Showing posts with label Cerpen Minggu. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Minggu. Show all posts

Friday 25 February 2011

Kyai Sepuh dan Maling

Kyai Sepuh dan Maling



Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat.

Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh.

Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi.

Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia.

Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat.

Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!”

Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”.

Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan.

Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku!

Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”.

“Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat.

Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru.

Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek.

Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”.

Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya.

“Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling.

“Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat.

Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang.

Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya.

“Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh.

“Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit.

“Siapa kamu?! Darimana?!”

“Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan.

“Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?!

“E, maaf, mBah.”

“mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!”

“Maaf, kyai.”

“Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!”

“Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.”

“Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan.

“Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!”

“Saya, kyai.”

“Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin.

“Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.”

“Maaf, kyai.”

“Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.”

Maling mengangguk meng”iya”kan.

“Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!”

“Ampun, Kyai Sepuh.”

“Maksudmu?”

“Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.”

“Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!”

Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur.

Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu.

Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota.

Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak.

Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri.

Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat.

“Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!”

“Saya, kyai.”

“Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!”

Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini.

“Kenapa menangis?”

“Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.”

“Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.”

“Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.”

Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis.

“Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.”

“Terima kasih, kyai.”

“Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.”

Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak.

29 Maret 2004

Pamulang-Tangerang



Sandy Tyas

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”


Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”

Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”

Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.

Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.

“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.

Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.

“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang.

“Gotong-royong kita sangat bagus.”

“Kita masih punya semangat empat-lima.”

Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”

Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya.

Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.

Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal.

“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.”

“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon.

“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.

“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.”

“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.

Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.

Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.

Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.

Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.

Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab.

“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.”

“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya.

“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.”

“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.

Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi.

“Pagi-pagi sekali, dari mana?”

“Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”.

“Lho, kok?”

“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”

Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.

“Di mana kalian? Kami kalah.”

Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali.

“Di mana?”

“Sini!”

Berulang-ulang.

Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.

Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu.

“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.”

“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.”

“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan.

Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.

“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”

Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.

Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.

Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih.

Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.

“Kok menyapu sendiri, Pak?”

“He-eh, tidak ada yang disuruh.”

Lain hari perempuan itu lewat lagi.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”

“He-eh, habis bagaimana lagi.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”

“Ya tidak ada.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”

“Mau saja.”

Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.

Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.

Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!

Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”

Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.

Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.

Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.

Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *

Yogyakarta, 23 Februari 2004




Kuntowijoyo

Warna Ungu

Warna Ungu



Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu. (Tempat resepsi pernikahan yang paling bergengsi di Kota Malang). Mereka akan memakai adat Malangan secara lengkap. (pengantin perempuan yang sangat menyukai warna ungu) akan menikah dengan Indra teman kuliahnya di Fakultas Teknik UB. Perjodohan mereka dianggap sangat wajar, Indra dan Luke punya status sosial yang sangat sejajar. Indra adalah anak usahawan yang berada di Jakarta. Konon, bapak Indra seperti dongengnya Cinderella, melihat Indra yang belum juga pacaran, mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan mengundang beberapa gadis pilihan untuk menjadi pacar Indra.

Luke menjadi calon mantu yang paling favorit bagi keluarga Indra.

Penduduk kota ini menganggap mereka akan menjadi pasangan yang serasi! Umur mereka sudahlah pantas untuk menjadi pasangan muda yang bahagia. Teman-teman dekat Luke maupun Indra tidak melihat cela yang akan terjadi di antara hubungan mereka. Menurut teman dekat Indra maupun Luke, Luke dan Indra pasangan yang sangat senang anak-anak. Luke mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru play group. Oleh karena itu, sering mereka melihat Indra dan Luke bersama anak didiknya bermain-main dengan gembira.

Mereka jarang bertengkar, terlampau banyak kesamaan antara Indra dan Luke, mulai dari selera makan sampai mengisi waktu luang. Kalau toh ada pertengkaran rasanya tidak akan pernah saling melukai. Sesungguhnya, sebelum acara pernikahannya, pada teman-temannya Luke berkata, “Aku tidak menikahi seorang pangeran. Aku menikahi Indra dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada usiaku yang kedua puluh satu nanti, aku kepingin menjadi ibu dari anak- anakku. Kurasa umur yang pantas untukku. Aku tidak terlampau ingin sibuk dengan karier sehingga lupa punya anak. Anak-anak bagiku adalah masa depanku juga masa depan bangsa ini. Aku bersyukur dokter mengatakan aku cukup sehat untuk punya anak. Aku sebetulnya sudah menanti seorang anak sejak usiaku yang kedelapan belas. Indralah yang dengan serius menanggapi cita-citaku. Banyak pasangan muda takut kalau mereka segera punya anak, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk bersenang-senang berdua. Tapi aku tidak! Sejak usiaku yang kedelapan belas, aku sudah menyiapkan diri untuk tidak terlampau larut dengan dunia anak muda. Sering aku membeli buku bagaimana mendidik anak-anak. Dan walaupun aku tidak menyukai lagu klasik, ketika ketemu simfoni Mozart, aku langsung membelinya! Karena, aku membaca di satu artikel bahwa lagu klasik bisa merangsang kepandaian anak. Harusnya digarisbawahi, aku tidak kepingin mendidik anak-anakku seperti Mama mendidikku.

Papa dan Mama sangat sibuk dengan usahanya sehingga waktu kecil ketika seorang pembantu sering mencubiti diriku, aku tidak berani mengatakan pada orangtuaku. Kalau aku menceritakan penyiksaan itu, Mama pasti tidak mempercayaiku. Di muka orangtuaku, dia bisa bersikap sangat manis. Mamaku merasa bebannya dengan anak-anaknya bisa terkurangi, apalagi pembantuku itu tidak mencubiti adikku. Mama selalu menganggap aku terlampau nakal, lain dari adikku yang masih bayi itu.

Aku tidak tahu sampai hari ini mengapa kebencian terhadap pembantuku itu selalu berada di ruang hati dan seluruh sudut rumah ini. Tadi siang, dia datang dengan cucunya, (aku tidak menyukai anak itu). Aku menjadi cemas karena setiap orang bilang aku adalah kekasih anak-anak. Rupanya, aku bisa tidak menyukai anak kecil ini. Di matanya, aku melihat mata pembantu yang mencubitiku dulu. Anak itu mengerti perasaanku, dia meminta segera keluar dari kamarku. Aku mengiyakan dengan cepat dan mendorong keduanya keluar dari kamar ini.

Mestinya aku bisa memilah-milah persoalan. Aku hari ini sedikit depresi, aku sering sekali pusing dan mimpi buruk yang terputus-putus sejak seminggu ini. Seharusnya aku kelewat bahagia karena akan menikah dengan calon bapak dari anak-anak. Sungguh, aku merasa pusing lagi, aku tertidur. Mimpiku, anak kecil itu memukul-mukul kendang persis di sebelah telingaku. Aku terbangun dan kepingin muntah, padahal hari ini aku harus kelihatan bugar dan cantik.

Sungguh, sebelum aku menjadi pengantinnya Indra aku sudah membicarakan hal ini berulang-ulang kepadanya. Kalau kita punya anak, sebaiknya ada orang yang bisa kita percayai untuk mengurus anak-anak. Oleh karena itu, pernikahan bagiku adalah sebuah langkah yang sangat serius. Aku tidak lagi mengulang kesalahan-kesalahan Mamaku, yang lebih menikmati dunianya sendiri. Tentu saja, aku tidak berani bilang, “Mamaku seorang egois.” Kehidupanku dengan dua adik laki-lakiku sangat tercukupi. Aku masih ingat ketika usiaku yang ketujuh, aku meminta sepatu roda yang pada waktu itu jarang dijual di Kota Malang. Dengan mudah Mama mendapatkan sepatu itu. Aku masih ingat bagaimana teman-teman SD-ku (yang menurutku orangtuanya lebih kaya) membelalakkan matanya ketika aku meluncur dengan sepatu roda itu.

