Saturday, 4 December 2010

Warna-warni Para "Sedulur Sikep"

Warna-warni Para "Sedulur Sikep"


Prakarsa Rakyat, Oleh INDIRA PERMANASARI Pukul enam pagi. Udara sejuk berembus semilir. Saat itulah kehidupan Sedulur Sikep atau lebih dikenal orang sebagai Komunitas Samin di Dusun Bombong, tepatnya di Desa Baturejo, Pati, Jawa Tengah, mulai bergeliat. Dusun Bombong masih lenggang. Hanya sesekali lelaki bersepeda pancal mengangkut keranjang bambu bermuatan penuh rumput lalu lalang, atau petani yang berjalan menuju garapannya. Tidak terlihat anak-anak yang bergegas pergi ke sekolah di ruas jalanan berdebu desa itu. Dian (12), putri Gunritno salah satu Sedulur Sikep di Dusun Bombong, sibuk membantu ibunya, Hartati. Mulai dari memakaikan baju adiknya terkecil sampai di sore harinya pergi ke tempat pengupasan gabah. Karung berisi gabah itu disampirkan di sepeda mini tuanya yang ia tuntun ke tempat pengupasan. Sementara anak laki-laki mulai belajar menggarap sawah. Alam menjadi guru, sedangkan petak-petak sawah dan ladang menjadi sekolah mereka. Anak-anak Sedulur Sikep di Dusun Bombong umumnya memang tidak menempuh pendidikan di sekolah formal. Seperti yang dikatakan Widodo, salah seorang pemudi dusun itu, begitu dirinya sudah mampu mengangkat jeriken air, saat itu pula mulai membantu menyirami tanaman di kebun. Sepanjang usianya yang sudah enam belas tahun, Widodo mengaku belum pernah mengecap pendidikan di sekolah. Umumnya, para perempuan di sana menikah dalam usia muda atau belasan tahun. Dalam kisah sejarah kelahiran komunitas pengikut Samin Surontiko yang berlatar gerakan perlawanan nonkekerasan para petani terhadap penjajahan Belanda sejak tahun 1890-an itu, konon penolakan terhadap sekolah formal menjadi bagian dari strategi. Dusun Bombong sendiri seperti terungkap dalam tulisan M Uzair Fauzan, Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme; Dalam Praktik Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasus Komunitas Sedulur Sikep, merupakan bagian dari perjalanan sejarah gerakan Samin. Hasil pemetaan sosial yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pati tahun 2003, Sedulur Sikep yang mendiami Dusun Bombong berjumlah 123 keluarga, terdiri atas 633 jiwa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro, Uzair Fauzan menuliskan, dari 633 jiwa warga Sedulur Sikep hanya satu yang menempuh pendidikan di SD. Pada zaman pergerakan, Sedulur Sikep menolak memasukkan anak mereka ke sekolah lantaran khawatir bakal menjadi antek dan bekerja bagi penjajah. Kini, Gunritno, misalnya, memiliki alasan tersendiri. Pendidikan formal baginya sama saja dengan sinau atau belajar. Dalam pandangan Gunritno, mereka pun bersekolah, hanya bedanya pendidikan diberikan langsung oleh orangtua dan keluarga. Selain itu, sejumlah tokoh Sedulur Sikep juga khawatir pendidikan formal di sekolah kelak menjauhkan anak-anak mereka dari kehidupan bertani. Sekolah ditakutkan hanya membuat orang ingin menjadi pegawai yang menerima uang dan tidak mau lagi bekerja tani. Mbah Sampir yang juga memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya malah balik bertanya: untuk apa bersekolah formal? ”Sekolah malah nanti minteri orang. Sing korupsi iku wong pinter atau bodo?” tanyanya. Desakan pemerintah agar Sedulur Sikep menyekolahkan anak-anak mereka bukan tidak ada. Untuk menyukseskan gerakan wajib belajar sembilan tahun misalnya, Gunritno sendiri pernah mengaku terpaksa menempuh pendidikan dasar sampai kelas enam SD. Tetapi kemudian Gunritno beserta adik-adiknya memutuskan ramai-ramai keluar dan tidak melanjutkan sekolah. Pelajaran dalam hidup bagi mereka ialah menggarap bumi atau bertani. Para petani Sedulur Sikep sebagian masih punya lahan sendiri, walaupun ada yang menggarap tanah orang lain. Tidak ada keinginan menjadi pegawai negeri atau karyawan yang dibayar. Apalagi berdagang kulakan yang merupakan profesi pantangan. Keinginan mengambil untung dalam berdagang ditakutkan menggiring Sedulur Sikep bertindak tidak jujur. Ini sama saja melanggar prinsip lugu. Namun, Sedulur Sikep tidak berpantang menjual hasil tani mereka karena dianggap jelas asal-usulnya. Istilah yang digunakan pun bukan menjual melainkan ijol atau barter. Namun, belakangan muncul kesadaran di kalangan para generasi muda di dusun tersebut untuk melestarikan budaya mereka. Salah satunya, belajar menulis dan membaca huruf Jawa agar kelak dapat menuliskan buah pikiran mereka. Gunarti, salah seorang warga di sana, menyempatkan diri mengajari anak-anak belajar huruf Jawa. Belajar bahasa Jawa itu sekaligus strategi mengurangi porsi menonton televisi. Sebab, dengan tidak pergi ke sekolah maka tayangan televisi yang hadir hampir di seluruh rumah sederhana Sedulur Sikep menjadi santapan anak-anak di waktu senggang. Tontotan seperti Dora The Explorer dan Spongebob yang digemari anak perkotaan juga menjadi konsumsi sehari-hari mereka. Bagaimana dengan sistem di luar komunitas Sedulur Sikep yang kerap mengukur keterdidikan seseorang dengan ijazah sekolah formal? Bagi Gunritno, Sedulur Sikep harus siap dengan risikonya. Bagi mereka, bersekolah formal atau tidak bukan soal baik atau buruk, melainkan pilihan yang dianggap sesuai dengan tujuan hidup mereka. Bahwa, kepuasan tak selalu diukur dengan perolehan materi. Ini seperti tercermin dari ungkapan sejumlah warga Bombong tentang tujuan hidup mereka. Karjo, salah seorang pemuda Sedulur Sikep di Dusun Bombong, mengatakan, tujuan hidupnya ialah dapat menuruti orangtua, rukun dengan teman dan kerabat. Kalau bisa sugih iku sugih eling, begitu kata Karjo menirukan pesan orangtuanya. Eling dalam artian selalu ingat bahwa dirinya berasal dari orangtuanya sehingga tidak boleh membantah kata-kata orangtua. Jawaban serupa dilontarkan oleh warga lain, Tolan (50). Perbedaan Seiring perubahan zaman, dalam menyikapi tantangan hidupnya itu kaum Sedulur Sikep yang kini tersebar di beberapa daerah punya warna-warninya tersendiri. Ajaran Samin memang tidak tamat sepeninggal Samin Surontiko, melainkan berkembang melalui jalur anak, mantu, dan teman sepaham. Sejak tahun 1945, gerakan Samin terus dihidupkan oleh Engkrak sampai di Pati, Kudus, dan Bojonegoro. Pandangan tentang pendidikan formal, pantangan berdagang, dan kesetiaan bertani akhirnya terletak kepada interpretasi masing-masing komunitas Sedulur Sikep. Untuk melihat warna- warni tersebut disempatkan pula mengunjungi komunitas Sedulur Sikep yang bermukim di Kudus dan Bojonegoro. Di Desa Larik Rejo, Kudus, misalnya, Santoso—salah seorang tokoh generasi muda di sana—sudah mulai menyekolahkan anak-anaknya. Tujuannya sederhana. Biar bisa baca tulis saja, supaya nanti tak repot, katanya. Santoso juga tak mengharamkan kegiatan berdagang sepanjang tidak menipu. Untuk menghidupi keluarganya, dia juga terkadang berdagang. Mbah Hardjo Kardi, pemuka Sedulur Sikep di Desa Jepang, Bojonegoro, punya pandangan berbeda untuk persoalan pendidikan formal. Desa Jepang yang berada di kawasan terpencil di tengah hutan jati itu sudah mengenal sekolah sejak 1970-an. Mbah Hardjo sendiri yang merintisnya. Waktu itu sekolah mulai dibutuhkan karena setelah kemerdekaan dibutuhkan orang-orang pintar. Apalagi yang membiayai sekolah sekarang bukan penjajah, tetapi orang negeri sendiri alias pemerintah, begitu pandangan Hardjo Kardi. Anak-anak Mbah Hardjo semua bersekolah. Salah satunya yang tamatan SMP bahkan bekerja menjadi pegawai negeri sipil di kantor kecamatan. Namun, kehidupan bertani dan menggarap lahan tetap merupakan mata pencaharian utama para Sedulur Sikep di Desa Jepang. Perbedaan cara pandang ini di sisi lain meresahkan sejumlah pemuda di Bombong yang menginginkan kemurnian kembali ajaran Samin. Dari berbagai pembicaraan dengan generasi muda di dusun itu, sempat mencuat berbagai kekhawatiran hilangnya identitas komunitas Sedulur Sikep seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi. Kalau suatu ajaran sudah jadi tujuan dan pilihan maka harus siap menanggung risiko seperti apa pun agar tidak luntur. Tetapi akhirnya, bergantung pada masing-masing, kata Gunritno, generasi muda Sedulur Sikep di Dusun Bombong. Sekalipun demikian, menyelami alam berpikir mereka, tetap terlihat jelas benang merah yang menyatukan komunitas-komunitas Sedulur Sikep. Pandangan tentang tugas manusia untuk sikep rabi atau bercinta dan dari sanalah manusia berasal, hingga kini tetap dipegang teguh oleh mereka. Termasuk kejujuran untuk mengakuinya.



http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/kolom/artikel_cetak.php?aid=7413

No comments: