Monday 30 June 2008

METODE PENGAMATAN

METODE PENGAMATAN
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Di antara berbagai metode penelitian dalam ilmu-ilmu sosial yang sekarang berkembang di Indonesia, metode pengamatan adalah yang paling kurang mendapat perhatian secara selayaknya dan telah digunakan oleh para penelitia secara kurang sempurna. Padahal kalau digunakan secara sempurna sesuai dengan persyaratan yang ada dalam tehnik-tehniknya, baik digunakan secara tersendiri maupun digunakan secara bersama-sama dengan metode-metode lainnya dalam suatu kegiatan penelitian di lapangan, akan sangat berguna untuk memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebab-sebabnya mungkin adalah karena tiadanya ahli ilmu sosial yang memang berpengalaman untuk melakukan penelitian dengan menggunakan metode ini, karena mungkin dianggap sebagai metode yang gampang dan sepele sehingga tidak perlu dilakukan usaha pemahaman yang mendalam. Sebabnya mungkin karena pada setiap saat dan setiap hari, yaitu kalau kita tidak sedang tidur atau memejamkan mata, kita selalu menggunakan mata kita masing-masing untuk melihat dan mengamati segala sesuatu yang ada di sekeliling kita atau yang kita hadapi; bahkan seringkali hal ini kita lakukan tanpa sengaja atau bahkan tanpa ada sesuatu rencana untuk mengamatinya. Sehingga ada anggapan bahwa metode ini bukanlah suatu metode penelitian yang ilmiah, karena nampaknya sederhana dan tidak rumit tehnik-tehniknya dan tidak susah untuk memahami dan menggunakannya; selama si pelaku masih mempunyai mata yang dapat digunakan untuk mengamati.

Atau mungkin juga karena tulisan yang pernah ada dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh Profesor Harsja W. Bachtiar dalam buku Metode-Metode Penelitian Masyarakat yang di edit oleh Profesor Koentjaraningrat (Gramedia, 1977), yang lebih menekankan pembahasan pada hakekat pengertian pengamatan sebagai metode ilmiah dan bukannya menyajikan uraian yang berisikan petunjuk-petunjuk yang dapat dijasikan sebagai pedoman untuk menggunakan metode pengamatan dalan penelitian di lapangan.

Dalam uraian berikut ini akan dicoba untuk mengungkapkan kegunaan metode pengamatan dan bagaimana menggunakannya dalam penelitian kebudayaan. Uraian akan berisikan pembahasan mengenai : (1) hakekat penelitian kebudayaan dan penggunaan metode pengamatan; dan (2) macam-macam metode pengamatan dan petunjuk-petunjuk penggunaannya.

Penelitian Kebudayaan

Penelitian kebudayaan sebenarnya dapat dilihat sebagai sama dengan penelitian etnografi. Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat, yang belandaskan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan, dan peristiwa-perristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kacamata mereka yang menjadi pelaku-pelakunya.

Sesungguhnya, penelitian etnografi dapat dilihat sebagai suatu kegiatan sistematis untuk dapat memahami cara hidup yang dipunyai oleh suatu masyarakat yang lain atau berbeda dari yang kita punyai, dan yang pemahamanan tersebut harus mengikuti atau sesuai dengan kaca mata pendukung kebudayaan itu sendiri. Karena itu, dalam penelitian etnografi sebenarnya si peneliti lebih banyak bertindak sebagai orang yang belajar dari para pendukung kebudayaan tersebut sehingga peneliti tersebut dapat memahami dan mendeskripsikannya.

Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga aspek yang mendasar dari pengalaman-pengalaman manusia yang harus diperhatikan; yaitu: (1) apa yang mereka lakukan; (2) apa yang mereka ketahui; dan (3) benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, kegiatan penelitian etnografi harus dapat mencakup ketiga aspek tersebut, dan harus dapat memperlihatkan kaitan hubungan antara satu dengan yang lainnya; sehingga yang mereka lakukan dan benda-benda yang terdapat dalam kehidupan sosial mereka itu dapat diberi makna sesuai dengan yang mereka ketahui.

Dengan adanya tiga aspek yang mendasar seperti tersebut di atas, maka dalam penelitian kebudayaan dapat secara sistematik dipikirkan strategi penelitian yang mencakup sasaran-sasaran penelitian dan masing-masing metode penelitian yang sesuai dengan sasaran yang bersangkutan. Untuk sasaran penelitian mengenai: (1) apa yang mereka lakukan maka metode pengamatan adalah metode yang terbaik, di samping metode wawancara kalau apa yang mereka lakukan itu telah dilakukan; (2) benda-benda/alat-alat yang mereka buat dan gunakan, maka metode pengamatan adalah yang paling tepat; dan apa yang mereka ketahui maka metode wawancaralah yang dapat digunakan.

Dalam sebuah penelitian etnografi, baik metode pengamatan maupun metode wawancara digunakan secara bersama-sama maupun secara terpisah-pisah. Contohnya, dalam mencatat keterangan mengenai benda/alat yang digunakan (misal, lukah duduk yang dipunyai orang Sakai) seorang peneliti dapat mengamati bagaimana lukah duduk tersebut dibuat dan bahan- bahan apa saja yang digunakannya, melihat bagaimana lukah duduk digunakan untuk menangkap ikan, daerah penangkapan ikan dengan lukah duduk yaitu rawa-rawa. Bersamaan dengan itu, si peneliti dapat menanyakan kepada orang Sakai yang bersangkutan mengenai tehnik-tehnik pembuatan dan penggunaan alat tersebut secara lebih terperinci. Sedangkan pada waktu si peneliti harus membuat peta kampung atau denah rumah orang Sakai, si peneliti cukup melakukannya dari hasil pengamatannya. Begitu juga bahan keterangan mengenai sistem kekerabatan, sejarah pemukiman atau hal-hal lain yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan pencatatannya dengan metode wawancara.

Metode Pengamatan

Dalam setiap penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode pengamtan, seorang peneliti hendaknya memperhatikan delapan hal, seperrti tersebut di bawah ini:
Ruang atau Tempat. Setiap gerak (benda, peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu. Bahkan keseluruhan dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang menciptakan suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu mempunyai pengaruh terhadap gejala-gejala yang diamatinya.

Pelaku. Pengamatan terhadap pelaku mencakup ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
Kegiatan. Dalam ruang atau tempat tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan yang dapat mewujudkan serangkaian interaksi di antara sesama mereka.

Benda-benda atau Alat-alat. Semua benda-benda atau alat-alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh para pelaku dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
Waktu. Setiap kegiatan selalu berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya memperhatikan kegiatan dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara keseluruhan.

Peristiwa. Dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa di luar kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi perristiwa-peristiwa yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.

Tujuan. Dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pelakunya sebagimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
Perasaan. Pelaku-pelaku juga dalam kegiatan dan interaksi dengan sesama, para pelaku dapat terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka dan gerak tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.

Delapan hal yang harus diperhatikan tersebut tidak selamanya harus menjadi sasaran pengamatan. Ini tergantung pada masalah yang akan diamati dan tergantung pula pada metode pengamatan yang digunakan. Dalam metode pengamatan, terdapat setidak-tidaknya tiga macam metode; yaitu: (1) Metode Pengamatan Biasa; (2) Metode Pengamatan Terkendali; (3) Metode Pengamatan Terlibat. Masing-masing metode pengamatan ini mempunyai tehnik-tehnik pengamatan yang berlainan dan mempunyai sasaran penelitian yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Metode Pengamatan Biasa

Metode ini menggunakan tehnik pengamatan yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Contoh penelitian dengan menggunakan metode pengamatan biasa dengan sasaran manusia adalah seorang peneliti yang mengamati pola kelakukan para pelawak yang muncul di panggung televisi R.I. Si peneliti dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan pejalan kaki di Jalan Salemba Raya (di muka gedung UI) dari jembatan penyebrangan yang ada di situ.

Penggunaan metode pengamatan biasa, biasanya selalu digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang diperlukan berkenaan dengan masalah-masalah yang terwujud dari suatu peristiwa, gejala-gejala, dan benda. Contohnya adalah seorang peneliti yang hendak memperoleh keterangan berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM baru-baru ini terhadap harga beras di pasaran ibu kota Jakarta. Pertama dia harus mengidentifikasi tempat-tempat di mana beras di jual (pasar biasa, yang dibedakan lagi dalam penjual grosier, penjual eceran; di warung-warung yang tersebar di kampung-kampung di kota Jakarta; dan di supermarket- supermarket). Untuk kemudahan, dia menentukan untuk memilih supermarket sebagai sasaran tempat penjualan beras yang diamati, yang mudah melakukannya karena ada tertera harga beras di kantong pembungkusnya. Dalam melakukan pengamatannya, dia akan menentukan jangka waktu pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuan hari yang dimulai pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM tersebut. Selama tujuh hari si peneliti cukup menandatangani supermarket-supermarket yang ada di kota Jakarta, mencatat harga- harga sesuai dengan kategorinya (beras Cianjur kepala, Cianjur Slip, Raja Lele, dll sebagaimana yang terdapat dijual supermarket-superrmarket tersebut). Dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan emosionail ataupun perasaan dengan beras yang diamati harganya.

Dalam pengamatan biasa, seringkali dalam kegiatan-kegiatan pembuatan peta suatu kampung seorang peneliti juga menggunakan alat yang dapat membantunya untuk melakukan pengamatan atas gejala-gejala dan benda secara lebih tepat. Alat ini sebenarnya berfungsi untuk membantu ketajaman penglihatan matanya. Dengan alat ini tidak ada keterlibatan emosi dan perasaan dengan sasaran pengamatannya.

Metode Pengamatan Terkendali

Dalam pengamatan terkendali, si peneliti juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya; seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakan pengamatan biasa dengan pengamatan terkendali adalah para pelaku yang akan diamati diseleksi oleh kondisi-kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dikendalikan oleh di peneliti. Contohnya, sebuah eksperimen yang mengukur tingkat ketegangan jiwa (anxiety) para pelaku pemain catur. Dua orang pemuda yang umurnya sama, begitu juga latar belakang pendidikan, kondisi sosial, kebudayaan dan suku bangsanya sama, serta sama-sama belum pernah bermain catur karena belum mengetahui aturan-aturan dan cara bermainnya dipilih. Kedua orang ini melalui penataran terbatas, diberi pelajaran bagaimana bermain catur. Isi pelajaran catur yang diberikan dan waktu pelajaran adalah sama. Setelah persiapan-persiapan tersebut dianggap mencukupi, sesuai persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh si peneliti, maka kedua orang tersebut lalu disuruh bermain di dalam sebuah ruang kaca yang tidak tembus penglihatan ke luar. Bersamaan dengan itu, masing-masing kabel yang berguna untuk mencatat frekwensi detak jantung, denyut nadi, temperatur tubuh, perkeringatan, dan hal-hal lain yang diperlukan. Dalam keadaan demikian, si peneliti berada di luar tempat kedua pelaku tersebut bermain catur. Si peneliti mengamati dan mencatat jalannya permainan (dari tahap pebukaan sampai dengan akhir permainan), tindakan-tindakan kedua pelaku. Hasil pengamataannya dan catatan-catatan yang dibuat oleh mesin, keduanya dianalisa sesuai dengan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian seperti ini, si pengamat sama sekali tidak mempunyai hubungan dalam bentuk apapun selama pengamatan dilakukan dengan para pelaku yang diamatinya.

Pengamatan Terlibat

Dalam penelitian etnografi, pengamatan terlibat merupakan metode yang utama digunakan untuk pengumpulan bahan-bahan keterangan kebudayaan di samping metode-metode penelitian lainnya seperti yang telah diuraikan di atas. Metode pengamatan terlibat, berbeda dengan metode-metode pengamatan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, dalam melakukan pengumpulan bahan-bahan keterangan yang diperlukan si penelitinya mempunyai hubungan (bisa hubungan-hubungan emosional dan perasaan) dengan para pelaku yang diamatinya.

Berbeda dengan metode-metode pengamatan lainnya, sasaran dalam pengamtan terlibat adalah orang atau pelaku. Karena itu juga keterlibatannya dengan sasaran yang ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan emosional. Dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan kehidupan pelaku yuang diamatinya, si peneliti dapat memahami makna-makna yang berada dibalik berbagai gejala yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para pelakunya tersebut.

Dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, si peneliti bisa berada dalam tingkat keterlibatan tertentu dalam hubungannya dengan pelaku yang ditelitinya. Keberadaannya dalam tingkat keterlibatan tertentu bisa dikarenakan oleh memang tehniknya memerlukan hanya satu bentuk keterlibatan tersebut, tetapi bisa juga keberadaannya pada sesuatu tingkat tertentu diperlukan sebelum dicapainya tingkat tingkat keterlibatan yang sepenuhnya atau selengkapnya dalam kehidupan para pelaku. Adapun macam-macam keterlibatan yang ada dalam pengamatan terlibat adalah sebagai berikut:

Keterlibatan Yang Pasif.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya, dan dia juga tidakk melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku atau para pelaku yang diamatinya. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan pelakunya. Contoh: Seorang peneliti yang ingin mengetahui bagaimana pola tindakan warga Jakarta untuk memperroleh pelayanan fasilitas yang terbatas di tempat umum. Kasus yang ingin diamatinya adalah di tempat penjualan karcis kereta api untuk luar kota di stasiun Gambir. Cara yang dilakukannya adalah: Dia cukup datang ke stasiun Gambir, berdiri di ruang tempat adanya loket penjualan karcis untuk luar kota. Di papan pengumuman terdapat jadwal-jadwal pemberangkatan masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan karcis. Si peneliti tidak harus ikut berdiri di muka loket dan membeli karcis untuk dapat memperoleh keterangan yang diperlukan. Dengan demikian, si peneliti cukup berdiri terpisah dari orang-orang yang sibuk berusaha memperoleh karcis, tetapi dia juga tidak betul-betul terrpisah dari para pelaku yang diamatinya karena dia berada dalam arena kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya. Dalam keadaan demikianlah si peneliti digolongkan sebagai pengamat dengan keterlibatan yang pasif.

Keterlibatan Setengah-Setengah.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti mengambil suatu kedudukan yang berada dalam dua hubungan struktural yang berbeda, yaitu antara struktur yang menjadi wadah bagi kegiatan yang diamatinya dengan struktur dimana dia sebagian dari dan menjadi pendukungnya. Dalam kedudukan demikian, perannya adalah mengimbangi antara peranan yang harus dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya dengan struktur yang dalam mana dia menjadi salah satu unsurnya. Contoh: Seorang mahasiswa kriminologi yang hendak mengadakan penelitian mengenai kehidupan narapidana di sebuah Lembaga Pemasyarakatan; tidak mungkin untuk dapat mengadakan pengamatan dengan cara hidup di penjara sama dengan narapidana (atau salah satu kategori sesuai dengan masa hukuman dan kejahatan yang telah dilakukannya) lainnya. Pertama, kehidupan sebagai narapidana terlalu berat bagi mahasiswa tersebut, karena dalam kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan masih juga terkandung unsur-unsur kekerrasan dan kekejaman dalam segala seginya. Kedua, akan terjadi kesukaran untuk menempatkan kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial yang berlaku dalam Lembaga tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya untuk memperoleh keterangan-keterangan yang diperlukan dibandingkan kalau dia betul-betul sebagai narapidana dalam kegiatan penelitiannydalam satu segi dia "orang luar" lebih banyak "dipercaya" untuk mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara sewajarnya dibandingkan kalau dia berperana sebagai narapidana atau sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam keadaan demikian, dia akan tetap mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau pengamat yang terlibat setengah-setengah.

Keterlibatan Aktif.
Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti ikut mengerjakan apa yang dikerjakan oleh popara pelakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Kegioatan-kegiatan tersebut dilakukannya untuk dapat betul-betul memahami dan merasakan (menginternalisasikan) kegiatan-kegiatan dalam kehidupan mereka dan aturan-aturan yang berlaku serta pedoman-pedoman hidup yang mereka jadikan sandaran pegangan dalam melakukan kegiatan-kegitan tersebut. Contoh: Seorang peneliti yang berusaha untuk membuat etnografi salah satu suku bangsa terasing di Indonesia, yaitu Orang Sakai yang hidup di wilayah Propinsi Riau, telah menggunakan metode pengamatan terlibat. Dalam kegiatan penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama dengan Orang Sakai yang ditelitinya di tempat pemukiman mereka. Secara bertahap dia berusaha untuk dapat memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan mengenai sistem mata pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara mereka menjerat hewan hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, maka si peneliti tersebut ikut dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan di hutan, menangkap ikan (dengan berbagai tehniknya) di sungai, di rawa-rawa dan digenangan air, dan sebagainya. Dalam kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap kegiatan dalam penelitian dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, sebenarnya Pengamatan Keterlibatan Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap perantara untuk mencapai tahap berikutnya yaitu tahap Pengamatan Terlibat Sepenuhnya atau Lengkap.

Keterlibatan Penuh atau Lengkap.
Pada waktu si peneliti telah menjadi sebagian dari kehidupan warga masyarakat yang ditelitinya, artinya dalam kehidupan warga masyarakat tersebut kehadiran si peneliti dianggap biasa dan kehadirannya dalam kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai suatu "keharusan", maka pada saat tersebut si peneliti sebenarnya telah mencapai suatu tahap keterlibatan yang penuh atau lengkap. Dalam keadaan demikian, sebenarnya kedudukan dan peranan dari si peneliti telah didefinisikan dalam struktur sosial yang berlaku, oleh para warga itu sendiri. Sebenarnya tidak mudah untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut sebagian terbesar tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasikan kondisi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya yang bersumber pada sasaran penelitiannya. Dalam banyak hal seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan terlibat dapat mencapai tahap ini; yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam hubungan si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah warga masyarakat tersebut merasa bahwa si peneliti bukan orang yang "jahat" bahkan orang-orang yang "baik".

METODE PENELITIAN KASUS

METODE PENELITIAN KASUS*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA


Penelitian Ilmiah dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora

Penelitian Ilmiah adalah kegiatan sistematik, dengan menggunakan konsep-konsep teori-teori dan pendekatan yang relevan dan baku, untuk mengumpulkan informasi, fakta-fakta atau data dengan menggunakan metode-metode yang relevan atau baku, untuk digunakan sebagai bukti-bukti atau sebagai pembuktian dalam upaya pembuatan teori.

Konsep-konsep dan teori yang relevan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sipeneliti, digunakan untuk menciptakan sebuah kerangka teori atau model teori. Kerangka atau model teori ini digunakan sebagai acuan untuk membuat hipotesa, yaitu sebuah asumsi, atau dugaan, yang merupakan jawaban sementara karena belum ada bukti-bukti atau pembuktian mengenai kebenarannya. Sebuah hipotesa dibuat dengan melakukan pertanyaan empirik atau logika mengenai hubungan-huubungan diantara dua satuan permasalahan, dua satuan katagori, fakta-fakta, atau dua variabel atau lebih. Hipotesa adalah landasan bagi pembuatan masalah penelitian. Sebuah kerangka teori atau model teori yang dibuat juga sebagai acuan untuk pendekatan atau metodologi yang digunakan, yaitu pendekatan kwantitatif atau pendekatan kwalitatif.

Sebuah masalah penelitian tidaklah sama dengan masalah sosial, masalah politik, atau masalah-masalah empirik lainnya, tatapi sebuah masalah teoretikal. Masalah penelitian itu ada, karena diciptakan, yaitu dengan menggunakan hipotesa yang dibuat, dan karena memang sudah ada dalam kehidupan yang nyata.

Teori-teori yang dihasilkan dengan pendekatan kwantitatif terdiri atas: (1) Teori-teori subtantif; dan (2) Teori-teori metodologi. Sedangkan teori-teori yang dihasilkan oleh dan dengan menggunakan teori kwalitatif adalah teori-teori yang bercorak subtantif.

Setiap kegiatan penelitian ilmiah harus berlandaskan metode ilmiah, yaitu cara-cara yang berlaku secara baku dalam pengumpulan data , agar data yang dikumpulkan tersebut dapat dijamin obyektifitas dan keahliannya. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi cara-cara untuk melakukan kegiatan penelitian agar hasil penelitian tersebut dapat menciptakan suatu pengetuhuan yang ilmiah atau obyektif. Dalam sains atau ilmu-ilmu alamiah dilakukan dengan cara menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan ferifikasi. Dalam ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, (dalam bidang-bidang terbatas, seperti psikologi eksperimental), generalisasi, verifikasi dan pengamatan terlibat dalam humaniora dilakukan dengan menggunakan metode verstehen, interpretif (tafsir) atau hermeunetika (hermeunities).

Masing-masing metode tersebut mempunyai persaratan-persaratan untuk menjaga ke-obyektifan dan kesahihan data. Obyektifitas ilmuwan dijaga dengan melalui adanya: (1) Komuniti atau Masyarakat Ilmiah, yaitu kumpulan ilmuwan yang terwujud sebagai organisasi formal maupun yang informal tempat para ilmuwan mendiskusikan dan menguji keahlian dari penemuan-penemuan yang diperolah melalui hasil-hasil penelitian mereka, (2) Jurnal Ilmiah, tempat mereka menyampaikan hasil-hasil penelitian yang terbuka untuk kritik dan pengembangannya.

Di samping itu, dalam Ilmu-ilmu sosial, obyektifitas dan keahlian data juga diusahakan melalui suatu sikap, sbb:

1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan mengenai kebenaran obyektifnya atau dengan sikap skeptif.

2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, dari keinginan-keinginannya, dan dari kecenderungan-kecenderungannya.

Untuk itu, secara etika ilmuwan harus bersikap atau netral terbebas dari membuat penelitian-penelitian menurut nilai-nilai budayannya mengenai hasil-hasil penemuannya, atau dengan kata lain, harus mehindarkan diri dari kecenderungan-kecenderungan menghakimi secara formal para pemberi informasi (informan) berdasarkan hasil-hasil penemuannya. Dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian atas data yang telah dikumpulkan saja. Begitu juga dalam kesimpulan-kesimpulannya sipeneliti tidak boleh menganggap bahwa datanya adalah data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu atau tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan sesuai dengan masalah yang ditelitinya, serta kerangka atau model teori yang digunakannya. Karena itu, dalam setiap kegiatan penelitian ilmiah ada serangkaian pedoman yang harus diikuti: yaitu;

1. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya, karena itu dalam setiap laporan penelitian harus disebitkan metode apa yang telah digunakan dan bagaimana menggunakannya dalam pengumpulan data selama penelitian dilakukan.
2. Definisi-definisi yang dibuat dalam definisi-definisi yang benar dan berdasarkan pada konsep laporan atau teori-teori yang sudah ada atau baku, karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu dinyatakan atau didefinisikan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan berikut acuan atau referensi kepustakaannya.
3. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian yang baku.
4. Hasil-hasil penelitian dari sebuah penelitian yang telah dilakukan akan ditemukan ulang oleh peneliti lainnya, bila masalah penelitiannya, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama dengan yang dilakukan oleh sipeneliti yang baru.

Pendekatan Kwantitatif dan Kwalitatif

Kalau dalam sain atau ilmu-ilmu alamiah pendekatan yang digunakan adalah eksplorasi untuk menemukan (to diskover) dan eksperimen untuk menciptakan (to invent), maka dalam ilmu-ilmu sosial terdapat dua pendekatan yang berbeda yaitu; (1) pendekatan kwantitatif; dan (2) pendekatan kwalitatif. Perbedaan yang mendasar dari pendekatan kwantitatif dari pendekatan kwalitatif adalah;

Kwantitatif

Masalah penelitian diperlakukan sebagai satuan-satuan individual atau agregat, yang secara keseluruhan disebut populasi.

Satuan-satuan individual digolongkan sesuai kepentingan penggolongannya menjadi variabel-variabel, atau satuan penggolongan dengan ciri-ciri tertentu.

Hubungan-hubungan diantara variabel-variabel diukur dalam pengukuran, secara hipotetis, ditentukan variabel yang menjadi perubah atau yang bebas dan variabel yang tergantung karena besarnya populasi, maka dalam penelitian digunakan sampel atau jumlah terbatas dari populasi yang secara metodologi mempunyai ciri-ciri yang sama dan karena itu merupakan perwakilan atau representasi dari populasi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data kwantitatif atau dalam bentuk angka-angka. Data dianalisa untuk dijadikan pembuktian (proof), yang tidak perlu diinterpretasi lagi untuk mendukung atau menolak kebenaran hipotesa yang dibuat.

Hipotesa dalam pendekatan kwantitatif adalah hipotesa uji.

Kebenaran teori ditunjukkan dengan melakukan pembuktian.

Instrumen penelitian adalah kwesioner yang digunakan dalam penelitian.

Digunakan indikator atau sesuatu gejala yang dapat diukur atau diamati yang digunakan untuk menunjukkan atau mengindikasi gejala lain yang tidak dapat diukur secara langsung.
Pemberi informasi atau yang melakukan respons atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dinamakan responden.

Kwalitatif

Masalah penelitian adalah sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh, merupakan sebuah sistem.

Sebagai sebuah sistem, isinya adalah sebuah unsur-unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dalam satuan-satuan yang berada dalam hubungan-hubungan horisontal maupun vertikal atau berjenjang.

Hubungan-hubungan diantara unsur-unsur atau satuan-satuan dipahami hakekatnya. Tidak ada konsep sampel yang ada konsep kasus. Kasus adala sebuah satuan yang sama dengan sejumlah satuan lainnya yang tergolong sebagai mempunyai tipe yang sama. Hasil-hasil penelitian dari sebuah kasus dapat digunakan membuat generalisasi yang mencakup kasus-kasus yang tergolong mempunyani tipe yang sama.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data kwalitatif (narasi) dan data kwantitatif (angka-angka), data sensus misalnya. Data dianalisa untuk dijadikan bukti-bukti (evidence), yang perlu diinterpretasi untuk digunakan sebagai pendukung kebenaran hipotesa yang dibuat. Hipotesa dalam pendekatan kwalitatif adalah hipotesa kerja. Kebenaran teori dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti. Instrumen penelitian adalah sipeneliti sendiri. Tidak menggunakan indikator. Pemberi informasi dinamakan informan.

Pendekatan Kwalitatif dan Metode-Metodenya

Pendekatan kwalitatif seringkali juga disebut sebagai pendekatan yang humanistik. Karena dalam pendekatan cara-cara hidup, cara- cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti mengenai suatu gejala yang ada dalam kehidupan mereka itu justru yang digunakan sebagai data. Dalam perspektif ini ke-obyektifan dari pendekatan kwlitatif, justru dilakukan dengan menggunakan data subyektif (menurut perspektif pelaku yang diteliti). Dalam hal ini data atau bukti-bukti yang diperoleh dari pelaku yang diteliti (informan) diperlakukan sebagaimana adanya, atau tida dikurangi atau ditambah atau dirubah oleh sipeneliti. Informasi atau fakta-fakta dari informan atau hasil pengamatan sipeneliti diinterpretasi oleh peneliti dengan mengacu pada konsep-konsep dan atau teori-teori yang relevan, untuk disimpulkan hakekatnya dan dikaitkan dengan kesimpulan mengenai gejala atau fakta-fakta lainnya untuk dibuatkan hipotesanya. Dengan menggunakan hipotesa ini sipeneliti mengumpulkan data lainnya dan seterusnya.

Hipotesa dalam pendekatan kwlaitatif adalah hipotesa kerja. Dalam merencanakan sebuah penelitian, hanya sebuah hipotesa kerja yang dibuat. Hipotesa ini dibuat dengan menjawab pertanyaan, mengapa, hubungan antara dua satuan atau dua "variabel" menghasilkan suatu gejala. Pertanyaan mengapa didukung oleh sejumlah pertanyaan apa, siapa, bagaimana, kapan, dimana, yang harus dijawab secara inplisit dalam uraian rencana sebuah penelitian. Hipotesa kerja yang dibuat tersebut dapat dilihat sebagai sebuah hipotesa yang utama, yang menjadi pegangan dalam menentukan inti atau fokus permasalahan, unsur-unsur yang tercakup dalam permasalahan dan ruang lingkup permasalahan tersebut. Dalam penelitian di lapangan, pada setiap melihat hubungan diantara dua gejala atau lebih sipeneliti akan harus selalu membuat hipotesa berkenaan dengan hubungan diantara dua atau lebih gejala-gejala tersebut, untuk dapat memperoleh informasi mengenai gejala-gejala tersebut dan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala lainnya, sehingga keseluruhan informasi atau data yang dibutuhkan sesuai dengan rencana penelitiannya dan yang dipedomani oleh hipotesanya itu terpenuhi.

Dalam pendekatan kwalitatif, seorang peneliti secara sadar bersikap skeptis atau tidak percaya sepenuhnya terhadap informasinya yang diperolehnya melalui informan atau melalui wawancara. Karena dia memahami adanya kemampuan manusia yang tidak terbatas, termasuk informannya, dalam memanipulasi informasi. Informasi dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan pemberi informasi yang bersangkutan. Untuk menghindari informasi yang menyimpang dan khususnya menghinndari data yang palsu, maka peneliti menggunakan pendekatan kwalitatif. Pendekatan yang intinya adalah metode pengamatan terlibat (parrticipant observation). Disamping metode pengamatan terlibat, metode-metode lainnya yang biasanya digunakan dalam kegiatan penelitian dengan menggunakan pendekatan kwalitatif adalah metode pengamatan, wawancara dengan pedoman atau berstruktur , dan pengumpulan data sensus.

Metode pengamatan terlibat pada dasarnya adalah sama dengan metode vertehen yang dikembangkan dan digunakan oleh Max Weber, tokoh klasik dalam sosiologi, untuk meneliti hubungan antara etika Kristen dengan semangat kapitalisme. Pendekatan verstehen adalah sebuah cara dan sudut memandang dan memperlakukan yang sesuatu gejala dari sudut pandang atau kacamata pelaku atau warga masyarakat yang ditelitinya. Tingkat kemampuan untuk dapat memandang dan menilai sesuatu gejala dari sudut pandang pelaku yang diteliti ditentukan oleh tingkat kemampuan sipenelitiuntuk dapat secara sempurna mengikuti sudut pandang dan penilaian dari para warga masyarakat yang diteliti. Dalam hal inilah si peneliti adalah sama dengan instrumen penelitian.

Dalam metode pengamatan terlibat, si peneliti bukan hanya mengamati tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya (dalam batas-batas tertentu). Wawancara yang dilakukan bukanlah wawancara formal yang menggunakan pedoman wawancara atau menggunakan kwesioner, tetapi wawancara yang lebih dapat dikatakan sebagai dialog atau percakapan spontan. Justru yang spontan itulah yang obyektif karena tidak dihasilkan melalui suatu proses rekayasa terlebih dahulu. Inti dari metode pengamatan terlibat adalah si peneliti mengumpulkan informasi melalui pancaindranya. Ini berbeda dengan metode pengamatan yang menggunakan indra mata saja. Berbeda pula dengan metode wawancara, yang menggunakan indra telinganya untuk mendengarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh informannya.

Metode-metode lainnya yang digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kwalitatif adalah metode wawancara dengan pedoman, wawancara dengan kwesioner, pencatatan data sensus (dalam penelitian etnografi) dan metode pengamatan. Wawancara dengan pedoman disusun untuk maksud memperoleh informasi khusus dari informan yang ahli dalam bidangnya, yang mengetahui secara mendalam mengenai bidang yang khusus tersebut. Misalnya: mewawancarai dukun pengantin untuk memperoleh formula-formula dan aturan-aturan yang harus diikuti oleh calon pengantin pria maupun wanita dan berbagai penjelasan budaya berkaitan dengan itu, haruslah digunakan dengan menggunakan sebuah pedoman wawancara yang komprehensif dan yang hanya berlaku untuk memperoleh informasi mengenai itu. Kwesioner biasanya digunakan untuk memperoleh informasi mengenai kependudukan dan respons-respons mereka terhadap sesuatu stimulan. Sedangkan metode pengamatan terutama digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dari para warga masyaarakat yang diteliti, untuk dicocokkan relevansi atau kebenarannya dengan informasi-informasi yang telah diperoleh melalui wawancara. Salah satu kegunaan dari metode pengamatan adalah untuk mendeskripsikan setting dari lokasi dan lingkungan dari masyarakat yang diteliti maupun setting dari berbagai gejala yang ada dalam kehidupan masyrakat tersebut sesuai dengan masalah yang ditelitinya. Salah satu dari yang dilakukan peneliti dalam mendeskripsikan setting ini adalah membuat peta pemukiman dan lingkungan dari masyarakat yang ditelitinya.

Metode Penelitian Kasus

Metode penelitian kasus adalah sebuah metode yang digunakan untuk mengkaji gejala-gejala sosial dari suatu kasus dengan cara menganalisanya secara mendalam. Kasus tersebut dapat berupa seseorang, sebuah kelompok, sebuah komuniti, sebuah masyarakat, suatu masa atau peristiwa, sebuah proses, atau suatu satuan kehidupan sosial. Semua data yang secara langsung atau tidak langsung relevan dengan kasus tersebut dikumpulkan dan data yang telah diperoleh tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mencerminkan coraknya sebagai sebuah kasus. Metode penelitian kasus menghasilkan suatu corak atau karakter tunggal yang menandai kasus tersebut, sehingga data yang dikumpulkan dan dikaji dengan cara saling memperhubungkan kaitan-kaitannya yang serba beranekaragam dan faktor- faktor penyebabnya mengacu pada dan mendukung tercerminnya corak atau karakter yang tunggal. Metode ini juga menyajikan suatu kesempatan untuk melakukan suatu analisa yang intensif dan mendalam mengenai unsur-unsur yang khusus dan terperinci yang tercakup dalam kasus tersebut, yang sering kali terabaikan atau tidak dianggap ada kalau si peneliti menggunakan metode-metode lainnya, terutama kalau menggunakan metode wawancara dengan kwesioner.

Sebuah metode penelitian kasus juga memungkinkan si peneliti untuk: (1) Menyajikan deskripsi yang mendalam dengan bukti-bukti lengkap, dan dengan cara menyajikan informasi-informasi yang sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikan tersebut nampak hidup dan dengan pelaku-pelakunya yang memperoleh ruang untuk dapat memainkan peranan-peranannya masing-masing, (2) Bersifat grounded atau berpijak dibumi, yang artinya betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya, (3) Bercorak holistik matau sistemik, (4) Menyajikan informasi yang terfokus dan berisikan pernyataan- pernyataan teori yang perlu-perlu saja, yaitu pernyataan- pernyataan mengenai pola-pola atau karakternya, (5) Mempunyai kemapuan untuk bicara dengan pembacanya karena disajikan dengan bahasa biasa dan bukannya dengan bahasa teknis ilmiah atau angka- angka dengan rumus-rumus statistik. Metode penelitian kasus sapat juga dilihat sebagai sama dengan metode penelitian etnografi yang khusus, yaitu etnografi yang terfokus pada sesuatu masalah penelitian tertentu.

Metode peneltian kasus adalah sebuah penelitian yang menggunakan pendekatan kwalitatif. Karena itu, syarat-syarat kemapuan ilmiah dan metodologi dari si peneliti betul-betul dituntut untuk dipenuhi. Kalau tidak maka hasil penelitiannya akan secara ilmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, penelitian dengan menggunakan metode kasus menuntut kesabaran dan ketekunan dari si peneliti, dan waktu dan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan pendekatan kwantitatif.

*) Ceramah-Diskusi, Staf Peneliti Yayasan AKATIGA, Jl. Raden Patah 28, Bandung

MASYARAKAT: STRUKTUR SOSIAL

MASYARAKAT: STRUKTUR SOSIAL


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA





Pendahuluan


Tidak seorang pun di antara kita yang menyangkal adanya kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat manusia. Sejak kecil sampai dengan kematiannya, dia tidak pernah hidup "sendiri" tetapi selalu berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda-beda satu sama lainnya. Lingkungan sosial adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas di mana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya.


Lingkungan sosial tersebut dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau kelompok sosial. Kesatuan-kesatuan sosial dan kelompok-kelompok sosial tersebut masing-masing mempunyai aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya, di mana manusia yang terlibat atau berada di dalamnya harus mentaati aturan-aturan tersebut dalam berbagai hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya menurut masing-masing kelompok dan kesatuan sosial.


Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu; sehingga seorang warga bisa termasuk dalam dan menjadi sebagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Di satu pihak dia termasuk dalam suatu kesatuan sosial yang terorganisasi menurut aturan-atura kekerabatan, seperti: keluarga, kelompok orang-orang yang seketurunan, atau kelompok orang-orang yang digolongkan sebagai sekerabat, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggotaa atau warga organisasi yang ada dalam wilayah tempat tinggalnya, seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, Pemuda Kampung atau desa, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggota dari berbagai perkumpulan dan organisasi di tempat kerjanya; ataupun menjadi anggora berbagai perkumpulan yang dimasukinya karena dia merasa sebagai satu golongan dengan perkumpulan tersebut (yang terwujud berdasarkan atas persamaan umur, jenis kelamin, perhatian ekonomi, perhatian dan ide politik, asal suku bangsa, dan daerah yang sama, dan sebagainya); dan juga karena persamaan kesenangan atau hobi dengan sejumlah orang lainnya.


Uraian singkat berikut ini berusaha untuk menjelaskan pengertian struktur sosial yang akan dilihat kaitannya dengan pengertian masyarakat dan dengan hubungan sosial. Uraian ini tidaklah dimaksudkan sebagai suatu pembahasan teoritis, tetapi sebagai uraian mengenai pengertian-pengertian dasar yang akan dapat digunakan untuk memahami pola-pola kelakukan yang dihadapi sehari-hari.



Struktur Sosial


Secara singkat sturktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi, yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku. Status dan peranan bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial di mana interaksi sosial itu terwujud.


Dalam uraian di bagian pendahuluan, di mana seorang indivisu itu menjadi anggota keluarga, keanggotaannya dalam keluarga berarti menempatkan dirinya dalam suatu kedudukan tertentu atau status dalam keluarga tersebut adalah serangkaian hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anggota keluarga, yang terwujud dalam bentuk peranannya (macam dan corak tindakan yang diharapkan untuk diwujudkannya oleh orang lain yang terlibat dalam hubungan sosial) dalam berbagai interaksi sosial dalam ruang lingkup kegiatan keluarga.


Sebuah situasi sosial terdiri atau serangkaian aturan- aturan atau norma-norma yang mengatur penggolongan para pelaku menurut status dan peranannya dan yang membatasi macam tindakan-tindakan yang boleh dan yang tidak boleh serta yang seharusnya diwujudkan oleh para pelakunya. Sebuah sistuasi sosial biasanya menempati suatu ruang atau wilayah tertentu yang khususnya untuk situasi sosial tertentu, walaupun tidak selamanya demikian keadaannya sebab ada ruang atau wilayah yang mempunyai fungsi majemuk. Contoh berkenaan dengan pembahasan situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup kegiatan keluarga, antara lain, adalah: situasi sosial di meja makan. Pada waktu makan bersama, misalnya pada waktu makan malam, kursi-kursi diatur sedemikian rupa yang memperlihatkan perbedaan status dari para anggota keluarga yang makan malam bersama tersebut. Ayah sebagai kepala keluarga duduk di kursi yang terletak di kepala meja. Ayah memulai makan bersama dengan cara memulai menyendok nasi terlebih dahulu, atau disendokkan nasinya ke dalam piringnya oleh ibu.


Dengan dimulainya penyendokan nasi ke dalam piring ayah, makan malam bersama dimulai. Keteraturan dalam situasi sosial makan bersama ini dapat dilihat pada urutan-urutan pengambilan makanan sehingga seluruh anggota keluarga yang duduk makan bersama tadi mendapat bagiannya. Dengan selesainya makan malam bersama, situasi sosial meja makan juga selesai atau hilang, dan meja makan tidak berfungsi lagi.


Dalam beberapa hal tertentu, meja makan bisa juga berfungsi sebagai tempat ngobrol sejumlah anggota keluarga, tempat bermain bridge atau domino atau catur, tempat belajar anak-anak yang bersekolah, dan berbagai fungsi lainnya. Dalam keadaan demikian, meja makan atau ruang tempat makan telah berfungsi majemuk untuk menjadi tempat bagi diwujudkannya situasi-situasi sosial yang berbeda. Karena, walaupun tempatnya sama tetapi situasi sosial yang berbeda. Situasi sosial makan bersama tidaklah sama dengan situasi sosial anak-anak belajar, dan tidak juga sama dengan situasi sosial bermain kartu domino, dan sebagainya.


Kalau kita perhatikan bersama secara sungguh-sungguh, secara keseluruhan kegiatan yang berkenaan dengan makan malam bersama tadi sebetulnya mempunyai struktur sosial yang tersendiri, yaitu struktur sosial makan bersama. Dalam makan malam bersama tadi, tercermin adanya suatu pola berkenaan dengan hak dan kewajiban para pelakunya dalam suatu sistem interaksi berkenaan dengan secara bersama-sama makan malam yang terwujud dalam suatu jangka waktu tertentu, yaitu pada waktu makan bersama dan khususnya pada waktu makan malam bersama, dan terwujud dalam rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil, yaitu selalu berulang pada setiap kali anggota-anggota keluarga tersebut makan bersama atau khususnya makan malam bersama.


Dengan demikian, kalau kita ingin berbicara mengenai struktur sosial keluarga maka harus juga diperhatikan berbagai sistem interaksi yang terwujud dalam berbagai situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup keluarga. Struktur-struktur sosial yang terdapat dalam ruang lingkup keluarga tadi, secara bersama-sama kemudian diperbandingkan dan dilihat persamaan-persamaannya dan perbedaan-perbedaannya, dan yang terakhir, kemudian ditarik prinsip-prinsip umum dasarnya yang merupakan suatu generalisasi yang berlaku umum berkenaan dengan hak dan kewajiban dari para pelaku atau anggota keluarga.


Corak dari sesuatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang nyata yang dihadapi oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perwujudan dari kebudayaan sebagai model atau pola bagi kelakuan, yang berupa aturan-aturan atau norma-norma, dalam kehidupan sosial manusia adalah melalui beraneka ragam corak pranata-pranata sosial. Pranata-pranata tersebut terwujud sebagai serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan individu dan kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, kalau kita hendak melihat masyarakat sebagai suatu struktur sosialnya, maka yang menentukan corak dari struktur tersebut adalah pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.



Struktur Sosial dan Masyarakat


Corak dari struktur sosial masyarakat manusia beraneka ragam. Ada yang sederhana dan ada yang kompleks; ada yang struktur sosialnya bersumber pada dan ditentukan coraknya oleh sistem kekerabatannya, sistem ekonominya, sistem pelapisan sosialnya, dan sebagainya; dan ada yang merupakan suatu kombinasi dari berbagai pranata tersebut.


Dalam literatur antropologi telah diperlihatkan bahwa sejumlah masyarakat yang digolongkan sebagai berkebudayaan primitif, yang biasanya hidup dalam kesatuan-kesatuan atau kelompok-kelompok sosial yang kecil, mempunyai serangkaian aturan-aturan yang dipakai untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan warganya terutama berdasarkan atas sistem kekerabatan.


Dalam masyarakat-masyarakat yang seperti ini, kelompok- kelompok kekerabatan dan aturan-aturan yang dalam sistem kekerabatan menjadi amat penting. Sedangkan dalam suatu masyarakat yang jumlah warganya banyak dan yang lebih beraneka ragam pola status dan peranannya, diperlukan bukan hanya pengaturan menurut sistem kekerabatan tetapi juga menurut berbagai sistem pengorganisasian wilayah bagi kegiatan-kegiatan sosial warganya. Dalam masyarakat yang lebih kompleks lagi, yang ditandai oleh kompleknya keaneka ragaman sistem status dan peranan, sistem kekerabatan dan berbagai sistem pengorganisasian wilayah yang ada tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk pengaturan kegiatan-kegiatan sosial warganya yang dapat menjamin terwujudnya tertib sosial.


Dalam keadaan demikian, terwujud berbagai macam pranata; yang pranata-pranata ini melahirkan berbagai macam perkumpulan dan organisasi, baik yang secara resmi diakui sebagai organisasi atau perkumpulan karena mempunyai nama atau merek organisasi dan mempunyai pengurus serta daftar anggota, maupun organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang tidak nampak nyata sebagai organisasi atau perkumpulan karena tidak mempunyai bukti-bukti sebagai organisasi resmi seperti tersebut diatas. Contoh dari organisasi resmi adalah organisasi/partai politik, perkumpulan olah raga, kesenian, ekonomi, dan sebagainya; sedangkan contoh dari organisasi tidak resmi adalah perkumpulan arisan, pertemuan dan persahabatan, dan berbagai pengelompokkan karena sesuatu kegiatan tertentu.


Dalam masyarakat yang kebudayaannya primitif, struktur sosialnya dengan mudah diketahui coraknya karena seorang pengamat dengan mudah dapat membuat rekonstruksi dari struktur sosial tersebut berdasarkan atas kesederhanaan pola status dan peranan yang bersumber jumlah dan keaneka ragaman pranata yang terbatas. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks kebudayaannya, struktur sosial masyarakat tersebut tidak dengan mudah direkonstruksi. Seringkali seorang peneliti yang belum berpengalaman dapat menjadi bingung karena dalam kenyataannya dalam masyarakat tersebut terdapat beraneka ragam kelompok-kelompok sosial yang masing-masing mempunyai struktur sosial yang juga secara keseluruhan menunjukkan keaneka ragaman.



Struktur Sosial dan Hubungan Sosial


Dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya dengan para anggota masyarakatnya dalam kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok wilayah, dan dalam kelompok-kelompok sosial lainnya (yaitu perkumpulan olah raga, arisan, teman sejawat di kantor, teman sepermainan, tetangga, organisasi partai politik, dan sebagainya), tidaklah sama dalam hal interaksi sosialnya antara yang satu dengan yang lainnya. Yang dimaksudkan dengan interaksi sosial adalah aspek kelakuan dari dan yang terdapat dalam hubungan sosial.


Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat itu tidaklah dapat mengadakan interaksi sosial dengan semua orang yang menjadi warga masyarakatnya. Begitu juga, seorang anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan sejumlah warga masyarakat tidaklah sama dalam hal sering dan eratnya hubungan sosial yang dipunyainya dengan semua anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan dirinya. Dengan demikian, ada sejumlah orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan-hubungan sosial yang erat dan sering dengan orang tersebut, sedangkan sejumlah orang lainnya jarang-jarang mengadakan interaksi sosial dengan orang tersebut sehingga hubungan sosialnya tidak erat, dan masih ada sejumlah orang lainnya yang juga anggota masyarakat tersebut yang tidak mempunyai hubungan sosial dengan orang tersebut.


Kalau kita melihat hubungan sosial di antara dua orang individu sebagai sebuah garis, maka hubungan sosial yang terwujud antara seorang individu dengan sejumlah orang individu dapat dilihat sebagai sejumlah garis yang menghubungkan si individu tersebut dengan individu-individu lainnya dan yang garis-garis tersebut berpusat pada si individu tersebut. Dalam kenyataan kehidupan manusia bermasyarakat, hubungan-hubungan sosial yang terwujud bukanlah hanya antara dua pihak saja tetapi merupakan suatu hubungan seperti jala atau jaring yang mencaku sejumlah orang banyak. Karenanya, hubungan-hubungan sosial yang mencakup hubungan di antara tiga orang atau lebih dinamakan jaringan sosial.


Jaringan sosial adalah suatu pengelompokkan yang terdiri atas tiga orang atau lebih, yang masing-masing orang tersebut mempunyai identitas tersendiri, dan yang masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan- hubungan sosial tersebut mereka itu dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial. Hubungan-hubungan yang ada diantara mereka yang terlibat dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak bersifat hubungan-hubungan yang resmi tetapi hubungan-hubungan yang tidak resmi atau perseorangan. Karena juga, mereka yang berada dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak sadar akan keanggotaannya dalam jaringan sosial tersebut, karena jaringan sosial tersebut belum tentu terwujud sebagai suatu organisasi atau perkumpulan resmi.


Jaringan-jaringan sosial telah terbentuk dalam masyarakat karena manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada. Hubungan-hubungan sosial yang dipunyai oleh seorang manusia selalu terbatas pada sejumlah manusia. Begitu juga, setiap orang telah belajar dari pengalaman-pengalaman sosialnya masing-masing untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang paling menguntungkan bagi dirinya, yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, yang dapat digunakannya.


Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial telah menggunakan konsep jaringan sosial sebagai pendekatan untuk dapat membuat rekonstruksi struktur sosial. Landasan berpikirnya adalah bahwa suatu jaringan sosial mewujudkan adanya suatu kesatuan atau kelompok sosial; dan bahwa interaksi di antara mereka yang terlibat dalam satu jaringan sosial mempunyai suatu corak keteraturan tersendiri; dan bahwa keteraturan tersebut mencerminkan adanya aturan-aturan yang berupa suatu pola mengenai hubungan-hubungan sosial yang melibatkan statu atau identitas dan peranan sosial dari para pelakunya; dan bahwa dengan menggunakan pendekatan jaringan sosial ketepatan corak dari struktur sosial dapat lebih dipertanggung jawabkan karena penggunaan tehnik-tehnik dan analisa kwantitatif.



Kesimpulan


Dalam uraian ini telah ditunjukkan pengertian struktur sosial dan kaitan pengertian tersebut dengan kebudayaan, masyarakat, dan dengan hubungan sosial. Uraian ini juga berusaha menunjukkan bahwa struktur sosial bukanlah suatu konsep yang dipahami atau dimengerti oleh para pelakunya yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, struktur sosial adalah suatu hasil bangun teoritis (theoretical construct) yang dibuat oleh ahli ilmu-ilmu sosial.


Kalau dalam uraian ini diperlihatkan bahwa struktur sosial itu diciptakan oleh ahli ilmu-ilmu sosial dari hasil pengamatan atau penelitiannya yang memusatkan perhatian pada kelakuan sosial manusia; maka sebaliknya seorang ahli ilmu-ilmu sosial juga dapat menggunakan konsep struktur sosial sebagai suatu alat analitis yang digunakan untuk memahami dan mengkaji tindakan-tindakan dan kelakuan sosial yang terwujud dalam berbagai kegiatan sosial dalam sesuatu masyarakat.

Sunday 29 June 2008

MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ILMU SOSIAL DASAR

MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ILMU SOSIAL DASAR
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA



1. Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dia selalu dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Sesungguhnya, masalah-masalah sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri karena masalah-masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari hubungan-hubungan dengan sesama manusia lainnya, dan juga sebagai akibat dari tingkah lakunya.

Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masing-masing masyarakat tersebut, secara garis besarnya, antara lain disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, oleh sifat kependudukannya, oleh keadaan lingkungan alam dimana masyarakat itu hidup.

Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong sebagai ilmu-ilmu sosial mempunyai ruang lingkup studi mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial untuk dapat memahami secara mendalam mengenai hakekat masyarakat dan kebudayaan manusia. Yang membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya adalah penekanan perhatian dari masing-masing disiplin mengenai aspek-aspek tertentu dan cara-cara tertentu dalam pendekatannya untuk melihat, menganalisa, dan memahami masalah-masalah yang menjadi ruang lingkup perhatiannya. Lebih lanjut, dalam masing-masing disiplin juga terdapat keanekaragaman dalam melihat dan mempelajari masyarakat manusia. Keanekaragaman ini terwujud karena para ahli dari disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan telah menggunakan perspektif yang berbeda-beda dalam melihat dan mempelajari masyarakat manusia, dan juga karena para ahli dari disiplin ilmu pengetahuan yang sama tersebut telah menekankan perhatian mengenai aspek-aspek dan masalah yang tidak sama yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan yang menjadi perhatian studinya.

Keanekaragaman dalam hal cara melihat dan mempelajari masyarakat manusia tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup para ahli yang tergolong dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, tapi juga terdapat dalam disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya dan para warga masyarakat sendiri. Kenyataan ini disadari oleh Nisbet (1961:3), yang dinyatakan bahwa "Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada batasnya dalam cara-cara untuk melihat masyarakat untuk dapat memahaminya. Masyarakat dapat dilihat menurut nilai-nilai dominannya, hasil-hasil teknologinya, pranata-pranata yang utama, ataupun sistem-sistem spiritual dan intelektual".

Salah satu pendekatan dalam usaha untuk memahami masyarakat dan kebudayaan adalah berdasarkan atas "masalah-masalah sosial utama yang terdapat dalam dan sebagaimana dirasakan oleh masyarakat itu sendiri" sebagai kerangka pendekatannya, sebagaimana dilakukan oleh Merton, Nisbet dan kawan-kawannya (Merton dan Nisbet, 1961). Dalam tulisan ini, pendekatan yang demikian itu akan digunakan untuk menjelaskan ruang lingkup Ilmu Sosial Dasar yang sasaran perhatiannya adalah mengenai berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tulisan akan mencakup uraian mengenai Masalah Sosial: pendefinisian; kebudayaan; masyarakat, dan masalah-masalah sosial; masalah-masalah sosial dan tingkat perkembangan masyarakat disusul dengan uraian mengenai Ilmu Sosial Dasar: masalah-masalah sosial dan beberapa pendekatan; kerangka pendekatan Ilmu Sosial Dasar; dan diakhiri dengan sebuah uraian penutup.

2. Masalah-masalah Sosial

Definisi

Dalam kehidupannya, manusia sewaktu-waktu pada hakekatnya selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang dianggapnya merupakan hambatan-hambatan dalam usahanya untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya, menghadapi kesukaran-kesukaran yang tidak dapat dipecahkannya dengan menggunakan cara-cara yang diketahuinya biasanya berlaku, menghadapi kenyataan bahwa berbagai hal yang biasanya berlaku telah berubah atau terhambat pelaksanaannya dan berbagai masalah lainnya. Masalah-masalah tersebut dapat terwujud sebagai: masalah sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, ataupun masalah-masalah lainnya.

Yang membedakan masalah-masalah sosial dari masalah-masalah lainnya adalah bahwa masalah-masalah sosial selalu ada kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif di mana hubungan-hubungan manusia itu terwujud (Nisbet, 1961:4). Pengertian mengenai apa yang dinamakan masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan di atas mengundang pertanyaan mengenai siapa yang mendefinisikannya. Karena dalam kenyataan, ada dua pendefinisian mengenai apa yang dinamakan masalah-masalah sosial dalam hal siapa yang mendefinisikannya.

Yang pertama adalah pendefinisian yang dilakukan oleh umum atau warga masyarakat yang bersangkutan, yang intinya adalah bahwa sesuatu yang menyangkut kepentingan umum adalah masalah sosial. Contohnya: Masalah kejahatan yang akhir-akhir ini meningkat di kota-kota dan pedesaan di Indonesia.

Sedangkan yang kedua adalah definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang pada dasarnya mengemukakan bahwa masalah sosial adalah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam suatu masyarakat yang berdasarkan atas studi mereka mempunyai sifat-sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat tersebut secara keseluruhan. Contohnya: masalah pedagang kaki-lima di kota-kota besar di Indonesia.

Menurut definisi umum, pedagang kaki-lima bukanlah masalah sosial, karena disatu pihak pedagang kaki-lima tersebut dapat memperoleh nafkah untuk dapat melangsungkan kehidupannya, dan dilain pihak para pembeli yaitu para warga masyarakat dengan mudah memperoleh pelayanan dan dengan harga yang pantas untuk taraf ekonomi mereka dan para pedagang kaki-lima. Sebaliknya para ahli perencana kota, ahli sosiologi, dan ahli antropologi akan menyatakan bahwa pedagang kaki-lima di kota-kota menjadi sumber dari berbagai kekacauan lalu-lintas dan menjadi sumber utama dari suatu kondisi dimana kejahatan dengan mudah dapat terjadi. Dengan demikian, suatu masalah yang digolongkan sebagai masalah sosial oleh para ahli belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh umum. Sebaliknya ada juga masalah-masalah sosial yang dianggap sebagai masalah sosial oleh umum tapi belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh para ahli. Karena itu, dengan mengikuti pendefinisian yang dibuat oleh Leslie (1974:24), masalah-masalah sosial dapat didefinisikan sebagai "Suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai suatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan yang karenanya dirasakan perlunya untuk diatasi dan diperbaiki".

Kalau definisi ini kita telaah lebih lanjut maka terlihat bahwa yang terutama ditekankan berkenaan dengan pengertian masalah-masalah sosial tersebut adalah adanya kondisi atau suatu keadaan tertentu dalam kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi sosial tertentu, sebenarnya merupakan hasil dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya (manusia harus makan, minum, buang air, bernafas, mengadakan hubungan kelamin dsb.), kebutuhan-kebutuhan sosial (berhubungan dengan orang lain, membutuhkan bantuan orang lain untuk memecahkan berbagai masalah, dsb.), dan kebutuhan-kebutuhan kejiwaan (untuk dapat merasa aman, membutuhkan cinta kasih dan sayang, dsb.).

Dalam usaha-usaha untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaannya sebagai model-model petunjuk atau sebagai resep-resepnya dalam mengusahakan lingkungan alamnya dan lingkungan sosialnya yang diwujudkannya dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Perwujudan ini adalah dalam bentuk kondisi atau keadaan dimana manusia itu hidup dalam proses berubah.

Kondisi yang dirasakan sebagai suatu yang tidak disukai oleh para warga suatu masyarakat dalam suatu waktu tertentu, telah terwujud karena kondisi tersebut tidak biasanya berlaku dan tidak cocok dengan model-model yang ada dalam kebudayaan mereka. Proses dari perubahan kondisi-kondisi dalam masyarakat telah terwujud karena, antara lain, jumlah penduduk bertambah, lingkungan yang telah diusahakan manusia telah berubah, cara-cara mengusahakan lingkungan lebih maju sehingga tidak memerlukan tenaga manusia yang banyak, dan juga kebutuhan-kebutuhan manusia secara individu juga bertambah karena hasil kemajuan teknologi. Sedangkan ukuran-ukuran yang digunakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan untuk menilai dan mewujudkan tingkah laku mereka adalah model-model dari kebudayaan yang telah mereka punyai, yaitu yang ada dalam kepala mereka masing-masing yang belum tentu telah berubah sesuai dengan perubahan kondisi yang mereka hadapi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Dengan demikian, terdapat suatu ketidak cocokkan antara pengetahuan kebudayaan (kebudayaan yang ada dalam kepala para warga masyarakat) dan kenyataan-kenyataan objektif yang ada dalam kondisi-kondisi dimana mereka hidu. Dengan kata lain ada perbedaan antara kerangka untuk interpretasi subjektif dari para warga dengan kenyataan-kenyataan objektif dalam mana mereka itu hidup.

