Friday, 12 November 2010

Semar

Semar


Semar adalah putra Sanghyang Tunggal dan dewi Wiranti. Ia mempunyai dua saudara yaitu Sanghyang Antaga (Togog) dan Sanghyang Manikmaya (Batara Guru). 3 bersaudara itu berasal dari telur yang bercahaya. Ketika dipuja oleh Sanghyang Tunggal telur itu pecah kulitnya menjadi Togog, putihnya menjadi Semar dan kuningnya menjadi Batara Guru. Pada waktu di kahyangan Semar bernama Sanghyang Ismaya dan mempunyai istri Kanastri. Berputra sepuluh orang.

Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya.

Semar berwatak : sabar, jujur, ramah, suka humor. Setelah turun dari kahyangan ia menjadi abdi (panakawan) yang selalu memberi bimbingan bagi para kesatria. Pada waktu di kahyangan ia seorang yang tampan tapi setelah menjadi semar, dan turun ke arcapada (dunia) badannya menjadi gendut, pendek, dan berwajah lucu karena matanya selalu berair.

Diceritakan pada waktu Antaga, Ismaya, dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung."Barang siapa yang mampu menelan gunung kemudian mengeluarkan lewat duburnya maka akan mampu menjadi raja di tiga dunia (jagad luhur, madya, andhap). Antaga mencoba, tetapi tidak bisa malah mulutnya sobek dan matanya melotot. Sedangkan Ismaya dapat menelan gunung tapi tidak bisa mengeluarkannya sehingga perutnya buncit, menjadi besar dan matanya berair ( karena menahan sakit ). Sanghyang Manikmaya berhasil menelan gunung, ia diangkat menjadi raja di Kaendran atau Suralaya, juga menguasai jagad madya dan jagad andhap. Kemudian Ismaya ditugaskan oleh Sanghyan Wenang untuk turun ke bumi menjadi abdi para kestaria keturunan Witaradya termasuk leluhur pandawa.

Semar bertempat tinggal di Karang Kedempel, dengan nama semar Badranaya, dan mengangkat anak tiga orang yaitu : Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong disebut Punakawan, yang mempunyai arti teman yang setia. Punakawan selalu ikut kesatria yang membela kebenaran, dan selalu menjadi penghibur apabila junjungannya sedang sedih. Semar juga dapat menjadi sarana ketentraman dan kemuliaan bagi negara yang ditempatinya. Pandawa telah menganggap Semar seperti penasihatnya. Pandawa tahu bahwa Semar adalah dewa yang turun ke bumi untuk keselamatan dan keadilan. Selain itu punya watak arif bijaksana, tidak suka marah, suka bercanda.

Panakawan,pana artinya tahu, kawan artinya teman. Panakawan artinya : tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi tuannya (majikannya) dalam keadaan suka dan duka, penuh cobaan dan godaan untuk menuju arah kemuliaan.

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.

Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
Batara Wungkuham
Batara Surya
Batara Candra
Batara Tamburu
Batara Siwah
Batara Kuwera
Batara Yamadipati
Batara Kamajaya
Batara Mahyanti
Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.



Semar is a character in Javanese mythology who frequently appears in wayang shadow plays. He is one of the punokawan (clowns), but is in fact divine and very wise. He is the dhanyang (guardian spirit) of Java, and is regarded by some as the most sacred figure of the kotak (wayang set). He is said to be the god Sang Hyang Ismaya in human form.

The name Semar is said to derive from the Javanese word samar ("dim, obscure, mysterious"). He is often referred to with the honorific, "Kyai Lurah Semar" ("the venerable chief").

In depictions, Semar appears with a flat nose, a protruding lower jaw, a tired eye, and bulging rear, belly, and chest. He wears a checkered hipcloth, symbolizing sacredness. Like the other panakawan, the wayang kulit puppet does not have the elaborate openwork and ornamentation characteristic of the heroes. In wayang wong, Semar always leans forward, one hand palm up on his back and the other extended partly forward, moving up and down, with an extended forefinger.

By tradition Semar has three sons, the other punakawans in the wayang: Gareng, Petruk, and Bagong (Bagong does not appear in Surakarta-style wayang). In some wayangs, he has a brother Sarahita (or Sarawita), who is the servant-clown of a demonic hero.

As Semar is one of the few characters in wayang stories not from Indian mythology, his origin is obscure. One hypothesis is that he and his sons are old indigenous deities who became cursed and demoted to servants with the importation of the kshatriya heroes of the Indian epics. Semar also resembles the vidusaka clown figure of Indian Sanskrit drama.

In one version of the Babad Tanah Jawi (the Javanese creation myth), Semar cultivated a small rice field near Mount Merbabu for ten thousand years before there were any men. His descendents, the spirits of the island, came into conflict with people as they cleared fields and populated the island. A powerful Hindu-Moslem priest, unable to deviate from his king's orders to continue cultivating the island, provided Semar with a role that will allow his children and grandchildren to stay. Semar's role was to be a spiritual advisor and magical supporter of the royalty, and those of his descendents who also protect the humans of Java can remain there.

One genealogy of Semar is that he is the eldest descendent of God, and elder brother to Bathara Guru, king of the other gods; however, Semar became a man. Another genealogy says that he is the son of Adam and Eve. His brother Nabi ("prophet") Sis gave birth to various prophets, such as Jesus and Muhammad, from whom the various Western peoples are descended, while Semar ("Sayang Sis") gave birth to the Hindus and the Javanese. In either case Semar, in his awkward, ugly human form, represents at the same time god and clown, the most spiritually refined and outwardly rough
Semar and his sons first appear in the second part of the plays (pathet sanga), as the servants and counselors of whoever the hero of the wayang play is. In wayang plots Semar is never mistaken, and is deceptively powerful. He is the only character who dares to protest to the gods, including Batharu Guru (Shiva) and Batari Durga, and even compel them to act or desist.

He often represents the realistic view of the world in contrast to the idealistic. His role as servant is to cheer up those in despair and blunt the pride of the triumphant. Clifford Geertz compared his role vis-à-vis Arjuna to that of Prince Hal with his father in Shakespeare's Henry IV, and his role as critic of the play's worldview and antidote to pride as similar to Falstaff. It has also been suggested that Semar is a symbol of the peasantry, not otherwise incorporated in the palace hierarchies; that in some more popular forms of the drama, he and the other clowns dominate the royal heroes supports this idea.
Semar also appears on some ceremonial weapons, the pusaka of some important families. In this role he represents an ancestral figure.

There is a low rectangular candi on the Dieng Plateau known as Candi Semar, perhaps originally a treasury, but it is generally assumed by scholars that its name was given to the temple centuries after its erection. In Bali, the counterpart of Semar is Twalen.

Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Semar




Hatiku selembar daun...

Gareng

Gareng


GARENG anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diambil anak angkat pertama oleh Semar. Nama lain gareng adalah : Pancalpamor ( artinya menolak godaan duniawi ) Pegatwaja ( artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit. Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik).

Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. ciri fisik Gareng :
1.Mata juling, artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan/ tidak baik.
2.Tangan ceko (melengkung), artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
3.Sikil gejik (seperti pincang), artinya selalu penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.

Gareng senang bercanda, setia kepada tuannya, dan gemar menolong. Dalam pengembaraannya pernah menjadi raja bernama Prabu Pandu Bergola di kerajaan Parang Gumiwang. Ia sakti mandraguna, semua raja ditaklukkannya. Tetapi ia ingin mencoba kerajaan Amarta ( tempat ia mengabdi ketika menjadi punakawan).Semua satria pandawapun dikalahkannya. Sementara itu Semar, Petruk dan Bagong sangat kebingungan karena kepergian Gareng.

Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Krena, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.

Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola, Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.

Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.

Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
1.Jangan menilai seseorang dari wujud fisiknya. Budi itu terletak di hati, watak tidak tampak pada wujud fisik tetapi pada tingkah dan perilaku. Belum tentu fisiknya cacat hatinya jahat.
2.Manusia wajib saling mengingatkan.
3.Jangan suka merampas hak orang lain.
4.Cintailah saudaramu dengan setulus hati.
5.Kalau bertindah harus dengan penuh perhitungan dan hati-hati.

Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyrakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”. Gareng adalah purnakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam melangkahkan kaki. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.

Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap ksatria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan ksatria lain bernama Bambang panyukilan. Karena suatu kesalah pahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.

Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertuang (sulung) dari Semar.



Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gareng




Hatiku selembar daun...

Petruk

Petruk



Petruk adalah punakawan yang tinggi dan berhidung panjang. Dalam suatu kisah berjudul Petruk Menjadi Raja, dia memakai nama Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh.

Petruk adalah anak Gandarwa (sebangsa jin), menjadi anak angkat kedua Semar setelah Gareng.Nama lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Doblajaya, artinya pintar. Diantara saudaranya (Gareng dan Bagong) Petruklah yang paling pandai dan pintar bicara.

Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan) istrinya bernama Dewi Undanawati. Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momong, momot, momor,mursid dan murakabi.
1. Momong, artinya bisa mengasuh.
2. Momot, artinya dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah.
3. Momor, artinya tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung.
4. Mursid, artinya pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya.
5. Murakabi, artinya bermanfaat bagi sesama.

Pada suatu waktu Pandawa kehilangan jimat Kalimasada. kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran, keangkaramurkaan timbul dimana-mana. Jimat ini dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna) dengan disertai Petruk berusaha merebut jimat tersebut dari tangan Mustakaweni. Akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk.

Sementara itu ternyata Adipati Karna juga berhasrat memiliki jimat tersebut. petruk ditusuk dengan keris pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jalak, Petrukpun mati seketika. Atas kesaktian ayahnya (Gandarwa) Petruk dihidupkan lagi. Kemudian ayahnya tersebut ingin menolong Petruk dengan berubah wujud menjadi Duryudana. ketika Karna bertemu Duryudana jimat kalimasada diserahkan kepadanya. Betapa terkejutnya Karna mengetahui telah diperdaya oleh Gandarwa. Akhirnya jimat tersebut oleh Gandarwa diserahkan kembali kepada Petruk, dan dia menasehati kalau menghadapi musuh Petruk harus hati-hati dan jimat tersebut diminta untuk diletakkan di atas kepalanya. Ternyata setelah jimat tersebut diterapkan sesuai anjuran ayahnya Petruk menjadi sangat sakti, tidak mempan senjata apapun. Karna-pun dapat dikalahkannya.Tak terasa akhirnya Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. Petrukpun mengembara, semua negara ditakhlukkannya termasuk negara Ngrancang Kencana. Petruk menjadi raja disana dan bergelar Prabu Wel Keduwelbeh. Sedangkan raja yang asli menjadi bawahannya. Begitulah ketika Punakawan kalau sudah mengeluarkan kesaktiannya tidak ada manusiapun yang dapat menandinginya.

Ketika akan mewisuda dirinya, semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya hadir termasuk Astina. Yang belum hanya Pandawa, Dwarawati, dan Mandura. Semula ketiga raja negar tersebut tidak mau hadir, tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan akhirnya Raja Dwarawati (Prabu Kresna) menyerahkan hal ini kepada Semar. Oleh Semar Gareng dan Bagong diajukan sebagai wakil dari Dwarawati. Terjadilah peperangan yang sangat ramai antara Prabu Wel Keduwelbeh dengan Gareng dan Bagong, peperangan tidak segera berakhir karena belum ada yang menang dan belum ada yang kalah, sampai ketiganya berkeringat. Gareng dan Bagong akhirnya bisa mengenali bau keringat saudaranya Petruk dan yakin bahwa orang yang mengajak bertarung itu sesungguhnya adalah Petruk, maka mereka tidak lagi bertarung kesaktian tetapi malah diajak bercanda, berjoged bersama, dengan berbagai lagu dan tari. Wel Geduwelbeh merasa dirinya kembali ke habitatnya, lupa bahwa dia memakai pakaian kerajaan. Setelah ingat, ia segera lari meninggalkan Gareng dan Petruk. Wel Geduwlbeh dikejar oleh Gareng dan Bagong setelah tertangkap, sang prabu dipeluk dan digelitik oleh Bagong sampai Petruk kembali ke wujud aslinya.

Setelah terbuka semua Petruk ditanya oleh Kresna mengapa ia bertindak seperti itu. ia beralasan bahwa tindakan itu untuk mengingatkan tuannya bahwa segala perilaku harus diperhitungkan terlebih dahulu. Contohnya saat membangun candi Sapta Arga, kerajaan ditinggal kosong sehingga kehilangan jimat Kalimasada. Bambang Irawan jangan mudah percaya kepada siapa saja. Kalau diberi tugas sampai tuntas jangan dititipkan kepada siapapun. Setelah menjadi raja jangan sombong dan meremehkan rakyat kecil, karena rakyat kecil kalau sudah marah/ memberontak pimpinan bisa berantakan. Dengan cara inilah Petruk ingin menyadarkan tuannya, karena kalau secara terang-terangan pasti tidak dipercaya bahkan mungkin dimarahi.

Bagaimanapun Petruk merasa bersalah, kemudian ia minta maaf. Pandawapun akhirnya memaafkan Petruk dan dengan senang hati menerima nasihat Petruk.

Inti pendidikan budi pekerti yang bisa diambil dari cerita diatas :
1. Budi dan watak tidak dapat diukur dari penampilan/ fisik, tetapi dengan perilaku nyata.
2. Bawahan harus setia pada atasan
3. Mengerjakan tugas hingga tuntas dan diusahakan berhasil dengan baik
4. Jangan merebut hak dan milik orang lain
5. Semua tindakan harus dengan penuh perhitungan, jangan ceroboh dan tergesa-gesa mengambil keputusan.
6. Milikilah watak momong, momot, momor,mursid, dan murakabi
7. Kalau sudah mulia jangan terlena
8. Kalau salah harus berani mengakui dan meminta maaf.


Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Petruk



Hatiku selembar daun...

Bagong

Bagong



Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk. Diceritakan ketika itu Gareng dan Petruk minta dicarikan teman, sanghyang Tunggal bersabda :"Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri." Seketika itu bayangan berubah menjadi manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.

Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.

Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.

Inti pendidikan dan budi pekerti :
1. Hidup ini perlu hiburan
2. Setiap tindakan jangan tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, harus diperhitungkan terlebih dahulu, minimal dampak negatif dan positif yang akan timbul akibat dari perbuatan kita tersebut.
3. Pelajari berbagai macam watak/ karakter manusia agar kita bisa hidup bermasyarakat dengan baik.
4. Kejujuran modal utama dalam bermasyarakat, tanpa itu kita akan dijauhi oleh orang lain.

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar.

Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar merasa kesepian dan meminta diberi teman. Manumanasa menjawab bahwa temannya yang paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika itu pula, bayangan Semar pun berubah menjadi manusia, dan diberi nama Bagong.

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.

Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.

Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.

Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki satu orang anak saja, yaitu Bagong seorang. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut.

Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya. Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.



Source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bagong
Bagong/Jamblahita.




Hatiku selembar daun....

Demak di Era Hedonisme

Demak di Era Hedonisme


Muhajir Arrosyid

Demak dulu adalah sebuah kerajaan Islam pertama. Pada mulanya agama Islam sulit masuk dalam lingkungan masyarakat Jawa. Setidaknya dua kelompok menjadi tantangan Islam; lingkungan budaya Kejawen dan lingkungan budaya Istana Majapahit. Dengan keadaan yang demikian para penyebar agama Islam menekankan penyebaran dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama di daerah-daerah pesisiran. (Simuh, 2005).

Dengan menggunakan pendekatan budaya masyarakat pedesaan dan pesirir menerima Islam dengan mudah. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi saingan kebudayaan intelektual di lingkungan istana Majapahit.

Tradisi pesantren berkembang menjelma menjadi pemerintahan kecil dalam wilayah-wilayah tertentu. Bahkan di antaranya menjelma menjadi kesultanan, yakni kasultanan Demak. Puncaknya adalah kasultanan Demak tumbuh dan menumbangkan kekuasaan Majapahit.

Sampai hari ini masih kita tememukan jejak-jejak kerajaan Demak. Wujud kebudayaan fisik yang masih dapat kita saksikan hingga hari ini adalah Masjid Agung Demak dan makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Demak sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam masih tampak dengan keberadaan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru wilayah kabupaten Demak.

Jama’ah-jama’ah pengajian juga hampir ada di setiap kampung. Kesenian bernuansa Islam masih sangat kental di wilayah kabupaten Demak, seperti rebana, kentrung, zipin, kaligrafi, seni baca Al-Qur’an dan lain-lain.

Tapi Demak sekarang adalah Demak yang bingung memilih kebudayaannya. Antara budaya pesantren dengan budaya hedonis yang sedang mengejala. Generasinya adalah generasi yang resah antara kukuh dengan peninggalan masa lalu, berdiam diri bersedeku dalam pondok, atau ikut berjirak bersama alunan musik rock di lapangan Tembiring.

Peci-peci itu telah dilepas, digantikan potongan rambut punk, baju koko dan sarung dilepas digantikan celana dan baju junkis. Jilbab pada kaum perempuannya juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda.

Generasi Demak saat ini adalah generasi yang resah dan gamang. Dulu, tempat ini menjadi salah satu pusat intelektualitas pesantren yang mengancam intelektualitas kejawen dan priyayi Majapahit. Sekarang Intelektualitas pesantren mendapat ancaman.

Hedonisme, dan gaya hidup ‘gaul’ merebut sedikit demi sedikit namun pasti perhatian sebagian warga Demak. Pemindahan panitia penyelengara grebeg besar terakhir ini dari Pemkab menjadi swasta dengan tujuan pemenuhan target pendapatan agar lebih tingg membuktikan hal itui. Bintang tamu yang dihadirkan seperti dangdutan, Dara AFI, Didi Kempot tampak jelas bahwa unsur hiburan dan untung belaka yang ingin dicapai.

Mengapa kesenian Demak asli, seperti kentrung, rebana, zipin, seni baca Al Qur’an, dan lomba kaligrafi tidak di munculkan?

Masalah kebudayaan adalah masalah pandangan inferior dan pandangan superior terhadap jenis kebudayaan oleh masyarakatnya. Jika masyarakat Demak sudah menganggap kebudayaan asli lebih rendah nilainya di banding budaya baru maka ini adalah awal hancurnya kebudayaan lama. Kalau masyarakat Demak menganggap rebana lebih rendah mutunya dibanding group band, maka tidak lama lagi rebana akan hilang. Jika orang Demak menganggap tari zipin lebih rendah dari tari-tari modern, maka tidak lama lagi zipin juga akan punah. Jadi solusi yang harus ditempuh untuk menaggulangi kepunahan zipin, rebana, koko, peci dan yang lainnya adalah memperbaiki anggapan masyarakatnya.


Source:
http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=597&Itemid=99999999&limit=1&limitstart=1




Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (1)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (1)



Bermulalah kisah pada suatu petang sang kancil yang cerdik bersiar-siar didalam hutan belantara. Sedang ia bersiar-siar tiba-tiba sang kancil telah terjatuh ke jurang yang amat dalam. Ia cuba untuk keluar berkali-kali malangnya tidak berjaya.
Setelah segala usaha yang dilakukan adalah sia-sia, sang kancil pun berfikir;
“Macam mana aku nak keluar dari lubang yang sangat dalam ini”
Setelah lama berfikir namun tiada idea yang bernas untuk sang kancil keluar dari lubang tadi, namun sang kancil tetap tidak mahu berputus asa.
Dalam kebuntuan mencari idea, sang kancil telah terdengar bunyi tapak kaki yang besar.
“Kalau bunyi tapak kaki macamni, ni tak lain, mesti gajah ni!”
Kemudian Sang Kancil mendapat satu idea yang bernas untuk menyelamatkan diri untuk keluar dari lubang.
Kemudian sang gajah yang lalu itupun menegur sang kancil;
“Eh sang kancil, tengah buat apa?” Tanya si Gajah.
“Menyelamatkan diri!”
“Dari apa?” Tanya gajah lagi.
“Dari bahaya, cuba tengok atas, langit nak runtuh, dah hitam” Balas sang kancil.
Gajah yang dungu ini pun terus mempercayai sang kancil bulat-bulat.
“Habis tu macam mana nak selamatkan diri?” Tanya si gajah.
“Masuklah sekali dalam lubang ini, kalau langit runtuh pun selamat kita dekat sini”
Tanpa berfikir panjang sang gajah pun terus melompat ke dalam lubang untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian sang kancil pun mengambil kesempatan untuk melompat di atas badan gajah dan terus keluar dari lubang yang dalam itu.
“Haha, padan muka engkau, selamat aku” Kemudian sang kancil pun berlalu pergi meninggalkan sang gajah yang masih terpinga-pinga di dalam lubang tadi”.



Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (2)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (2)


Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. "Tolong! Tolong! " terdengar teriakan dan jeritan berulangulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari. "Ada apa, sih?" kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. "Kebakaran! Kebakaran!" teriak Kambing. "Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan!"
Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya. Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan temantemannya. "Aduh, napasku habis rasanya," Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. "Lho, di mana binatang-binatang lainnya?" Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. "Wah, aku berada di mana sekarang?
Sepertinya belum pernah ke sini." Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. "Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?" Kancil semakin takut dan bingung. "Tuhan, tolonglah aku." Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani. "Ladang sayur dan buahbuahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan," mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali! "Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali," kata Kancil sambil menelan air liurnya. "Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah." Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini.
Si Kancil nakal sekali, ya? "Hmm, sedap sekali," kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. "Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik." Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. "Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi," kata Kancil sambil menguap.
Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr... krr... krrr... Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. "Wah, pesta berlanjut lagi, nih," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku." Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. "Wow, itu dia yang kucari!" seru Kancil gembira. "Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besar-besar lagi! Wah, pasti sedap nih." Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. "Wow, sedap sekali sarapan timun," kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat.
Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. "Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini," kata Pak Tani geram. "Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?" Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. "Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! " omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. "Panen timunku jadi berantakan." Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan. Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. "Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kumisnya boleh juga. Tebal,' hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi... hi... hi.... Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia.
Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. "Aduh, Pak Tani kok lama ya," ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan. "Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu," Kancil bangkit dan berjalan ke ladang.
Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani. Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. "Benar-benar keterlaluan!" seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. "Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri." Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. "Hmm, pencurinya pasti binatang," kata Pak Tani. "Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya." Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. "Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya!" Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang.
Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket! Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani. "Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi," ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. "Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?" Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani.
Akhirnya dia tak tahan. "Ah, lebih baik aku ke sana," kata Kancil memutuskan. "Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis." "Maafkan saya, Pak," sesal Kancil di depan orang-orangan ladang itu. "Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?" Tentu saja orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orangorangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil. "Huh, sombong sekali!" seru Kancil marah. "Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?" gerutunya. Akhirnya Kancil tak tahan lagi.
Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu. "Lepaskan tanganku!" teriak Kancil jengkel. "Kalau tidak, kutendang kau!" Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orangorangan itu. "Aduh, bagaimana ini?" Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. "Nah, ini dia pencurinya!" Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. "Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku." Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. "Katanya kancil binatang yang cerdik," ejek Pak Tani. "Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha... ha... ha...." Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam.
Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate. "Aku harus segera keluar malam ini juga" tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku." Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. "Ssst... Anjing, kemarilah," bisik Kancil. "Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?" Anjing terkejut mendengarnya. "Apa? Aku tak percaya!
Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak." Kancil tersenyum penuh arti. "Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong!" Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajaknya pergi ke pesta. "Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani," janji Kancil. "Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?" Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk.
Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang. "Terima kasih," kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. "Maaf lho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya." Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang.


Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (3)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (3)



Pada suatu pagi, Sang Kancil pergi mencari makanan. Sang Kancil ternampak sebatang pokok jambu. Sang Kancil terliur hendak makan buah jambu. Di atas pokok jambu itu, tinggal seekor monyet. Sang Kancil lalu meminta pada Sang Monyet, "Wahai Sang Monyet, berikanlah aku sebiji jambu!"
Tetapi Sang Monyet enggan memberikan buah jambu kepada Sang Kancil. "Kalau engkau mahu makan, engkau panjatlah sendiri," Sang Monyet berkata dengan sombong. Sang Kancil mendapat suatu akal. Sang Kancil membaling monyet itu dengan sebatang kayu kecil.
Apalagi! Marahlah Sang Monyet. Sang Monyet memetik beberapa biji jambu. Sang Monyet segera membaling jambu itu ke arah Sang Kancil. Namun, Sang Kancil pandai mengelak. "Ha! Ha! Ha!" Sang Kancil ketawa. Sang Kancil sangat gembira.
"Engkau kena tipu," kata Sang Kancil kepada Sang Monyet. Sang Monyet terdiam apabila mendengar Sang Kancil berkata begitu."Sekarang aku dapat makan buah jambu," ujar Sang Kancil. Sang Kancil segera makan buah jambu itu. "Pandai sungguh Sang Kancil memperdayakan aku," kata Sang Monyet di dalam hatinya. Sang Monyet berasa malu.




Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (4)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (4)


Pada zaman dahulu Sang Kancil adalah merupakan binatang yang paling cerdik di dalam hutan. Banyak binatang-binatang di dalam hutan datang kepadanya untuk meminta pertolongan apabila mereka menghadapi masalah. Walaupun ia menjadi tempat tumpuan binatang- binatang di dalam hutan, tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang sombong malah sedia membantu pada bila-bila masa saja.

Suatu hari Sang Kancil berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari makanan. Oleh kerana makanan di sekitar kawasan kediaman telah berkurangan Sang Kancil bercadang untuk mencari di luar kawasan kediamannya. Cuaca pada hari tersebut sangat panas, menyebabkan Sang Kancil berasa dahaga kerana terlalu lama berjalan, lalu ia berusaha mencari sungai yang berdekatan. Setelah meredah hutan akhirnya kancil berjumpa dengan sebatang sungai yang sangat jernih airnya. Tanpa membuang masa Sang Kancil terus minum dengan sepuas-puasnya. Kedinginan air sungai tersebut telah menghilangkan rasa dahaga Sang Kancil.

Kancil terus berjalan-jalan menyusuri tebing sungai, apabila terasa penat ia berehat sebentar di bawah pohon beringin yang sangat rendang di sekitar kawasan tersebut. Kancil berkata didalam hatinya "Aku mesti bersabar jika ingin mendapat makanan yang lazat-lazat". Setelah kepenatannya hilang, Sang Kancil menyusuri tebing sungai tersebut sambil memakan dedaun kegemarannya yang terdapat disekitarnya. Apabila tiba di satu kawasan yang agak lapang, Sang Kancil terpandang kebun buah-buahan yang sedang masak ranum di seberang sungai."Alangkah enaknya jika aku dapat menyeberangi sungai ini dan dapat menikmati buah-buahan tersebut" fikir Sang Kancil.

Sang Kancil terus berfikir mencari akal bagaimana untuk menyeberangi sungai yang sangat dalam lagi deras arusnya. Tiba-tiba Sang Kacil terpandang Sang Buaya yang sedang asyik berjemur di tebing sungai. Sudah menjadi kebiasaan buaya apabila hari panas ia suka berjemur untuk mendapat cahaya matahari.Tanpa berlengah-lengah lagi kancil terus menghampiri buaya yang sedang berjemur lalu berkata " Hai sabahatku Sang Buaya, apa khabar kamu pada hari ini?" buaya yang sedang asyik menikmati cahaya matahari terus membuka mata dan didapati sang kancil yang menegurnya tadi "Khabar baik sahabatku Sang Kancil" sambung buaya lagi "Apakah yang menyebabkan kamu datang ke mari?" jawab Sang Kancil "Aku membawa khabar gembira untuk kamu" mendengar kata-kata Sang Kacil, Sang Buaya tidak sabar lagi ingin mendengar khabar yang dibawa oleh Sang Kancil lalu berkata "Ceritakan kepada ku apakah yang engkau hendak sampaikan".

Kancil berkata "Aku diperintahkan oleh Raja Sulaiman supaya menghitung jumlah buaya yang terdapat di dalam sungai ini kerana Raja Sulaiman ingin memberi hadiah kepada kamu semua". Mendengar saja nama Raja Sulaiman sudah menggerunkan semua binatang kerana Nabi Sulaiman telah diberi kebesaran oleh Allah untuk memerintah semua makhluk di muka bumi ini. "Baiklah, kamu tunggu di sini, aku akan turun kedasar sungai untuk memanggil semua kawan aku" kata Sang Buaya. Sementara itu Sang Kancil sudah berangan-angan untuk menikmati buah-buahan. Tidak lama kemudian semua buaya yang berada di dasar sungai berkumpul di tebing sungai. Sang Kancil berkata "Hai buaya sekelian, aku telah diperintahkan oleh Nabi Saulaiman supaya menghitung jumlah kamu semua kerana Nabi Sulaiman akan memberi hadiah yang istimewa pada hari ini". Kata kancil lagi "Beraturlah kamu merentasi sungai bermula daripada tebing sebelah sini sehingga ke tebing sebelah sana".

Oleh kerana perintah tersebut adalah datangnya daripada Nabi Sulaiman semua buaya segera beratur tanpa membantah. Kata Buaya tadi "Sekarang hitunglah, kami sudah bersedia" Sang Kancil mengambil sepotong kayu yang berada di situ lalu melompat ke atas buaya yang pertama di tepi sungai dan ia mula menghitung dengan menyebut "Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk" sambil mengetuk kepala buaya begitulah sehingga kancil berjaya menyeberangi sungai. Apabila sampai ditebing sana kancil terus melompat ke atas tebing sungai sambil bersorak kegembiraan dan berkata" Hai buaya-buaya sekalian, tahukah kamu bahawa aku telah menipu kamu semua dan tidak ada hadiah yang akan diberikan oleh Nabi Sulaiman".

Mendengar kata-kata Sang Kancil semua buaya berasa marah dan malu kerana mereka telah di tipu oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Sang Kancil apabila bertemu pada masa akan datang. Dendam buaya tersebut terus membara sehingga hari ini. Sementara itu Sang Kancil terus melompat kegembiraan dan terus meniggalkan buaya-buaya tersebut dan terus menghilangkan diri di dalam kebun buah-buahan untuk menikmati buah-buahan yang sedang masak ranum itu.




Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (5)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (5)


Ada seekor beruang coklat bertubuh gendut. Ia selalu terpesona mendengar burung- burung bernyanyi riang. Beruang coklat ingin bisa bernyanyi atau bersiul tapi ia tak mampu. Suatu hari ia tersesat di lading
dekat perkampungan. Ia sangat takjub melihat anak gembala meniup seruling dengan suara yang merdu sekali. Beruang kembali masuk hutan dan menceritakan pengalamannya itu kepada kancil. Suatu hari kancil berjalan- jalan. Sampailah ia di rerumpunan pohon bambu. Karena capek ia istirahat di tempat itu.
Tiba- tiba ia mendengar deritan suara bamboo yang cukup merdu walau tak semerdu seruling gembala. Mendengar derit bamboo. Timbul sifat jailnya. Ia punya gagasan gila untuk temannya si beruang.
Berhari- hari kancil mencari beruang. Akhirnya ia temukan juga si beruang yang sedang mandi di sebuah
telaga. “cil! Kita berendam, udara sangat panas nih!” sapa beruang.
“hai beruang…” kata kancil. “kau kan suka musik? Ayo ikut aku, kutunjukkan konser musik alami yang
sangat merdu sekali.
“wah, benarkah, cil? Ayo kita berangkat!”
Dari kejauhan beruang melihat kancil seolah- olah sedang mempermainkan seruling dari bambu.
“Cil, daripada aku melihat, ajarilah aku mempermaikan seruling itu,”kata beruang sambil mendekati
kancil.
“Boleh, julurkan lidahmu, tempelkan ke celah seruling bamboo yang panjang ini,”kata kancil.
Kancil segera bersiul memanggil angin. Tak beberapa lama angin bertiup sepoi-sepoi cukup untuk
menggoyang-goyangkan pohon bamboo. Bamboo berderit, menjerit ujung lidah beruang, beruang menjerit kesakitan untung ia segera mencabut lidahnya. Sadarlah se beruang, kancil sengaja menipunya. Tapi ia tidak marah, sebab derit suara bamboo itu memang terdengar merdu. Begitu merdunya derit suara bamboo itu sehingga membuat beruang terlena dan akhirnya ia tertidur lelap.




Hatiku selembar daun...

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (6)

Apakah Kisah Kancil Mengajari Anak Jadi Penipu?? (6)



Pada suatu hari ada seekor kerbau jantan hendak minum air. Kerbau itu berjalan melalui satu lorong menuju ke sungai. Sungai itu agak luas. Airnya cetek aja, jenih dan sejuk. Kerbau itu mengharung air. Air itu hanya setakat lutut sahaja. Kerbau itu menuju ke tengah-tengah sungai kerana air di bahagian tengah sungai lagi jernih. Ketika menghirup air, kerbau terdengar sesuatu di tepi sungai. Kerbau merenung ke arah uara itu. Kerbau ternampak air terhambur naik di tebing sungai.
"Tolong! Tolong! Tolong aku, kerbau!" tiba-tiba terdengar suara dari tepi sungai dekat rimbunan buluh. Kerbau cuba memerhati dan meneliti suara itu. Kerbau ternampak sesuatu berbalam-balam dari jauh seperti batang kelapa ditindih sebatang kayu. Suara meminta tolong terus bergema. Merayu-rayu bunyinya. Kerbau mendekati suara itu. Rupa-rupanya ada seekor buaya ditindih oleh pokok kayu, betul-betul di tengah belakangnya.Oh, buaya! Kenapa ini?" tanya kerbau. "Tolong aku, kerbau! Aku ditimpa oleh pokok yang tumbang. Aku tidak boleh bergerak. Berat sungguh batang kayu ini," jawab buaya. Kerbau kasihan melihat buaya. Kerbau cuba mengangkat kayu itu dengan tanduknya. Apabila batang kayu terangkat, buaya cepat-cepat melepaskan dirinya. Sebaik-baik sahaja kerbau menghumban kayu itu ke bawah, buaya segera menangkapnya.
"Eh, buaya! Kenapa ini?" tanya kerbau apabila dirasai kakinya digigit buaya. "Aku hendak makan kau. Hari ini kau menjadi rezeki aku," jelas buaya sambil menggigit lebih kuat lagi. "Kaulah binatang yang amat jahat dalam dunia ini. Tidak tahu membalas budi. Orang berbuat baik, kau balas jahat," kata kerbau.
"Sepatutnya buat baik dibalas baik. Buat jahat dibalas jahat," sambung kerbau lagi. "Aku tidak peduli," jawab buaya. Kerbau cuba menanduk buaya tetapi buaya menguatkan lagi gigitannya. Kerbau tidak mampu melepaskan diri kerana berada dalam air. Kalau buaya menariknya ke bawah tentulah ia akan lemas. Kerbau merayu supaya buaya tidak membunuhnya. "Janganlah bunuh aku, buaya! Aku pun mahu hidup. Kau makanlah benda lain," kerbau merayu. Tetapi buaya tetap tidak peduli. "Aku boleh melepaskan kau tetapi dengan satu syarat," kata buaya. "Apakah syaratnya?" tanya kerbau. "Kita cuba dapatkan jawapan, betul atau tidak bahawa berbuat baik dibalas baik? Kita tanya apa-apa yang lalu di sini," ujar buaya. "Kalau jawapannya sama sebanyak tiga kali, aku akan bebaskan kau," ujar buaya lagi.
Kerbau bersetuju dengan syarat yang dicadangkan oleh buaya. Mereka bersama-sama menunggu sesiapa sahaja yang lalu atau yang hanyut di dalam sungai itu. Tiba-tiba mereka ternampak sebuah saji yang buruk hanyut. Buaya pun bertanya pada saji. "Saji, betulkah berbuat baik dibalas baik?" tanya buaya. "Tidak betul. Berbuat baik dibalas jahat," jawab saji. Saji menceritakan kisah hidupnya. "Di rumah, aku digunakan untuk menutup makanan. Nasi, lauk, kuih, dan apa-apa sahaja aku lindungi," jelas saji. "Pendek kata, aku banyak menolong dan berbakti kepada tuan aku. Kucing dan tikus tidak boleh mencuri lauk. Aku lindungi," cerita saji. "Tetapi aku amat sedih, apabila aku buruk dan koyak, tidak berdaya lagi menutup makanan, aku dibuang ke sungai," ujar saji. "Itulah sebabnya aku berkata berbuat baik dibalas jahat," saji menamatkan ceritanya dan terus hanyut."Macam mana kerbau? Betul atau tidak apa yang aku kata?" tanya buaya. Kerbau berdiam diri kerana berasa cemas dan sedih. Kerbau berdoa di dalam hati supaya Tuhan menolongnya. "Tuhan tentu akan menolong orang yang baik," kata kerbau dalam hatinya. Tidak lama kemudian, kelihatan sepasang kasut buruk pula hanyut di situ. Sebelah daripada kasut itu tenggelam kerana tapaknya tembus. Tetapi kasut itu bergantung kepada pasangannya dengan tali. Kedua-dua belah kasut itu bersama-sama hanyut. "Hah, itu satu lagi benda hanyut! Kita cuba tanya," kata buaya. "Kasut, betul atau tidak berbuat baik dibalas baik?" tanya buaya. Kerbau berdebar-debar menunggu jawapan kasut. Kalau kasut bersetuju dengan kenyataan itu bererti ia akan selamat. Kalau kasut berkata tidak betul, habislah riwayatnya. "Tidak betul kerana berbuat baik dibalas jahat," jawab kasut. Hancurlah harapan kerbau untuk hidup apabila mendengar kasut memberi jawapan itu. Kasut lalu bercerita.Pada suatu masa lalu, kasut amat disayangi oleh tuannya. Setiap hari kasut dibersihkan dan dikilatkan. Apabila malam, kasut itu disimpan di tempat selamat. Kasut itu juga hanya dipakai oleh tuannya apabila pergi ke bandar sahaja. Kalau tuannya pergi ke tempat berpasir atau berlumpur, kasut itu tidak dipakainya. Tetapi apabila sudah buruk, kasut itu tidak disayangi lagi. Badannya tidak dikilatkan lagi. Kasut itu dibaling ke tepi tangga selepas digunakan. Apabila malam, kasut itu ditinggalkan di halaman rumah. Kasut itu dibiarkan berembun dan berhujan. Ketika itu juga, kasut itu menjadi tempat persembunyian katak puru untuk menangkap nyamuk. Apabila sudah terlalu buruk dan koyak, kasut itu dibuangkan ke dalam sungai. "Itulah sebabnya aku hanyut ke sini," kasut menamatkan ceritanya lalu pergi bersama-sama arus air. "Sudah dua jawapan. Engkau kalah. Tetapi aku bagi satu peluang lagi," kata buaya. "Kalau datang yang ketiga, sama jawapannya, engkau akan menjadi habuanku," jelas buaya kepada kerbau.Ketika kerbau dan buaya menanti kedatangan benda yang ketiga, tiba-tiba datang seekor kancil hendak minum air. Kancil itu pergi ke tebing tempat buaya dan kerbau. Kancil terkejut apabila melihat buaya menggigit kaki kerbau. Kancil melihat air mata kerbau berlinang. Manakala buaya pula kelihatan bengis. "Ada apa kerbau? Kenapa buaya gigit kaki engkau?" tanya kancil. "Mujurlah engkau datang, kancil! Kami sedang menunggu hakim yang ketiga untuk mengadili kami," kata buaya. "Mengapa?" tanya kancil. "Kami bertengkar, berbuat baik adalah dibalas jahat," kata buaya. "Tetapi kenapa kamu gigit kaki kerbau?" tanya kancil. Buaya lalu bercerita mengenai dirinya yang ditindih batang kayu. Kerbau datang menolong. Tetapi buaya tidak mahu membalas perbuatan baik kerbau. Buaya menganggap kerbau itu patut menjadi rezekinya. "Tetapi sebelum aku memberikan keputusan, aku mahu tengok kejadian asalnya," kata kancil. "Mula-mula aku kena tindih batang pokok patah. Batang pokok itu jatuh menimpa belakang aku," jawab buaya. "Boleh aku tengok macam mana pokok itu berada di atas belakang kau?" tanya Kancil. "Macam mana aku hendak tunjukkan, kerbau sudah alihkan batang kayu itu," jawab buaya. "Baiklah! Sekarang engkau pergi duduk tempat asal, tempat engkau kena tindih," ujar kancil. Buaya mengikut sahaja arahan kancil. Buaya melepaskan kaki kerbau lalu duduk dekat batang pokok. "Kerbau! Cuba engkau tunjukkan, bagaimanakah kayu itu berada di atas belakang buaya? Tunjukkan padaku, bagaimanakah caranya engkau mengangkat batang kayu itu?" kancil mengarah seperti hakim. Kerbau melakukan apa yang disuruh oleh kancil. "Cuba engkau bergerak, buaya! Bolehkah kayu itu diangkat?" kancil mengarah buaya. Buaya cuba bergerak dan mengangkat batang pokok itu tetapi tidak berdaya. "Cuba lagi, seperti engkau mula-mula kena tindih," kata kancil. "Up! Up!" bunyi suara buaya cuba mengalih batang pokok. "Kuat lagi! Kuat lagi!" seru kancil.Buaya terus mencuba tetapi tidak berupaya melepaskan diri. Buaya cuba mengumpul kekuatan untuk mengangkat batang kayu itu, tetapi gagal. Ekornya sahaja membedal air tetapi batang kayu tetap itu tidak bergerak. Buaya sudah penat. Kerbau pula menunggu arahan kancil. "Selepas itu apakah yang terjadi?" tanya kancil. "Selepas itu aku datang menolong. Aku mengangkat batang pokok itu. Apabila buaya terlepas, ia gigit kaki aku," jawab kerbau. "Bagaimanakah cara kamu mengangkatnya?" tanya kancil. Kerbau segera mendekati batang pokok itu. Kerbau menundukkan kepala hendak engangkat batang kayu itu. "Sudah! Setakat itu dulu. Aku sudah faham. Jangan angkat kayu itu," kata kancil. "Habis itu macam mana pula dengan buaya? Tentu buaya akan mati," jawab kerbau. "Engkau ini sangat lurus dan jujur, wahai kerbau!" kata kancil. "Biarlah buaya ini mati. Kalau buaya ini hidup, engkau tentu mati. Buaya yang jahat ini patut menerima balasannya kerana tidak tahu membalas budi baik," kata kancil lalu berlari naik ke atas tebing sungai. Buaya bertempik apabila mendengar kata-kata kancil. Buaya tahu ia sudah kena tipu. Buaya membedal ekornya dengan sekuat-kuat hatinya. Air sungai melambung naik. Kerbau segera melompat lalu berlari naik ke atas tebing mengikut kancil. "Jaga, kancil! Kautipu aku. Ingat, kancil! Aku akan makan kau," pekik buaya. Namun, kancil dan kerbau tidak mempedulikan buaya lagi. Kerbau mengucapkan terima kasih kepada kancil. Kedatangan kancil ke tebing sungai itu telah menyelamatkan nyawanya. Buaya sudah menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu.
"Engkau ini sangat lurus dan jujur, wahai kerbau!" kata kancil. "Biarlah buaya ini mati. Kalau buaya ini hidup, engkau tentu mati. Buaya yang jahat ini patut menerima balasannya kerana tidak tahu membalas budi baik," kata kancil lalu berlari naik ke atas tebing sungai. Buaya bertempik apabila mendengar kata-kata kancil. Buaya tahu ia sudah kena tipu. Buaya membedal ekornya dengan sekuat-kuat hatinya. Air sungai melambung naik. Kerbau segera melompat lalu berlari naik ke atas tebing mengikut kancil. "Jaga, kancil! Kautipu aku. Ingat, kancil! Aku akan makan kau," pekik buaya. Namun, kancil dan kerbau tidak mempedulikan buaya lagi. Kerbau mengucapkan terima kasih kepada kancil. Kedatangan kancil ke tebing sungai itu telah menyelamatkan nyawanya. Buaya sudah menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu.




Hatiku selembar daun...

Serat Centini (New Release)

Serat Centini (New Release)



Sinom

1. Sri narpadmaja sudigbya, talathing nuswa Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik. Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.


2. Lajere kanang carita, laksananing Jayengresmi, ya Seh adi Amongraga, atmajeng Jeng Sunan Giri, kontap janma linuwih, oliya wali mujedub, paparenganing jaman, Jeng Sultan Agung Mantawis, tinengran srat kang Susuluk Tambangraras.


3. Karsaning kang narpaputra, baboning pangwikan Jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi, nemlikur Sabtu Paing, lek Mukaram wewarseku, Mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama dewa ri, Amawulu Wogan Suajag sumengka.


4. Pancasudaning Satriya, wibawa lakuning geni, windu Adi ansa Sapta, sangkala angkaning warsi. Paksa sudi sabda ji, ringkang pinurwa ing kidung, duk kraton Majalengka, Sri Brawijaya mungkasi, wonten maolana sangking nagri Juddah


5. Panengran Seh Walilanang, praptanira tanah Jawi, kang jinujug Ngampeldenta, pinnggih sang maha resi, araraosan ngelmi, sarak sarengat Jeng Rosul, nanging tan ngantya lama, linggar saking Ngampelgadhing, ngidul ngetan anjog nagri Balambangan.


6. Lereh dhusun Purwasata, raja Balambangan nagri, putrannya estri sajuga, ing warna tuhu linuwih, sedheng mepek birahi, kataman gerah sang ayu, madal sakeh usada, sang nata agung prihatin, kyana patih Samboja sowan mangarsa.


7. Pukulun amba tur wikan, wonten molana ngajawi, kakasih Seh Walilanang, sangking ing Juddah nagari, ing Purwasata kampir, yen pinareng tyan pukulun, prayoga ingaturan, manawi karsa sang yogi, sung usada gerahe putra narendra


8. Mangkana dupi miyarsa, aturing sang nindyamantri, langkung kapareng in driya, nulya utusing ngaturi, sapraptaning jro puri, sang nata gupuh amethuk, riwusnya tata lenggah, miwah katuran pambagi, amedharken kang dadnya rentengin driya.


9. Seh Walilanang wus sagah, nulya ingusadan aglis, gerahe sang putri mulya, ramebu sukanya ngenting, karsanya narapati, Seh Wali pinundhut mantu, ing karya tan winarna, dennira amangun kardi, atut runtut lir mimi lawan mintuna.


10. Wus lami neng Balambangan, Seh Wali matur sang aji, kinen santun agamEslam, sarengat Nabi sinelir, nata tan mituruti, seh cuweng tyas lolos dalu, kesah maring Malaka, garwa tinilar (ng)garbini, sang retna yu sakalangkung kawlasarsa.


11. Sapengkere sang pandhita, pangering agung (n)dhatengi, kawula kathah kang pejah, benduning sri narapati, maring rekyana patih, den lungsur darajadipun, ki Samboja sru merang, kesah maring Majapahit, anyuwita Sang Aprabu Brawijaya.


12. Kaanggep tur kinasiyan, tinandur aneng in Giri, nahan tan antara lama, Ki Samboja angemasi, pinetak Giru ugi, sadaya tilaranipun, lastantun ingkang garwa, kaceluk Nyi Randha Sugih, angluwihi samoaning wong dedagang.


13. Mangsuli ing Blambangan, rajaputri kang (ng)garbini, wus ambabar mijil priya, warnanya kalangkung pekik, karsanira sang aji, linabuh mring samudra gung, sinadhahan gendhaga, sawuse aneng jaladri, gya ingalap juragan kang lagya layar.


14. Binuka ingkang gendhaga, isi jabang bayi pekik, ingaturken mring nyi randha, langkung trustanireng galih, dhasar datan sisiwi, mila sihira kalangkung, lir putra (ng)gennya yoga, sinung aran Santrigiri, sawusira yuswa kalih welas warsa.


15. Nyi randha lon ngandika, dhuh kulup sira wus wanci, pisah lawan raganingwan, aywa kulineng gegramin, becik ngupaya ngelmi, sarengan Jeng Nabi Rosul, kene ana pandhita parab Sunan Nganpelgadhing, Surapringga prayoga kawulanana.


16. Sawulange Sang Pandhita, pitutuhen lair batin, poma kaki ywa pepeka, cinekak cariyosneki, Santrigiri wus manjing, nyakabat mring jeng sinuhun, siyang dalu tan pisah, lan putra ing Ngampelgadhing, kan sinuhun ran ingkang rama Santri Bonang.


17. Tulus dennira kakandan, tan ana salayeng kapti, pangaose wus widagda, sampurna sakehing ngelmi, karsanya rarywa kalih ayun kesah angelangut, ngaos mring nagri Mekah, mancal saking Ngampelgadhing. nitih palwa labuh jangkar neng Malaka.


18. Kapanggih Seh Walilanang, datan samar ing salirang. kandheg neng nagri Malaka, maguru Seh Wali Siding, sawusing (n)tuk sawarsi, sadyanira rajasunu, dumugekaken karsa, lajeng mring Mekah nagari. Walilanang sakalangkung datan rembag.


19. Kinon wansul ing ngajawa, maring wukir Ngampilgadhing, sarta pinaringan jungkat, kalawan jubah kulambi, nahan ta santrigiri, sampun sinungan jujuluk, nengih Prabu Setmata, Santribonang sinun nami, Prabu Nyakrakusuma Susunan Bonang.


20. Nulya bidhal angajawa, wangsul maring Ngampelgadhing, pinanggih sang maha tapa, wus katur sasolahneki, sang resi ngandika ris, kawruhanta iku kulup, Seh Walilanang Mlaka, mitrungsun saeka kapti, ing pangawruh lair batin tan sulaya.


21. Lah jebeng siryo muliya, maring ing ngarameng Giri, kawruhhanamu renanta, ing samengko nandhang sakit, tumekeng ngajalneki, mung nganti tekamu kulup, renanta yen palastra, kuburen aneng ing Giri, tunggalena kalawan sudarmanira.


22. Lawan sunideni sira, jumeneng Susunan Giri, jujuluk Prabu Sermata, tembe ing sapungkur mami, sira ingkang (m)bawani, jumeneng wali linuhung, sinuhun sak-rat Jawa, kabeh padha welas asih, kalengkengrat sinebut raja pandhita.


23. Nanging ywa kaliru tanpa, dudu ratu mangku nagri, sira wus tan kakilapan, obah osik donya ngakir, wus cukup wekas mami, Sunan Giri nembah nuhun, anulya ngraup pada, lengser saking Ngampelgadhing, tanpa kanthi gancangin cariyos prapta.





Kinanthi

1. Ing Giri apan wus tundhuk, kang ibu grahe ngranuhi, rinubung sakeh juragan, rawuhe Jeng Sunan Giri, karamating waliyolah, kan ibu dipunperiki


2. Kagyat wungu nulya ngrangkul, kinuswa-kuswa kang siwi, waspa adres marawayan, sasambatnya melas-asih, dhuh lae atmajaningwang, kang dadya telenging ati.


3. Kurang sathitik katrucut, kulup tan menangi mami, nyawa dene teka lawas, (ng)goniro pruhita ngaji, lae-lae ora nyana, yen bisa katemu maning.


4. Mangkya guwayamu mancur, wenes mancorong nelahi, baya oleh kanugrahan, jeng sunan turira aris, ibu pangestu paduka wus katur sasolahneki.


5. Kang ibu suka kalangkung, kulup sampurnakna mami, umanjing agama islam, nulya sinadatken aglis, kalimah loro winejang, kang ibu padhang mampani.


6. Kulup wus padhang tyasingsun, datan sumelang ing ati, sira kariya raharja, tetepa (ng)gonmu mengkoni, batihmu para sudagar, isining asrameng Giri.


7. Tembe ing sapungkuringsun, sakehe dunyarta mami, sidhekahna kang warata, pekir miskin anak yatim, lawan tukokna amanat, kaji mring Mekah nagari.


8. Poma kulup wekasingsung, Ni Samboja nulya lalis, sawusira binersiyan, layon kinubur tinunggil, lan raka Kyai Samboja, ing mangkya titiyang Giri.


9. Lastantun pamundhinipun, ing gusti Jeng Sunan Giri, samya kapanjingan iman, nglampahi sarengat Nabi, ngibadah andarus Kur’an, kathah kang iyasa masjid.


10. Gemah arjane kalangkung, tan ana kang laku jati, samya cekap nyandhang mangan, adoh ingkang dadya miskin, tentrem ciptane raharja, wong ngamanca kathah prapti.


11. Kabanjur tan arsa mantuk, kalajeng wisma ing Giri, raja pandhita Setmana, jujuluk Sunan Giri, Gajah Kadhaton minulya, kawentar ing liya nagri.


12. Miwah wus pinundhut mantu, ing Suhunan Ngampelgadhing, dhinaupken lan putrinya, Nyai Ageng Ratu nami, atut dennya palakrama, lestantun ngantya sisiwi.


13. Wowolu estri myang jalu, Nyai Ageng angrumiyini, kondur maring rahmatolah, layon sumare anunggil, marasepuh estri priya, garwa putra gung prihatin.


14. Sigeg ganty kang winuwus, Brawijay Narapati, miring pawartos sanyata, ing mangkya Susunan Giri, linulutan sakeh janma, nungkul tan kalawan jurit.


15. Sang prabu utusan gupuh. Gajahmada kyana patih, kinen lumampah priyangga, mukul prang Giri Garesik, tan cinatur lampahira, wus prapta jajahan Giri.


16. Gegere kadya pinusus, kang katrajang samya ngili, minggah kadhaton Prawata, Jeng Sunan Giri marengi, anyerat manendhak Kur’an, kagyat miring suwaraning.


17. Tiyang alok mungsuh rawuh, sumedya ngrisak in Giri, kalam ingkang kagem nyerat, anulya binucal aglis, andodonga ing Pangeran, sinembah ing sakapti.


18. Kalam lajing dadya dhuwung, cumlorot ngamuk pribadi, pramadya ing Majalengka, kathah ingkang angemasi, sakantune kang palastra, pra samya lumayu (ng)gendring.


19. Mantuk marang Majalagnu, sawusira mengsah gusis, dhuwung wus wangsul privadya, sumeleh ing ngarsaneki, panyeratan sang pandhita, sarta akukathah getih.


20. Kagyat risan amanengkung, miyat dhuwung kuthah getih, dahat panalangsanira, dyan dodonga mring Hyang Widdhi, mugi Allah ngapuntena, solah amba ingkang sisip.


21. Sang pandhita ngandika rum, marang ing wadyanireki, kabeh padha piyarsakna, myang aneksenana sami, katgeki sun wehi aran, si Kalammunyeng prayogi.


22. Sakeh wadya saur manuk, wus samnya kalilan mulih, mring wismane sowang-sowang, lestantun asrameng Giri, jumenengnya Jeng Susunan, Pramu Setmana linuwih.


23. Gemah arjane kalangkung, saya wewah wadyaneki, tan ana kang kasangsaya, nahan wus antara lami, Sunan Giri nandhang gerah, kpareng praptaning takdir.


24. Kundur mring rahmatolahu, gumer tangis ing jro puri, wandu sandawa sungkawa, layon suwasing baresih, sinarekken nora tebah, sangking padalemaneki.


25. Sedanira tilar sunu, sadasa kakung lan putri, kang kalih sangking ampeyan, Pangran Pasirbata nengih, kalawan Siti Rohbayat, wowolu sangking pademi.


26. Kasebut Nyai Geng Ratu, putra sepuh sinung nami, Ratu Gedhe ing Kukusan, nulya Sunan Dalem nenggih, katrinira apanengran, Susuhunan Tegalwangi.


27. Catur Nyi Geng saluluhur, panca Sunan Kidul nenggih, Ratu Gedhe Saworasa, Sunan Kulon kang sumendhi, Sunan Waruju ragilnya, wau ta ingkang winardi.


28. Sasampunira pangubur, kumpul para wadya Giri, angrembag ingkang gumantya, mandhireng Susunan Giri, pra wadya wus golong rembag, Sunan Dalem kang gumanti.


29. Gya ingangkat ajujuluk, Sunan Giri kping kalih, Susunan Giri Kadhatyan, garwa kakalih pademi, tan mashur ing panjenengan, Jus Sunan wus prapteng jangji.


30. Kundur mring rahmatulahu, ugi sumare ing Giri, atilar putra sadasa, (m)bajeng Sunan Sedamargi, panenggaknya apeparab, Sunan Giri Prapen Adi.


31. Tri Nyi Geng Kuruganngurun, Nyi Geng Ngulakan kang Sukci, Pangran Lor Pangran Dheket sad. Pangran Bongkok nulya Nyai, Ageng Waru arinira, pangeran Bulu sumendhi.


32. Wragil Pangran Sedalaut, paripurna kang wus swargi, rembag kang yoga gumantya, kempal sakehe kan dasih, Sunan Parapen ingangkat, linuwih lir eyang swargi.


33. Mandhireng Giri Kandhatun, jujuluk maksih lestari, Sunan Giri Prapen dibya, suut kang wadya gung alit. kawentar ing liyan prja, tan pegat kadya ing nguni.


Megatruh

1. Ya ta wau sang parbu ing Majalangu, sampun amiyarsa warti, lamun Sunan Giri prabu, Setmana wus angemasi, mangkya wayahe gumantos.


2. Ajujuluk Sunan Prapen Giri luhung, lalajone kadya nguni, sang wiku tan arsa nungkul, marang nagri Majapahit, dadya sru bendu sang katong.


3. Dhawuh maring Ki Gajahmada nindya nung, miwah kinanthem pra wiwi, angirid wadyabala gung, kinen ngrabaseng ing Giri, wus samapta nulya bodhol.


4. Sunan Prapen wus mireng badhe ginempur, mring sang prabu Majapait, wus budhal caraken prabu, kya patih myang rajasiwi, balane lir samodra rob.


5. Sunan Prapen sampun sanega ing pupuh, karsanira nanggulangi, mring carakeng Majalagu, tan dangu mengsah kaeksi, nulya pinapak prang popor.


6. Wadya Giri kasoran ing yudanipun, kathah ingkang nandang kanin, tanapi tumekang lampus, Sunan Prapen angoncati, sagarwa putra wus lolos.


7. Lajeng ngungsi maring sapinggirin laut, binasmenan kitha giri, sadaya wus dadya awu, rajabana denjarahi, rajaputra tindak alon.


8. Dhumateng ing astanira sang wiku, Sunan Giri kang wus swargi, ingkang rumeksa ing kubur, tyan kakalih samya dhengking, rawuhe sang priwira nom.


9. Para wadya dhinawuhan kinen (n)dhudhuk, gya tumandang sagung dasih, halate sang maha wiku, cihnaning wali linuwih, singa celak anggaloso.


10. Kalesedan sambat ngadhuh-adhuh lampus, kang kantun kalangkung giris, bramantya sang rajasunu, tumandang pribadi ajrih, merang lamun tan kalakon.


11. Dadnya dhawuh marang tyang kalih kang tunggu, kinin angdhudhuk den aglis, binilaen yen tan purun, pasthi tumekeng in lalis, kinarya coban kris waos.


12. Tyang kakalih tan suwala nulnya (n)dhudhuk, dupi prapta blabak jati, tutuping tabelanipun, binuka saking sakedhik, nulya ana ingkang miyos.


13. Warni kombang tan petungan kathahipun, mabur ngebeki wiyati, maniyub lir langit rubuh, nembuh wadya Majapait, dennya naggulang pakewoh.


14. Pinarjaya tan keguh ngentub pikantuk, bingung wadya Majapait, ting bilulung rebut dhucung, dennira angungsi urip, seleh gagamaning pupoh.


15. Samya kuchung gedabikan kenen entub, sirah rapet ngroyok sikil, ngaruara sambat bingung, prapat nagri Majapait, kombang anglut datan kegoh.


16. Sang aprabu Brawijaya langkung gugup, tan kawawa nanggulangi, dadya tilar prajanipun, sawadya balanireki, gusis praja tan ana wong.


17. Nungsi tebih dupi kombang wrus wus suwung, wangsul mring nagrinya malih, siji tan ana kang kantun, sang aprabu Majapait, sawadya wangsul ngadhaton.


18. Aprasetya sang aprabu Majalangu, datan nedya malih-malih, nyiraka dhateng sang wiku, ngamungena ingkang uwis, ing tyas datan walangatos.


19. Kacariyos tyang kaling kang ngreksa kubur, kanugrahan mantu dhengkling, gagancangan lampahipun, anusul Jeng Sunan Giri, ingkang lagya amakuwon.


20. Kawlasarsa aneng satepining laut, tyang kalih marek tur uning, ing mangkya mengsah wus larut, jalaran tinempuh dening kombang ingkang mapak pupoh.


21. Mandhul-madhul palayune numbuk bentus, tilar gagamaning jurit, samya ngungsi gesang (n)jruntul, tan ana ingkang tinolih, swarane pating galembor.


22. Sampun katur ing purwa wasananipun, dalah waluyaning dhengkling, sang wiku kalangkung sukur, (d)dedonga marang Hyang Widdhi, rahayu ywa na pakewoh.


23. Nulya kundur tan cinatur laminipun, wus papirurna ing nguni, eca tyase para wadu, satengah ana kang kibir, sajeg tan na mungsuh rawoh.


24. Sunan Giri datan sama jangkanipun, lamun kraton Majapait, wus andungkap sirnanipun, jalarane sangking siwi, dyah Patah mijil karaos.

Mijil

1. Santun sarengatira Jeng Nabi, Muhkammad kinaot, mila Kangjeng Sunan Giri Prapen, lajeng tedhak mring Demak nagari, kumpul lan pra wali, mukmin miwah jamhur.

2. Wusing bedhah nagri Majapait, mekrad sang akatong, jro kadhaton tan ana isine, Sunan Giri nyelani dadya ji, mung pat puluh ari, nenggih laminipun.


3. Anyarati supadi icaling, labeting karaton, ratu Budha gya jumeneng rajeng, musing antuk kawan dasa ari, Jeng Susunan Giri, masrahken kaprabun.

4. Maring Radyan Patah anampeni, wus jumeneng katong, aneng nagri Demak angrehake, ing rat Jawi Jeng susunan Giri, sarampungeng kardi, wus linilan kundur.



5. Sawusira risak Demak nagri, pindhah Pajang kraton, adipati Pajang kang mandhireng, mantu sultan Bintara mungkasi, ing Demak nagari, ngreh wadya sewagung.

6. Kangjeng sultan Pajang kang winarni, wusing madeg katong, karsa nyuwun idi mring Prapen, Kyai Ageng Mantaraman umiring, sagunging bupati, kebat tan na kantun.

7. Sultan Pajang sarawuhin Giri, kagyat ing tyas anon, pasanggrahan (m)banjeng aneng ngare, pra bupati kang samya sumiwi, ing Jeng Sunan Giri, pondhoke pinatut.

8. Sunan Prapen duk miyos tinangkil. Sulatan Pajang gupoh, asumewa sareng bupatya keh, lenggah jejer ngarsane sang resi, ingayap pra dasih, neng pungkuranipun.

9. Wusing pepak kang samya anangkil, sunan ngandika lon, jebeng Pajang di kapareng kene, sus alenggah caket lan sang resi, angandika aris, winor manis arum.

10. Putraningsun kang padha anangkil, ywa na walangatos, den narima marang ing papasthen, ing samengko ki Pajang dipati, ingsun wus ngideni, ing jumenengipun.

11. Sultan mengku ing Pajang nagari, sudibya kinaot, binanthara tan ana samine, babundhele ing satanah Jawi, kalipahing Widdhi, saru ajuluk.

12. Sultan Prawu Awijaya lewih, karsane Hyang Manon, neksenana pra sutengsun kabeh, atus paksi sakehing bupati, mangayubayani, dhawuhing sang wiku.

13. Nulya mundhut dhahar wus umijil, saking jro kedhaton, tinata ing pandhapa madyane, Sunan Prapen sultan Pajang tuwin, kang para bupati, wus bujanan kembul.

14. Sang pandhita angandika malih, dhuh pra siswaningong, sultan Pajang myang bupati kabeh, enggonira akekadang kaki, ywa salayeng budi, diatur arukun.

15. Raharjeng tyas sukur ing Hyang Widdhi, karsane Hyang Manon, ana kang tinitah dadi gedhe, ana kang tinitah dadi cilik, papasthening Widdhi, basane asnapun.

16. Datan luwih sun tetedheng Widdhi, anak putuningong, donya akir salameta kabih, kang sinabdan samya saur paksi, tutug dennya bukti, linorot mring wadu.

17. Sunan Giri tinarbukan Widdhi, waspadeng pangawroh, datan samar lalakon in tembe, ingkang tansah pinancer ing liring, Ki Ageng Mantawis, cahyannya umancur.

18. Angandika Jeng Susunan Giri, mring jeng sultan alon, jebeng Pajang lah ta sapa kae, baturmu kang mangan angereni, sapa araneki, kangjeng sultan matur.

19. Rencang amba patinggi Mantawis, nami karan enggon, angreh siti sadhomaskaryane, sang pandhita angandika malih, dhawuhana kaki, linggih jajar patut.

20. Lawan para siswengsun bupati, sandika kang kinon, Kyai Ageng Mantaram wus Jejer, heh sanggyaning siswengsun bupati, wruhanamu kaki, tutunne si kulup.

21. Kin Mantaram besuk wus pinasthi, angreh sakehe wong, ing satanah Jawa iki kabeh, nadyan Giri kene tempe ugi, ngidhep ing Mantawis, kyageng lajeng ngujung.

22. Konjen siti nenedha Hyang Widdhi, widadaning dhawoh, saha matur mring Sunan Parapen, sakalngkung sru nuwun kapundhi, lulusing sabda ji, tetepe kang wahyu.

23. Duh pukulun patikbra ngaturi, dhuwung wus mirantos, amung dadya pratandha yektine, sungkem amaba timbalan sang yogi, sunan ngandika ris, sun tarima kulup.

24. Nangin ingsun paringaken bali, apan kacariyos, samya resep pra dipati kabeh, aningali Ki Ageng Mantawis, raja pandhita di, gya mucung dhadawuh.






Pucung

1. Lah ta kulup para bupati sadarum, ingsun iyasakna, talaga kang luwih adi, tur sandika pra wadya nulya tumandang.


2. Dhudhuk-dhudhuk tan pantara nuli rampung, dados kang talaga, luwih adi towa wening, gilar-gilar lir pendah kaca brenggala.


3. Wusing katur sinung ran Talagapatut, jeng sultan kalawan sagunging para bupati, wus linilan mring prajane sowang-sowang.


4. Tan cinatur nagri Pajang risakipun, pindhah ing Mantaram, ingkang jumeneng narpati, putranira nenggih Ki Ageng Mantaram.


5. Risam Sutawijaya jujulukipun, kanjeng Panembahan, Senapati ing Mantawis, lulus wirya gemah arja prajanira.


6. Panembahan Senapati ing Mantarum, ngyektekken wirayat, dhawuhe Susunan Giri, ing nalika sowannya jeng sultan pajang.


7. Panembahan Senapati nulya ngutus, abdi kinen sowan, maring Giri kanthi tulis, prapteng Giri sang wiku lagya sineba.


8. Serat katur tamating pamaosipun, mesem angandika, heh caraka ing Mantawis, pakenira matura Ki Senapatya.


9. Lamun ayun nyatakken wirayatingsung, gustimu turana, nglurung maring bang-wetan nuli, wus pinasthi karsane Allah Tangala.


10. Lamun ratu Mantaram ing tembenipun, ngrata tanah Jawa, sanadyan ing Giri iki, uga teluk marang in nagri Mantaram.


11. lokilmakpun tan kena owah sarambut, jamane walikan, kawula dumadya gusti, ingkang gusti sayekti dadi kawula.


12. Pratandhane wus katon Pajang Mantarum, iku dadya cihna utusan wus nyuwun pamit, mantuk marang Mantaram agegancangan.


13. Wus sumiwi ing ngabyantara sang prabu, wus katur sadaya, welnga Jeng Sunan Giri, tan pantara lami sri nata Mantaram.


14. Bidhal nglurug mring bang-wetan kang jinujug, ing nagari Japan, sagunging para bupati, ing bang-wetan wus kumpul aneng ing Japan.


15. Kacariyos ing Giri sang maha wiku, wus miyarsa warta, lamun sang prabu Mantawis, ngepung Japan para bupati bang-wetan.


16. Pacak baris tutulung paguting pupuh, Jeng Sunan ing Arga utusan akanthi tulis, tyang sadasa gegancangan marang Japan.


17. Praptanipun ing Japan nulya kinampul, wong agung Mantaram, myang bang-wetan pra bupati, wusing pepak duta Giri aturira.


18. Dhuh wong agung Mantaram saha wong agun, bang-wetan sadaya, lambah kawula tinuding, ing Jeng Sunan Giri akanthi nawala.


19. Ulun waos pribadi mring terangipun, sami kapyarsakna, suraose kanang tulis, dateng Giri manengah maos nawala.


20. Layangingsun Jeng Sunan Giri dhumawuh, marang putraningwang, Senapati ing Mantawis, lan mring putraningsun Pangran Surabaya.


21. Liring layang (ng)gonira ayung prang pupuh. rebut panjenengan, ingsung pan ora nglilani, krana bakal keh pepati tan prayoga.


22. Tembe lamun ana karsane Hyang Agung, pamiyaking Sukma. andhap luhur wus pinasthi, pan tinemu ing samengko durung mangsa.


23. Balik padha nganggoa budi rahayu, lestari kekadang, sun asung babasan kaki, wadhah lawan isi endi piniliya.


24. Sung ideni salah siji pamilihmu, isi apa wadhah, sawusira samya milih, prajanjya setnya susetyaning driya.


25. Dun asukur takdiring Hyang Kang Maha Gung, singa piniliya, iku wus tan kena gingsir, pan tinemu ing wuri kaananira.


Pangkur
1. Yen uwis pamilihira, umantuka marang nagrinireki, ingsun sung raharjeng laku, marang ing sira padha, wus atiti kang serat nulya tinutub, Senapati angandika, lah yayi Surawesthi.


2. Kadiparan karsanira, andikane panembahan ing Giri, mung yayi kalawan ingsun, kang tumraping nawala, kinen milih wadhah lawan isinipun, pundi to ingkang kinarsan, yayi miliya kariyin.


3. Ulun narima tampikan, duk miyarsa Pangeran Surawesthi, ing tyas samana pakewuh, wusana angandika, kakang Senapati Ngalaga Mantarum, kencenge malah kawula, ulun milih kanang isi.


4. Kakang kabageyan wadhah, Senapati Ngalaga ngandika ris, yayi kula wadhahipun, ingiih sampun narimah, duten Giri atas pamiyarsanipun, gya pamit mring panembahan, miwah mring para adipati.


5. Panembahan Senapatya, sampun kundur maring nagri Mantawis, wong agung bang-wetan sampun, umantuk sowang-sowang, tan cinatur duteng Giri lampahipun, prapteng ngarsa atur sembah, matur solahnya tinuding.


6. Dhuh gusti kawuninganan, putra tuwan Pangeran Surabanggi, kinen amilih rumuhun, mring Kangjeng Senapatya, Surawesthi kang pinilih isinipun, wadhahipun Panembahan, narimah atampi isi.


7. Mesem Jeng Sunan ing Arga, wruhanira kodrat tan kena gingsir, basa wadhah nagri iku, isine apan janma, tembe nagri bang wetan kareng Mantarum,isi yen tan manut marang, ingkang adarbe nagari.


8. Sayekti tan kena ngambah, yen ambadal sayekti tekeng pati, dadi kudu amiturut, marang kang duwe wadhah, enengena ing Giri ganya winuwus, nenggih praja-di Mantaram, Penembahan Senapati.


9. Dennira jumeneng nata, laminira pan namun tigang warsi, lajeng puput yuswanipun, ginantyan ingkang putra, Pangran Adipati Anom ing Mantarum, jujuluk Jeng Susuhunan, Diningrat Anyakrawati.


10. Amung kalih welas warsa, laminira jumeneng narapati, jeng susunan nulya surut, ginantyan narpatmaja, Pangran Adipati Anom ing Mantarum, jujuluk Kanjeng Susunan, Sultan Agung ing Mantawis.


11. Prabu Anyakrakusuma, duk punika Pangeran Surawesthi, anyedahi pra tumenggun, mancanagri bang wetan, wusing pepak neng Surabaya sadarum, ngrembag arsa manut ing prang, ngrabaseng nagri Mantawis.


12. Subiyantu abiprawa, pra bupati tan ana nhulani, enjing gya budhal gumuruh, sagunging balakuswa, kampir ngujung astana Giri Kedhatun, undure sangking astana, sowan ing Jeng Sunan Giri.


13. Wus sepuh Jeng Sunan Arga, prapteng ngarsa jeng sunan ngendika ris, dhuh babo atmajaningsun, paran kang dadya karsa, dene padha tumeka ing ngarsaningsun, apa na karya kang gatya, Jeng Pangeran Surawesthi.


14. Myang Dipati Singasekar, matur nembah mring Kangjeng Sunan Giri, apunten dalem sang wiku, amba myang para kadang wus sarembag arsa ngrabaseng Mantarum, nyuwun idi sang pandhita, miwah pangestu basuki.


15. Jeng sunan aris ngandika, ing samengko pan durung mansa kaki, para bupati umatur, kang ambrih legaweng tyas ngidenana sang wiku paring pangestu, jeng sunan aris ngandika, mokal bedhaha Mentawis.


16. Ing samengko wong bang wetan, malah padha ngnsia kang prayogi, tan wurung binoyong besuk, marang nagri Mantaram, Pangran Surawesthi tan kendhak tyasipun, myang sagunging para dipatya, wusing ngujung ing sang resi.


17. Ngandika sang wiku raja, yen mangkono padha karsanireki den ngati-ati kulup, ingsun pasrah Hyang Suksma, legi pait ing tembe pasthi katemu, sanggyaning para dipatya, wusing ngujung sang aresi.


18. Bidhal saha wadyakuswa, tan cinatur solahireng ngajurit, wasanira kaplayu, ungguling Ngesiganda, wong agunge Mantaram tan ana segu, para bupati bang wetan, palasaran undurneki.


19. Ana kang tumekeng pejah, ana kanin ana kang nungkul aris, ing Mantaram saya mashur, kadibyane sang nata, kasektene para punggawa nung-anung, winongwong karatonira, kinasiyann ing Hyang Widdhi.


20. Gemah ripah tur raharja, tata tentrem sagunge wadya alit, lumintu ganjaran prabu, sagunge pra dipatya, tyas raharja datan ana kang sakuthu, ajrih asih mring narendra, samya tuhu lair batin.


21. Nahan raharjaning praja, yen ginunggung sawengi datan uwis, ing mangkya piruweng kidung, Narendra ing Mantaram, Sultan Agung Sri Anyakrakusumeku, lagya miyos siniwaka, pepak ingkang samya nangkil.


22. Wadyabala myang santana, Panembahan Purbaya munggeng ngarsi, tan pegat tinantun-tantun, jeng sultan ris ngandika, inggih uwa Purbaya pawartosipun, Pengeran ing Surabaya, ing mangke pun sampun lalis.


23. Kang kantun mung anakira, Ki Mas Pekik pambajenge kang siwi, uwa punika kersengsun, timbali mring Mantaram, ingsun arsa uninga ing warninipun, panembahan atutrira, punika langkung utami.


24. Ulun umiring sakarsa, sri narendra pangandikannya aris, Alap-alap ingsun ututs, marang ing Surabaya, timbalan Pangran Pekik Surengkewuh, telas ingkang pangandika, jengkar anggambuh tinangkil.


Gambuh
1. Wus lepas lampahipun, alap-alap prapteng Surengkewuh, laju maring Ngrarempah dhukuhireki, Pangran Pekik gupuh-gupuh, amethuk carakeng katong.


2. Wus ingancaran lungguh, Pangran Pekik awacana arum, paman ulun atur pambagya basuki, Alap-alap matur nuwun, (n)dhawuhken timbalan katong.


3. Jeng Pangran sowan ulun, pan ingutus rakanta sang prabu. Gusti Kangjeng Sultan Agung ing Mantawis, maringaken kang pangestu, mring andika sakaloron.


4. Jeng pangran matur nuwun, sasampng maringken pangestu, dhawuh nata paduka dipun timbali, sagarwa putra myang wadu, ulun ingkang kinen (m)boyong.


5. Jeng Pangran aturipun, adhuh paman kamayangan tuhu, dejeng sultan karsa nyaruwe wong pekir, ina papa aneng dhukuh, datan supena sajingklong.


6. Tan suwala regengsung, kadyangganing sarah aneng laut, ing sakarsa jeng sultan ulun umiring, tan nedya sawaleng kayun, lumuntur dhawuhin katong.


7. Ki Tumenggung duk ngrungu, ing ature manis amlas ayun, agresing tyas gya umatur ing sang Pekik, bilih marenken sang bagus, benjing-enjing lajeng bodhol.


8. Jeng pangran wacana rum, sakalangkung prayogi man menggung, ulun lajeng tata-tata sapuniki, paman sakanca sadarum, prayogi rereh neng pondhok.


9. Jeng pangran gya dhadawuh, marang garwa sakulawargeku, kinen samya pradadosan sadayeki, yun sumiweng mring Mantarum, ribut samya dandos-dandos.


10. Ki Alap-alap gupun, nuding wadu nimbali tumenggung, Surabaya Ki Sapanjang kang wawangi, tan dangu anulya rawuh, Ki Sapanjang dhawuh katong.


11. Jeng pangran sowanipun. mring mantaram bidhal sesuk-esuk, jengandika sawadya kinen umiring, sarta rumekso ing pungkur, kacekape kulo borong.


12. Ki Sapanjang agupuh, paparentah mring sakehe wadu, abusekan sakeh wadya Surawesthi, wus mirantos sadayeku, enjinge anulya bodhol.


13. Lon-lonan lampahipun, ing lamine lampah tan winuwuh, prapteng dhusun Butuh arereh saratri, kangjeng pangran dalu ngujung, marang ing astana Butoh.


14. (n)Dedagan amanengkung, palaling Hyang wanci lingsir dalu, Pangran Pekik miyarsa swara dumeling, uraing swara sung tuduh, lah Ki Pekik karseng Manon.


15. Wruhanta sira besuk, darbe putu jalu tur binagus, amandhireng nata gung ing tanah Jawi, ngreh wadya bacingah agung, nangin angalih kadhaton.


16. Mring tanah Pajang iku, sakulone kutha prenahipun, aran dhukuh Wanakarta tembe dadi, praja Kartasura mashur, dene jujuluking katon.


17. Jeng Susuhunan Mangku,-rat Senapati ing Ngalageku, Ngabdurahman Sayiding Panatgami, sepping swara kagyat wungu, ing wanci awaling Suboh.


18. Miyose wus pingguh, lawan juru kunci tengga pintu. Pangran Pekik wawartos mring jurukunci, denyantuk wansit ing dalu, ki jurukunci anjongblong.


19. Sinembah*) saha matur. sakalangkung bingahe tyas ulun, sukur-sukur alahamdulillahi rabil, Hyang Surya wus mungub-mungub, jeng pangeran lajeng bodhol.


20. Datan kawarneng ngenu, wus angancik ing kitha Mantarum, ki tumenggung Alap-alap ngrumiyini, atur uninga sang prabu, sigeg gantya winiraos.


21. Sang prabu ing Mantarum, ri tiningkil munggeng siti luhur, Panembahan Purubaya wus sumiwi, myang wadya bala supenuh, munggeng ngabyantara katon.


22. Datan antara dangu, ki tumenggung Lap-alap mangayun, nembah matur ulun kinen animbali, Pangran Pekik Surengkewuh, mangkya wus sumiweng katong.


23. Sagarwa putranipun, Ki Sapanjang sawadya tut pungkur, suka ing tyas sang prabu ngandika aris, lah uwa Purubayeku, kadipundi kang linakon.


24. Mangke sadhatengipun, dhimas Pekik napa bekti ingsun, utawine piyangbake ingkang bekti, Purubaya nembah matur, kinanthet lawan suraos.


*) Prayoganipun anyembah.

Kinanthi
1. Sangking ing pamanah ulun, pangeran ing Surawesthi, ing kang layak ngabektiya, ing pada dalem sang aji, kawon luhur kang darajat, panjenengan dalem aji.


2. Mandhireng prajeng Mantarum, ing rat Jawi mung satunggil, kalihdene tinimbalan,d atan sawala ing kapti, sampun kalampahan sowan, ing ngabyantara narpati.


3. Asrah jiwa raganipun, kangjeng sultan duk miyarsi, aturipun ingkang uwa, kalangung trusha ing galih, nahan Pangran Surabaya, sagarwa sampun sumiwi.


4. Pepe kidul wringin-kurung, sasolahe amlasasih, duk uninga sri narendra, dhawuh kinen animbali, anggandhek tundhuk pangeran, ingirit minggah sitinggil.


5. Andhadhap amundhuk-mundhuk, cingak kang samya ningali, miyat warnanya pangeran, mirit*) kangjeng sri bupati, kantun senenge kang cahya, kantun semu kantun sigit.


6. (n)Dungkap prapteng ngarsa prabu, caket dennira sumiwi, tumungkul konjem pratala, ri wusira mangenjali, wangkinan sineleh kanan, gya mangraub pada aji.


7. Saha matur arawat luh, pegat-pegat winor tis-tis. dhuh gusti kalengkaning rat. musthikaning tanah Jawi, patut pinundhi sinembah, jumeneng kalipah Widdhi.


8. Ambeg pinandhita tuhu, santa budi mirah asih, mardikeng rat tyas kumala. ngecani manahing dasih, mrih arja ayu tan pegat, kasudarman winor manis.


9. Santana wadya lit agung, tan ana kataman bengis, winor ing sakarsanira, kinajrihan lair batin, pra wadya ing Ngeksiganda winengku pramarta ji.


10. Kasujanan ambeg sadu, linangkung kasusreng bumi, sumbageng rat pinasthika, waskitha ngreh ing patitis, kangos ing ganda angambaar, kinasihan ing Hyang Widdhi.


11. Saudibya prawireng kewuh, kinajrihan kanan-kering, ngagem agama minulya, sasat jengandika Nabi Muhakammadin angajawa, ngrenggani nagri Mantawis.


12. Dhuh jeng gusti sang aprabu, sowanipun ingkang abdi, angaturken pejah gesang, awit rumaos geng sisip, katungkul ing kawiryawan, labet mudha punggung yekti.


13. Dama kalimput tan emut, ing kanugrahaning narpati tumerah jiwangga mulya, kaecan nadhah myang guling, saanak rayat myang warga, tan lyuan barkahing narpati.


14. Lumintu salaminipun tangeh manawi kang abdi, saged ngaturi minangka, bebekti ingkang martasih o gusti satuhu mudha ceplik tangeh wruh ing becik.


15. Manawi kangjeng pukulun, tan paring aksameng dasih, yekti temah anggung papa, druwaka samineki, ing mangke amba sumangga, sakarsa jeng sri bupati.


16. Mangkana kangjeng sinuhun, ngandika sajroning galih, wong iki bugas prasaja, ing wicara tatas titis, teteg tyas sura legawa pantes tan sinungan lamis.


17. Teka resep atiningsung, dadya condhonging tyasmami, pantes rewanga wibawa. (n)darahken sri tanah Jawi, madhahi kanang nurbuwat, wasana ngandika aris.


18. Wis lungguha ariningsun, iya apa kang pinikir, dhuh yayimas Surabaya, marma sira sun timbali, sumiwi ing ngarsaningwang, wus pasthi karsaning Widdhi.


19. Sosotyadi apan kudu, tumrap ingembanan rukmi, umpama ingsun pancuran, sira talaga nadhai, yayi kang minangka wadhah, ingsun kang minangka isi.


20. Pasemon kang ingsun wuwus, tegese uwus ginaris, yen sira bakal tan pisah, melu nurunake benjing, para ratu tanah Jawa, yayi ingkang urun estri.


21. Manira kang urun kakung, ing samengko karsa mami, sira wisma na Mantaram, ana saetaning puri, sisihan lan kadipatyan, mungguh nagri Surawesthi.


22. Ingsun paringake wangsul, marang pakenira yayi, wenang anguwasanana, kadi ingkang uwis-uwis, si Sapanjang mung rumeksa, tata tentreming nagari.


23. Sira ana ing Mantarum, aywa taha-taha yayi, ing pangangep dipun padha, ya Mataram Surawesthi, Pangran Pekik lejer ing tyas, trusaning supenaki.


24. Gya sujud nembah umatur, dhuh pukulun sang dewaji, pun petik atur sandika, mundhi timbalan narpati, kadyan kabanjiran kelang, kagunturan madu gendhis.

*) prayoganipun mirib=memper

Dhandhanggula
1. Nulya jengkar kangjeng sri bupati, abibarang kang samya sumewa, pangran sagarwa-putrane, santana wadyanipun, wus pinarnah pakuwonireki, karan ing Surabayan, jeng pangran lestantun, mukti wibaweng Mataram, datan ana sinangsaya ing panggalih, wus lami antaranya.


2. Sang aprabu lestantun gunging sih, Pangran Pekik nulya tinariman, rayi dalem sang pamase, tunggil sayayah ibu, Ratu Pandhansari wawangi, ageng ingkang bawahan, nahan tacinatur, dennira apalakrama, atut runtut sih siniyan siyang ratri, lir mimi lan mintuna.


3. Wusing antuk kawan dasa ari, Kangjeng Sultan Agung Ngesiganda, lenggah aneng dalem gedhe, ngandika sang aprabu, heh ta lara menyanga aglis, marang ing Surabayan, ketemu riningsum, kalamung sambadeng karsa, rabinira dhiajeng ingsun timbali, waraheng ingsun gerah.


4. Nulya mentar utusan narpati, sampun prapteng ing Kusrabayan, jeng pangeran sagarwane, mijil sing dalem gupuh, samya lengah panginrat jawi, parekan matur nembah, amba pan ingutus, raka dalem sri narendra, ingkang garwa kangjeng ratu dentimbali, sarenga lapahamba.


5. Kangjeng sunan lagya gerah mangkin, ingkang weling raka dalem nata, manawa aweh lakine, malebu ing kedhatun, atinjoa ing gerah mami, yen lakine tan kuka, poma ywa lumaku, adipati Surapringga, tebah-jaja sumangga ing asta kalih, tan kenging lengganaa.


6. Dhuh jiwaku umareka aglis, sampun kerit prapteng ngarsa sultan manembah ngraub padane Ratu Pandhan umatur, kakang prabu dene wigati, nimbali aripara, kalangkung kumepyur manahulun tarataban, sru gumeter enar-enir senik-senik, kagmas gerah punapa.


7. Kangjeng sultan angandika aris, dhuh riningsun luwih sangking lara, ana ing ati enggone, sakeh usada wangsul, yen sun rasa saya ngranuhi, dene ana pandhita, ing Giri dumunung, durung gelem nungkul mring wang, iya iku kang dadi laraning ati, tambane durung ana.


8. Liya Giri wong satanah jawi, nora ana barenjul merengkeng, padha ngidhep mring sun kabeh, amung ing Giri iku, ingkang durung ingsun putusi, amungkul kalawang prang, wit wecaning dangu, kang bisa ambengkas karya, mung lakimu jalarane menang asli, luhur trah Ngampeldenta.


9. Lah wis yayi dak lilani mulih, den abisa matrapaken karya, marang lakinira mangke, selak den ayun-ayun, Ratu Pandhan mesem trunya ris, dhawuh dalem kakangmas, sandika tur ulun, nulya lengser sangkin ngarsa, dhenirekken sagunging parekan cethi, lampahnya wirandhungan.


10. Pangran Pekik nganti neng pandhapi, sarawuhe sang ratu pinapak, bhinekta mring dalem age, jeng ratu ngraub suku, snag pangeran (ng)gerjiteng galing, lah yayai ana paran, teka rada suntrut, paran gerahing sang nata, ratu Pandhan tumungkul minggu tan angling, jeng pangran anggarjita.


11. Baya nora gerah sri bupati, bokmanawa ana panggaliyan, dadya sekele pamase, jeng ratu gya sinambut, bhinekta mring ing jinem wangi, langening karasikan, apan tan winuwus, ing sawungunira nandra, Ratu Pandhan matur ing raka bibisik kang dadya karsa nata.


12. Amedharken dhawuhe sang aji, Pangran Pekik madeg suraning tyas, ngelus-elus gumbalane, alon ngandikanipun lamun ingsun weruha dhingin karsane kangjeng sultan, mundhut rusakipun, ing Giri sunanne seba, baya uwus dak cangking ing nguni-uni, sebaku mring Mantaram.


13. Pan ing Giri wus neng asta mami, yayi ingsun ingkang maluyakna, rakanta nahan rentenge, sewu wirang satuhu, yen tan bisa ngrabaseng Giri, isin anom baskara, neng donya tan arus, apa kang dak walesena, ing sih nata kajaba murdaku yayi kunjuk dadya timbangan.


14. Payo yayi sowan marang puri, nyuwun pamit ing rakanta maluyakna, rakanta sultan, mangkat ing sadina kiye, sarimbit nulya laju, sowan maring sajroning, sang nata duk tumingal, pangran sowanipun, sarimbit lawan kang garwa, gya ingawe lenggah caket lan sang aji, makidhupun pangran.


15. Kangjeng sultan angandika aris, yayi Surabaya kadiparan, kang dadya karepmu mangke, ing Giri durung nungkul. nora sarju nembah mring mami, ingsun borong adhimas, ing prakara iku, Pangeran Pekik matur nembah, dhuh pukulun amba sandika nglampahi, amundhi dhawuh nata.


16. Nadyan minta sraya Sunan Giri, andhatengken para raja sastra, kebut sawadya balane, tan ajrih manahulun, datan nedya nguciren jurit, kalamun tan kalakyan, Giri bedhaipun, suka matiya palagan, nuwun gusti ingkang abdi nuwun pamit, bidhal ing sapunika.


17. Boten langkung ingkang amba pundhi, pangestu sang nata binathara, kalampahana karsane, namung rayinta prabu, ambatilar aneng Mantawis, reh ayun mangun aprang, ing tyas langkung gidhuh, keron-keron ing satemah, tempuh ing prang enget rayi dalem gusti, milalu wande aprang.


18. Sri narendra mesem ngandika ris, karsaningsun yayi garwanira, para gawaa ing mangke, apan ta sedyaningsun, rabinira sadulur mami, pejah gesang hya pisah, lawan lakunipun, wus wiyahe wong andong prang, rebut pati manawa kasoran jurit, wadone binoyongan.


19. Pangran Pekik gumujeng turnya ris, rayi dalem gegerongan amba, tembe sarenga pecate, dhawuh dalem pukulun, tan langgana darmi nglampahi, sarimbit wus pamitan amangraub suku, kangjeng sultan anggandika, lah yayi poma sira hya gumingsir, sungkemu marang priya.


20. Kangjeng sultan (n)dedonga ing Widhi, salamete myang ungguling yuda, sarimbit anulya lengser, sangking ing ngarsa prabu, pinaringan sangu mawarni, dunya arta busana, sampet sadayeku, wus prapta ing Surabayan, lajeng ngrakit brokoh tundhan tandhu joli, myang gagamaning ngaprang.


21. Sawusira rampunging pangrakit, nulya budhal sangking ing Mantaram, brokoh neng ngajeng lampahe, datan kawarneng ngemu, lampahira sampun dumugi, ing nagri Surabaya. Ki Sapanjung methuk, wusing lerem sawatara, kangjeng pangran pinarak aneng pandhapi, andher para punggawa.


22. Pangran Pekik ngandika mring dasih, heh sakehe bocah Surabaya, padha piyarsakna kabeh, dhawuh dalem sang prabu. mula ingsun linilan mulih, marang ing Surabaya, lawan garwaningsun, ingutus kinen magut prang, angadoni bandawala rebut pati, mangrurah satru tama.


23. Panunkule Susuhunan Giri, pinasrahken marang jenengingwang, nanging karsaningsun mangke, anakmas Giri iku, lamun kene nungkula aris, sumewa sri Mantaram, tan rekaseng laku, slamet tan ana pepejah, lamun wangkot sayekti rarempon jurit, akeh pegaitn atma.

Megatruh
1. Para wadya manembah saha umatur, dhawuh paduka sang Pekik, mangayubagya sadarum, muji nungkulira aris, ywa nganti aprang rerempon.


2. Bilih Susuhunan Giri tan sareju, nungkul karananing aris, tan kena kinarya ayu, sumiweng aji, kekah denya karsa mirong.


3. Ingkang abdi kewala pan sampun rampung, ngrabaseng karaton Giri, amboyong susunannipun, bilih tan saget mungkasi, suka lebur aprang pupoh.


4. Nangin ulun mireng pawartos satuhu, ing mangkya Jeng Sunan Giri, kendho kawalenanipun, saprapat yun animbangi kalipah Mantaram Katong.


5. Darbe murid nagri Cini aslenipun, kabar maksih trah narpati, ing mangkya pinundhut sunu, sampun sinunggah kakasih, Endrasena tuhu katong.


6. Teguh timbul wanter wegig ing prang pupuh, kalih atus wadyaneki, kang ginala aprang pupuh, punika ingkang ngencengi pinrih (m)balela ing katong.


7. Inggih ta lah kang binujuk teka purun, istijrate eblis kapir, ngalimputi tyas rahayu, ngandel kumandel mring eblis, setan ngajak arerempon.


8. Nadyan (n)dhatengena malih rajeng kluwung, pra abdi datan gumingsir, Pangran Pekik ngandika rum, kabeh aturira sami, banget ing panrimaningong.


9. Karuhane lamun ingsun wus pinangguh, pribadi lan anak Giri, wurung sidaning prang pupuh, sawuse ingsun pinanggih, apa anane ing kono.


10. Balik padha sadhiyaa ing prang pupuh, kerigen sawadya mami, manawa dadi prang pupuh, gustimu sedya (n)jenengi, jurite wong Surengkewoh.


11. Pangran Pekik wus kundur mring dalem agung, bibar kang samya anangkil, bakda Ngisa wancinipun, jeng pangeran arsa nyilip, para wadya tan ana wroh.


12. Laju maring Giri lumebeng kadhatun, wau ta Susunan Giri, lenggah ingadep pra wadu, Endrasena tansa ngarsi, jeng sunan ngandika alon.


13. Heh ta kulup kabare sultan Mantarum, utusan mring jeneng mami, pinrih nungkul Sultan Agung, yen bangga ginepuh jurit, ngrusak ing Giri Kadhaton.


14. Kang denutus rama Pangran Surengkewuh, nanging tikel tuwa mami, amung bapak-bapak awu, garwa ratu Pandhansari, melu nangulang pakewoh.


15. Kaya priye kulup kang dadi kencengmu, ing menko ingsun mung darmi, miturut kakencenganmu, nungkul apik nora apik, sira kang nyangga bot-repot.


16. Endrasena duk tampi timbalan wiku, karma ro kadya sinebit. netra ro andik kumukus, kamejot padoning lathi, matur mring sang wiku gupoh.


17. Dhuh jeng rama ingkang minangka satuhu, pupundhen ing tanah Jawi, Waliyoloh cucu Rasul, kang wus linilan Hyang Widdhi, sadhengah kinarsan klakon.


18. Sultan Agung baya ingkan dereng ngrungu, kalamun karaton Giri, kanggonan prajurit punjul, wudhu reng Cina nagari, ngajawa andong prang pupoh.


19. Teka (n)dadak kongkon bocah isih kuncung, bojone ginawa jurit, mejanani Sultan Agung, bok iya teka pribadi, ing kono tandhing lan ingong.


20. Sampun sampun kangjeng rama karsa nungkul, pantes sultan ing Mantawis, tur bulu bekti panungkul, sowan pribadi mring Giri, kendel dennira miraos.


21. Pangran Pekik uluk salam praptanipun, sang resi kagyat mangsuli, ngalaikum wasalam, gupuh methuk gya khinanthi, wus lenggah satata karo.


22. Sunan Giri nambrama sarawuhipun, jeng rama Pangeran Peki, punapa sami rahayu, jeng pangran wacana manis, salamet sapraptaningong.


23. Sakalangkung dennira asuhun-suhun, sugata lumadyen ngarsi, sumangga sawontenipun, sumapala atur bekti, gampil anak tan pakewoh.


24. Dhuh jeng rama dene rawuh dalu-dalu, sawiji tan na umiring, kagyat ing tyas sakalangkung, punapi de awatgati, mocung mring Giri Kadhaton.



Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.




Hatiku selembar daun...