Showing posts with label Cerita Bijak. Show all posts
Showing posts with label Cerita Bijak. Show all posts

Thursday 13 January 2011

NENEK DAN SEBATANG PENSIL

Melihat Neneknya sedang asyik menulis Adi bertanya, "Nenek sedang menulis apa?"



Mendengar pertanyaan cucunya, sang Nenek berhenti menulis lalu berkata, "Adi cucuku, sebenarnya nenek sedang menulis tentang Adi. Namun ada yang lebih penting dari isi tulisan Nenek ini, yaitu pensil yang sedang Nenek pakai. Nenek berharap Adi dapat menjadi seperti pensil ini ketika besar nanti."



"Apa maksud Nenek bahwa Adi harus dapat menjadi seperti sebuah pensil? Lagipula sepertinya pensil itu biasa saja, sama seperti pensil lainnya," jawab Adi dengan bingung.



Nenek tersenyum bijak dan menjawab, "Itu semua tergantung bagaimana Adi melihat pensil ini. Tahukah kau, Adi, bahwa sebenarnya pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup."



"Apakah Nenek bisa menjelaskan lebih detil lagi padaku?" pinta Adi



"Tentu saja Adi," jawab Nenek dengan penuh kasih



"Kualitas pertama, pensil dapat mengingatkanmu bahwa kau bisa melakukan hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kau jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkahmu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".



"Kualitas kedua, dalam proses menulis, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil yang kita pakai. Rautan itu pasti akan membuat pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, pensil itu akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga denganmu, dalam hidup ini kau harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".



"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".



"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".



"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga Adi, kau harus sadar kalau apapun yang kau perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".



"Nah, bagaimana Adi? Apakah kau mengerti apa yang Nenek sampaikan?"



"Mengerti Nek, Adi bangga punya Nenek hebat dan bijak sepertimu."

Begitu banyak hal dalam kehidupan kita yang ternyata mengandung filosofi kehidupan dan menyimpan nilai-nilai yang berguna bagi kita. Semoga memberikan manfaat.







source:http://another-reni.blogspot.com/

Saturday 27 November 2010

KISAH SEDIH SEORANG PEMBANGUN

Kisah seorang Pembangun yang sampai pada akhir hayatnya tidak melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya, maka biodata Pembangun dapat dilihat seperti ini :







TO WHOM IT MAY CONCERN:



Pembangun si orang biasa telah dikuburkan hari ini

Lahir

Tahun 1902, dari keluarga biasa

Pendidikan

Mengikuti kuliah dan sekolah tinggi serta lulus ujian tanpa penghargaan, selalu terpilih menjadi yang terakhir dan tidak banyak dikenal oleh kawan-kawan di sekolah maupun dikampusnya.

Pernikahan

Tahun 1935 dengan Dedes tak kurang tak lebih.

Pekerjaan

35 tahun mengabdi di perusahaan produk biasa-biasa saja, Pembangun menduduki posisi di perusahaan yang sangat tidak berarti dan mengurus keluar masuknya produk biasa-biasa yang membawanya ke kehidupan yang biasa-biasa saja.

Prestasi

Hidup 72 tahun tanpa tujuan, tanpa rencana, hasrat kepastian dan keyakinan.

Pekuburan

Pembangun beristirahat dengan tenang, bebas dari gangguan teman-teman dan di pekuburan orang-orang biasa…

Dan di nisan Pembangun tertulis :

Di sini beristirahat dengan tenang

Tn. Pembangun Si Orang Biasa

Lahir 1902

Menikah 1935

Meninggal 1974

” Ia berusaha untuk tidak pernah mencoba “

” Ia hanya memikirkan hal-hal yang kecil dan itulah yang didapat dari hidupnya selama ini “









Aihh.. Berat3x..

Hatiku selembar daun...

Friday 12 November 2010

SI JEBOLAN LUAR NEGERI

SI JEBOLAN LUAR NEGERI



Dari milis tetangga:


Ada seorang pemuda yang lama belajar di luar negeri kembali ke
tanahair dengan angkuh dan sombong. Di dalam benak kepalanya telah lama
tersimpan 3 pertanyaan yang dianggapnya tiada siapa yang boleh
menjawab. Satu hari beliau bertemu seorang imam tua di kampungnya.
Pemuda : Pak imam apakah boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Pak Imam : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan kamu!
Pemuda : Pak imam yakin? Profesor dan banyak orang pintar yang saya tanya tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Pak Imam : Saya akan mencuba sejauh kemampuan saya, insya'Allah.
Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan
1. Kalau benar Tuhan itu ada, tunjukan kewujudan Tuhan kepada saya?
2. Apakah yang dinamakan TAKDIR?
3. Kalau syaitan diciptakan dari api, kenapa mereka dimasukkan ke
neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan,
sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah
berfikir sejauh itu?
Dengan sepontan Pak Imam tersebut menampar pipi si Pemuda itu dengan amat kuat.
Pemuda (sambil menahan sakit) : Kenapa pak imam marah kepada saya?
Pak Imam : Saya tidak marah... Tamparan itu adalah jawapan saya untuk 3 pertanyaan yang awak tanyakan kepada saya.
Pemuda : Saya amat tidak faham...??
Pak Imam : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit dan pedih...!!
Pak Imam : Jadi kamu percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda : Ya....!
Pak Imam : Tunjukan pada saya ujudnya sakit itu atau macam mana rupanya?
Pemuda : Tak bisa pak imam...!!!
Pak Imam : Itulah jawapan kepada pertanyaan pertama kamu, kita semua
merasakan kewujudan Tuhan itu tanpa mampu melihat kewujudanNya.
Pak Imam : Adakah malam tadi kamu bermimpi atau telah tahu saya akan menampar kamu?
Pemuda : Tidak....!!?
Pak Imam : Apakah kamu pernah terfikir akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda : Tidak....!!!? Pak Imam : Itulah yang dinamakan TAKDIR!
Pak Imam : Terbuat dari apakah tangan yang saya gunakan untuk menampar kamu ini?
Pemuda : Kulit dan daging...!!!
Pak Imam : Terbuat dari apakah pipi kamu itu...?
Pemuda : Kulit dan daging....!!!??
Pak Imam : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Sakit dan pedih....!!!?
Pak Imam : Itulah...! Walaupun Syaitan terbuat dari api dan Neraka
terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan jadilah ia
tempat yang menyakitkan untuk syaitan.... walaupun sama unsur
asalnya...!!

Kisah Merak yang Sombong

Kisah Merak yang Sombong



ALKISAH di sebuah hutan, tinggallah seekor merak. Merak itu sangat indah sayapnya, sehingga binatang lain terkalahkan. Namun, merak sangat sombong. Ia menganggap bahwa dirinyalah yang terindah di dunia.

Pada suatu hari, saat merak sedang berjalan-jalan, ia melihat seekor burung beo. Merak pun mulai memperlihatkan kesombongannya.

"Hai, beo! Lihatlah aku, sayapku sangat indah bukan? Rasanya akulah yang paling terindah di antara binatang lainnya. Apakah kau punya sayap indah sepertiku?" tanya merak sambil membentangkan sayapnya.

"Hai merak! Kamu memang hebat! Tapi aku tidak punya sayap seperti kau," jawab beo sambil menundukkan kepalanya.

Ketika beo selesai berbicara, tiba-tiba merak tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai beo kaget.

"Hahahahahaha.... beo, kau tidak bisa sepertiku! Kau memiliki bulu berwarna cokelat yang kotor dan kusam, sedangkan aku memiliki warna biru dengan bulatan berwarna merah dan kuning! Hahahaha...," kata merak dengan sombongnya.

"Merak, kau sangat sombong! Kau memang tidak tahu diri! Sebenarnya masih ada burung yang berwarna-warni," kata beo dengan tegas.

"Siapa dia?" tanya merak dengan kasar.

"Nuri!" jawab beo dengan tenang.

Setelah berpikir, merak mendapat akal. "Baiklah, beo, besok aku akan ke sarang burung nuri. Awas, jika kau bohong, akan kutelan kau mentah-mentah!" kata merak mengancam pada beo.

"Ayo, siapa takut? Aku berani padamu!" kata beo. Keduanya pun kembali ke sarangnya.

Keesokan harinya, merak pergi ke rumah nuri. Ia ingin tahu apakah benar ucapan beo kemarin. Pada saat ia berjalan, ia melihat sebuah pengumuman:

"Diberitahukan kepada seluruh burung penghuni hutan jati, untuk mengikuti pameran burung yang diselenggarakan lusa. Kepada yang memiliki bulu terindah akan diberikan hadiah piala emas."

"Jadi, dua hari lagi akan ada pameran burung? Aku akan ikut serta! Pasti aku yang mendapat piala emasnya! Haha...," kata merak di dalam hati.

Merak pun segera melanjutkan perjalanan ke rumah nuri. Sesampainya di rumah nuri, merak masuk tanpa permisi dan tidak melepaskan alas kakinya. Hal itu sudah biasa dilakukan merak walaupun sudah diperingati oleh nuri.

"Nuri! Aku ingin masuk! Awas!" kata merak dengan kasar.

Nuri pun segera memberi jalan. Merak masuk dan duduk di tempat tidur nuri. Tentu saja nuri menjadi marah.

"Hai, merak! Kau memang tidak tahu sopan santun! Menepilah dari tempat tidurku. Kalau kau mau duduk, sana, di tempat duduk! Lagi pula, kenapa kau mengetuk pintu keras-keras? Bukankah kau tahu bahwa anakku sedang tidur? Dan mengapa kau memakai alas kaki sampai masuk ke rumahku?" tanya nuri marah sekali.

"Lupakan soal itu, nuri! Apa kau tidak tahu, bahwa besok akan ada pameran burung?" tanya merak.

"Tentu saja aku tahu. Dan aku akan ikut serta. Pasti aku yang terpilih menjadi juara pameran burung tahun ini" jawab nuri.

"Tidak, nuri! Pasti aku!" kata merak tidak mau kalah.

"Aku!" sahut nuri.

"Aku!" kata merak lagi.

Perkelahian itu pun pecah. Mereka masing-masing ngotot bahwa mereka yang menang.

Sementara itu, bu ayam mendengar ribut-ribut di rumah nuri. Ia pun segera ke rumah nuri.

"Hei, hei! Apa-apaan ini, mengapa kalian berkelahi, ada apa?" tanya bu ayam melerai perkelahian itu.

"Aku pasti yang menang dalam pameran burung esok hari!" kata merak kepada bu ayam.

"Salah!" ujar nuri kepada bu ayam.

"Sudahlah, kita lihat besok saat lomba. Dan kau, merak, kau juga salah! Aku percaya bahwa kau tidak akan menjadi juara pameran burung! Ingat, yang menilai adalah juri dan penonton!" sahut bu ayam memutuskan.

Akhirnya mereka kembali ke sarang masing-masing. Sekarang merak tahu, apa yang dikatakan beo benar sekali. Nuri memiliki warna merah, hijau, kuning, dan biru.

Merak sabar lagi ingin menghirup kemenangan. Namun, ia masih sombong. Ia tetap berkata bahwa ia yang menang. Setelah itu, merak pun tidur.

Keesokan harinya, merak pun bangun, lalu ia segera menuju ke tempat pameran. Namun, ia kaget, karena di arena lomba sudah ada nuri, gelatik, kenari, dan pipit.

"Hai, kalian, kenapa kalian sudah ada di sini, sedangkan aku baru datang?" tanya merak.

"Kau kesiangan, pada malam hari, peserta didatangi pak kijang, untuk memberitahu bahwa lomba dimulai pagi sekali. Tapi, kamu malah tidur," jawab keempat burung itu serempak.

"Sialan, ternyata aku terlambat! Mengapa pak kijang tidak membangunkanku saat itu?" kata merak di dalam hati.

Tiba-tiba, terdengar suara, "Perhatian, perhatian, kepada peserta pameran burung diharapkan masuk ke cabang arena, karena lomba sudah dimulai." Merak berlari cepat-cepat, karena ia ingin tahu ada apa di sana. Ternyata ia dan keempat burung itu disuruh bergaya di hadapan para juri. Merak gayanya sangat aneh, yaitu berlari, kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya, tetapi ia tidak terbang. Sedangkan nuri, gelatik, kenari, dan pipit bergaya dengan gayanya masing-masing.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Para juri mengumumkan juaranya. Merak, nuri, pipit, dan gelatik pun berdebar-debar. "Baiklah, hasil dari lomba ini adalah, juara pertama dimenangkan oleh nuri, juara kedua dimenangkan oleh merak, dan juara ketiga dimenangkan oleh kenari. Juara harapan satu direbut oleh gelatik, juara harapan dua diraih oleh pipit"

Semua penonton bertepuk tangan. Demikian pula merak, karena saat diumumkan, ia tahu kesalahannya. Ia memberi selamat kepada nuri dan berjanji bahwa ia tidak akan sombong lagi.***

(Damar Tanjung, kelas IV SDN Sudirman 4 Cimahi Jln. Cibogo No. 80 Cimahi Selatan)

Source:
PIKIRAN RAKYAT - Kisah Merak yang Sombong.mht

Burung Merak Raja di Bawah Keranjang

Burung Merak Raja di Bawah Keranjang


Seorang raja mempunyai sebuah taman, yang sepanjang empat musim selalu ditumbuhi tanam-tanaman yang wangi, hijau subur dan menyenangkan. Air mengalir berlimpah-limpah melaluinya, dan segala macam burung bernyanyi dari dahan-dahan pohon. Setiap hal yang baik dan indah yang dapat kita bayangkan terdapat di dalam taman itu. Dan di antara semuanya itu ada sekelompok burung merak yang cantik. Sekali waktu sang raja mengambil salah seekor burung merak, dan memerintahkannya agar ia dimasukkan ke dalam kantung kulit supaya bulu-bulunya tidak dapat dilihat, sehingga ia tidak dapat mengagumi keindahannya sendiri dengan cara apa pun. Dia juga memerintahkan agar burung merak itu ditempatkan di bawah sebuah keranjang yang hanya mempunyai satu lubang, melalui lubang itu sedikit biji-bijian dapat dituangkan ke dalamnya untuk makanannya.

Lama waktu berlalu. Burung merak itu lupa pada dirinya sendiri, sang raja, taman, dan burung-burung merak lainnya. Ia melihat pada dirinya sendiri. Burung tersebut tidak melihat apa-apa kecuali kantung kulit yang kotor itu. Ia mulai menyukai tempat tinggalnya yang gelap dan jelek; ia percaya di dalam hatinya bahwa tidak mungkin ada tempat yang lebih besar dari ruangan di dalam keranjang itu, sedemikian rupa sehingga ia menganggapnya sebagai keyakinan bahwa jika ada orang menyatakan tentang suatu kehidupan, tempat tinggal atau kesempurnaan di luar yang ia ketahui, maka ia menganggapnya sebagai kekafiran mutlak, omong kosong besar dan kebodohan yang murni.


Sekalipun demikian, setiap kali angin segar berhembus, dan harumnya bunga-bunga dan pepohonan, violet (= sejenis tumbuhan yang bunganya berbau harum), melati dan tumbuhan rempah-rempah sampai ke hidung burung itu, ia merasakan kesenangan yang mengejutkan melalui lubang itu. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ia merasakan adanya hasrat untuk pergi dan kerinduan batin, tetapi ia tidak tahu dari mana kerinduan itu berasal, sebab, kecuali kantung kulit itu, ia tidak mengetahui apa-apa; selain keranjang itu, tidak ada dunia lain; selain biji-bijian itu, tidak ada makanan lain. Ia telah melupakan semuanya. Ketika sekali-sekali ia mendengar suara burung-burung merak bernyanyi, dan burung-burung lain berlagu, kerinduan dan hasratnya timbul; tetapi ia tidak terbangunkan oleh suara-suara burung-burung itu atau hembusan angin.

Pernah ia bergairah memikirkan sarangnya. Angin sepoi-sepoi bertiup menyentuhku dan hampir mengucapkan kata-kata, ‘aku adalah kurir untukmu dari kekasihmu.’ Lama sekali ia memikirkan apa sesungguhnya angin yang harum itu, dan darimanakah bunyi-bunyian yang indah itu datang. Wahai kilat yang menyambar, dari perlindungan siapa engkau muncul? Tetapi ia tidak sadar-sadar juga, meskipun sepanjang masa itu kesenangan tetap tinggal di hatinya. Ah, kalau saja Laila sekali saja mengirimkan salam karunianya, meskipun diantara kami terbentang debu dan bebatuan besar. Salam kegembiraanku akan merupakan jawabnya, atau akan menjeritlah kepadanya si burung hantu, burung sakit yang memekik di tengah keremangan kuburan.

Burung merak itu bodoh, karena ia telah lupa kepada dirinya dan juga tanah airnya. . . . janganlah hendaknya kamu bertingkah seperti orang yang melupakan Allah, yang mengakibatkan Allah membuat mereka lupa diri pula. (QS 59:19) Setiap kali hembusan angin atau suara-suara datang dari taman, timbul hasrat dalam diri si burung merak tanpa mengetahui mengapa demikian. Kedua baris ini adalah karya seorang penyair: Kilat Ma’arra bergerak di tengah malam, ia melewati malam di Rama yang melukiskan kebosanannya. Ia benar-benar menyedihkan para penunggang, kuda-kudanya, unta-unta, dan terus bertambah menyedihkan, hingga ia hampir menyedihkan pelana-pelana (catatan: baris-baris ini berasal dari Al-Ma’arri, Siqth al-Zand. hal. 51).

Ia tetap kebingungan selama beberapa waktu, sampai suatu hari sang raja memerintahkan agar burung itu dilepaskan dari keranjang dan kantung kulitnya untuk dibawa menghadapnya. Peristiwa kebangkitan itu terjadi hanya dengan satu kali tiupan sangkakala saja. (QS 37:19) Apakah dia tidak mengetahui, apabila nanti sudah dibangkitkan segala isi kubur? Dan telah terungkap segala isi kalbu? Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu maha mengetahui keadaannya. (QS 100:9-11)

Ketika burung keluar dari penutupnya, burung merak itu melihat dirinya berada di tengah-tengah taman. Ketika memandang bulu-bulunya sendiri, dan melihat taman beserta aneka ragam bunganya, atmosfir dunia, kesempatan untuk berjalan kesana-kemari dan terbang tinggi, serta semua suara, irama, bentuk dan berbagai benda yang ada, ia berdiri mendesah seakan-akan tak sadarkan diri (ejakulasi teofanik ’syath’ yang terkenal dari Husayn ibn Manshur Al-Hallaj. Wahai, sungguh aku menyesali kelalaianku dalam memenuhi kewajiban kepada Allah. (QS 39.56) Lalu Kami singkapkan tabir yang menutupi matamu, maka pandanganmu menjadi lepas jelas. (QS 50:22) Mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ketika itu kamu melihat orang yang sedang melepaskan nyawanya itu, sedangkan Kami lebih dekat lagi kepadanya daripada kamu, namun kamu tidak melihat? (QS 56:83-85) Jangan berbuat begitu, kelak kamu akan tahu akibatnya. Sekali lagi, jangan berbuat begitu, kelak kamu akan tahu juga akibatnya. (QS 102:3-4)

(Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi)

Burung Hoopoe dan Burung Hantu

Burung Hoopoe dan Burung Hantu


Suatu kali ketika sedang terbang, burung hoopoe tiba di lingkungan beberapa burung hantu, lalu mampir di sarang mereka. Nah, sebagaimana yang dikenal baik oleh masyarakat Arab, burung hoopoe termasyhur karena ketajaman matanya, sementara burung-burung hantu itu pada siang hari buta. Burung hoopoe melewatkan malam itu bersama burung-burung hantu di dalam sarang mereka, dan mereka menanyainya tentang segala macam hal.

Pada waktu fajar, ketika burung hoopoe berkemas dan siap untuk pergi, burung-burung hantu itu berkata, ‘Kawanku yang malang! Sungguh aneh, apa yang akan kamu lakukan ini? Bisakah kita bepergian pada siang hari?’ ‘Ini mengherankan,’ kata si hoopoe, ‘Semua pekerjaan berlangsung pada siang hari.’ ‘Apakah kamu gila?’ burung-burung hantu itu bertanya. ‘Pada siang hari, dengan ketidakjelasan yang disebarkan matahari atas kegelapan malam, bagaimana kita bisa melihat?’ ‘Justru sebaliknya,’ kata si hoopoe, ‘Semua cahaya di dunia ini tergantung pada cahaya matahari, dan darinyalah segala sesuatu yang bersinar itu mendapatkan cahayanya. Sesungguhnya ia dinamakan “mata dari hari,” sebab ia merupakan sumber cahaya.’

Tetapi burung-burung hantu itu mengira dapat mengalahkan logika si hoopoe dengan menanyakan mengapa tak seorang pun dapat melihat pada siang hari. ‘Janganlah beranggapan bahwa lewat analogi dengan diri kalian sendiri setiap orang itu seperti kalian. Semua yang lain dapat melihat pada siang hari. Lihatlah aku. Aku dapat melihat, aku berada di dunia yang dapat dilihat, dapat diamati. Ketidakjelasan itu telah hilang, dan aku dapat mengenali permukaan yang cemerlang dengan jalan menyingkapkannya tanpa gangguan keragu-raguan.’


Ketika burung-burung hantu itu mendengar ini, mereka menjadi ribut menjerit-jerit dan, sambil bertengkar satu sama lainnya, mereka berkata, ‘Burung ini berbicara tentang kemampuan melihat pada siang hari, ketika kita terserang kebutaan.’ Dengan segera mereka menyerang si hoopoe dan melukainya dengan paruh dan cakar mereka. Mereka mengutuknya dengan memanggilnya ’si melek-siang-hari;’ sebab kebutaan pada siang hari merupakan kewajaran di kalangan mereka. ‘Jika kamu tidak menarik kembali perkataanmu,’ mereka berkata, ‘kamu akan dibunuh!’ ‘Jika aku tidak membuat diriku buta,’ pikir si hoopoe, ‘mereka akan membunuhku.

Karena mereka merasakan kesakitan terutama pada mata mereka, kebutaan dan kematian akan terjadi secara serentak.’ Dan kemudian, diilhami oleh pepatah, ‘Berbicaralah dengan orang-orang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka,’ dia menutup matanya dan berkata, ‘Lihat! Aku menjadi buta seperti kalian.’ Melihat memang demikianlah halnya, mereka berhenti memukul dan melukai si burung hoopoe, yang menyadari bahwa mengungkap rahasia Ilahi di kalangan orang-orang yang tidak percaya sama saja dengan menyebarkan rahasia kekafiran mereka. Dan karenanya, sampai tiba waktu perpisahan, secara susah payah dia bertahan dengan berpura-pura buta dan berkata: Berkali-kali aku mengatakan bahwa aku akan menyingkapkan semua rahasia di dunia yang fana ini. Tetapi, karena takut akan pedang dan adanya hasrat untuk menyelamatkan diriku, [aku telah mengunci] bibirku dengan seribu paku.

Dia mengeluh dalam-dalam dan berkata, ‘Dalam diriku ada banyak pengetahuan; jika aku melepaskannya, aku akan terbunuh.’ Jika selubung itu diangkat, aku tidak akan menjadi lebih yakin (catatan: perkataan ini diyakini berasal dari ‘Ali ibn Abi Thalib). Agar mereka menyembah Allah yang mengungkapkan segala yang terpendam di langit dan di bumi serta mengetahui apa-apa yang disembunyikan dan dinyatakan. (QS 27:25) Jelaslah, tidak sesuatu pun yang tidak dari Kami perbendaharaannya. Dan Kami tidak mengaruniakan semua kebutuhan itu, kecuali dengan kadar yang serba tertentu. (QS 15:21 )


(Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi)

Bunglon dan Kelelawar

Bunglon dan Kelelawar


Suatu kali pernah timbul pertentangan antara beberapa ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah melampaui batas. Para kelelawar setuju bahwa jika saat petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk lingkaran langit, dan matahari telah turun di hadapan bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari, mereka akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan melampiaskan dendam.

Ketika saat yang dinantikan tiba, mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya. Ketika fajar tiba, mereka bertanya-tanya apakah sebaiknya bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju bahwa dia harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana cara terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu.

Akhirnya mereka memutuskan bahwa siksaan yang paling menyakitkan adalah dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam supaya dia memandang matahari. Bunglon itu, sudah pasti, tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. ‘Penghukuman’ semacam itu persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan oleh Husayn Manshur, Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada dalam kematianku, dan kematianku ada dalam hidupku.

Maka ketika matahari terbit, mereka membawanya keluar dari rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh cahaya matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan keselamatan baginya. Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak! Bahkan mereka hidup. Mereka mendapat rizki dan Tuhannya. (QS 3:169) Kalau saja para kelelawar itu tahu betapa murah hati tindakan mereka terhadap bunglon itu, dan betapa mereka telah berbuat keliru, karena mereka justru memberinya kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani berkata, “Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka telah mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka pasti akan mati karena kecewa.” (dikutip dalam bahasa Persia ‘Aththar, Tadzkirah, hal. 282)


(Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi)

Nasehat 'Si Burung Merak'

Nasehat 'Si Burung Merak'


Ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah di zamannya, tersebutlah seorang tabi'in yang sangat termasyhur. Namanya Dzakwan bin Kisan yang sering dijuluki Thawus alias si Burung Merak.

Suatu hari Hisyam bin Abdul Malik datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Saat memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada para pemuka Makkah, "Carikan saya seorang sahabat Rasulullah SAW." Lalu para pemuka itu menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat susul-menyusul hingga tak satu pun dari mereka yang tersisa." Mendengar perkataan para pemuka Tanah Haram itu Hisyam bin Abdul Malik berkata lagi, "Kalau begitu carikan saya tabi'in."

Maka para pemuka Makkah memanggil Dzakwan bin Kisan.

Ketika menemui sang khalifah, Dzakwan bin Kisan membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut "Wahai Amirul Mukminin". Dzakwan bin Kisan hanya menyebut namanya saja tanpa sebutan kehormatan lainnya. Sesudah itu, ia langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.

Hisyam sangat geram diperlakukan seperti itu, hal tersebut terlihat dari kerutan marah di wajahnya. Dia menganggap kelakuan si Burung Merak itu sudah keterlaluan dan kurang sopan. Apalagi peristiwa itu disaksikan oleh pengawal dan para pembantunya. Tapi sang khalifah sadar, ia tidak marah, karena ia sedang berada di Tanah Haram, Baitullah.

Dengan sabar sang khalifah bertanya kepada Dzakwan bin Kisan, "Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Dzakwan?"

Kemudian Dzakwan dengan enteng menjawab, "Lho, apa yang saya lakukan?"

Kemudian khalifah menjawab, "Anda melepas sepatu di tepi permadani saya. Anda tidak memberi salam kebesaran, hanya memanggil nama, lalu duduk sebelum saya persilakan," Mendengar kegundahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik, Dzakwan malah memberi nasihat dengan arif.

"Kalau soal melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Rabb yang Maha Esa. Maka hendaknya Anda tidak gusar karena itu. Kalau soal saya tidak memberi salam kehormatan, itu karena tidak seluruh kaum muslimin berbaiat kepada Anda. Oleh karena itu saya takut dikatakan pembohong apabila memanggil Anda sebagai Amirul Mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah SWT memanggil nabi-nabinya dengan nama mereka, "Wahai Daud..., Wahai Yahya..., Wahai Musa..., Wahai Isa..., Wahai Adam...". Sedangkan persoalan bahwa saya duduk sebelum dipersilakan, itu karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata," Apabila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seseorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri." Nah, saya tidak suka melihat Anda masuk neraka," katanya dengan enteng.

Usai memberi nasihat Dzakwan bangkit dari duduknya, lalu pergi.


Sabili No.27 Th.IX

Kenapa Burung Gagak Berbulu Hitam

Kenapa Burung Gagak Berbulu Hitam

Jaman dahulu, semua bangsa burung hanya memiliki bulu-bulu berwarna putih.
Lalu di suatu musim semi bermekaranlah bunga-bunga di seluruh padang rumput,
semak-semak dan hutan.

Dunia pun menjadi berwarna-warni. Bangsa burung terlihat
sangat kontras dengan warna-warni bunga-bungaan itu. Apalagi pada musim itu,
seluruh kupu-kupu dengan sayap yang berwarna pun ikut menghiasi alam.

Seekor ayam hutan yang gagah, pada suatu pagi, membuat keributan
dengan suaranya yang lantang. "Hai teman-teman bangsa burung,
berkumpullah! Aku punya rencana yang sangat baik bagi kita semua!"


Setelah seluruh burung berkumpul, ayam hutan itu mulai berkata kepada mereka,
"Teman-teman sekalian, sudah beberapa hari ini aku mengumpulkan berbagai jenis
bunga dan buah-buah yang memiliki warna yang indah. Barangkali kita semua sudah
tahu bahwa dari seluruh binatang yang hidup, hanya kita yang memiliki warna yang
seragam yaitu putih. Kalau aku sendiri, sudah merasa bosan dengan warna putih
yang cepat kusam dan kotor ketika aku bermain-main di tanah. Nah, silakan bagi
teman-teman yang ingin mewarnai bulu-bulunya aku bersedia membagi pewarna
yang aku punyai. Ada banyak warna ; merah, kuning, hijau, biru, coklat, jingga,
ungu, dan masih banyak lagi. Silakan mengambil seperlunya."

Bangsa bangau yang lamban tidak mau mengambil satu pun pewarna yang disediakan,
mereka lebih suka melihat-lihat saja. Burung-burung kakaktua pun hanya mengamati dari
kejauhan saja. Beberapa ekor dari mereka memainkan warna hitam untuk paruh dan kaki
mereka. Beberapa ekor mengguyur tubuhnya dengan warna hitam.

Burung-burung merak dan ayam saling mengulaskan pewarna dengan rajin dan hati-hati.
Maka bulu-bulu mereka tampak mempesona.


Sementara burung-burung kenari dan bayan saling mencoba beberapa warna hingga sebagian dari mereka ada yang hijau, biru, kuning, merah atau campuran dari warna-warna itu.

Setelah itu, mereka saling memuji tentang warna-warna bulu mereka masing-masing. Burung merak paling banyak mendapat pujian tentang keindahan warna bulu-bulunya.

"Aduh, bagus sekali bulu-bulumu Merak. Aku jadi pengin mewarnai bulu-buluku seperti itu," kata burung merpati.
"Kamu tadi pakai pewarna yang mana? Aku coba juga ya?" Ujar Cenderawasih.

Di lain pihak, ada beberapa burung yang kecewa. Bebek dan angsa misalnya. Mereka mengeluhkan pewarna yang dimiliki oleh Ayam Hutan tidak tahan air. Tadinya, bebek mewarnai tubuhnya dengan warna biru muda tetapi ketika dia masuk ke dalam air, warna biru itu hilang. Angsa juga tadi sempat mencoba warna ungu. Dan warna itu luntur ketika dia masuk ke dalam air.


Burung Tukan hanya mengambil warna hitam untuk bulu-bulunya, tetapi dia ingin punya warna yang menarik untuk paruhnya. Maka dia mewarnai paruhnya dengan aneka warna.

"Wah paruhmu bagus Tukan!" Puji seekor burung robin.
"Bulu-bulumu juga bagus, Robin!" Jawab Tukan yang merasa tersanjung.

Sementara burung-burung gagak merasa bahwa dengan warna-warna itu, banyak burung yang merasa dirinya lebih baik dari burung yang lain. Maka menyerbulah mereka ke tengah-tengah pesta mewarnai itu.

"Minggirrrr semuaaa!!!" Teriak kawanan gagak bersama-sama.




Lalu dengan cepat mereka merampasi seluruh pewarna yang sedang dipergunakan oleh burung-burung itu.

"Aku ingin membuat satu warna yang lebih bagus dari warna yang kalian pergunakan!"

Mereka mulai mencampur warna hijau yang digunakan merak dengan warna merah yang tadi dipergunakan ayam hutan. Lalu menambahkan warna biru yang dipilih oleh burung rajaudang. Dan beberapa warna lainnya.

"Lihatlah! Sebentar lagi warna bulu kami lah yang paling bagus di antara kalian, sebab semua warna yang paling baik sudah kucampurkan di sini."

Satu per satu rombongan gagak mencelupkan diri pada campuran pewarna tadi. Tapi apa yang terjadi?

Ketika satu per satu dari mereka keluar dari campuran pewarna, mereka mendapati tubuh mereka berwarna hitam kusam.

Seketika itu, semua bangsa burung menertawai burung-burung gagak itu. Sejak itu lah gagak jarang sekali terbang di langit, mereka malu dengan bulunya yang hitam kusam.



Source:
http://kumcer-dedy.blogspot.com/2008/02/cerita-anak-kenapa-burung-gagak-berbulu.html

Burung Merak dari Kapur

Burung Merak dari Kapur


Alkisah, ada sebuah desa yang kering kerontang. Tak ada yang bisa bercocok tanam disitu, akibatnya para penduduk desa itu hidup miskin, termasuk seorang pemuda bernama Wisnu. Wisnu hidup seadanya bersama kedua orangtuanya.

Kadang-kadang, Wisnu suka membantu seorang pemilik kedai teh, tempat para pelancong beristirahat. Walau tidak selalu mendapatkan imbalan, tapi setiap hari Wisnu selalu diberi segelas teh yang nikmat. Wisnu senang, tapi setelah beberapa lama ia merasa malu menerimanya.

Wisnu lalu memutuskan pergi ke kota untuk merubah nasibnya. Sebelum pergi, ia memutuskan untuk memberi sedikit kenang-kenangan untuk pemilik kedai teh. Karena pandai membuat kerajinan tangan, Wisnu membuat sebuah patung burung merak dari kapur. Wisnu lalu memberikannya kepada pemilik kedai teh,"Aku terlalu miskin untuk membalas semua kebaikanmu. Hanya patung ini yang bisa kuberikan. Saat aku sudah pergi, tepukkan tanganmu tiga kali di depan patung burung merak ini dan lihatlah perubahan yang terjadi. Perlakukan patung ini dengan baik dan kau akan mendapatkan keberuntungan." Begitu ucapnya.

Pemilik kedai menerimanya dengan senang hati, walau ia tidak begitu percaya pada apa yang dikatakan Wisnu. Ia lalu hanya meletakkan patung itu di rak dalam kedainya. Berhari-hari patung itu berada di situ. Sampai suatu ketika, si pemilik kedai teringat akan pesan Wisnu. Iseng-iseng, ia mengikuti pesan itu. Ia tepukkan tangannya tiga kali.

Tiba-tiba, patung burung merak itu bergerak dan berubah menjadi burung merak sungguhan. Bulunya yang mekar indah sekali. Pemilik kedai begitu takjub, apalagi ketika ada pelancong yang singgah, burung merak itu menari dengan anggunnya. Cerita burung merak itu lalu tersebar ke penjuru desa. Dari hari kehari, makin banyak orang yang berkunjung ke kedai teh itu. Mereka semua ingin minum teh dan melihat tarian si burung merak.

Kini kedai teh itu selalu ramai dan pemasukan si pemilik kedaipun jadi semakin besar. Namun, sayangnya, demikian juga dengan sifat serakahnya. Setiap hari, si pemilik kedai selalu memaksa burung meraknya itu untuk terus menari, tanpa istirahat. Hingga, suatu hari si burung merak tidak kuat lagi dan kembali berubah menjadi patung. Si pemilik kedai mencoba mencoba menepuk tangan sampai sakit, tapi tidak terjadi apa-apa.

Beberapa hari kemudian, Wisnu kembali ke desanya dan mendengar kabar matinya burung merak yang pandai menari di kedai teh. "Ah, burung merak itu mati. Pasti karena pemilik kedai tidak merawatnya. Aku harus ke kedai itu dan mengambilnya kembali."

Wisnu lalu segera ke kedai teh lalu menemui pemiliknya,"Karena kau tidak merawat burung merak pemberianku, maka lebih baik aku saja yang merawatnya."

Wisnu mengambil patung burung merak itu. Lalu ia keluarkan seruling yang dibuatnya sendiri dan mulai memainkannya. Tiba-tiba, burung merak itu kembali hidup dan mulai menari. Namun, kali ini burung merak hanya mau menari untuk Wisnu. Wisnu dan burung merak itu lalu pergi meninggalkan desa itu dan mencari nasib yang lebih baik bersama-sama.

[Dongeng ini diambil dari 101 Folktales From India, yang ditulis oleh Eunice de Souza]

Source:
http://www.femaleradio.net/2006/index.php?pg=2&nid=1608&ct=6









Hatiku selembar daun...

FARIDUDDIN ATHTHAR, SANG KIMIAWAN

FARIDUDDIN ATHTHAR, SANG KIMIAWAN


Seekor kera melihat sebuah cherry di dalam sebuah botol yang bening dan berniat mengambilnya. Kemudian ia memasukkan tangannya melalui leher botol dan memungut buah cherry itu. Namun sekarang ia tidak bisa mengeluarkan tangannya. Sang pemburu yang sengaja memasang perangkap tersebut kemudian mendekat. Kera yang terjerat botol itu, tidak dapat lari dan tertangkap. "Setidaknya aku dapat menggenggam buah cherry," pikir kera. Pada saat itu sang pemburu memukul siku kera dengan cepat, kemudian tangan kera terbuka, terlepas dari botol. Sekarang sang pemburu memiliki buah, botol dan kera.
(Kitab Amu-Daria)

"Meninggalkan sesuatu karena orang lain telah menyalahgunakannya mungkin suatu puncak kebodohan. Kesejatian Sufi tidak dapat dicakup dalam aturan dan peraturan, dalam doa dan ibadah -- akan tetapi secara terpisah."

Kata-kata ini, ditulis Fariduddin Sang Kimiawan, seorang pengarang dan tokoh madzhab pencerahan serta pendiri organisasi para Sufi. Ia meninggal dunia lebih seabad sebelum kelahiran Chaucer yang karya-karyanya mengacu pada Sufisme Aththar. Lebih dari seratus tahun setelah wafatnya, dasar Tarekat Garter menunjukkan kesamaan-kesamaan yang mencolok dengan Tarekat rintisannya yang hampir tidak mungkin dianggap sebagai kebetulan.

Fariduddin dilahirkan dekat Nisyapur, negeri tercinta Omar Khayyam. Ayahnya mewariskan sebuah rumah obat, karena itu nama keluarganya dan sesuai dengan gaya Sufi adalah Aththar -- Sang Kimiawan. Begitu banyak cerita tentang kehidupannya sebagian tentang mukjizatnya, sebagian lagi tentang ajarannya. Ia telah menulis seratus empat belas karya untuk para Sufi, yang terpenting tentu saja adalah Dewan Para Burung (Parliament of the Birds [Mantiquth-Thair]) dan seorang pelopor dari Pengembangan Haji (Pilgrim's Progress). Namun seperti sebuah karya Sufisme klasik dan kesusastraan Persia, Parliament ini memaparkan pengalaman-pengalaman Sufi dan kerangkanya sendiri berdasar pada tema-tema pencarian (kebenaran) dari para Sufi sebelumnya. Karya ini juga menjabarkan makna-makna yang dapat dipahami sebagai isi kesadaran Sufi.

Cerita tentang percakapan Aththar, yang digunakan para Sufi untuk menggambarkan keseimbangan antara materi dan metafislka ditulis Daulat-Shah dalam karya klasik Memoirs of the Poets (Riwayat Hidup Para Penyair). Karya ini sebenarnya bukan laporan tertulis, namun kisah alegoris. Suatu hari, ketika Aththar menjaga barang-barang dagangan di tokonya, seorang pengembara Sufi muncul di depan pintu, menatap dengan kedua matanya yang tergenang air mata. Fariduddin menyuruh laki-laki itu pergi. "Aku memang akan pergi," sambut musafir itu. "Namun aku dilarang membawa sesuatupun, bahkan jas panjang ini. Akan tetapi, apa artinya Anda dan obat-obatan Anda yang mahal itu? Anda sebaiknya memikirkan rencana Anda sendiri untuk melanjutkan perjalanan."

Peristiwa ini sangat berkesan di hati Aththar, sehingga ia meninggalkan toko dan kerjanya serta mengasingkan diri di sebuah padepokan Sufi selama periode persemedian di bawah bimbingan guru Syekh Ruknuddin. Meskipun ia banyak melakukan praktek-praktek asketik, tetap menekankan arti penting tubuh dalam sebuah pernyataannya. "Tubuh tidaklah berbeda dengan jiwa, karena tubuh adalah bagian dari jiwa. Keduanya merupakan bagian dari keseluruhan." Ajarannya tidak hanya dikandung dalam karya-karya puitisnya, namun juga dalam ritus-ritus tradisional yang dipercaya oleh para Sufi sebagai bagian ajaran-ajarannya. Pembahasan masalah ini, yaitu perpaduan antara puisi, ajaran dan "perbuatan" (amal) Sufi, akan dilakukan nanti.

Aththar adalah salah seorang Sufi yang mengetahui secara mendalam riwayat hidup para Sufi sebelumnya, dan karya prosa satu-satunya, Memoirs of the Friend (Riwayat Hidup Para Sahabat) atau Recital of the Saints (Hikayat Orang-orang Suci) dicurahkan untuk mencatat kehidupan mereka. Ia memutuskan untuk menulis kumpulan hikayat tersebut setelah meninggalkan lingkungan Sufi Ruknuddin dan pengembaraannya ke Mekkah serta tempat-tempat lainnya.

Di masa tuanya, Aththar dikunjungi jalaluddin Rumi muda dan memberikan salah satu bukunya kepada pemuda ini. Rumi kemudian semakin memperluas publikasi aspek-aspek dasar tradisi pengetahuan Sufi yang telah dilanjutkan Aththar ini. Selanjutnya Rumi membandingkan dirinya sendiri dengannya, "Aththar telah melintasi tujuh kota cinta, sementara kami hanya sampai di sebuah jalan tunggal."

Aththar meninggal dunia ketika sedang mengajar sebagaimana ia telah mencurahkan hidupnya untuk itu. Namun kejadian terakhir yang menimpa Aththar, menimbulkan keraguan orang tentang dirinya. Ketika pasukan Barbar menyerang Persia di bawah pimpinan jengis Khan pada tahun 1220, Aththar ditangkap, saat ia berusia seratus sepuluh tahun. Ada seorang Mongol berkata, "Jangan bunuh orang tua ini. Aku akan mengganti seribu keping uang perak sebagai tebusan untuknya." Aththar melarang penangkapnya untuk menerima penawaran itu, karena ia akan menerima harga yang lebih tinggi dari orang lain. Beberapa saat kemudian, ada orang lain yang hanya menawarnya seharga seikat jerami, "Terimalah tawaran itu!" kata Aththar. "Karena itulah hargaku yang sebenarnya."Akhirnya ia dibunuh oleh tentara Mongol yang sangat kesal dengan leluconnya itu.

Garcin de Tassy telah mengungkapkan kemiripan karya-karya roman dan petualangan Aththar dengan Roman de la Rose, yang merupakan bukti nyata pengaruh aliran romantis Sufi yang paling awal di Eropa. Sebuah karya roman berikutnya yang menunjukkan kemiripan dengan tema-tema roman Sufi adalah karya tulis Majriti dari Cordoba. Ada juga kemungkinan bahwa karya roman Sufi masuk ke Eropa Barat melalui Spanyol dan Perancis Selatan daripada anggapan melalui Syria, meskipun karangan-karangan Sufi dalam jenis sastra ini sangat kuat berpengaruh di sana. Sedang para sarjana Barat yang percaya bahwa legenda Grail masuk ke Eropa melalui tentara Perang Salib, sebenarnya hanya mendasarkan asumsinya pada sumber-sumber Syria. Bagaimanapun, Syria dan Andalusia mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perubahan huruf "Q" menjadi "G" (Qarael Muqaddas [Hikayat Suci]) menjadi Garael Mugaddas) adalah bahasa Spanyol-Muslim, bukan bahasa Syria. De Tassy mencatat bahwa Roman de la Rose mempunyai kesamaan-kesamaan dengan dua aliran sastra Sufi, yaitu Birds and the Flowers, dan terutama dengan karya Aththar, Parliament of the Birds. Tak syak lagi, versi asli yang telah memicu munculnya versi Roman lainnya yang terkenal di Eropa itu, sudah tidak ada; dan sangat mungkin asalnya adalah versi verbal, yang disampaikan melalui pengajaran Sufi di pusat-pusat penyebaran Sufi Spanyol.

Roman Rose of Bakawali di India, lebih jelas lagi banyak mengandung perumpamaan Sufi yang paling dinamis tersebut. Parliament sendiri, selain tercantum secara terpisah-pisah dalam karya Chaucer dan lainnya, diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan dipublikasikan di Liege pada tahun 1653, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin pada tahun 1678.

Bagian-bagian Mantiquth-Thair (Parliament of the Birds) karya Aththar, banyak disitir dalam Tarekat Khidr (yaitu St. George maupun Khidr sendiri, pelindung suci dari para Sufi, pemandu rahasia, kadangkala dianggap Elias [Ilyas]) yang masih hidup sampai saat ini. Berikut ini sebagian ucapan seremonial inisiasi (prabakti) Tarekat Khidr:

Ada yang bertanya mengapa laut berwarna biru, warna duka cita, dan mengapa laut bergelora seolah-olah ada api yang membuatnya mendidih. Kemudian dijawab, jubah biru itu menyatakan kesedihan karena berpisah dengan Sang Kekasih, "karena itu api Cinta membuatnya bergelora". Sedang warna kuning, dalam hikayat selanjutnya, adalah warna emas - unsur kimiawi Manusia Sempurna, yaitu manusia yang disepuh sampai seperti emas. Jubah permulaan Sufi terdiri dari jas biru, kerudung kepala dan pita kuning. Jika kedua warna ini dicampur akan berwarna hijau, warna permulaan dan alam, kebenaran dan keabadian. Mantiquth-Thair ditulis kira-kira seratus tujuh puluh tahun sebelum berdirinya Tarekat Garter, yang mulanya dikenal sebagai Tarekat Santo George.

Tarekat Sufi yang mana Aththar diakui sebagai pendirinya kemudian mengembangkannya, dan yang tentu saja mengandung tradisi pemusatan hati - menjalankan latihan-latihan yang bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keselarasan para pengikutnya dengan seluruh makhluk. Ia hampir mirip dengan Tarekat-tarekat Sufisme lainnya. Tahap-tahap perkembangan Sufi itu, meskipun mungkin urutannya berbeda-beda dalam setiap individu, digambarkan dalam Mantiquth-Thair.

Burung-burung yang melambangkan manusia, semuanya dipanggil oleh burung hoopoe (burung merak), melambangkan Sufi, yang menganjurkan agar mereka segera mencari Raja mereka yang misterius, Raja ini bernama Simurgh, yang tinggal di pegunungan Kaf. Setiap burung, yang sebelumnya tertarik untuk bertemu Raja, mulai menyesalkannya karena ia sendiri (burung merak) tidak ikut serta dalam perjalanan menemui Raja tersembunyi. Setelah mendengar penyesalan itu, burung merak menjawab dengan sebuah kisah yang mengilustrasikan ketiadagunaan membeda-bedakan apa yang harus atau seharusnya dengan apa yang sebaiknya dilakukan. Syair-syair dalam ilustrasi itu banyak mengandung perumpamaan sosok Sufi dan harus dikaji secara cermat agar benar-benar dapat dipahami. Cincin Sulaiman, hakikat sosok Khidr sang Pembimbing rahasia, berbagai anekdot tentang hikmah-hikmah kuno juga ada di dalamnya.

Akhirnya si burung merak menyatakan kepada burung-burung itu bahwa mereka harus melalui tujuh lembah dalam pencarian itu. Pertama, Lembah Pencarian, tempat segala marabahaya akan mengancam dan perjalanan suci ini harus melepaskan keinginankeinginan. Kemudian Lembah Cinta, wilayah tak terbatas, tempat sang Pencari sepenuhnya dilanda rasa rindu kepada Sang Kekasih. Setelah Lembah Cinta adalah Lembah Pengetahuan Intuitif, di sini hati menerima secara langsung pencerahan dari Kebenaran dan suatu pengalaman "bertemu" Tuhan. Kemudian di Lembah Pemisahan, sang musafir akan terbebaskan dari segala hasrat dan ketergantungan.

Dalam percakapan burung merak terhadap burung bulbul, Aththar mengungkapkan ketiadagunaan puncak kegembiraan (ekstase), mistikus yang hanya menuruti percintaan itu sendiri, yang melarutkan diri mereka dalam kerinduan, yang memperturuti pengalaman ekstatik dan tidak menyentuh kehidupan manusia.

Burung bulbul yang penuh gairah itu dengan tidak tahan lagi maju ke depan. Dalam setiap siulannya yang sangat bervariasi, ia menyuarakan suatu misteri makna yang berbeda-beda. Ia mengungkapkan misteri-misteri dengan sangat mengesankan sehingga semua burung lainnya terpaku.

"Aku mengetahui rahasia-rahasia cinta," kata burung bulbul. "Sepanjang malam aku mengungkapkan rasa cintaku. Aku mengajarkan sendiri rahasia-rahasia itu. Lagu cintaku adalah ratapan seruling mistik dan kecapi. Akulah yang memekarkan bunga Mawar dan menggetarkan hati para pecinta. Dengan tiada henti aku mengajarkan misteri-misteri baru, setiap saat muncul nada-nada kesedihan baru, laksana gelombang di lautan. Siapa pun mendengarkanku lenyaplah kecerdasannya karena terpesona dan hilanglah kesadarannya. Bila aku sudah kehilangan rasa cintaku pada sang Mawar, aku meratap tiada henti ... Bila sang Mawar kembali ke dunia di musim panas, hatiku begitu suka-ria. Rahasia-rahasia cintaku tidak diketahui mereka -- namun sang Mawar mengenal mereka. Yang aku pikirkan hanya sang Mawar, yang aku rindukan hanya Mawar merah delima."

"Untuk menggapai Simurgh adalah di luar kemampuanku -- cinta pada sang Mawar sudah cukup bagi burung bulbul. Karenaku Mawar menjadi mekar ... Mungkinkah burung bulbul hidup satu malam pun tanpa Sang Kekasih?"

Burung merak berseru, "Hai ... orang yang tertinggal, yang hanya sibuk mengurusi hal-ihwal! Tinggalkanlah kesenangan yang menggiurkan itu! Mencintai Mawar hanya akan menyusahkan hatimu. Betapapun indahnya bunga Mawar, keindahannya akan lenyap dalam beberapa hari. Mencintai sesuatu yang mudah layu hanya akan menyebabkan perubahan hati Manusia Sempurna. Bila senyuman bunga Mawar telah membangkitkan gairahmu, itu hanya akan menawanmu dalam kesedihan tiada henti. Dialah yang menertawakanmu di setiap musim semi sementara ia tidak merasa sedih - tinggalkanlah bunga Mawar dan warna merahnya (yang menggairahkan) itu!"

Dalam mengulas bagian ini, seorang guru Sufi mencatat bahwa Aththar tidak hanya menyinggung orang yang berpuas diri pada pencapaian ekstase tanpa melanjutkan tahap mistis berikutnya. Namun ia juga memberi arti ekstatik yang paralel, orang yang merasakan frekuensi cinta yang tidak sempurna, dan yang, meskipun dipengaruhi oleh cinta, ia tidak punya gairah hidup dan tidak dipengaruhi olehnya sehingga kehidupan (pribadinya) benar-benar mengalami suatu perubahan: "Inilah api cinta yang mencerahkan, yang berbeda kapan pun ia timbul, yang menggairahkan, yang menghidupkan jiwa. Benih (cinta) ini terpisah dari rahimnya dan lahirlah Manusia Sempurna, yang berubah dengan suatu cara yang khas sehingga seluruh aspek kehidupannya terangkat (mulia). Ia bukan berubah dalam arti wujud yang berbeda, namun ia adalah pribadi yang utuh dan keberadaan ini bisa dianggap sebagai manusia yang penuh gairah. Setiap perilaku (hatinya) tersucikan, terangkat pada tingkat yang lebih tinggi, tergetar oleh melodi yang lebih merdu, melantunkan nada yang lebih langsung dan hidup, mempertalikan hati laki-laki dan perempuan, yang lebih mencintai dan lebih membenci. Setiap gerak hatinya menyatu dengan suatu nasib, suatu ruang yang tentram dan kokoh, menyatu dengan hal-ihwal, yang melingkupi meskipun ia hanya mengikuti bayangan substansi cinta ini, sedemikian agung sehingga dapat mencapai pengalaman yang lebih nyata."

Pengulas tersebut (Guru Adil Alimi) juga mencatat bahwa perasaan-perasaan ini tidak menarik perhatian manusia pada umumnya. Perasaan-perasaan ini "diingkari oleh kalangan materialis, ditentang para teolog, diabaikan para pecinta, ditolak para ekstatis, diterima namun disalahpahami oleh teorisi dan pengikut Sufi". "Namun," lanjutnya, "kita harus mengingat qadam ba qadam (tahap demi tahap): 'Sebelum engkau meminum cawan kelima, engkau harus meminum cawan keempat, setiap cawan sama-sama enak'."

Ia menyadari bahwa hal-ihwal, baik yang lama maupun baru, tidaklah penting. Hal-ihwal yang telah dipahami itu tidaklah bernilai, sebab sang musafir melihat dimensi-dimensi baru dalam hal-ihwal itu. Ia memahami, misalnya, perbedaan antara tradisionalisme dan realitas, yang itu adalah suatu refleksi.

Lembah kelima adalah Lembah Kemanunggalan. Di lembah ini sang Pencari memahami bahwa hal-ihwal dan gambaran-gambaran yang kelihatan berbeda baginya sebenarnya hanya satu.

Di Lembah Ketakjuban (lembah keenam); sang musafir merasakan kekaguman dan cinta. Ia tidak memahami pengetahuan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Suatu perasaan yang disebut cinta, sekarang menggantikannya.

Lembah ketujuh, yang terakhir, adalah Lembah Kematian. Di sini sang Pencari memahami misteri dan paradoks, individu yang memahami bagaimana "setetes kepribadiannya dapat bergabung dengan samudera, namun tetap mempunyai makna. Ia telah menemukan 'kedudukannya'."

Nama samaran Fariduddin adalah Aththar, Kimiawan atau Pembuat minyak wangi. Mayoritas sejarawan menduga bahwa ia mengambil kata deskriptif ini karena ayahnya mempunyai sebuah balai obat, namun menurut tradisi Sufi, "Aththar" mengandung suatu pengertian rahasia. Jika kita menggunakan metode baku pengungkapan bahasa sandi melalui sistem Abjad, yang sangat dikenal di kalangan terpelajar Arab dan Persia, Aththar dapat disulih sebagai berikut:

A (ain) = 70

Tha' = 9

Tha' = 9

Alif = 1

Ra' = 200

Huruf-huruf (dalam kata Aththar) harus disusun menurut ortografi konvensial bahasa Semit seperti di atas. Kitab Hisab al-Jamal (kitab tentang penyusunan ulang huruf dan angka) adalah bentuk paling sederhana pemakaian sistem Abjad yang banyak digunakan dalam ungkapan-ungkapan puitis. Setelah penyulihan, nilai huruf-huruf harus dijumlah (70+9+9+1+200), hasilnya 289. Untuk mengungkap suatu makna "tersembunyi" yang baru dari tiga huruf dasar itu, kita harus (sesuai prosedur baku) mengurai kembali jumlah itu dalam ratusan, puluhan dan satuan, sebagai berikut:

289 = 200, 80, 9

Ketiga angka ini dapat disesuaikan kembali:

200 = R ; 80 = F ; 9 = Th.

Kini kita tinggal mencari dalam kamus kata-kata yang berhubungan penyusunan-penyusunan tiga huruf tersebut. Di dalam kamus bahasa Arab, kata selalu ditulis menurut akar katanya (biasanya tiga huruf), sehingga hal ini mempermudah tugas kita.

Tiga huruf tersebut mungkin hanya terdiri dari kata, RFTh, RThF, FRTh, FThR dan ThFR.

Satu-satunya akar kata yang berkaitan dengan agama, makna batiniah dan rahasia adalah FThR.

Jadi "Aththar" adalah suatu kata sandi dari konsep FThR, suatu pesan tentang ajaran yang disampaikan Fariduddin.

Aththar adalah salah seorang guru Sufi terkemuka. Sebelum kita melihat implikasi akar kata FThR dalam bahasa Arab, kita dapat mengikhtisarkan gagasan-gagasannya. Sufisme adalah suatu bentuk pemikiran yang digunakan Aththar dan para penerusnya (termasuk muridnya, Rumi) menurut suatu format keagamaan, yaitu tentang pertumbuhan dan tema evolusi organis manusia. Penggarapan tema ini berhubungan dengan terbitnya fajar setelah kegelapan (malam), berbuka puasa dengan sepotong roti, dan perilaku mental serta fisik yang intensif, yang tak terencana oleh sebab suatu tanggapan terhadap dorongan-dorongan intuitif

Apakah akar kata FThR mengandung (pengertian): (1) perkumpulan-perkumpulan keagamaan; (2) hubungan antara Kristianitas dan Islam -- sebab para Sufi menandaskan bahwa mereka adalah Muslim sekaligus penganut ajaran esoteris Kristiani; (3) gagasan tentang tindakan yang cepat atau tak terencana; (4) kerendahan hati para darwis; (5) suatu dampak yang kuat (dari gagasan atau gerakan, sebagaimana diterapkan dalam madzhab-madzhab darwis untuk latihan-latihan Sufi); (6) "anggur" -- analogi puitis Sufi untuk pengalaman batin; (7) sesuatu yang mendesakkan jalan keluarnya dari kandungan alamiah?

Setiap gagasan-gagasan tersebut terkandung dalam kata-kata Arab yang diturunkan dari akar kata FThR, yang membentuk suatu gambaran eksistensi Sufi. Sekarang kita dapat memeriksa akar kata dengan ragam penggunaannya:

FaThaR = membelah, memotong sesuatu, menyelidiki, mulai, mencipta sesuatu (Tuhan).

FuThR = cendawan (yang cara pertumbuhannya melalui kekuatan membelah diri).

FaThaRa = sarapan, berbuka puasa.

ThaFaThThaR = terbelah atau pecah.

'IYD al-FiThR = Hari Raya Fitri.

FiThRah = watak dasar, rasa keagamaan, agama Islam (patuh pada kehendak Tuhan).

FaThIR = roti murni (yang tak diragi), tindakan yang tak terencana atau cepat, tergesa-gesa.

FaThIRA = suatu benda kecil, roti tersusun sebagaimana digunakan dalam suatu acara sakral.

FAThiR = Sang Pencipta.

FuThaiy Ri = manusia yang hina, kosong, tumpul.

FuThAR = sebuah benda yang karat, misalnya sebilah pedang tumpul.

Biasanya Aththar dianggap sebagai guru yang telah ikut serta menyampaikan (meneruskan) latihan Sufi yang khas, yaitu "Berhenti (sejenak)!" Latihan Menenggang Waktu. Latihan ini dilakukan ketika guru Sufi, pada waktu tertentu, memerintahkan muridnya untuk menghentikan setiap gerakan secara sempurna. Selama latihan "menenggang waktu" ini, murid akan memancarkan barakah-nya kepada orang lain. Menangguhkan semua kegiatan fisik dengan cepat adalah membiarkan kesadaran terbuka untuk menerima pengembangan mental yang khas, yang kekuatannya terpancar dari gerakan penuh tenaga.

Anehnya FThR dalam daftar kata Sufi dikembangkan menjadi QMM. Kata ini pun, jika diungkap melalui sistem notasi Abjad, menghasilkan kata QIFF - Penangguhan Ilahi. "Penangguhan" ini adalah nama yang diberikan pada latihan "Berhentilah (sejenak)!" yang hanya dilakukan seorang guru Sufi.

Makna akar kata FThR yang sekunder, yaitu cendawan, telah menimbulkan minat spekulasi. Minat ini muncul berkat prakarsa Mr. R. Gordon Wasson, yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu, ada (dan yang mengherankan hal ini masih hidup dalam beberapa wilayah) suatu kultus ekstatik yang tersebar luas dengan cara memakan cendawan-cendawan yang menimbulkan halusinasi.

Apakah akar kata FThR ini memang berhubungan dengan kultus cendawan? Ya di satu sisi, namun bukan dalam pengertian yang secara langsung diduga orang. FThR memang mengandung arti cendawan, namun bukan dalam pengertian cendawan yang menimbulkan halusinasi. Kita mempunyai dua sumber untuk menjelaskan masalah ini. Sumber pertama bahwa cendawan yang menimbulkan halusinasi dalam bahasa Arab berasal dari akar kata GHRB. Kata-kata yang diturunkan dari GHRB mengindikasikan suatu pengetahuan karena pengaruh aneh dari cendawan itu, sementara kata FThR tidak demikian:

GHaRaBa = pergi, berangkat, tumor mata.

GHaRaB = meninggalkan kampung halaman, hidup di negeri asing.

GHuRBan = kedudukan sebuah bintang, terlupakan atau terpencil.

GHaRuB = tak dikenal (kabur), sesuatu yang tak terpahami dengan jelas, asing.

GHaRaB = pergi ke Barat.

A-GHRaB = melakukan atau mengatakan hal-hal aneh atau tidak lazim, tertawa secara aneh, berlari secepat kilat, pergi ke negeri yang jauh.

ISTa-GHRaB = menemukan benda aneh, menakjubkan, tertawa berlebih-lebihan.

GHaRB = Ujung pedang, air mata dan sebagainya.

ESH al-GHuRAB = jamur payung (secara literal berarti "makanan burung gagak, kerumitan, kegelapan, keanehan").

Keterangan kedua yang menarik mengindikasikan bahwa Sufi menggunakan akar kata FThR untuk pengertian pengalaman batiniah dan bukan pengertian yang diangkat dari makna kimiawi. Keterangan ini terkandung dalam sebuah paragraf dari karya orang yang secara tepat dijuluki Mast Qalandar (secara literal berarti "darwis yang mabuk"), yang secara jelas mengomentari tentang suatu kepercayaan bahwa cendawan yang menimbulkan halusinasi itu dapat merangsang untuk mencapai suatu pengalaman mistik. Dalam hal ini ia menandaskan bahwa kepercayaan itu tidak benar.

Pertama, kita dapat membaca melalui penterjemahan literal naskah tersebut:

"Jadi Sang Pencipta, karena perkembangan semangat dan inti rasa keagamaan, menyediakan sari buah anggur untuk sarapan pagi para Pecinta (para Sufi), dan ia meninggalkan sebuah jejak (simbol) berupa kegiatan sakramental bagi orang-orang yang mempunyai pemahaman setengah-setengah. Perlu juga diketahui dan diingat bahwa Sufi yang tercerahkan jauh dari retakan atau belahan yang menipu, yaitu distorsi, dan ia mendekati perasaan ekstase (tersembunyi) yang berbeda. Ia sama sekali tidak memakan cendawan itu dan cendawan yang menimbulkan kegilaan ini tidak dikenalnya. Sarapan paginya adalah kebenaran di jalan yang tak terbelah. Akhirnya setelah menjalarnya tanaman (anggur) dan berbuah, setelah air anggur menghasilkan saripatinya dan makan sore (setelah pantangan makan), Manusia Sempurna secara aneh diperlengkapi dengan pedang yang tumpul. Akan tetapi, makanan ini bukan seperti yang mereka nyatakan ataupun apa yang tumbuh di bawah pohon. Sesungguhnya Kebenaran Ciptaan telah ditemukan, dan ekstase mungkin hanya ditemukan di dalam rahasia makanan (roti) orang yang kelaparan dan kehausan. Ia minum setelah makan. Di sini Sang Pencipta juga berperan sebagai Pengungkap."
Paragraf yang mengagumkan ini dianggap sebagai ocehan orang gila. Namun Syekh Mauji, Sufi dari Azamia, menafsirkannya dalam selembar halaman karyanya Durud (Kisah-kisah):

"Ada suatu sensasi yang merupakan gairah sejati dan bisa disebut cinta. Sensasi ini berasal dari sumber kuno dan penting bagi kemanusiaan. Tanda-tanda (simbol)nya masih ada di luar kelompok-kelompok Sufi, namun sekarang hanya dalam bentuk simbol, misalnya lambang Salib, sedang bagi kami tetap mengacu pada ajaran esoteris Yesus sendiri. Sang Pencari (kebenaran) harus ingat bahwa ada beberapa kemiripan perasaan yang menipu dan seperti kegilaan, namun bukan kegilaan yang dimaksud Sufi ketika ia membicarakannya, sebagaimana si pengarang menggunakannya dalam menggambarkan dirinya sendiri (Mast Qalandar). Dari sumber tersebut, asal-usul apa yang kita sebut saripati dari anggur yang merupakan buah dari tanamannya, hasil dari pembelahan dan pertumbuhan, akan muncul pencerahan yang sejati. Setelah suatu periode pematangan dari saripati anggur atau roti, pemisahan melalui cinta, maka muncullah kekuatan Pengungkap. Kekuatan ini adalah gizi, namun bukan gizi makanan dalam pengertian wujud apa pun seperti sebuah benda fisik biasa..."
Paragraf orisinal itu, yang kurang lebih merupakan bentuk sastra Persia, menunjukkan kepada kita apa yang sebenarnya berusaha dijelaskan oleh "darwis gila" itu. Paragraf itu selalu menggunakan akar kata tunggal yaitu FThR. Tidak ada terjemahan yang mungkin dapat diterapkan pada fakta puitis tersebut, karena makna akar kata ini tidak dapat dilingkupi dalam terjemahan. Oleh karena penterjemahan kata itu -- dalam kata "terbelah", "roti bersusun", "pengalaman religius" dan lainnya -- berasal dari akar kata yang berbeda, maka kita mudah sekali melalaikan makna dari sebuah kata tunggal.

Sebagai contoh: "Ya baradar; Fathir ast thafaththari fithrat wa dzati fithrat ..."

Di dalam paragraf terdiri dari seratus sebelas kata, kata-kata turunan FThR tidak lebih hanya dua puluh tiga kali! Pemakaian kata-kata turunan tersebut, meskipun bukannya tidak tepat, sangat tidak lazim (karena sebenarnya ada sebuah kata baku yang lebih tepat untuk digunakan menurut konteks itu) sehingga niscaya sebuah pesan yang disampaikan dengan mengibaratkan dampak dari reaksi kimiawi cendawan itu menunjukkan suatu pengalaman yang tak terbantah namun kabur.



--------------------------------------------------------------------------------
Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi oleh Idries Shah
Judul asli: The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag.
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

Kisah Jentayu

Kisah Jentayu


Diriwayatkan di dalam Hikayat Merong Mahawangsa, di suatu masa, dunia ini didiami oleh ratusan jutaan burung-burung dari pelbagai jenis dan juga warna. Sering alam dan juga dada langit berubah-ubah warnanya apabila kumpulan burung-burung yang berjumlah berjuta-juta itu terbang ke sana dan ke mari. Sebentar berwarna kuning, sebentar lagi berwarna kemerahan dan juga kehitaman dan begitulah silih berganti, alam bertukar dalam kesukacitaan dunia ketika itu.
Adapun burung-burung ini berpenghulukan dua ekor burung yang teramat besar. Seekor Burung Jentayu dan seekor Burung Garuda. Dikatakan Burung Jentayu dan Burung Garuda ini sudah mengaku bersaudara. Beramat kasih akan satu sama lain.

Burung Jentayu ini seekor burung kesaktian yang cantik dan membawa unsur air. Bulunya berwarna Putih kebiruan dan ekornya laksana ekor burung merak. Di atas kepalanya terdapat jambul seperti sebuah mahkota yang bersinar-sinar seperti intan. Manakala Burung Garuda pula seekor burung kesaktian yang hebat. Membawa unsur api dengan bentuk seperti helang. Berbulu kuning keemasan dengan tanduk di kepala yang menyala seperti api.

Kedua-dua ekor burung ini tugasnya menerima amanah Allah mengatur kehidupan burung-burung lain. Mereka sering dilihat berputar-putar mengitari alam membawa dua hawa sejuk dan panas. Adapun di dalam erat persaudaraan itu terserlah perbezaan keperibadian kedua-dua ekor burung ini. Jentayu amat merendah diri. Manis tutur kata, perlakuan dan juga berdikari. Manakala Garuda pula panas baran dan amat cintakan kekayaan dunia.

Di dalam kerajaan manusia pula, dunia pada ketika itu terbahagi kepada 3 kerajaan yang besar. Kerajaan Rom di Barat yang meliputi Benua Eropah dan Asia Utara. Kerajaan Raja Sulaiman di tengah-tengah meliputi Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, India dan Nusantara. Kerajaan China di Timur yang meliputi Indo-China, China dan juga Timur Jauh.

Tersebut pada suatu hari, sedang Jentayu dan Garuda berbual-bual, timbullah satu hal musabab. Garuda amat berbangga dengan kehebatan dirinya dan ingin mengaut segala kekayaan dunia untuk dirinya. Jentayu kemudian mengingatkan Garuda bahawa tugas mereka adalah memenuhi amanah Allah sebagai Penguasa Mergastua di muka bumi ini dan setiap diri makhluk itu punya banyak kelemahan. Nasihat Jentayu itu rupa-rupanya menimbulkan kemarahan dalam hati Garuda. Lantas dengan ketika itu juga Garuda memerangi Jentayu dengan segala kesaktian. Jentayu tidak mahu mencetuskan huru-hara.
“Abang Garuda, maafkan hamba” kata Jentayu.
“Sudah. Mulai saat ini, Putus sudah persaudaraan kita. Aku tidak ingin lagi melihat wajahmu. Nyah kamu dari pandangan mataku atau engkau akan kubunuh”
“Sampainya hati Abang Garuda berkata demikian. Sudah lupakah Abang Garuda pada sumpah persaudaraan kita. Sudah lupakah Abang?” Jentayu cuba menjernihkan suasana.

Namun Garuda sudah tidak lagi menerima sebarang kata kemaafan. Hancur sebuah persaudaraan. Jentayu berduka lara lantas terbang jauh ke kaki langit. Dalam perjalanan itu, Jentayu singgah di Kerajaan Rom dan bertemu dengan Raja Merong Mahawangsa, sepupu Maharaja Rom yang menyelamatkannya daripada Racun Buah Megabayu. Sebagai tanda terima kasih itu, Jentayu mengubah dirinya menjadi sebilah anak panah sakti dan mengingatkan Raja Merong Mahawangsa agar melepaskan anak panah itu di saat Raja itu dalam bahaya.

Setelah bertahun-tahun pemergian Jentayu, tidak sedetik pun di dalam hati Garuda terkenangkan saudaranya Jentayu itu. Tiba-tiba pecah berita, Maharaja Rom ingin mengahwinkan puteranya dengan puteri Maharaja China. Mendengar berita itu, Raja Sulaiman menjadi hairan bagaimana Allah mengatur jodoh manusia sekalipun kedua-dua mempelai berasal dari negara yang jauh jaraknya antara satu sama lain.
“Ketentuan Allah tiada siapa yang dapat menghalangnya”.

Garuda yang ketika itu berada di Balai Penghadapan itu terdengar madah Raja Sulaiman itu.
“Ampun, Tuanku. Patik percaya, dengan kesaktian patik ini, patik berupaya menghentikan majlis pernikahan tersebut. Putera Rom itu tidak akan sama sekali mengahwini Puteri China. Jika patik gagal, patik akan mengurung diri patik di dalam kawah gunung berapi” kata nekad Garuda.
“Jangan Garuda. Kita makhluk Allah terlalu banyak kelemahan. Jangan menyombong diri” nasihat Raja Sulaiman.

Garuda langsung tidak memperdulikan nasihat Raja Sulaiman. Dia bertekad menghalang perkahwinan itu kerana dia berkuasa berbuat demikian. Langkah pertamanya ialah menyerang istana Maharaja China. Terlalu ramai bala tentera China yang terkorban dalam usaha menghalang tindakan Garuda itu. Garuda mematahkan tingkat atas pagoda istana, memasukkan puteri Maharaja di dalamnya dan terus dibawa terbang ke Pulau Langkawi.
Rombongan mempelai putera Rom sudah memasuki Tanjong Pengharapan diketuai oleh Raja Merong Mahawangsa sebagai paman kepada putera Maharaja Rom. Burung Rajawali yang sedang berlegar di angkasa terbang ke Pulau Langkawi mengkhabarkan kepada Garuda bahawa rombongan mempelai Kerajaan Rom sudah sampai di Teluk Benggala.
Di Teluk Benggala itu, Garuda melancarkan segala kesaktian untuk memusnahkan Jong Bahtera Rom yang berjumlah 100 buah lengkap bersenjata. Anak panah umpama hujan menuju ke arah Garuda namun sedikit pun tidak berupaya melukakannya. Garuda memuntahkan api dari paruhnya menyebabkan habis sekelian bahtera hangus terbakar. Putera Maharaja Rom jatuh ke laut lalu terkapai-kapai hilang dari pandangan.
Di saat yang genting itu, Raja Merong Mahawangsa melepaskan anak panah kesaktiannya. Anak panah itu meluncur laju ke udara umpama kilat putih membelah langit, berputar-putar menjelma menjadi Jentayu berhadapan dengan sahabat lamanya, Garuda.
Jentayu……..!!!
Peperangan sengit sudah tidak dapat dielak lagi. Satu pertarungan hidup dan mati. Setitis airmata Jentayu jatuh ke bumi. Pertempuran bermula. Kedua-dua pihak mengerah segenap kesaktian yang ada. Halilintar sabung menyabung di langit tinggi. Ombak beralun tujuh hasta manakala Nusantara sudah gempa dengan api lahar naik membuak-buak akibat tekanan dari tenaga kesaktian yang dikeluarkan.
Pertarungan itu amat memeranjatkan Garuda. Kekuatan Jentayu rupanya seimbang dengan dirinya. Tidak pernah diketahuinya sebelum ini. Sedikit kemegahannya tercalar.
Di dalam azamat pertempuran itu, Jentayu dan Garuda masih sempat berhubung secara laduni.
“Bersungguh benar Abang Garuda ingin menghapuskan kita. Sampai hati Abang..”
“Aku akan hapuskan sesiapa sahaja yang menghalangi rancangan aku, termasuk dirimu, Jentayu!!” mata Garuda sudah menyorot ganas.
Mereka bertembung. Mereka bertembung di dalam kesaktian yang teramat hebat.
“Jadi benarlah Abang Garuda ini ingin melenyapkanku” fikir Jentayu. Jentayu sengaja membuka ruang. Tikaman susuh kiri Garuda terbenam ke ulu jantung Jentayu. Jentayu kehilangan nyawanya di tangan saudaranya sendiri. Sebelum menghembus nafasnya yang terakhir, setitis airmatanya jatuh ke laut disambut Sang Tiram dan disimpan menjadi mutiara sebagai tanda kenangan dari Jentayu. Begitulah asalnya mutiara, konon-kononnya. Jasad Jentayu jatuh ke dalam Laut Khalzum. Di dasarnyalah Jentayu bersemadi.
Garuda bersorak riang. Terbang mengitari alam mengkhabarkan berita kejayaannya. Raja Sulaiman mendapat ilham bahawa putera Maharaja Rom hanyut terdampar di Selat Melaka dan bertemu dengan Puteri Maharaja China di Pulau Langkawi. Raja Sulaiman menitahkan agar dibawa pagoda itu ke istana baginda.
Sebaik sahaja dibuka pintu pagoda itu, keluarlah Putera Maharaja Rom bersama Puteri Maharaja China mengadap Raja Sulaiman. Garuda merasa amat malu sekali lantas menghumbankan dirinya ke dalam sebuah kawah gunung berapi di Lautan Pasifik. Wallahua’lam.



Source:
http://info.jentayu.net/?page_id=2





Hatiku selembar daun...

Kisah Tentang Sang Buddha

Kisah Tentang Sang Buddha


Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru, ketika Beliau berdiam di Jetavana. Pada suatu ketika Sang Guru baru kembali dari berpindapata yang diiringi dengan lima ratus muridNya, masuk ke Vihara Jetavana. Pada waktu itu pula Raja mengunjungi vihara dan mengundang Sang Guru untuk menjadi tamunya di istana. Keesokan harinya, Raja menyiapkan persembahan dana yang luar biasa besarnya untuk Sang Guru dan murid-muridNya, beliau juga mengundang penduduk dengan berkata :

"Undanglah mereka datang ke sini dan lihatlah persembahan dana yang telah saya persiapkan untuk Sang Guru."

Penduduk lalu berdatangan dan melihat persembahan yang dipersiapkan oleh Raja.

Keesokan harinya, penduduk mengundang Sang Guru untuk menjadi tamu mereka, dan mereka menyiapkan persembahan-persembahan, lalu mengundang Raja dengan berkata :

"Undanglah Raja datang ke sini dan lihatlah persembahan dana yang telah kami persiapkan untuk Sang Guru."

Ketika Raja melihat persembahan yang dipersiapkan oleh penduduk, ia berpikir ;

"Rakyatku ini mempersembahkan dana lebih besar dari yang aku persembahkan kepada Sang Guru; saya akan memberi persembahan dana kembali untuk yang ke dua kalinya."

Kemudian Raja mempersiapkan persembahan dana pada keesokan harinya; ketika penduduk melihat persembahan yang dipersiapkan Raja, mereka juga menyiapkan persembahan untuk hari berikutnya.

Demikianlah, Raja berkeinginan untuk mengalahkan rakyatnya, dan rakyatnya juga tidak mau kalah dalam mempersembahkan dana kepada Sang Guru dan murid-muridNya. Enam kali berturut-turut penduduk meningkatkan persembahannya menjadi seratus kali dan seribu kali banyaknya, mereka mempersembahkan dana dalam jumlah yang amat besar. Ketika Raja menyadari apa yang mereka lakukan, ia berpikir :

"Kalau saya tidak dapat mempersembahkan dana lebih besar dari apa yang mereka persembahkan, bagaimana saya dapat mempertahankan kehidupan saya ?"

Kemudian ia berbaring, memikirkan jalan keluarnya. Ketika ia sedang berbaring sambil termenung dan berpikir, Ratu Mallika menghampirinya dan bertanya dengan penuh keheranan:

"Yang Mulia, mengapa Baginda berbaring di sini? Apa yang membuatmu kelihatan sangat risau dan susah hati ?"

Raja menjawab:

"Isteriku, tidakkah kamu tahu?"

"Yang Mulia, saya tidak tahu."

Kemudian Raja menceritakan masalah ini. Ratu Mallika lalu berkata :

"Yang Mulia, jangan menjadi resah; pernahkah Baginda mendengar atau melihat bahwa seorang Raja, penguasa seluruh negara, seharusnya dapat memenangkan masalah ini ? Saya akan mengatur persembahan itu ?"

Demikianlah ucapan Ratu Mallika, dia berbicara demikian karena dia ingin mempersembahkan dana yang jumlahnya tiada tara. Kemudian dia berkata kepada Raja :

"Yang Mulia, inilah rencanaku. Perintahkanlah untuk membangun sebuah pavilion yang indah di tengah-tengah lapangan. Bangunlah pula pavilion yang melingkarinya dari kayu Sala yang terbaik, dan tempat duduk untuk lima ratus bhikkhu. Buatlah lima ratus payung putih yang indah, dan latihlah lima ratus gajah untuk sambil berdiri dengan diam di belakang ke lima ratus bhikkhu, sambil memegang payung dengan belalainya. Buatlah delapan atau sepuluh perahu yang terbuat dari emas, dan tempatkanlah di tengah-tengah pavilion. Di antara ke dua bhikkhu, tempatkanlah seorang prajurit wanita yang duduk dan menebarkan wewangian. Tempatkanlah pula sejumlah prajurit wanita memegang kipas di tangannya, yang berdiri dan mengipasi dua bhikkhu. Tempatkanlah para prajurit wanita lainnya dengan membawa wewangian di tangannya, berdiri di dalam perahu emas. Tempatkanlah prajurit wanita yang lain, membawa rangkaian bunga lili biru yang disemprot dengan wewangian, di dalam perahu emas, dan persembahkanlah dupa kepada para bhikkhu. Sekarang penduduk yang tidak mempunyai anak yang menjadi prajurit wanita ataupun payung putih ataupun gajah, itu berarti mereka tidak dapat mengalahkanmu. Inilah yang harus Baginda lakukan sebagai seorang Raja yang Besar."

Raja berkata dengan gembira :

"Bagus, bagus, isteriku! Rencanamu sungguh luar biasa."

Raja lalu memerintahkan kepada pegawainya, segala sesuatu yang diusulkan oleh Ratu Mallika. Setelah semua dilaksanakan, ternyata kekurangan seekor gajah untuk memayungi seorang bhikkhu. Ketika Raja memeriksa semuanya, ia berkata kepada Ratu Mallika :

"Isteriku, kita kekurangan seekor gajah untuk memayungi seorang bhikkhu. Apa yang harus saya lakukan ?"

"Apa yang Baginda katakan ? Tidak ada lima ratus ekor gajah ?"

"Ya, isteriku. Yang tersisa adalah gajah-gajah yang liar, dan kalau gajah itu melihat para bhikkhu, mereka akan mengamuk seperti angin ribut."

"Yang Mulia, saya tahu dimana gajah liar itu ditempatkan yang dapat membuatnya berdiri dengan diam dan memegang payung di belalainya."

"Dimana kita akan tempatkan gajah itu ?"

"Di sebelah Yang Mulia Angulimala."

Raja melakukan apa yang dikatakan isterinya. Seekor gajah muda melipat ekornya di antara ke dua kakinya, menurunkan kedua telinganya, menutup matanya dan berdiri dengan diam. Orang-orang memandang gajah itu dengan keheranan dan berpikir :

"Bagaimana mungkin gajah liar itu dapat berdiri dengan diam ?"

Raja menanti Sang Buddha dengan para muridNya dengan penuh rasa bahagia. Setelah Beliau beserta murid-muridnya tiba, Raja memberikan penghormatan dan berkata:

"Yang Mulia, semua barang-barang ini, baik yang berharga maupun tidak berharga, saya persembahkan semuanya untuk Bhikkhu Sangha."

Dengan persembahan dana yang dilaksanakan pada hari ini, harta sebanyak empat belas laksa diserahkan dalam satu hari. Empat macam harta yang amat berharga dipersembahkan kepada Sang Guru, sebuah payung putih, sebuah dipan untuk beristirahat, sebuah panggung dan sebuah penunjang kaki. Tidak seorangpun yang mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dapat menyamai apa yang dipersembahkan oleh Raja, karena itu persembahan ini terkenal dengan 'Persembahan Dana Yang Tiada Tara'. Persembahan dana yang tiada tara ini terjadi pada semua Buddha, dan seorang wanita yang mengatur semua persembahan ini.

Raja mempunyai dua orang menteri bernama Kala dan Junha. Menteri Kala berpikir:

"Lihat, bagaimana harta Raja berkurang! Dalam satu hari, harta sebanyak empat belas laksa digunakan! Dan para bhikkhu ini, setelah berpesta dengan dana sebanyak itu, akan langsung pulang, berbaring, dan tidur! Bagaimana mungkin harta Raja dibuang seperti ini !"

Tetapi, Menteri Junha berpikir:

"Oh, luar biasa dana yang dipersembahkan oleh Raja! Tidak seorangpun yang dapat menempati posisi Raja dalam mempersembahkan dana ini ! Lebih jauh lagi, tidak seorangpun yang dapat melampaui persembahan dana ini untuk kebahagiaan semua mahluk. Untuk saya, saya amat berterima kasih dan berbahagia atas semua persembahan yang disampaikan oleh Raja kepada Sang Buddha."

Ketika Sang Guru menyelesaikan makannya, Raja mengambil mangkukNya, dengan harapan Beliau akan menyampaikan anumodana. Sang Buddha berpikir::

'Raja telah mempersembahkan dananya yang luar biasa ini, seperti sebuah gelombang yang amat besar. Apakah yang dipikirkan orang-orang yang ada di sini, apakah dipenuhi oleh keyakinan atau tidak ?'

Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan oleh kedua menteri itu, Beliau segera menyadari :

"Apabila Saya mengucapkan anumodana atas dana yang dipersembahkan ini, maka kepala Kala akan terbelah menjadi tujuh bagian, dan Junha akan memperoleh Pengertian Dhamma Yang Mulia.

Karena kebodohan dari Kala, maka Sang Buddha hanya mengucapkan sebuah syair yang terdiri dari empat baris untuk menghormati Raja, yang berdiri di hadapannya setelah mempersembahkan dananya itu. Setelah itu Beliau bangkit dari duduknya dan kembali ke vihara.

Para bhikkhu bertanya kepada Yang Mulia Angulimala:

"Saudara, tidakkah kamu takut ketika kamu melihat gajah liar berdiri di sampingmu, memegang payung putih ?"

"Tidak saudara, saya tidak takut."

Para bhikkhu berkata kepada Sang Guru:

"Yang Mulia, Angulimala berbohong."

Sang Guru lalu berkata:

"Para bhikkhu, Angulimala tidak takut. Untuk bhikkhu seperti anakKu ini yang telah mencapai Tingkat Kesucian, telah menghapuskan segala kekotoran dan tidak lagi mempunyai ketakutan."

Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan syair di dalam Brahmana Vagga :

"Ia yang Mulia, Agung, Pahlawan,
Pertapa Agung, Penakluk.
Orang Tanpa Nafsu, Murni, Telah Mencapai Penerangan,
Maka ia Kusebut seorang Brahmana.

Raja sangat kecewa. Ia berpikir :

"Setelah saya mempersembahkan dana yang begitu besar, dan saya berdiri di hadapan Sang Guru, Sang Guru melalaikan ucapan anumodana atas dana yang saya persembahkan, tetapi hanya mengucapkan satu syair saja, bangkit dari duduk dan pergi. Anumodana itu diucapkan untuk dana yang dipersembahkan dengan tepat, mungkin saya mempersembahkan dana yang tidak tepat; dan untuk barang-barang yang sesuai untuk dipersembahkan, mungkin saya mempersembahkan barang-barang yang tidak sesuai. Karena itu Sang Guru marah kepada saya, biasanya Beliau selalu mengucapkan anumodana kepada setiap orang yang mempersembahkan dana kepadaNya."

Dengan pemikiran seperti ini, Raja pergi menuju vihara, menghormat kepada Sang Guru dan berkata :

"Yang Mulia, apakah saya gagal mempersembahkan dana yang telah saya serahkan, atau kesalahan dalam mempersembahkan, atau dana itu tidak tepat, ataukah barang-barang yang saya persembahkan tidak sesuai ?"

"Raja Mulia, mengapa anda bertanya demikian ?"

"Yang Mulia, tidak mengucapkan anumodana atas segala persembahan yang saya berikan."

"Raja Mulia, hadiah yang kamu persembahkan tentu saja sesuai; Pemberian Dana Yang Tiada Tara, seperti yang kamu persembahkan, hanya dapat dipersembahkan kepada Seorang Buddha; persembahan seperti itu akan sulit untuk dilakukan untuk kedua kalinya."

"Tetapi, Yang Mulia, mengapa tidak mengucapkan anumodana atas dana yang saya persembahkan ?"

"Karena ada pemikiran orang-orang yang tidak murni, Raja Mulia."

"Yang Mulia, kesalahan apa yang dilakukan orang-orang itu?"

Sang Guru lalu menceritakan kepada Raja, pemikiran dari kedua menterinya dan memberitahukan kepadanya akibat yang akan diterima Kala apabila Beliau mengucapkan anumodana.

Raja lalu bertanya kepada Kala:

"Apakah benar, Kala, engkau berpikir seperti itu ?"

"Benar, Yang Mulia," jawab Kala.

Kemudian Raja berkata :

"Saya tidak pernah mengambil milikmu untuk saya. Di mana kesalahan saya?
Pergilah ! Apa yang saya berikan, saya berikan. Sekarang, pergilah dari kerajaanku !"

Setelah Kala diusir dari kerajaannya, Raja memanggil Junha, dan bertanya :

"Apakah benar, Junha, pemikiranmu seperti itu ?"

"Benar, Yang Mulia," jawab Junha.

"Kamu berbuat baik, paman," jawab Raja.

"Saya puas. Terimalah hadiah dariku dan persembahkanlah dana seperti yang saya lakukan selama tujuh hari."

Setelah berdana selama tujuh hari, Raja berkata kepada Sang Guru:

"Yang Mulia, lihatlah apa yang telah dilakukan oleh orang bodoh itu, sesudah saya mempersembahkan dana itu, ia memukul saya."

Sang Buddha menjawab:

"Ya Raja Mulia; orang bodoh tidak bergembira dengan dana yang dipersembahkan orang lain, dan di masa yang akan datang akan memperoleh hukumannya. Tetapi orang bijaksana, ikut bergembira atas dana yang dipersembahkan orang lain dan akan menuju surga."

Setelah berkata demikian sang Buddha mengucapkan syair:

"Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke Alam Surga. Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi, Dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya."


Source:
http://www.indocina.net/viewtopic.php?f=22&t=21472&start=45





Hatiku selembar daun...

ULAR DAN MERAK

ULAR DAN MERAK


Pada suatu hari, seorang muda bernama Adi, Si Mesin Hitung
-karena ia belajar matematika- memutuskan untuk meninggalkan
Bhokara guna mencari ilmu yang lebih tinggi. Gurunya
menasehatkan agar ia berjalan ke arah selatan, dan katanya,
"Carilah makna Merak dan Ular." tentu saja anjuran itu
membuat Adi berpikir keras.

Ia mengembarai Khorasan dan akhirnya sampai di Irak. Di
negeri Irak, ia benar-benar menemukan tempat yang terdapat
seekor merak dan seekor ular. Adipun mengajak bicara mereka.
Kedua binatang itu berkata, "Kami sedang memperbincangkan
keunggulan kami masing-masing."

"Nah, justru itu yang ingin kuketahui," kata Adi. "Teruskan
berbincang-bincang."

"Rasanya, akulah yang lebih berguna," kata Merak. "Aku
melambangkan cita-cita, perjalanan ke langit keindahan
sorgawi, dan karenanya juga pengetahuan adiluhung. Adalah
tugasku untuk mengingatkan manusia, dengan cara menirukan,
tentang segi-segi dirinya yang tak dilihatnya."

"Sebaliknya, aku," kata Ular, sambil mendesis pelahan,
"melambangkan hal itu juga. Seperti manusia, aku terikat
pada bumi Kenyataan itu menyebabkan manusia menyadari
dirinya. Juga seperti manusia, aku lentur, bisa
berkelok-kelok menyusur tanah. Manusia sering melupakan
kenyataan itu. Menurut kisah , akulah penjaga harta yang
tersembunyi di bumi."

"Tetapi kau menjijikkan," teriak Merak. "Kau licik, licin,
dan berbahaya."

"Kau menyebut sifat-sifat kemanusiaanku," kata Ular,
"sedangkan aku lebih suka menunjukkan sifat-sifatku yang
lain, yang sudah kusebut-sebut tadi. Sekarang, lihat dirimu
sendiri: kau sombong, kegemukan, dan suaramu serak. Kakimu
terlalu besar, bulu-bulumu berlebihan panjangnya."

Sampai disini Adi menyela, "Hanya ketidak-cocokanmulah yang
telah menyebabkan aku mengetahui bahwa tak ada di antara
kalian yang benar. Namun kita jelas-jelas melihat, apabila
kalian sama-sama meninggalkan keasyikan diri sendiri, secara
bersama-sama kalian bisa memberi pesan bagi kemanusiaan."

Dan, sementara dua pihak yang bertengkar itu
mendengarkannya, Adi menjelaskan peran mereka bagi
kemanusiaan: "Manusia melata di tanah bagai Si Ular. Ia bisa
melayang tinggi bagai Burung. Namun, karena tamak seperti
Ular, ia tetap mempertahankan kepentingan diri sendiri
ketika berusaha terbang, dan mereka menjadi seperti Merak;
terlampau sombong. Dalam diri Merak, kita melihat
kemungkinan manusia, namun yang tidak tercapai dengan
semestinya. Pada kilauan Ular, kita menyaksikan kemungkinan
keindahan. Pada Merak, kita menyaksikan keindahan itu
menjadi terlalu berbunga-bunga."

Dan kemudian terdengar Suara dari dalam berbicara kepada
Adi, "Itu belum lengkap. Kedua makhluk itu diberkahi
kehidupan, yang merupakan faktor penentu. Mereka bertengkar
karena masing-masing telah merasa aman dalam jenis
kehidupannya sendiri, beranggapan bahwa hal itu merupakan
perwujudan suatu kedudukan yang sebenarnya. Namun, yang
seekor menjaga harta dan tidak bisa mempergunakannya. Yang
lain mencerminkan keindahan, harta juga, namun tidak bisa
mengubah dirinya sendiri menjadi keindahan. Di Samping
ketidakmampuan keduanya untuk mengambil keuntungan dari
kesempatan yang terbuka bagi mereka keduanya pun
melambangkan kesempatan itu --tentu bagi mereka yang bisa
melihat dan mendengarnya."

Catatan

Pemujaan Ular dan Merak di Irak didasarkan pada ajaran
seorang Syeh Sufi, Adi, putra Musafir, pada abad kedua
belas. Pemujaan itu dianggap suatu misteri oleh kebanyakan
orientalis.

Kisah ini, yang tercatat dalam legenda, menunjukkan
bagaimana guru-guru darwis membentuk "mazhab-mazhab"-nya
berdasarkan pelbagai lambang, yang dipilih untuk memberi
contoh ajaran-ajarannya.

Dalam bahasa Arab, "Merak" melambangkan juga "perhiasan;"
sedangkan "Ular," memiliki bentuk huruf yang sama dengan
"organisme" dan "kehidupan." Oleh karena itu perlambangan
Pemujaan Malaikat Merak yang tersembunyi -Kaum Yezidis-
adalah suatu cara untuk menunjukkan "Bagian Dalam dan Luar,"
rumus rumus Sufi tradisional.

Pemujaan itu masih ada di Timur Tengah, dan memiliki
penganut (tak ada di antara mereka itu yang orang Irak) di
Inggris dan Amerika Serikat.

------------------------------------------------------------
K I S A H - K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984




Hatiku selembar daun...

KISAH API

KISAH API


Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara
bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari
satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak
tentang penemuannya.

Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai
kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang
memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira
bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu
cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi
mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya
memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan
sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin
bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang
api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang
tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat
kedinginan.

Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang
menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan
dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang
kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa
menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan
mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi
mereka.

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui
negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu
tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan
bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya,
"Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan
pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka
itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi
perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang
masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan
bagaimana mendekatinya."

Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka
menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang
mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri,
silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan
pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku
bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai
perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu,
maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun
lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang
itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di
negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba
menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk
berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal.
Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan
hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda
kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara
ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal.
Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara
diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara
kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah
dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha
membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak
mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur,
orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata
kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi
mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut
ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan
tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata
pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri
bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan
kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin
benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui
bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji
oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar
ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan
tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan
kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu
merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka
yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan
orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api
bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak
benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia
mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu
tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa
kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian
ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya
dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa
yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari,
dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,

"Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak
ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka
bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka
membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin
mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari,
bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Kalau
kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa
mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa
untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan
kemampuan."

Catatan

Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad
al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu
tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan
atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat
pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha
mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka
sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri
mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka
berbicara dan bertindak."

Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan
orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena
menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.

Ia pendiri kaum Badawi Mesir.

------------------------------------------------------------
K I S A H - K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984



Hatiku selembar daun...

SEMUT DAN CAPUNG

SEMUT DAN CAPUNG


Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur,
sedang mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap
menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi
untuk kemudian datang kembali.

Kali ini Si Semut berkata,

"Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana.
Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun kira-kira, apa
pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?"

Kata Si Capung,

"Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan
nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan
sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih
berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja
rencanamu, dan aku rencanaku."

Semut berpikir,

"Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa
yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada
capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."

Dan semutpun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran
sebaik-baiknya dalam masalah itu.

Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi.

Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di
bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja
apa yang mungkin datang padanya.

Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan
hinggap diatasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging
berayun dan membelah capung itu menjadi dua.

Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu.
Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke
sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri.

"Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia
laksanakan rencananya -sudah berakhir, Aku laksanakan
rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting,
nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan
dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin
dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang
lain."

Catatan

Kisah yang hampir serupa ditemukan juga dalam karya Attar,
Kitab Ketuhanan, meskipun penerapannya agak berbeda. Versi
ini dikisahkan oleh seorang darwis Bokhara dekat makam
Al-Syah, yakni Bahaudin Naqsibandi, enam puluh tahun yang
lalu. Sumbernya adalah buku catatan seorang Sufi yang
disimpan dalam Masjid Agung di Jalalabad.

------------------------------------------------------------
K I S A H - K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984





Hatiku selembar daun...

BOSAN HIDUP SUSAH

BOSAN HIDUP SUSAH


Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.

Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. “Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.


Sumber: Millist tetangga.



Hatiku selembar daun...