Hari ini saya ngobrol dengan seorang teman lama. Kami ngobrol panjang lebar sampai pagi. Ditemani beberapa gelas kopi hitam manis dan beberapa gorengan yang sudah tidak hangat lagi. Topik yang menarik adalah apakah anak miskin harus berprestasi atau peroleh ranking 1 dulu baru dapat beasiswa?? Sepertinya tidak adil karena bagaimanapun anak miskin dengan gizi yang tidak cukup, waktu belajar yang kurang karena harus membantu orang tuanya, akses kepemilikan buku yang terbatas, serta banyak pikiran seperti minder karena seragamnya lusuh, sobek dan sepatu yang bolong-bolong, dan segudang masalah lainnya harus menjadi ranking 1 dan mengalahkan anak yang berduit baru dapat beasiswa?? Gila..!! Jika kebijakan seperti ini terus dibiarkan, negeri ini akan tetap menjadi negerinya orang bodoh..!! Memang tidak dipungkiri ada juga dari mereka yang punya talent alias genius luar biasa atau kalau tidak semangat besi yang tidak sanggup digoyahkan oleh angin topan dan badai hingga akhirnya dapat menjadi yang terbaik di kelas maupun di sekolahannya. Tapi berapa orang? Berapa prosentase dari total populasi anak miskin itu sendiri. Memang saya akui ini sinis. Bukankah negeri ini kalau tidak dikritik keras baru mau memperbaiki diri? Saya jadi ingat kata-kata seorang teman, apakah yang berhak mendapatkan layanan sosial anak hanyalah orang miskin? Ternyata tidak orang kaya pun ada, cuma spesifikasi masalahnya yang berbeda, seperti mereka butuh bersosialisasi, belajar dan bekerja sama dalam suatu kelompok, anak cacat, anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law) yang masuk dalam kategori children in need of special protectian, dan hal ini sama dengan mereka yang anak-anak dari keluarga miskin. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa pemerintah seyogyanya memberikan beasiswa tanpa menerapkan standard nilai atau prestasi yang tinggi. Jika model ini tetap diteruskan, pada hakekatnya kita memperpanjang cara kolonialisme untuk memperbodoh anak-anak bangsa di negeri ini. Kalau mau kasih, kasih saja atas dasar equality dan kebutuhan akan investasi sumber daya manusia untuk membangun negeri ini.
Kapan ratu adil muncul? Negeri ini telah lama dininabobokan oleh para kolonial yang menjajah terlalu lama supaya kita lupa diri. Jika diperhatikan secara cermat, negara-negara kaya saat ini dikuasai oleh negara dengan sumber daya alam uang sedikit tetapi sumber daya manusianya high qualified? Bagaimana dengan Indonesia? Terlalu beromantika dengan dongeng-dongeng dan nyanyian sebelum tidur. Gemah ripah loh jinawi. Menunggu datangnya sang ratu adil. Menurut saya ratu adil itu tidak akan datang kalau kita masih bodoh dan ga mau sekolah. Belajarlah yang rajin, tekun dan pergi ke sekolah maka kebijakan akan lahir di dirimu, dan keadilan itu akan datang. Kita semua anak-anak bangsa lah yang menjadi ratu-ratu adil paling tidak untuk diri kita sendiri. Jika tidak, kita akan menjadi bangsa-bangsa yang tertinggal oleh bangsa lain. Jangan heran dan marah kalau kita disebut bangsa kera atau ape nations. Tersenyumlah, belajar yang rajin dan kejarlah, lampauilah ilmu pengetahuan mereka. Jadi jangan mau dihegemoni oleh cerita romantisme masa lalu lagi.
Apakah kita bisa melampaui mereka? Saya ingat teori parabola. Mungkin kita ini di bawah dan orang-orang di negara maju sudah berada jauh di atas kita. Tapi bukankah pada satu titik mereka akan ada di posisi maksimum sehingga tidak bisa naik lagi dan mengalami kejenuhan? Di titik itulah kita mengejar kawan. Di titik itulah kita mengejar dan menyalip mereka sobat, sebagaimana Valentino Rossi menyalip para kompetitornya di tikungan. Seseorang teman asla Batak, namanya Andor Siregar sekarang jadi pejabat di Pemda DKI menyebut ini dengan menang di tikungan. Selanjutnya, yang perlu kita cermati adalah pengetahuan dan kesadaran akan jati diri kita. Negara kita ini adalah negara bahari, begitu banyak hasil alam di laut yang belum kita eksplor. Kita malah mengaca ke Barat habis-habisan sehingga melupakan potensi kita sendiri. Kita terlalu ingin meniru mereka! Menjadi negara industri! Itu bodoh kawan. Ini buktinya. Kita banyak ikan di laut, tapi mengambil ikan untuk kita makan saja kita kesulitan! Akibatnya banyak ikan kita dicuri orang asing dan negara-negara tetangga kita sendiri! Perkuat negeri bahari kita dengan perikanan di dalamnya. Atau tentang pertanian kita yang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang. Kenapa tidak kita kuati saja? Kenapa kita harus pakai varietas unggul yang sejenis beserta paket pupuknya yang harus bayar mahal? Kenapa tidak kita memakai varietas lokal yang beragam. Jika terjadi hama pada varietas yang satu, varietas yang lain akan survive. Kenapa kita tidak berpikir ke arah sana? Saya masih ingat dulu kita punya lumbung padi di gudang atau paling tidak di dapur. Sekarang? Semua nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal dalam bertani telah hilang. Ironisnya justru itu dilakukan oleh pemerintah. Beginilah kiranya kalau negeri ini dipimpin oleh mereka-mereka yang tidak punya visi dan sebegitu takutnya pada negara-negara maju macam Amerika. Harusnya kita sadar bahwa sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan kita dicapai oleh keberanian yang luar biasa dari para pejuang kemerdekaan kita. Kalau kita ini bersatu, pintar, dan tidak menjajah dan menindas satu sama lain, maka negeri ini tidak hanya disebut negeri yang gagal menjadi macan asia, malah bisa saja menjadi negeri yang sukses menjadi naga asia bahkan dunia. Jadi kita tidak perlu takut dan khawatir tidak bisa menyalip negara-negara maju.
Study saya tentang masyarakat Samin di Blora menunjukkan bahwa Belanda sejak tahun pertengahan tahun 1800-an tidak bisa menaklukkan suku Samin di Jawa.Orang samin menentang penjajahan dengan caranya yang unik yaitu anti kekerasan yaitu tidak mau bayar pajak dan boikot menggunakan produk uang belanda. Akibatnya, belanda mengakui kesulitan dalam hal ekonomi karena uangnya tidak terpakai dan kesulitan menarik uang dari Samin karena mereka menentang bayar pajak. Apa yang dilakukan Samin melalui Samin Surontiko jauh lebih dulu dari yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dengan konsep Swadhesi dan Setyagrahanya. Bedanya Gandhi menggunakan produk sendiri dan memboikot menggunakan garam Inggris serta konsep tersebut didapatnya pada waktu dia study di England dan setelah dia pergi ke Afrika dan mengamati model pergerakan di kawasan Afrika Selatan. Jadi konsep tersebut sebetulnya sudah ada di Indonesia, cuma bedanya adalah Samin tidak bisa baca tulis dan bukan seorang scholar layaknya Gandhi. Dia menemukan swadhesi dan setyagraha ala Saminnya melalui kontemplasi atau perenungan. Tapi anehnya sekali lagi bukannya dia diganjar jadi pahlawan, malah anak cucunya diganjar dengan hukuman. Hukuman yang pertama, mereka dipukuli dan dihajar pada jaman orde baru untuk meninggalkan ajaran dan kearifan lokalnya karena persatuannya yang kuat dan dianggap mirip PKI, padahal tidak. Mereka diintimidasi dan dirusak secara psikis oleh intel-intel yang kerap datang ke rumah-rumah mereka. Hal ini karena Rezim orde baru anti demonstrasi dan pembangkangan. Maka dari itu dipindahkannya Universitas Indonesia dari Salemba ke Depok, Universitas Padjadjaran dari Bandung ke Jatinangor, dan seterusnya. Mereka juga dianggap contoh kegagalan dalam pembangunan modernisasi di Indonesia, padahal kenyataannya mereka walaupun masih tradisional dan dianggap primitif namun setiap orang rata-rata memiliki sapi 25 ekor di jamannya! Kedua, mereka dihukum secara sosial dengan berbagai ungkapan seperti masyarakat primitif, masyarakat tidak kenal norma dan sopan santun, dan masyarakat tidak punya agama. Inilah gobloknya pemerintah orde baru! Semoga pemerintah pasca orde baru mengerti kesalahan mereka dan menganugerahi Samin Surontiko sebagai pahlawan nasional. I really wish for it!
Ini adalah masalah-masalah pada kondisi normal. Tapi bagaimana dengan kondisi darurat semisal bencana? Koordinasi bak ujian matematika yang paling susah dikerjakan. Banyak institusi menonjolkan bendera masing-masing, termasuk di dalamnya partai-partai politik! Buat apa? Kalau mau tolong-tolong saja. Mereka wakil rakyat atau wakil parpol? Bukankah agama mengajarkan memberi dengan ikhlas tangan kanan memberi tangan kiri tidak tahu, tapi kenapa sekarang seluruh dunia harus tahu?? Masalah bencana memang identik dengan penderitaan. Kesedihan. Makanya kalau ada wakil rakyat tanpa empathy dan mengatakan salah sendiri tinggal di pulau luar ya kena tsunami, itu adalah perkataan seorang yang tidak terpelajar dan sangat jauh dari hati nurani rakyatnya. Atau ada pimpinan di penanggulangan bencana yang mengatakan wajarlah kalau ada yang belum dapat logistik namanya juga bencana, apalagi yang jauh ya harus nunggu dulu, itu namanya hukum alam. Huhhh...!! Sebal, gemas, kesal banget pingin nonjok tuh orang.
Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan di beberapa pengungsian di Yogyakarta pasca letusan Merapi, pengungsi merasa cukup dengan makanan, pakaian, air, sanitasi, dan tempat pengungsian. Tapi kenapa raut muka mereka terlihat sedih sekali? Mereka mengatakan bahwa mereka sedih manakala nanti harus balik ke rumah masing-masing. Mereka mau makan apa? Pohon salak rusak dan paling tidak harus menunggu 3 bulan untuk kembali berbuah lagi. Bagaimana dengan biaya anak mereka sekolah? Uang jajan mereka? Akte kelahiran anak-anak mereka yang hilang? Atau ijasah mereka yang sudah hilang entah kemana? Mereka butuh penjelasan. Mereka butuh informasi untuk menenangkan mereka. Mereka butuh kejelasan. Bukan janji-janji muluk. Kenapa kita tidak mengatakan pada mereka misalnya bahwa surat-surat, akte dan ijasah kita pegang pada dasarnya adalah copyan, yang aslinya ada di kantor pemerintah seperti catatan sipil atau diknas? Kenapa kita tidak mengatakan pada mereka bahwa mereka akan dapat jadup dari pemerintah? Toh itu ada anggarannya? Kenapa hal yang mendasar seperti malah tidak terinformasikan? Kenapa? Kenapa pada situasi bencana kita tidak melakukan hal-hal yang sederhana terkait dengan perlindungan anak, semisal pemberitahuan pada para orang tua untuk tidak melibatkan anak-anak dalam membersihkan rumah mereka karena sistem pernafasan anak masih rawan terganggu dengan debu-debu di rumah yang mereka bersihkan? Atau kehati-hatian orang tua dalam kembali beraktivitas sehingga tetap memperhatikan anak-anak mereka yang beberapa diantaranya justru tidak mendapatkan perhatian dan akhirnya malah kabel-kabel listrik di dusunnya ditarik-tarik, ditumpangi dan dipakai untuk main-main? Satu lagi, setiap ada bencana selalu banyak lembaga yng mengajak anak-anak bermain dan ironisnya dari pagi sampai malam sehingga anak merasa capek, atas dasar psychosocial activities dan trauma healing, tapi isinya cuma satu yaitu main. Baik. Main itu bagus. Tapi sebelum melakukannya kita harus ada ilmunya. Kalau tidak itu cuma entertaining. Sekedar huburan dan bukan trauma healing. Dalam suatu bencana tingkat trauma secara umum terbagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang, berat. Untuk trauma ringan biasanya sembuhnya cepat bisa dalam beberap hari. Untuk trauma sedang biasanya dibutuhkan waktu berbulan-bulan semisal 1 atau 3 bulan tergantung coping capacities (kemampuan menghadapi masalah di setiap anak yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya). Entertaining atau hiburan dengan anak-anak hanya bisa mereduce stress dan trauma ringan dan sedang. Tapi yang untuk berat itu susah! Mereka biasanya sakit, tidak mau makan, rewel, menangis, tidur sering mimpi buruk, dan pendiam, pemurung serta menarik diri dari lingkungan bermainnya. Ini dibutuhkan therapy khusus. Artinya di sini saya ingin menegaskan bahwa entertaining saja tidak cukup. Psychosocial activities untuk trauma healing itu lebih specific. Sebagai contohnya belajar dari tsunami Aceh, anak-anak diajak bermain tapi bertujuan. Seperti main air untuk mengenalkan kembali pada air, bahwa air itu ya air. Tidak semua air jahat seperti tsunami. Setelah itu mereka diajak ke parit melihat air. Bermain di sana. Terus diajak ke sungai kecil, dan seterusnya. Kalau tentang musibah letusan gunung Merapi, harusnya mereka diperkenalkan tentang permainan letusan gunung, api dan sinar, debu, pasir, keramaian panik, menggambar gunung, keindahan gunung, dan lain sebagainya.
Sementara kopi telah habis. Saya hanya bisa tertawa hambar. Begitu banyak masalah sosial di negeri ini yang tak pernah kunjung selesai. Dan saya yakin omongan yang sinis ini pun akan menjadi polemik dan mengundang cibiran dan sinisan juga. Tapi bukankah diskusi akan membawa kita pada situasi agung : tercerahkan atau mencerahkan. Tapi saya yakin pribadi yang assertive adalah mereka yang bersedia merubah, berubah dan diubah. Masalah pendidikan diselesaikan oleh guru, masalah hukum oleh lawyer, masalah kesehatan oleh dokter dan paramedis, masalah sosial oleh pekerja sosial. sayangnya profesi social work di negeri ini belum menjadi prioritas dan kebutuhan. Aihhh... Berat3x... Hatiku selembar daun....
Depok, 27 Nopember 2010.
Saturday 27 November 2010
Pergi ke Toko Wayang
Pergi ke Toko Wayang
Akhirnya aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Judul: Pergi ke Toko Wayang
Cerpen oleh: Gunawan Maryanto, tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
Sumber: Korantempo.com
Akhirnya aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Judul: Pergi ke Toko Wayang
Cerpen oleh: Gunawan Maryanto, tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
Sumber: Korantempo.com
Tuesday 23 November 2010
Menggagas Model Layanan Rehabilitasi Sosial di Daerah Bencana di Indonesia
Menggagas Model Layanan Rehabilitasi Sosial di Daerah Bencana di Indonesia
Pusat Rehabilitasi Sosial (PRS)
Arif Rohman
Rohman, Arif. (2010). 'Menggagas Model Layanan Rehabilitasi Sosial di Daerah Bencana di Indonesia'. Disampaikan Pada Acara Workshop Koordinasi Penanganan Bencana di Masa Kedaruratan, Jakarta, 16 Juni 2010. Jakarta: Departemen Sosial RI.
ABSTRAK
Tulisan singkat ini mencoba membuka persoalan mengenai pentingnya konsep dan model layanan rehabilitasi sosial yang dapat dikerjakan oleh Departemen Sosial, dengan mengedepankan dan memfungsikan pekerja sosial secara optimal serta memperhatikan keunikan dan karakteristik bencana di Indonesia. Model layanan rehabilitasi sosial yang diusulkan ini, dipandang dapat langsung menyentuh kebutuhan para korban, sekaligus murah dari sisi pendanaan, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Departemen Sosial, khususnya Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman lapangan pada waktu terjadi tsunami Aceh, gempa dan gunung meletus di Yogyakarta, gempa Sumatera Barat 2007, serta gempa Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009.
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang rawan bencana, baik itu bencana alam maupun bencana sosial. Bencana alam banyak terjadi mengingat posisi geografis di Indonesia yang kurang menguntungkan dan banyaknya gunung berapi yang masih aktif, sehingga mudah sekali terjadi gempa, tanah longsor maupun letusan gunung berapi. Bencana sosial mudah terjadi, mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dan banyaknya suku bangsa dengan adat, tradisi, serta kebudayaan yang berbeda, sehingga potensial menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Gempa dan Tsunami di Aceh merupakan bencana terbesar yang dialami Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, dan telah menjadi laboratorium sosial penanganan bencana yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sebenarnya sudah menangkap isu ini dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC). Namun demikian masih disayangkan, sampai saat ini belum ditemukan model layanan baku dan standar yang dapat diterapkan di daerah bencana dengan cepat, sekaligus tepat sasaran. Hal ini dapat dimaklumi mengingat situasi krisis pada waktu bencana, disamping anggaran minim yang selalu menjadi persoalan mendasar yang klasik. Pertanyaan tentang model yang tepat dalam mitigasi (penanggulangan) bencana dan apa-apa saja yang bisa dilakukan pekerja sosial yang kita punyai, juga mendapatkan perhatian khusus, dan akan didiskusikan pula dalam tulisan ini.
B. Tim Reaksi Cepat (TRC) Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial: Tantangan dan Peluang
Saya ingin mengatakan bahwa hampir setiap lembaga baik itu lembaga pemerintah, LSM lokal (NGO), LSM internasional (INGOs), lembaga PBB (UN), bahkan media pun mempunyai Tim Reaksi Cepat (TRC), yang segera bergerak begitu terjadi bencana, baik untuk keperluan reportase, pengumpulan data, asesmen cepat/asesmen kebutuhan (rapid/needs assessment). Namun demikian hampir semua tim tersebut terfokus pada pemberian bantuan langsung seperti bantuan makanan, obat-obatan dan tenda (shelter). Mereka membawa bendera masing-masing dan umumnya bergerak sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang baik. Sebagai konsekuensinya, bantuan banyak menumpuk dan terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu dan kurang merata dalam pendistribusiannya. Memang saat ini sudah ada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang baru dibentuk dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, pengalaman penanganan bencana di Padang saat ini membuktikan bahwa masyarakat sudah terlanjur menganggap Departemen Sosial yang mengurusi persoalan ini. Apa yang saya ungkapkan di atas bisa diartikan sebagai peluang sekaligus tantangan. Peluang yang dimaksudkan di sini adalah masih adanya ruang yang tersedia bagi Departemen Sosial untuk memberikan layanan dan rehabilitasi sosial dalam masa tanggap darurat yang belum tergarap dengan baik oleh lembaga-lembaga penanggulangan bencana yang lain. Sedangkan tantangan di sini lebih mengacu pada perlunya model penanganan bencana yang baku dan standar yang dapat diterapkan di lapangan dengan membawa bendera Rehabilitasi Sosial dan Departemen Sosial RI.
C. Rehabilitasi Sosial Daerah Bencana: Negara Maju Vs Negara Berkembang
Pada waktu di Padang Pariaman, pada tanggal 8 dan 9 Oktober 2009, saya bertemu dengan 2 orang perempuan cantik (Moon dan Nussica), yang memperkenalkan diri sebagai social worker dari Hongkong. Mereka dengan begitu percaya dirinya mengatakan bahwa mereka akan melaksanakan konseling untuk korban gempa di Sumatera Barat. Mereka bertanya kepada saya, berapa jumlah pekerja sosial dari Departemen Sosial yang sudah turun ke lapangan dan memberikan layanan konseling. Saya menjawab bahwa ada sekitar 28 pekerja sosial dari Departemen Sosial yang datang dan memberikan layanan konseling. Saya berbohong untuk menjaga nama baik Departemen Sosial. Pembicaraan singkat ini saya akui membuat saya gelisah, tapi di sisi lain memberikan insight kepada saya bahwa layanan Rehabilitasi Sosial akan menjadi primadona di dalam penanganan bencana di Indonesia. Meskipun Rehabilitasi Sosial akan menjadi primadona, namun ada baiknya kita melihat mitigasi bencana di Negara maju seperti Australia dan Negara berkembang seperti Indonesia.
Di negara maju, jika terjadi bencana, maka bantuan pangan segera didistribusikan dengan cepat baik melalui jalur darat, laut, sungai maupun udara. Asumsinya untuk mencegah terjadinya kelaparan dan mengupayakan agar para korban bencana tetap bertahan (survive) pada masa darurat. Tim evakuasi juga dipersiapkan dengan baik dan langsung dioperasikan untuk menyelamatkan para korban yang masih terjebak di reruntuhan, hanyut dalam sungai, dan kondisi-kondisi lain yang serupa. Menariknya, setelah 1-2 hari pasca bencana, dan dengan banyaknya pertokoan yang sudah mulai dibuka secara normal, para korban dengan otomatis dapat segera hidup dengan normal kembali. Hal ini dikarenakan sistem di negara maju yang sudah terbentuk dengan baik. Hampir setiap orang memiliki rekening di bank, yang tidak hanya bisa diambil di bank maupun ATM saja, namun juga dapat diambil cash di mal-mal yang ada, pada waktu mereka berbelanja. Sistem pendataan yang terkomputerisasi dengan baik dan lengkap, memudahkan mereka dalam memberikan jaminan sosial melalui center link (sistem dimana orang yang tidak bekerja (pengangguran), anak maupun mahasiswa mendapatkan bantuan subsidi dalam bentuk uang yang ditransfer rutin setiap bulannya ke rekening mereka). Jadi bisa dibayangkan, manakala harta benda mereka habis dan rumah rusak/hancur, mereka masih memiliki uang di rekening masing-masing. Pemerintah negara maju juga dapat dengan mudah memberikan bantuan pada para korban melalui rekening tersebut secara otomatis. Di sini, sistem pendataan dan jaminan sosial yang sudah berjalan dengan baik, mengakibatkan penanganan-penanganan bencana menjadi tidak begitu kompleks ataupun rumit. Artinya, secara fisik korban sudah dipastikan aman, dan hanya membutuhkan layanan-layanan rehabilitasi sosial yang berhubungan dengan trauma yang dialaminya. Dengan kata lain, layanan rehabilitasi sosial menjadi primadona penanganan bencana di negara maju, seiring kekhawatiran akan meningkatnya angka bunuh diri (suicide) pasca bencana di negara maju.
Berbeda dengan negara maju, tidak semua orang di Indonesia mempunyai rekening di bank (tradisi menabung di bank masih relatif kurang). Sistem pendataan/registrasi penduduk belum terpusat atau terkomputerisasi. Parahnya sistem jaminan sosial juga dapat dikatakan belum menyentuh dan memberikan perlindungan kepada semua warga negara. Sebagai konsekuensinya, ketika terjadi bencana, mereka yang menjadi korban tidak memegang uang cash dan hanya mengharapkan bantuan pangan dan kesehatan dari pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusian untuk waktu yang relatif lama. Di sini urusan perut dan fisik lebih mengedepan dibanding negara-negara maju. Demikian juga dengan kasus-kasus trauma yang ada di negara berkembang. Kasus tersebut tidak sebanyak di negara-negara maju. Hal ini besar kemungkinan dikarenakan adanya benteng agama dan kepercayaan yang kuat yang dianut hampir seluruh orang Indonesia. Hal ini beda dengan negara maju yang memang kebanyakan atheism (tidak memiliki agama) yang berdampak pada tinggi angka bunuh diri akibat coping capacities (ketahanan mengatasi masalah) dan kontrol sosial-kultural yang rendah. Maaf jika pernyataan ini agak judgemental sifatnya. Pada konteks ini, rehabilitasi sosial di daerah bencana dianggap bukan skala prioritas (kurang begitu penting).
Pertanyaan selanjutnya berkembang, apakah benar rehabilitasi sosial tidak begitu penting pada penanganan korban pasca bencana? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan menjawabnya dengan mengetengahkan fakta-fakta yang terdapat di lapangan. Kenyataan membuktikan bahwa jika terjadi bencana baik bencana alam maupun bencana sosial, anak-anak yatim piatu (orphan) yang ditinggal mati orang tuanya dan kemudian ikut keluarga dekatnya (relative) yang juga tertimpa musibah, menjadi rawan (vulnerable) akan keterlantaran, tindak kekerasan (fisik, ekonomi dan seksual), eksploitasi ekonomi, dan rawan diperdagangkan (trafficking). Ibu-ibu yang menjadi janda akibat ditinggal mati suaminya dan mempunyai banyak anak, sangat rentan mengalami trauma, stress, ataupun depresi. Mereka yang masuk dalam kategori rawan sosial ekonomi ini, cenderung mengambil jalan pintas agar tetap survive, termasuk dengan mengambil jalan pintas (masuk ke dunia prostitusi ataupun perdagangan obat-obat terlarang). Hal ini belum terhitung para korban yang mengalami kecacatan akibat bencana dan membutuhkan layanan rehabilitasi sosial karena kecacatannya tersebut (kasus korban yang menggergaji kakinya sendiri agar selamat dari reruntuhan akibat gempa di Padang, saat ini masih depresi akibat kehilangan kakinya). Fakta lain juga menunjukkan bagaimana para lanjut usia sangat rawan mengalami keterlantaran, terutama bagi mereka yang hidup seorang diri dan tidak memiliki keluarga lagi.
Uraian yang saya kemukakan secara singkat mengenai fakta-fakta bencana menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial masih tetap menjadi isu yang sangat penting dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengemas layanan rehabilitasi sosial dengan lebih professional, dan dapat berjalan secara simultan dengan layanan-layanan lainnya. Bagi saya, persoalan inilah yang sering menjadi tantangan sekaligus pertanyaan bagi Tim TRC dalam melakukan tugasnya di daerah bencana. Jika kerja tim ini tidak diperoleh kejelasan, dipastikan kontribusinya juga minim, dan pada akhirnya akan mengecewakan masyarakat dan membawa dampak yang kurang baik terhadap citra Departemen Sosial dalam penanganan bencana.
D. Model Layanan Yang Diusulkan
Model layanan yang saya usulkan adalah PUSAT REHABILITASI SOSIAL (SOCIAL REHABILITATION CENTER) DEPARTEMEN SOSIAL RI. Saya tidak memakai istilah Pusat Anak (Children Center) karena konsep ini terlalu spesifik dan mengkotakkan diri. Saya juga tidak menggunakan nama TRC karena istilah ini lebih tepat untuk Tim yang akan mengerjakan layanan, bukan nama layanan itu sendiri. Artinya, yang nanti kita jual adalah program dan layanan kita di masyarakat, bukan Tim TRC, mengingat banyak lembaga juga yang menggunakan pengistilahan yang sama yaitu Tim Reaksi Cepat (TRC).
Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) ini memberikan layanan berupa :
1. Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan ini berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis untuk para korban bencana yang umumnya rawan terkena penyakit.
2. Layanan Dapur Umum
Layanan dapur umum ini khusus untuk makanan tambahan, bisa berupa bubur kacang hijau, telor rebus, susu, roti, dan makanan tambahan lainnya yang disesuaikan dengan anggaran Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
3. Layanan Konseling
Layanan konseling diperuntukkan untuk korban yang mengalami trauma ataupun yang menunjukkan gejala-gejala ke arah trauma.
4. Layanan Perpustakaan Gratis
Layanan perpustakaan ini penting bagi korban dalam rangka refreshing yang memberikan suasana lain, sekaligus mendukung pendidikan khususnya anak-anak. Perpustakaan ini dapat berupa buku-buku cerita, novel ataupun majalah bekas yang sudah diseleksi isinya terlebih dulu oleh Tim TRC, seperti majalah bobo, cerita Donald bebek, dan lain sebagainya.
5. Layanan Psikososial
Layanan psikososial dilakukan tidak lagi langsung oleh pekerja sosial, namun dilakukan dengan merekrut anak-anak yang cukup dewasa dengan sukungan pekerja sosialnya. Konsep yang dikedepankan adalah dari anak-anak untuk anak-anak. Layanan ini dapat berupa bermain bersama dan dinamika kelompok. Layanan ini bisa diintegrasikan dengan mengundang para artis, putri Indonesia, maupun Kak Seto untuk menghibur anak-anak dengan permainan atau mendongeng untuk anak-anak.
6. Layanan Keagamaan
Layanan keagamaan ini dapat berupa ceramah dan mengaji pada malam hari dengan menggunakan tenaga rohaniwan setempat.
7. Layanan Data
Layanan ini berupa penyediaan data-data tentang jumlah korban dan penyandang masalah khusus, seperti anak yatim piatu, janda/wanita rawan sosial ekonomi, penyandang cacat, dan lanjut usia yang membutuhkan perlindungan khusus, by name by address. Dengan adanya layanan data ini, lembaga lain yang lewat dan tertarik bisa berkoordinasi dan bekerjasama dalam membantu korban sesuai spesifikasi layanan yang dipadukan.
8. Layanan Lain
Layanan lain dapat berupa pemberian bantuan khusus, malam penggalangan dana, air bersih dan sanitasi, dan layanan koordinasi yang berupa penguatan pada Dinas Sosial baik di tingkat kabupaten atau propinsi untuk menyelenggarakan pertemuan koordinasi perlindungan sosial untuk terciptanya keterpaduan.
E. Langkah-langkah
• Pra Bencana
Pra bencana adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pusat sebagai antisipasi dan persiapan jika terjadi bencana. Artinya, Tim TRC Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sendiri adalah Tim yang solid dan memang siap bencana. Jika tidak dilakukan, berarti kita sendiri belum siap bencana. Kegiatan ini dapat berupa :
1. Penyiapan tenda untuk Posko Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI. Tim TRC sudah punya tenda sendiri yang bertuliskan Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI, dan tidak mengharapkan atau meminta-minta tenda dari pihak lain. Langkah ini sudah diterapkan oleh LSM-LSM seperti PKPU, Dompet Dhuafa, dll.
2. Penyiapan tenaga medis dan obat-obatan. Departemen Sosial sudah punya directory khusus nama-nama dokter (baik yang tua maupun dokter muda) yang bersedia jadi relawan Departemen Sosial di daerah bencana. Jalinan relasi dan kesepakatan harus dirintis mulai dari sekarang, termasuk dengan lembaga penyuplai obat-obatan.
3. Penyiapan buku-buku dan majalah bekas. Buku-buku dan majalah bekas harus sudah dipersiapkan dari sekarang. Artinya ketika ada bencana kita tidak perlu lagi kebingungan dan sibuk membeli majalah. Meskipun kita bisa beli buku bekas di Kwitang, Pasar Senen ataupun di Jatinegara, kita juga perlu punya directory lembaga-lembaga yang menyediakan majalah dan buku bekas.
4. Penyiapan bahan makanan tambahan. Kita harus sudah berpikir untuk menjalin kegiatan dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam susu dan permakanan mulai dari sekarang. Jadi begitu terjadi bencana kita tinggal memobilisir bantuannya. Kita juga memperhitungkan peralatan masak yang sederhana ketika terjadi bencana. Mungkin satu mobil untuk masak di lapangan sangat diperlukan.
5. Penyiapan kelengkapan administrasi dan Tim TRC, yang meliputi :
a. Form-form isian untuk assessment, pendataan, dan konseling.
b. Surat tugas dan kartu identitas Tim TRC, spanduk dan stiker Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI. Semua surat tugas harus satu pintu supaya tidak memusingkan dalam koordinasi lapangan (misal : pertanyaan itu siapa, TRC mana, dll).
c. ATK dan alat komunikasi yang dibutuhkan (direkomendasikan tech bag yang didalamnya terdapat laptop anti goncangan yang melekat di tas dan alat komunikasi lainnya, sehingga sulit untuk dicuri orang).
d. Mobil TRC dan sepeda motor untuk kegiatan penjangkauan.
• Pasca Bencana
1. Tim pertama TRC dilepas di Bandara Halim oleh Pejabat Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial RI dengan doa bersama untuk meningkatkan semangat Tim TRC dan meluruskan tujuan bahwa ini bukan untuk diri sendiri, kelompok, atau Depsos, tapi ini adalah misi kemanusiaan untuk menyelamatkan orang demi bangsa dan Negara.
2. Tim TRC datang ke lokasi bencana dengan membawa peralatan yang dipandang urgent. Tim ini harus bisa akses ke halim (Hercules) pada penerbangan pertama.
3. Tim berkoordinasi dengan BNPB propinsi untuk memperoleh data dan isu awal. Tim juga mencatat lembaga-lembaga yang sudah turun, khususnya INGOs dan UN untuk koordinasi ke depan.
4. Tim berkoordinasi dengan Dinas Sosial Propinsi, Dinas Sosial Kabupaten, PSM dan tokoh masyarakat.
5. Tim turun ke lapangan dan menentukan titik lokasi yang dipandang terparah dan strategis untuk diberikan pelayanan.
6. Tim mengkoordinasikan laporan awal ke Koordinator TRC/Depsos Pusat.
7. Tim mulai mendirikan tenda dengan dukungan dari semua pihak dan memberikan bantuan darurat untuk Posko Utama Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI.
8. Tim kedua, ketiga dan seterusnya, segera bergabung dan melengkapi layanan yang diberikan oleh Posko Utama Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI.
9. Tim melakukan monitoring dan evaluasi, dan mulai menginisiasi rapat-rapat koordinasi perlindungan sosial baik di dinas sosial kabupaten/kota maupun propinsi.
10. Tim melakukan penjangkauan sambil menentukan titik lokasi lain untuk Posko Tambahan/Cabang Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI yang jumlahnya disesuaikan dengan dana yang tersedia.
11. Tim mendirikan posko cabang Posko Tambahan/Cabang Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI dan segera mengoperasikannya.
12. Tim melakukan monitoring dan evaluasi termasuk menentukan jangka waktu layanan yang diberikan (biasanya 14 hari sejak bencana dan bisa diperpanjang).
13. Tim telah menyelesaikan tugasnya dan kembali ke pusat, posko-posko baik posko utama atau cabang dapat dialihkan ke Dinas Sosial Propinsi atau Kabupaten jika memungkinkan, tergantung kesepakatan.
F. Pengorganisasian
Untuk melaksanakan model layanan Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI di daerah bencana perlu dilakukan pengorganisasian dengan mengedepankan asas satu komando sebagai berikut :
1. Ditunjuk Koordinator Tim TRC Pusat dimana semua informasi dan keputusan ada di tangan koordinator dan bukan setiap orang di Depsos Pusat. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kebingungan petugas lapangan tentang siapa yang dihubungi di tingkat Pusat.
2. Ditunjuk Koordinator Utama Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI yang bertanggung jawab terhadap semua kegiatan di lapangan dan koordinasi dengan Koordinator Tim TRC Pusat, termasuk lobbying dengan lembaga-lembaga lain.
3. Ditunjuk Koordinator untuk urusan media.
4. Ditunjuk Koordinator untuk urusan data.
5. Ditunjuk Koordinator untuk urusan kesehatan.
6. Ditunjuk Koordinator untuk urusan dapur umum.
7. Ditunjuk Koordinator untuk urusan perpustakaan gratis
8. Ditunjuk Koordinator untuk urusan layanan konseling, psikososial dan keagamaan.
G. Keuntungan
Adapun keuntungan model layanan Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI di daerah bencana adalah sebagai berikut.
1. Kegiatannya baku dan bisa diterapkan di semua daerah bencana.
2. Flexibel dalam pelaksanaannya.
3. Murah karena dapat disesuaikan dengan jumlah anggaran.
4. Alur kerja dan garis komando sederhana.
5. Secara politis dapat meraih simpati publik.
6. Belum ada lembaga yang memberikan layanan rehabilitasi sosial secara integratif dan utuh.
7. Dipastikan lembaga lain baik internal maupun eksternal akan merapat pada Pusat Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation Center) Departemen Sosial RI, baik untuk program jangka pendek maupun jangka panjang.
8. Jika ada pejabat baik dari internal maupun eksternal yang akan meninjau, kita tidak akan kelabakan ataupun serabutan mengada-adakan kegiatan, karena kegiatan di Pusat Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI sudah pasti terlaksana 24 jam.
H. Penutup
Demikianlah sekelumit pemikiran mengenai model layanan rehabilitasi sosial sederhana di daerah bencana. Dana boleh terbatas, tapi yang paling penting adalah kita akan melakukan apa dan memposisikan sebagai apa, karena kita membawa nama besar Departemen Sosial RI. Besar harapan saya tulisan ini akan bermanfaat bagi pembuat kebijakan di Departemen Sosial RI khususnya Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Model ini hanya usulan dan dapat diubah dan disesuaikan dengan kebijakan Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
PROGRAM PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, DAN ANAK JALANAN TERPADU MELALUI PENGUATAN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA BERORIENTASI DESA
PROGRAM DESAKU MENANTI
Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]
Arif
Rohman
University
of New England
School of
Behavioural, Cognitive and Social Sciences
Cite:
Rohman,
Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan
Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'.
Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta,
14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.
Cite:
Rohman,
Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan
Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'.
Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta,
14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.
A.
Latar Belakang
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan
gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002
: 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker
yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington &
Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru
menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya,
sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman
liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar.
Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau
malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui
dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai
akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang
sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock).
Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang
tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang
frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh
pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya
mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk
melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan
gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002
: 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker
yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington &
Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru
menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya,
sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman
liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar.
Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau
malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui
dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai
akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang
sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock).
Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang
tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang
frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh
pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya
mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk
melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
B.
Data dan Fakta
Dalam
upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan,
pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai
berikut :
1. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian
Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang,
jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat
pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi.
Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan
sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
2. Angka
gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik
kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam
konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang
desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan
kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota
Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah
Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.
3. Fakta
membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang
masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani
kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit.
Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang
memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan
mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi
budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di
kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut
‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang
lebih mencerminkan orang kampung.
4. Berbagai
laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah
mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988
tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang
untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu
ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi
sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah
mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti
Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan
rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah
gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan
kota-kota lainnya.
5. Masalah
gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja
dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari
tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah
mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali
menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka
bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru
memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu
‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan
pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun
diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang
bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke
tetangganya maupun ke penduduk setempat.
Dalam
upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan,
pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai
berikut :
1. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian
Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang,
jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat
pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi.
Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan
sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
2. Angka
gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik
kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam
konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang
desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan
kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota
Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah
Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.
3. Fakta
membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang
masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani
kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit.
Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang
memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan
mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi
budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di
kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut
‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang
lebih mencerminkan orang kampung.
4. Berbagai
laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah
mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988
tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang
untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu
ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi
sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah
mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti
Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan
rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah
gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan
kota-kota lainnya.
5. Masalah
gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja
dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari
tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah
mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali
menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka
bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru
memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu
‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan
pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun
diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang
bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke
tetangganya maupun ke penduduk setempat.
C.
Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial
Permasalahan,
gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks.
Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun
mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang
berkembang saat ini:
1.
Persoalan
Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan
pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat
diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat
dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus
dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan
penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini
bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara
langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder
dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat
dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya
cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya
penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya
preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota.
Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota.
Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para
perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya
maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan
keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
2.
Persoalan
Hilir
Kaum urban yang dating ke
kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal
uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai
’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa
survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju
adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir
stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian
terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman
(2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan
pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang
justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus
untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka
dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena
sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah
kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan
penyerobotan secara liar.
Persoalan kemudian muncul manakala
kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai
pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan
menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara
tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat
kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi
ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang
yang aneh di lingkungan tersebut.
Pengemis sebenarnya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk
hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas,
bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai
dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar
akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi
ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih
tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan
(PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh
keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu
melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah
daerah asal gelandangan dan pengemis.
3.
Persoalan
Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak
jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga.
Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan
ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh
pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.
Banyak program untuk anak jalanan
yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah,
dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan
nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya
dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya
anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun
mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun
kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di
jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika
paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan
pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap
di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat
untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.
Semua program layanan akan lebih
efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi
kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau
kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih
mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik
anak (the best interest of the child).
Permasalahan,
gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks.
Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun
mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang
berkembang saat ini:
1.
Persoalan
Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan
pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat
diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat
dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus
dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan
penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini
bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara
langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder
dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat
dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya
cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya
penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya
preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota.
Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota.
Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para
perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya
maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan
keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
2.
Persoalan
Hilir
Kaum urban yang dating ke
kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal
uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai
’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa
survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju
adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir
stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian
terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman
(2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan
pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang
justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus
untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka
dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena
sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah
kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan
penyerobotan secara liar.
Persoalan kemudian muncul manakala
kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai
pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan
menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara
tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat
kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi
ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang
yang aneh di lingkungan tersebut.
Pengemis sebenarnya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk
hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas,
bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai
dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar
akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi
ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih
tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan
(PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh
keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu
melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah
daerah asal gelandangan dan pengemis.
3.
Persoalan
Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak
jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga.
Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan
ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh
pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.
Banyak program untuk anak jalanan
yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah,
dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan
nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya
dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya
anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun
mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun
kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di
jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika
paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan
pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap
di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat
untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.
Semua program layanan akan lebih
efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi
kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau
kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih
mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik
anak (the best interest of the child).
D.
Program Yang Diajukan
1. Nama Program
Nama program yang diajukan adalah
‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui
Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).
2. Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku
Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak
jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah
inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang
selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal
para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan
akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah,
pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah
menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari
masyarakat.
3. Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program
Desaku Menanti adalah :
a. Gelandangan.
b. Pengemis.
c. Anak
Jalanan.
d. pemerintah
Daerah.
e. Lembaga
Pendidikan.
f. Dunia
Usaha (CSR).
g. Masyarakat.
4. Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program
yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu
kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara
bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji
coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan
pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke
depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.
Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di
tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis,
maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah
lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)
Kampanye
Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan
mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di
Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a) Rapat
koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b) Penyuluhan
sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat
dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran
film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran
pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke
kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar
panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan
sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada
permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta
anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.
2) Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok
usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian
penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.
3) Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik
lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan
ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan
Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka
masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan
konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan
dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui
bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta
arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.
4) Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia.
b. Kegiatan
Dukungan
1) Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan
dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta.
Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis
yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi
dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat
dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.
2) Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas
Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan
kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan
gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih
Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun
sekali.
3) Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan
Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas
Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI,
maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan
’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati
publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.
c. Kegiatan
Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial
selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti
gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan
tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan
ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah
asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi
keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1) Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan
Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama
dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan
alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal.
Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi
yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI
Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3
propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi
di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah
yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam
pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial
berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan
dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat.
Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera.
Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial
yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk
menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk
menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi
sosial).
2) Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui
’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang
sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan
bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial
Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda
setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak
untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian
diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang
dimilikinya.
3) Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan
dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan
gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan
keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas
Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini
berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui
kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan
mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat
kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.
4) Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka
yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai
kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih
masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan
Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi
mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di
daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan
transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu.
Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.
5) Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku
Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan
baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus
untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan
kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).
5. Tahapan Kegiatan
a. Penjangkauan
ü Untuk
penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan
memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk
penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja
sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di
panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.
b. Registrasi
dan Identifikasi
ü Untuk
program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan,
didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk
program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi
yustisi dilakukan.
c. Penentuan
Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi
ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
d. d.
Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan
layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan
perlengkapan sekolah).
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian
pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung,
bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).
e. Tindak
Lanjut
ü Untuk
program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan
ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor
dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun
buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan
mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye
sosial di masa mendatang.
f. Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan
pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat
mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari
lembaga-lembaga terkait di daerah.
g. Monitoring
dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan
secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.
6. Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus
menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara
luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media
nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan
dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).
7. Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari
Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a. Mantan
gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan
pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b. Ketahanan
ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c. Pemerintah
daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan
mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa
mendatang.
d. Masyarakat
mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif
baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e. Kesadaran
orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk
kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya
(untuk anak jalanan).
f. Intitusi/lembaga
penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat
proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai
dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).
1. Nama Program
Nama program yang diajukan adalah
‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui
Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).
2. Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku
Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak
jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah
inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang
selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal
para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan
akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah,
pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah
menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari
masyarakat.
3. Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program
Desaku Menanti adalah :
a. Gelandangan.
b. Pengemis.
c. Anak
Jalanan.
d. pemerintah
Daerah.
e. Lembaga
Pendidikan.
f. Dunia
Usaha (CSR).
g. Masyarakat.
4. Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program
yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu
kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara
bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji
coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan
pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke
depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.
Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di
tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis,
maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah
lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)
Kampanye
Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan
mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di
Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a) Rapat
koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b) Penyuluhan
sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat
dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran
film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran
pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke
kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar
panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan
sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada
permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta
anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.
2) Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok
usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian
penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.
3) Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik
lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan
ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan
Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka
masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan
konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan
dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui
bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta
arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.
4) Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh
titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia.
b. Kegiatan
Dukungan
1) Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan
dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta.
Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis
yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi
dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat
dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.
2) Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas
Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan
kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan
gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih
Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun
sekali.
3) Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan
Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas
Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI,
maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan
’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati
publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.
c. Kegiatan
Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial
selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti
gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan
tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan
ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah
asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi
keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1) Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan
Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama
dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan
alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal.
Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi
yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI
Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3
propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi
di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah
yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam
pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial
berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan
dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat.
Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera.
Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial
yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk
menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk
menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi
sosial).
2) Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui
’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang
sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan
bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial
Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda
setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak
untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian
diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang
dimilikinya.
3) Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan
dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan
gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan
keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas
Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini
berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui
kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan
mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat
kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.
4) Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka
yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai
kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih
masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan
Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi
mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di
daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan
transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu.
Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.
5) Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku
Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan
stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam,
sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan
alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan
baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus
untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan
kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).
5. Tahapan Kegiatan
a. Penjangkauan
ü Untuk
penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan
memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk
penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja
sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di
panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.
b. Registrasi
dan Identifikasi
ü Untuk
program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan,
didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk
program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi
yustisi dilakukan.
c. Penentuan
Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi
ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
d. d.
Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk
program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan
layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan
perlengkapan sekolah).
ü Untuk
program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan
identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian
pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung,
bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).
e. Tindak
Lanjut
ü Untuk
program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan
ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor
dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun
buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan
mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye
sosial di masa mendatang.
f. Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan
pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat
mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari
lembaga-lembaga terkait di daerah.
g. Monitoring
dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan
secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.
6. Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus
menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara
luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media
nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan
dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).
7. Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari
Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a. Mantan
gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan
pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b. Ketahanan
ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c. Pemerintah
daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan
mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa
mendatang.
d. Masyarakat
mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif
baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e. Kesadaran
orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk
kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya
(untuk anak jalanan).
f. Intitusi/lembaga
penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat
proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai
dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).
E.
Analisis Program
1. Kekuatan
ü Program
Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga
mencakup kegiatan preventif.
ü Kegiatan-kegiatan
dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal
sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif
kecil.
ü Program
Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan
gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu
nasional.
2. Kelemahan
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh
dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü Program
Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat
dikatakan belum tersentuh.
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari
berbagai pihak dalam pelaksanaannya.
3. Peluang
ü Program
Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs)
sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional
yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü Program
Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah
asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü Program
Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat
dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.
4. Ancaman
ü Resistensi
atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang
ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü Adanya
stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh
masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü Jika
Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program
ini terncam gagal.
1. Kekuatan
ü Program
Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga
mencakup kegiatan preventif.
ü Kegiatan-kegiatan
dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal
sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif
kecil.
ü Program
Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan
gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu
nasional.
2. Kelemahan
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh
dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü Program
Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat
dikatakan belum tersentuh.
ü Program
Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari
berbagai pihak dalam pelaksanaannya.
3. Peluang
ü Program
Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs)
sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional
yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü Program
Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah
asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü Program
Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat
dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.
4. Ancaman
ü Resistensi
atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang
ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü Adanya
stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh
masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü Jika
Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program
ini terncam gagal.
F.
Pembiayaan
Pembiayaan
adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota.
Pembiayaan
adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota.
G.
Penutup
Demikianlah
garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan,
Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga
Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di
perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol
sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku
Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke
desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan
program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan
Keluarga).
Bibliografi:
Evers,
Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme
di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rohman,
Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang
Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi
Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak
diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas
Indonesia.
Rubington,
Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The
Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.
Schwab,
William A. (1992). The Sociology of
Cities. New Jersey : Prentice Hall.
Suparlan,
Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’,
dalam Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Weinberg,
S. Kirson. (1971). Social Problems in
Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.
*Kredit
diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,
yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa
bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.
**Sebagai
insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber
referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari
tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis
makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa
mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan
tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi
praktek plagiarism di Indonesia.
Bagian
yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan
gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius
baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf
(2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit
kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg
(1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang
pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung
halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup
di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak
perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas
karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah
kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu
identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari
pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out
of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi
generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai
generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan
tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal,
pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan
terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
[1]
Diajukan
untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan
gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.
For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here
Demikianlah
garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan,
Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga
Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di
perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol
sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku
Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke
desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan
program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan
Keluarga).
Bibliografi:
Evers,
Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme
di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rohman,
Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang
Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi
Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak
diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas
Indonesia.
Rubington,
Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The
Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.
Schwab,
William A. (1992). The Sociology of
Cities. New Jersey : Prentice Hall.
Suparlan,
Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’,
dalam Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Weinberg,
S. Kirson. (1971). Social Problems in
Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.
*Kredit
diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,
yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa
bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.
**Sebagai
insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber
referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari
tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis
makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa
mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan
tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi
praktek plagiarism di Indonesia.
Bagian
yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan
gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius
baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf
(2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit
kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg
(1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang
pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung
halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup
di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak
perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas
karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah
kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu
identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari
pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out
of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi
generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai
generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan
tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal,
pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan
terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
[1]
Diajukan
untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan
gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.
For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here
Subscribe to:
Posts (Atom)