Sunday, 29 June 2008

MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ILMU SOSIAL DASAR

MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ILMU SOSIAL DASAR
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA



1. Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dia selalu dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Sesungguhnya, masalah-masalah sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri karena masalah-masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari hubungan-hubungan dengan sesama manusia lainnya, dan juga sebagai akibat dari tingkah lakunya.

Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masing-masing masyarakat tersebut, secara garis besarnya, antara lain disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, oleh sifat kependudukannya, oleh keadaan lingkungan alam dimana masyarakat itu hidup.

Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong sebagai ilmu-ilmu sosial mempunyai ruang lingkup studi mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial untuk dapat memahami secara mendalam mengenai hakekat masyarakat dan kebudayaan manusia. Yang membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya adalah penekanan perhatian dari masing-masing disiplin mengenai aspek-aspek tertentu dan cara-cara tertentu dalam pendekatannya untuk melihat, menganalisa, dan memahami masalah-masalah yang menjadi ruang lingkup perhatiannya. Lebih lanjut, dalam masing-masing disiplin juga terdapat keanekaragaman dalam melihat dan mempelajari masyarakat manusia. Keanekaragaman ini terwujud karena para ahli dari disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan telah menggunakan perspektif yang berbeda-beda dalam melihat dan mempelajari masyarakat manusia, dan juga karena para ahli dari disiplin ilmu pengetahuan yang sama tersebut telah menekankan perhatian mengenai aspek-aspek dan masalah yang tidak sama yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan yang menjadi perhatian studinya.

Keanekaragaman dalam hal cara melihat dan mempelajari masyarakat manusia tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup para ahli yang tergolong dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, tapi juga terdapat dalam disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya dan para warga masyarakat sendiri. Kenyataan ini disadari oleh Nisbet (1961:3), yang dinyatakan bahwa "Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada batasnya dalam cara-cara untuk melihat masyarakat untuk dapat memahaminya. Masyarakat dapat dilihat menurut nilai-nilai dominannya, hasil-hasil teknologinya, pranata-pranata yang utama, ataupun sistem-sistem spiritual dan intelektual".

Salah satu pendekatan dalam usaha untuk memahami masyarakat dan kebudayaan adalah berdasarkan atas "masalah-masalah sosial utama yang terdapat dalam dan sebagaimana dirasakan oleh masyarakat itu sendiri" sebagai kerangka pendekatannya, sebagaimana dilakukan oleh Merton, Nisbet dan kawan-kawannya (Merton dan Nisbet, 1961). Dalam tulisan ini, pendekatan yang demikian itu akan digunakan untuk menjelaskan ruang lingkup Ilmu Sosial Dasar yang sasaran perhatiannya adalah mengenai berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tulisan akan mencakup uraian mengenai Masalah Sosial: pendefinisian; kebudayaan; masyarakat, dan masalah-masalah sosial; masalah-masalah sosial dan tingkat perkembangan masyarakat disusul dengan uraian mengenai Ilmu Sosial Dasar: masalah-masalah sosial dan beberapa pendekatan; kerangka pendekatan Ilmu Sosial Dasar; dan diakhiri dengan sebuah uraian penutup.

2. Masalah-masalah Sosial

Definisi

Dalam kehidupannya, manusia sewaktu-waktu pada hakekatnya selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang dianggapnya merupakan hambatan-hambatan dalam usahanya untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya, menghadapi kesukaran-kesukaran yang tidak dapat dipecahkannya dengan menggunakan cara-cara yang diketahuinya biasanya berlaku, menghadapi kenyataan bahwa berbagai hal yang biasanya berlaku telah berubah atau terhambat pelaksanaannya dan berbagai masalah lainnya. Masalah-masalah tersebut dapat terwujud sebagai: masalah sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, ataupun masalah-masalah lainnya.

Yang membedakan masalah-masalah sosial dari masalah-masalah lainnya adalah bahwa masalah-masalah sosial selalu ada kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif di mana hubungan-hubungan manusia itu terwujud (Nisbet, 1961:4). Pengertian mengenai apa yang dinamakan masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan di atas mengundang pertanyaan mengenai siapa yang mendefinisikannya. Karena dalam kenyataan, ada dua pendefinisian mengenai apa yang dinamakan masalah-masalah sosial dalam hal siapa yang mendefinisikannya.

Yang pertama adalah pendefinisian yang dilakukan oleh umum atau warga masyarakat yang bersangkutan, yang intinya adalah bahwa sesuatu yang menyangkut kepentingan umum adalah masalah sosial. Contohnya: Masalah kejahatan yang akhir-akhir ini meningkat di kota-kota dan pedesaan di Indonesia.

Sedangkan yang kedua adalah definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang pada dasarnya mengemukakan bahwa masalah sosial adalah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam suatu masyarakat yang berdasarkan atas studi mereka mempunyai sifat-sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat tersebut secara keseluruhan. Contohnya: masalah pedagang kaki-lima di kota-kota besar di Indonesia.

Menurut definisi umum, pedagang kaki-lima bukanlah masalah sosial, karena disatu pihak pedagang kaki-lima tersebut dapat memperoleh nafkah untuk dapat melangsungkan kehidupannya, dan dilain pihak para pembeli yaitu para warga masyarakat dengan mudah memperoleh pelayanan dan dengan harga yang pantas untuk taraf ekonomi mereka dan para pedagang kaki-lima. Sebaliknya para ahli perencana kota, ahli sosiologi, dan ahli antropologi akan menyatakan bahwa pedagang kaki-lima di kota-kota menjadi sumber dari berbagai kekacauan lalu-lintas dan menjadi sumber utama dari suatu kondisi dimana kejahatan dengan mudah dapat terjadi. Dengan demikian, suatu masalah yang digolongkan sebagai masalah sosial oleh para ahli belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh umum. Sebaliknya ada juga masalah-masalah sosial yang dianggap sebagai masalah sosial oleh umum tapi belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh para ahli. Karena itu, dengan mengikuti pendefinisian yang dibuat oleh Leslie (1974:24), masalah-masalah sosial dapat didefinisikan sebagai "Suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai suatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan yang karenanya dirasakan perlunya untuk diatasi dan diperbaiki".

Kalau definisi ini kita telaah lebih lanjut maka terlihat bahwa yang terutama ditekankan berkenaan dengan pengertian masalah-masalah sosial tersebut adalah adanya kondisi atau suatu keadaan tertentu dalam kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi sosial tertentu, sebenarnya merupakan hasil dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya (manusia harus makan, minum, buang air, bernafas, mengadakan hubungan kelamin dsb.), kebutuhan-kebutuhan sosial (berhubungan dengan orang lain, membutuhkan bantuan orang lain untuk memecahkan berbagai masalah, dsb.), dan kebutuhan-kebutuhan kejiwaan (untuk dapat merasa aman, membutuhkan cinta kasih dan sayang, dsb.).

Dalam usaha-usaha untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaannya sebagai model-model petunjuk atau sebagai resep-resepnya dalam mengusahakan lingkungan alamnya dan lingkungan sosialnya yang diwujudkannya dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Perwujudan ini adalah dalam bentuk kondisi atau keadaan dimana manusia itu hidup dalam proses berubah.

Kondisi yang dirasakan sebagai suatu yang tidak disukai oleh para warga suatu masyarakat dalam suatu waktu tertentu, telah terwujud karena kondisi tersebut tidak biasanya berlaku dan tidak cocok dengan model-model yang ada dalam kebudayaan mereka. Proses dari perubahan kondisi-kondisi dalam masyarakat telah terwujud karena, antara lain, jumlah penduduk bertambah, lingkungan yang telah diusahakan manusia telah berubah, cara-cara mengusahakan lingkungan lebih maju sehingga tidak memerlukan tenaga manusia yang banyak, dan juga kebutuhan-kebutuhan manusia secara individu juga bertambah karena hasil kemajuan teknologi. Sedangkan ukuran-ukuran yang digunakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan untuk menilai dan mewujudkan tingkah laku mereka adalah model-model dari kebudayaan yang telah mereka punyai, yaitu yang ada dalam kepala mereka masing-masing yang belum tentu telah berubah sesuai dengan perubahan kondisi yang mereka hadapi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Dengan demikian, terdapat suatu ketidak cocokkan antara pengetahuan kebudayaan (kebudayaan yang ada dalam kepala para warga masyarakat) dan kenyataan-kenyataan objektif yang ada dalam kondisi-kondisi dimana mereka hidu. Dengan kata lain ada perbedaan antara kerangka untuk interpretasi subjektif dari para warga dengan kenyataan-kenyataan objektif dalam mana mereka itu hidup.

Sesungguhnya, kenyataan-kenyataan objektif dapat terwujud untuk suatu jangka waktu yang lama tanpa disadari oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai masalah sosial. Misalnya masalah sampah yang dibuang oleh sebagian besar warga kota Jakarta dimana-mana: di jalan-jalan, di selokan, di kali, di bis, dan di tempat-tempat lainnya belum menjadi masalah sosial. Tetapi pada waktu para warga masyarakat merasakan bahwa kondisi-kondisi yang berubah itu dirasakan sebagai sesuatu yang menghambat atau merugikan tindakan-tindakan mereka dalam usaha-usaha untuk mencapai suatu keinginan tertentu, maka kondisi-kondisi objektif tersebut telah menjadi masalah sosial.

Dengan kata lain, suatu masalah sosial terwujud dalam suatu kondisi yang telah berubah tersebut, yaitu kenyataan objektif, diberi isi interpretasi subjektif oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Jadi kondisi-kondisi tersebut tidak diinginkan atau tidak disukai dan karenanya dirasakan perlu untuk diatasi atau ditiadakan dari kehidupan sosial mereka. Sesuatu kondisi itu dianggap sebagai yang diinginkan atau tidak, tergantung pada nilai-nilai yang mewarnai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan nilai-nilai tersebut selalu dapat berubah dalam suatu proses waktu, dan karenanya nilai-nilai tersebut tidak pernah berlaku mutlak tapi bergantung pada waktu dan cakrawala pengetahuan kebudayaan dari para warga masyarakat.

Di dalam kenyataannya, masalah-masalah sosial tidaklah dirasakan oleh setiap warga masyarakat secara sama. Suatu kondisi yang dianggap sebagai suatu yang menghambat atau merugikan oleh sejumlah warga masyarakat, belum tentu dirasakan oleh dirasakan oleh sejumlah warga yang lain dari masyarakat tersebut, atau bahkan dirasakan oleh yang lainnya sebagai sesuatu yang menguntungkan. Misalnya masalah sampah: Sampah yang bertebaran di mana-mana di sebagian kota Jakarta, yang dari satu segi dirasakan sebagai merugikan kesehatan, kebersihan, keindahan dan ketertiban, oleh sejumlah warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan, oleh misalnya para pengumpul barang bekas dan para pengumpul puntung rokok.

Kepekaan akan adanya masalah-masalah sosial biasanya dimulai oleh para ahli, para cendekiawan, pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat yang langsung merasakan akibat-akibat yang merugikan dari kondisi objektif tersebut. Kepekaan akan kanyataan bahwa kondisi-kondisi yang ada itu telah berubah, dapat berubah menjadi masalah-masalah sosial kalau dapat memepengaruhi pendapat sebagian besar warga masyarakat.

Kebudayaan, Masyarakat, dan Masalah-masalah Sosial

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi mewujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai "mekanisme kontrol: bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia (lihat Geertz, 1973), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (lihat Keesing dan Keesing, 1971). Dengan demikian kabudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (lihat juga Spradley, 1972).

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian mengenai suatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga. Karena kebudayaan diselimuti oleh nilai-nilai moral; yang sumber dari nilai-nilai moral itu ada pada pandangan hidup serta etika yang dipunyai oleh setiap manusia dan kebudayaannya.

Sedangkan masyarakat secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas peranan-peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, yang dalam mana tindakan-tindakan dan tingkah laku sosial manusia diwujudkan.

Dalam masyarakat manusia, manusia belajar mengenai dan mengembangkan kebudayaannya. Hal-hal yang terutama dipelajari adalah sistem penggolongan: baik yang berkenaan dengan nilai-nilai moral dan aestetika, maupun mengenai golongan- golongan sosial, benda-benda, peristiwa-peristiwa, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada dalam masyarakatnya, ajaran-ajaran agama, cara-cara mengungkapkan perasaan dan emosi, cara-cara bertingkah laku yang sebaik-baiknya, cara mencari makan untuk hidupnya, cara-cara mempertahankan hak, dan bahkan juga cara-cara menipu dan mencuri serta manipulasi sesuatu, serta berbagai hal lainnya yang diperlukannya sebagai warga masyarakat. Berbagai hal yang dipelajarinya tersebut tidaklah seluruhnya diterimanya, tetapi diterima secara selektif. Yang diterima dan dikembangkannya untuk menjadi kebudayaannya adalah hal-hal yang dapat digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalamannya dan lingkungannya serta untuk mendorong dan menjadi landasan bagi tingkah lakunya.

Dia mempelajari berbagai hal tersebut dari petuah- petuah dan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dari hubungan-hubungan sosial dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, kerabat-kerabatnya, teman-teman bermain, tetangga, dan dari para warga masyarakatnya. Dia juga mempelajarinya (dalam masyarakat yang berkembang) dari sekolah-sekolah, kursus-kursus, penataran-penataran, atau pranata-pranata pendidikan lainnya yang diikutinya. Juga dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibacanya, dan radio serta televisi yang diikuti siaran-siarannya.

Berbagai masalah sosial, sesungguhnya telah terwujud dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas. Tapi aspek-aspek tersebut bukanlah masalah sosial dan tidaklah mewujudkan adanya masalah-masalah sosial kalau masyarakat yang bersangkutan tidak berada dalam suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat, yang khususnya adalah disebabkan oleh perubahan teknologi. Karenanya juga, masalah-masalah sosial biasanya dirasakan ada oleh masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang atau masyarakat-masyarakat yang sudah maju atau kompleks, khususnya masyarakat industri atau perkotaan.

Masalah-masalah Sosial dan Tingkat Perkembangan Masyarakat

Dalam masyarakat-masyarakat yang tergolong sebagai primitif (yaitu yang mempunyai sistem ekonomi dan teknologi terbelakang dan dengan kebudayaan yang bersifat totalitas) masalah sosial hampir-hampir dapat dikatakan tidak pernah terwujud dibandingkan dengan yang terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang ataupun yang modern. Sebab-sebab terutama mengenai hal ini adalah karena dalam masyarakat-masyarakat yang primitif masalah-masalah yang lebih penting yang dihadapi oleh para warganya adalah adaptasi dengan dan memanfaatkan lingkungan fisik dan alam guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup mereka; dan juga karena kebudayaan mereka yang bersifat menyeluruh yang disertai dengan lingkungan alam yang relatif stabil.

Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang atau modern, masalah adaptasi dengan lingkungan alam telah tidak menjadi masalah yang besar dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam masyarakat-masyarakat tersebut. Masalah-masalah bagaimana mengatasi iklim yang dingin atau panas, penyakit-penyakit epidemi, penyakit-penyakit infeksi, bahaya kelaparan, telah dapat dipecahkan dengan hasil-hasil perkembangan dan kemajuan tingkat teknologi.

Penemuan-penemuan teknologi tidak hanya terhenti karena telah dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia. Penemuan demi penemuan tetap terus berlangsung; yang disatu pihak disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu pada hakekatnya bisa tidak ada batasnya karena setiap kebutuhan yang telah dapat dipenuhi menuntut adanya pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan ataupun yang merupakan rentetan akibat dari kebutuhan yang telah dipenuhi tadi. Sedangkan dipihak lainnya, hasil-hasil penemuan teknologi tidak selamanya dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat yang menyebabkan bertambah lebarnya jarak sosial yang telah ada, begitu juga hasil-hasil penemuan teknologi tidak selamanya dapat dinikmati dan menguntungkan seluruh warga masyarakat: di lihat dari segi ekonomi, ukuran moral, dan kedudukan sosial. Sehingga berbagai masalah sosial terwujud karenanya. Permunculan masalah-masalah sosial diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang sedang atau sudah berkembang adalah kompleks, dan warga masyarakatnya biasanya terdiri atas berbagai golongan sosial yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang tidak sama dengan yang lainnya. Sehingga kerangka sandaran untuk interpretasi atas kenyataan-kenyataan objektif yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupan sosial mereka menjadi tidak seragam -- karena berbeda dengan kebudayaan masyarakat primitif.

Masyarakat-masyarakat yang berkembang atau kompleks sebenarnya tidak mempunyai tingkat dan kwalitas perkembangan yang seragam. Secara garis besarnya keanekaragaman ini terwujud, antara lain, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam komposisi dari komponen-komponen yang mewujudkan adanya masyarakat kompleks itu masing-masing, dan juga karena latar belakang kebudayaan mereka yang tidak sama. Komponen-komponen tersebut adalah: lingkungan alam, jumlah dan komposisi penduduk atas golongan-golongan sosial dan sukubangsa, tingkat teknologi dan industri, sistem administrasi dan pemerintah dan corak sistem politik yang berlaku, dan tingkat ekonomi serta distribusi kekayaan.

Karena itu, berbagai macam masalah sosial besar yang dihadapi oleh setiap masyarakat tidak sama antara satu dengan lainnya. Ketidak-samaan ini bisa terwujud diantara masyarakat-masyarakat yang berbeda satuan nasionalnya, maupun diantara masyarakat-masyarakat yang tergolong dalam satuan-satuan nasional yang sama. Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, antara lain, masalah peningkatan pelanggaran hukum dan kejahatan; tidaklah sama dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Amerika Serikat yang antara lain adalah yang berkenaan dengan krisis energi. Begitu juga masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat kota Jakarta belum tentu sama dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan di pinggiran kota Jakarta, misalnya.

Walaupun demikian, pada prinsipnya ada masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat yang bersumber pada aspek-aspek yang sama dan yang perwujudannya terletak dalam kaitannya dengan aspek-aspek tersebut. Yaitu pada keluarga, golongan-golongan sosial, agama, pendidikan, kependudukan, lingkungan alam, ekonomi dan kemiskinan, penyimpangan sosial dan kejahatan, serta sistem politik dan kenegaraan. Masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan dan bersumber pada aspek-aspek inilah yang menjadi ruang lingkup dari sasaran studi ilmu sosial dasar.

3. Ilmu Sosial Dasar

Masalah-masalah Sosial dan Beberapa Pendekatan

Masalah-masalah sosial telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia, karena dianggap sebagai mengganggu kesejahteraan hidup mereka. Sehingga, merangsang para warga masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya. Di masa lampau, pada waktu belum ada ahli-ahli ilmu sosial, para warga masyarakat yang biasanya peka terhadap adanya masalah-masalah sosial adalah para ahli filsafat, ahli dan pemuka agama, dan para ahli politik dan kenegaraan.

Di samping pendekatan-pendekatan tersebut, berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial (seperti antropologi, sosiologi, politik, psikologi sosial, komunikasi), juga mencakup berbagai masalah sosial dalam ruang lingkup studi mereka masing-masing. Walaupun demikian, pusat perhatian studi-studi mereka itu bukanlah pada masalah-masalah sosial itu sendiri tetapi pada usaha untuk memahami hakekat manusia, kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah sosial dilihat sebagai hasil atau akibat dari adanya proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah proses-proses yang secara tetap dan terus menerus di alami oleh setiap masyarakat manusia, cepat atau lambat, berlangsung dengan tenang ataupun dengan kekacauan.

Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Norton dan Nisbet (1961), Denzin (1973), Gerson (1969), dan Bodley (1976), merasakan bahwa dengan menggunakan pendekatan masalah-masalah sosial maka hakekat masyarakat dan kebudayaan manusia akan dapat lebih dipahami, begitu juga berbagai dengan usaha-usaha untuk memperbaikinya akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan atas pendekatan tersebut diatas, Ilmu Sosial Dasar dikembangkan sebagai ilmu.

Ilmu Sosial Dasar: Kerangka Pendekatan

Sesungguhnya, yang dinamakan ilmu sosial dasar itu bukanlah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Tapi hanyalah pengetahuan mengenai masalah-masalah sosial dan berbagai aspek yang berkaitan dengan itu, yaitu aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia. Karena istilah pengetahuan mempunyai pengertian yang menunjukkan kelonggaran dalam batas dan kerangka berpikir, maka istilah ilmu telah digunakan karena mencakup suatu pengertian mengenai suatu sistem pengetahuan yang mempunyai kerangka pendekatan berkenaan dengan masalah-masalah yang menjadi perhatiannya.

Ilmu Sosial Dasar mempelajari masalah-masalah sosial yang terwujud dalam masyarakat, yaitu menganalisa dan menjelaskan masalah-masalah sosial tersebut dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Aspek-aspek tersebut mencakup nilai-nilai, norma- norma, sistem-sistem penggolongan dan pranata-pranata sosial serta kebudayaan yang berlaku.

Karena dalam kenyataannya masalah-masalah sosial itu mewujudkan adanya semacam disorganisasi sosial, maka dalam pendekatan Ilmu Sosial Dasar menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan untuk dapat memahami masalah-masalah sosial dan aspek-aspek yang ada dalam masyarakat.
Landasan berfikir dari penggunaan kerangka tersebut diatas adalah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu organisasi sosial yang kompleks yang terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma, pranata-pranata dan aturan-aturan untuk mewujudkan tingkah laku, yang secara bersama-sama dimiliki oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan disorganisasi sosial adalah kenyataan bahwa tidak setiap warga masyarakat mengetahui dan menyetujui serta mengikuti seluruh norma-norma ideal (yang dianggap baik menurut ukuran kebudayaan yang berlaku) dalam mewujudkan tingkah laku, sehingga masyarakat sebagai suatu organisasi sosial berada dalam suatu kondisi yang memperlihatkan adanya diorganisasi sosial. Ketidaksetujuan warga masyarakat atas tingkah laku yang seharusnya diwujudkan (berdasarkan norma ideal) dalam kehidupan sosial, terutama disebabkan karena adanya konflik dalam nilai-nilai yang mereka punyai yang nilai-nilai ini menyelimuti dan mewarnai norma-norma yang ada pada mereka. Perbedaan yang ada diantara warga masyarakat mengenai nilai-nilai yang mereka punyai, antara lain, adalah karena perbedaan dalam pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan yang mereka punyai dalam pengalaman-pengalaman mereka dalam proses perubahan kebudayaan dan sosial yang berlaku dalam masyarakat mereka. Di samping itu juga, hal ini mewujudkan adanya motivasi-motivasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan yang berbeda diantara para warga masyarakat. Karenanya, dalam usaha untuk memahami disorganisasi sosial maka pendekatan penyimpangan, baik perseorangan maupun sosial, akan juga digunakan.

Adanya masalah-masalah sosial yang terwujud karena adanya disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan oleh para warga masyarakat; dari satu segi memperihatkan adanya kenyataan-kenyataan yang menurut nilai moral yang berlaku adalah buruk, tetapi kalau dilihat dari segi lain memperlihatkan adanya dinamika sosial dari masyarakat tersebut. Dalam dinamika ini, terdapat dorongan-dorongan dari dalam masyarakat itu sendiri untuk memperbaiki dan membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Pada tingkat-tingkat perkembangan tertentu, dorongan-dorongan ini dapat mewujudkan adanya konflik-konflik sosial yang perwujudannya tidak selamanya negatif, sebagaimana pendapat umum, tapi bisa bersifat positif dalam hal membantu terwujudnya adanya rasa persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat (Coser, 1956).

Konflik-konflik sosial adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam proses perkembangan masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sesunggguhnya, tiada suatu masyarakatpun yang dalam proses perkembangannya tidak mengalami adanya konflik-konflik sosial. Hal ini disebabkan juga oleh, antara lain, bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup terus menerus dalam suatu keteraturan dan ketertiban yang abadi, begitu juga tidak dapat terus menerus hidup dalam suatu kekalutan yang abadi.

Dalam pengkajiannya mengenai masalah-masalah sosial dan aspek-aspeknya, Ilmu Sosial Dasar menggunakan metode vertehen, yaitu menggunakan pengetahuan kebudayaan dari warga masyarakat yang sedang dikaji masalah-massalah sosialnya. Penggunaan metode tersebut adalah dalam usaha untuk memahami masalah-masalah tersebut menurut konteks yang empiris dan seobjektif mungkin. Dakam metode ini kepekaan dan kesanggupan si pengkaji (pengajar dan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan) untuk mengambil alih peranan-peranan warga masyarakat yang sedang dikaji masalah-masalah sosialnya adalah merupakan suatu syarat mutlak.

4. Penutup

Dalam tulisan ini telah saya usahakan untuk memberikan suatu uraian mengenai ruang lingkup dan metodologi dari Ilmu Sosial Dasar. Yang ingin saya tekankan dalam uraian ini adalah bahwa walaupun Ilmu Sosial Dasar itu konsep-konsep dan pendekatannya bersumber pada hasil-hasil pengkajian ilmiah dari dan yang telah dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, tetapi tidaklah berarti bahwa Ilmu Sosial Dasar adalah sama dengan gabungan dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

Sebaliknya, Ilmu Sosial Dasar mencoba untuk mengembangkan kerangka pendekatan sendiri metode verstehen dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan. Inti dari kerangka pendekatan ini adalah bersumber pada teori-teori mengenai perubahan kebudayaan dan perubahan sosial. Dengan melalui kerangka pendekatan ini diusahakan agar berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat dapat dipahami oleh para pengkaji (khususnya para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Ilmu Sosial Dasar) menurut konteks yang setepat-tepatnya sehingga kepekaan dan pengkajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan keobjektifannya baik secara ilmiah, secara moral dan akal.

Karangan ini merupakan salah satu dari rangkaian karangan mengenai masalah-masalah yang tercakup dalam ruang lingkup studi Ilmu Sosial Dasar. Karangan ini merupakan landasan atau titik pangkal bagi masalah-masalah yang selanjutnya akan disajikan secara berturut-turut. Sebagai akhir kata, pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dalam tulisan ini masih harus ditelaah dan dikaji lagi untuk dapat lebih disempurnakan. Kritik-kritik dan komentar akan sangat dihargai.

Kepustakaan

Brodley, John H.
1976 Anthropology and Contemporary Human Problems, Menlo Park, California: Cummings.

Coser, Lewis
1956 The Function of Social Conflict, New York: The Free Press.

Denzin, Norman K. (ed)
1973 The Values of Social Science, New Brunswick, New Jersey: Transaction.

Geertz, Clifford
1973 "The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man", dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays, oleh Clifford Geertz, New York: Basic Books, Chapter II, pp.33-54.

Gerson, Walter M. (ed)
1969 Social Problems in a Changing World: A Compa- rative Reader, New York: Thomas Y. Cromwell.

Keesing, Roger M. dan Felix M. Keesing
1971 New Perspective in Cultural Anthropology, New York: Holt, Reinhart and Winston.

Merton, Robert K. dan Robert A. Nisbet (ed)
1961 Contemporary Social Problems, New York: Harcourt, Brace and World, pp.3-18.

Spradley, James P.
1972 "Foundations of Cultural Knowledge", dalam Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, oleh: James P. Spradley (ed), San Francisco: Chandler, pp.3-38.

No comments: