Thursday 4 November 2010

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

Mientje D.E. Roembiak

(Ketua Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)


Abstract

This article will descripe only some aspects of the use and a category of land
as well as the rights to land in the Biak-numfor culture area.
The Byak people distinguish the following categories of land. First, Karmgu
or mbrus , is virgin land or promair land/forest. Its was part of clan or
village territories. Secondly are gerdens, “yaf”, on which crop rotation is
planted. After a few years the soil is infertil, the land is called “yadas” or
“Yapur”. Thirdly, there are large land or deserted areas, they called it
“mamiai” consisting a number of Yaf-das land. When the people repeated
gerdening has made, there are still infertile it is refered to as “mamires”,
bush.
Beside of that, in the coastal villages there are part of the beach and the sea
“bosenrasowan”. The people of the villages use to catching fish. On Byak
and Numfor all decision over land of particuler Keret are taken by the
leadman of the Keret which is the oldest keret or important man, snon benai
suo or mansren mnu (master of the village).


A. PENDAHULUAN
Di tanah Papua setiap masyarakat adat mempunyai aturan-aturan yang
berkenaan dengan kekuasaan, pemilikan, pemakaian atas tanah dan
teritorial. Pada umumnya setiap etnik mempunyai pokok-pokok aturan
adat yang masih dianut, meskipun tidak tertulis. Contohnya, hak
kekerabatan, aturan hukum, hak tanah, hak persekutuan dan
sebagainya. Aturan-aturan tersebut juga mengatur hubungan-hubungan
manusia; manusia dengan alam sekitarnya bahkan relasi manusia dengan
alam gaib.
Pemilikan, kekuasaan atas tanah dan hutan meliputi air merupakan warisan
pemilik hak ulayat dari generasi ke generasi secara patrilineal. Adanya hak
paten setiap etnik diakui dan ditaati baik oleh pemiliknya maupun oleh
orang lain. Di dalam pemilikan tersebut masyarakat adat juga mempunyai
konsep kategori terhadap lingkungannya.
Secara khusus pemilikan tanah dan penggunaannya dalam masyarakat adat
Biak-Numfor telah ada sistem konversi hutan berdasarkan fungsi hutan;
demikian juga dengan kategori yang dibuat menurut statusnya. Jika kita
dapat memahaminya, sebetulnya dalam tatanan sosial budaya masyarakat
lokal telah ada aturan-aturan yang diturunkan dari generasi ke generasi,
maka ada seperangkat pengetahuan dan budaya yang menata sistem dan
pola penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Artikel ini akan memberikan suatu deskripsi tentang pengetahuan lokal
penduduk etnis Biak tentang kategori dan hak pemilikan tanah. Untuk itu
tulisan ini terdiri atas tiga bagian : pertama, gambaran umum tentang orang
Biak wilayah dan unsur budayanya; kedua, kategori tanah menurut status;
ketiga, hak atas tanah menurut aturan adat.


B. IDENTIFIKASI ETNIK BYAK – NUMFOR
Orang Biak mendiami kepulauan Biak – Numfor. Di sini terdapat tiga pulau
besar yaitu pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau Numfor sedangkan pulaupulau
kecil lainnya adalah gugusan kepulauan Padaido terletak di sebelah
timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi berada di bagian selatan pulau
Supiori pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau berada juga di bagian utara
Supiori dan kepulauan Mapia yang terletak di bagian utara pulau Ajau. Di
tahun 1961 jumlah penduduk orang Biak 35.000 jiwa (Galis, 1961)
sedangkan data terakhir tahun 2001 adalah 118.810 jiwa (BPS, Biak –
Numfor) menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226 kampung
(kabupaten Biak – Numfor dalam angka 2001).
Di samping itu ada daerah-daerah migran orang Biak, Yapen Utara, daerah
Wandamen, ujung timur pulau Yapen, Krudu, Ansus utara, pantai utara,
kepala burung (SauSapor) dan Sau Korem dan Mega. Kepulauan Raja
Ampat (Kamma, 1974; Mansoben J., 1994).
Orang Biak menggunakan satu bahasa, bahasa Biak yang digunakan di Biak
– Numfor dan daerah Migran sebagai bahasa penentuan dan komunikasi
sehari-hari. Meskipun satu bahasa daerah ada 11 dialek, 9 dialek ada di
Biak; 3 dialek ada di daerah migarn.1)
Di masa lampau sebelum kedatangan orang kulit putih, orang Biak
mempunyai mata pencaharian yang amat penting adalah perdagangan baik
antar kampung, antar suku di luar pulau Biak, sampai ke arah barat daerah
Maluku, dan ke arah timur Papua New Guinea (Kamma, 1974; Galis, 1961).
Kontak budaya ini membuat orang Biak mengadopsi beberapa elemen
budaya dari daerah-daerah tersebut ke dalam kebudayaannya sendiri.
Secara tradisional kampung atau “mnu” adalah suatu pemukiman di mana
terdapat beberapa “keret” (bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang
Numfor 2) yang bersifat patrilineal.
Organisasi sosial terkecil dalam kehidupan orang Biak adalah keret
kesatuan sosial yang bersifat exogam dan patrilokal. Organisasi dan
perencanaan orang Biak dahulu diatur di dalam kampung atau mnu oleh
seorang pemimpin yang disebut Mananwir. Dalam berbagai tahapan daur
hidup suku Biak Numfor di tandai dengan upacara adat (Wor) yang dapat
mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam
hubungan karena perkawinan tetapi juga hubungan tanah. Perkawinan
ditandai dengan pemberian benda-benda maskawin. (ararem).


C. KATEGORI HUTAN DAN TANAH
Orang Biak mempunyai pengetahuan tentang hutan, dan laut serta isinya.
Mereka mengkategorikannya menurut status dan penggunaannya, dan
bagaimana pembagian itu mengacu pada aktivitas hidup mereka sehari-hari;
wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral,
tetapi juga yang masuk dalam konvensi adat yang dilindungi.
1) Kamma, 1972; Mansoben J.R., 1994; Siltzer, 1985
2) Keret atau cr masing-masing mempunyai seorang pemimpin; yang lebih senior keretnya dalam
kampung. Di dalam kampung ada dewan, dimana keret-keret itu terwakili. Anggota-anggota dewan lain
dalam sebagai mediator antara masyarakat dan pemimpin. Kedudukan mereka dicapai dalam dewan
karena kemampuan bukan diwariskan (de Bruijn, 1965 : 82-4).
Tanah di dalam kehidupan orang Biak dibagi menjadi tiga (3) bagian.
Pertama, kata “hutan” dalam bahasa Biak adalah Karmgu, artinya hutan asli
atau hutan primer Kata ini menggambarkan kondisi hutan primer yang
lebat. Hutan ini tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota/
warga kampung. Biasanya hutan atau karmgu ini ditumbuhi oleh tumbuhan
yang spesifik sesuai dengan topografi tanah. Kata lain untuk karmgu adalah
“mbrur” Hutan ini disebut juga hutan asli. Hutan ini tidak untuk berburu
dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior makin
lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun mereka telah pindah dan
bermukim di tepi pantai hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi
milik Keret maupun mnu.
Kedua, status tanah untuk kebun disebut “yaf” tempat ini merupakan hutan
yang dibuka untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila
tanah tidak subur lagi maka bekas kebun ini disebut Yaf-das atau yapur.
Biasanya yapur atau jaf-das dapat ditinggalkan untuk sementara waktu
sekitar 2-3 tahun diolah kembali.
Ketiga, suatu padang yang sangat luas disebut “Mamiai”3) kadang-kadang
merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh
pemiliknya. Mamiai dapat ditanami kembali setelah beberapa kali panen.
Adakalanya padang yang sangat luas ini tidak subur lagi untuk ditanami
maka akan ditinggalkan menjadi hutan semak kembali, disebut “marires”4).
Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang
diuraikan di atas. Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak
subur, tidak memiliki pohon-pohon pelindung tidak pernah ditanami oleh
manusia5).
Di samping itu kata lain yang digunakan secara umum dalam bahasa Biak
untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret yang dapat
diolah sebagai sumber mata pencaharian adalah Saprop (tanah). Tanah
tersebut dapat diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu sampai sekarang
kebun-kebun diberi pagar oleh pemiliknya untuk mencegah tanamannya
dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi pendatang (bukan penduduk
pemilik kampung) yang tidak memiliki tanah untuk menggunakannya.
3) Lihat Galis K.H. : 1961
4) Key informan A.K (72 tahun) dari kampung MokmerBiasanya ada ijin dari pemilik apakah untuk menggunakannya. Biasanya ada
ijin dari pemilik apakah marires atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi
pelanggaran, tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada
kompensasi pembayaran denda atau “Wabiak”.Dahulu,daerah perang antar
keret terjadi dan ada pertumpahan daerah maupun pembunuhan merupakan
tanah yang dikutuk dan dilarang menurut adat untuk tidak boleh digunakan
dari generasi ke generasi.


