Saturday, 4 December 2010

Politik komunikasi Bibit vs ordo Sedulur Sikep

Politik komunikasi Bibit vs ordo Sedulur Sikep





ORDO kepercayaan Sedulur Sikep minta Gubernur Bibit Waluyo mencabut statemen terkait kontroversi pendirian pabrik PT Semen Gresik di Sukolilo Pati. "Pernyataan gubernur seratus persen salah, beliau harus mencabutnya," kata anggota Sedulur Sikep, Gunretno, Rabu (22/10). (Tempo Interaktif, 22/10).

Figur yang pernah disomasi PT Semen Gresik ini merespon pernyataan gubernur, Selasa (21/10), ketika Bibit mengklaim semua warga Sedulur Sikep menerima kehadiran pabrik. Pernyataan itu dianggap ndisiki kersa karena hingga kini warga Samin - sebutan bagi kelompok Sedulur Sikep - bersikukuh menolak pembangunan pabrik. Gunretno meminta para pejabat datang sendiri ke Sukolilo.

Polemik itu mencerminkan, kepentingan masyarakat sipil ( civil society ) di salah satu titik geografis di jalur Pegunungan Kendeng sedang beradu kening dengan supremasi pemerintah.

Pegunungan Kendeng membujur dari wilayah Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Pucakwangi (Kabupaten Pati), terus ke wilayah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora, hingga sejumlah titik di Provinsi Jawa Timur. Ia tidak saja memiliki ratusan "puting" sumber air tempat berhektar-hektar sawah penduduk "menyusu". Dan, warga Sukolilo dan Pucakwangi mendapat topangan 45 persen kebutuhan air minum. Karena jika sekadar itu, dalih Pak Gub bisa tampak "rasional": keberadaan pabrik semen di sana tidak menyerobot sedikit pun sumber daya air yang selama ini menghidupi penduduk. Pabrik bisa mencari air sendiri. Tapi pegunungan Kendeng juga merupakan benteng penangkis laju angin puting beliung bagi rumahrumah warga di sepanjang jalur Kendeng.

Maka hari-hari ini politik komunikasi pemerintah tampak gerowong. Mungkin itu sekadar cermin bahwa di level operatif, elit telah mendistorsi peran birokrasi sebagai alat kekuasaan. Elit hendak kembali menggelandang birokrasi ke dalam kondisi yang tidak independen.

Kasus Sukolilo mengabarkan, reformasi birokrasi sedang tergenjet lagi. Birokrasi bisa sedang terseret pada day to day politics dan kapitalisasi. Sebagai alat melayani masyarakat, ia dilematis saat berada dalam struktur kekuasaan. Ia akhirnya ironis sekadar menjadi alat kekuatan politik yang bisa diajak berkencan ke sebuah kantin untuk bernegosiasi.

Kasus itu juga menunjukkan para elit politik begitu sudah meraup dukungan suara rakyat dalam ritualritual politik semacam pilkada, bisa seketika mungkur: memilih berseberangan dengan konstituennya. Mereka memperlakukan tidak bedanya dengan buah tebu yang manakala sudah habis manisnya segera mereka buang sepahnya.

Dari konteks ini permintaan Gunretno agar Bibit kembali datang ke rumah Mbah Tarno, salah satu sesepuh warga Samin di Sukolilo, beralasan. Sebab saat akan mencalonkan diri sebagai gubernur, konon, Bibit datang ke rumah Mbah Tarno untuk mencari dukungan. Mbah Tarno mendukung tapi bukannya sonder syarat: Bibit jangan menuruti maunya kepentingan sepihak pendiri pabrik semen.

Walau demikian, pada akhirnya, bagi si "sepah", terdapat kemusykilan untuk keperluan mengidentifikasi pemimpinnya sebagai telah melakukan "malapraktik" pengelolaan pemerintahan. Ada kompleksitas yuridis untuk menunjuk hidung siapa-siapa yang sepatutnya bertanggung jawab, dan untuk mendeskripsi apa-apa yang sepatutnya dipertanggungjawabkan dan bagaimana mempertanggungjawabkan. Bahkan jika pun ada tekstur perlakuan politik yang lebih ekstrem (kriminal) berupa "kejahatan negara" sekalipun. Seperti dibenarkan kriminolog Adrianus Meliala.

Dengan memahami kungkungan problematika strukturalnya, ikhtiar konsolidasi sipil merupakan bentuk "syariat" penyeimbangan yang niscaya. Kita turut antusias dengan pembentukan wahana-wahana konsolidasi sipil guna mengoreksi konsep industrialisasi di jalur Kendeng. Masyarakat di jalur itu amat memerlulan people empowermen agar terkembali supremasi dan kapasitas sipil mereka, dan pada akhirnya hakhak dasar dan politiknya.

Dengan konsolidasi sipil diharapkan tersusun solidaritas dan sinergisme perjuangan yang pascareformasi masih dan makin tercabik-cabik, akibat seretan atmosfer kepentingan politik yang eksesif. Dengan konsolidasi, civil society bisa secara kronis melalukan desiminasi agenda-agenda debirokratisasi. Demi ide mengembalikan profesionalisme birokrasi sebagai alat melayani masyarakat. Dan mematahkan power struggle yang memobilisasi birokrasi ke dalam peran distorsif. Konsolidasi adalah agenda yang tak urung untuk menciptakan kondisi balance of power yang sehat.

Orasi-orasi lingkungan saya kira menarik. Demikian pula kampanyekampanye lingkungan. Semua itu bagian dari pengembalian hak pendidikan publik. Juga -sesungguhnya - hak pendidikan politik dalam cakupan makna yang lebih luas.

Jika hak-hak informatif tidak dikembalikan, civil society tak akan melek perihal apa-apa yang harus mereka ketahui. Kalau mereka tidak melek bagaimana bisa mengontrol maunya elit. Kampanye-kampanye perlu ditaburkan ke dalam ladang ingatan kolektif di semua strata tentang segala hal ihwal politik lingkungan. Kampanye bisa dilakukan dalam format dialog interaktif.

Dari perpektif demokrasi kekuatan civil society di sana sah merakit kemungkinan dipakainya "resolusi lingkungan" sebagai alat untuk meluruskan setiap produk kebijakan pemerintah yang distorsif hasil rekayasa "junta" birokrasi.

Tapi untuk ini sepertinya warga di jalur Kendeng tidak patut bergerak sendiri seperti sebutir atom penyusun unsur kimiawi. Sebab, dalam kasus industrialisasi Kendeng, pemprov pun bisa sedang sekadar merepresentasikan kebijakan negara. Konsep industrialisasi tidak semata-mata tertetas dari mesin birokrasi lokal tetapi mesin "kapitalisasi " berskala nasional yang "main kayu".

Derap politik dari kekuatan civil society patut pula segara keluar dari kurungan dan kungkungan parokialisme yang bisa menjadikan semaian perjuangan sebagai alat dari kepentingan kelompok. Kekuatan civil society patut menyeruak ke dalam lingkup kancah perjuanan yang bersifat nasional. Bahkan regional dan internasional.

Tapi jangan kemudian terpeleset kaki mereka ke dalam "universalisme " agar tidak dikooptasi kekuatan hegemonik yang melirik-lirik: bisa seperti sosialisme. Atau bisa juga kapitalisme itu sendiri yang notabene hari ini sedang menggerayangi mesin birokrasi.




http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27235&Itemid=62

No comments: