Monday 20 December 2010

SEJARAH MINANGKABAU

SEJARAH MINANGKABAU

A. KERAJAAN PERTAMA DI GUNUNG MERAPI

1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain / Alexander Agung dari Makadunia / Macedonia tiga bersaudara (yaitu : Maharajo Alif, Maharajo Dipang dan Maharajo Dirajo), ketika dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai (naga) di dasar laut. Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.

Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, dan menjadi Raja di Bizantium kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya. Mulanya wujud Teratak lalu berkembang menjadi Dusun lalu jadi Nagari lalu jadilah Koto dan akhirnya menjadi Luhak. Daerah Minangkabau yang asal adalah disekitar Merapi, Singgalang, Tandikat dan Saga. Semuanya terbagi atas 3 Luhak atau Luhak Nan Tigo.

2. Galundi Nan Baselo
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai. Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.

Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”. Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh. Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.

3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.

Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu Raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo.

Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi. Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang.

Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.


4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang
Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang. Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “Penghulu” dan bergelar “Datuk”. • Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan • Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.

5. Sikati Muno
Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno.
Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh.

Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga. Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru.

Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab.

Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.

(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)


2. KERAJAAN MINANGKABAU BARU

Pusat kerajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah berganti musim adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suri Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu. Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
3. Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito.

Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo.

Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya.

Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibu dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku.

Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua,

Maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.

Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perpatih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun.
Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gombak (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit.

Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya. Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit.

Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman.

Gadjah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau.

Kalau di zaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.

3. Asal Usul Kata Minangkabau


Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah. Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang. Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri. Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu itu. Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya. Ketika melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu. Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan darah. Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan. Sejak itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau) 4. Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan


Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan.
Negeri Sembilan sekarang

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor. Dalam tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling. Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah ini sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas. Patun mereka berbunyi : Leguh legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke PadangGenta kerbau berbunyi jugaBiar sepiring dapat pagiWalau sepinggan dapat petangPagaruyung teringat juga Negeri Sembilan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama “Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya. Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang anggotanya yang bernama : “Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri”. Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku Ja’far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau ialah keturunan yang kesebelas dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 - 1795. Pemerintahan Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama : Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu.

Kedatangan bangsa Minangkabau Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.

Rombongan Pertama Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.

Rombongan Kedua Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.

Rombongan Ketiga Rombongan ketiga ini datang dari Batu Sangkar juga, keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.

Rombongan Keempat Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini. Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo Balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek. Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya. Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang masing-masing adalah sbb;

1. Tanah Datar
2. Batuhampar
3. Seri Lemak Pahang
4. Seri Lemak Minangkabau
5. Mungka
6. Payakumbuh
7. Seri Malanggang
8. Tigo Batu
9. Biduanda
10. Tigo Nenek
11. Anak Aceh
12. Batu Belang

Fakta-fakta dan problem Sejarah Pada sebuah tempat yang bernama Sungai Udang kira-kira 23 mil dari Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam keramat. Disana didapati juga beberapa batu bersurat seperti tulisan batu bersurat yang terdapat di Batu Sangkar. Orang yang bermakam disana bernama Syekh Ahmad dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal dalam tahun 872 H atau 1467 Masehi. Dan masih menjadi tebakan yang belum terjawab, mengapa kedatangan Sekh itu dahulu kesini dan dari luahk mana asalnya.

Raja berasal Minangkabau Dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar. Raja Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat 2 orang anak Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi : Be raja ke JohorBertali ke SiakBertuan ke Minangkabau Kedatangan beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang kalau dimasukkan ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan dinobatlkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja Malewar yang bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera. Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku Alang Husin, Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat dalam tahun 1808 mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah seorang puteranya. Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang Delapan di Minangkabau. Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824. Raja Lenggang kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua orang bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika raja Lenggang meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan almarhum ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yang turun temurun menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam (1861-1869). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan : Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872, Yang Dipertuan Antah 1872-1888, Tuanku Muhammad 1888-1933, Tuanku Abdul Rahman 3/8/1933-1/4/1960, Tuanku Munawir 5/4/1960-14/4/1967, Tuanku Ja’far dinobatkan 18/4/1967.

Terbentuknya Negeri Sembilan Semasa dahulu kerajaan negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Minangkabau. Yang menjadi raja dinegeri ini asal berasal dari keturunan Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama dengan Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut undang-undang adat di Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya. Perpindahan penduduk ini terjadi bermula pada abad ke :XIV yaitu ketika pemerintah menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh diluar negeri. Mereka harus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru dan kemudian menetap didaerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat menemui tanah kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat perkampungan disitu. Ada pula yang bersatu dengan rakyat asli yang ditemui merka dan menjadi pemimpin disana. Sudah tentu adat-adat, undang-undang, kelaziman dinegeri asalnya yang dipergunakannya pula dinegeri yang baru itu. Sebagai sudah diuraikan orang-orang Minangkabau itu menjalani seluruh daerah : ke Jambi, Palembang, Indragiri, Taoung Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainya. Sebagiannya menyeberangi Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan. Pada abad ke XVI pemerintahan negeri mereka disana sudah mulai tersusun saja. Mereka mendirikan kerajan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan kerajan kecil-kecil itu mereka namakan NEGERI SEMBILAN. Negara ini terjadi sewaktu Minangkabau mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil ini dan diperlindungkan dibawah kerajan Johor. Setelah negara kesatuan ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja di Negrei Sembilan itu. Pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang Dipertuan Seri Menanti. Asal usul anak negeri disitu kebanyakan dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu dari : Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu Hampar, Simalanggang dan sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari negeri-negeri mana mereka berasal maka nama-nama negeri itulah menjadi suku mereka. Sebagian tanda bukti bahwa rakyat Negeri Sembilan itu kebanyakan berasal dari Luhak Lima Puluh Kota sampai sekarang masih terdapat kata-kata adat yang poluler di Lima Puluh Kota : “Lanun kan datang merompak, Bugis kan datang melanggar”. Kata-kata adat ini sering tersebut dalam nyanyian Hikayat Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Di tanah Melaka kata-kata ini menjadi kata sindiran atau cercaan bagi anak-anak nakal dan dikatakan mereka “anak lanun” atau anak perompak. Kalau dibawa kepada jalan sejarah diatas tadi, maka yang dimaksud dengan “lanun” itu ialah perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang hendak merampas Negeri Sebilan. Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja tadi. Dan memang aneh, kata lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat Lima Puluh Kota ini tidak dikenal oleh rakyat Luhak Agam dan sedikit oleh rakyat rakyat Luhak Tanah Datar. Karena memang fakta sejarah keturunan anak negeri Sembilan itu sebagian besar berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Nama suku-suku rakyat disana menjadi bukti yang jelas. Oleh karena Sultan Johor sudah memberikan bantuannya dalam melindungi rakyat Negeri Sembilan ini dari jarahan lanun atau Daeng Kemboja, disebabkan ini pulalah Yang Dipertuan Pagaruyung memberikan bantuan kepada Sultan Johor dalam memberikan bantuan ikut bertempur di Siak untuk memerangi bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Negeri Sembilan pada khususnya, Indonesia - Malaysia pada umumnya. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)

Reviving 'adat perpatih'

Reviving 'adat perpatih'



GREAT cultures of the world have died as a result of neglect.

"When a culture is not being practised anymore, it dies. This has happened in Europe," says Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) social anthropologist Professor Datuk Shamsul Amri Baharuddin.

The key to safeguarding cultures is consistent awareness programmes besides practising them.

Shamsul, who is also the director of UKM's Institute of the Malay World and Civilisation (ATMA) and Institute of Occidental Studies, says that adat perpatih may also die if no concerted efforts are made to preserve this often misunderstood culture.

Adat perpatih is named after Datuk Perpatih, the first person to practise it.

It has roots tracing back partly to Minangkabau, Sumatra, Indonesia from where settlers migrated to this region during the 15th and 16th centuries in search of a better life.

At the time, the indigenous communities in Malaya were already practising the matrilineal social system.

It has been said that adat perpatih's strength is its holistic nature. It guides practitioners in every aspect of their lives - from managing a family to running a business.

It also teaches a democratic system of conduct and thoughts. Both men and women are consulted during occasions to overcome obstacles and to provide solutions.

However, due to lack of understanding about adat perpatih, outsiders or non-practitioners only recognise it for its matriarchal nature.

Erosion of adat perpatih has set in as more and more people abandon the culture.

Shamsul blames this on cultural pessimists who compartmentalise modernity and old tradition.

"This is wrong. We should celebrate the dichotomy of the old and modern," he says.

He cites Japan as a shining example of how modernity and the traditional coexist harmoniously.

"Japan is culturally rich yet very technologically advanced," he adds.

Although cultural disintegration is inevitable, there should always be space for adat perpatih to thrive and exist for generations to come.

With this in mind, ATMA and the Negri Sembilan state government recently joined forces to organise the Persukuan Adat Perpatih and Negri Sembilan Traditional Food festival in Bangi.

The carnival was aimed at introducing unique features of adat perpatih to Negri Sembilan folks, especially the younger generation, and those from other states.

The festival in Bangi, the first time it was held outside of Negri Sembilan in 10 years, attracted some 8,000 visitors.

Shamsul is happy with the huge turn out.

"This is part of the process of keeping culture alive. So naturally we want as many outsiders to come and participate in it," he says.

The collaboration between Negri Sembilan state government and ATMA does not stop at being co-organisers of the Persukuan Adat Perpatih and Negri Sembilan Traditional Food festival.

"We are in the process of creating an academic hub in this area," says Shamsul.

On its own, Atma has digitalised adat perpatih by setting up a portal on the social systems, available for the public at ATMA's website at www.malaycivilization.com

"Technology can be a conduit to channel awareness and appreciation of adat, especially among youngsters who are enamoured with technology."

Possible collaborations between ATMA and the Negri Sembilan state government, in particular the state museum, are endless.

"In the future, we may study the social functionality of adat perpatih. We also intend to share our researchers' expertise with the state government and the state museum," says Shamsul.

ATMA has the technology and know-how to help keep knowledge on adat perpatih up-to-date. But technology, Shamsul admits, has its limitations.

"Where technology fails, the state museum can fill the gap. But we at Atma will assist the state museum in expanding its collection on adat perpatih."

Shamsul, who lauds the setting up of adat perpatih clubs in 50 schools in the state, says that there is always room for improvement.

For starters, a knowledge centre for adat perpatih should be established in Negri Sembilan.

"The state museum, for example, should 'package' adat perpatih according to age cohorts. There are enough examples for us to follow and make this a success."

He hopes that these efforts will persuade the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation to recognise adat perpatih as an intangible world heritage in the future.

"If Angkor Watt can be accepted as a tangible world heritage, why can't adat perpatih be accepted as an intangible heritage?" he asks.

Adat Perpatih: A Matriarchal System

Adat Perpatih: A Matriarchal System


The matriarchal system of customary law is followed by the majority of Malays in Negeri Sembilan and to some extent, in Naning (a district in Malacca).

With its roots in Minangkabau, from where many settlers came from in search of their fortunes, Adat Perpatih takes its name from the person who first practiced it, Datuk Perpatih. History tells of two brothers - Datuk Temeneggong (the elder) and Datuk Perpatih - who were both of the same mother but different father had conflicting ideas and how eventually Minangkabau was finally divided into two lands. The areas were governed under two systems called Adat Temenggong and Adat Perpatih respectively.

Under the Adat Perpatih system, the people were divided into four sukus (clans) - Bodi, Caniago, Koto and Pilang - which formed the original Minangkabau sukus where the individual suku shared a common ancestry traced from the matriarchal lineage. According to Adat Perpatih, marriage within a clan is prohibited and whenever a man marries, he is required to live at his wife's place and be part of his wife's suku.

According to Adat Perpatih, property division is under two categories, inherited or acquired property and generally the following quatrain is applied:

§ Property acquired during marriage is shared
§ Property inherited is set to one side
§ Personal property is taken back when a wife passes away.

Her portion of acquired wealth passes on to her daughters. But if the husband dies, his acquired wealth is left to his surviving wife to be shared among his daughters.

Minangkabau Tribe

Minang tribe is part of the community Deutro Melayu (Malay Young) who migrated from South China’s mainland to the island of Sumatra, around 2500-2000 years ago. It is estimated that these communities enter from the east of the island of Sumatra, along the Kampar river to the plateau called Darek and became home of the Minangkabau. Some Darek region is then formed a confederation known as Luhak, hereinafter referred to also by the name Luhak Nan Tigo, which consists of Luhak Limo Puluah Koto, Luhak Agam, Luhak Tanah Datar and .Then along with the growth and development of population, Minangkabau society continues to spread to other areas Darek and formed several specific regions into seacoast region.

The Minangkabau or Minang are ethnic groups who speak and uphold Nusantara Minangkabau custom. Areas include West Sumatra adherent culture, half of mainland Riau, Bengkulu northern, western part of Jambi, the southern part of North Sumatra, Aceh’s southwest, and also Negeri Sembilan in Malaysia. In ordinary conversation, people often confused as a person the Minang Padang, referring to the name of the West Sumatra provincial capital Padang. Minang very peculiar customs, which is characterized by kinship system through the female line or matrilineal, although culture is also very strong colored religious teachings of Islam.

Currently Minang people are adherents of matrilineal society in the world. In addition, ethnicity has also been implementing a proto-democratic system since pre-Hindu with a density of indigenous peoples to decide important matters and legal issues.Minangkabau principle contained in the brief statement Basandi Syara’ custom,Syara’ Basandi Kitabullah (based Indigenous law, law based on the Al-Quran) which means the customs based on Islamic teachings.

Indigenous and adherents of matrilineal Minangkabau culture, where the women act as the heir to the inheritance and kinship. According to legend Minangkabau adat system was first coined by two brothers,Datuk Perpatih Nan Sebatang and Datuk Ketumanggungan.Datuk Perpatih customary system Bodi Caniago bequeath a democratic,while Datuk Ketumanggungan bequeath Koto Piliang customary system of aristocratic.In the journey, the two traditional system known as kelarasan this content with each other and form filling system of the Minangkabau.

In Minangkabau society, there are three pillars that build and maintain the integrity of the culture and customs. They are scholars, scholars, and ninik mamak, known as Tali nan Tigo Sapilin. All three are complementary and work together in the same position in height. In Minangkabau society that is democratic and egalitarian, all public affairs were discussed by the three elements unanimously.

Minangkabau people are very prominent in the field of commerce, as professionals and intellectuals. They are honorable heir of an old tradition and the Malay kingdom of Srivijaya, who liked to trade and dynamic

Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang

Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu. Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan. Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu. Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama. Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya. Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada. Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya. Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau. Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat. Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun. Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.

DATUK PERPATIH NAN SABATANG & DATUK KETEMENGGUNGAN

DATUK PERPATIH NAN SABATANG & DATUK KETEMENGGUNGAN





Pernah dengar nama 2 urang basa (--orang besar) ini?

Merekalah 2 datuk pengasas adat Minangkabau dan kawasan rantau Melayu.

Siapa sih sebenarnya mereka?

Kubur dan tapak2 peninggalannya pun tersebar di ranah Minang….



Tambo dan cerita orang tuo-tuo banyak berkisah demikian :

Penguasa alam Minangkabau yang pertama sekali, yang bergelar Suri Maharajo Dirajo turun di Gunung Marapi lalu jadilah Kerajaan awal bernama Pasumayan Koto Batu seperti kata adat:

Darimano titiak palito, dibaliak telong nan batali

Darimano asa niniak moyang kito, di lereng Gunuang Marapi



Dari Pasumayan Koto Batu ini kemudian dibuka Nagari Pariangan dan Padang Panjang. Inilah asal muasalnya peradaban Minangkabau, sehingga 2 daerah ini disebut sebagai “Tampuk Tangkai Alam Minangkabau”. Undang-undang yang berlaku disebut ‘Undang-undang Si Mumbang Jatuah’. Intinya “Siapa membunuh ia dibunuh; Tiada boleh disanggah, tiada boleh ditentang”, “siapa kuat dia kudrat, siapa kuasa dia berjaya”. Semua keputusan ditangan raja.



Sri Maharaja Diraja mempunyai permaisuri : Puti Indo Jalito (--puteri indera jelita), dimana kemudian lahir putera mahkota bernama Sutan Maharajo Basa (--sutan maharaja besar),

Tetapi belum lagi putera mahkota besar, Sri Maharaja Diraja wafat sehingga tampuk dipegang orang kedua bernama Datuk Suri Dirajo (--seri diraja). Puti Indo Jalito pula kemudian menikah lagi dengan Penasihat almarhum raja, Cati Bilang Pandai bergelar Indo Jati (--indera jati) lalu lahirlah putera bernama Sutan Balun.



Sutan Maharajo Basa kemudian bergelar Datuk Ketemenggungan, sedangkan Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang. Jadi sebenarnya mereka bersaudara satu ibu, beda ayahanda saja. Mereka meneroka (membuka) rantau-rantau baru. Mula-mula di Sungai Jambu, lalu dari sini Datuk Ketemenggungan membuka Nagari Bungo Satangkai, sedang Datuk Perpatih Nan Sebatang membuka Nagari Limo Kaum.



Dari sinilah mulai timbul perbedaan dalam menerapkan hukum. Jika Datuk Ketemenggungan tetap setia dengan ‘Undang2 Si Mumbang Jatuh’ yang keras dan kuasa mutlak di tangan seseorang, maka Datuk Perpatih menyesuaikannya dengan menerapkan ‘Undang2 Si Lamo-lamo atau Si Gamak-gamak’ lalu diperbaharui lagi dengan ‘Undang2 Tarik Baleh (--Tarik Balas)’ yaitu berasaskan pada kebijakan meletakkan keputusan melalui pertimbangan masak2 untuk mengetahui manfaat dan mudharatnya. Hukum dijatuhkan kepada siapa yang melanggar peraturan tetapi tidak serta-merta melainkan diselidiki dahulu agar dapat diputus seadil2nya.



Perubahan oleh Datuk Perpatih ini dianggap terlalu radikal oleh abang tirinya Datuk Ketemenggungan yang ingin mempertahankan Undang2 Simumbang Jatuh yang telah diasaskan ayahandanya Sri Maharaja Diraja. Sehingga hampir timbul selisih diantara 2 saudara itu. Tetapi untunglah perbalahan ini dapat diselesaikan dengan kebijakan ninik mamak dan urang basa serta keinsyafan pribadi 2 datuk ini. Upacara damai mengakhiri perselisihan ini dimeterai dengan menusuk keris di batu. Wujudnya adalah ‘Batu Batikam’ hari ini masih dapat di lihat di Dusun Tuo Limo Kaum.



Hasil dari perundingan damai itu ialah bahwa undang-undang lama dapat diperbandingkan dengan alasan2 yang wajar. Dan keputusan diambil adalah setelah adanya kaji-selidik dan mufakat bersama.



Selanjutnya dalam perkembangannya bahwa nagari2 di Alam Minangkabau mengamalkan suatu Undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum lama dan baru. “Undang-undang Nan Duo Puluah (Undang-undang XX)” demikian namanya. Ia disusun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Adakah ia Datuk yang asli atau keturunannya tiada jawaban yang pasti. Tetapi satu hal bahwa gelaran ini memang dipusakai/menurun ke warisnya, dan mengingat jangka waktu dari zaman Sutan Balun (Pra-Hindu) ke penyusunan Undang2 Nan XX (zaman Islam) maka kemungkinan bahwa penyusunnya adalah keturunan Datuk Perpatih yang asli.



Contoh penyesuaian ini adalah dalam bidal adat, mula-mula (zaman Pra Islam) :



Kamanakan barajo ka mamak (--Kemenakan beraja ke mamak),

Mamak berajo pado pangulu (--Mamak beraja pada penghulu),

Pangulu berajo pado mufakat (--Penghulu beraja pada mufakat),

Mufakat basandi alue jo patuik (--Mufakat bersendi alur dan patut),

Alue basandi bana (--Alur bersendi benar),

Bana badiri surang (--Benar berdiri sendiri sendirinya).



Datuk Perpatih menambahkan ketika Islam masuk :



Adeik basandi Syarak (--Adat bersendi Syarak)

Syarak basandi Kitabullah (--Syarak bersendi Kitabullah)

Syarak mangato, Adeik memakai (--Syarak mengata Adat memakai)

Kewi kato syarak, Lazim kato Adeik (--Kewi kata syarak, Lazim kata Adat)

Sekilas Tentang Minangkabau

Minangkabau


Orang Minangkabau atau Minang adalah kumpulan etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh darat Riau, bahagian utara Bengkulu, bahagian barat Jambi, bahagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Kebudayaan mereka adalah bersifat keibuan (matrilineal), dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan, sementara urusan ugama dan politik merupakan urusan kaum lelaki (walaupun sesetengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang ini). Kini sekitar separuh orang Minangkabau tinggal di rantau, majoriti di bandar dan pekan besar Indonesia dan Malaysia. Orang Melayu di Malaysia banyak yang berasal dari Minangkabau, mereka utamanya mendiami Negeri Sembilan dan Johor.
Walaupun suku Minangkabau kuat dalam pegangan agama Islam, mereka juga kuat dalam mengamalkan amalan turun-temurun yang digelar adat. Beberapa unsur adat Minangkabau berasal dari fahaman animisme dan agama Hindu yang telah lama bertapak sebelum kedatangan Islam. Walaubagaimanapun, pengaruh agama Islam masih kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah, yang bermaksud, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur'an.
Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamik.[3] Suku Minang mempunyai masakan khas yang popular dengan sebutan Masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia, Malaysia, bahkan sampai mancanegara.[4]
Perkataan Minangkabau merupakan gabungan dua perkataan, iaitu, minang yang bermaksud "menang" dan kabau untuk "kerbau". Menurut lagenda, nama ini diperolehi daripada peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka daripada berperang, rakyat Minangkabau mencadangkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan menonjolkan seekor kerbau yang besar dan ganas. Rakyat setempat pula hanya menonjolkan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan tanduk yang telah ditajamkan. Semasa peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja merodok tanduknya di perut kerbau itu kerana ingin mencari puting susu untuk meghilangkan kelaparannya. Kerbau yang ganas itu mati dan rakyat tempatan berjaya menyelesaikan pergelutan tanah dengan cara yang aman.
Bumbung rumah adat Minangkabau yang dipanggil Rumah Gadang, (Rumah Besar) memiliki rupa bentuk yang unik kerana ia menyerupai tanduk kerbau.Terdapat juga prinsip-prinsip tertentu dalam pembinaan rumah adat Minangkabau[5]
Budaya
Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat matrilineal yang terbesar di dunia, di mana harta pusaka diwaris menerusi nasab sebelah ibu. Beberapa ahli fikir berpendapat bahawa adat inilah yang menyebabkan ramai kaum lelaki Minangkabau untuk merantau di serata Nusantara untuk mencari ilmu atau mencari kemewahan dengan berdagang. Kanak-kanak lelaki semuda 7 tahun selalunya akan meninggalkan rumah mereka untuk tinggal di surau di mana mereka diajarkan ilmu agama dan adat Minangkabau. Apabila remaja pula, mereka digalakkan untuk meninggalkan perkampungan mereka untuk menimba ilmu di sekolah atau menimba pengalaman daripada luar kampung dengan harapan yang mereka akan pulang sebagai seorang dewasa yang lebih matang dan bertanggungjawab kepada keluarga dan nagari (kampung halaman).
Tradisi ini berhasil mendirikan beberapa masyarakat rantauan Minangkabau di bandar dan tempat-tempat lain di Indonesia. Namun ikatan mereka dengan Ranah Minang (Tanah Minang) masih disimpan dan dikuatkan lagi. Satu contoh kawasan yang didiami oleh masyarakat Minangkabau dan masih mengamalkan adat dan budaya Minangkabau adalah Negeri Sembilan di Malaysia.
Selain daripada dikenali sebagai orang pedagang, masyarakat Minang juga berjaya melahirkan beberapa penyair, penulis, negarawan, budayawan, ahli fikir, dan para ulama. Ini mungkin terjadi kerana budaya mereka yang memberatkan penimbaan ilmu pengetahuan. Sebagai penganut agama Islam yang kuat, mereka cenderung kepada idea untuk menggabungkan ciri-ciri Islam dalam masyarakat yang moden. Selain itu, peranan yang dimainkan oleh para cendekiawan bersama dengan semangat bangga orang Minang dengan identiti mereka menjadikan Tanah Minangkabau, iaitu, Sumatra Barat, sebagai sebuah kuasa utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia.
Masyarakat Minang, terbahagi kepada beberapa buah suku, iaitu, Suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu dan Jambak. Kadang-kadang juga, keluarga yang sesuku tinggal dalam satu rumah besar yang dipanggil Rumah Gadang. Penggunaan bahasa Indonesia berleluasa di kalangan masyarakat Minang, tetapi mereka masih boleh bertutur dalam bahasa ibunda mereka, iaitu, bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau mempunyai perkataan yang serupa dengan bahasa Melayu tetapi berbeza dari segi sebutan dan juga tatabahasa hingga menjadikannya unik.
Salah satu aspek terkenal mengenai orang Minang adalah makanan tradisional mereka seperti rendang, Soto Padang (makanan sup), Sate Padang dan Dendeng Balado (daging dendeng berlada). Restoran Minangkabau yang sering digelar "Restoran Padang" dapat dijumpai di merata Indonesia dan di negara-negara jiran yang lain.
Upacara dan perayaan

Pakaian pengantin Minangkabau
Upacara dan perayaan Minangkabau termasuk:
• Turun mandi - upacara memberkati bayi
• Sunat rasul - upacara bersunat
• Baralek - upacara perkahwinan
• Batagak pangulu - upacara pelantikan penghulu. Upacara ini akan berlansung selama 7 hari di mana seluruh kaum kerabat dan ketua-ketua dari kampung yang lain akan dijemput
• Turun ka sawah - upacara kerja gotong-royong
• Manyabik - upacara menuai padi
• Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidilfitri
• Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidiladha
• Maanta pabukoan - menghantar makanan kepada ibu mentua sewaktu bulan Ramadan
• Tabuik - perayaan Islam di Pariaman
• Tanah Ta Sirah, perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila Datuk yang sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang lalu (tidak payah didahului dengan upacara batagak pangulu)
• Mambangkik Batang Tarandam, perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang sebelumya telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu (mengisi jawatan yang telah lama dikosongkan)
Seni
Seni tradisonal Minangkabau termasuk:
• Randai, teater rakyat dengan memasuki pencak, musik, tarian dan drama
• Saluang Jo Dendang, serunai bambu dan nyanyian
• Talempong musik bunyi gong
• Tari Piring
• Tari Payung Menceritakan kehidupan muda-mudi Minang yang selalu riang gembira
• Tari Indang
• Pidato Adat juga dikenali sebagai Sambah Manyambah (sembah-menyembah), upacara berpidato, dilakukan di setiap upacara-upacara adat, seperti rangkaian acara pernikahan (baralek), upacara pengangkatan pangulu (penghulu), dan lain-lain
• Pencak Silat tarian yang gerakannya adalah gerakan silat tradisional Minangkabau
Kraftangan
Kraftangan tradisional Minangkabau termasuk:
• Kain Songket
• Sulaman
• Ukiran kayu
• menukang emas dan perak
Agama
Kebanyakkan orang apabila diberitahu bahawa masyarakat Minang merupakan penganut Islam yang kuat merasa bingung kerana anggapan mereka ialah sebuah masyarakat yang mengikut sistem saka (matriarchal) akan sering berselisih dengan fahaman Islam yang lebih patriarkal. Namun sebenarnya, terdapat banyak persamaan di antara fahaman Islam dan Minangkabau (lebih lagi pada masa kini) sehingga menjadi sukar untuk orang Minang membezakan satu daripada lain.
Seperti contoh:
• Fahaman Islam: Menimba ilmu adalah wajib.
Fahaman Minangkabau: Anak-anak lelaki mesti meninggalkan rumah mereka untuk tinggal dan belajar dengan di surau (langgar, masjid).
• Fahaman Islam: Mengembara adalah digalakkan untuk mempelajari dari tamadun-tamadun yang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah.
Fahaman Minangkabau: Remaja mesti merantau (meninggalkan kampung halaman) untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempat untuk mencapai kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Falsafah merantau juga bererti melatih orang Minang untuk hidup berdikari, kerana ketika seorang pemuda Minang berniat merantau meninggalkan kampungnya, dia hanya membawa bekal seadanya.
• Fahaman Islam: Tiada wanita yang boleh dipaksa untuk berkahwin dengan lelaki yang dia tidak mahu berkahwin.
Fahaman Minangkabau: Wanita menentukan dengan siapa yang mereka ingin berkahwin.
• Fahaman Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih dari bapa.
Fahaman Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di Rumah Gadang.
Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minang sehingga mereka yang tidak mengamalkan Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minang.
Minangkabau Perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minangkabau yang hidup di luar wilayah Sumatera Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografi, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama mempunyai tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua bandar utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga peniaga-pengrajin dan penuntut ilmu agama.[6]
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai peniaga ataupun penuntut ilmu. Bagi sebahagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan satu cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kejayaan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapati, namun juga prestij dan kehormatan individu di tengah-tengah persekitaran adat.
Dari carian yang diperolehi, para perantau biasanya menghantar sebahagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian pekerjanya dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluaskan pemilikan sawah, memegang berpandu pemprosesan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Wang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti masjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Jumlah Perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil kajian yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang tinggal di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44% [7]. Berdasarkan bancian tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 3,7 juta orang, dengan anggaran hampir satu perdua orang Minang berada di perantauan.[8] Sejak masa Perang Paderi, mobiliti penghijrahan suku Minangkabau dengan sebahagian besar terjadi antara tahun 1958 hingga tahun 1978.[9]
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditunjukkan dalam pengiraan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Dan belum merangkumi keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Gelombang Rantau
Merantau pada etnik Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat penghijrahan pertama berlaku pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Melayu.[10] Migrasi besar-besaran berlaku pada abad ke-14, di mana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pantai timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni perdagangan di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang penghijrahan ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir pantai barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak tinggal di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenali dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus, hingga Bengkulu.[11] Setelah Kesultanan Melayu Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi penyokong Kesultanan Gowa, sebagai peniaga dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama isterinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[12] Gelombang penghijrahan seterusnya berlaku pada abad ke-18, iaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, penghijrahan besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami bandar-bandar besar di Jawa. Pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di bandar Jakarta meningkat 18.7 kali berbanding dengan tingkat pertambahan penduduk bandar itu yang hanya 3.7 kali. [13]. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Perantauan Intelek
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Makkah untuk mendalami agama Islam, antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan pengedaran pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah berlaku pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropah. Mereka antara lain Abdul Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di lapan negara Eropah dan Asia, membina rangkaian pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropah sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pengasas Republik Indonesia.[14]
Sebab Merantau
Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita sedangkan hak kaum lelaki dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, kerana rumah hanya diperuntukkan untuk kaum wanita beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah cuba pergi merantau, maka ia akan selalu diejek-ejek oleh teman-temannya.[15] Hal inilah yang menyebabkan kaum lelaki Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya kerana alasan ikut suami, tetapi juga kerana ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiologi Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[16] Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Ka ratau madang di hulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau kerana dikampung belum kepada) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup boleh menyara keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi pendapatan utama mereka itu tak cukup lagi memberi keputusan untuk memenuhi keperluan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan perlombongan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk klik pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah saudara yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai peniaga kecil.
Merantau Dalam Sastera
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sasterawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan berkahwin dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berjaya. Dalam bentuk yang berbeza, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, AA Navis mengajak masyarakat Minang untuk membina kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya mengandungi kritikan sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam filem Merantau karya pengarah Inggeris, Gareth Evans.
Masyarakat Minangkabau di Negeri Sembilan
Pada permulaan abad ke-14, orang-orang Minangkabau mula tiba di Negeri Sembilan melalui Melaka dan sampai ke Rembau. Orang Minangkabau ini lebih bertamadun daripada penduduk asal iaitu, Orang Asli, dan berjaya tinggal secara damai dengan mereka. Dengan itu berlakulah pernikahan antara orang-orang Minangkabau dengan penduduk asli dan daripada keturunan mereka dinamakan suku Biduanda. Suku Biduanda ini adalah pewaris asal Negeri Sembilan dan apabila hendak memilih seorang pemimpin maka hanya mereka dari suku Biduanda inilah yang akan dipilih. Orang-orang Minangkabau yang datang kemudian adalah dari suku kampung-kampung asal mereka di Minangkabau. Pada peringkat awal kebanyakan yang tiba adalah dari Tanah Datar dan Payakumbuh.
Dari suku Biduanda inilah asalnya pembesar-pembesar Negeri Sembilan yang dipanggil 'Penghulu' dan kemudiannya 'Undang'. Sebelum wujudnya institusi Yang di-Pertuan Besar, Negeri Sembilan berada di bawah naungan kerajaan Melayu Johor.
Orang-orang Minangkabau dan Kiprahnya
Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai ahli politik, pengarang, ulama, pengajar, wartawan, dan pedagang. Berdasarkan jumlah penduduk yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.[9] Majalah Tempo dalam edisi khas tahun 2000 mencatatkan bahawa 6 daripada 10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang.[17] Dan 3 dari 4 orang pengasas Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.[18][19]
Keberkesanan dan kejayaan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke pelbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Filipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina Selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan penghijrahan ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Pada akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan Kerajaan Gowa. Setelah gagal merebut takhta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagar Ruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah mengasaskan Kerajaan Siak di darat Riau.[20]
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kaherah dan Makkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam moden Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperanan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada tempoh 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka dipilih menjadi wakil Komunis Antarabangsa untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lain Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang menyatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lain Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai Presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlimen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia yang paling lama duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnik selain etnik Jawa, yang selalu mempunyai wakil dalam setiap kabinet Republik Indonesia. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal Parlimen Indonesia didominasi oleh ahli politik Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam parti dan ideologi, Islamiah, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Di samping menjawat gabenor wilayah Sumatera Tengah / Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gabenor wilayah lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[21]
Beberapa parti politik Indonesia diasaskan oleh ahli politik Minang. PARI dan Murba diasaskan oleh Tan Malaka, Parti Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan parti politik, ahli politik Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republik Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Greek dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui pelbagai macam karya tulis dan kemahiran. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan AA Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lain, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan proses pemodenan bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa perpaduan nasional. Novel-novel karya sasterawan Minang seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi pelajar sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastera, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh wartawan Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang digelar sebagai Perintis Akhbar Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik akhbar wanita pertama di Indonesia.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Cina, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik TV One), Basrizal Koto (pemilik ladang lembu terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia)
Banyak juga orang Minang yang berjaya di dunia hiburan, baik sebagai pengarah, penerbit, penyanyi, maupun artis. Sebagai pengarah dan penerbit ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi pengarah dan penerbit filem yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 filem dan 8 sinetron dalam 1.196 episod telah dihasilkannya. Filem-filem karya sineas Minang, seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena, menjadi filem terbaik yang banyak digemari penonton.
Pelakon dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni yang lain, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara kegemaran keluarga Indonesia. Di samping mereka, Sukarno M. Noer beserta puteranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling berjaya di Indonesia, baik sebagai pelakon mahupun pengarah filem. Pada tahun 1993, Karno's Film syarikat filem milik keluarga Sukarno, menghasilkan filem siri dengan kedudukan tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenali sumbangannya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (Presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh Muszaphar Shukor (angkasawan pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Parti Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai ahli parlimen.[22] Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Makkah.

Sejarah Singkat Kerajaan Demak

Asal-usul Raden Patah dalam Tradisi Babad, Serat, dan Kronik Cina

Nama Raden Patah terdapat dalam Babab Tanah Jawi (selanjutnya ditulis BTJ, disusun pada masa pemerintahan Paku Buwono I yang menjadi Sunan Mataram hingga 1719). Menurut BTJ, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir dari negeri Campa. Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) ini dinikahi oleh Brawijaya ketika Brawijaya masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja Majapahit. Sang permaisuri Raja, yaitu Ratu Dwarawati, merasa cemburu terhadap putri Campa itu. Untuk menghindari kemungkinan buruk, Raja Brawijaya memberikan selir Campanya itu kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Campa itu dinikahi Arya Damar, yang kemudian melahirkan Raden Kusen. Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam BTJ disebut sebagai Senopati Jimbun.
BTJ menyebut nama kecil Raden Patah: Jim Bun, sebuah nama yang sangat kental aroma Tionghoa. Fakta bahwa Raden Patah keturunan Cina, dalam hal ini Campa, diperkuat oleh kronik Cina dari kuil Sam Po Kong (kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho), yang menurut kronik itu nama Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (ejaan Cina untuk [Bhre] Kertabumi) dari selir Cina. Nama Bhre Kertabumi sendiri tercantum dalam Pararaton sebagai raja Majapahit. Kemudian selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan dengan Swan Liong itu lahir seorang anak bernama Kin San. Kronik Sam Po Kong mengabarkan bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 M, kemungkinan besar sebelum Bhre Kertabumi menjabat sebagai raja Majapahit (ia memerintah antara 1474-1478).
Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa pendiri Kesultanan Demak benama Cu Cu, putra seorang mantan perdana menteri Cina yang bermigrasi ke Jawa. Kakeknya bernama Cek Ko Po. Dikisahkan, Cu Cu mengabdi kepada Majapahit dan berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah Bupati Palembang. Di sini terdapat pemberitaan yang berbeda antara Sajarah Banten dengan BTJ. BTJ memerikan bahwa Arya Dilah merupakan nama lain Arya Damar, ayah tiri dan ayah angkat Raden Patah. Menurut Sajarah Banten, berkat jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan Bupati Demak dengan gelar Arya Sumangsang. Sedangkan menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, pendiri Demak adalah Pate Rodin Senior, cucu seorang warga di Gresik.
Ada pun keberadaan “putri Campa”, ibu Raden Patah dan Raden Kusen, itu didukung oleh pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah dari Cirebon itu, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan saudagar sekaligus ulama yang bergelar Syekh Bantong.
Kendati banyak versi yang membicarakan asal usul Raden Patah, namun semua naskah dan kronik itu sepakat bahwa pendiri Kesultanan Demak itu bersangkut paut dengan empat nama: Majapahit, Palembang, Cina, dan Gresik.
Menurut BTJ dan Serat Kanda, Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M dengan nama Pangeran Jimbun—sebuah nama atau dialek Cina. Selama 20 tahun, Jimbun hidup di kediaman adipati Majapahit di Palembang, Arya Damar. Setelah beranjak dewasa, Jimbun kembali ke Majapahit. Oleh orangtuanya, Raden Patah dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ngampel (Ampel) Denta di Surabaya untuk belajar Islam. Ia mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya: Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).
Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menyebarkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Arya Dilah (Ki Dilah), disertai oleh 200 pasukannya.
Menurut Lombard (2008, 44), Raden Patah merupakan pendiri kantor dagang di Demak, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang, di sekat Gunung Muria. Ia berasal dari Cina, mula-mula menetap di Gresik, lalu pindah ke Demak.
Menurut Tome Pires yang singgah di pelabuhan Demak, Demak memiliki hingga 40 jung dan telah meluaskan kewibawaannya sampai ke Palembang, Jambi, “pulau-pulau Menamby dan sejumlah besar pulau lain di depan Tanjung Pura”, yaitu Bangka (di mana terdapat Pegunungan Menumbing) dan Belitung. Saat itu di Demak terdapat tak kurang dari “delapan hingga sepuluh ribu rumah” dan tanah sekelilingnya menghasillkan beras berlimpah-limpah, yang sebagian untuk diekspor ke Malaka.
Menurut penjelajah Portugis itu, Demak (dan Rembang) terkenal dengan galangan-galangan kapalnya. Kapal-kapal dibuat dari kayu jati yang banyak tumbuh di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Demak juga dikelilingi beberapa kota-pelabuhan tempat terjadi perniagaan besar: Juwana, Pati, Rembang, Jepara, dan Semarang (yang ketika itu penduduknya berkisar sekitar 3.000 kepala). “Pedagang yang punya uang datang ke sana untuk dibuatkan jung,” begitu tulis Pires.

Menyerang Majapahit
BTJ berkisah, Raden Patah menampik untuk jadi pengganti Arya Damar sebagai bupati Palembang. Ia, ditemani Raden Kusen, lalu kabur dari Palembang menuju Jawa.Begitu tiba di Jawa, kedua saudara berbeda ayah itu berguru pada Sunan Ngampel di dekat Surabaya. Raden Patah lalu pindah ke arah barat di sekitar Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagahwangi guna mendirikan sebuah pesantren. Sementara Raden Kusen mengabdi di keraton Majapahit.
Aktivitas Pesantren Glagahwangi hari ke hari semakin berkembang. Raja Brawijaya melihat perkembangan pesanten itu sebagai sebuah ancaman, kalau-kalau Raden Patah berniat berontak. Untuk itu, Brawijaya mengutus Raden Kusen, yang saat itu sudah menjabat sebagai Adipati Terung, untuk memanggil Raden Patah segera menghadap Brawijaya. Alkisah, Raden Patah pun menghadap Brawijaya. Ia akhirnya diakui sebagai putranya oleh Brawijaya. Raden Patah kemudian diangkat menjadi bupati Demak, nama baru untuk Glagahwangi, sedangkan nama ibukota Demak adalah Bintoro.
Ada pun kronik Sam Po Kong menguraikan bahwa pada 1475 Jin Bun pindah ke Demak dari Surabaya. Dua tahun kemudian, 1477, Jin Bun berhasil menaklukkan Semarang yang dibuat sebagai bawahan Demak. Penaklukan Semarang membuat Kung-ta-bu-mi resah. Akan tetapi, atas bujukan Bong Swi Hoo (diidentikkan dengan tokoh Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati Bing-to-lo (ejaan Cina untuk Bintoro).
Selama Brawijaya memerintah Majapahit, Raden Patah tak pernah menyerang Majapahit. Ialah Sunan Ngampel yang menasehati agar Raden Patah tetap menghormati ayahnya, Raja Majapahit itu—walau berbeda kepercayaan. BTJ dan juga Serat Kanda mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ngampel, barulah Raden Patah berani menyerang Majapahit atas desakan Sunan Bonang. Sebelum Majapahit, Jim Bun telah menguasai Semarang. Dalam penyerangan ke Majapahit, Brawijaya diberitakan moksa. Untuk
Dikisahkan, yang menduduki takhta Majapahit untuk sementara adalah Sunan Giri (Raden Paku). Ia menduduki takhta selama 40 hari. Hal ini rupanya sebagai legitimasi kekuatan Islam sebagai “agama baru” atas agama Siwa-Buddha yang dianut Majapahit. Di sini perlu diperhatikan perihal moksanya Brawijaya begitu diserang anaknya sendiri, sama halnya dengan legenda Prabu Siliwangi yang juga ngahiyang (menghilang) begitu dikejar oleh anaknya, Kian Santang, karena menolak masuk Islam dalam legenda Sunda. Moksanya Brawijaya (juga ngahiyang-nya Siliwangi) memperlihatkan bahwa walau bagaimana pun kekuatan orangtua (baca: leluhur) tak bisa semena-mena dikalahkan oleh kekuatan agama baru. Ia digambarkan tak tersentuh oleh kenyataan bendawi, luput dari segala hukum fisika.
Sebelum menyerang Majapahit, terlebih dulu Jim Bun menyerang Semarang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa. Setelah berhasil menguasai Semarang, Jin Bun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang, diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang. Gan Si Cang merupakan anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Raja Kung Ta Bu Mi, ayah Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.
Namun, sesampai di Majapahit Jin Bun tak mau memberi sembah pada ayahnya. Perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi juga diberitakan oleh kronik Sam Po Kong, yang terjadi pada 1478. Perang tersebut berlangsung setelah kematian Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel). Akan tetapi, begitu Jin Bun menggasak ibu kota Majapahit, Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap dan dipindahkan ke Demak dengan terhormat. Dengan begitu, Majapahit pun menjadi wilayah bawahan Demak; yang menjadi bupati Majapahit sendiri adalah Nyoo Lay Wa, seorang Cina Muslim. Di sini, berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi alias Kertabumi membuat kita berpendapat bahwa kronik Cina itu lebih masuk akal dibandingkan berita BTJ dan Serat Kanda. Penulis kronik itu merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkapnya raja itu. Brawijaya terlalu agung untuk dikatakan tertangkap, begitu menurut alam pikiran penulis BTJ dan Serat Kanda.
Pada 1485, Nyoo Lay Wa mati setelah terjadi pemberontakan kaum pribumi. Untuk itu, Jin Bun lalu mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru, yakni Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana (yang tertulis dalam Pararaton) alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan Prasasti Jiyu (tahun 1486) dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan Prasasti Petak yang memuat berita mengenai perang Kadiri melawan Majapahit. Berita prasasti itu menimbulkan penafsiran kuat bahwa Majapahit tidak runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1478, melainkan akibat serangan keluarga Girindrawardhana. Dari Prasasti itu diketahui, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma dan cucu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (Sang Munggwing Jinggan). Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya atau Bhre Wijaya) memerintah di Daha, ibukota Kediri, yang sebelumnya terletak di Keling, utara kota Majapahit.
Baik BTJ maupun Serat Kanda tidak lagi mengisahkan adanya perang Majapahit melawan Demak sesudah 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan juga kronik Sam Po Kong, perang Demak-Majapahit terjadi lebih dari satu kali.
Kronik Cina itu menguraikan, pada 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing (Portugis) di Moa-lok-sa (Malaka) sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Akibatnya, Jin Bun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat raja itu adalah suami adiknya—istrinya adalah adik Jin Bun.
Catatan Portugis pun memerikan peperangan itu. Diberitakan, pasukan Majapahit dipimpin oleh seorang bupati Muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Majapahit pun menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan nama baru Kiai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin Pangeran Sabrang Lor (versi BTJ) hingga 1521. Selanjutnya Pangeran Sabrang Lor diganti oleh Sultan Trenggana. Menurut kronik Sam Po Kong, pergantian takhta itu dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis di Malaka. Perang Majapahit-Demak meletus kembali tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.

Perang Demak-Majapahit yang terakhir terjadi pada 1527. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, yang menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen, Adipati Terung, ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus dan adik pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Trenggana), bernama Toh A Bo alias Sunan Kalijaga.
Dari berita di atas diketahui setidaknya ada dua tokoh Muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah adik tiri Raden Patah, dengan kata lain, merupakan paman Sultan Trenggana Raja Demak saat itu.
Menurut kronik Sam Po Kong, Pa-bu-ta-la meninggal dunia pada 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana Daha. Peristiwa kekalahannya menandai berakhirnya Kerajaan Kediri. Para pengikutnya, yang menolak kekuasaan Demak, memilih pindah ke Bali.
Menurut babad dan serta, tiga hari setelah penyerbuan ke Majapahit, Raden Patah berangkat ke Ampel. Yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Ada pun Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Raden Patah. Sementara itu, Sebagian pasukan Demak dan para sunan ikut ke Ampelgading. Ada pun Putri Cempa, ibu Raden Patah, diungsikan ke Bonang. Di Ampel ternyata Sunan Ampel sudah wafat. Yang ada hanya istrinya, Nyai Ageng, yang asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah Sunan Ampel wafat, Nyai Agenglah yang menjadi sesepuh Ampel.
Sesampai di Ampel, Raden Patah menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Para sunan dan bupati bergantian menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Raden Patah berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda, Brawijaya dan kematian Patih Majapahit. Ia berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh Tanah Jawa dengan gelar Senapati Jimbun, lalu minta restu, agar langgeng bertakhta dan kelak keturunannya tak ada ada yang memotong takhtanya.
Menurut babad-serat itu, Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena berdosa telah menganiaya ayahnya sendiri yang enggan masuk Islam. Karena walau bagaimana pun, Brawijaya adalah ayah Pangeran Jim Bun sendiri, yang patut dihormati meski berbeda kepercayaan. Juga Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena telah merusak Majapahit. Nenek itu kecewa mengetahui Jim Bun berhasil dipengaruhi oleh para sunan dan bupati agar menyerang Majapahit. Ia menyuruh agar Jim Bun mencari ayahandanya yang hilang. Setelah itu Jim Bun pamit dari Ampel, menuju Sunan Bonang untuk memberi tahu Sunan itu tentang kemarahan Nyai Ageng Ampel.
Begitu diberi tahu, Sunan Bonang dalam hati merasa bersalah lalu teringat akan kebaikan Prabu Brawijaya. Namun Sunan Bonang tetap menyalahkan Brawijaya dan Patih Majapahit yang tak mau masuk Islam. Ia juga memerintahkan Jim Bun untuk tidak memikirkan perintah Nyai Ageng karena menilainya hanya sebagai pelampiasan atas kemarahan khas perempuan. Sunan itu memberikan pilihan, bila Jim Bun tetap bersiteguh menuruti Nyai Ageng, ia akan kembali saja ke Arab. Akhirnya, Jim Bun memilih untuk terus melanjutkan penyerbuan ke Majapahit. Sunan Bonang menyuruh Jim Bun memberi pilihan pada ayahnya, Brawijaya: jika masih ingin jadi raja, maka janganlah di Tanah Jawa tetapi harus di negeri lain di luar Jawa. Bahkan Sunan Giri menyuruh Brawijaya juga Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging ditenung saja agar tak mengganggu proses pengislaman di Jawa.
Sunan Kalijaga-lah yang ditugasi Raden Patah untuk nencari Brawijaya. Brawijaya sendiri dalam pelariannya ditemani dua pamong setianya, Nayagenggong dan Sabdapalon. Konon, ketika sampai di Blambangan, Brawijaya menghilang dekat sebah mata air.
Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi. Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi BTJ dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.
Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya.
Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak.
Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.
Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.
Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai “Perang Sudarma Wisuta”, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri.
Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.
Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.
Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.
Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Muljana—guru besar di Universitas Indonesia—yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemeirntah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.

Demak Kerajaan Islam Pertama Di Jawa

Adalah Seorang Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa.
Ia disebut-sebut
sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja)
yang telah masuk
Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang
dikelola Sunan Ampel. Ibu
Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa ketika
Majapahit melemah dan
terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit dan membangun
Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri.
Berdirilah Kesultanan Demak
pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu.


Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Konon sebagian
penganut Hindu
kemudian hijrah ke Bali dan sebagian mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran
Sabrang Lor. Dia yang
menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya
adalah Dipati Unus menurut
sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono
yang dilantik oleh
Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo".

Dalam buku "Sejarah Ummat Islam Indonesia" yang diterbitkan Majelis Ulama
Indonesia, Trenggono
banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta)
digempur. Berbagai wilayah
lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan -
Jawa Timur. Ia diganti
adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh
Adipati Jipang, Ario
Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu
Trenggono-memindahkan kerajaan ke
Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat
dikalahkan. Senopati
dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan
dan memindahkannya ke
Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh
menantunya sendiri, Ki
Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya,
Pangeran Seda ing Krapyak
yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak,
Mas Rangsang yang
kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Sultan Agung memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi
wilayah ditaklukkannya
untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis
Gua -pelanjut Sunan
Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah
dengan Pangeran Cirebon.
Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra
adipati itu diambilnya
sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh
gelar Sultan. Tahun
1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun
juga pusat Islam di
Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun
Hijriah. Ia juga
memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis 'Babad Tanah Jawi'.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani
menggempur asing. Pada
1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada
1628 dan 1629, Sultan
Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang
persediaan makanannya
dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri
/daerah wonosari
jogya, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631,dan sekarang menjadi
komplek pemakaman raja raja
tarh Mataram dari Solo dan Jogyakarta

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin naik
tahta menganti ayahnya.
Ia bersama seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai
kerajaan. Pada 1677
itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I
terlunta-lunta mengungsi hingga
meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I,nampaknya kekuasaan di Jawa
sepenuhnya dalam pengaruh
pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk mengalahkan Trunojoyo.
Bahkan Amangkurat II
menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang
menurunkan Dinasti
Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah
Dinasti Mangkubumi.
Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Masjid Agung Demak


Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama
dalam tempo satu
malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399
(1477) yang ditandai
oleh candrasengkala "Lawang Trus Gunaningjanmi", sedang pada gambar bulus yang
berada di mihrab
masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini
berdiri tahun 1479.


Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian
serambi berukuran 31 m
x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru),
yang dibuat oleh
empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan
Ampel, sebelah barat daya
buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang
sebelah timur laut yang
tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong
balok yang diikat
menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya
dengan delapan buah
tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus
atau pangeran Sabrang
Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting.
Wali inilah yang
berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga
memperoleh wasiat antakusuma,
yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju "hadiah" dari Nabi Muhammad SAW,
yang jatuh dari
langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.

Memasuki pertengahan abad XVII, ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan
pun juga mewarnai
perjalanan sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.

Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari
masuknya agama Islam
ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam
disekitar tahun 1500 bernama
raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka
memutuskan ikatan dari
Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain
yang telah Islam
(seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat
di Demak.

Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan.
Dimasa pemerintahan
raja Trenggono, walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari. Tapi
perlawanan perang dan
pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat
keyakinan Hindu. Sehingga,
daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi
bagian dari Bali yang
tetap Hindu. Di tahun 1548, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya
bernama pangeran
Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda
Lepen terbunuh di tepi
sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda
Lepen yang bernama Arya
Panangsang.

Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai
orang, sehingga timbul
pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi
ketika adipati Japara
yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari
adipati japara berjuluk
Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam
bentuk gerakan melawan
Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama
Hadiwijoyo berjuluk Jaka
Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih
ada hubungan darah
dengan sang raja.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil
membunuh Arya Penangsang.
Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja
pertama di Pajang.
Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.

Nempil kumeluning donga utama

Ilening bengawan daup samodra

Nuring kartika tekaning surya

Obahing angin basuhing sukma