Wednesday, 20 April 2011

OLO PANGGABEAN (2)

OLO PANGGABEAN (2)

Tokoh Penting Dalam Transisi

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Beberapa tahun lalu seorang wartawan dari mingguan lokal menceritakan kesulitan mencari narasumber yang bersedia diwawancarai tentang ketokohan Olo. Saya katakan tulislah keterangan saya, bahwa Olo itu tokoh terkemuka yang dibutuhkan oleh zamannya dan pantas diberi penghargaan resmi oleh pemerintah. Penghargaan itu harus diawali secara lokal oleh Gubernur Rizal Nurdin. Saya ingin semua jujur dan apa adanya.

Saya katakan kepada wartawan itu niat untuk menulis biografi Olo. Saya sudah bertemu, mengenal dan pernah berbincang dengan banyak tokoh lokal yang lebih tua atau sebaya dengan Olo dalam proses transisi ini seperti Effendi Keling, Dalmy Iskandar, Zakaria Siregar, Burhanuddin Napitupulu, Dharma Indra Siregar, Ben Sukma, Bambang Irsyad, Yan Paruhum Lubis, Amran YS, Ibrahim Sinik, Djanius Djamin, HMR Matondang dan lain-lain. Olo belum. Saya lihat Olo amat penting dalam transisi yang belum selesai ini. Tetapi semua orang yang saya minta menyampaikan gagasan itu kepada Olo tak pernah melaporkan hasil yang saya harapkan. Saya sendiri tak pernah berniat menyampaikan langsung ide itu kepada Olo di Gedung Putih, markasnya di sekitar daerah Sekip yang amat terkenal itu.

Dilema civil society dan Demokrasi

Sebuah bunga rampai berjudul Preman State (Negara preman) melukiskan Negara yang tak menerapkan hukum dalam supremasinya. Dalam kerangka membentuk masyarakat madani berat sekali hambatan-hambatan yang dihadapi. Indonesia begitu sukar menghindar dari pengaruh semacam “fasisme militer” meski sudah memisahkan TNI/POLRI dan menutup program kekaryaan ide Jenderal Nasution yang disalah-terapkan itu. Memang kelompok tertentu banyak memanfaatkan militer untuk kepentingan dalam politik apalagi bisnis.

Dunia kepemudaan termasuk penerima pengaruh militerisme. Perhatikanlah kebiasaan berbicara dan ber sms melalui HP. “Dimana posisi Ketua? Apa petunjuk? Segera merapat” dan lain sebagainya. Telaahlah secara kritis dari tradisi mana asal istilah-istilah itu. Kelompok pemuda tak hanya gandrung memakai nama (Remaja Mesjid misalnya menggunakan nama Brigade untuk salah satu divisinya) dan simbol-simbol militer seperti loreng dan baret sebagai bukti kuat pengaruh alam fikiran militer. Selain mata kuliah pesanan, kampus dengan Menwanya mencopy 100 % tradisi militer. Kalau STPDN Jatinagor ya sudahlah, malah mereka kebablasan sampai bunuh-membunuh sesama praja yang katanya merupakan bawaan lain dari kesalah-kaprahan meniru tradisi militer. Tentu, maraknya Satma perpanjangan tangan OKP juga menjadi bukti lain tentang digandrunginya tradisi militer di kampus sambil menjauhi tradisi ilmiah.

Dalam dunia politik tak sulit mendeskprisikan. Partai Demokrat adalah design militer yang boleh disebut tak begitu perduli dengan struktur partai. Para penentunya para mantan militer. Golkar juga begitu. Hanya Sarwono Kusumaatmadja-lah orang sipil yang pernah menjadi Sekjen partai berlambang beringin ini. Pilpres lalu partai ini mengajukan mantan Panglima menjadi Capres, sekarang tokoh yang sama diajukan sebagai Cawapres. PDIP tak terkecuali. Saat ini partai moncong putih tampak sedang berfikir melakukan regenerasi orang-orang mantan militer dalam struktur. Adakah partai besar yang tak memiliki orang militer? Banyak fenomena quasi civil society yang tampil seolah representasi rakyat padahal perpanjangan tangan anti civil society. Demonstrasi besar tahun 1996 menuntut pengembalian tanah di Tanjung Morawa setelah HGU berakhir masanya di PTP itu akhirnya hanya melegalkan tanah yang direbut menjadi milik beberapa local big boss.

Tema serupa itulah yang pernah diajukan secara analitis oleh almarhum Amir Nadapdap, seorang dosen departemen Antrhopologi USU, pada lokakarya Agenda 100 Hari Pemerintahan 2005-2009 yang di antara nara sumbernya ada Bambang Wijayanto dari ICW dan Harbinder Singh Dillon dari Kemitraan. Amir Nadapdap dalam semangat yang menggebu sengaja saya tantang dan berusaha mementahkan argumen-argumennya untuk maksud memancing agar ia mengungkap tuntas apa yang ia tahu mengenai apa yang saya tahu tentang tema telisik kesulitan Negara dalam transisi ke civil society. “Aku sadar dikompori, katanya terbahak setelah lokakarya bubar”. Amir tidak menyebut nama, tetapi jelas ia maksudkan bahwa local big boss adalah fenomena yang erat kaitannya dengan kebobrokan pemerintahan, birokrasi dan politik. Local big boss adalah fungsi dari buruknya kinerja pemerintahan, politik dan kekuasaan serta korupsi yang bermaharaja-lela.

Seingat saya rekan Syamsu Rizal Panggabean Direktur Institut Perdamaian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pernah meneliti hal yang kira-kira mirip dengan apa yang saya gambarkan ini. Ia juga menyebut terminologi “local big boss” sebagai salah satu kata kunci yang mempersulit proses ke masyarakat madani itu. Local big boss itu sangat mutualistis dengan kekuasaan dan terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah. Waktu itu Syamsu Rizal Panggabean juga datang ke Medan untuk sebuah proyek penulisan terkait studi keamanan. Baginya Medan amat penting sebagai asal-muasal terminology preman. Pada tingkat lokal ia juga melihat Olo dan para local big boss lainnya amat penting dalam proses transisi yang belum selesai di Indonesia.

Bersambung ….

No comments: