Saturday 10 August 2013

Belajar dari ‘Baba Amte’ dalam Memanusiakan Orang dengan Penyakit Kusta

 KOMPASIANA

 

Belajar dari ‘Baba Amte’ dalam Memanusiakan Orang dengan Penyakit Kusta

OPINI | 10 August 2013 | 03:08 Dibaca: 21   Komentar: 0   0


Bayangkan anda sebagai orang tua sebentar lagi anak anda akan menikah. Tentu saja anda akan mencari tahu siapa orang tua dari si calon menantu. Dan apabila orang tua calon menantu anda menderita penyakit kusta apa yang pertama anda lakukan? Tentu saja sebagian orang akan merasa keberatan dan tidak mau anaknya beresiko.

Bayangkan ada guru mengaji yang menderita penyakit kusta, masihkah anda akan mengirim anak anda untuk mengaji di tempat guru mengaji tersebut? Sebagian orang tentu memilih untuk melarang dan cenderung mencari guru mengaji yang dianggap tidak membahayakan anaknya.

Bayangkan anda ketika ada acara makan-makan tiba-tiba datang seorang dengan penyakit kusta disebelah anda, mengajak anda bersalaman, dan kemudian makan disamping anda. Sebagian orang memilih untuk menghindar dan segera mencuci tangannya karena takut tertular penyakit satu ini.

Beberapa contoh di atas seringkali kita jumpai dalam keseharian kita, dan kita merasa memiliki hak untuk melakukan dan membenarkan tindakan-tindakan tersebut. Tapi tanpa kita sadari, sebenarnya kita telah memberikan stigma pada orang dengan penyakit kusta sekaligus melakukan diskriminasi terhadap mereka.
Studi yang dilakukan oleh Bonney (2011) mengungkapkan bagaimana orang dengan penyakit kusta tersingkir dalam kehidupan sosial masyarakat dan dalam mengakses pekerjaan serta layanan umum yang ada. Di beberapa tempat, banyak institusi kesehatan yang menolak perempuan dengan penyakit kusta yang akan melahirkan. Begitu menyedihkannya. Tapi pernahkah kita terpikir jika yang mengalami kusta adalah diri kita, pasangan hidup kita, orang tua kita, anak-anak kita, atau cucu kita sendiri? Masihkah kita berpikir memiliki hak untuk melabeli mereka dengan segerobak stereotype yang negatif dan mendiskriminasi mereka?

Dua orang yang saya kagumi dalam memanusiakan orang dengan penyakit kusta adalah Princess Diana (Lady Di) dan manusia setengah dewa Baba Amte dari India. Masih kita ingat Lady Di dengan cerianya mengunjungi salah satu rumah sakit kusta di Jakarta pada tahun 1980-an, menyalami setiap pasien dengan ramah, berbincang-bincang bersama mereka tanpa rasa takut atau ngeri sekalipun. Bisakah kita mencontoh apa yang dilakukan oleh Lady Di? Orang kedua adalah Baba Amte dari Maharashtra India. Kenapa saya sebut manusia setengah dewa? Ini dikarenakan dia adalah salah satu orang yang peduli pada orang dengan penyakit kusta. Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk mereka. Bahkan orang-orang di India menyebutnya sebagai orang suci. Baba Amte selama hidupnya berjuang keras agar masyarakat umum bersedia kembali menerima mereka dan tidak mengisolasi mereka dalam koloni-koloni yang ada. Dia percaya bahwa memang sulit mengubah pandangan masyarakat yang sudah melekat dan terinstitusionalisasi dengan kultur yang ada di masyarakat. Kata-kata indah yang pernah diucapkannya adalah ‘Seseorang dapat hidup tanpa jari-jari tangannya, tetapi tidak dapat hidup tanpa harga diri’. Kata-kata yang powerful yang pernah dia ucapkan adalah ‘Saya mencari jiwa saya tapi saya tidak menemukannya, saya mencari Tuhan tapi Tuhan menghidar dari saya, kemudian saya mencari saudara-saudara saya dan akhirnya saya menemukan sekaligus jiwa dan Tuhan diantara mereka’.

Apa yang dilakukan oleh Baba Amte adalah keajaiban. Di depan orang-orang dia ambil darah orang dengan penyakit kusta dan menyuntikkan ke tubuhnya sendiri, hanya karena ingin menunjukkan bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit yang gampang menular meskipun dengan injeksi darah. Jadi tidak ada alasan untuk mengisolasi mereka. Pada waktu itu orang dengan penyakit kusta dimasukkan dalam kategori kasta yang paling rendah. Dia berpendapat bahwa para relawan yang bersedia berjuang untuk orang-orang dengan kusta sangat dibutuhkan. Dengan semakin banyaknya relawan dan mereka yang mendukung program inklusi sosial maka akan memudahkan dalam menghapus kultur-kultur yang memarginalkan dan menurunkan harkat martabat orang dengan kusta. Menurutnya, “Sekelompok semut akan mengalahkan seekor ular phyton yang besar’. Uniknya, Baba Amte adalah seorang pekerja sosial (non-medis) yang justru banyak mendapatkan penghargaan di bidang medis terkait pengabdiannya dalam memanusiakan  orang dengan kusta. Menurutnya, masyarakat sendirilah yang bertanggung jawab atas terbentuk koloni-koloni kusta dan memaksa mereka untuk menghidupi diri dengan cara mengemis. Tidak ada pilihan dan kesempatan buat mereka untuk menjalani hidup dengan baik dan mendapat penghidupan yang lebih baik. Kita sendirilah yang menutup pintu kesempatan itu dan tidak memiliki keperdulian terhadap mereka.

Penyakit kusta sendiri pada awalnya dipercaya sebagai penyakit kutukan ataupun karma, tapi semenjak Gerhard Armauer Hansen menemukan adanya Mycobacterium Leprae sebagai penyebab penyakit kusta, maka mulailah diterima bahwa kusta semata-mata penyakit sebagaimana penyakit-penyakit kesehatan lain pada umumnya dan tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang bersifat takhayul.  Karena itulah penyakit kusta juga sering disebut dengan istilah Hansen’s Disease. Penyakit kusta sendiri berasal dari bahasa India ‘Kusth’ artinya ‘digerogoti’, mengingat efek dari penyakit ini jika tidak dideteksi secara dini dan mendapatkan treatment sesegera mungkin akan mengakibatkan ‘mati rasa’ akibat kerusakan jaringan yang ada di tubuh dan akhirnya jari-jemari di tangan maupun di kaki bisa rusak dan mengalami kecacatan.  Di beberapa tempat, orang menyebut penyakit ini dengan istilah penyakit daging busuk (rotten meat), dan ada yang menyebut ‘lepra’ berasal dari kata ‘leprosy’ atau ‘leprae’. Dalam bahasa Hebrew, kusta disebut dengan tzaraath yang artinya ‘penyakit kulit’ atau ada yang mengartikan ‘hukuman dari Tuhan’.

Sekarang ini perlu dicermati bahwa penelitian terkini membuktikan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular yang justru diyakini paling sulit menular. Sebanyak 95% immune (kebal) terhadap penyakit ini, 3% bisa tertular dan sembuh sendiri, dan hanya sekitar 2% saja yang bisa tertular dan menderita penyakit ini. Yang pasti, penyakit ini semakin jarang dan menurun kasusnya sejalan dengan perilaku hidup sehat dan nutrisi yang baik. Penyakit ini juga diyakini sulit menular pada orang dewasa yang immune system atau sistem kekebalan tubuhnya sudah berfungsi dengan baik. Masa inkubasi bakteri ini antara 2-5 tahun, kasus yang paling lama yang pernah ditemui bisa mencapai 15 tahun. Penyakit ini dengan menggunakan MDT (Multi-Drug Treatment) dapat disembuhkan secara total. Yang dibutuhkan adalah deteksi dini dan treatment sesegera mungkin sebelum terjadi deformity (kerusakan) yang mengakibatkan visible disability (kecacatan). Tugas kita semua, sebagai insan yang punya moralitas dan hati nurani tinggi untuk menerima mereka, memberikan edukasi pada mereka dan memotivasi mereka untuk berobat, sembuh dan bangkit lagi menjalani hidup. Begitu indahnya sebuah kebersamaan. Itulah yang diajarkan Baba Amte.

Sekarang apakah kita masih menolak untuk berjabat tangan dengan mereka?





Penulis adalah pengamat masalah sosial tinggal di Australia

 

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Monday 5 August 2013

Tentang Penjara Swasta: Akankah kita mengarah ke sana?



KOMPASIANA

Tentang Penjara Swasta: Akankah kita mengarah ke sana?
OPINI | 04 August 2013 | 22:50http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gif Dibaca: 18   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gif Komentar: 0   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif 0


Arif Rohman







Private Prison - Junee NSW Australia








Beberapa waktu yang lalu publik di Indonesia sempat dikejutkan oleh kisruh di beberapa lembaga pemasyarakatan (penjara), yang disinyalir karena fasilitas lembaga pemasyarakatan yang tidak memadai serta kapasitas penjara yang terlalu penuh(overcrowded). Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana sebenarnya pengelolaan institusi penjara di negeri kita dan tidak adakah terobosan-terobosan baru yang bisa dipakai untuk menjawab persoalan tersebut?

Sebenarnya persoalan penjara yang kapasitasnya berlebihan dan fasilitasnya yang minim, tidak hanya dialami negara kita saja. Negara maju semacam Amerika, Inggris dan Australia juga sebenarnya dipusingkan oleh masalah ini. Puncaknya adalah pada tahun 1992 di Inggris, dibangunlah private prison atau biasa disebut dengan istilah penjara swasta. Konsep penjara swasta dianggap sebagai alternatif solusi terhadap pandangan miring seputar penjara negara (public prison). Dibanding Inggris, Amerika sebenarnya lebih dulu menggagas konsep penjara ini pada tahun 1980-an dan pada tahun 1984 mulai dibangun penjara-penjara swasta yang lebih modern. Di Australia, pada awal tahun 2013 diberitakan Queensland akan memprivatisasi seluruh penjara public yang ada di wilayahnya. Terkait dengan hal ini, sebenarnya bagaimanakah konsep penjara swasta itu sendiri?

Penjara swasta dapat diartikan, pemerintah mendelegasikan upaya rehabilitasi para narapidana (corrections) kepada pihak swasta melalui semacam tender. Di sini, pemerintah akan membuat semacam kesepakatan dan kontrak terkait dengan pembinaan para narapidana. Lazimnya, pemerintah akan memilih lembaga atau penyedia layanan sosial (social provider) yang bonafid dan terpercaya, yang diukur dengan fasilitas yang memadai, staf yang kompeten, administrasi organisasi yang baik, dan mampu menjalankan proses pembinaan dengan biaya yang lebih murah. Biasanya kontrak tersebut disepakati selama 5 tahunan.
Ada beberapa manfaat atau keuntungan yang diyakini tidak dapat ditemukan dalam penjara publik. Pertama, penjara publik terlalu penuh sementara pemerintah untuk membangun gedung atau penjara baru dalam rangka peningkatan kapasitas, umumnya membutuhkan waktu yang relatif panjang mengingat sistem administrasi kenegaraan yang memang sedikit rumit. Sementara itu, pihak swasta mampu menyediakan atau membangun penjara dengan waktu yang lebih cepat. Pihak swasta juga mampu membangun penjara-penjara yang memiliki lokasi strategis secara ekonomi, sehingga nantinya para narapidana bisa terlibat dalam sistem ekonomi pasar dan mencegah terjadinya pengangguran.

Keuntungan lain dengan adanya penjara swasta adalah biaya operasional yang lebih murah dan bisa menghemat anggaran negara. Tidak dipungkiri bahwa biaya operasional yang tinggi biasanya dipakai untuk membayar gaji pegawai dan membeli alat-alat perlengkapan. Melalui penjara swasta, alat-alat perlengkapan dijamin oleh lembaya penyedia layanan dan umumnya lembaga tersebut memiliki staff yang profesional (tidak terlalu gemuk) sehingga tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pekerjaan. Karena itu, penjara swasta adalah solusi untuk menghemat anggaran publik, sehingga bisa dipakai untuk pembiayaan lainnya yang menjadi prioritas.

Keuntungan berikutnya dari adanya penjara swasta adalah layanan rehabilitasi sosial yang dilakukan akan lebih berkualitas karena diawasi dan dievaluasi oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam kontrak. Karena aspek kompetisi antar lembaga penyedia layanan inilah biasanya penjara-penjara swasta berusaha untuk mengefektifkan seluruh layanan dan program yang ada mengingat kepercayaan dan nama baik yang disandangnya setelah mendapatkan kontrak. Pada akhirnya layanan koreksional dengan standar tinggi akan bisa ditampilkan dalam pembinaan narapidana. Studi yang dilakukan Blakely & Bumphus (2004) menyebutkan bahwa para narapidana korban penyalahgunaan narkoba di penjara swasta memiliki angka partisipasi yang lebih tinggi dalam mengikuti program rehabilitasi narkoba yaitu sekitar 28% dibanding dengan partisipasi di penjara publik yang hanya sekitar 14% alias separuh sendiri dari penjara swasta.

Alasan terakhir kenapa penjara swasta yaitu dengan maraknya pembangunan penjara swasta yang didisain dengan baik, fasilitas yang mendukung, sistem keamanan yang mumpuni, pengadministrasian dan pengoperasionalan yang fleksibel, kewenangan yang didesentralisasi, pembinaan yang dilandasi semangat antusiasme dan moral yang tinggi, kepemimpinan yang memadai, maka diyakini performa penjara swasta dalam memberikan pelayanan akan meningkat. Dan tak kalah pentingnya adalah para narapidana dipekerjakan dan mendapat upah dari perusahaan yang mempekerjakannya.

Tentu saja masih banyak pro dan kontra terkait dengan konsep penjara swasta ini. Banyak pihak yang apatis dan mempertanyakan sejauh mana sistem keamanan bisa menyerupai atau bahkan melebihi penjara public mengingat masyarakat butuh rasa aman dan kekhawatiran jika para narapidana melarikan diri. Oleh sebab itu, perlu adanya studi-studi lebih lanjut mengenai penjara swasta dalam konteks masyarakat Indonesia, termasuk keuntungan dan kerugiannya. Tapi untuk menuju ke sana, sepertinya perjalanan masih sangat panjang.


Penulis adalah pengamat masalah sosial tinggal di Australia.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Saturday 3 August 2013

VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES: A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA




Price: $14.00

From the mid – 19th century the Samin people have made a contribution to resistance to Dutch colonial rule in rural Java by their non-violence movement and passive resistance (lijdelijk verset). History also notes that they have a unique culture and system of values which reflect their own local wisdom. However, many negative rumours have become widespread regarding this community. This book explores the marriage practices in Samin society and finds out how Samin society gives meaning to these marriage practices. It examines whether the practice of ‘virginity tests’ and ‘stray marriages’ exist in contemporary Samin society. To know the actual marriage practices of the Samin Klopoduwur, the author during his research used a feminist ethnography approach. Reading this book, the author invites us to enter this community and to look up many interesting aspects, such as their cultures, beliefs, customs and local wisdom.



This eBook is available at:
Lulu Bookstore
Apple iBookstore
Barnes & Noble NOOK
Google play Books
Kindle eBooks amazon
Textbooks
Booko
Smashwords
General eBooks
Createspace
Kobo eBooks
Indogo eBooks
Angus & Robertson Bookstore
Bookworld



This Book is available at:






VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES


A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA




Arif Rohman





Product Details

ISBN
9781291494778
Edition
Second Edition
Published
2 August 2013
Language
English
Pages
60
File Format
ePub
File Size
1.53 MB











Friday 14 June 2013

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI DJOKO SANTOSO UNTUK RI 1 (JILID II)

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI   DJOKO SANTOSO 
UNTUK RI 1 (JILID II) : JADILAH PELARI ESTAFET YANG BAIK





Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1 (Jilid II) : Jadilah Pelari Estafet yang baik. Kabar Jember, 6(1).


Tak terasa sudah hampir satu bulan sejak Pak Djoko Santoso menyatakan kesiapannya untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau pada pertengahaan bulan Mei 2013, "Jika Allah mengizinkan dan rakyat mendukung, Insya Allah saya siap melanjutkan kepemimpinan di negara ini". 

Sejak saat itu banyak pendapat yang beragam terkait dengan pernyataan kesiapan pencalonan beliau, dikarenakan beliau tidak memiliki kendaraan politik yang dalam hal ini adalah partai politik pengusung. Tulisan ini berusaha memahami posisi beliau dalam percaturan politik di Indonesia dan peluang-peluang yang ada untuk diusung oleh partai politik di Indonesia dari kacamata saya pribadi.

Hal pertama yang saya ingin bahas adalah popularitas dan elektabilitas beliau dalam konteks masyarakat Indonesia. Perlu diakui bahwa selama ini beliau dalam kariernya sebagai tentara memang jarang diexpose/terexpose. Ini berlanjut sampai beliau memegang tampuk pimpinan dari Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad, dan terakhir Panglima TNI. Informasi yang saya terima langsung dari beliau, beberapa waktu lalu sebenarnya sudah terjawab. 

Kata beliau, saya tidak perlu banyak tampil di media. Tugas saya sebagai Panglima TNI adalah mengamankan territori Indonesia. Saya hanya ingin bekerja dengan baik sebagai tentara. Menjaga keamanan negeri dan kedaulatan negara. Sebagai pimpinan TNI ada saatnya kita bicara dan ada saatnya tidak. Tapi yang pasti tugas tentara itu ya di lapangan. Kata-kata beliau ini setelah saya check dengan beberapa tentara yang dekat dengan beliau, memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit dari teman-teman dan anak buahnya, yang menyebut beliau sebagai benar-benar jenderal lapangan atau ada yang menyebutnya sebagai jenderal yang sangat perfeksionis. 

Menurut pendapat beliau, seseorang dikatakan pemimpin jika punya anak buah dan anak buahnya tersebut mau dan mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Jadi kalau ada orang yang mengaku pemimpin tapi anak buahnya atau orang-orang dibawahnya tidak mengakuinya, tidak menuruti perintahnya sebagaimana diatur dalam sebuah organisasi, itu berarti dia bukan seorang pemimpin. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menjadi contoh. 

Menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya. Seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang diberi tugas yang sesulit apapun tetapi bisa diselesaikan. Pemimpin harus punya jiwa 'problem solver'. Menurut Pak Djoko Santoso, demokrasi di Indonesia sudah berjalan dan tugas kita semua untuk mengawal dan mendukung ke arah yang lebih baik. Kita tidak bisa mundur ke belakang, jika ada yang salah atau tidak benar, sistemnya lah yang harus dibenahi bersama agar bisa lebih baik lagi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia bisa menjadi tolok ukur demokrasi di Asia khususnya di Asia Tenggara. Bila Indonesia berhasil dalam masa transisi ini, dan kemudian menjadi negara yang aman, maju dan sejahtera, maka negara-negara tetangga juga akan mendapatkan manfaatnya. 

Tetapi sebaliknya kalau negara ini rusuh dan kondisi tidak stabil, maka negara-negara tetangga juga akan merasa terancam. Dan itu tentu saja tidak baik bagi hubungan pertemanan dan politik antar bangsa. Menurut beliau, sekarang jamannya sudah berubah tidak seperti dulu. Sekarang ini definisi perang sudah berubah. Kalau dulu perang dalam artian perang senjata atau fisik dengan menggunakan peralatan tempur, perang sekarang ini adalah perang kebudayaan dan prestasi. Sebagai contohnya, negara dengan prestasi olah raga yang terbaik di dunia (salah satu ukurannya adalah olimpiade), pada dasarnya adalah negara yang menang perang. Hal ini terbukti dengan dominasi Amerika dan China dalam ajang kejuaraan tersebut. 

Tidak dapat dipungkiri, mereka sejatinya adalah negara pemenang perang. Karena itulah sistem pembinaan olah raga harus mulai kita tata kembali. Pencarian bakat harus dimulai sejak dini. Sejak anak masih di pendidikan dasar, sehingga mereka tahu bakatnya apa dan bisa terus dikembangkan sampai perguruan tinggi, tingkat nasional, dan akhirnya mewakili Indonesia dalam event-event internasional. Artinya, pengkaderan atlet harus dimulai sejak dini dan didukung sistem yang baik, dan bukan sistem yang sifatnya sporadis atau asal comot atau asla ketemu saja. 

Pada point ini, kesejahteraan para atlet di Indonesia juga harus diperhatikan karena mereka-mereka ini pada dasarnya adalah pahlawan-pahlawan bangsa yang membawa harum nama bangsa Indonesia. Demikian juga halnya dengan kesejahteraan masyarakat. Negara yang mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya adalah negara-negara yang menang perang dalam arti yang sesungguhnya. Karena itulah keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat harus diutamakan. 

Para pemimpin di negeri ini sudah saatnya kembali kepada arti/makna dasar dari istilah pejabat negara. Pejabat negara yaitu mereka yang mau mengabdikan diri pada negara. Kata kuncinya adalah mengabdi pada negara. Artinya, mereka-mereka ini, para pejabat sudah tidak lagi pada tahap mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengedepankan/mementingkan kepentingan/kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnyanya. Menjadi pejabat negara adalah pengabdian. 

Jadi harus siap miskin. Harus siap capek. Harus siap tersita waktunya untuk keluarga. Karena itu diperlukan dukungan penuh dari seluruh anggota keluarga. Cara dan gaya hidup para pejabat di awal kemerdekaan harus ditiru dan dihidupkan kembali. Memberikan teladan dan mengajari masyarakat untuk hidup sederhana. Kekayaan dan harta pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya semu, namun rasa bahagia melihat negara menjadi aman, sejahtera dan adil secara sosial yang nantinya akan diwariskan pada generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cucu kita, itulah makna kebahagiaan yang sejati. Tongkat estafet ini harus diserahkan pada pelari berikutnya, dan pelari sekarang, saat ini, yaitu kita semua, harus bisa berlari dengan baik. Semakin kita berlari dengan baik, dengan cepat, dengan penuh semangat, pelari selanjutnya akan lebih mudah untuk meneruskan perjuangan ini.

Jadi, dari apa yang diungkapkan beliau ini, saya bisa berkesimpulan bahwa beliau punya maksud yang baik. Beliau punya visi dan misi yang jelas untuk mengabdi dan membangun negeri ini. Mengingat track record/jejak rekamnya yang cukup baik, diantaranya berhasil memadamkan konflik/bencana sosial di Ambon Maluku setelah gonta-ganti panglima sampai 3 kali dan gagal, prestasinyanya dalam menangani para pengungsi korban bencana alam di Aceh dan Jogja, membuktikan bahwa beliau bisa memimpin dengan baik dan sekaligus dapat menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepada beliau dengan baik pula. Jadi, pertanyaannya kemudian, apakah kita butuh profil individu yang sering tampil di media massa atau mereka yang dengan legowo tidak banyak tampil di media massa tapi menghasilkan pekerjaan/prestasi yang lebih baik? 

Saya tidak menafikkan bahwa salah satu faktor untuk bisa memenangkan pemilu presiden adalah dikenal luas oleh masyarakat (kepopuleran). Tapi bukankah masih ada waktu sekitar 1 tahun ini untuk mengenalkan Pak Djoko Santoso kepada masyarakat? Bukankah intan meskipun terbenam dalam lumpur yang hitam sekalipun, namun dia tetap intan? Bukankah intan itu akan senantiasa bersinar dan orang akan berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Bukankah sesuatu yang memiliki kualitas akan selalu dicari meskipun sulit atau jauh tempatnya? 

Bukankah para pecinta ayam pelung akan rela menempuh perjalanan jauh masuk keluar desa-desa di Cianjur untuk melihat dan membeli ayam pelung Cianjur? Bukankah orang harus rela berjalan jauh ke desa-desa di balik gunung di Jawa Timur, hanya untuk melihat dan membeli ayam cemani (ayam yang seluruh badan, bulu, paruh, kaki, kepala dan darahnya hitam - bisa buat obat/penyembuhan penyakit) yang sangat langka? Jika memang Pak Djoko Santoso memang secara pribadi dan profil nantinya lebih baik dari jenderal-jenderal yang ada yang mencalonkan diri juga, bukankah nanti masyarakat yang akan menentukan? 

Saya percaya dalam beberapa waktu ini, jika komunikasi politik beliau berjalan dengan baik (hal ini tentu saja harus ditunjang/didukung oleh tim sukses yang ahli dan profesional), masyarakat akan lebih mengenal beliau, masyarakat akan lebih dekat dengan beliau, dan mungkin saja akan menjadi pendukung beliau dalam pemilu presiden 2014. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan profil jenderal-jenderal yang ada saat ini yang merupakan pemain lama. Kehadiran pak Djoko Santoso adalah sesuatu yang dirasakan fresh/segar yang diharapkan bisa mengisi ruang yang kosong/kerinduan akan pemimpin yang jujur dan adil selama ini kita impi-impikan? Sebagai konsekuensinya, elektabilitas beliau nantinya akan naik, dan partai-partai politik pun kemudian tidak akan segan-segan lagi untuk mengusung beliau sebagai capres 2014. 

Hal kedua yang menarik bagi saya adalah membahas peluang beliau untuk diusung partai-partai politik. Menurut saya, nilai jual beliau ada pada dirinya yang seorang nasionalis. Sesuatu yang ditawarkan pada sosok/pribadi beliau adalah cinta tanah air. Ya.. Beliau adalah seorang nasionalis. Tidak terkotak-kotak pada kelompok-kelompok yang ada. Meskipun beliau adalah seorang nasionalis beliau adalah orang yang taat beribadah. Tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Pernah saya bertamu ke tempat beliau, pada waktu masuk waktu sholat, beliau langsung dengan santun memotong pembicaraan, dan meminta ijin untuk sholat Dzhuhur. Luar biasa... 

Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu. Inilah yang menjadi alasan kenapa saya menulis artikel sederhana ini. Agar beliau dikenal… Agar masyarakat tahu dengan jelas dan nantinya mempertimbangkan dengan/secara obyektif calon mana yang sesuai dengan hati kecil mereka dan akan mereka pilih. Beliau adalah sosok yang ngemong. Beliau ingin orang-orang Indonesia bisa sekolah tinggi dan tidak kalah dengan bangsa lain. Sekolah tinggi itu investasi. Generasi-generasi ke depan harus lebih cerdas dan lebih pintar. Jika kelak negara ini dipimpin oleh generasi selanjutnya yang pintar dan berakhlak mulia maka cita-cita luhur dalam sejarah "gemah ripah loh jinawi' akan benar-benar terwujud. 

Sebagai seorang pemimpin, beliau sangat menghargai para pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ada hal-hal positif yang harus dicontoh/ditiru dan ada hal negatif yang perlu ditinggalkan. Sebagai contohnya, perlu diakui bahwa mantan presiden Soeharto adalah seorang pemberani. Pada waktu di camp ketika semua tentara tidur, Soeharto malam-malam keluar sendirian, berjalan sendirian hanya untuk mengetahui situasi di luaran. Begitu beraninya! Pagi-pagi baru pulang dan ketika teman-temannya bertanya, dari mana? Soharto hanya menjawab sederhana, jalan-jalan saja… Cari angin... Keberanian Soeharto ini lah yang patut ditiru. Ketika lawatan ke Bosnia??? Pesawat presiden Soeharto tidak boleh turun karena tidak dijamin keselamatannya oleh pasukan PBB? Dia bilang turun! Dan pesawatnya pun turun... Dan tidak terjadi apa-apa! Ketika lawatan di Belanda??? Informasi intel memberitahukan bahwa lokasi sudah dikepung kelompok-kelompok pro separatis yang tinggal di Belanda. Tetapi beliau bilang, masuk! 

Dan akhirnya rombongan Pak Harto masuk dan ternyata tidak terjadi apa-apa! Keberanian inilah yang musti ditiru karena kedaulatan bangsa bisa diukur dari kedaulatan dan keberanian pemimpinnya sebelum dan sejak mulai menjabat. Karena itu tidak pernah pada jaman Soeharto orang Malaysia memanggil orang Indonesia dengan sebutan Indon. Jenderal Djoko Santoso juga pernah menjadi anak buah presiden SBY. 

Meskipun banyak suara negatif tentang SBY, Pak Djoko juga mengungkapkan sisi positif SBY yang salah satunya adalah merangkul hampir semua pihak untuk duduk dalam pemerintahannya. Ini tidak dilakukan oleh presiden sebelumnya. Begitu juga hal positif pada diri presiden lainnya seperti Gus Dur yang sangat toleran pada minoritas dan kebebasan beragama, kepada Ibu Megawati yang memiliki jiwa nasionalisme dan kebesaran hati memaafkan rezim orde baru, serta kecerdasan Habibie dalam mendukung teknologi dan terobosannya dalam menyeimbangkan rupiah dengan dollar ketika beliau masih menjabat presiden, yang tidak diketahui oleh publik. 

Di sini, jelas terlihat bahwa Pak Djoko Santoso bukan tipikal calon presiden yang ingin mencipatak statue/patung atau monumen untuk dirinya sendiri, namun lebih banyak belajar dari pendahulunya, dari sejarah yang ada. Sosok Jenderal yang tidak pernah berhenti belajar kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Jika pembaca tulisan ini berkesempatan berbicara atau bertatap muka langsung dengan beliau, pasti akan merasakan aura beliau yang bersih, tulus, ramah, jujur dan tidak macam-macam. Seperti kata beliau, kebijakan yang sudah ada nanti kita cermati, yang baik ditingkatkan dan yang belum baik kita perbaiki bersama. Saya piker, masih ada partai-partai di Negara kita tercinta yang juga memiliki hati yang tulus dan bersih, yang kelak akan meminang beliau untuk maju sebagai calon presiden 2014. 

Sebagai intermezzo, beberapa hari yang lalu saya sempat menelpon Ibu saya di kampung Tanubayan Demak. Iseng-iseng saya nanya apakah Ibu saya sudah lihat iklan Pak Djoko Santoso di TV? Ibu saya bilang belum. Terus saya tanya lagi, masak enggak ada Ibu? Itu lho yang Indonesia ASA (Adil, Sejahtera, Aman). Yang mana ya? Terus saya bilang, yang pakai caping petani terus terakhirnya berdoa mengangkat tangan sama petani di sawah sambil bilang Amien Ya Rabbal Alamien... Ibu saya bilang, ohh... Kalau yang itu sudah. Kalau yang itu sudah… Ibu tidak tahu kalau itu namanya Djoko Santoso, soalnya dia bawa caping kayak petani. Ibu pikir biasanya kalau calon presiden suka pakai jas yang rapi-rapi gitu. Kalau ini beda... Sudah... Sudah... Kalau itu sudah ada iklannya. Kalau pemilu besok Ibu akan coblos dia nang... (nang=sebutan untuk untuk anak lanang/anak laki-laki, bahasa Jawa). Saya cuman nyengir... Yahhh... Paling tidak Pak Djoko Santoso sudah mendapatkan suara dari saya dan Ibu saya. Kemungkinan juga isteri, kakak, adik, dan keluarga saya semua di Jawa maupun di Sumatera Barat. Mungkin juga teman-teman, tetangga, dan warga di tempat kami tinggal. Jadi kami berharap dan berdoa semoga semuanya lancar dan beliau diberi kemudahan sehingga ada paratai politik yang mendukung beliau.

Terakhir, semoga tulisannya ini bisa melengkapi tulisan saya yang terdahulu dan para pembaca dapat memahami dan menyelami secara lebih dalam sosok Jenderal Djoko Santoso. Kepada para fans dan simpatisan saya harapkan dapat bergerak menyebarkan informasi ini kepada keluarganya, tetangganya, dan masyarakat sekitarnya akan adanya calon presiden alternatif yang layak diperhitungkan. Kepada aktivis-aktivis partai politik di Indonesia yang suka dengan profil beliau agar sounding kapada pemimpin partainya, mengadvokasi pada pemimpin partainya dan memberikan dukungan penuh kepada beliau melalui partainya untuk maju sebagai calon presiden alternatif negeri ini untuk periode 2014-2019. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita serahkan semua kepada Allah SWT. Semoga garis tangan beliau baik. Beliau adalah pemimpin yang amanah. InsyaAllah...



Wagga Wagga, 14 Juni 2013

-----------------------------------------------------------------------------

[1] Arif Rohman is a PhD Scholar at Charles Sturt University, Australia. He can be reached at: arohman@csu.edu.au.