D. HAK PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH
Pemilikan dan penggunaan tanah menurut aturan-aturan adat orang Biak
mengikuti status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang pertama yang
mendiami kampung tersebut mempunyai hak atas tanah. Ia mempunyai
kewenangan untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau
tanah kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Mansren Mnu dan
dianggap senior keret dalam kampung, diakui dan disegani.
Sesuatu wilayah atau teritorial berhubungan dengan pemukiman dan
pemilikan. Kita dapat melihatnya melalui pembagi-an oleh penduduk
menjadi tipe bagian yaitu :
Pertama, tempat pemukiman oleh keluarga batih.
Kedua, tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan.
Terakhir wilayah yang dihuni oleh gabungan suku dengan persekutuan
kampung. Faktor generalogis dan teritorial sangat erat hubungannya dengan
kehidupan etnik-etnik di Papua, khususnya di Biak.
Adanya hubungan genealogis yang sangat kuat untuk mempertahankan
haknya, misalnya hak individu.
Aturan-aturan adat mem-pengaruhi kepentingan seluruh persekutuan
genealogis ini untuk bermukim bersama di satu tempat, tetapi kadang
memiliki pemukiman yang sangat berjauhan. Letak pemukiman yang
berjauhan tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam aktivitas
sosial-budaya, misalnya upacara; maupun hadir untuk mengambil bagian
dalam menyelesaikan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.
Seorang perempuan yang telah menikah tidak mempunyai hak untuk
memiliki harta keret suaminya, misalnya tanah.Tetapi dalam adat Biak
perempuan mempunyai hak atas pemakaian tanah dan diberikan kepadanya
untuk diolah.
Ada aturan-aturan tertentu yang berhubungan dengan pemilikan tanah yang
boleh dipakai sebagai sumber pengolahan kesejahteraan. Mengacu pada
pembagian status tanah dan hutan dalam pengetahuan orang Byak maka
dapat dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya.
Pertama, karmgu, atau hutan merupakan milik klen, atau keret atau wilayah
kampung. Mereka mempunyai hak untuk hidup, mencari nafkah, “bosen
rasowan”. Pemilikan dan penggunaannya adalah diatur oleh keret dalam
kampung untuk menggunakan tertentu pemilikan dan penggunaan mengacu
kepada keret pertama yang mendiami kampung di pesisir pantai. (Contoh di
Numfor kampung Kameri menjadi pemilikan Wanma dan kampung Samber
dimana kampung Samber diberi ijin pemakai sebagian kecil dari tanah untuk
berladang. (Gallis, K.W., 1961).
Contoh lain di Warsa (Biak Utara) pemilik tanah adalah klen Wampier,
Marin dan Arfusan. Pemilikan dibagi menurut ketiga clan tersebut (Gallis,
K.W., 1961). Dahulu adanya migrasi yang berlangsung di antara orang Byak
karena bencana kelaparan, penyakit, hubungan dagang, perkawinan, konflik
dalam keret dan kampung. Migrasi baru terjadi karena adanya klen-klen
baru yang berdatangan dari kampung lain dan bermukim bersama pemilik
pertama sebuah kampung6).
Hal-hal yang nampak menonjol di kampung-kampung adalah banyak orangorang
muda pindah ke kota, keluar dari daerah asal karena pendidikan dan
pencarian kerja. Orang-orang tua adalah pemilik dan pengguna hak waris di
kampung. Sangat dikhawatirkan bahwa kadang-kadang kepala klen tidak
lagi memperhatikan hak pemilik yang telah meninggalkan kampung
halamannya bertahun-tahun.
Dengan adanya dewan adat Biak yang telah terbentuk maka setiap
Mananwir mnu dan keret mengatur, menata kembali dan meninjau aturanaturan
yang sudah ditetapkan. Sehingga hak-hak atas tanah ulayat dipetakan
sebagai salah satu asset keret maupun mnu, dimana warganya dapat
mengolah hasil-hasil alam yang ada untuk kesejahteraan hidup. Lebih dari
itu orang Biak mempunyai aturan yang telah dibakukan dalam ketetapan
adat baik di tingkat keret dan mnu tentang Hak Tanah/Ulayat


R E F E R E N S I
Galis , K. W. (1961) “Het Byak –Noemfoorse Gronden Recht”, di dalam
Nieuw – Guinea Studient Vols.
_____________ (1970) “Land Tenure in West Irian. Published by The New
Guinea Research Unit , The Australian National University, Number 38.
Kamma, F.C. (1972) “Koreri : Messianic Movements in The Biak Numfor
Culture Area”. The Hague M Nijhoff. KITLV Tranlation Series, 13.
Kan C.M & Timmerman J.E.C.A. (1983). ”Tijdschrift Van Hetkon”.
Nederlandsch Aar Drijks Kundig Genootschap-Leiden, E.J. Brill.
PEMDA TK II Biak Numfor (2001). ”Kabupaten Biak Numfor Dalam
Angka”
Koentjaraningrat & Harsya W Bachtiar, (1963). ”Penduduk Irian Barat” ,
Universitas Press.
Mansoben J.R , (1994) “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya”. Penerbit
LIPI – RUL. Jakarta.
Silzer, P.J. & H Heikkinen (1984).”Index of Irian Jaya Languages”. Dalam :
Irian Bulletin for Irian Jaya Languages. Abepura : Universitas
Cenderawasih , Summer Institute of Linguistics.

No comments: