Showing posts with label Jawa. Show all posts
Showing posts with label Jawa. Show all posts

Tuesday 25 January 2011

KAWASAN PERMUKIMAN SUKU SAMIN SEBAGAI OBJEK WISATA BUDAYA MINAT KHUSUS DI BLORA

KAWASAN PERMUKIMAN SUKU SAMIN SEBAGAI OBJEK WISATA BUDAYA MINAT KHUSUS DI BLORA

RATIH CANDRA KUSUMA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Deskripsi
Arti kata dari “Kawasan Permukiman Suku Samin Sebagai Objek Wisata Budaya Minat Khusus di Blora” adalah :1
Kawasan : - daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu.
- daerah tertentu yang antara bagian-bagian terdapat hubungan tertentu.
Permukiman : tempat bermukim atau tempat untuk bertempat tinggal.2
Samin : nama seorang tokoh atau kyai dari Blora yang melawan pemerintah kolonial Belanda dengan gerakan perlawanan tanpa kekerasan dan penganjur keadilan yang kemudian lebih dikenal sebagai suku di Kabupaten Blora.
Objek : segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.3
Wisata : kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.4
Budaya : - pikiran, akal budi, hasil.
- adat istiadat.
- sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju).
- sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
Minat : kecenderungan hati yang tinggi yang berkembang menjadi keinginan yang besar terhadap sesuatu yang hendak diupayakan untuk mencapainya.
1 ……., 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
2 Ritohardoyo, Su, 1989, Beberapa Dasar klasifikasi dan Pola Permukiman, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3 ……., UU RI No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Ditjen Pariwisata.
4 Ibid 3.
Khusus : khas, istimewa, tidak biasa.
Blora : nama suatu daerah tingkat II (DATI II) di Jawa Tengah.
Kawasan Permukiman Suku Samin Sebagai Objek Wisata Budaya Minat Khusus di Blora artinya adalah suatu kawasan atau daerah di mana terdapat permukiman suku Samin yang digunakan sebagai tempat wisata yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan mengenali hasil kebudayaan di Blora pada khususnya.
1.2. Latarbelakang
1.2.1. Sejarah Asal-Usul Nama Blora5
Asal-usul nama blora dan artinya sampai sekarang belum jelas. Menurut cerita rakyat dan sampai sekarang masih dikenal oleh rakyat Blora pada umumnya kata Blora dari belor artinya lumpur atau tanah becek, kemudian kata belor berkembang menjadi beloran atau mbeloran juga berarti tanah berlumpur.6
Lama-kelamaan beloran digunakan untuk memberi nama tempat yang berlumpur tersebut yaitu beloran atau bloran. Akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama blora.7 Tetapi sampai sekarang tidak ada desa di Kabupaten Blora yang namanya menunjukkan ke arah pengertian nama tersebut. Ceritera rakyat yang lain menyatakan bahwa Blora merupakan nama seorang kyai yaitu Sang Wiku Mbah Balora. Beliau sebagai guru Raden Sadita alias Raden Jayadirja yang menjadi penguasa di Blora.
Berdasarkan cerita tersebut ada dugaan bahwa secara etimologi (asal-usul kata) Blora dari kata wai + lorah. Wai yang artinya air sedangkan lorah berarti jurang atau tanah rendah.8 Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf ”w” dengan huruf ”b”,
5 Panitia Penelitian Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, 1987, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora, Pemerintah Kabupaten Blora, Blora.
6 Sukardana dan Lukardana adalah penduduk asli Blora.
7 Soedarsono, Blora dari Masa ke Masa.
8 S.Prawiroatmojo, 1985, Bausastra Jawa Indonesia.
tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Oleh karena itu kata wai + lorah menjadi bai + lorah. Maka kata wailorah menjadi bailorah. Dari bailorah menjadi balora dan akhirnya menjadi blora. Jadi nama Blora berarti tanah berlumpur atau tanah becek.
1.2.2. Potensi Blora
a. Alam
1) Letak Geografis9
Gambar 1.1. Peta Kabupaten Blora
Sumber: www.pemkabblora.com
Kabupaten Blora terletak di antara 111°016' - 111°338' Bujur Timur dan di antara 6°582' - 7°248' Lintang Selatan.
Di sebelah Utara Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, di sebelah Timur dengan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), di sebelah Selatan dengan
9 http://toyamaips2.blogspot.com
Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Grobogan.
Luas wilayah Kabupaten Blora adalah 1.820,59 km2 atau sekitar 5,5 % luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Randublatung seluas 211,13 km2 sedangkan Cepu dengan luas wilayah 49,15 km2 merupakan Kecamatan tersempit.
2) Topografi10
Kabupaten Blora memiliki wilayah dengan ketinggian terendah 30-280 dpl dan tertinggi 500 dpl. Kecamatan dengan letak tertinggi adalah Japah (280 dpl) sedangkan Kecamatan Cepu terendah mempunyai permukaan terendah (31 dpl).
Kabupaten Blora diapit oleh Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan dengan susunan tanah 56 % gromosol, 39 % mediteran dan 5 % aluvial.
3) Curah hujan11
Rata-rata 13-15 hari hujan dengan titik terendah 2 hari hujan dan yang tertinggi adalah 69 hari hujan.
b. Kebudayaan
1) Kepercayaan (Agama)
Sebagian masyarakat di Kabupaten Blora memeluk agama Islam. Selain agama Islam masyarakat Blora juga ada yang beragama Kristen maupun Katholik.
2) Bahasa
Bahasa yang digunakan masyarakat di Kabupaten Blora adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
3) Sosial/ Kemasyarakatan
Setelah kemerdekaan, kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang nyata penduduk Blora dan Bojonegoro. Fenomena sosial
10 http://toyamaips2.blogspot.com/03/maret/2009
11 www.pipablora.com/03/maret/2009
yang terkait erat dengan tindak kriminalitas dan kebodohan itu juga terus berlanjut hingga sekarang seperti pencurian-pencurian kayu jati.12
4) Mata Pencaharian
Mayoritas mata pencaharian penduduk Kabupaten Blora adalah petani, utamanya pertanian tanaman pangan. Hal ini menjadikan Kabupaten Blora sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.
5) Kesenian
Kesenian yang dimiliki masyarakat Blora diantaranya adalah :13
• Kesenian Tayub (Seni Tayuban)
Tayuban adalah salah satu seni tradisional yang ada di Blora. Tayuban ini digunakan untuk menyambut tamu kehormatan dan juga untuk acara peringatan sedekah bumi serta upacara adat yang lainnya.
• Barongan
Kesenian barong atau barongan adalah salah satu jenis kesenian rakyat Jawa Tengah. Kesenian ini merupakan wujud dari tarian kelompok yang menirukan singa barong yang perkasa dan tokoh yang lain yaitu Bujangganong, Joko Lodro, Reog, Noyotoko dan Untub.
• Wayang Krucil
Wayang krucil sudah mulai langka di Blora. Wayang ini berbentuk seperti wayang kulit tetapi dibuat dari kayu. Untuk meletakkan wayang digunakan kayu yang diberi lubang.
• Kentrung
Kesenian ini berupa dongeng yang diiringi kentrung yaitu alat musik yang ditabuh seperti rebana.
12 http://bloraku.com/03/maret/2009
13 http://jv.wikipedia.org/wiki/kabupaten_Blora/03/maret/2009
1.2.3. Sejarah dan Etnografis Gerakan Samin14
Gerakan Samin tersebut secara historis muncul pada tahun 1890, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Pada tahun 1905 gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin.
Ada ajaran Saminisme lainnya yang berhubungan dengan kejujuran, kerajinan, dan sebagainya. Menurut ajaran Saminisme orang itu harus rajin bekerja, jangan mencuri milik orang lain. Apabila ada seseorang minta sesuatu barang milik orang lain, maka orang itu wajib memberi.15 Ajaran Saminisme ini mengandung arti kemurahan hati, sabar dan rajin. Unsur-unsur dari ajaran Saminisme ini merupakan bagian dari gerakan Samin menentang kekuasaan kolonial Belanda.
Suku Samin sering menjadi bahan cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguannya dan kepolosannya. Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam area hutan milik negara dan terletak di sebelah Selatan Desa Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada tahun 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
14 Panitia Penelitian Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, 1987, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora, Pemerintah Kabupaten Blora, Blora.
15 J.E.Jasper, 1918, Verslag Betreffende het Onderzoek Inzake de Samin Beweging Ingesteld het Gouvernements Besluit Van, Batavia.
Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya.
Pada tahun 1890 pergerakan Samin berkembang didua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai Utara Jawa sampai keseputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin demi sebuah eksistensi di tengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tetapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Samin berasal dari kata sami-sami amin yang artinya sama rata, sama sejahtera dan sama mufakat. Sebuah nama yang berdasarkan wong cilik (orang kecil) serta berjuluk ”Samin Sepuh”. Mereka hidup dengan alam dan hidup dengan kesederhanaan.
Seperti halnya manusia atau masyarakat yang lain, masyarakat Samin juga membutuhkan tempat tinggal atau rumah yang paling sesuai untuk dirinya, keluarganya dan keturunannya. Dengan kemampuan dan pemikiran mereka yang selama ini menjadi simbol perlawanan mereka, yaitu kembali ke alam mereka mencoba memenuhi segala tuntutan kehidupannya. Permukiman Suku Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah untuk memudahkan komunikasi. Rumah tersebut
terbuat dari kayu jati dan bambu. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk Bekuk Lulang sebagai ciri khasnya. Dari bangunan rumah yang ada ini sebagai daya tarik wisatawan untuk datang dan sekaligus mengenal budaya Suku Samin.
1.3. Permasalahan Arsitektural
a. Peningkatan daya tarik, kenyamanan tinggal dan keamanan tinggal bagi wisatawan serta pelestarian budaya Suku Samin.
b. Pengembangan fasilitas kepariwisataan pada objek wisata budaya minat khusus pada permukiman Suku Samin di Blora.
1.4. Tujuan dan Sasaran
1.4.1. Tujuan
a. Merencanakan dan merancang objek wisata budaya minat khusus yang layak untuk tinggal wisatawan serta penataan kawasan permukiman Suku Samin.
b. Mengembangkan fasilitas kepariwisataan.
1.4.2. Sasaran
Mendapatkan konsep pengembangan kawasan permukiman Suku Samin sebagai objek wisata budaya minat khusus yang layak tinggal bagi wisatawan.
1.5. Batasan dan Lingkup Pembahasan
1.5.1. Batasan
Pembahasan ini dibatasi pada kawasan permukiman Suku Samin di Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
1.5.2. Lingkup Pembahasan
a. Pembahasan ditekankan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembahasan.
b. Pembahasan lebih ditekankan pada penataan kawasan permukiman Suku Samin sebagai objek wisata budaya minat khusus sedangkan peruangan menggunakan studi literatur dan studi banding pada kenyataan yang ada.
1.6. Keluaran
Menghasilkan rancangan kawasan permukiman yang layak tinggal sebagai objek wisata budaya minat khusus.
1.7. Metodologi Pembahasan
1.7.1. Tahap Pencarian Data
Cara memperoleh data dalam mendukung pembahasan dan metode yang digunakan untuk menganalisis adalah sebagai berikut :
a. Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan untuk mendapatkan data fisik maupun data non fisik.
b. Interview
Wawancara secara langsung kepada kepala desa untuk memperoleh data yang konkrit mengenai permukiman Suku Samin.
c. Studi Literatur
Untuk mendapatkan data dari buku, majalah atau internet yang dapat digunakan sebagai referensi.
1.7.2. Tahap Analisis
Pada tahap analisis merupakan tahap pengolahan data dari pengamatan dan data yang diperoleh. Analisis berupa analisis makro yaitu analisis kawasan maupun analisis mikro meliputi analisis site, ruang, masa
serta tampilan arsitektur. Analisis-analisis ini dapat berupa sketsa gambar maupun penjelasan.
1.7.3. Tahap Sintesa
Tahap ini merupakan tahap penyaringan data dari data yang telah diperoleh yang kemudian hanya diambil beberapa saja untuk digunakan dalam proses perancangan.
1.7.4. Tahap Perumusan Konsep
Tahap ini merupakan tahap pengambilan keputusan dan arahan perancangan yang diperoleh dari proses sebelumnya.
1.7.5. Tahap Perancangan
Pada tahap ini semua data dan konsep yang diperoleh dituangkan dalam gambar teknis serta tahap ini lebih ditekankan pada tampilan arsitektur.
1.8. Gagasan Awal
Gagasan awal ini berisi gambar-gambar yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam perancangan nantinya.
1.8.1. Kampung Naga
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhumya. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah
Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Gambar 1.2. Kampung Naga
Sumber: http://dieny.wordpress.com
Gambar 1.3. Kampung Naga
Sumber: http://blog.its.ac.id
1.8.2. Desa Rambitan
Sade yang terletak di desa Rambitan merupakan salah satu desa tradisional Sasak yang masih asli. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu dan atapnya terbuat dari daun alang-alang. Dusun ini berpenghuni sekitar seratus orang dengan mata pencaharian utama adalah bertani. Usaha tambahan mereka adalah denganmenenun. Di dusun ini para pengunjung dapat menyaksikan kesenian Gendang Beleq dan tari Oncer.
Gambar 1.4. Dusun Sade, Desa Rambitan
Sumber: http://labulia.blogsome.come
Gambar 1.5. Rumah Lumbung Desa Rambitan
Sumber: www.lombiklasminute.com
1.8.3. Suku Baduy di Pedalaman Banten
Orang kanekes atau disebut juga Baduy, adalah suatu kelompok masyarakat dengan Adat Sunda yang berlokasi di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Gambar 1.6. Kampung Suku Baduy
Sumber: http://blog.its.ac.id
Gambar 1.7. Kampung Suku Baduy
Sumber: www.potlot-adventure.com
Gambar 1.8. Desa Suku Baduy
Sumber: http://praduwiratna.wordpress.com
1.8.4. Masyarakat Tana Toraja
Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Gambar 1.9. Perkampungan Tana Toraja
Sumber: Koleksi Foto Arya Ronald, 2009
Gambar 1.10. Rumah Tradisional Tana Toraja
Sumber: Koleksi Foto Arya Ronald, 2009
1.8.5. Desa Panglipuran
Desa adat Panglipuran berlokasi pada Kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Desa adat yang juga menjadi objek wisata ini sangat mudah dilalui. Karena letaknya yang berada di jalan utama Kintamani – Bangli. Desa Panglipuran ini juga tampak begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu memasuki kawasan desa. Pada areal Catus Pata yang merupakan area batas memasuki Desa Adat Panglipuran, di sana terdapat Balai Desa, fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal selamat datang. Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari
struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Panglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.

MASYARAKAT SAMIN DI KABUPATEN BLORA: TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS (STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK)

MASYARAKAT SAMIN DI KABUPATEN BLORA: TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS (STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK)

Wakit Abd.
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Masyarakat Samin di Blora memiliki tradisi yang unik. Pada awalnya merupakan upaya proteksi diri dan upaya melawan secara pasif terhadap penjajah Belanda. Tradisi tersebut refleksinya antara lain pada pemakaian bahasa Jawa Samin. Dalam hubungannya dengan modernitas sekarang ini, tradisi dan bahasa Samin secara signifikan dapat menghambat kemajuan karena adanya pandangan negatif terhadap pedagang, pendidikan, dan benda-benda kreasi modern. Di samping itu, adanya pemakaian bahasa yang berbelit, sehingga kurang memberikan efek komunikasi yang cepat dimengerti. Padahal aspek informasi, pendidikan dan bisnis merupakan bagian aktivitas penting dalam kehidupan modern.

Kata kunci: Tradisi, Samin, Modernitas.

1 PENDAHULUAN
Berbicara tentang masyarakat Samin (selanjutnya ditulis MS) sesungguhnya berbicara tentang masyarakat Jawa (MJ), karena MS memang bagian dari MJ. Bagian dari kejawaannya itu tercermin pada tradisi, bahasa, keberadaannya, genealogisnya, dan sebagainya.
Secara historis, MS muncul setelah adanya seorang keturunan bangsawan dari Bojonegoro yang bernama kecil R. Kohar tampil menyamar sebagai orang yang bernama Samin. Kata Samin dipilih sebagai upaya untuk lebih merakyat dan secara khusus dapat dimengerti sebagai istilah sami-sami atau tiyang sami-sami (sesama, orang kebanyakan, rakyat biasa). Dia melihat nasib rakyat jelata di Blora pada waktu itu (zaman Belanda) sangat tertindas, karena kerja paksa, sistem upeti, perampasan hasil pertanian, tidak ada kesempatan mengenyam pendidikan, hidup di dalam atau di tepi hutan (magersari) dan kalaupun di desa pada umumnya mereka lebih terbelakang. Terpanggillah jiwanya untuk membela mereka, maka dengan segala upaya ditempuh. Upaya yang dipilih antara lain komunitas intinya diajar sejenis “kepercayaan” yang diberi nama Agama Adam, bahasa yang berbelit sebagai upaya proteksi diri secara diplomatis, sikap politik terhadap pemerintah jajahan, tradisi-tradisi unik lainnya akibat pengaruh ajaran Agama Adam (tentang pendidikan anak, hubungan suami-istri, nikah, mati, dagang, musim/astronomi, hubungannya dengan masyarakat non Samin, bumi, hutan, dan sebagainya). Setelah beberapa saat pengaruhnya kuat namanya ditambah menjadi Samin Surontiko atau Samin Surosentika sebagai guru besarnya Agama Adam (c.f. Giap, 1968; Dekker, 1970; Korver, 1976; King, 1973; Prawoto, 1972; Shiraishi, 1990; Sadi Hutomo, 1970, 1972, 1980, 1983, 1985; Wakit, 1999). Pengukuhan diri dan disetujui oleh pengikutnya itu menambah legitimasinya sebagai sosok “Ratu Adil” yang sangat didambakan oleh MS saat itu. Berduyun-duyunlah pengikutnya dan akhirnya menjadi suatu kekuatan yang berani menentang penjajah Belanda (Onghokham, 1977; Sastroatmodjo, 1983), karena pengikutnya telah mencapai kurang lebih 3.500 orang (Stible, 1919). Oleh karena membahayakan pemerintah jajahan ditangkaplah Samin Surosentiko bersama 9 pengikutnya (para guru) kemudian dibuang ke Padang Sumatra Barat dan meninggal di sana (1859-1914).
Ajaran Saminis diteruskan oleh murid-muridnya (kebanyakan kerabat dekat), seperti Wongsorejo (Jiwan, Madiun, tahun 1908), Surohidin (menantu) dan Engkrek (Grobogan, 1911), Karsiyah (Pangeran Sendang Janur, di Kayen, Pati, 1911). Mereka kebanyakan sebagai petani. Puncak popularitas gerakan Samin Surosentiko dengan didukung para petani hingga ke pemerintah pusat (jajahan) dan dunia kolonialis pada umumnya adalah setelah adanya “geger Samin” dan gelar Panembahan Suryongalam setelah kepergiannya.
Selama pengaruh ajaran Samin berkembang di Blora (khususnya di Ploso Kadiren, Randublatung) telah menoreh warna tradisi yang unik dan berbeda dengan tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa lainnya. Oleh karena warna itu, dalam tulisan ini akan mengemukakan tradisi, bahasa, dan modernitas dalam sebuah ancangan teoretis etnolinguistik atau antropolinguistik.

2 TRADISI, BAHASA, DAN MODERNITAS
Secara rinci konsep tradisi, bahasa, dan modernitas yang ada sangkut-pautnya dengan masyarakat Samin seperti uraian berikut ini.
Tradisi (Poerwadarminta, 1982: 1088) adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dsb.) yang turun-temurun dari nenek moyang. Berkaitan dengan konsep tersebut, budaya/tradisi Samin perlu dikaji dalam makalah ini, karena adanya suatu anggapan bahwa budaya dan MS yang merupakan warisan turun-temurun itu menghambat kemajuan (baca: modernitas). Pada hal sesuai dengan arus kemajuan zaman budaya tradisional dapat bersifat dinamis, seperti dikemukakan oleh Michael R. Dove (1985: xv) bahwa kebudayaan tradisional sering dipersepsikan keliru oleh sebagian orang dalam pembangunan atau modernisasi. Pada hal sebenarnya terkait erat dengan proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar. Lebih dari itu kebudayaan tradisional bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan, dan karena itu tidak bertentangan dengan pembangunan itu sendiri. Bagaimana dengan tradisi MS sekarang ? Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1990: 183-184 dan 224) menyatakan bahwa wujud kebudayaan berisi kompleks ide, gagasan, norma, nilai, aturan, kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari masyarakat, dan benda-benda hasil karya manusia. Secara praktis tradisi MS itu didasarkan pada pandangan hidup, pribadi, dan lingkungan atau masyarakatnya (Geertz, 1981; Mulder, 1985; Koentjaraningrat, 1984). Secara umum berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa (termasuk MS) bersifat kosmo-mitis dan kosmo-magis, menganggap bahwa alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat maupun spiritual masyarakatnya (Mulder, 1985), dan tergantung pula watak pribadi individualnya (Surjobroto, 1983). Dalam hal ini MS memiliki tradisi kuat yang berhubungan dengan petung (nikah, bercocok tanam, dagang, berkomunikasi) dan konsep-konsep yang merujuk pada “syariat” Agama Adam.
Bahasa dalam hal ini dimaksudkan satuan lingual yang muncul dalam tuturan MS sebagai upaya komunikatif untuk mendukung tradisi yang dianutnya. Hal ini sesuai dengan fungsi khas bahasa (Sudaryanto, 1990: 21) setidak-tidaknya yaitu sebagai pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama antar penutur-penuturnya. Penutur-penutur bahasa Jawa Samin yang terkait erat dengan tradisi yang dimiliki. Di sinilah hubungan erat antara tradisi (budaya) dengan bahasa Jawa Samin yang penuh dengan untaian masalah yang perlu dipecahkan. Oleh karena itu, kajian ini akan melihat permasalahan tersebut dari kaca mata pandang etnolinguistik atau antropolinguistik, yaitu kajian yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum memiliki tulisan (Kridalaksana, 1993: 52). Berkaitan dengan itu (Ahimsa Putra, 1997: 4) pembagiannya terdiri (1) kajian linguistik yang dapat memberikan sumbangan etnologi dan (2) kajian etnologi yang memberikan sumbangan kepada linguistik. Lebih lanjut (Ahimsa Putra, 1977: 4-10) untuk kajian linguistik yang memberikan sumbangan kepada etnolinguistik meliputi (a) bahasa dan pandangan hidup, (b) bahasa dan cara memandang kenyataan, (c) bahasa dan struktur pemikiran, (d) bahasa dan perubahan dalam masyarakat. Adapun sumbangan etnologi terhadap linguistik dapat dipilah menjadi (a) kebudayaan dan sejarah bahasa, (b) kebudayaan dan peta bahasa, (c) kebudayaan dan makna bahasa. Dalam konteks itulah, seorang etnologi dapat memberikan sumbangan pada linguistik (Silva-Fuenzalida, 1949). Secara teoretis konsep tersebut dapat menjadi pedoman kajian etnolinguistik bahasa Jawa MS.
Berkaitan dengan modernitas berasal dari kata modern berarti yang terbaru, cara baru, mutakhir (Poerwadarminta, 1982: 653); model baru (Wojowasito dan Tito Wasito, 1980: 117); modern, mengikuti keadaan/zaman (t.t., 226). Adapun kata modernitas sejajar dengan bahasa Inggris asli modernity berarti yang modern (Wojowasito dan Titi Wasito, 1980: 117), kemodernan, modernisasi, pembaharuan, pemodernan (Echols dan Shadily, 1987: 384). Berkaitan dengan topik pembahasan ini, pengertian modernitas dikhususkan pada makna ‘pembaharuan, mengikuti keadaan zaman, dapat menyesuaikan diri pada istilah-istilah atau pemakaian bahasa yang mencerminkan sifat modern’.

3 STUDI AWAL ETNOLINGUISTIK TERHADAP BAHASA JAWA SAMIN
Berkaitan dengan judul makalah ini yaitu Masyarakat Samin di Kabupaten Blora: Tradisi, Bahasa dan Modernitas (Studi Awal Etnolinguistik), maka pusat atau inti kejadiannya adalah bahasa Jawa MS yang pemakaiannya mempertimbangkan unsur tradisi yang mempengaruhinya dan kemungkinan-kemungkinan satuan lingual yang dapat mencirikhasi MS, masyarakat yang telah mengenal perubahan-perubahan dalam tata-cara hidupnya.
Pembahasan ini akan mendeskripsikan data-data aktual yang dapat diperoleh dari MS seperti adanya tuturan berikut.
1) Bahasa dan pandangan hidup (kebatinan Samin)
Pemakaian bahasa Jawa Samin yang mencerminkan hubungan bahasa dengan pandangan hidup misalnya:
(a) sahadat pengantin: “wit jeng nabi, kula lanang damel kula rabi tata jeneng wedok pangaran ... kukuh dhemen janji buk nikah mpun kula lakeni ‘sejak nabi yang mulia, saya seorang laki-laki, pekerjaan saya memperistri perempuan, mengatur perikehidupan perempuan yang bernama ... sudah berjanji setia, sudah tidur bersama’.
(b) Istilah nabi, agama, gaman (alat), adam, lanang, menyatu dalam: Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang, sebagai pengakuan Agama Adam, penganutnya wong Dam.
(c) Adam disimbolisasikan sebagai air suci, orang pertama, laki-laki, agama milik laki-laki, diturunkan kepada laki-laki.
(d) Ada ajaran: sajrone agama ana rasa, rasa sejati sejatine rasa, rasa sejati awujud banyu.
(e) Berkaitan dengan kata banyu ‘air suci, sperma’ berhubungan pula istilah sedulur (lanang-wedok) ‘saudara laki-perempuan’, turun ‘anak’ (lanang-wedok ‘laki-perempuan’), aran ‘nama’.
(f) Istilah lain Agama Adam yaitu Agama Lanang, sembahyangnya kumpul/saresmi ‘senggama’, dan sembahyang merupakan akronim dari mesem karo grayang-grayang, di senthong.
(g) Gusti Allah iku awake dhewe (yang membuahi dan melahirkan anak), konsep Mak-Yung ‘bapak ibu’, suwarga ‘kabar baik’, neraka ‘kabar buruk’, pangucap ‘ucapan, sebagai penyebab masuk surga atau neraka’, angger-angger ‘hukum’-nya ma-tu-nga ‘lima-tujuh-sembilan’, pratikel ‘upaya untuk tidak masuk neraka, tingkah laku’, hukumnya angger-angger aja (aja drengki-srei, tukar-padu, dahpen-kemeren, aja kutil-jupuk, bedhig-colong).

2) Bahasa dan cara memandang kenyataan
Yang termasuk dalam konsep ini misalnya cara memandang kenyataan terungkap seperti:
(a) angger-angger lakonana ‘aturan yang harus dijalankan’ dalam hidup (perbuatan dan pekerjaan) sabar ‘sabar’ trokal ‘tawakal’. Sabare dieling-eling, trokale dilakoni.
(b) Panitisan ‘reinkarnasi’ (jelek jadi binatang).
(c) Wong urip kudu ngerti ing uripe, sebab urip digawa selawase, jika dalam reinkarnasi ke manusia (surga) ke binatang (neraka).
(d) Kesiku ‘dosa’ jawaban diplomatis untuk tidak menyebut asal manusia.
(e) Sandhangan ‘raga’, salin sandhangan ‘mati’.
(f) Nger ‘suara tangis bayi yang baru dimasuki nyawa atau nyawa manjing raga, sukma-abadi ‘roh’, kumpul sing urip ‘bersatu dengan yang hidup’ atau Tuhan.

3) Bahasa dan struktur pemikiran
Berkaitan dengan konsep ini orang Samin menyatakan bahwa:
(a) Wong enom mati uripe titip sing urip, bayi uda nangis nger niku suksma ketemu raga, dadi wong niku mulane mboten mati, nek ninggal sandhangan niku nggih, kedah sabar trokal sing diarah turun-temurun, dadi ora mati nanging kumpul sing urip, apik wong selawase--sepisan dadi wong selawase--dadi wong.
(b) Pratikel ‘tingkah laku, perbuatan’ diajak gugur-gunung cukup mengayunkan cangkul satu kali, menurutnya sudah memenuhi syarat.
(c) Tidak mau membayar pajek (dari sipat jejek), lemah-lemahe dhewe kon bayar pajek, tetapi dimintai sumbangan mau.
(d) Srekal, sangkal, sangkak, Samin-sangkak ‘orang Samin sangkak di samping ada Samin lugu, yang menyangkal’

4) Bahasa dan perubahan dalam masyarakat
Konsep ini tercermin pada istilah yang sering disebutkan seperti:
(a) Geger Samin ‘peristiwa pemberontakan orang Samin setelah Samin Surosentiko ditangkap Belanda (1970) hingga tahun 1917.
(b) Nyamin, saminisme ‘berbuat seperti orang Samin, paham ajaran Samin’
(c) Samin ‘nama orang kebanyakan’
(d) Nama-nama benda kepemilikannya
(e) Nama-nama hasil dan peralatan pertanian
(f) Istilah yang berkaitan dengan pendidikan (dluwang teles, dluwang garing)
(g) Pernikahan (kawin Samin, kawin tumpeng, kawin modin/pemerintah)

Empat hal tersebut di atas menyontohkan sumbangan linguistik terhadap etnologi, sedangkan sumbangan etnologi terhadap linguistik akan disinggung sedikit dalam tulisan ini, karena luasnya materi pembahasannya. Sumbangan etnologi terhadap linguistik misalnya seperti berikut ini.

1) Kebudayaan dan sejarah bahasa
Kebudayaan dan sejarah bahasa Jawa Samin berkaitan erat dengan munculnya tokoh Samin. Secara historis (baca lagi dalam pendahuluan) dengan munculnya etnis Samin dalam etnis Jawa, memunculkan bahasa Jawa “gaya Samin”.
2) Kebudayaan dan peta bahasa
Bahasa Jawa menurut konsep kebudayaan dan peta bahasa dapat diidentifikasi, bahwa setelah meneliti kebudayaan Samin dengan media bahasanya diketahui secara geografis peta bahasanya termasuk bahasa pesisir. Ciri-ciri dialektalnya seperti fonetis /Eh/ -- gerEh, mulEh, sapEh, getEh, karE? (dalam BJ umum gerIh, mulIh, sapIh, getIh, kari); fonetis /Oh/ -- abOh, lunggOh, rusOh, butOh (abUh, lunggUh, rusUh, butUh); enklitik -mu – bapa?em, sawahem, wedhUsem (bapa?mu, sawahmu, wedhusmu); unsur leksikal khas adang akEh ‘punya hajat’, rukun kula ‘suami/istri’, salin sandhangan ‘mati’, turun ‘anak’, aran ‘nama’, dan sebagainya.
3) Kebudayaan dan makna bahasa
Menurut konsep ini dikenal adanya leksikon yang berasal dari bahasa asing, nasional, dan lokal. Oleh karena itu unsur leksikal yang khas Samin termasuk lokal dan secara semantik memiliki makna tersendiri berdasarkan tuntutan dan konteks budayanya. Contoh untuk nomor tiga ini telah banyak ditampilkan di atas.

4 SIMPULAN
Secara ringkas tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1) Oleh karena fenomena historis masyarakat Samin menimbulkan fenomena kultural dan lingual tersendiri di tengah kultur Jawa pada umumnya, dan dibandingkan dengan yang lain tergolong menonjol.
(2) Dari kacamata etnolinguistik, bahasa Jawa Samin sebenarnya tidak jauh dengan bahasa Jawa lain, yang menonjol adalah kesendiriannya di tengah induk etnisnya.
(3) Oleh karena eratnya bahasa Jawa Samin dengan unsur religinya (Agama Adam), maka hampir setiap kata Samin memiliki makna filosofis dan “politis”.


DAFTAR PUSTAKA

Dekker dan I Nyoman, 1970. Masyarakat Samin Suatu Tinjauan Sosiokulturil, Lembaga Penerbitan IKIP Malang.
Echols, J.M. dan Shadily, H. 1987. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Geertz, C. 1981. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Giap, The Siauw. 1968. “The Samin Movement in Java, Complementary Remarks”, Revus du sut-East, asiatique et I’Eztreme Orient No. 1 (1967) dan 2 (1968).
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Korver A. Pivtor E. 1976. “The Samin Movement and Millenarianisme”, BKI, dee 132, 2e+3e Aflevering. S’Gravenhage: Marinus Nijhoff.
King, Victor T. 1973. “Some Observation on The Samin Movement of North Central-Java”, BKI, deel 129, 4e aflevering. S”Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Michael R. Dove. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Niels Mulder. 1974. “Saminisme and Budhisme: A not on Field visit to a Samin Community”, Asian Quartely, A Journal from Europe, No. 3.
______. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Poer Adhi Prawoto. 1972. “Sejarah Adat-istiadat Samin Daerah Kabupaten Blora”, PS No. 14 Th.39, 10 April 1972, Surabaya.
Shiraishi, 1990. Dangir’s Testimony: Saminism Reconsidered, Cornell Southeast Asia Program.
Sadi Hutomo. 1985. “Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya”, Basis, No.1 dan 2 Januari-Februari 1985, Yogyakarta.
Shri Ahimsa Putra. 1996/1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”, makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra, Yogyakarta, 26-27 Maret 1997.
Silva Fuenzalida, I. 1949. “Ethnolinguistics and The Study of Culture”, American Anthropholigist 51, 446-456.

JAWA BANYUMAS

'Saudara, di salah satu wilayah Jawa Tengah, tepatnya di
ekskeresidenan Banyumas, kita jumpai kesenian rakyat tradisional
yang, antara lain, berbentuk gerak tari dan lagu. Agak berbeda
dengan kesenian tradisional Jawa Tengah pada umumnya, kesenian
masyarakat Banyumas ini memiliki corak irama yang dynamis dan
khas, mencerminkan keunikan budaya masyarakat Banyumas sehingga
lebih populer dengan kesebutan Kesenian Banyumasan. Seperti Tari
Selot yang kita saksikan tadi. Selot artinya kunci.'
Tari Selot menggambarkan kehidupan religius gadis-gadis Banyumas
yang menuntut ilmu di pesantren. Mereka membina kemampuan
spiritual dan fisik agar kelak tampil sebagai wanita utama yang
menguasai kunci-kunci kehidupan patuh pada Tuhan, berbakti pada
nusa dan bangsa, serta kasih pada keluarga dan sesama. Dan bagi
wanita kalangan tinggi Banyumasan, seikat kunci ini selalu
dibawa melengkapi busana tradisionalnya, selain sebagai simbol
kekayaan juga sebagai simbol keutamaannya selaku wanita.
Saudara, kesenian Banyumas tidak terpisahkan dari gamelan yang
mengiringinya, yaitu calung yang terbuat dari bambu. Calung
selalu digunakan sebagai pengiring berbagai bentuk seni
tradisional rakyat Banyumas, baik dalam bentuk lagu misalnya
Uyon-uyon, maupun lagu dan tari seperti Lengger Banyumasan. Kita
saksikan bersama bagaimana bambu-bambu dipersiapkan menjadi
calung.
Pekerjaan membuat calung mernerlukan persiapan lahir batin
sampai berbilang tahun lamanya. Dimulai dari memilih bambu
biasanya dipilihnya jenis bambu Tutul atau bambu Wulun yang
cokolat warnanya. Konon, untuk memperoleh hasil baik menebang
bambu pun bukan sembarang waktu. Harus memilih hari baik sesuai
kepercayaan tradisional yaitu Juma'at Kliwon atau Selasa Kliwon.
Dan si penebang bambupun harus berpuasa sebelumnya. Bambu
dipilih yang telah tua dan lurus. Setelah ditebang, dibiarkan di
tempat selamasatu sampai dua bulan supaya kering perlahan-lahan
dan daunnya rontok semua.
Kemudian ranting-ranting dipotong sampai bersih
Bambu-bambu kemudian dibawa pulang.
Bambu dijemur lagi selama dua sampai tiga bulan di halaman rumah
dalam posisi tegak supaya kering yang merata dan tetap lurus.
Alat-alat yang diperlukan dalam pembuatan calung adalah gergaji,
bor, penggaris, parang dan pisau. Semua mata pisau harus tajam
supaya pekerjaan berlangsung cepat dan hasilnya baik serta
halus. Mula-mula bambu dipotong sesuai ukuran calung: terpendek
23cm, dan terpanjang 90cm.
Setelah itu, bambu diasapi di atas langit-langit tunku dapur.
Diperiksa setiap bulan, dibalik supaya pengasapan merata. Hal
ini berlangsung sampai enam atau sembilan bulan lamanya. Setelah
waktu cukup pekerjaan selanjutnya adalah melakukan penglarasan
atau membentuk calung yang mempunyai bunyi nada tertentu.
Pekerjaan inipun harus dimulai pada hari baik dan si pelaku
berpuasa selama masa pembuatan calung. Bambu dikerat dengan
pisau tajam, sedikit demi sedikit sambil mencari nada.
Kemudian bambu diberi lobang agar bisa dirakit dalam satu
kesatuan sambil tetap diperiksa nada yang dihasilkannya. Patokan
nada diambil dari gamelan Jawa yang sudah jadi dan baik.
Untuk memperindah calung, digunakan amplas dan cat pernis.
Masing-masing komponen nada kemudian dirangkai dengan
menggunakan tali plastik, mejadi suatu kesatuan nada di dalam
wadah atau kerangka yang disebut krancak. Krancak calung
biasanya berbentuk kandaiwan yaitu seperti busur anakpana atau
kandaiwo. Terakhir diperiksa sekali lagi bunyi nada yang telah
terangkai dalam krancak, apakah sudah selaras ataukah masih
perlu penyempurnaan lagi.
Nah bambu-bambu tadi kini menjelma menjadi seperangkat gamelan
calung yang menawan terdiri dari dua set gambang. Satu set ketuk
kenong dan satu set selentung. Satu set gendang ketipung...dan
satu set gong punggung.
Saudara, perangkat yang ini siaplah sudah melantingkan gendinggending
cantik dan Lengger Banyumanan untuk anda.
Kesenian lengger lahir dari tengah-tengah masyarakat khususnya
masyarakat Banyumas. Maka tidaklah mustakhil bila kesenian ini
sudah mendarah daging di hati para penggemarnya. Sampai
sekarangpun kesenian Lengger masih sangat popular di kalangan
masyarakat Banyumas dengan nama Lengger Banyumasan. Konon
pertunjukan Lengger semula ditampilkan untuk menghibur para
prajurit yang menang perang. Namun selanjutnya, pertunjukkan
makin membudaya untuk menyambut tamu-tamu kerajaan ataupun
menyemarakan acara-acara pernikahan, bersih desa dan lainnya
yang masih berlaku hingga kini.
Pertunjukan Lengger Banyumasan diawali dengan tarian Lengger
Panceran. Pemeran utama adalah satu atau beberapa penari wanita
berparas cantik kemudian diikuti oleh beberapa tamu pria.
Sebelum menari dengan penari Lengger, para tamu pria ini harus
membayar terlebih dahulu yang dalam bahasa Banyumasnya disebut
bancer. Diiringi gamelan calung yang mendendangkan gendinggending
yang berlaras sindu.
Tarian Lengger Banceran memang semarak meski terkesan sedikit
erotis, kesenian Lengger Banyumas dalam bentuk aslinya tanpa
dialog namun dalam perkembangannya mulai disisipi adegan dialog
dengan logat khas Banyumasan berisi sindiran atau banyolan
maupun pesan-pesan lainnya sesuai tuntutan pembangunan di masa
sekarang. Pertunjukan ini bisa berlangsung semalam suntuk, baik
mengambil lokasi pendopo atau bahkan panggung terbuka.


In one area in Java, more precisely in the ex-residential area
of Banyumas, we can find traditional folk art in the form of
dances and songs, amongst others. Somewhat different to the folk
art of Central Java generally, the folk art of Banyumas has
dynamic and special rhythmic patterns that reflect the
uniqueness of the local culture so that it is more popular with
the name Kesenian Banyumasan. Just like Tari Selot which we
watched before Selot means key.
Tari Selot portrays the religious life of young girls from
Banyumas who are studying religion at a pesantren or Islamic
school. They are building their spiritual and physical capacity
so that in the future they will become strong women who hold the
keys to a life obedient to God, loyal to the nation and loving
to their families and themselves. Upper class ladies from
Banyumas always carry a bunch of keys to complete their
traditional costume, not only as a symbol of wealth, but also as
a symbol of the superiority of women.
Ladies and gentlemen, the art of Banyumas cannot be separated
from the gamelan that accompanies it. That is, Calung, which is
made of bamboo. Calung is always used as accompaniment of
various forms of Banyumas traditional arts, not only songs such
as 'Uyon-Uyon' but also songs and dances such as 'Lengger
Banyumasan'. We will see how the bamboo is prepared to
manufacture Calung.
The work of making Calung requires spiritual and mental
preparation over many years. The bamboo used to make Calung is
usually of the 'Tutul' or brown 'Wulun' types. However, to get
the best results when felling the bamboo, the right day must be
chosen. It should be a good day in accordance with traditional
beliefs. That is, it should be on a Kliwon Friday or a Kliwon
Tuesday. The bamboo cutter should fast beforehand. The chosen
bamboo should be mature and straight. After it is felled, it
should be left in place for one or two months to dry slowly and
allow all the leaves to falloff. All of the small branches are
cut off. The bamboo is then carried home.
The bamboo is dried for another two or three months in the house
yard. It is stood in an upright position So that 'it dries
evenly and stays straight.
The tools that are used to make Calung are: a saw, a brace and
bit, a ruler, a machete and a knife.All the tools must have keen
edges so that the work can progress quickly with quality
results. Initially1 the bamboo is cut to size. The shortest
piece is 23 cm and the longest is 90 cm. After that, the bamboo
is smoked in the ceiling of the kitchen. The bamboo has to be
inspected monthly and turned so that the smoking is even. This
process goes on for six or nine months. After sufficient time
the next job is to tune the Calung to the pitch required of each
piece.
This task has to be performed on an auspicious day and the
craftsperson has to fast for the duration of the task. The
bamboo is sliced little by little with a sharp knife while
testing for the right tone.
Next, the bamboo is drilled so that it can be racked together
while still checking the tone produced. The standard note is
taken from an existing Javanese-gamelan.
To make the Calung more attractive, it is sandpapered and
varnished.
Each of the components is attached with plastic to become a
tonal unit called a 'krancak'.
The Calung krancak is usually curved like a bow and arrow.
Finally the tones of the assembled instrument are checked again
to see if they are right or if they need to be further adjusted.
So, the bamboo has been transformed into a Calung gamelan
consisting of two sets of gambang, one set of ketuk kenong, and
one set of selentung, one set of gendang ketipung and one set of
gong punggung.
Ladies and gentlemen, this instrument is ready to begin playing
beautiful Gending-gending and Lengger Banyumasan for you.
Lengger comes from the people, particularly the people of
Banyumas. To this day, Lengger remains very popular with the
Banyumas population and is known as Lengger Banyumasan. Lengger
was originally performed for the entertainment of victorious
soldiers. The performance has since become more cultural and is
used to welcome guests to the court, to embellish wedding
ceremonies, village tidying or other ceremonies that continue to
this day.
The performance of Lengger Banyumasan begins with the Lengger
Panceran dance. This begins with several beautiIul female
dancers who are joined by several male guests.
Before they can dance with the Lengger dancers, the guests have
to pay. In the language of Banyumas this payment is called
Bancer. The accompaniment is from Calung playing gending-gending
using the sindu scales.
The Lengger Banyumasan dance is indeed splendid, although there
is an impression of eroticism. Originally Lengger Banyumasan did
not employ dialogue but as it developed, small dialogue parts
were inserted. These are in the Banyumas dialect and contain
allusions, humour or other messages about modern development.
The performance can go on all night, either in a pavilion or on
an open stage.

ORANG JAWA

Who are the Orang Jawa?
The Orang Jawa (‘people of Java’, also known
as ‘Javanese’) migrated from Central Java,
Indonesia, to Malaysia from 1880 to 1930. They
migrated to seek a new life away from the Dutch
colonists who ruled Indonesia at that time. Today the
Orang Jawa live throughout Peninsular Malaysia in
parts of Perak, Selangor, and Kedah. There are also
isolated communities in coastal areas of Sabah. Some
Jawa have even gained influential positions in society.
The Chief Minister of Selangor traces his roots back to
Orang Jawa ancestors. The Jawa language is being spoken less and less among
today’s younger Orang Jawa. Most of them have either
never learned it or cannot remember how to speak it.

What are their lives like?
Recent generations of Orang Jawa who live in
cities have assimilated with the general Malay
culture. In the past their parents were farmers,
construction workers and timber workers. Now they
also work as bankers, pilots, engineers, accountants,
and politicians. They are known to be efficient and
industrious. Some Orang Jawa in Selangor work as
Islamic religious teachers.
In some villages, the Orang Jawa maintain their
identity and traditions. People from other Malay
people groups who marry into an Orang Jawa family
sometimes call themselves Orang Jawa, or Jawa
Peranakan. Apart from growing their own vegetables
and raising poultry, some villagers have also started
their own tourism programs to promote the Javanese
way of life.
The Orang Jawa are a very hospitable people, usually
inviting visitors to share a meal with the family.
Families are often quite large, some having between
10 and 17 children. Marriages are grand affairs that
sometimes last up to three days. The giving of love
gifts to the newlyweds is common. Emphasis is placed
on helping one another during weddings rather than
receiving large sums of money. As the Orang Jawa
have become more successful in life, their desire to
recover their cultural Javanese roots has grown.

What do they believe?
The Orang Jawa are predominantly Sunni
Muslims. During weddings and circumcision
rituals they perform the jedur (songs of praise to
the prophet Mohammed) which is compiled in a book
called Silawatan. They also perform the kempling (a
type of dance giving praise to Allah) during religious
occasions. During the performance, they use a tool made from
lamb’s wool and wood. The Qur`an is read before
and after the dance, and it takes a group of between
ten to twenty people to perform it. The kempling
performance is an opportunity for the Orang Jawa to
get together to build ethnic solidarity and unity. It is
also a time for discussing the challenges faced by the
villages.

What are their needs?
The Orang Jawa have a strong Islamic background.
Pray that communication bridges into their
culture could be used to meet the spiritual
needs. Pray that the lives of committed believers will
be a positive influence and could bring about good
relationships with Orang Jawa people.

Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa

Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa
(Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Novel Para Priyayi)


1.1 Latar Belakang
“Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. ” Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam pembaca akan merasakan bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan.
“(Novel) Para Priyayi adalah ‘jihad intelektual’ Umar Kayam tentang seseorang dalam menjalani fungsi kemanusiaannya, yang mula-mula adalah (seorang) Jawa.” Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.
Adalah suatu hal yang menarik untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Hal ini akan dicapai lewat analisis sosiologi karya sastra. Dengan pendekatan ini karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosial dalam masyarakat Jawa.

1.2 Research question dan Argumen
Fokus pertanyaan dalam esai ini adalah: Peranan apa saja yang dilakukan priyayi dalam sistem sosial masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel Para Priyayi? Pertanyaan ini akan dijawab dengan analisis sosiologi sastra yang menonjolkan aspek kehidupan sosial kaum priyayi dalam masyarakat Jawa.
Berdasarkan teori sosiologi tentang stratifikasi sosial masyarakat Jawa, hipotesis peranan priyayi lewat novel Para Priyayi adalah:
1. Sebagai pembangun hubungan sosial antar status;
2. Sebagai agen perubahan;
3. Sebagai penjaga etika dan nilai-nilai budaya;
4. Sebagai pemimpin spiritual

















Bab II
Kerangka Analisis

2.1 Kerangka Teoritik
“Sistem sosial adalah suatu jaringan dimana bagian-bagian/elemen-elemen jaringan tersebut saling pengaruh mempengaruhi secara deterministik.” Keharmonisan dalam sistem sosial didasarkan pada pranata sosial, sistem yang mengatur interaksi yang mengintergrasikan pola perilaku dan komunikasi agar masyarakat dapat hidup tentram dan harmonis. Dalam masyarakat Jawa sistem sosial dapat dilihat dari pembagian stratifikasi sosial dan pola sikap anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max Weber, seorang sosiolog kelahiran Jerman, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik). Weber juga menambahkan bahwa dimensi ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi lainnya.
Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial.
Penelitian mendalam mengenai kehidupan sosial masyarakat Jawa pernah dilakukan oleh seorang antropolog Amerika bernama Clifford Geertz pada tahun 1950an dan dibukukan dalam The Religion of Java. Menurut Geertz pembagian kelas dalam masyarakat Jawa tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi tiap orang namun lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan, dan spiritual. Kaum priyayi dianggap sebagai kaum tingkat menengah ke atas karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaaan dalam pemerintahan dan memimpin upacara adat.
Menurut Geertz hubungan sosial antar kaum terjalin lewat peranan priyayi dalam menjembatani kaum abangan/wong cilik yang ingin menjadi priyayi. Budaya ngenger sebagai contoh, membuka peluang bagi semua kaum untuk menjadi priyayi. Sehingga dengan kata lain orang dengan kelas yang lebih rendah dapat berelasi dengan kaum priyayi.
Sartono Kartodirjo menyebutkan priyayi sebagai agen perubahan dengan membawa nilai-nilai baru ke dalam masyarakat dan juga sebagai pelestari seni budaya Jawa. Kaum priyayi adalah orang-orang yang lebih banyak bersentuhan dengan pendidikan. Mereka pun menyadari pentingnya belajar lebih banyak dari bangsa Eropa sehingga mereka akhirnya turut serta membawa kemajuan ke dalam masyarakat.
Peranan dalam hal penjagaan etika ditelaah oleh Franz-Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Jawa.” Masyarakat Jawa selalu ingin mempertahankan kerukunan dan keharmonisan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga mereka dalam bertindak selalu mentaati etika yang berlaku.
Hal lain seperti peranan sebagai pemimpin dalam hal spiritual dan mistis diutarakan oleh Geertz. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa kaum priyayi, khususnya priyayi luhur seperti bupati, mempunyai kekuatan mistik yang diturunkan pada kaum dibawahnya.

2.2 Pendekatan Sosiologi Sastra
Analisis sosiologi sastra berfokus pada penelaahan gambaran kondisi sosial masyarakat yang diangkat ke dalam novel. “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.” Karya sastra hampir tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial manusia karena pengarang sendiri adalah bagian dari masyarakat.
Kritik sastra memiliki empat pendekatan yaitu: orientasi pada semesta, pembaca, elemen pengarang dan karya. Menurut Warren dan Wellek sosiologi sastra sendiri berasal dari orientasi pada semesta, pengarang dan pembaca. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa suatu karya sastra tidak terlepas dari dunia dan kehidupan manusia. Selain itu peranan penulis dalam sosiologi sastra tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pengarang secara langsung terlibat dalam memasukkan unsur sosiologi dalam karya tulisnya. Perspektif pembaca juga sangat berpengaruh sebab pembaca sebagai “ … penerima efek karya sastra, dapat dengan bebas menelaah inti sosiologi dari karya sastra dan menyerap pesan yang tersirat.”
Suatu karya sastra ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu. Pengarang novel tidak sekadar berimajinasi dan memasukkan berbagai macam aspek kehidupan manusia ke dalam novel. Oleh sebab itu adalah penting untuk mengerti inti dari karya sastra tersebut sehingga kita dapat mempelajari kehidupan sosial manusia khususnya masyarakat priyayi Jawa secara kongkret. Dalam menelaah novel Para Priyayi penulis akan menggunakan kajian sosiologi sastra yang berpusat pada karya sastra itu sendiri terlepas dari pengarang dan pembaca.
























Bab III
Mengenai Novel Para Priyayi

3.1 Biografi singkat Umar Kayam
Umar Kayam lahir pada tanggal 30 April 1942, adalah seorang keturunan priyayi namun “Umar Kayam juga hendak meninggalkan kepriyayiannya” . Dalam dunia sastra Umar Kayam termasuk dalam periode angkatan 50 (1950 – 1970) dengan ciri khas gaya bertutur tanpa sisipan maupun peran komentar penulis dalam karya. Umar Kayam menceritakan setiap tokoh melalui sudut pandang orang pertama sehingga pembaca lebih merasakan peran tokoh dibandingkan peran penulis dalam cerita.

3.2 Ringkasan Novel Para Priyayi
Perjalanan Sastrodarsono berawal dari desa Kedungsimo. Ia dahulu bernama Soedarsono, anak seorang petani desa Atmokasan. Ayah Sastrodarsono sangat menginginkan anak-anaknya untuk menjadi priyayi. Maka berbeda dengan anak-anak petani lain Sastrodarsono disekolahkan. Setelah lulus ia menjadi guru bantu sampai ia akhirnya menjadi guru di Wanagalih.
Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Kemudian lahir tiga orang anak, mereka bernama Noegroho, Hardojo dan Soemini. Mereka disekolahkan di HIS, sekolah untuk priyayi. Anak-anak Sastrodarsono kemudian menjadi priyayi birokrat kelas atas. Noegroho menjadi seorang pejabat militer, Hardojo menjadi abdi dalem Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri seorang wedana.
Wage, anak seorang penjual tempe langganan keluarga Sastrodarsono diangkat menjadi anak dalam keluarganya. Namanya kemudian mejadi Lantip, ia sebenarnya adalah keponakan Sastrodarsono. Lantip adalah anak hasil hubungan luar nikah antara Soenandar dan Ngadiyem. Soenandar, sepupu Sastrodarsono terkenal sebagai orang yang bersikap brutal dan tidak mengerti tata krama. Ia meninggalkan Ngadiyem setelah menghamilinya. Di rumah Sastrodarsono Lantip diajarkan tata krama dan budaya priyayi, ia juga disekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar.
Ketiga anak Sastrodarsono telah memiliki keturunan. Lantip kemudian diurus oleh Hardojo dan berkerabat dekat dengan Hari, anaknya. Runtutan masalah kemudian terjadi. Marie, anak Noegroho, terpaksa menikah dengan orang ‘rendahan’ karena hamil diluar nikah. Hari terjerumus dalam organisasi komunis dan berbagai konflik lainnya. Di saat genting Lantip datang membantu menyelesaikan persoalan.
















Bab IV
Peranan Kaum Priyayi dalam Sistem Sosial Masyarakat Jawa

4.1 Peranan Priyayi sebagai Pembangun Hubungan Sosial antar Status
Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga bagian besar, priyayi, abangan dan santri. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antar status. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan/wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik.
Relasi antar beberapa tokoh dalam novel menunjukkan kekerabatan antara kaum priyayi dan wong cilik. Hubungan tokoh Ndoro Seten dengan Atmokasan, ayah Sastrodarsono, kemudian Sastrodarsono dengan Ngadiyem, begitu juga hubungan Lantip dan Sastrodarsono, semua menunjukkan relasi antar status. Atmokasan sebagai seorang petani berstatus wong cilik bekerja di sawah milik Ndoro Seten menjalin hubungan yang bersifat vertikal, antara priyayi dan petani desa. Namun, hubungan tersebut berubah menjadi hubungan akrab, Ndoro Seten menyerahkan separuh sawahnya untuk diurus oleh Atmokasan. Relasi antar status bertransformasi menjadi hubungan yang lebih bersifat kekeluargaan. “Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono, …. nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja.” Soedarsono adalah nama asli Sastrodarsono. Hubungan kemudian bersifat timbal balik, Atmokasan mengerjakan kewajibannya sebagai petani dengan selalu jujur dalam bekerja. Di lain pihak Ndoro Seten menghargai kerja kerasnya dengan membantu Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Relasi kekeluargaan terlihat ketika Ndoro Seten telah menganggap Atmokasan sebagai saudara tua dengan memanggil ‘kamas’ sedangkan Sastrodarsono kini memanggilnya dengan ‘romo’. Tradisi kekerabatan diturunkan pada Sastrodarsono. Ia mengangkat sepupunya Soenandar untuk masuk dalam keluarganya supaya mendapat pendidikan yang memadai dan mampu menjadi priyayi seperti dirinya. Sastrodarsono juga banyak berhubungan dengan warga desa Wanalawas dan membantu dengan mendirikan sekolah bagi wong cilik, yang diserahkan pada Soenandar.
Soenandar kemudian tinggal dengan Ngadiyem, yang dihamilinya di luar nikah, namun setelah beberapa waktu ia kabur setelah mencuri harta Ngadiyem. Bagian ini memperlihatkan keretakan hubungan antara priyayi dan wong cilik. Mbok Soemo, ibu Ngadiyem, merasa terhina anaknya ‘dirusak’ oleh seorang priyayi. Sastrodarsono merasa bertanggung jawab atas ulah saudaranya sendiri menanggung segala biaya bagi anaknya nanti.
Dalam kekerabatan, kerukunan sangat diperlukan dalam membangun relasi yang harmonis antara priyayi dan wong cilik. Pada masa Sastrodarsono masih tinggal di Kedungsimo, Atmokasan menjaga hubungannya dengan Ndoro Seten sehingga kerukunan tercipta. Ia menghormati Ndoro Seten dengan berbuat jujur dan tidak mengecewakannya. Kerukunan pun terjaga dengan baik karena kedua pihak saling mengerti. Dalam kasus antara Soenandar dan Ngadiyem yang berakibat keretakan relasi, Sastrodarsono mengangkat Lantip, anak Ngadiyem, sebagai bagian dari keluarganya dan memberikan pendidikan yang layak untuk merekatkan kembali relasi tersebut. Di lain pihak, Lantip merasa berterima kasih atas kebaikan Sastrodarsono yang telah mengangkatnya sebagai bagian dari keluarga priyayi. Lantip bersumpah pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada keluarga Sastrodarsono. Pengabdiannya pada keluarga Sastrodarsono dibuktikan dengan sikap ‘kepahlawanan’ dalam membantu menyelesaikan konflik dalam keluarga.
Kedekatan kaum priyayi dengan wong cilik mengalami kelunturan pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Tidak ada hubungan erat antar tokoh yang berbeda status seperti Ngadiyem dan Sastrodarsono. Bahkan, bisa dibilang anak-anak Sastrodarsono cenderung bersikap acuh tak acuh pada wong cilik. Noegroho, misalnya, hidup dalam kemewahan ala Belanda, ”di meja makan kami biefstuk daging has yang lengkap dengan segala kentang dan jus dan slada hussar adalah hidangan yang tidak asing.” Mereka enggan ‘mencicipi’ kesederhanaan yang tercermin melalui penganan tempe, misalnya. Gambaran ini menunjukkan bagaimana priyayi menjauhkan diri dari wong cilik, berlawanan dengan sifat Sastrodarsono yang masih merasakan kedekatan dengan wong cilik. Tidak tampak lagi relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Kesan yang terjadi justru berkebalikan, para priyayi semakin menjauhkan diri dari wong cilik. “Anak-anak kampung itu lain betul dengan Hari, lho, Sum. Mereka suka omong jorok dan suka misuh. Kita ini orang Mangkunegaran, lho, Sum.” Dari kutipan tersebut kita dapat mengerti bahwa seiring dengan meningkatnya status priyayi pada diri Hardojo ia semakin mengambil jarak dengan wong cilik. Tanpa disadarinya ia telah menggunjing kaum wong cilik dan ayahnya sendiri, karena Sastrodarsono dahulunya adalah anak petani desa.




4.2 Peranan Priyayi sebagai Agen Perubahan
Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai pribumi yang berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal awal bagi kaum wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya. Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan. Selain itu perubahan juga dapat terlihat pada perkembangan seni budaya, emansipasi wanita, dan idealisme pengabdian.
Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong cilik karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi, dengan bantuan kaum priyayi. “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus menjadi priyayi.” Status priyayi berarti kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu pendidikan menjadi modal dasar. “Kalian harus sekolah.” Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan. Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan, Sastrodarsono “… dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang menjadi guru bantu.” Sastrodarsono melakukan proses yang sama dengan mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi.
Perubahan kemudian mencangkup masyarakat yang lebih luas. Pembangunan sekolah desa di Wanalawas yang ditujukan untuk mengajari pengetahuan dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Tokoh Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman penulis akan sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, “beliau masih prihatin dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan …” . Dia menghapus keterbelakangan dengan membangun sekolah bagi orang-orang yang buta huruf.
Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri Sastrodarsono didasari oleh tokoh Mas Martoatmodjo yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.” Mas Martoatmodjo selalu mengikuti perkembangan gerakan priyayi dengan membaca Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup. Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Mas Martoatmodjo karena takut kehilangan status dan kemapanan. “Mereka takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka.” Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualities menjadi dinamis. Hal ini mendasari sikap pengabdian pada wong cilik yang ditegaskan pada akhir novel, “warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri.”
Kelunturan idealisme pengabdian priyayi bentrok dengan masuknya aliran komunisme. Menurut sudut pandang sosialis, prinsip priyayi adalah feodal, pengabdiaan pada wong cilik justru terpinggirkan. Selain itu suatu hal yang juga ironis karena PKI “… dibiarkan dipimpin oleh para borjuis dan pamong praja feodal dan para tuan tanah santri.” Pak Martokebo yang seorang priyayi kecil ikut menjadi pengikut PKI, menganggap dirinya sebagai pejuang bagi rakyat yang tersiksa oleh kaum feodal. Ia tak segan-segan mengancam para priyayi yang tidak bersalah dan yang justru berpihak pada rakyat dalam hidupnya seperti Sastrodarsono. Harimurti ikut dalam pemberontakan dengan masuk ke dalam Lekra, sebuah organisasi kesenian beraliran komunis. Setelah berkenalan dan berhubungan dengan Gadis pengaruh komunis semakin meresap, namun sebenarnya dalam dirinya ia mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Kentus, misalnya, saudara Gadis yang cacat otak sejak lahir ditanggapi sebagai anak yang cacat karena penindasan kapitalisme dan bukan karena bawaan lahir. Gadis sendiri walaupun mengakui statusnya sebagai priyayi kecil tetap menganggap dirinya seperjuangan dengan rakyat tertindas. Komunisme telah menguras pemikiran mereka untuk mengabdi pada wong cilik dengan cara yang bersih, dengan “sistem yang tidak percaya lagi pada pendapat bahwa untuk mengangkat nasib rakyat harus dibunuhi beratus atau beribu orang.”
Bidang seni budaya juga mengalami perkembangan yang menyadarkan masyarakat akan nilai-nilai budaya Jawa. Adipati Mangkunegaran mempelopori dengan mengusulkan pergelaran seni supaya diadakan secara rutin. “Pagelaran wayang orang dan tarian di pendopo Mangkunegaran diadakan secara teratur.” Wayang tidak lepas dari kehidupan kaum priyayi. Wejangan pada waktu pernikahan Sastrodarsono diberikan dari cerita wayang. Begitu juga pada saat Sastrodarsono memberi wejangan pada anak-anaknya. Tokoh Lantip yang sedikit memiliki kemampuan berseni dapat menembang lagu Jawa. Ini menunjukkan bahwa seni sangat berharga bagi kaum priyayi.
Seni yang dipelihara oleh priyayi sebagai bentuk estetika justru dieksploitasi sebagai alat politik. Hal ini terjadi ketika Hari bergabung dalam Lekra, sebuah kelompok pencintas seni yang diprakarsai oleh kaum komunis. Seni tradisional dihubungkan dengan feodalisme yang ditujukan untuk kekuasaan, dengan kata lain cerita rakyat Jawa adalah “… cerita kekuasaan.” Beberapa tokoh seperti Bung Naryo beranggapan bahwa “cinta memang bisa indah, tetapi dalam kisah cinta itu embel-embel dari strategi kekuasaan yang sangat kejam.” Dari sini tampak bahwa kaum priyayi mencemari seni dengan idealisme sosialis demi kepentingan politis.
Emansipasi wanita ditunjukkan dengan perlawanan wanita untuk keluar dari kekangan patriarkal. Seorang wanita biasanya dijodohkan sejak masih muda, seperti yang dialami tokoh Ngaisah. Soemini di lain pihak, mengikuti pemikiran R.A. Kartini menolak untuk menikah pada usia dini dan memilih untuk melanjutkan sekolah di Van Deventer School, “bukankah kita termasuk keluarga priyayi maju pengikut pikiran Raden Ajeng Kartini yang tidak setuju perempuan kawin terlalu muda.” Selain itu wanita menjadi lebih bebas untuk berpendapat dan berpolitik seperti Gadis.

4.3 Peranan Priyayi Sebagai Penjaga Etika dan Nilai-nilai Budaya
Perubahan yang dibawa oleh kaum priyayi tidak seharusnya merubah etika dan nilai-nilai positif yang ada, dengan demikian adalah peranan mereka untuk mempertahankannya. Masyarakat Jawa memiliki keterikatan pada etika yang kuat baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan perkawinan. Dalam keluarga dan masyarakat, misalnya, orang Jawa harus menjaga kehormatan dan kerukunan dengan berbahasa yang pantas untuk menghindari perselisihan. Rasa rikuh dipertahankan dalam hubungan sosial masyarakat Jawa untuk menjaga sikap dan kelakuan. Selain itu dalam hal etika dan budaya perkawinan, baik sebelum dan sesudah pernikahan mengalami berbagai perubahan, namun inti dari perkawinan yaitu kesetiaan dan penjagaan diri tidak berubah.
Sikap hormat seperti yang telah disebut sebelumnya didasarkan pada rasa rikuh. Rikuh berarti bersikap hati-hati supaya tidak mengecewakan orang lain. Sikap ini ditunjukkan pada hampir seluruh bagian buku dari awal hingga akhir. Ngadiyem selalu bersikap rikuh pada Sastrodarsono. Ia selalu diberi kebebasan untuk beristirahat di rumah Sastrodarsono. Namun, karena rasa rikuh ia menjadi sadar akan sikap tahu diri dan dengan beberapa cara yang sederhana berusaha membantu di rumah Sastrodarsono. “Persinggahan kami … dengan sendirinya tidak kami lewatkan dengan hanya tiduran di amben, bale-bale, di ruang belakang. Embok akan membantu pekerjaan rutin para pembantu.” Hal ini membuktikan bahwa kerikuhan berdampak mulai dari hal-hal kecil.
Sikap rikuh tidak hanya dilakukan oleh wong cilik pada priyayi, namun, juga seorang priyayi dengan orang yang statusnya lebih tinggi dari dirinya. Tokoh Hardojo ketika bertemu dengan Adipati Mangkunegaran menjaga bahasanya dengan kata-kata yang halus, ”saya menjawab dalam bahasa Jawa krama inggil, yang saya usahakan sehalus mungkin.” Hal ini dikarenakan status Adipati sebagai priyayi luhur dan anggota keraton dianggap lebih tinggi dibandingkan Hardojo yang adalah seorang guru. Dalam kehidupan keluarga sikap rikuh diperlihatkan dengan kepatuhan pada orang yang lebih tua/senior. Lantip yang diangkat ke dalam keluarga priyayi kadang diumpat oleh Ndoro Seten, namun reaksi Lantip hanya menundukkan kepala. Kerikuhan menjadi penahan emosi untuk mencegah terjadinya pertengkaran, sikap ini juga mempertahankan perilaku hormat pada orang tua yang sangat penting dalam budaya Jawa.
Jika norma kepatuhan dilanggar konsekuensinya bisa beragam, seseorang akan dihukum dan dihina-hina. Priyayi beranggapan bahwa jika seorang priyayi tidak memiliki rasa rikuh, “dia akan tampil sebagai priyayi yang tidak punya kepekaan terhadap perasaan dan mungkin juga terhadap penderitaan orang lain.”
Kelunturan sikap rikuh terjadi pada diri Soenandar. Ia tekenal sebagai seorang anak yang luar biasa nakal dan tidak tahu diri, sering mencuri dan berbohong. Keberadaan Soenandar dalam keluarga Sastrodarsono menjadi beban dan cobaan. Bila dibandingkan dengan keponakan Sastrodarsono yang lain dialah satu-satunya anak yang tidak tahu diuntung dan seenaknya. “Soenandar, … cerdas tetapi licik dan kurang jujur bahkan sering berbohong.” Rasa rikuh yang berlebihan ditunjukkan oleh keponakan Sastrodarsono seperti Ngadiman, ia bahkan tidak berani makan bersama dengan anggota keluarga Sastrodarsono. “Tetapi, Soenandar,… rikuh agaknya adalah bahasa asing baginya…” Hal ini menyebabkan Soenandar lepas kendali dan bertindak negatif.
Pernikahan dan hubungan seksual bagi orang Jawa diatur dengan ketat, biasanya oleh orang tua. Sebagai contoh pernikahan Sastrodarsono dengan Ngaisah, dari tahap perjodohan hingga upacara perkawinan seluruhnya diurus oleh orang tua Sastrodarsono. Baru setelah perkawinan pasangan dapat hidup secara independen dan tidak bergantung pada orang tua. Orang Jawa baru benar-benar lepas dari tanggung jawab orang tua setelah menikah. Peraturan pernikahan dalam adat Jawa yang paling utama adalah kesetaraan status antar pasangan, pasangan haruslah terpelajar, terampil dan ulet, selain harus cakap mengurusi rumah tangga priyayi. Sastrodarsono yang telah berstatus priyayi dijodohkan dengan Ngaisah yang adalah anak seorang mantri pejual candu, seorang priyayi. Tradisi perkawinan nampaknya juga diturunkan pada Soemini, anak perempuan satu-satunya di keluarga Sastrodarsono. Sebagai wanita yang terpelajar lulusan HIS sudah sepantasnya Ia dijodohkan dengan pria yang berpendidikan tinggi juga, seperti Harjono.
Namun, tradisi perkawinan telah berubah, wanita tidak lagi kawin pada usia muda dan kaum lelaki seperti Hardojo dan Noegroho lebih memilih mencari jodoh sendiri. “Sekarang mereka bisa dan boleh mencari dan memilih calon istrinya sendiri dan yang lebih menyenangkan mereka bisa dan boleh berpacaran sebelum mereka menikah.”
Beberapa tokoh dalam novel melanggar etika perkawinan dengan berbagai cara seperti, selingkuh dan hubungan seks di luar nikah. Kehidupan modern dan mapan tidak menjamin keharmonisan keluarga Soemini begitu juga dengan keluarga Noegroho. Harjono yang telah berpangkat kepala jawatan berselingkuh dengan wanita lain dengan alasan, “saya membutuhkan juga seorang teman perempuan yang lain.” Keretakan rumah tangga pun terjadi akibat ulah Harjono. Perselingkuhan adalah hal yang memalukan dalam keluarga karena perkawinan dalam masyarakat Jawa harus dipertahankan hingga akhir hayat. Wanita dalam hal ini telah dilecehkan sebagai sebuah ‘kebutuhan’ berlawanan dengan nilai Jawa menjunjung kesetiaan tercermin dalam hubungan Sastrodarsono dan Ngaisah.
Hubungan seks di luar nikah tidak terjadi hanya pada masa generasi cucu Sastrodarsono bahkan jauh sebelumnya. Soenandar, misalnya, menghamili Ngadiyem sebelum menikah. Namun, hubungan seks menjadi suatu hal yang justru menjadi kebiasaan di masa modern. Hubungan Marie dan Maridjan juga Hari dan Gadis melakukan hubungan seks luar nikah. Hubungan seks seakan menjadi hal yang lumrah pada masanya. Ini menunjukkan kelunturan etika kesusilaan dalam masyarakat. Kehamilan di luar nikah dapat menjadi aib dalam keluarga dan menyebabkan kegalauan. Bila pasangan tidak segera menikah sebelum kelahiran bayi maka akan berdampak menjadi suatu pukulan telak bagi nama baik keluarga tersebut. Kebesaran nama keluarga Noegroho menjadi prioritas untuk diselamatkan, “pasti yang segera dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan nama baik Noegroho.” Contoh diatas memberikan gambaran bagaimana saat etika perkawinan dan kesusilaan dilanggar akan memberi dampak negatif pada keharmonisan kehidupan keluarga sehingga sebaiknya dipertahankan. Pelanggaran etika dalam bentuk apapun pada akhirnya akan membawa kegalauan baik dalam masyarakat maupun masyarakat.




















Bab V
Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan
Lewat kajian sosiologi sastra peranan priyayi pada masyarakat Jawa dalam novel Para Priyayi dapat terungkap dengan jelas. Dengan membandingkan teori-teori sosiologi masyarakat Jawa yang ada, dapat terlihat bahwa gambaran masyarakat Jawa dalam novel ini memiliki tingkat relevansi yang tinggi dengan kondisi riil. Esai ini berfokus pada paertanyaan: Peranan apa saja yang dilakukan priyayi dalam sistem sosial masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel ParaPriyayi?
Dari beberapa teori tersebut penulis mendapatkan bahwa peranan kaum priyayi yang penting adalah pembangun relasi antar status, agen perubahan, penjaga etika dan pemimpin spiritual. Dalam novel, peranan sebagai pembangun relasi antar status terlihat lewat interaksi antar tokoh yang berbeda status seperti relasi antara Sastrodarsono dan Lantip. Peranan sebagai agen perubahan terlihat dari bagaimana Sastrodarsono membangun sekolah di Wanalawas untuk wong cilik. Peranan terakhir, yakni untuk mempertahankan etika dan nilai yang bersifat positif seperti etika rikuh, ditunjukkan melalui kehidupan Lantip.
Peranan priyayi sebagai pemimpin spiritual kurang terdeskripsi secara signifikan dalam novel. Memang terdapat suatu bagian yang membahas seputar konflik kepercayaan seperti yang dialami tokoh Hardojo dan Dik Nunuk. Hubungan cinta yang berjalan baik akhirnya terputus akibat perbedaan agama. Namun hal tersebut belum dapat dimasukkan sebagai penggambaran peranan priyayi sebagai pemimpin spiritual.


5.2 Rekomendasi
Analisis dalam esai ini belum memasukkan butir-butir pemikiran Umar Kayam seputar masalah kepriyayian dari karya beliau yang lain seperti novel Jalan Menikung (Para Priyayi 2), Mangan Ora Mangan Kumpul, dan lain sebagainya. Apabila bahan-bahan itu dapat dimasukkan dalam analisis tentunya akan mempertegas gambaran idealisme Umar Kayam tentang makna kepriyayian. Penelitian selanjutnya yang penulis rekomendasikan adalah merangkum seluruh karya Umar Kayam menyangkut masalah kepriyayian dan kebudayaan Jawa yang tersebar dalam seluruh karya beliau baik fiksi maupun non-fiksi.

















Daftar Pustaka
1. Brahmana, M.SI., DRS. Pertampilan S. "Sistem Pengendalian Sosial." 2003: hal. 1-3. USU digital Library, Medan, Sumatera Utara, Indonesia. 20 November 2007 < http://library.usu.ac.id/download/fs/bhsindonesia-pertampilan.pdf>.
2. Geertz, Clifford. The Religion of Java. USA: The Free Press of Glencoe. 1960.
3. Kartodirdjo, Sartono dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan Peradaban Priyayi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1987.
4. Kayam, Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 2003.
5. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1994
6. "Konsekuensi Pengendalian Sosial." BamboomediaOnNet. 2007.25 November 2007. < http://mysimplebiz.info/tutorial/isi/sosiologi3.htm >.
7. Luthfi, Ahmad Nashih. Manusia Ulang-Alik: Biografi Umar Kayam. Jogjakarta: Eja Publisher. 2007.
8. Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1985.
9. Soekanto,S.H,M.A, Prof.Dr.Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: citra niaga Rajawali Pers. 1993.
10. Warren, Austin and Rene Wellek, Theory of Literature. Orlando: Harcourt Brace Javanovich. 1977.

RUMAH ADAT JAWA TENGAH

ARSITEKTUR JAWA TENGAH

Arsitektur atau Seni Bangunan yang terdapat di daerah Provinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Arsitektur Tradisional, yaitu Seni Bangunan Jawa asli yang hingga kini masih tetap hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa.
Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Yang merupakan bangunan pokok dalam seni bangunan Jawa ada 5 (lima) macam, ialah :
- Panggang-pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
- Kampung, yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja.
- Limasan, yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan de tengahnya.
- Joglo atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
- Tajug atau Masjid, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing.

Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang bukan hanya berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Dari kelima macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang selirang, gedang setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain.
Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu mempunyai sifat dan penggunaan tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci, umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug.
Rumah yang lengkap sering memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang tertentu, antara lain :
- pintu gerbang : bentuk kampung
- pendopo : bentuk joglo
- pringgitan : bentuk limasan
- dalem : bentuk joglo
- gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang
- dapur : bentuk kampung
- dan lain-lain.
Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan sendirinya rumah yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu, misalnya :
-- emper depan : untuk Pendopo
-- ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga
-- emper kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan
-- emper yang lain : untuk gudang dan dapur.

Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila ada banjir.
Dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua bagian kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan sebagainya.
Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa.
Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas pernyataan hidup yang bertolak dari tata krama meletakkan diri, norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya. Arsitektur ini pada galibnya menampilkan karya “swadaya dalam kebersamaan” yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara “jagad cilik” (mikrokosmos) dan “jagad gedhe” (makrokosmos).
Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa – sebagaimana halnya Bali dan daerah lain – adalah arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah satu bangunan dengan dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang tegar. Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai pembatas, bukan dinding pemikul. Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar dan jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa.
Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat melindungi ruang beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional.
Sumber utama untuk mengenal seni bangunan Jawa untuk untuk daerah Jawa Tengah adalah Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran. Juga peninggalan-peninggalan bangunan makam kuno serta masjid-masjid kuno seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dengan menaranya yang bergaya khusus, Makam Demak, Makam Kadilangu, Makam Mengadeg, dll.
Di samping seni bangunan Jawa asli yang berupa bangunan rumah tempat tinggal, terdapat juga seni bangunan Jawa peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça, semasa berkuasa di daerah Jawa Tengah. Bangunan semasa itu biasanya menggunakan bahan bangunan batu sungai, ada juga yang menggunakan batu merah, bahan kayu yang peninggalannya tidak kita jumpai lagi, tetapi kemungkinan dahulunya ada.
Fungsi bangunan-bangunan itu bermacam-macam : sebagai tempat pemujaan, tugu peringatan, tempat pemakaman, tempat bersemedi, dan sebagainya. Corak bangunan-bangunan agama itu ada yang agama Budha Mahayana, misalnya : Borobudur. Yang bercorak Trimurti, misalnya : Dieng. Sedangkan yang bercorak campuran dengan kepercayaan daerah setempat, misalnya : Candi Sukuh dan Çeta.

Bentuk Rumah Panggang-pe :
Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya.
Bentuk Rumah Kampung :
Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal.
Bentuk Rumah Limasan :
Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan emper atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk ngambang, lambang gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai tempat tinggal.
Bentuk Rumah Tajug :
Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal.
Bentuk Rumah Joglo :
Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (dalem).


B. Arsitektur Modern ; yaitu seni bangunan yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai corak campuran antara seni bangunan asli dengan pengaruh seni bangunan luar, atau campuran antara luar dengan luar atau asli luar. Paduan unsur seni bangunan yang satu dengan yang lain ini terutama terlihat pada konstruksi bangunannya, atau pada bentuk atapnya. Dari bagian yang mudah terlihat ini, misalnya pada atap, orang dapat mengenalnya dengan mudah bahwa bangunan itu unsur seninya perpaduan. Jenis bangunan yang termasuk arsitektur modern ini dapat berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah ibadah, gedung sekolah, gedung pertemuan, rumah makan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Masjid Kudus, yang selain berbentuk bangunan Jawa asli yaitu Tajug, juga memiliki menara yang berbentuk bale kul-kul seni budaya Bali, mempunyai pintu gerbang bergaya Persia. Kantor-kantor Pemerintahan peninggalan masa pemerintahan kolonial Belanda banyak yang memiliki pilar-pilar dengan Kapiteel Yonis, Doris atauKornilis.
Monumen-monumen yang termasuk Arsitektur Modern adalah ; Monumen Palagan Ambarawa, Monumen Diponegoro di Magelang, Monumen Tugu Muda di Semarang, dan lain-lainnya.

PERKAWINAN JAWA

Perkawinan Adat Jawa
Perkawinan atau sering pula disebut dengan pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah kehidupan setiap orang. Masyarakat Jawa memaknai peristiwa perkawinannya dengan menyelenggarakan berbagai upacara yang termasuk rumit. Upacara itu dimulai dari tahap perkenalan sampai terjadinya pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.


Nontoni


Pada tahap ini sangat dibutuhkan peranan seorang perantara. Perantara ini merupakan utusan dari keluarga calon pengantin pria untuk menemui keluarga calon pengantin wanita. Pertemuan ini dimaksudkan untuk nontoni, atau melihat calon dari dekat. Biasanya, utusan datang ke rumah keluarga calon pengantin wanita bersama calon pengantin pria. Di rumah itu, para calon mempelai bisa bertemu langsung meskipun hanya sekilas. Pertemuan sekilas ini terjadi ketika calon pengantin wanita mengeluarkan minuman dan makanan ringan sebagai jamuan. Tamu disambut oleh keluarga calon pengantin wanita yang terdiri dari orangtua calon pengantin wanita dan keluarganya, biasanya pakdhe atau paklik.


Nakokake/Nembung/Nglamar


Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, perantara akan menanyakan beberapa hal pribadi seperti sudah adakah calon bagi calon mempelai wanita. Bila belum ada calon, maka utusan dari calon pengantin pria memberitahukan bahwa keluarga calon pengantin pria berkeinginan untuk berbesanan. Lalu calon pengantin wanita diajak bertemu dengan calon pengantin pria untuk ditanya kesediaannya menjadi istrinya. Bila calon pengantin wanita setuju, maka perlu dilakukan langkah-langkah selanjutnya. Langkah selanjutnya tersebut adalah ditentukannya hari H kedatangan utusan untuk melakukan kekancingan rembag (peningset).


Peningset ini merupakan suatu simbol bahwa calon pengantin wanita sudah diikat secara tidak resmi oleh calon pengantin pria. Peningset biasanya berupa kalpika (cincin), sejumlah uang, dan oleh-oleh berupa makanan khas daerah. Peningset ini bisa dibarengi dengan acara pasok tukon, yaitu pemberian barang-barang berupa pisang sanggan (pisang jenis raja setangkep), seperangkat busana bagi calon pengantin wanita, dan upakarti atau bantuan bila upacara pernikahan akan segera dilangsungkan seperti beras, gula, sayur-mayur, bumbon, dan sejumlah uang.


Ketika semua sudah berjalan dengan lancar, maka ditentukanlah tanggal dan hari pernikahan. Biasanya penentuan tanggal dan hari pernikahan disesuaikan dengan weton (hari lahir berdasarkan perhitungan Jawa) kedua calon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pernikahan itu kelak mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga.


Pasang Tarub


Bila tanggal dan hari pernikahan sudah disetujui, maka dilakukan langkah selanjutnya yaitu pemasangan tarub menjelang hari pernikahan. Tarub dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa penyajian nasi tumpeng lengkap. Bersamaan dengan pemasangan tarub, dipasang juga tuwuhan. Yang dimaksud dengan tuwuhan adalah sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah, yang dipasang di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru ini nantinya cukup harta dan keturunan. Biasanya di kanan kiri pintu masuk juga diberi daun kelor yang bermaksud untuk mengusir segala pengaruh jahat yang akan memasuki tempat upacara, begitu pula janur yang merupakan simbol keagungan.


Midodareni


Rangkaian upacara midodareni diawali dengan upacara siraman. Upacara siraman dilakukan sebelum acara midodareni. Tempat untuk siraman dibuat sedemikian rupa sehingga nampak seperti sendang yang dikelilingi oleh tanaman beraneka warna. Pelaku siraman adalah orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon pengantin membasuh wajah (istilah Jawa: raup) dengan air kendi yang dibawa oleh ibunya, kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan kata-kata: "cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama". Setelah itu, calon penganten langsung dibopong oleh ayahnya ke tempat ganti pakaian.


Setelah berganti busana, dilanjutkan dengan acara potong rambut yang dilakukan oleh orangtua pengantin wanita. Setelah dipotong, rambut dikubur di depan rumah. Setelah rambut dikubur, dilanjutkan dengan acara "dodol dawet". Yang berjualan dawet adalah ibu dari calon pengantin wanita dengan dipayungi oleh suaminya. Uang untuk membeli dawet terbuat dari kreweng (pecahan genting ) yang dibentuk bulat. Upacara dodol dhawet dan cara membeli dengan kreweng ini mempunyai makna berupa harapan agar kelak kalau sudah hidup bersama dapat memperoleh rejeki yang berlimpah-limpah seperti cendol dalam dawet dan tanpa kesukaran seperti dilambangkan dengan kreweng yang ada di sekitar kita.


Menginjak rangkaian upacara selanjutnya yaitu upacara midodareni. Berasal dari kata widadari, yang artinya bidadari. Midadareni merupakan upacara yang mengandung harapan untuk membuat suasana calon penganten seperti widadari. Artinya, kedua calon penganten diharapkan seperti widadari-widadara, di belakang hari bisa lestari, dan hidup rukun dan sejahtera.


Akad Nikah


Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya akad nikah dilakukan sebelum acara resepsi. Akad nikah disaksikan oleh sesepuh/orang tua dari kedua calon penganten dan orang yang dituakan. Pelaksanaan akad nikah dilakukan oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama.


Panggih


Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembar mayang, kalpataru dewadaru yang merupakan sarana dari rangkaian panggih. Sesudah itu dilanjutkan dengan balangan suruh, ngidak endhog, dan mijiki.


Balangan suruh


Upacara balangan suruh dilakukan oleh kedua pengantin secara bergantian. Gantal yang dibawa untuk dilemparkan ke pengantin putra oleh pengantin putri disebut gondhang kasih, sedang gantal yang dipegang pengantin laki-laki disebut gondhang tutur. Makna dari balangan suruh adalah berupa harapan semoga segala goda akan hilang dan menjauh akibat dari dilemparkannya gantal tersebut. Gantal dibuat dari daun sirih yang ditekuk membentuk bulatan (istilah Jawa: dilinting) yang kemudian diikat dengan benang putih/lawe. Daun sirih merupakan perlambang bahwa kedua penganten diharapkan bersatu dalam cipta, karsa, dan karya.


Ngidak endhok


Upacara ngidak endhog diawali oleh juru paes, yaitu orang yang bertugas untuk merias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin, dengan mengambil telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan di dahi pengantin pria yang kemudian pengantin pria diminta untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endhog mempunyai makna secara seksual, bahwa kedua pengantin sudah pecah pamornya.


Wiji dadi

Upacara ini dilakukan setelah acara ngidak endhok. Setelah acara ngidak endhog, pengantin wanita segera membasuh kaki pengantin pria menggunakan air yang telah diberi bunga setaman. Mencuci kaki ini melambangkan suatu harapan bahwa "benih" yang akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi keturunan yang baik.


Timbangan


Upacara timbangan biasanya dilakukan sebelum kedua pengantin duduk di pelaminan. Upacara timbangan ini dilakukan dengan jalan sebagai berikut: ayah pengantin putri duduk di antara kedua pengantin. Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan bahwa keduanya seimbang, sama berat dalam arti konotatif. Makna upacara timbangan adalah berupa harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa.


Kacar-kucur


Caranya pengantin pria menuangkan raja kaya dari kantong kain, sedangkan pengantin wanitanya menerimanya dengan kain sindur yang diletakkan di pangkuannya. Kantong kain berisi dhuwit recehan, beras kuning, kacang kawak, dhele kawak, kara, dan bunga telon (mawar, melati, kenanga atau kanthil). Makna dari kacar kucur adalah menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya. Raja kaya yang dituangkan tersebut tidak boleh ada yang jatuh sedikitpun, maknanya agar pengantin wanita diharapkan mempunyai sifat gemi, nastiti, surtini, dan hati-hati dalam mengatur rejeki yang telah diberikan oleh suaminya.


Dulangan


Dulangan merupakan suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai simbol seksual, saling memberi dan menerima.


Sungkeman


Sungkeman adalah suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua pengantin putra maupun orangtua pengantin putri. Makna upacara sungkeman adalah suatu simbol perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua.


Kirab


Upacara kirab berupa arak-arakan yang terdiri dari domas, cucuk lampah, dan keluarga dekat untu menjemput atau mengiringi pengantin yang akan keluar dari tempat panggih ataupun akan memasuki tempat panggih. Kirab merupakan suatu simbol penghormatan kepada kedua pengantin yang dianggap sebagai raja sehari yang diharapkan kelak dapat memimpin dan membina keluarga dengan baik.


Jenang Sumsuman


Upacara jenang sumsuman dilakukan setelah semua acara perkawinan selesai. Dengan kata lain, jenang sumsuman merupakan ungkapan syukur karena acara berjalan dengan baik dan selamat, tidak ada kurang satu apapun, dan semua dalam keadaan sehat walafiat. Biasanya jenang sumsuman diselenggarakan pada malam hari, yaitu malam berikutnya setelah acara perkawinan.


Boyongan/Ngunduh Manten


Disebut dengan boyongan karena pengantin putri dan pengantin putra diantar oleh keluarga pihak pengantin putri ke keluarga pihak pengantin putra secara bersama-sama. Ngunduh manten diadakan di rumah pengantin laki-laki. Biasanya acaranya tidak selengkap pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita meskipun bisa juga dilakukan lengkap seperti acara panggih biasanya. Hal ini tergantung dari keinginan dari pihak keluarga pengantin laki-laki. Biasanya, ngundhuh manten diselenggarakan sepasar setelah acara perkawinan.


Makna atau Simbol yang Tersirat dalam Unsur Upacara Pernikahan


* Ubarampe tarub (pisang, padi, tebu, kelapa gading, dan dedaunan): bermakna bahwa kedua mempelai diharapkan nantinya setelah terjun dalam masyarakat dapat hidup sejahtera, selalu dalam keadaan sejuk hatinya, selalu damai (simbol dedaunan), terhindar dari segala rintangan, dapat mencapai derajat yang tinggi (simbol pisang raja), mendapatkan rejeki yang berlimpah sehingga tidak kekurangan sandang dan pangan (simbol padi), sudah mantap hatinya dalam mengarungi bahtera rumah tangga (simbol tebu), tanpa mengalami percekcokan yang berarti dalam membina rumah tangga dan selalu sehati (simbol kelapa gading dalam satu tangkai), dan lain-lain.

* Air kembang : bermakna pensucian diri bagi mempelai sebelum bersatu.

* Pemotongan rambut : bermakna inisiasi sebagai perbuatan ritual semacam upacara kurban menurut konsepsi kepercayaan lama dalam bentuk mutilasi tubuh.

* Dodol dhawet : bermakna apabila sudah berumah tangga mendapatkan rejeki yang berlimpah ruah dan bermanfaat bagi kehidupan berumah tangga.

* Balangan suruh : bermakna semoga segala goda akan hilang dan menjauh akibat dari dilemparkannya gantal tersebut.

* Midak endhog : bermakna bahwa pamor dan keperawanan sang putri akan segera hilang setelah direngkuh oleh mempelai laki-laki. Setelah bersatu diharapkan segera mendapat momongan seperti telur yang telah pecah.

* Timbangan : bermakna bahwa kedua mempelai mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan tidak ada bedanya di hadapan orang tua maupun mertua.

* Kacar-kucur : bermakna bahwa mempelai laki-laki berhak memberikan nafkah lahir batin kepada mempelai putri dan sebaliknya pengantin putri dapat mengatur keuangan dan menjaga keseimbangan rumah tangga.

* Dulangan : bermakna keserasian dan keharmonisan yang akan diharapkan setelah berumah tangga, dapat saling memberi dan menerima.

* Sungkeman : bermakna mohon doa restu kepada orangtua dan mertua agar dalam membangun rumah tangga mendapatkan keselamatan, dan terhindar dari bahaya.