Saturday 2 August 2014

HIKMAH BERBAKTI KEPADA KEDUA IBUBAPA

HIKMAH BERBAKTI KEPADA KEDUA IBUBAPA


Selain seorang nabi, Sulaiman a.s. juga seorang raja terkenal. Atas izin Allah ia berhasil menundukkan Ratu Balqis dengan jin ifrit-Nya. Dia dikenal sebagai manusia boleh berdialog dengan segala binatang. Dikisahkan, Nabi Sulaiman sedang berkelana antara langit dan bumi hingga tiba di satu samudera yang bergelombang besar. Untuk mencegah gelombang, ia cukup memerintahkan angin agar tenang, dan tenang pula samudera itu.
Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan jin Ifrit menyelam ke samudera itu sampai ke dasarnya. DI sana jin Ifrit melihat sebuah kubah dari permata putih yang tanpa lubang, kubah itu diangkatnya ke atas samudera dan ditunjukkannya kepada Nabi Sulaiman. Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi terlalu heran, "Kubah apakah gerangan ini?" fikirnya. Dengan minta pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya dia begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya.
"Sipakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?" tanya Nabi Sulaiman kehairanan.
"Aku adalah manusia", jawab pemuda itu perlahan.
"Bagaimana engkau boleh memperolehi karomah semacam ini?" tanya Nabi Sulaiman lagi. Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah boleh tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan.
Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya ke mana jua dia pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit.
"Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya." Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman yang dikenali boleh berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu.
"Bagaimana engkau boleh hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?" tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut.
"Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah."
"Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?"
"Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu."
"Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?" tanya Nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin hairan.
"Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam."
Tuturnya. Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah hikmah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua-dua ibu bapa.

Hutang dan Saksi

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw bersabda bahwasanya beliau menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya utang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang mengutanginya berkata, ‘Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan (utangmu ini)’. Ia menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!’ Orang itu berkata, ‘Datangkanlah seseorang yang bisa menjamin(mu)!’ Ia menjawab, ‘Cukuplah Allah yang menjaminku!’ Orang yang mengutanginya pun lalu berkata, ‘Engkau benar!’ Maka utang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan.

(setelah lama) Orang yang berutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarkannya karena utangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut. Maka ia pun mengambil kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar ke dalamnya berikut surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia pe menuju laut seraya berkata, ‘Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin, maka kukatakan cukuplah Allah sebagai penjamin, dan ia rela dengannya. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah diberikannya kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepada-Mu’. Lalu ia melemparkannya ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Adapun orang yang telah memberi utang itu, maka ia mencari kapal yang datang ke negerinya. Maka ia pun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkai ada kapal yang membawa titipan uangnya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan kayu yang di dalamnya terdapat uang. Lalu ia mengambilnya sebagai kayu bakar untuk istrinya. Namun ketika ia membelah kayu tersebut, ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat. Setelah itu, datanglah orang yang berutang kepadanya. Ia membawa 1000 dinar seraya berkata, ‘Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang’. Orang yang mengutanginya berkata, ‘Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu dengan sesuatu?’ Ia menjawab, ‘Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang?’ Orang yang mengutanginya mengabarkan, ‘Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang telah engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan beruntung!’. (HR. Bukhari, 4/469, Kitabul Kafalah, dan Ahmad)

Kisah Islami

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda : “Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebua guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya, ‘Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!’ Orang yang memiliki tanah itupun menjawab, ‘Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya’. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata, ‘Apakah kalian berdua memiliki anak?’ Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku memiliki seorang anak laki-laki’. Yang lain berkata, ‘Aku memiliki seorang anak puteri’. Orang itu lalu berkata, ‘Nikahkanlah anak laki-laki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!” (HR. Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).

Friday 1 August 2014

Raja dan Pemuda Sholeh

Suatu ketika anak surau yang berjumlah 35
orang itu dikumpulkan. Maklum, para pengabdi
itu pun sudah dewasa dan mereka juga
memikirkan ujung pengabdian. Mereka harus
ke mana, mereka harus hidup berumah tangga,
mencari pekerjaan dan lain-lain. Guru bila
bercerita sangat menarik, mempesona dan
membuat pendengar tak bergerak. Guru
berkata, “Ada murid yang baru tamat berguru
lalu ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan
dilihatnya ada seorang putri raja yang aduhai
cantiknya, sang putri sedang duduk di depan
rumahnya yang indah. Si murid ini sangat
terpesona dan tertarik dengan paras cantik
putri itu. Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah
eloknya jika ia jadi istri dan pendamping hidup
saya…?”
Terangan-angan paras gadis sampai di
rumahnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, anak
gadis yang saya jumpai di rumah indah di
pinggir jalan itu apa sudah ada yang punya?”
Ibu menjawab, “Apa maksudnya?” ujar ibu
menimpali pertanyaan anaknya. Anaknya
berkata, “Kalau belum ada yang punya, tolong
ibu lamarkan untuk saya.” “Sadar nak” begitu
sergah ibunya. “Dia putri raja, kaya raya,
sedangkan engkau anak orang biasa dan
miskin.”
Untuk tidak mengecewakan anaknya yang baru
lulus berguru dan pantas menikah itu. Sebagai
ibu yang bijaksana, sang ibu pergi mencoba
bertanya. Ia pergi ke rumah gadis tersebut.
Maka ibu mengetok pintu sambil mengucap
salam “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum
salam”, jawab tuan rumah. “Ada apa bu?” kata
tuan rumah. “Ini anak saya kemarin lewat di
depan rumah raja kebetulan dilihatlah olehnya
seorang gadis manis putri raja dan ia merasa
tertarik. Si anak baru tamat berguru pada wali
Allah (tidak disebut nama si wali), dan maksud
kedatangan hamba kemari ingin melamar anak
gadis raja itu, bila raja berkenan dan bila putri
itu belum ada yang punya!”
Raja memang bijaksana, untuk menolak
dengan terang-terangan dan supaya tidak
menyakiti hati sebagian rakyatnya ia
menjawab, “Oh, ibu mau melamar untuk anak
ibu. Begini bu, saya tidak bisa memutuskan
sendiri, apakah lamaran itu diterima atau tidak.
Karena ini adalah masalah Negara maka saya
akan panggil dan mengumpulkan semua
menteri untuk memutuskan hal ini. Dan ibu
sebaiknya pulang dulu dan barang seminggu
sudah ada keputusan.”
Sesampainya di rumah, si anak bertanya
“Bagaimana bu, beritanya?” “Oh tunggu
seminggu lagi nak, karena raja tidak bisa
memutuskan seorang diri maka raja akan
panggil menteri-menterinya untuk membahas
masalah ini.” Raja memanggil menteri-menteri
dan memberitahukan bahwa anak si ibu yang
bernama Fulana telah datang menemui raja
dengan maksud ingin melamarkan si anak
pada putri raja dan bagaimana caranya supaya
lamaran di tolak, dengan tidak menyakiti hati
ibunya.” “Ah itu mudah raja” jawab menteri.
“Buat saja persyaratan yang berat kepadanya
yang sekiranya tidak dapat dipenuhi.” “Nah
apa itu?” kata raja. “Minta saja tujuh buah
mutiara sebesar telur, pasti ia tidak akan bisa
memenuhi dan karena itu persyaratan untuk
mempersunting putri raja menjadi gagal.” “Wah
pandai kau menteri. Aku setuju dengan caramu
itu, nanti akan aku katakan pada ibu si anak
itu jika ia datang ke sini untuk menanyakan
keputusan raja.” Benar saja seminggu
kemudian pintu raja terketuk dan terdengar
“Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam”,
pintu dibukakan dan si ibu pun dipersilakan
masuk untuk menanyakan bagaimana kabar
beritanya. “Begini, lamaran ibu diterima
asalkan anak ibu menyiapkan tujuh butir
mutiara sebesar telur lalu diserahkan pada
raja. Itu persyaratannya.” jelas raja. “Kalau
begitu saya beritahukan pada anak saya,
sanggup atau tidak.” jawab ibu. “Oh ya, ya
silakan.”
Si ibu pun pulang dari rumah raja, di pintu dia
sudah disambut oleh anak itu sambil bertanya,
”Bagaimana kabarnya bu?” ”Aduh itu nak, tujuh
turunan dari kakek sampai anak cucu, mencari
duit untuk tidak dibuat makan, tatapi dibuat
untuk membeli tujuh butir mutiara sebesar
telur ayam itu tidak akan bisa terkumpul.” “Oh
itu rupanya yang menjadi persyaratan
diterimanya lamaran saya Bu?” “Betul nak, itu
mana mungkin.” “Ah, Itu soal kecil, Bu!”
tanggap anaknya. “Ha, soal kecil?” ibunya
terheran. “Allah Ta’ala kan kaya bu” kata si
anak, dan si ibu dibuat bingung
mendengarnya. Si anak berkata, “Mutiara
sebesar dan sebanyak itu hanya ada di Laut
Cina Selatan.”
Diam-diam si anak keluar dengan membawa
tempurung kelapa dan pergi ke Laut Cina
Selatan. Dia kuras laut itu dengan batok kelapa
(tempurung kelapa) sambil membaca: laa
ilaaha illa Allah pada tiap kurasan, sehingga
hampir habis air laut itu(secara gaib). Tiba-
tiba geger penghuni-penghuni laut, berupa jin-
jin penjaga laut itu dan mereka berteriak,
“Stop…stop…! jangan kau teruskan nanti kering
laut ini dan matilah anak buah kami.
Sebenarnya apa yang engkau cari?” “Saya
akan mencari tujuh butir mutiara sebesar telur
ayam dan mutiara itu hanya ada di laut ini.
Karena itu saya harus menguras dan
mengeringkan laut ini.” begitu kata si murid
wali itu dengan tegas.
Panglima jin penghuni laut itu berkata, “Kalau
soal itu gampang, nanti saya akan
memerintahkan anak buahku untuk mencari
mutiara-mutiara itu dengan menyelami laut ini,
dan tidak usah kau teruskan untuk menguras
laut.” “Nah kalau kau sudah menjamin begitu,
baiklah akan saya hentikan menguras laut ini.”
Sesaat kemudian anak buah penghuni Laut
Cina Selatan itu diperintahkan menyelam ke
dasar laut sampai ditemukan ketujuh batu
mutiara, lalu oleh penghulu jin mutiara itu
disampaikan pada anak tadi dan ketujuh butir
mutiara itu dibawa pulang oleh anak tadi.
Sesampainya di rumah, ibu menyapa “Sudah
datang nak?” “Ya sudah datang dan ini tujuh
buah mutiara yang diminta raja” kata anaknya.
Oleh ibunya ketujuh butir mutiara itu di ambil
dan ditimang-timang, dibalik-balik setengah
tidak percaya. Lalu si anak menyeletuk, “Itu
mutiara asli, bukan batu atau plastik bu!”
meyakinkan pada ibunya. Sang ibu pun
terdiam.
Esok harinya si ibu mengantarkan ketujuh butir
mutiara itu kehadapan raja.” Assalamu’alaiku”
“Wa’alaikum salam. Apa kabar bu?” “Kabar
baik, dan ini tujuh butir mutiara yang raja
minta dari anak saya, saya disuruh untuk
mengantarkannya ke hadapan raja dan
menyerahkannya.
Ketujuh butir mutiara itu pun diterima oleh
raja, si raja terbelalak kedua matanya,
terheran-heran hampir tidak percaya, seolah-
olah dalam mimpi saja. Di balik-balik mutiara-
mutiara itu, terheran melebihi kehendaknya.
Raja terkagum diam. lalu si ibu berkata, “Tak
usah khawatir raja, itu asli mutiara, bukan
palsu, batu, atau plastik mainan, kata anak
saya.” Raja pun terhentak dan akhirnya
perkawinan pun dilaksanakan

Kisah Karomah Petani yang Wali Allah

Kisah Karomah Petani yang Wali Allah

Kisah wali Allah kali ini adalah seorang petani salih dari negeri Syiria. Pada Zaman Al-Faqh Al-Muthahhar Muhammad bin Al-sham terjadi sebuah kisah yang aneh dan menakjubkan tepatnya di daerah Al-Humrah negeri Syiria. Di sana tinggal seorang petani yang shalih dan suka berderma.

Ia membangun sebuah masjid. Bila malam tiba ia senantiasa pergi ke masjidnya untuk sholat dan selalu membawa lampu dan berbekal santap malam. Jika Allah mentaqdirkan ada orang yang membutuhkan sedekah, ia berikan bekal santap malamnya. Jika tidak ada, ia makan sendiri, baru kemudian melakukan sholat. Setiap hari demikian berlangsung terus.

Pada suatu saat Allah takdirkan di daerah ini terjadi krisis air. Banyak sumur yang kering, termasuk sumur miliknya. Petani itu dibantu oleh anak-anaknya bermaksud memperdalam sumurnya agar memperoleh air. Ketika ia sedang berada di dalam sumur tiba-tiba bibir sumur ambrol, sebongkah bibir sumur jatuh dan menguburnya.

Anak-anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berani melakukan penggalian mencari jasad ayahnya yang tertimbun, karena resikonya adalah nyawa mereka sendiri. Mereka pasrah, dan menjadikan disitulah kuburan ayahnya.

Enam tahun kemudian… Anak-anaknya sedang memperbaiki sumur tersebut. Ketika penggalian sampai di bagian bawah, antara percaya dan tidak, mereka mendapati ayahnya masih hidup. Berceritalah ayahnya, “Di dalam sumur itu ternyata ada goa, ketika dulu jatuh aku masuk ke dalam goa itu, aku tidak terkubur karena sebatang kayu mendahului jatuh di depan mulut goa sehingga menghalangi bongkahan–bongkahan bibir sumur yang ambruk.

Di dalam goa amat gelap, beberapa saat kemudian Allah memberi pertolongan berupa munculnya sebuah lampu dan makanan yang biasa aku bawa ke masjid setiap malam, sehingga aku bisa bertahan hidup selama enam tahun”.

Tersiarlah peristiwa ini dan menjadi pelajaran yang berharga dan ramai diperbincangkan oleh manusia di pasar-pasar negeri Syiria. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syakani dalam Kitab Al-Badru Ath-Tholi’ (I/492) dalam biografi Ali bin Muhammad Al-Bakri berkata, “Penulis Kitab Mathla’ Al-Budur”. Di antara orang yang pernah mengunjungi Petani tersebut ialah Muhammad bin Al-Asham.

Kisah Salman Al Farisi, pengabdian anak pada ibunya

Kisah Salman Al Farisi, pengabdian anak pada ibunya

Setiap orang yang sehat pasti menyangi dan mencintai ibunya,,
Dan ini adalah kisah pengabdian seorang anak pada IBUNYA,,

Suatu waktu Nabi Muhammad ditanya oleh sahabatnya.Ya, Rasulullah… adakah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT selain Engkau? Nabi Menjawab: Ada, yaitu Salman al Farisi. Lalu sahabat bertanya kembali: kenapa. ya, Rasulallah dia begitu disayang Allah? Kemudian Nabi bercerita bahwa Salman al-Farisi adalah orang yang berasal dari keluarga miskin, sementara ibunya sangat ingin naik haji, tetapi untuk berjalanpun dia tidak bisa. Demikian juga uang untuk pergi ke Tanah Suci tidak punya. Salman al-Farisi begitu bingung menghadapi kondisi itu. Namun akhirnya, Salman al-Farisi memutuskan untuk mengantar ibunya naik haji dengan cara menggendong ibunya dari suatu tempat yang begitu jauh dari Mekkah. Di perlukan waktu berhari-hari untuk melaksanakan perjalanan itu sehingga tanpa terasa punggung Salman al-Farisi sampai terkelupas kulitnya.”

Kisah panjangnya paling tidak seperti ini.

Suatu hari ada seorang anak sholeh yang mengendong ibunya yang tercinta. dikisahkan ibunya sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri.

saat perjalanan dari kota Madinah menuju kota Mekah dalam rangka melaksanakan ibadah Haji . Bisa dibayangkan panasnya terik matahari ketika siang dan dinginnya malam hari serta beratnya gendongan yang ada di pundaknya bukan? Betapa berbaktinya anak ini kepada ibunya, ingin membahagiakan ibunya yang sedang sakit dengan mengantarkanya menuju rumah Tuhan bahkan dengan menggendongnya, betapa besar pengorbanan dan usahanya.

Ketika akhirnya mereka sampai di kota Mekah untuk melaksanakan ibadah Haji mereka bertemu dengan Rasulullah. Bahagia sekali sang anak beserta ibunya ini ketika mereka bertemu denga Utusan Tuhan yang sangat mereka cintai dan mereka rindukan.
Terjadilah percakapan yang kurang lebih seperti ini

Sang anak bertanya kepada Rasul, “Ya Rasul..apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya? Saya menggendong ibu saya di pundak saya berjalan dari Madinah sampai Kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji”.

Seketika itu pula Rasul menangis, Kemudian Rasul menjawab dengan diiringi tangisnya yang tersedu2, “Wahai Saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar2 anak sholeh, tapi maaf…..(sambil tetap menangis) apapun yang kamu lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu…. apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orang tuamu …. tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu”

Kisah yang indah, semoga dapat membuat kita semua menjadi anak yang lebih baik.

KISAH WALI ALLAH YANG SHOLAT DI ATAS AIR

Kisah Wali Allah yang Solat Di Atas Air

Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk ahli perniagaan berlepas dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah ribut petir dengan ombak yang kuat membuat kapal itu terumbang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dipukul ombak ribut, namun semua usaha mereka sia-sia sahaja. Kesemua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka. Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang terumbangambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan solat di atas air. Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!” Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil lagi, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!”

Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, “Apa hal?” Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Peniaga itu berkata, “Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini? “Wali itu berkata, “Dekatkan dirimu kepada Allah.” Para penumpang itu berkata, “Apa yang mesti kami buat?” Wali Allah itu berkata, “Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat.” Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, “Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat.” Wali Allah itu berkata lagi, “Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah.”

Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan menghampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandungi muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut. Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu. Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, “Siapakah kamu wahai wali Allah?” Wali Allah itu berkata, “Saya ialah Awais Al-Qarni.” Peniaga itu berkata lagi, “Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang dihantar oleh seorang jutawan Mesir.” WaliAllah berkata, “Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?” Peniaga itu berkata, “Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah.”

Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan solat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah swt agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang. Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah, peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya dengan membahagi-bahagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tiada seorang pun yang tertinggal.

Wednesday 30 April 2014

DIA YANG LAHIR, MENANGIS, DAN DIBERI NAMA SESEPUH DESA

Novel Kehidupan (Gadjah Mada)



Seorang Ibu tersenyum bahagia. Telah lahir anaknya yang ketiga. Bayi yang mungil dan lucu. Laki-laki. Menangis kencang sekali. Si ibu merengkuhnya. Memberikan air susunya untuk si bayi. Bayi itu diam dari tangisnya. Bayi itu memandangi sang ibu lekat-lekat. Dia seperti menerka. Apakah ibunya menangis bahagia atau menangis sedih. Dia berusaha memahami. Tapi tak bisa. Dia belum tahu jawabnya. Dia masih terlalu kecil. Mungkin kelak dengan berjalannya waktu dia akan mendapatkan jawaban itu.

Sang ibu tergopoh-gopoh pergi ke sesepuh desa. Orang yang sudah tua dan sangat disegani di kampung. Si ibu minta kepada orang tua itu untuk memberikan nama pada si bayi yang baru lahir. Dia minta orang tua itu untuk memberikan nama yang bagus. Tak harus indah. Tapi bagus. Bukankah nama adalah harapan? Dia berkata dia orang bodoh tapi dia ingin nama yang bermakna. Nama yang kelak bisa memuluskan jalan hidupnya. Nama yang tidak sekedar nama. Nama yang tidak asal ambil. Nama yang tidak asal nama. Nama yang mencerminkan takdir, doa dan harapan. Sang sesepuh desa pun tersenyum lembut. Nama yang enak didengar seperti ksatria. Biar dia ksatria. Biar dia kelak menjadi orang berani dan bijaksana. Orang berilmu. Katanya, "Kalau engkau bodoh, engkau tidak akan meminta nama seperti itu... Baiklah kuberi nama Gadjah Mada. Semoga berjiwa ksatria dan bijaksana seperti harapanmu. Tapi menurutku perlu ditambah Mada. Supaya dia memiliki sifat pengasih. Suka berderma. Suka membantu orang lain...". Si Ibu senang bukan main. Sang sesepuh berkata, "Tanggal kelahiran anak ini bagus. Wetonnya (tanggal kelahiran Jawa) anak ini adalah Gendruwo. Anak ini besok akan suka menuntut ilmu. Kisah hidupnya akan seperti Arjuna yang meminta ilmu memanah pada Durna. Arjuna yang selalu semangat dan penuh antusias. Arjuna yang selalu mengatakan dia lemah. Arjuna yang selalu mengatakan dia bodoh. Tapi dia belajar untuk menjadi kuat. Dia belajar untuk bisa pintar seperti guru-guru yang menjadi panutannya. Semoga bisa membawa manfaat bagi orang sekitarnya. Terus anak ini pekerja keras. Kuat mentalnya. Banyak kesulitan akan menerpanya. Dia akan diuji. Kebaikan hatinya dan keteguhan hatinya akan membuatnya lolos dari setiap ujian. Dia orangnya sederhana. Tapi kalau disakiti, kekuatan dalam tubuhnya akan keluar. Dia gendruwo. Tak terkalahkan. Dia tidak punya rasa takut. Dia tidak punya rasa lelah. Dia akan selalu mengejar mimpi-mimpinya. Setiap mimpinya satu per satu akan direngkuhnya. Semakin dia direndahkan dia akan berusaha menjulang tinggi. Semakin dia dihina dia akan semakin meningkat derajatnya. Energi itu adalah semangat. Anak ini memiliki bara dalam tubuhnya. Bara yang akan semakin membara ketika bertemu angin. Anak ini sepert punya aji rawa rontek (ilmu yang semakin dipukul semakin kuat). Kebaikan dan ketulusan. Rasa cinta kasih anak ini pada ibunya. Dan doa ibu pada anak ini akan membuat anak ini kebal terhadap kesulitan dan rintangan. Yang di atas lama kelamaan juga bosan mengujinya bahkan menjadi mengasihinya. Dia akan mengirim malaikat-malaikat untuk menjaga dan melindunginya. Anak ini akan bertemu orang-orang hebat. Orang-orang hebat itu akan menjadi dekat dengannya. Tidak tahu kenapa. Mungkin anak ini jujur dan berlaku apa adanya. Dia akan mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan caranya sendiri. Cara yang sulit dimengerti. Seperti ayam berkokok walaupun mengganggu tidur pagi hari namun orang tidak marah dan mengagumi suaranya yang nyaring indah. Dia akan belajar menjadi hebat. Ilmu yang dimilikinya akan beda dan unik karena dia memakai hati nuraninya. Mukanya tidak tampan tapi menarik. Semua orang akan menyukainya. Tidak tahu entah kenapa. Semua orang akan dekat dan mengasihinya. Jiwanya yang penuh kasih akan terus memancar tak padam. Hanya orang-orang iri dan cemburu yang tidak senang padanya. Tapi suatu saat orang tersebut akan berbalik menyayanginya. Karena setiap detik, menit, bibirnya akan mengucapkan lafal kasih sayang dan kedamaian di bumi...".

Si ibu pun tersenyum gembira. Ketika dia pulang kemudian berpikir, sesepuh adalah orang berilmu. Mungkin Tuhan dekat dengannya. Mungkin kata-kata sesepuh adalah takdir untuk sang bayi. Atau mungkin yang berkata bukan sesepuh, tapi sang pencipta lewat perantaranya yaitu sang sesepuh itu sendiri. Bukankah orang tua dekat dengan liang lahat? Pastilah tidak akan berbohong. Ibu itu percaya saja dengan kata-kata sesepuh desa. Toh kata-kata itu baik. Bisa menyemangati sang ibu untuk merawat dan membesarkan sang bayi. Bukankah setiap kata-kata adalah doa? Ketika dia berangkat ke pasar, teman-temannya berkata, "Siapa nama anak ini?'. Gadjah Mada. Jawab Ibu itu. Mereka memandangi anak itu dan berkata, anaknya ganteng dan menarik. Namanya indah. Namanya indah. Selamat ya... Di suatu malam ibu itu pun menimang-nimang sang bayi. Jadilah anak yang baik. Anak yang belajar tekun. Anak yang bisa membawa nama harum buat ibu dan keluarga. Anak yang tidak kalah dengan teman-temannya. Anak yang menyayangi ibu dan saudara-saudaranya, keluarga dan orang di sekelilingnya. Ibu itu tersenyum kemudian pulas tertidur sambil menyusui si kecil. Mendapat nama dari sesepuh desa baginya adalah berkah. Walaupun sebuah nama. Tapi bak mendapat berkah dari langit. Sang ibu yang terlelap. Dia lindungi bayinya dengan doa dan puja-pujinya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Hujan rintik-rintik bernyanyi di atap genting seakan berucap riang: Damai...Damai...Damailah di bumi.

Saturday 19 April 2014

Cerpen Seno Gumira: Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993