Mama sering bilang, “Dia adalah perempuan yang bahagia.” Papa tidak pernah memukul seperti suami adiknya atau pelit seperti suami kakaknya. Masih menurut Mama, tidak ada yang bisa disalahkan dari saudara-saudara perempuannya. Seorang laki-laki baru ketahuan jeleknya kalau sudah jadi suami. Jadi, pernikahan dengan suami yang baik, seperti mendapat undian. Aku merasa sudah melihat kekurangan Indra, rasanya aku masih bisa mentolerir kekurangannya. Aku percaya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena aku sendiri bukan perempuan yang sempurna. Tetapi kadang-kadang omongan Mama tentang perempuan yang mendapat suami yang salah, menghantui diriku. Sahabat Rita, akhir-akhir ini mengeluhkan suaminya yang sering memukul. Aku khawatir, dia tidak bisa keluar dari lingkaran setan itu. Aku takut sekali melihat memar-memar bekas pukulan suaminya. Tentu saja aku akan bertindak tegas jika Indra memperlakukan diriku seperti Rita. Tapi Mama bilang, “Kalau kita sudah menikah, masalahnya tidak sesederhana itu.” Rita mungkin sudah lama ingin keluar dari pernikahannya, tapi tidak bisa! Aku bilang, “Kalau aku jadi Rita, aku sudah lama menceraikan suamiku.”

Mama mengangkat bahu, seolah-olah tidak yakin aku bisa setegas itu.

Sesungguhnya perayaan pernikahan ini sudah dibicarakan oleh penduduk Kota Malang, karena yang bakal mantu adalah usahawan sukses di mana akan banyak sekali memakai adat Malangan, yang sudah lama tidak lagi dipakai oleh masyarakat Malang. Ini merupakan tontonan yang menarik. Pak Hendrawan sudah membeli dokar untuk kirab kedua pengantin dari rumah sampai ke gedung resepsi. Penduduk Kota Malang sudah sering melihat dokar berwarna ungu, yang sekarang begitu cantik, berada di halaman rumah Pak Hendrawan.

Mereka akan memakai seragam ungu, pada resepsi pernikahan dan gedung resepsi pernikahan akan ditata dengan serba warna ungu, mulai dari tempat duduk pengantin, karpet, dan bunga-bunga hiasan. (Pak Hendrawan sudah mengorder berpuluh-puluh bunga anggrek bulan ungu untuk hiasan di gedung pengantin). Mereka memilih warna ungu, warna favorit dari keluarga Pak Hendrawan. Sebagian ruangan rumah Pak Hendrawan, khususnya kamar pengantin, sudah dicat dengan warna ungu. Seprei pengantin dan semua hiasan berwarna ungu di kamar itu. Hanya pada saat ijab kabul, kedua pengantin memakai baju brokat putih, tapi kerudung untuk mereka berdua tetap dengan warna ungu. Konon baju tidur mereka berdua juga berwarna ungu.

Tak pernah seorang pun di Kota Malang melihat persiapan yang begitu ribet dengan biaya yang rasanya sulit dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk di Kota Malang.

Adalah Mbok Pah, yang ingin memberikan jamu, yang pertama kali merasa kehilangan Luke. Sementara yang lainnya masih tidur dengan kelelapan yang luar biasa. Mbok Pah mencari di setiap sudut rumah ini. Akhirnya dengan cemas membangunkan ibu Luke.

“Saya tidak menemukan Jeng Luke, Bu.”

Mama Luke yang kelihatan mengantuk tiba-tiba terbangun. “Cari dia sampai dapat, sebentar lagi acara akad nikah segera dimulai.”

Akhirnya, setelah sekian lama Mbok Pah mencari, seluruh keluarga besar terbangun dan menjadi gagap, “Luke memang tidak ada di tempat!”

Sekarang setiap kerabat, sahabat, mencari Luke ke seluruh penjuru Kota Malang. Tidak diketemukan calon pengantin perempuan.

Kepanikan semakin lama semakin lebar ketika pengantin pria dan seluruh keluarga besarnya sudah datang untuk menikahkan putra-putrinya. Semua keluarga besar Hendrawan hampir tidak bisa berbuat apa pun ketika yang satu mulai menangis dan yang lainnya ikut- ikutan.

Pakde dari Luke, atas desakan keluarga besar calon mantu melapor ke polisi atas kehilangan keponakannya.

Polisi mencatat semua data-data Luke dan berulang-ulang bertanya, “Apakah mereka akan dinikahkan secara paksa?”

“Tidak, mereka pacaran. Tolong kami, karena acara resepsi di gedung tinggal beberapa jam lagi dan kalau si pengantin tidak diketemukan, besok semua koran lokal dan nasional akan memuat berita ini. Indra anak pengusaha sukses di Jakarta. Ini akan memalukan seluruh keluarga besar kami,” kata Pakde Luke, telak.

Polisi cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ini kasus yang pertama ditemui oleh pihak kepolisian. Padahal bapak polisi sangat akrab dengan pengusaha yang sangat sukses itu. Polisi mengerahkan anak buahnya untuk mencari Luke.

Luke tidak diketemukan sampai waktu resepsi. Para undangan saling berbisik dan sebagian orang ikut prihatin atas hilangnya pengantin perempuan. Padahal, menurut Indra, sejam sebelum hilangnya Luke mereka masih SMS-an. Luke cuma bilang, dia lebih sering berkeringat dan pusing sehingga perias pengantinnya sering membubuhi bedak (satu hal yang tidak disukai Luke). Sebelum rencana pernikahan ini dikukuhkan oleh para orangtua mereka, Indra bercerita di depan polisi, “Kami berdua sangat sepakat untuk segera menikah, agar lebih cepat memiliki anak di masa muda.”

Mereka berdua sepakat tidak akan pernah meniru tante Luke yang masih hidup sendiri di usianya yang hampir 35 tahun. Masih menurut Indra, Luke sering bercerita tentang tantenya itu, “Tanteku kariernya bagus, tapi dia tidak sempat menikah! Saya tidak ingin seperti dia, tanteku tidak bisa memahami bagaimana mencari susu bayi, mengantarkan ke taman kanak-kanak atau ke dokter.”

Namun, dua bulan sebelum pernikahan Luke, tantenya dengan bangga mengatakan, “Aku baru saja melahirkan seorang anak.” Tante tidak pernah menyebut-nyebut siapa bapak dari bayi itu. Luke melihat hal itu sangat luar biasa dan ini sering diceritakan pada Indra. Tetapi Luke dan Indra tetap sepakat akan menikah secara normatif dan kemudian punya anak.

Jadi, tidak mungkin Luke pergi tanpa alasan yang jelas. Indra takut ini ada tangan-tangan kotor dari pesaing bisnis papanya atau Pak Hendrawan dalam pernikahan mereka. Lantas, dia mendesak polisi dan seluruh kerabat Hendrawan untuk mencari Luke agar tidak mempermalukan dirinya dan mencari akar masalah dari musibah ini. Apakah ini ada hubungannya dengan pesaing bisnis papanya dan pesaing bisnis papa Luke?

Di depan polisi Indra berulang-ulang berkata, “Pak, di antara pelaku bisnis itu selalu muncul iri hati satu sama lain dan mungkin kedengkian inilah yang menjudi akar masalahnya. Oleh karena itu, berapa pun akan saya bayar untuk mencari Luke hari ini juga! Saya tidak yakin Luke pergi dari rumah, tidak dengan alasan yang jelas. Yang saya banggakan darinya sikapnya yang rasional dan kemauan yang keras. Kalau tidak pacaran dengannya, saya mungkin belum berani menikah.”

Luke memang tidak ditemui di penjuru kota ini.

Luke setelah tiga hari pulang ke rumah dan Luke bercerita, “Waktu itu saya merasa gerah, seorang anak kecil membimbing saya untuk keluar dari rumah ini. Saya berpikir untuk menghibur anak ini. Saya kira dia salah satu anak dari keluarga besar kami. Untuk menghiburnya, kami menaiki becak yang parkir di depan rumah, dengan harapan saya akan kembali pukul 14.00 WIB sebelum menikah. Ini sensasi yang luar biasa, saya dan anak kecil itu merasa bahagia. Kami ke sebuah taman anak- anak minum es krim dan saling memakai ayunan. Kemudian setelah hampir pukul 16.00 WIB saya sadar sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu sudah pergi entah ke mana, sehingga saya panik mencarinya.”

“Jadi, saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, saya mencari anak itu yang tadinya cuma pamit sebentar. Saya pikir orangtuanya pasti akan kehilangan anak itu, kalau tidak saya temukan dirinya. Saya tentu bersalah! Walaupun saya tahu saya harus pulang untuk menikah dengan Indra. Ya, seharusnya anak itu tidak pergi dari sisi saya, sehingga saya dengan dia bisa pulang ke rumah dan kemudian jadi pengantinnya Indra, dengan kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh seluruh keluarga besar saya.”

“Anak itu tetap tidak diketemukan, saya menangis. Saya cemaskan anak itu. Kalau tidak bisa diketemukan malam ini, saya sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya. Seharusnya, saya melaporkan kehilangan anak ini pada keluarga dan polisi. Tapi, saya merasa ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari-hari yang lebih bahagia.”

Semua orang tidak mempercayai omongannya. Kedua orangtuanya merasa dipermalukan. Sementara itu, pacar Luke menyatakan mereka sekeluarga merasa dipermalukan dan tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini.

Luke berulang-ulang bilang, “Kalau pernikahan itu tidak jadi, saya tidak bisa disalahkan. Waktu itu saya dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan saya begitu panik karena tiba-tiba anak itu tidak berada di sisi saya. Seharusnya, Indra menganalisa masalah ini dahulu, dengan lebih tenang, sebelum memutuskan hubungan kita. Kami masih saling mencintai.”

Penduduk kota kami membicarakan gagalnya pernikahan itu berhari-hari. Sebagian orang menganggap keluarga Hendrawan kurang melengkapi sesajennya, ketika akan menikahkan dengan adat Malangan, sehingga penghuni halus jadi marah-marah. Seharusnya keluarga Hendrawan bikin selamatan untuk menyucikan tempat pernikahan itu terlebih dahulu. Penduduk kota kami percaya untuk memakai adat Malangan yang lengkap harus memakai sesajen, untuk melewati proses demi proses dari mulai widhodharen, temu, sampai selesainya pernikahan tersebut.

Sementara itu, beberapa teman Luke maupun Indra merasa heran, mengapa pengantin minggat, padahal mereka saling mencintai? Dan mereka berdua begitu mantap untuk menikah, sekalipun kuliah mereka berdua belum selesai.

Kita membicarakan itu selama berhari-hari sehingga tak tahu lagi bagaimana kabar Luke sebenarnya, yang menurut beberapa orang, tidak ketahuan ke mana perginya.

Kemudian, kalau kita melewati rumah Luke, tampak pagar dan dokar yang berwarna ungu. *

Malang, 2004
Cinta Elena & Pedro

tinggalkan komentar »




Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana. Pengamen-pengamen asal Puerto Riko asyik menyanyikan lagu-lagu tradisional mereka. Lagu-lagu tentang semangat kerja rakyat petani. El Cantar de un Campesino (A Farmer’s Song), Mi Jaragual (My Little Farm), meluncur mendayu-dayu diiringi dansa-dansa yang amat indah. Beberapa orang berkerumun untuk mendengarkan. Ada juga yang membeli kaset hand made-nya seharga 10 pesetas.

“Como estas, hoy, Elena?”

“Bien. Muy bien, Pedro.”

Seorang pria duduk di sebelahnya. Sebuah tongkat kayu dari pohon ek berada di tangannya. Ia setua si wanita. Kepalanya botak. Berkilat-kilat kena cahaya lampu yang mulai dinyalakan. Si wanita mencium aroma wewangian dari tubuh si pria. Kesegaran menjalari seluruh tubuhnya.

“Apakah mereka sudah menyanyikan Cantandole a lo Nuestro?” si pria bertanya. “Aku selalu menyukai lagu itu.”

Si wanita tersenyum. “Belum. Kau bisa memberinya beberapa pesetas dan meminta mereka menyanyikannya untukmu.”

“Untuk kita.”

Tersenyum, tangan si wanita memegang tangan si pria. Bara cinta meletup di dadanya.

“Ya, untuk kita, Pedro,” katanya.

Sesaat ia diam.

“Aku baru saja mendapatkan cucu ketiga,” kata si wanita beberapa saat kemudian. Suaranya datar. Matanya menatap ke pengamen obor api yang memasukkan dan mengeluarkan obor berapi di mulutnya. “Una hija. Muy bonita.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan sekulum senyum.

Si pria menoleh.

“Siapa orangtuanya?” ia bertanya. Suaranya lirih. Ada nada pedih. Seperti ada beban yang menindih.

“Si bungsu. Julia.”

Si pria menarik napas. Tanpa berkata.

“Kau tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Pedro? Por que?” si wanita menoleh, memandang laki-laki di sebelahnya itu. Ia masih tampan seperti dulu, si wanita membatin. Ia menyembunyikan sukacita di hatinya. Api cinta bergejolak di dadanya.

“Kau ingin aku mengatakan apa? Aku turut bahagia dengan segala anugerah yang kau terima? Begitukah?”

“Setidaknya kau bisa berkomentar apa saja, Pedro. Kau bisa pura-pura bahagia. Demi aku.”

Malam terus merayap. Matahari sebentar lagi akan lenyap ditelan Bumi. Begitulah selalu di Spanyol. Di musim panas, matahari seolah enggan buru-buru berhenti menyinari Bumi.

“Bagaimana kabar Raul? Apakah ia bahagia dengan Bettina?” si pria bertanya. Di wajahnya lintasan kebahagiaan berpendar-pendar. Ia menunggu jawaban si wanita dengan dada berdebar. Tak sabar.

“Raul sering kali menanyakanmu. Ia selalu merindukanmu.”

Mendadak si pria tersenyum getir. Dalam benaknya, wajah Raul bergulir. Seorang pria tinggi besar yang hampir saja tewas karena serudukan banteng di gelanggang matador di La Monumental de Barcelona. Itu yang membuatnya berhenti sebagai torero, meskipun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin sekali menjadi seperti Pedro Romero, matador legendaris yang amat masyhur, yang selalu dielu-elukan penonton dalam setiap pertunjukan.

Si pria melirik si wanita. Tangannya masih dalam genggaman tangan si wanita. Api cintanya membara.

“Aku sebenarnya menginginkan ia menjadi pemain sepak bola,” katanya dengan sunggingan senyum tertahan. “Kalau ia menuruti kata-kataku, mungkin saat ini ia tengah bertanding di La Liga bersama Raul Gonzalez. Akan ada dua Raul di sana. El Merengues selalu jadi tim kebanggaanku meski aku orang Basque. Aku tak ingin ia berada di Nou Camp. Aku cuma ingin ia berada di Santiago Bernabeu.”

Si wanita tersenyum. Tangannya masih juga memegang tangan si pria. Ia tahu Pedro tak ingin Raul berada di Nou Camp. Stadion kebanggaan pendukung El Barca itu terlalu banyak tahu tentang mereka. Di sanalah ia dan Pedro pertama kali bertemu ketika Barcelona dikalahkan Liverpool dalam suatu pertandingan tingkat Eropa >jmp -2008m<>h 6024m,0<>w 6024m<1)>jmp 0m<>h 8000m,0<>w 8000m< 26 tahun lalu. Pedro datang dengan segala atribut El Barca. Begitu juga Elena. Dalam sekali pandang, cinta mereka bertaut. Di dada mereka bunga-bunga cinta membalut. Jantung keduanya serasa lebih cepat berdenyut.

Dua tahun Elena dan Pedro bahu-membahu sebagai pendukung Barcelona sampai kemudian cinta mereka dipisahkan oleh takdir, sama seperti El Barca yang dua tahun sebelumnya disisihkan klub sepak bola dari tanah Inggris itu. Cinta memang tak selalu mempertautkan raga meski jiwa mereka takkan terpisahkan oleh apa saja.

“Kukira sudah terlalu malam,” kata si pria kemudian. Suaranya agak parau. “Sudah saatnya kita berpisah. Aku pamit.” Si pria bangkit. Mengecup kening si wanita. “Buenas noches, Elena. Hasta luego.”

Si wanita tersenyum. “Pedro,” katanya, menghentikan langkah si pria. “Te amo.”

“Mi, tambien.”

Tak ada yang berubah di Las Ramblas. Pejalan kaki tetap berseliweran dari pagi sampai pagi. Ada yang santai, ada yang dalam gegas. Para pengamen berdiri di sisi jalan dengan kesabaran tanpa batas. Semuanya mempertontonkan kelebihan masing-masing seraya berharap ada pejalan kaki yang rela menyisihkan uang recehnya beberapa pesetas. Mereka tak menadahkan tangan. Mereka menjual kepandaian. Ada yang berperilaku seperti manekin hidup dengan tubuh berbalut semacam cat putih dan baru mengubah posisi mematungnya manakala seseorang melempar uang receh pada sebuah wadah di depannya. Kelompok penyanyi Puerto Riko juga tetap setia membawakan lagu-lagu rakyatnya di depan sebuah toko yang menjual berbagai macam majalah dan koran.

Elena, si wanita berambut keemasan itu, juga tetap setia duduk di kursi yang kemarin didudukinya. Entah ini hari ke berapa ia berada di sana. Ia belum pikun untuk menghitung masa. Tapi, ia memang tak ingin menghitung. Ia khawatir hitungannya terhenti pada bilangan tertentu. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya seperti yang ia inginkan sendiri. Tanpa terikat apa-apa.

Seperti juga hari-hari sebelumnya, Pedro, si pria tua itu, muncul belakangan. Dengan tongkat di tangan. Yang diketuk-ketuknya perlahan-lahan ketika ia berjalan. Tanpa tongkat itu pun ia sebenarnya masih bisa bertahan. Tongkat dari kayu ek itu lebih hanya sebagai teman. Yang membuat langkahnya terasa lebih ringan.

“Buenos dias, Elena,” katanya begitu tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sebelah si wanita.

“Buenos dias,” Elena tersenyum sumringah. Kesejukan di hatinya singgah. Di dadanya rasa nyaman merambah. Sisa-sisa api cinta berpendar-pendar di matanya yang cerah.

“Kau sehat?” si pria bertanya, seperti coba mencari topik pembicaraan di sore yang juga cerah.

“Seperti yang kau lihat. Sejak dulu matamu selalu bagus, bukan?” si wanita menjawab. Tanpa menoleh.

Sepasang muda-mudi kemudian duduk di kursi di depan di seberang mereka. Dengan es krim di tangan mereka. Si pemudi menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemuda. Si pemuda menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemudi. Lalu, keduanya bersama-sama menggigit es krim di tangan si pemudi dalam waktu bersamaan. Lalu mereka tertawa-tawa berkakakan. Mereka seolah cuma ada berduaan. Mereka tak peduli dengan pejalan kaki yang berseliweran.

Si wanita tersenyum. Si pria tersenyum. Keduanya teringat masa-masa lalu yang indah di Plaza Montjuic di bawah tempias air mancur yang meloncat-loncat seiring dentuman drum dari simfoni-simfoni klasik gubahan Beethoven entah berapa waktu lalu. Ketika cinta tengah membuat mereka mabuk. Ketika saling memberi dan menerima merasuk.

“Kau masih ingat ketika itu aku meringis, bukan?” si wanita menoleh.

“Ya, katamu gigimu sedang sakit. Bukankah kau sakit gigi waktu itu?”

“Bukan sakit gigi. Sariawan membuat gusiku peka.”

Kenangan-kenangan indah bermunculan susul-menyusul memenuhi benak mereka manakala mereka tengah duduk berdua seperti sekarang ini. Selain Nou Camp, sudut-sudut Plaza Montjuic jadi saksi abadi keabadian cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu dan perubahan. Ketika mereka saling memagut dalam alunan cinta yang kian bertaut. Ketika kelana cinta mereka menari-nari dalam sinar mercury yang remang. Saat itu mereka yakin takkan ada yang mampu memutus tali dan jalinan kasih mereka, setelah setetes benih juga tersemaikan dalam sebuah romantisme kasih tak terperi.

Tapi, takdir itu kemudian datang memisahkan mereka. Elena harus menikah dengan pria lain pilihan ayahnya. Tak pernah terbayangkan hal itu dapat terjadi. Demi sebuah bisnis keluarga, Elena, si wanita terkasih, disujudkan kepada laki-laki yang tak dicintainya. Dan keduanya pun kemudian berpisah dalam dekap penuh tangis di sebuah kamar hotel tua di sisi pedestrian Las Ramblas ini. Wajah mereka basah oleh air mata dan tetes-tetes cinta.

Hampir dua puluh delapan tahun peristiwa itu berlalu. Dan kini alam mempertemukan keduanya kembali. Dalam tubuh yang renta, cinta mereka tetap bergelora. Dalam tubuh renta mereka, api kasih masih panas membara. Masa tak mampu memupus dan memudarkan hasrat mereka untuk tetap bersama. Api cinta mereka memang terpendam. Tapi tak pernah padam. Cinta mereka memang terbelenggu. Tapi kasih mereka tak dilekangkan oleh perubahan dan waktu.

“Kau mencintai istrimu, Pedro?” si wanita bertanya.

Si pria menoleh. Inilah untuk pertama kalinya pertanyaan seperti itu meluncur. Setelah sekian lama mereka kerap bertemu dan saling mencurahkan isi hati yang pernah hancur. Haruskah aku menjawabnya secara jujur? Si pria bertanya dalam hati. Jika aku berkata jujur, apakah hatinya takkan hancur? Ia kembali mengetuk hatinya dengan pertanyaan penuh keraguan.

“Almarhumah istriku?” ia mencoba mengulur. Sambil coba mencari jawaban yang paling tepat. Yang takkan melukai hati si wanita di sisinya. Wanita yang dulu selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

Si wanita menoleh. Melemparkan senyum. Dengan bibir yang masih tampak ranum. Setidaknya di mata si pria yang kian rabun. Tapi, senyuman itu sekaligus membuat si pria gelisah. Membuat hatinya resah. Dan ia merasa keringat telah membuat telapak tangannya basah. Embusan angin membuat hatinya makin galau. Di dadanya menggumpal rasa risau. Pedihnya seperti tertusuk-tusuk sejuta pisau.

“Setidaknya aku punya anak dari Evita,” suaranya parau. “Aku mencintai anak-anakku. Pablo dan Javier.” Ia diam sejenak. Sesuatu seperti membuat tenggorokannya tersedak. Ketika ia melirik si wanita, ia melihat angin membuat rambut si wanita tersibak. Dan ia seperti menunggu. “Apakah, apakah kau mencintai suamimu?” ia bertanya setelah mengumpulkan segenap keberanian.

Si wanita tertawa kecil. Suaranya agak menggigil.

“Mengapa kau tertawa, Elena?” si pria bertanya.

“Seperti kau, dari Enrique aku punya Julia.”

“Dan Raul.”

“Kau tak ingin mengatakan Raul sebagai anakmu?”

Si pria tak segera menjawab. Seolah ingin membiarkan pertanyaan itu menguap.

“Kau masih mendengarkan aku, Pedro?”

“Ya,” tenggorokan si pria terasa kian tercekat. “Raul mungkin darah dagingku. Tapi ia anakmu dan Enrique.”

Malam merayap naik. Udara dingin kian terasa menusuk tubuh mereka yang renta.

“Aku pulang dulu, Elena,” kata si pria mendahului setelah seorang pemuda meluncur di depannya dengan sepatu roda di kakinya.

Elena bangkit. Pedro pun bangkit. Ia mengecup kening si wanita. Lalu melangkah ke arah utara. Si wanita melangkah ke selatan, ke Plaza de Catalunia.

HARI berikutnya, keduanya bertemu di Plaza de Toros La Monumental de Barcelona, sebuah bangunan tua yang tetap terawat dengan sangat baik. Keduanya memang selalu menyukai aksi para torero dan matador membunuh banteng.

“Kudengar makin banyak yang menentang pertunjukan seperti ini,” kata si pria ketika keduanya duduk di kursi dari kayu tua di barreras. “Kelihatannya memang tak manusiawi. Tapi alam diciptakan Tuhan untuk manusia. Makhluk-makhluk lain adalah pelengkap. Mereka harus menjadi bagian yang membahagiakan manusia.”

“Itu katamu,” si wanita menyunggingkan senyum ketika para paseillo memasuki arena dan melambaikan tangan mereka kepada para penonton. Sejak kecil, si wanita selalu dibuat kagum oleh pakaian para torero yang berwarna-warni. “Mereka, para pencinta lingkungan dan binatang, menginginkan semua makhluk hidup, hidup berdampingan secara damai.”

“Tapi ini tradisi kita,” si pria membantah.

“Aku tahu. Dan kita ke sini bukan untuk berbantah-bantahan, bukan? Kita ke sini untuk menonton.”

Si pria terperangah oleh suara si wanita yang terdengar getas. Ia masih seperti dulu, si pria membatin. Ia ingat ketika pertama kali memasuki La Monumental de Barcelona sebagai sepasang kekasih. Elena menolak duduk di barreras karena harga tiketnya mahal. Ia lebih suka duduk di gradas. Tiketnya paling murah. “Kalau kau mau duduk di sana, silakan kau duduk sendiri. Aku mau kita di gradas,” katanya ketika itu. Buru-buru si pria meraih tangan kanan si wanita dengan tangan kirinya. Menggenggamnya erat-erat. Seperti tak ingin terlepas.

Seorang novilladas memasuki arena. Siap memulai pertunjukan. Tepuk tangan kecil terdengar. Begitulah selalu nasib para matador pemula. Ia harus lebih dulu mempertontonkan kecekatannya menguasai seekor banteng sebelum kemudian diakui menjadi torero dan akhirnya setelah kemampuannya teruji, menjadi matador sesungguhnya.

“Siapa matador kesukaanmu sekarang?” si pria berdehem sesaat kemudian.

“Seperti cintaku padamu, sampai sekarang aku masih lebih menyukai Pedro Romero.”

“Tapi ia telah tiada.”

“Karena itu, hari ini aku ingin melihat aksi Enrique Ponce.”

“Enrique?”

Si wanita menoleh. Tersenyum penuh arti.

“Jangan seperti anak kecil, querido mio. Tak ada hubungannya dengan Enrique almarhum suamiku. Aku menyukainya karena kehebatannya, bukan karena namanya. Saat ini tak ada Enrique dalam batinku.”

Enrique Ponce memasuki arena. Ia akan memuncaki pertunjukan siang itu. Tepuk tangan membahana ketika ia keluar dari puerta grande. Tepuk tangan kian membahana ketika seekor banteng besar seberat 360 kg dihadapkan kepadanya. Dan, ia tak perlu berlama-lama untuk menancapkan estoque-nya melalui leher bagian atas si banteng yang kemudian perlahan-lahan seperti bersujud di hadapan sang matador.

“Ia seperti memiliki mata malaikat,” si wanita berkata, seperti mendesah.

“Ia memang luar biasa. Suatu saat ia mungkin bisa seperti Pedro Romero, sang legendaris itu,” sambung si pria.

Kini keduanya duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari besi di sisi jalan tak jauh dari Plaza de Toros. Matahari bersinar amat cerah. Langit tampak kebiruan.

“Aku tak ingin semua ini segera berakhir,” si pria berkata, ditingkahi suara burung-burung hoopoe dari kejauhan.

“Tapi hidup ada batasnya,” sahut si wanita seiring desiran dedaunan pohon palem yang ditiup angin.

“Kau ingin kita menyudahi semuanya, Elena?”

Tak terdengar sahutan. Mata si wanita menatap ke kejauhan. Di sana tampak empat pria tua asyik bermain petanque, yaitu permainan melempar besi berbentuk bulat seperti bola lontar martil.

“Kau ingin aku menikahimu?” si pria kembali bertanya.

Si wanita meringis.

“Akan menjadi pernikahan yang menarik,” ia mendesah beberapa saat kemudian. “Tapi Raul tak ingin hal itu terjadi.”

Si pria tampak terperanjat.

“Sudah kau ceritakan siapa aku kepadanya?” si pria bertanya. Menduga-duga. Rasa galau berloncatan di dadanya.

“Tidak seperti yang mungkin kau sangka. Baginya, kau cinta pertamaku. Ia tahu apa itu artinya.”

“Tapi, kenapa ia tak setuju kita menikah?”

Tak segera terdengar sahutan.

“Aku tak ingin tahu alasannya. Aku cuma tahu ia tak setuju.”

Lama keduanya terdiam.

Hening menyungkup kamar itu. Si pria duduk memandang si wanita. Ada gelora cinta. Menggemuruhi dada keduanya.

“Kau masih secantik dulu,” katanya lebih mirip desahan. Suaranya agak tertahan. “Cintaku tak pernah dilekangkan oleh zaman.”

Setetes air bening menetes di mata si wanita. Tak ada luncuran kata. Ia tetap diam tanpa suara, beberapa lama. Tapi di dadanya kebahagiaan melanda.

Si pria berdiri. Melangkah perlahan menghampiri. Si wanita duduk diam menanti. Dadanya berdegup tiada henti.

Beberapa lama si pria dan si wanita duduk dalam diam. Keheningan mencekam. Tapi gemuruh cinta di dada keduanya berdentam-dentam.

Lalu, ruangan itu gelap. Dalam gelap, si pria menatap bebukitan tandus tapi memberinya gairah meluap. Si wanita tergagap. Dalam gagap ia menemukan sepucuk tunas tumbuh. Gairah di dadanya pun meletup. Jantungnya kian kencang berdegup.

Dalam kepasrahan ia membiarkan si pria pergi. Mendaki. Mendaki dan mendaki. Sampai kemudian semuanya berhenti. Dalam sunyi abadi.

Raul, Julia, Pablo, dan Javier berdiri berjajar. Dengan baju serba hitam. Di hadapan mereka berjajar dua tubuh dalam diam. Dalam peti berbalut kain hitam. Sebentar lagi prosesi pemakaman dilakukan.

“Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi,” kata Pablo. Kalimat itu ia tujukan buat Raul dan Julia.

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang dapat dipersalahkan,” kata Raul dengan wajah tetap tertunduk.

“Mereka pergi membawa cinta abadi mereka,” kata Julia lirih.

Tak ada yang menyahut lagi.*

Jakarta, Februari 2004

Catatan:

Como estas, hoy? Apa kabarmu?
Bien. Muy bien, baik, baik sekali.
Pesetas, nama mata uang Spanyol.
Una hija. Muy bonita, seorang anak perempuan. Cantik sekali.
Por que? Kenapa?
Torero, sebutan umum untuk matador. Matador, bintang dalam pertunjukan matador. Tingkatannya di atas torero.
La Liga, divisi utama Liga Spanyol.
El Merengues, julukan klub sepak bola Real Madrid.
Nou Camp atau Camp Nou, kandang klub sepak bola Barcelona.
El Barca (baca El Barsa), julukan klub Barcelona.
Buenas noches. Hasta luego, selamat malam, sampai jumpa.
Te amo, aku cinta padamu.
Mi, tambien, aku juga.
Buenos dias, selamat siang.
Plaza de Toros, tempat pertunjukan matador.
Paseillo, parade para matador sebelum pertunjukan.
Barreras, kursi terdepan (termahal).
Novilladas, matador pemula.
Gradas,tempat duduk paling tinggi.
Querido mio, sayangku (My dear).
Puerta grande, pintu utama.

1) Barcelona kalah 0-1 dari Liverpool dalam pertandingan semifinal Piala UEFA second leg pada 30 Maret 1976.



Aba Mardjani

Sepatu

Sepatu


Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.

Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.

Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera terbentuk oleh baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan malam segera datang.

Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.

Datangnya musim penghujan membikin kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.

Maka kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar, tapi selalu saja tiba. Di setiap kemarau sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera.

Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.

Kedua tanganku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku bak pemain sirkus, mesti menjaga keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair berlumpur-lumpur.

Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.

Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja harganya 20 ribu!

Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri.

Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya.

Untungnya, kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu sepertiku bersepatu. Aku pun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit itu.

Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan berharap, tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur lepas pergi dan asar hampir menjemput.

Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, “Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.”

Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orangtua seperti anak-anak kepala dusun itu?”

Maka aku pun menjawabnya. “Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat.”

“Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung.

“Ada undangan penting dari kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah kata pun.

“O ya…” Aku membuntutinya.

“Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer sekecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan.”

Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.

Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran inilah hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi desa. Memimpikan panen, padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti datang karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.

Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum itu.

“Kang, jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun,” Anah mengingatkanku ketika setengah badanku sudah tertelan pintu, hendak pergi.

“Ya.”

Sepulang dari kecamatan, aku memang harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek, tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apa pun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang- orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.

Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah.

Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang lebaran.

Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar 75 ribu setiap bulan.

Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari.

Anah-lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apa pun yang kami peroleh. Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup sajalah kami tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur.

Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.

Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan teka-teki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku, tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya.

Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan telantar.

“Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima.

Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di undangan.

Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya.

Setelah kulipat-lipat badan, menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas undangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula.

“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang yang berseragam coklat muda tiba-tiba setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti.

“Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!”

Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati Bupati?

Tapi mata tak bersahabat orang- orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak- pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah.

Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu tersenyum.

“Syukurlah Kang. Syukur.”

Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan guru- guru honorer. Dimulai dari yang penting.

Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut keterampilan-keterampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri.

Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.

Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya-kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti mendorong-dorongnya untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke arahku.

Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku.

“Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke sini.”

“Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya.”

Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur.

Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas, kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa depan dunia pendidikan yang lebih baik.

Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasang sepatu.

Columbus, 2004

Keterangan:
(1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam.

(2) SPG adalah Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah dasar ini sekarang sudah dilikuidasi pemerintah.

(3) Guru Wiyata Bakti adalah sebutan resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer yang bukan pegawai negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh honor ala kadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban (yang diabaikan) dari pemerintah daerah.

(4) Pernyataan bahwa sekolah adalah tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi “orang–orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat,” adalah kutipan pernyataan Mr Kuroyanagi, pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termasyhur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.



Eep Saefulloh Fatah

Angin dari Ujung Angin

Angin dari Ujung Angin



“Sudahlah Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata,” kata Hilda, perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Herma yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna.

Tetapi, teman-temanku bisa mewarnai wajah ayahnya, Ibu. Meskipun Niko melukis wajah ayahnya menyerupai harimau, tetapi dia bisa mengoleskan wara merah di kedua pipinya yang menggelembung,” suara Herma melayang, mendengung di telinga Hilda.

Tak kehilangan akal, Hilda kemudian mengoleskan warna emas di wajah lukisan pria bersayap berkuda gagah itu. “Inilah wajah ayahmu. Dan Ibu harap kau tak bertanya lagi dengan warna apa harus mengoles wajah ayahmu.”

Herma, perempuan kencur itu, tak puas. Sejak usianya mengelopak dan nyala sepuluh lilin di kue ulang tahunnya berkilau-kilau, dia memang berusaha menyangkal setiap cerita aneh tentang ayahnya. Karena itu, dia pun memprotes lukisan Hilda. “Itu bukan wajah, Ibu. Teman-temanku pun akan bilang, ’itu lukisan pria bertopeng!’ Bagaimana kalau wajah Ayah kuanggap berwarna biru?” desis Herma seraya menggambar kuda perkasa yang ditunggangi dua perempuan bersayap dan seorang laki-laki berwajah biru.

Hilda tercengang. Kilau matanya melesat ke tubuh dua perempuan kuning gading yang melamun di punggung kuda yang tengah meringkik di atas buku gambar. “Apakah kedua perempuan itu: aku dan Mama Leli?” Hilda mendesah tak keruan.

Herma mengangguk.

“Mengapa seperti orang-orang bodoh yang suka melamun?”

“Karena Ibu dan Mama Leli memang suka melamun. Tetapi sudahlah, Ibu tak perlu bertanya tentang mata kosong dua perempuan itu. Aku hanya butuh persetujuan Ibu untuk mengoles wajah Ayah dengan warna biru,” sergah Herma.

Hilda menghela napas. “Ibu harus bilang apalagi? Yang jelas, kau atau aku tak bisa mereka-reka sesuatu dari kehampaan 2), Herma.”

Herma pusing mendengar kata-kata ibunya yang meluncur seperti bola biliar yang disodok dengan kecepatan penuh. Meski demikian, sekali lagi Herma merasa perlu mendesak Hilda agar mengizinkan dirinya mengoles wajah sang ayah dengan warna biru. “Kalau tak diizinkan, aku akan minta Mama Leli mencipratkan warna hitam ke seluruh wajah Ayah,” kata Herma ketus.

Mendengar letupan-letupan suara Herma yang bagai mercon cabai rawit, habislah kesabaran Hilda. Sambil memelototkan mata, perempuan beranting-anting warna magenta itu mencerocoskan sumpah serapah, “Dengar, Herma… mulai sekarang kau harus mengerti siapa ayahmu. Dia tak lebih dari kelelawar busuk yang suka bersembunyi bersama kelelawar busuk lain di dalam gua.”

“Kelelawar busuk? Bersembunyi di dalam gua? Buat apa Ayah bersembunyi di dalam gua? Aku tak mengerti maksud Ibu,” ringkik Herma, setengah berteriak sehingga suaranya menenggelamkan dengung musik Der Mond Im Wassertropfen 3) yang mengalun dari kamar lain.

O, tidak mungkin Hilda menjawab pertanyaan Herma dengan jujur. Karena itu, sambil terus-menerus menata meja belajar Herma yang memang berantakan dia hanya mendesah dalam hati, “Kenyataannya begini, anakku, pada musim yang busuk, Ibu memergoki ayahmu mengendarai mobil ke tenggara kota bersama perempuan lain. Asal kau tahu, melewati jalan penuh pinus yang berkelok-kelok, mereka berhenti di halaman luas sebuah gua saat senja melabrak sekujur bebatuan yang melumut. Tak banyak yang mereka percakapkan. Mereka hanya bergandengan tangan, saling memeluk, dan menuruni undak-undakan yang menghubungkan dunia luar penuh kicau burung dan dunia gua sarat kelelawar, kercik sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang menjalar bagai ular.”

Merasa pertanyaan-pertanyaannya tak digubris, Herma merajuk. Dia cium kening ibunya dan mulai melontarkan rayuan yang mematikan, “Ayolah, Ibu. Kalau Ibu masih mau bercerita tentang Ayah, aku mau belajar terus. Aku mau membantu Ibu di dapur, memasak sup, menggoreng telor mata sapi, dan….”

Hilda tetap bergeming. Dalam hentakan kendang Banjar Gruppe Berlin yang kian mencekik, pandangan matanya menerawang ke jendela. Dalam pikiran yang kian kalut, dia melolong-lolong lagi, “O, seandainya kau tahu apa yang dilakukan ayahmu dan perempuan itu, Herma. Seandainya dari kejauhan dan semak-semak yang rimbun kau bisa menyaksikan sepasang kekasih menuntaskan kasmaran yang menggelora di keremangan gua, kau akan memahami mengapa Ibu menganggap ayahmu tak lebih dari seekor kelelawar yang tak sanggup menyembunyikan kebusukannya.”

Sekali lagi Hilda menghela napas. “Tetapi, tidak! Tidak! Dalam pandangan yang samar, kulihat mata ayahmu begitu tulus mencintai perempuan itu. Dan untuk cinta, tak ada kelelawar yang busuk, tak ada sunyi yang berkhianat, tak ada lumut yang meracun sukma. Maka, kurelakan mereka merahasiakan cinta yang kusangka busuk itu. Kurelakan mereka mereguk lendir cinta di kegelapan gua yang senantiasa dialiri oleh wangi kercik sungai itu.”

Dan, karena kata-kata itu tak pernah membuncah dari bibir Hilda yang senantiasa dioles lipstik ungu, Herma menganggap Hilda tak bisa lagi diajak bercakap tentang ayahnya. Sampai saat itu, sampai Paul di compact disk melengkingkan desah, menatah kesengsaraan dunia…, Herma mengira kuda gagah itu menjelma putri cantik dan dengan mulutnya yang menganga melebihi lubang gua, dia mengisap sang ayah tanpa sisa. “Ayah hanya tersesat. Suatu saat dia pasti kembali, Ibu.”

Suara Herma yang mencericit tanpa diduga itu membuat Hilda putus asa. Dan, itu menimbulkan energi dahsyat yang menyebabkan Hilda bergegas merapikan tempat tidur Herma dan menjawab segala pertanyaan anaknya dengan jawaban yang asal kena. “Baiklah, Herma… kau boleh mengoles wajah ayahmu dengan warna apa saja. Mau kuning, hijau, ungu, atau biru, Ibu tak akan mempermasalahkan lagi. Sekarang tidurlah! Tidurlah, agar kau bisa bangun pagi dan lebih awal bermain-main dengan teman-temanmu di sekolah.”

Lalu percakapan pun terkunci. Diiringi lengking suara-suara aneh dalam Incantation yang melarat-larat, Herma pura-pura tidur sambil memeluk guling bergambar Harry Potter, sedangkan Hilda bergegas memasuki kamarnya sendiri, memasuki dunia sunyi bersama Leli. “Herma mulai mempertanyakan ayahnya, Leli. Dia menyangka kita tak akan mampu menatah kehidupannya dengan segala peluk dan penghiburan.”

Leli tak menjawab. Teriakan-teriakan para pemusik dalam nada aneh dan asap rokok dari bibirnya yang merekah lebih menenggelamkan sukmanya ke negeri yang jauh, ke gua purba yang tak teraba oleh kesedihan yang paling perih sekalipun.

Namun, Leli dan Hilda keliru besar jika menganggap Herma sudah mengembara ke alam mimpi. Sambil menggigit ujung bantal, dia masih mereka-reka warna ganjil wajah ayahnya. “Jangan-jangan wajah Ayah memang tak bewarna biru,” pikir Herma, “Jangan-jangan Ayah memang selalu mengenakan topeng kuning keemasan?”

Karena pikirannya senantiasa mendengung-dengung di kamarnya yang bercat biru, dia tak menemukan jawaban memuaskan.

Meski demikian, dia tetap mereka-reka wajah ayahnya hingga ingatannya melenting-lenting ke percakapan-percakapan seru bersama Niko di kolam belakang sekolah beberapa hari lalu.

“Niko, mengapa kau olesi wajah ayahmu dengan warna merah?” tanya Herma saat itu.

“Sebenarnya aku juga kesulitan menggambar wajah ayahku, Herma. Dia pergi sebelum aku bangun tidur dan pulang setelah aku nyaris terlelap. Yang jelas-jelas kutahu, setiap malam dengan tubuh sempoyongan, ayah menggoyang-goyangkan wajahnya yang selalu memerah.”

“Dan, mengapa wajahnya kaugambar seperti harimau?”

“Dengan suara menggelegar, dia selalu menjambak rambut ibuku. Setelah ibuku menangis sesenggukan, dia merokok di sudut ruangan sambil terus-menerus menenggak minuman langsung dari botol. Wajahnya terus memerah dan menyeringai seperti harimau, Herma. Dan, itu membuatku ketakutan setengah mati.”

“Ibumu tidak melawan?”

Niko menggeleng.

“Ayahmu suka mengajak kau bermain sepak bola?”

“Ya, dia juga mengajariku berkelahi, mengajakku menembak tikus di selokan-selokan, dan menendang anjing yang sedang menjilat-jilat kepala anaknya.”

Saat itu ingatan Herma melenting-lenting ke wajah Leli. Leli juga suka merokok dan menenggak minuman langsung dari botol. Perempuan gagah itu juga kerap mengajarinya menendang bola keras-keras.

“Mama Leli juga kerap mengajak aku dan Ibu berburu celeng ke tenggara kota. Malah kami juga sering diajak menembak dan mengacak-acak sarang kelelawar di gua-gua yang gelap.”

“Kamu tidak takut?”

Herma menggeleng. Gelengan itu di luar dugaan bisa menggigilkan Niko dan membuat bocah cilik itu tiba-tiba berdiri, meninggalkan Herma yang masih tafakur memandang gelombang transversal yang melingkar-lingkar di kebiruan kolam. “Aku benci Ibu. Aku benci Mama Leli. Mereka membuat teman-temanku takut bermain-main denganku,” pikir Herma.

Dan, pikiran-pikiran berbahaya itu terus-menerus melenting-lenting di kamar malam itu dan kian membuat Herma tak bisa memicingkan mata. “Ibu pasti masih menyimpan wajah Ayah di album keluarga. Aku harus mencarinya,” desah Herma.

Lalu perempuan kencur itu pun berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Karena takut kepergok, dia mengintip apa yang tengah dilakukan Hilda dan Leli dari lubang kunci. “Jangan-jangan mereka belum tidur?”

Dan, benar… Hilda dan Leli memang belum tidur. Mereka tengah berpelukan. Berpelukan? Ya, tetapi dalam pandangan yang samar, Herma seperti melihat kedua perempuan itu saling menggigit. Dia kasihan kepada Hilda karena tampaknya Leli terus-menerus menjambak rambut ibunya.

“Mengapa ibuku tak melawan? Mengapa wajah Ibu berbinar-binar? Mengapa mereka malah tertawa cekikan?”

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya melenting-lenting di kepala Herma. Karena takut kepergok, dia bergegas mencari album keluarga.

“Ini dia!” desis Herma sambil setengah berlari ke kamarnya, “Tetapi, kenapa tak satu pun potret Ayah terpasang di album ini?”

Cukup lama Herma membolak-balik album itu. Yang dia lihat hanya Hilda dan Mama Leli yang terus-menerus berpelukan di sembarang tempat di sembarang waktu. Kadang-kadang mereka tertawa-tawa di jalan-jalan sambil menggandeng dirinya. Ada pula foto Leli memanggul senapan sambil menyeret bangkai celeng.

“Jangan-jangan wajah Ayah disembunyikan Ibu di dalam gua,” pikir Herma.

Karena itu, dia pun mencari foto-foto yang mengabadikan keindahan gua-gua di tenggara kota. Tak ada sepotong wajah lelaki terpampang di album warna pink itu. Sayang sekali, di tengah-tengah kesuntukan mencari wajah ayahnya yang mungkin tersembunyi di dalam gua, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Kau belum tidur, Herma? Kalau tak tidur, Pangeran Kelelawar 4) akan mencekikmu!” suara Leli menggelegar.

Herma tak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara kercik shower membelah keheningan malam. Kercik yang senantiasa dia dengar setelah Hilda dan Leli mendesah-desah tak keruan sambil mendengarkan lagu-lagu mistis yang dinyanyikan Paul Gutama, Deep Forest, atau Sarah Brightman.

HARI itu Herma tak ingin masuk sekolah. Leli sebagaimana biasa telah berangkat ke kantor mengendarai jip merah yang suara knalpotnya melengking-lengking sehingga menyebabkan sayap-sayap burung kenari yang dipelihara di teras rumah seakan-akan rontok. Hilda belum bangun. Biasanya, sebentar lagi dia bangkit dari ranjang, menyalakan tape recorder, bersenam, dan setelah itu mengetuk kamar Herma keras-keras.

Karena tak ingin didera suara-suara yang sangat dibenci, kali ini Herma bergegas menyusup ke kamar ibunya. Tahu ada yang berjingkat-jingkat ke ranjang, Hilda mendadak membenahi selimutnya. Rupa-rupanya dia masih telanjang. “Pukul berapa, Herma?”

Herma tak menjawab. Jari telunjuknya yang mungil menunjuk jarum jam dinding warna merah jambu yang telah menunjuk ke angka delapan dan dua belas.

“Ya, Tuhan, mengapa tak kau bangungkan Ibu? Mengapa tak meminta Mama Leli mengantar ke sekolah?” kata Hilda sambil melilitkan selimut hingga ke bahu.

“Aku tak ingin membuat teman-temanku ketakutan melihat Mama Leli, Ibu.”

“Takut? Mengapa harus takut?”

“Niko bilang wajah Mama Leli seperti serigala.”

“Dan, kau yakin wajah Mama Leli seperti serigala?”

Herma menggeleng.

“Syukurlah. Tetapi, mengapa kau menggigil, Herma?”

“Aku mendengar suara aneh dalam tidurku, Ibu.”

“Suara dalam tidur? Suara siapa?”

“Mungkin Ayah. Mungkin hantu. Ia muncul dari buku gambarku.”

“Ibu juga pernah mendengar suara-suara semacam itu. Kau tahu apa yang terjadi setelah suara-suara itu mengganggu tidur kita?”

Sekali lagi Herma menggeleng.

“Setelah itu Ibu mendapat surat dari ayahmu,” Hilda berbohong.

“Aku juga akan mendapat surat dari Ayah?”

“Ya, kau akan membacanya sampai senja tiba, sampai kau bisa mengoles warna paling pas untuk wajah dia di buku gambarmu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Tunggulah sampai Pak Pos mengetuk pintu.”

Tak ada cara lain kecuali menipu Herma, pagi itu Hilda bergegas ke kantor pos. Dengan merengek-rengek, dia meminta seorang pengantar surat agar bersedia mengirimkan secarik surat dalam amplop biru ke Jalan Anyelir 205, ke rumah mungil yang dia tempati bersama Herma dan Leli. “Dalam surat yang kusemprot parfum paling wangi itu, aku telah menyertakan foto ayahnya. Katakan kepada anakku, surat itu berasal dari ujung angin.”

“Ayahnya? Dari ujung angin?” desah pengantar surat itu setengah bingung setengah takjub.

“Ya. Maaf… aku dan ayah Herma telah bercerai dan kini tak kutahu di mana suamiku tinggal. Jadi, katakan saja dari ujung angin atau kota yang jauh. Sampean tak keberatan bukan?”

Pengantar surat itu tercenung. Namun, dia sungguh-sungguh tak bisa menolak rengekan Hilda. “Tolonglah… dia sangat merindukan ayahnya,” desah Hilda memelas.

Begitulah, saat Hilda sibuk dengan dunia sayur-mayur di pasar, pengantar surat itu memacu sepeda motornya ke Jalan Anyelir. Masih takjub menimang-nimang surat, dia memencet bel di pagar bermotif daun-daun pisang yang menghijaukan rumah itu.

“Jalan Anyelir 205? O, bukan, bukan. Seingatku aku harus memberikan surat ini ke rumah nomor 207 atau 209. Ah, mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi pria pikun?” pikir pengantar surat itu seraya menyesali kebimbangannya.

Namun, bel telah berbunyi dan menyebabkan Herma berlari ke beranda. “Surat dari Ayah?” teriak Herma kegirangan.

Tak ada jawaban. Pengantar surat itu merasa telah melakukan kesalahan. Tak ingin keliru, dia berharap bertemu Hilda atau siapa pun yang menitipkan surat beramplop biru yang sangat harum itu.

“Ibumu ada di rumah?”

Herma tak segera menjawab.

“Maaf, apakah ibumu ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi.

“Ibuku?” lenguh Herma dalam nada tercekik, “Ibu Hilda atau Mama Leli?”

Mendengar pertanyaan balik Herma yang dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….”

Herma hanya menunduk. Hanya merasakan angin dari ujung angin berhenti berembus.

Lalu, sambil menyaksikan pengantar surat itu melesat seperti pria bertopeng emas dengan sayap di bahu menunggang kuda gagah ke tenggara kota, dia menggores-goreskan jari telunjuknya ke tanah basah; membentuk wajah tanpa rupa, tanpa mata, tanpa jiwa…. Apakah pengantar surat itu juga akan kehilangan wajahnya, Ibu?

Semarang, 2003

Catatan:
1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta.
2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta
3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia.
4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.


Triyanto Triwikromo