan
Marind-Anim atas negerinya. Untuk van Baal sendiri sebuah hutang budi
dari sebuah persahabatan bertahun-tahun lamanya untuk mengabadikan
potret isi rumah Marind-Anim yang adalah isi hati animha.
Aliran Leiden yang menempatkan mitologi sebagai kerangka berpikir yang
melandasi perilaku budaya seperti yang diyakini oleh J.P.B de Josselin de
Jong nampak pada seluruh wacana etnologi van Baal pada Marind-Anim
yang dikatakannya sistem kasifikatori (classicatory system). Kehidupan
Marind-Anim yang oleh penerjemaah diterjemahkan sebagai general
concepts concerning man and his life nampak pada sistematika penulisan
etnologi Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New
Guinea). Ia melukiskan siklus hidup individu Marind-Anim/Anum tanpa
memandang identitas klen dan moiety. Bahwa Marind-Anim/Anum
mengikuti perjalanan matahari yang adalah perjalanan manusia seperti
burung bangau (ndik) dari matahari terbit ke matahari terbenam kembali ke
matahari terbit. Diasosiasikan lagi seperti penanaman pohon kelapa saat
kelahiran anak, penebangan pohon kelapa saat akhir usia, dan penamaan
anak dengan nama kepala (paigiz). Perjalanan manusia itu sebuah inisiasi
panjang dari pesta perkawinan kedua orang tua, kelahiran di rumah bersalin
(oramaha), pemberian nama, pengasuhan anak, aroi patur (l), wokraved (l),
ewati (l), miakim (l), kivasomiwag (p), wahuku (p), iwag (p), pesta
perkawinan, kehidupan perkawinan sebagai orang dewasa, pengabadian
kisah-kisah kepahlawanan budaya, dan perjalanan pulang ke matahari terbit.Sistem klasifikatori (classicatory system) menurut van Baal adalah sebuah
sistem oposisi-oposisi dan asosiasi-asosiasi yang selalu berulang a system of
recurring oppositions and associations dari langit-bumi, matahari (katane)-
bulan (mandau), timur (sendawi)-barat (muli), musim kemarau (pig)-musim
penghujan (umbr), belakang (es)-depan (mahai), moiety dominan-moiety
dialektis, dan lain-lain. Marind-Anim dikatakannya menganut cara berpikir
ascriptive bukan descriptive seperti manusia modern, hidup dalam dunia
appehended intentionality berkarakteristik manusia, dan berpusat pada
dema. van Baal artikan dema itu sebagai beings yang hidup pada jaman
mitis, biasanya mengambil rupa manusia, kadang-kadang juga dalam rupa
satwa yang menjadi leluhur klen dan subklen, diasosiasikan dengan totem,
dan seringkali juga pencipta totem (van Baal, Dema, 179). Sikap tremendum
dan fascinating terhadap penghayatan dema kontras dengan penampilan
Marind-Anim yang dikatakan oleh van Baal sendiri sebagai “Marind-Anim
yang bebas bepergian, humoris, menikmati apa yang ada, dari luar hampir
tidak terkesan oleh dunia tak nyata yang begitu banyak menguras tenaganya,
dan sikap realistik terhadap kehidupan sehari bersamaan dengan ritual yang
rumit, magis, dan seremoni” (van Baal, Dema, 929).
Bagian akhir dari buku Dema, Description and Analysis of Marind-Anim
(South New Guinea), meninggalkan pertanyaan-pertanyaan spekulatif
tentang sisi esoteris budaya Marind-Anim dari misteri dema yang dalam,
dramatisasi gender yang dipahaminya dalam pengertian erotisme dari kultus
phalus, dan semangat raiding terhadap para suku tetangga untuk katarsis
agresivitas yang sebenarnya dapat dipahami sebagai bentuk permainan
mendalam dari inisiasi keras sebagai pengalaman puncak dari ciri-ciri
homoludens.
Pandangan awalnya yang keliru tentang struktur sistematis dari religi
Marind-Anim yang disangkanya berasal dari sikap non-reflektif Marind-
Anim telah diakuinya pada bagian penutup dari buku Dema, Description
and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea) sebagai cara berpikir
ascriptive dengan logika ketat berupa kecakapan dan perenungan sadar
Marind-Anim tentang simbol-simbol yang menyatukan the secret meaning
and intention of the universe. Cara berpikir ascriptive itu berusaha
dibandingkan dengan para suku bangsa Trans-Fly di Teluk Papua, Selat
Torres, dan Aborigin Autralia yang termasuk satu wilayah budaya dengan
Marind-Anim seperti Elema, Kiwai, Mawata, dan Aranda.
Studi perbandingan yang bagus itu dimasukkan ke dalam tubuh karangan
Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea)
pada orang Boadzi di Sungai Fly Atas berdasarkan data yang dikumpulkan
oleh Verschuren yang dapat makin lengkap bila kelompok Marind Yeinan
dibandingkan juga bersama orang Boadzi. Sayang catatan anumerta
Verschurens tentang orang Yeinan diterbitkan tahun 1982 yang bukan
berbentuk studi perbandingan berjudul Jan Verschueren’s Descriptions of
Yeinan-Culture, Extracted from the Posthumous Papers, KITLV, The
Hague-Martinus Nijhoff, 1982.

B.3. Diversitas Tersamar
“Kemiskinan kebudayaan material, diversitas yang besar dalam kehidupan
beragama, kehidupan sosial, pengelompokan lokal kecil yang tidak
mencapai kelembagaan chieftainship seperti para suku bangsa Melanesia,
dan dapat mengambil pengaruh kepemimpinan Melanesia dan juga
Indonesia merupakan ciri-ciri peradaban Papua yang paling menonjol.
Ekualitas setiap warga suku barangkali berasal dari penolakan terhadap
tekanan yang tak terelakkan dari kelompok sosial yang lebih besar pada para
warganya. Sumberdaya sosial lemah dalam kehidupan orang Papua,
kelompok para warga selalu pecah dan menarik dari untuk waktu pendek
atau juga lama ke kebun yang jauh tempat memulai komunitas baru yang
paling selaras dengan pilihannya. Bahkan para pemenggal kepala yang
adalah musuh itu sering tidak membuat kelompok-kelompok kecil itu
bersatu, hampir lebih tidak takut terhadap para pemenggal kepala daripada
terhadap suanggi di kampung sendiri. Hal itu yang dapat menjelaskan
diversitas kehidupan kebudayaan dan kemiskinan materialnya mereka selalu
mulai lagi dari awal dan tidak pernah mencapai masyarakat yang cukup
besar untuk mencapai tingkat kemajuan material yang berarti.
Hampir tidak mungkin dilakukan klasifikasi provinsi kebudayaan oleh
karena diversitas kehidupan kultural yang besar itu mengingat bahwa
klasivikasi itu tidak dapat dilakukan tampa paling kurang pengetahuan yang
luas tentang sejumlah besar para masyarakat ini terutama Papua bagian
barat. Kebudayaan Papua dan kebudayaan Papua–Melanesia tidak dapat
bentuk membantu pembentukan klasifikasi sejumlah besar peradaban asli
Papua.Upaya-upaya ke arah itu terulangkali tergangu oleh perbedaanperbedaan mendasar dalam etos dan struktur bahkan di antara para suku
bertetangga.
Bentuk klasifikasi paling nyata terlihat pada perbedaan bentuk-bentuk
kehidupan ekonomi, upacara-upacara dan kehidupan sosial para suku
bangsa. Kebun sagu biasanya lebih rumit dan sifatnya lebih emosional
daripada para suku bangsa kebun ubi-ubian. Kecuali para suku bangsa
kebun sagu Pantai Utara, terlihat beda antara para suku bangsa dataran
rendah dengan pegunungan tengah, para pedagang uang kulit kerang yang
menjangkau luas.
Apapun upaya ke arah itu banyak pengecualian, nampak cara satu-satunya
untuk hantarkan kehidupan orang Papua ke khlayak pembaca tanpa harus
menyertakan sejumlah klasifikasi yang diperdebatkan ini. Namun sebuah
resume yang agak lebih rinci tentang kehidupan budaya beberapa suku
bangsa, dan lebih baik tidak dilakukan deskripsi tentang para suku bangsa
lainnya secara bersama” (Dr. J. van Baal, Volken, Summary, Ethnology
dalam Nieuw Guinea, DEEL III, 1954, 468).


DAFTAR PUSTAKA
Dr. J. van Baal, 1954. Volken, Summary, Ethnology dalam Nieuw Guinea,
DEEL III.
--------------------, 1966. Dema, Description and Analysis of Marind-Anim
(South New Guinea), The Hague, Martinus-Nijhoff
--------------------, 1971. Symbol for Communication, Assen, Van Gorcum.
--------------------, 1972. The message of the three illusions.
--------------------, 1975. Reciprocity and the position of women.
---------------------. 1974 Aggression among equals, Assen, Van Gorcum.
------------------, 1967. Mensen in verandering, Arbeiderspers, Amsterdam.
------------------, 1982 Descriptions of Yeinan-Culture, Extracted from the
Posthumous Papers, KITLV, The Hague-Martinus Nijhoff.

PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT PAPUA

PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT PAPUA


Djekky R. Djoht

(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Cenderawasih dan Sekretaris
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)


ABSTRACT

As a branch of Anthropology, medical Anthropology studies biocultural relation
between human behaviour on medical aspect in the past and present, its also studies
professional participation with their programs on improving public health by
understanding the relationship between the indication of biosociocultural with the
health, and the changing of healthy behaviour which is believed can improved the
degree of health.

The author believes that with its “emik”and “ethic” perspectives, medical
Anthropology can join with others in developing the people in Papua. He argues
that with the province’s policies on developing pubic health in Papua, such as
regional development with health conception, professionalism on medical staff,
insurance on public health and desentralization is a suitable world for medical
Antrhropology.


A. PENGERTIAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya
terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita
Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita ini masih sangat sempit karena
antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan masyarakat
dan pengaruh unsur budaya saja. Antropologi lebih luas lagi kajiannya dari
itu seperti Koentjaraningrat mengatakan bahwa ilmu antropologi
mempelajari manusia dari aspek fisik, sosial, budaya (1984;76). Pengertian
Antropologi kesehatan yang diajukan Foster/Anderson merupakan konsep
yang tepat karena termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti
disampaikan Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster/Anderson,
Antropologi Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Pokok perhatian Kutub Biologi :
•Pertumbuhan dan perkembangan manusia
•Peranan penyakit dalam evolusi manusia
•Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba)
Pokok perhatian kutub sosial-budaya :
•Sistem medis tradisional (etnomedisin)
•Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional
mereka
•Tingkah laku sakit
•Hubungan antara dokter pasien
•Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat
kepada masyarakat tradisional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi Kesehatan adalah
disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya
dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster/Anderson, 1986; 1-3).
Menurut Weaver :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang
menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit (Weaver, 1968;1)
Menurut Hasan dan Prasad :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang
mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk
sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran
(medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran
(medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalahmasalah
kesehatan manusia (Hasan dan Prasad, 1959; 21-22)
Menurut Hochstrasser :
Antropologi Kesehatan adalah pemahaman biobudaya manusia dan karyakaryanya,
yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan
(Hochstrasser dan Tapp, 1970; 245).Menurut Lieban :
Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis (Lieban 1973,
1034)
Menurut Fabrega :
Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:
•Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan
didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan
kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan
penyakit.
•Mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan
terhadap pola-pola tingkahlaku. (Fabrga, 1972;167)
Dari definisi-definisi yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi mengenai
Antropologi Kesehatan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Antropologi Kesehatan mencakup:
1. Mendefinisi secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam
masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku
manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan
penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut;
2. Partisipasi profesional mereka dalam program-program yang bertujuan
memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar
tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan,
serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik.


B. SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Membicarakan sejarah munculnya dan perkembangan Antropologi
Kesehatan, maka saya harus melihat dari awal mula munculnya istilah ini
dan penelitian-penelitian mengenai hal ini. Uraian sejarah muncul dan
perkembangan antropologi kesehatan dibuat menurut urutan waktu
cetusannya:

Tahun 1849
Rudolf Virchow, ahli patologi Jerman terkemuka, yang pada tahun 1849
menulis apabila kedokteran adalah ilmu mengenai manusia yang sehat
maupun yang sakit, maka apa pula ilmu yang merumuskan hukum-hukum
sebagai dasar struktur sosial, untuk menjadikan efektif hal-hal yang inheren
dalam manusia itu sendiri sehingga kedokteran dapat melihat struktur sosial
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit, maka kedokteran dapat
ditetapkan sebagai antropologi. Namun demikian tidak dapat dikatakan
bahwa Vichrow berperan dalam pembentukan asal-usul bidang Antropologi
Kesehatan tersebut., munculnya bidang baru memerlukan lebih dari sekedar
cetusan inspirasi yang cemerlang.

Tahun 1953
Sejarah pertama tentang timbulnya perhatian Antropologi Kesehatan
terdapat pada tulisan yang ditulis Caudill berjudul “Applied Anthropology
in Medicine”. Tulisan ini merupakan tour the force yang cemerlang , tetapi
meskipun telah menimbulkan antusiasme, tulisan itu tidaklah menciptakan
suatu subdisiplin baru.

Tahun 1963
Sepuluh tahun kemudian, Scoth memberi judul “Antropologi Kesehatan”
dan Paul membicarakan “Ahli Antropologi Kesehatan” dalam suatu
artikel mengenai kedokteran dan kesehatan masyarakat. Setelah itu baru
ahli-ahli antropologi Amerika benar-benar menghargai implikasi dari
penelitian-penelitian tentang kesehatan dan penyakit bagi ilmu antropologi.
Pengesahan lebih lanjut atas subdisiplin Antropologi Kesehatan ini adalah
dengan munculnya tulisan yang dibuat Pearsall (1963) yang berjudul
Medical Behaviour Science yang berorientasi antropologi, sejumlah besar
(3000 judul) dari yang terdaftar dalam bibliografi tersebut tak diragukan lagi
menampakan pentingnya sistem medis bagi Antropologi.


C. ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI
1. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi
•SISTEM adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang
dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling
tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan
sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuksuatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau
bergerak dalam satu kesatuan.
•SISTEM SOSIAL-BUDAYA ATAU KEBUDAYAAN adalah
keseluruhan yang integral dalam interaksi antar manusia.
•EKOSISTEM adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan
satwa dengan lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977;289)
Dalam membicarakan Antropologi Kesehatan dan Ekologi, saya akan
menitikberatkan pembahasan pada:
Hubungan, bentuk dan fungsi kesehatan dan penyakit dari
pandangan lingkungan dan sosial-budaya.
Masalah dinamika dari konsekuensi hubungan, bentuk dan fungsi
dari kesehatan dan penyakit dengan pendekatan ekologis dan
sosial-budaya.

2. Hubungan Antropologi Kesehatan dengan Ekologi
Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan
penyakitnya dan cara-cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya
mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya selalu melalui proses umpanbalik.
Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalahmasalah
epidemiologi, cara-cara dimana tingkahlaku individu dan
kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang
berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada
penyakit malaria ditemukan pada daerah berikilim tropis dan subtropis
sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga
pada daerah diatas 1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bisa
berkembang.
Contoh lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda
dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti
malaria, demam berdarah, TBC, dll pada umumnya terdapat pada negaranegara
berkembang, sedangkan penyakit-penyakit noninfeksi seperti stress,
depresi, kanker, hipertensi umumnya terdapat pada negara-negara maju. Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada kedua
kelompok tersebut.
Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus
belajar mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhannya. Interaksi ini dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang
sering memainkan peranannya dalam mencetuskan penyakit. Penyakit
adalah bagian dari lingkungan hidup manusia. Contoh penyakit Kuru (lihat
Foster/Anderson, hal 27-29:’MISTERI KURU’).

3. Paleopatologi
Paleopatologi adalah studi mengenai penyakit-penyakit purba. Para ahli
peleopatologi melakukan studi pada tulang-tulang manusia purba, kotoran,
lukisan pada dinding, patung, mumi, dan lain lain untuk menemukan
penyakit-penyakit infeksi pada manusia purba. Studi untuk mengetahui
penyakit manusia purba dari fosil-fosil ini, pada umumnya hanya terbatas
hanya mengetahui pada penyakit-penyakit yang menunjukkan buktinya
seperti pada tulang-tulang yang dapat diidentifikasi. Sebagai contoh
kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat dari siphilis, TBC,
frambosia, osteomilitus, poliomilitis, kusta, dan penyakit-penyakit yang
sejenisnya adalah penyakit infeksi yang dapat dikenali.
Banyak penyakit-penyakit modern yang tidak terdapat pada penduduk
purba, bukan berarti manusia purba lebih sehat dari manusia modern tetapi
bahwa sakitnya manusia purba disebabkan oleh jenis-jenis patogen dan
faktor lingkungan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang dialami oleh
manusia modern. Misalnya penyakit campak, rubella, cacar, gondong,
kolera dan cacar air mungkin tidak terdapat di zaman purba.
Dapat disimpulkan bahwa paleopatologi atau studi mengenai penyakit
purba, sangat banyak berhubungan dengan lingkungan untuk menemukan
penyakit-penyakit purba.

4. Epidemiologi
Epidemiologi berkenaan dengan distribusi, tempat dan prevalensi atau
terjadinya penyakit, sebagaimana yang dipengaruhi oleh lingkungan alam
atau lingkungan ciptaan manusia serta oleh tingkah laku manusia. Variabelvariabel
yang dipakai untuk melihat distribusi tempat dan prevalensi serta
tingkah laku suatu penyakit adalah perbedaan umur, jenis kelamin, statusperkawinan, pekerjaan, hubungan suku bangsa, kelas sosial, tingkahlaku
individu, serta lingkungan alami. Faktor-faktor ini dan faktor lainnya
berperanan penting dalam distribusi dan prevalensi berbagai penyakit.
Contoh pemuda Amerika lebih banyak mengalami kecelekaan daripada
wanita muda dan orang tua, perokok lebih banyak kena kanker paru-paru
daripada bukan perokok, gondok lebih banyak menyerang penduduk
pedalaman yang tinggal di daerah pegunungan daripada penduduk pantai
yang bahan makannya kaya yodium.
Tugas seorang epidemiolog adalah bekerja untuk membuat korelasi-korelasi
dalam hal insiden penyakit dalam usaha menetapkan petunjuk tentang polapola
penyebab penyakit yang kompleks, atau tentang kemungkinankemungkinan
dalam pengawasan penyakit (Clausen; 1963:142).
Epidemiologi berusaha mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan derajat
kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman kesehatan.
Ahli antropologi lebih menaruh minat pada ciri epidemiologi dari penyakitpenyakit
penduduk non Eropa dan Amerika, termasuk penyakit-penyakit
psikologis yang disebabkan oleh struktur budaya yang dalam Antropologi
Kesehatan disebut dengan istilah “Sindroma Kebudayaan Khusus” seperti
“mengamuk” atau histeris. Selain itu, ahli antropologi juga menaruh minat
pada studi-studi mengenai “Epidemiologi Pembangunan” yaitu mencari
konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang sering bersifat mengganggu
terhadap proyek-proyek pembangunan.


D. DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI
TERHADAP KESEHATAN MANUSIA
Pembangunan mempunyai konotasi positif. Melalui pembangunan,
pemanfaatan yang rasional atas sumberdaya manusia dan fisik dapat
diperoleh, kemiskinan dapat diberantas, pendidikan dapat dinikmati dimanamana,
penyakit dapat diatasi, standar kehidupan menjadi lebih baik. Konsep
pembangunan mencakup intervensi teknologi manusia terhadap
keseimbangan alam. Namun demikian pembangunan juga membawa
dampak negatif terutama pada kesehatan manusia. Pembangunan
bendungan, pembangunan jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakitrumahsakit,
pengeboran minyak, pembukaan pabrik, dan pembangunan lainlain
menyebabkan kecepatan intervensi manusia terhadap alam menjadi
semakin meningkat. Dari sinilah mulai dikenal dengan polusi udara,
kekurangan sanitasi, cara hidup yang berdesakan di daerah pemukiman
miskin di perkotaan (Slums Area), semuanya menimbulkan konsekuensi
konsekuensi kesehatan yang belum dapat dipecahkan secara keseluruhan.
Pembangunan memang harus ada, karena tidak ada alternatif lain bagi dunia
yang semakin padat. Namun ada pembangunan yang “baik” dan ada
pembangunan yang “buruk”. Yang pertama adalah dimana pada suatu
populasi tertentu terdapat keseimbangan, yaitu populasi tersebut menjadi
lebih baik daripada sebelum adanya pembangunan, sedangkan yang kedua,
adalah dimana keadaan populasi justru menjadi lebih buruk dengan adanya
pembangunan.
Kebudayaan adalah sistem keseimbangan yang rumit yang tidak akan
berubah begitu saja, sehingga inovasi yang nampaknya baik bagi suatu
bidang (misalnya, pertanian) kemudian menimbulkan perubahan-perubahan
kedua dan ketiga di bidang lain (misalnya kesehatan) yang dampaknya
melebihi keuntungan yang diharapkan. Hampir selalu terdapat implikasiimplikasi
yang tak terduga pada inovasi yang terencana, beberapa
diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian tidak diinginkan.
Dubos menyebutkan model implikasi yang tak terduga ini dengan istilah
ekologi. Semua inovasi teknologi yang berhubungan dengan praktekprekatek
industri, maupun dengan pertanian atau kedokteran, akan
mengganggu keseimbangan alam. Kenyataannya menguasi alam sama
artinya dengan mengganggu keteraturan alam (DuBos, 1965:416).
Pandangan ekologi menyediakan perspektif yang ideal bagi studi mengenai
perubahan-perubahan pembangunan, karena kebanyakan dari proyek-proyek
yang dianalisis melibatkan intervensi terhadap alam.
Contoh-contoh tentang macam-macam masalah kesehatan yang
berhubungan dengan pembangunan:
Kasus penggalian terusan Panama, demam kuninglah yang
mengalahkan insinyur Perancis DeLessup dalam usahanya untuk
menggali terusan; setelah dokter-dokter Amerika menemukan
penyebab sakit kuning, dan setelah vektor nyamuk dibasmi,
barulah keadaan memungkinkan menyelesaikan terusan itu.Sampai akhir-akhir ini malaria endemik telah menyebabkan banyak
dataran-dataran subur tropis hampir tidak didiami.
Penyakit tidur yang disebabkan oleh lalat Tsetse amat membatasi
eksploitasi dari banyak wilayah di Afrika.
Pembangunan yang sukses sering secara berarti menyebabkan peningkatan
munculnya penyakit-penyakit tertentu, menimbulkan masalah-masalah
kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau yang relatif hanya sedikit.
Sebaliknya keberhasilan dalam pembasmian penyakit-penyakit infeksi,
menyebabkan ledakan penduduk, yang merupakan bahaya terbesar bagi
kehidupan masa depan kemanusiaan. Kemungkinan juga dengan adanya
pertambahan penduduk, penyakit-penyakit masih juga terdapat diseluruh
dunia, walaupun pengobatan modern telah menunjukkan keberhasilannya
dalam pengawasan penyakit.
Demikianlah saya dihadapkan pada matarantai lingkaran peristiwa yang
disebabkan oleh penyakit. Penyakit menghambat pem-bangunan sehingga
mendorong timbulnya perkembangan pelayanan-pelayanan kesehatan dan
pengawasan penyakit, yang berdampak juga pada macam-macam
pembangunan lainnya. Namun yang seringkali terjadi dibalik keberhasilan
pembangunan kesehatan ini adalah justru terdapat kelebihan penduduk dan
bertambahnya penyakit, sehingga siklus itupun dimulai lagi.
Contoh-contoh dampak pembangunan terhadap macam-macam masalah
kesehatan, secara ringkas adalah sebagai berikut.

1. Pembangunan lembah sungai, di Mesir dan Sudan yang
mengakibatkan bahaya yang cukup tinggi bagi kesehatan, terutama
peningkatan penyakit Bilharziasis (penyakit cacing pita dari genus
Schistosoma ditularkan lewat siput air) dan Ochoncerciasis (buta
sungai, ditularkan oleh vektor lalat yang mengigit dibagian belakan
kepala, merusak saraf mata yang mengakibatkan kebutaan.

2. Pembudidayaan tanah, di Karibia merupakan kondisi ideal bagi
peningkatan pengembangbiakan jenis nyamuk anopheles yang
menularkan penyakit malaria.

3. Pembangunan Jalan Raya, beberapa penyakit yang dulunya terbatas
wilayahnya atau menyebar secara lambat, disebarkan kedaerah-daerah
yang dulunya bebas penyakit, sebagai akibat dari komunikasi besarbesaran
yang dimungkinkan oleh adanya jalan-jalan raya, jalan kereta
api, dan lalulintas udara. Trypanosomiasis (penyakit tidur adalah salah
satu penyakit yang tersebar secara luas di Afrika. Lalat tsetse
merupakan vektor bagi penyakit-penyakit protosoa, yang menulari
manusia dan hewan. Dengan adanya jalan-jalan baru yang
menyebabkan para musafir sering beristirahat dan minum ditepi sungai
dekat jalan raya, merupakan bahaya yang mengacam mereka dari
gigitan lalat tsetse dan infeksi penyakit tidur.

4. Urbanisasi, Migrasi penduduk desa ke daerah-daerah pemukiman
miskin yang padat diperkotaan menyebabkan timbulnya berbagai
maslah kesehatan. Pada awal periode industri di Inggris, angka
Tubercolosis sering amat tinggi, disebabkan karena kepadatan
penduduk dalam rumah, kondisi rumah yang buruk, sehingga
memungkinkan dengan mudahnya baksil TBC, hidup dan menularkan
pada manusia.


E. PERANAN ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM
PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA
Dalam bagian ini saya akan menguraikan peranan Antropologi Kesehatan
dalam menjalankan program-program pembangunan yang direncanakan
untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat
Papua. Ini berarti merupakan penerapan masalah pengetahuan Antropologi
Kesehatan dan konsekuensinya.
Fokus yang dibicarakan dalam bagian ini adalah mengenai antropologi
tentang kesehatan atau antropologi dalam kesehatan. Ini berarti membahas
kesehatan dari perspektif antropologi “sebagai ahli antropologi” dan
membahas ahli antropologi sebagai pekerja kesehatan.
Untuk menjadi seorang ahli antropologi kesehatan, seseorang memerlukan
dasar latihan antropologi yang baik, pengalaman penelitian, naluri terhadap
masalah, simpati terhadap orang lain dan tentu saja dapat memasuki dunia
kesehatan dan masyarakat kesehatan yang bersedia menerima kehadiran
para ahli antropologi itu.
Ahli antropologi mempunyai banyak ladang di dalam lembaga kesehatan
atau “masyarakat kesehatan” sebagai tempat kajiannya seperti rumah sakit
jiwa, rumahsakit umum, dokter praktek, para pasien, sekolah-sekolahkedokteran, klinik-klinik, puskesmas dan “masyarakat kesehatan” lainnya.
Metode-metode penelitian yang sama seperti yang dipergunakan ahli
antropologi pada umumnya dalam penelitian tradisional dapat diterapkan
kepada lingkungan-lingkungan itu (“masyarakat kesehatan”). Pranatapranata
kesehatan dalam arti yang luas adalah sejumlah lapangan penelitian
yang sangat produktif bagi para ahli antropologi. Namun tidaklah cukup jika
hanya pranata kesehatan saja yang dipelajari. Para ahli antropologi harus
dapat memasuki pranata itu. Meneliti pranata kesehatan dalam masyarakat
tradisional tidak memerlukan para tenaga kesehatan, tetapi meneliti
“masyarakat kesehatan” tidak cukup seorang ahli antropologi, tetapi ia harus
diterima dalam pranata masyarkat kesehatan dan membutuhkan bantuan
tenaga profesional kesehatan yang lain.

1. Kondisi Ekologis dan Kebudayaan Masyarakat Papua
Papua ditinjau dari lingkungan alam sangat beranekaragam. Menurut
Petocz (1987; 30-37) Lingkungan utama di Papua terdiri dari :
•Hutan Bakau, terdapat di rawa-rawa berair asin payau. Vegetasi ini
tumbuh di sepanjang cekungan yang landai dan paling berkembang
di daerah yang terlindung dari gamparan gelombang air laut. Hutan
bakau yang paling luas terdapat di muara teluk Bintuni.
•Rawa, disepanjang pantai selatan, dataran rendah daerah Kepala
Burung dan pantai utara delta Mamberamo ke arah barat sampai
muara teluk Cenderawasih.
•Hutan basah dataran rendah
•Zone pegunungan bawah
•Zone pegunungan atas
•Zone Alpin
Kategori Petocz di dasarkan pada tinggi daratan diatas permukaan laut.
Walker dan Mansoben (1990), telah menggolongkan masyarakat dan
kebudayaan Papua dalam tiga kategori, tipe-tipe mata pencaharian yang
berkembang di tiga tipe ekologi atau lingkungan alam, yaitu :
•Daerah rawa-rawa, pantai dan banyak sungai
•Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil
•Daerah dataran tinggi.
Parsudi Suparlan (1994), mengkritik kategori yang dibuat Walker dan
Mansoben dengan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan mereka
sebenarnya telah mereduksi keanekaragaman kebudayaan-kebudayaan di
Papua ke dalam kategori mata pencaharian dan ekologinya, akan banyak
merugikan warga masyarakat Papua. Mata pencaharian bukanlah suatu
gejala yang merupakan satuan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan
dengan dan didukung oleh pengorganisasian sosial (keluarga, kelompok
kekerabatan, keyakinan keagamaan, hak milik dan penguasaan atas tanah
dan pohon, kekuasaan dan pertahanan, serta berbagai aspek lainnya).
Selanjutnya Parsudi melihat bahwa kerugian yang dimaksud adalah
diabaikannya satuan-satuan budaya yang mendukung kebudayaan
ekonomi dari masyarakat setempat.
Berdasarkan kategori kebudayaan yang dibuat Walker dan Mansoben ini,
oleh Parsudi Suparlan mengusulkan pembagian pola-pola kebudayaan di
Papua dalam suatu penggolongan yang lebih luas yaitu :
•Wilayah pantai dan pulau, yang terdiri atas : (1) Daerah pantai utara,
(2) Daerah-daerah pulau-pulau Biak-Numfor, Yapen, Waigeo dan
pulau-pulau kecil lainnya, (3) Daerah pantai selatan yang penuh
dengan daerah berlumpur dan pasang surut serta perbedaan musim
kemarau dan hujan yang tajam.
•Wilayah pedalaman yang mencakup : (1) Daerah sungai-sungai dan
rawa-rawa (2) Daerah danau dan sekitarnya (3) Daerah kaki bukit
dan lembah-lembah kecil.
•Wilayah dataran tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Walker dan Mansoben.
Koentjaraningrat mengelompokkan masyarakat Papua berdasarkan letak
geografis dan mata pencahariannya menjadi tiga yaitu :
•Penduduk Pantai dan Hilir
Kelompok ini telah mengadakan kontak dengan dunia modern/luar
kurang lebih 100 tahun yang lalu, dan sudah beragama Kristen dan
Roma Khatolik. Mereka sudah mengalami pendidikan formal dan
kebutuhan hidup tergantung pada pasar dengan sumber alam yang
melimpah.
•Masyarakat Pedalaman
Kelompok-kelompok kecil yang tinggal di sepanjang sungai, di
hutan-hutan rimba. mereka adalah peramu yang sering berpindahpindah
tempat tinggal, jumlah penduduknya tidak besar. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah orang-•Masyarakat Pegunungan Tengah.
Kelompok masyarakat ini terdidri dari beberapa suku bangsa yang
tinggal di lembah-lembah, di pengunungan tengah yang terdiri dari
pegunungan Mooke, Sudirman. Dalam keadaan sekarang mereka ini
pada umumnya tinggal di kebupaten Paniai dan Jayawijaya, jumlah
penduduknya cukup padat. Pemeliharaan ternak babi dan
pembudidayaan Ubi jalar merupakan kegiatan ekonomi yang maha
penting (Giay.B; 1996, 4-5).
Sedangkan kalau kategori suku bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271
lebih suku bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage,
SIL, 1988, Jayapura)
Kategori-kategori ini mempunyai keuntungan tapi juga kerugian terhadap
masyarakat. Keuntungannya adalah karena kategori ini bisa mempermudah
menganlisis dan membuat rencana-rencana dan program. Kerugiannya
adalah kategori ini bisa menjebak saya pada analisis-analisis yang dangkal
dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang lain. Namun untuk
kepentingan ilmu, maka perlu ada klasifikasi-klasifikasi demikian. Saya
tidak mau menganut klasifikasi-klasifikasi itu, tetapi orientasi saya bahwa
kebudayaan ini berbeda-beda, tetapi untuk mengkategori perbedaanperbedaan
itu membutuhkan pekerjaan yang besar. Mudah-mudahan ada
pakar-pakar dari Papua ini yang mau melakukan pekerjaan besar ini.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak
yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat
tardisional Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang
terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam
kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi
adanya 44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan
masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar
dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held
(1951,1953) dan Van Baal (1954), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut
terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat
perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan
ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan
struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka seharihari
Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di Papua,
tetapi diantara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang umum dan
mendasar yang memperlihatkan kesamaan-kesamaan dalam inti kebudayaan
atau nilai-nilai budaya mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang
Papua bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan oleh ciriciri
orang Papua pada umumnya “Improvisator kebudayaan“, yaitu
mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan
kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya
dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara
menyeluruh (Parsudi Suparland, 1994). van Baal (1951) mengatakan bahwa
ciri utama kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat dari
kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan tersebut muncul
karena kebudayaan orang Papua yang rendah tingkat teknologinya dan yang
dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah
menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju
atau lebih cocok.
Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara
masyarakat-masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi
dalam kategori yang terakhir diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat
(1994). Dalam awal kontak interaksi yang memberi dampak dalam
kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan
kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang
mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan
Manik-manik, para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang
mengkristenkan mereka melalui pendidikan formal dengan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran teknologi dan penggunaan uang
oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan kemudian oleh pemerintah
Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari luar telah
memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan
keterbukaan suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan

2. Program-program Pembangunan Kesehatan di Provinsi Papua
Pembangunan kesehatan di Provinsi Papua dilaksanakan melalui empat
strategi yaitu ;
•Pembanguan daerah berwawasan kesehatan, artinya program
pembangunan tersebut harus memberikan kontribusi yang positif
terhadap kesehatan yang meliputi pembentukan lingkungan yang
sehat dan pembentukan perilaku yang sehat.
•Profesionalisme tenaga kesehatan. Untuk terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu didukung oleh penerapan
ilmu dan teknologi bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran.
•Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Kemandirian
masyarakat dalam melaksanakan pola hidup sehat perlu
ditingkatkan dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya termasuk
peran sertanya dalam pembiayaan kesehatan perlu digalakkan.
•Desentralisasi. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan,
penyelenggaraan pelbagai upaya kesehatan harus bertitik tolak dari
masalah kesehatan yang ada dan potensi spesifik daerah untuk
mengatasinya.
Dalam jangka pendek, langkah utama pengembangan kesehatan ditujukan
untuk mempertahankan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat dari dampak
buruk terjadinya krisis ekonomi, terutama dari keluarga miskin.
Dalam jangka menengah, kebijakan umum pembangunan kesehatan antara
lain adalah :
•Pemantapan kerjasama lintas sektor
•Peningkatan perilaku peningkatan dan kemitraan antara pemerintah
dan swasta dalam pembanguan kesehatan
•Peningkatan kesehatan lingkungan
•Peningkatan upaya kesehatan masyarakat
•Peningkatan kemampuan dalam penyususnan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan,
•Peningkatan perlindungan kesehatan masayarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan yang tidak
absah,
•Peningkatan pengetahuan dan teknologi.

2.1. Program Perilaku Sehat Dan Pemberdayaan Masyarakat
Program ini bertujuan untuk memberdayakan individu dan masayarakat
dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya sendiri dari lingkungannya menuju masyarakat yang sehat,
mandiri dan produktif.
Sasarannya adalah terciptanya keberdayaan individu dan masyarakat dalam
bidang kesehatan yang ditandai oleh peningkatan perilaku hidup sehat dan
peran aktif dalam memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri
dan lingkungan sesuai budaya setempat.

2.2. Program Lingkungan Sehat
Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang bersih
sehat agar dapat melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal
dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat yang optimal.
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya suatu
lingkungan yang bersih dan sehat yang berasal dari kesadaran masyarakat
akan kesehatan dengan ditunjang oleh kelengkapan pelayanan pemerintah
dalam memenuhi persyaratan kebersihan lingkungan maupun individu.

2.3. Program Upaya Kesehatan
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya
kesehatan yang berhasil guna dan berdayaguna serta terjangkau oleh
segenap anggota masyarakat. Secara umum program ini adalah tersedianya
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan baik pemerintah maupun swasta
yang didukung oleh peran serta masyarakat dan sistem pembiayaan pra
upaya.
Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu kesehatan
masyarakat yang ditunjang dengan meningkatnya mutu pelayanan kesehatan
oleh pemerintah yang berasaskan pemerataan dan keadilan pelayanan secara
intensif dan keseluruhan.

2.4. Program Sumber Daya Kesehatan
Tujuan program ini secara umum adalah menngkatkan jumlah, mutu danefisiensi penggunaan biaya yang dapat penggandaan produksi bahan baku
dan obat yang bermutu aman.
Sasaran umum program ini adalah terdapatnya kebijakan dan rencana
pengembangan tenaga kesehatan dari masyarakat, digunakannnya tenaga
kesehatan yang ada, berfungsinya pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan, meningkatnya jaringan pemberi pelayanan kesehatan paripurna
dan bermutu.

2.5. Program Obat, Makanan Dan Bahan Berbahaya
Program ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, prikotropika, narkotika, zat aditif
(NAPZA) dan bahan berbahaya lainnya. Di samping itu program ini
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
makanan dan alat kesehetan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan.
Sasaran yang ingin dicapai oleh program ini adalah terlindungi masyarakat
dari kesalahan penggunaan NAPZA sehingga tercapainya tujuan medis
penggunaan obat secara efektif dan aman dengan ketersediaan obat yang
bermutu.

2.6. Program Kebijakan Dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Program ini bertujuan memberikan masukan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menunjang pembangunan kesehatan, mendukung
perumusan kebijakan masalah kesehatan, dan mengatasi kendala dalam
pelaksanaan program kesehatan.
Sasaran program ini adalah makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, gizi,
pendayagunaan obat, pemberatasan penyakit dan perbaikan lingkungan.
Makin berkembangnya penelitian yang berkaitan dengan ekonomi kesehatan
untuk membantu upaya-upaya mengoptimalkan pemanfaatan biaya
kesehatan dari pemerintah dan swasta. Makin meningkatnya penelitian
bidang sosial budaya dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi masalah
kesehatan masyarakat.

3. Peranan Ahli Antropologi Kesehatan terhadap Penanganan
Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Papua
Enam program utama dalam lembaga Dinas Kesehatan Provinsi Papua
seperti tersebut di atas kalau diperhatikan dengan seksama sangat berkaitan
dengan peranan antropologi dalam menangani masalah kesehatan. Fokus
program-program tersebut pada penanganan kebiasaan buruk yang
menyebabkan sakit, penanganan partisipasi masyarakat memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah, meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kualitas manusia tenaga
kesehatan dan penanganan dampak ekologi terhadap kesehatan manusia.
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa antropologi kesehatan mengkaji
biokultural kesehatan manusia dan ini berarti penggunaan tenaga
antropologi sangat dibutuhkan dalam penanganan program-program
kesehatan tersebut. Atau tenaga kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan
Provinsi Papua yang tersebar diberbagai kabupaten kota di Papua perlu
memiliki pengetahuan antropologi kesehatan dalam mengatasi masalahmasalah
praktis yang mereka hadapi di lapangan.
Penggunaan tenaga antropologi kesehatan dalam program-program
pembangunan kesehatan di Papua, menurut saya masih sangat rendah.
Sepanjang pengetahuan saya keterlibatan tenaga antropologi kesehatan
dipakai untuk riset-riset tertentu saja, tetapi belum pernah digunakan dalam
perencanaan pembangunan kesehatan, keterlibatan sebagai konsultan dalam
penanganan kegiatan program kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi
Papua.
Tetapi tenaga kesehatan belajar antropologi pernah di programkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Papua bekerjasama dengan Jurusan Antropologi
Uncen pada tahun 1998. 15 orang tenaga perawat dari 12 kabupaten dan 2
kota di Provinsi Papua belajar Antropologi di Program studi Antropologi
UNCEN. Saat ini mereka telah menyelesaikan pendidikan antropologinya di
Uncen, sayangnya sampai saat ini belum ada evaluasi bagaimana
penggunaan ilmu antropologi kesehatan dalam penanganan masalah
kesehatan di Provinsi Papua.

3.1. Penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit
Ini berkaitan dengan pranata-pranata kebudayaan yang mengatur perilaku
manusia tentang kebiasaan-kebiasaan yang dapat menyebabkan
terjangkitnya penyakit. Bicara pranata-pranata kebudayaan yang mengatur
perilaku manusia merupakan salah satu isu yang dipelajari oleh IlmuAntropologi Kesehatan dan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus
dimiliki oleh seorang antropolog. Dengan demikian penggunaan ilmu
antropologi kesehatan sangat dibutuhkan dalam program Dinas Kesehatan
tentang “Program Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat”. Sekarang
tinggal bagaimana kerjasama antara Jurusan Antropologi dengan Dinas
Kesehatan Provinsi Papua dalam melibatkan tenaga Antropologi Kesehatan
dalam program-program Dinas Kesehatan.

3.2. Penanganan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah
Antropologi mempunyai metode yang khas dan tidak dimiliki oleh ilmuilmu
lain, yaitu Observasi partisipasi. Metode ini yang sering
menghebohkan dunia ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru
yang sangat berguna dalam membangun suatu masyarakat. Kadang-kadang
di lingkungan dunia “praktis”, cara masuk untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat sangat lambat dan bahkan tidak berhasil karena pendekatan yang
digunakan keliru. Ilmu Antropologi memahami kebudyaan manusia dan
mengerti orientasi nilai dalam suatu masyarakat yang menjadi acuan dalam
hidupnya untuk melakukan sesuatu (partisipasi dalam bahasa dunia
“praktis”). Dengan memahami orientasi nilai ini, partisipasi sangat mudah
dibangun dalam menjalankan program pembangunan. Disinilah letak
penggunaan ilmu antropologi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu tenaga antropologi sangat
dibutuhkan dalam program pembangunan kesehatan di Papua.
Sering terjadi pada masyarakat sederhana lebih percaya pada pengobatan
tradisional dari pada pengobatan modern karena alasan nilai yang dipakai
untuk melihat sistem pelayanan yang dibangun oleh kedua pengobatan
tersebut. Ahli antropologi lebih memahami konsep ini daripada tenaga
kesehatan. Konsep “Etik” dan Konsep “Emik” lebih dikuasai oleh ahli
antropologi daripada tenaga kesehatan. Oleh karena itu ahli antropologi
sangat dibutuhkan dalam merancang sistem pelayanan kesehatan moderen
yang bisa diterima masyarakat tradisional.


F. KESIMPULAN
•Antropologi Kesehatan berdasarkan definisinya mempelajari
kesehatan manusia dari dua sisi, yaitu cultural dan biologis tetapi
tidak dilihat terpisah sehingga disebut biocultural.
•Penggunaan ilmu ini dalam “masyarakat kesehatan” sangat berguna
membantu keberhasilan program-program kesehatan dalam dunia
praktis.
•Dunia Praktis di Papua (pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan)
sudah saatnya memakai ahli antropologi sebagai perencana,
pelaksana dan evaluator serta konsultan sebagai bagian dari sistem
manajeman Dunia Praktis mereka secara keseluruhan.


G. BIBLIOGRAFI
Caudill, William. 1953. Applied Anthropology in Medicine. Dalam
Anthropology Today: An Encyclopedic Inventory. A.L. Kroeber, edt. Hlm
771-806. Chicago. The University of Chicago Press.
Clausen John A. 1963. Social Factors in Disease. Dalam Medicine and
Society. J.A. Clausen and R. Strauss, edt.The Annuals of Amrican Academy
of Political and Social Science346. Hlm 138-148.
DuBos Rene. 1963. Man Adapting. New Haven. Yale University Press.
Fabrega, Horacio, Jr. 1970. Medical Anthropology. Dalam Bienial Review
of Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Giay Beni. 1996. Pembangunan Irian Jaya dalam Perspektif Agama, Buda
ya dan Antropologi, dalam Buletin Deiyai No. 5/thn I/Mei-Juni, 1996,
Jayapura.
Glick L.B 1967. Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New
Guinea Highlands. Etnology Buletin
Hochstrasser, Donald L dan Jesse W. Tapp, Jr. 1970. Social Medicine and
Public. Dalam Anthropology and the Bihavioural and Health Science.
Pittburgh. University of Pitsburgh Press.
Hassan, Khwaja Arif dan B.G. Prassad. 1959. A Note on The Contributions
of Anthropology to Medical Science. Journal of the Indian Medical
Assosiation. 33: hlm 182-190.
Hardesty, Donald L. 1977. Ecological Anthropology. New York. John
Wiley
Koentjaraningrat. 1994. Papua Membangun Masyarakat Majemuk,
Jakarta, Jambatan.
Lieben Richard W. 1970. Medical Anthropology. Dalam Handbook of
Social and Cultural Anthropology. J.J Honigmann, ed. Hlm. 1031-1072.
Chicago. Rand McNally.
Paul Benyamin D. 1963. Anthropology Perspectives on Medicine and Public
Health. Dalam Medicine and Society.
J.A. Clausen and R. Strauss, edt. Hlm. 34-43. The Annual of the American
Academy of Political and Social Science.
Pearsall, Marion. 1963. Medical Behavioural Science: A Selected
Bibliography. Lexington. University of Kentucky Press.
Petocz, R. 1987. Konservasi Alam di Papua, Jakarta, Grafiti
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta
Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Scotch, Norman A. 1963. Medical Anthropology dalam Bienial Review of
Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Suparlan, Parsudi. 1994. Keanekaragaman Kebudayaan, Strategi
Pembangunan dan Transformasi Sosial, dalam Buletin Penduduk dan
Pembangunan, Jilid V No. 1-2, Lembaga Iimu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Suparlan, Parsudi. 1994a. The Diversity Of Cultures In Irian Jaya, The
Indonesian Quartely, 22:2, 170-182.
Tim Peneliti Univesrsitas Cenderawasih. 1991. Laporan Penelitian
Penyusunan Peta Sosial Budaya Papua; Pusat Penelitian Universitas
Cenderawasih
Walker, M & Johz Mansoben. 1990. Papua Cultures; An Overview, Buletin
Of Papua, 18:1-16.
Weaver, Thomas. 1967. Medical Anthropology: Trends in Reasearch and
Medical Education. University of Georgia Press.