Sesungguhnya, kenyataan-kenyataan objektif dapat terwujud untuk suatu jangka waktu yang lama tanpa disadari oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai masalah sosial. Misalnya masalah sampah yang dibuang oleh sebagian besar warga kota Jakarta dimana-mana: di jalan-jalan, di selokan, di kali, di bis, dan di tempat-tempat lainnya belum menjadi masalah sosial. Tetapi pada waktu para warga masyarakat merasakan bahwa kondisi-kondisi yang berubah itu dirasakan sebagai sesuatu yang menghambat atau merugikan tindakan-tindakan mereka dalam usaha-usaha untuk mencapai suatu keinginan tertentu, maka kondisi-kondisi objektif tersebut telah menjadi masalah sosial.

Dengan kata lain, suatu masalah sosial terwujud dalam suatu kondisi yang telah berubah tersebut, yaitu kenyataan objektif, diberi isi interpretasi subjektif oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Jadi kondisi-kondisi tersebut tidak diinginkan atau tidak disukai dan karenanya dirasakan perlu untuk diatasi atau ditiadakan dari kehidupan sosial mereka. Sesuatu kondisi itu dianggap sebagai yang diinginkan atau tidak, tergantung pada nilai-nilai yang mewarnai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan nilai-nilai tersebut selalu dapat berubah dalam suatu proses waktu, dan karenanya nilai-nilai tersebut tidak pernah berlaku mutlak tapi bergantung pada waktu dan cakrawala pengetahuan kebudayaan dari para warga masyarakat.

Di dalam kenyataannya, masalah-masalah sosial tidaklah dirasakan oleh setiap warga masyarakat secara sama. Suatu kondisi yang dianggap sebagai suatu yang menghambat atau merugikan oleh sejumlah warga masyarakat, belum tentu dirasakan oleh dirasakan oleh sejumlah warga yang lain dari masyarakat tersebut, atau bahkan dirasakan oleh yang lainnya sebagai sesuatu yang menguntungkan. Misalnya masalah sampah: Sampah yang bertebaran di mana-mana di sebagian kota Jakarta, yang dari satu segi dirasakan sebagai merugikan kesehatan, kebersihan, keindahan dan ketertiban, oleh sejumlah warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan, oleh misalnya para pengumpul barang bekas dan para pengumpul puntung rokok.

Kepekaan akan adanya masalah-masalah sosial biasanya dimulai oleh para ahli, para cendekiawan, pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat yang langsung merasakan akibat-akibat yang merugikan dari kondisi objektif tersebut. Kepekaan akan kanyataan bahwa kondisi-kondisi yang ada itu telah berubah, dapat berubah menjadi masalah-masalah sosial kalau dapat memepengaruhi pendapat sebagian besar warga masyarakat.

Kebudayaan, Masyarakat, dan Masalah-masalah Sosial

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi mewujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai "mekanisme kontrol: bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia (lihat Geertz, 1973), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (lihat Keesing dan Keesing, 1971). Dengan demikian kabudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (lihat juga Spradley, 1972).

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian mengenai suatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga. Karena kebudayaan diselimuti oleh nilai-nilai moral; yang sumber dari nilai-nilai moral itu ada pada pandangan hidup serta etika yang dipunyai oleh setiap manusia dan kebudayaannya.

Sedangkan masyarakat secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas peranan-peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, yang dalam mana tindakan-tindakan dan tingkah laku sosial manusia diwujudkan.

Dalam masyarakat manusia, manusia belajar mengenai dan mengembangkan kebudayaannya. Hal-hal yang terutama dipelajari adalah sistem penggolongan: baik yang berkenaan dengan nilai-nilai moral dan aestetika, maupun mengenai golongan- golongan sosial, benda-benda, peristiwa-peristiwa, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada dalam masyarakatnya, ajaran-ajaran agama, cara-cara mengungkapkan perasaan dan emosi, cara-cara bertingkah laku yang sebaik-baiknya, cara mencari makan untuk hidupnya, cara-cara mempertahankan hak, dan bahkan juga cara-cara menipu dan mencuri serta manipulasi sesuatu, serta berbagai hal lainnya yang diperlukannya sebagai warga masyarakat. Berbagai hal yang dipelajarinya tersebut tidaklah seluruhnya diterimanya, tetapi diterima secara selektif. Yang diterima dan dikembangkannya untuk menjadi kebudayaannya adalah hal-hal yang dapat digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalamannya dan lingkungannya serta untuk mendorong dan menjadi landasan bagi tingkah lakunya.

Dia mempelajari berbagai hal tersebut dari petuah- petuah dan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dari hubungan-hubungan sosial dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, kerabat-kerabatnya, teman-teman bermain, tetangga, dan dari para warga masyarakatnya. Dia juga mempelajarinya (dalam masyarakat yang berkembang) dari sekolah-sekolah, kursus-kursus, penataran-penataran, atau pranata-pranata pendidikan lainnya yang diikutinya. Juga dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibacanya, dan radio serta televisi yang diikuti siaran-siarannya.

Berbagai masalah sosial, sesungguhnya telah terwujud dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas. Tapi aspek-aspek tersebut bukanlah masalah sosial dan tidaklah mewujudkan adanya masalah-masalah sosial kalau masyarakat yang bersangkutan tidak berada dalam suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat, yang khususnya adalah disebabkan oleh perubahan teknologi. Karenanya juga, masalah-masalah sosial biasanya dirasakan ada oleh masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang atau masyarakat-masyarakat yang sudah maju atau kompleks, khususnya masyarakat industri atau perkotaan.

Masalah-masalah Sosial dan Tingkat Perkembangan Masyarakat

Dalam masyarakat-masyarakat yang tergolong sebagai primitif (yaitu yang mempunyai sistem ekonomi dan teknologi terbelakang dan dengan kebudayaan yang bersifat totalitas) masalah sosial hampir-hampir dapat dikatakan tidak pernah terwujud dibandingkan dengan yang terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang ataupun yang modern. Sebab-sebab terutama mengenai hal ini adalah karena dalam masyarakat-masyarakat yang primitif masalah-masalah yang lebih penting yang dihadapi oleh para warganya adalah adaptasi dengan dan memanfaatkan lingkungan fisik dan alam guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup mereka; dan juga karena kebudayaan mereka yang bersifat menyeluruh yang disertai dengan lingkungan alam yang relatif stabil.

Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang atau modern, masalah adaptasi dengan lingkungan alam telah tidak menjadi masalah yang besar dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam masyarakat-masyarakat tersebut. Masalah-masalah bagaimana mengatasi iklim yang dingin atau panas, penyakit-penyakit epidemi, penyakit-penyakit infeksi, bahaya kelaparan, telah dapat dipecahkan dengan hasil-hasil perkembangan dan kemajuan tingkat teknologi.

Penemuan-penemuan teknologi tidak hanya terhenti karena telah dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia. Penemuan demi penemuan tetap terus berlangsung; yang disatu pihak disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu pada hakekatnya bisa tidak ada batasnya karena setiap kebutuhan yang telah dapat dipenuhi menuntut adanya pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan ataupun yang merupakan rentetan akibat dari kebutuhan yang telah dipenuhi tadi. Sedangkan dipihak lainnya, hasil-hasil penemuan teknologi tidak selamanya dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat yang menyebabkan bertambah lebarnya jarak sosial yang telah ada, begitu juga hasil-hasil penemuan teknologi tidak selamanya dapat dinikmati dan menguntungkan seluruh warga masyarakat: di lihat dari segi ekonomi, ukuran moral, dan kedudukan sosial. Sehingga berbagai masalah sosial terwujud karenanya. Permunculan masalah-masalah sosial diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang sedang atau sudah berkembang adalah kompleks, dan warga masyarakatnya biasanya terdiri atas berbagai golongan sosial yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang tidak sama dengan yang lainnya. Sehingga kerangka sandaran untuk interpretasi atas kenyataan-kenyataan objektif yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupan sosial mereka menjadi tidak seragam -- karena berbeda dengan kebudayaan masyarakat primitif.

Masyarakat-masyarakat yang berkembang atau kompleks sebenarnya tidak mempunyai tingkat dan kwalitas perkembangan yang seragam. Secara garis besarnya keanekaragaman ini terwujud, antara lain, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam komposisi dari komponen-komponen yang mewujudkan adanya masyarakat kompleks itu masing-masing, dan juga karena latar belakang kebudayaan mereka yang tidak sama. Komponen-komponen tersebut adalah: lingkungan alam, jumlah dan komposisi penduduk atas golongan-golongan sosial dan sukubangsa, tingkat teknologi dan industri, sistem administrasi dan pemerintah dan corak sistem politik yang berlaku, dan tingkat ekonomi serta distribusi kekayaan.

Karena itu, berbagai macam masalah sosial besar yang dihadapi oleh setiap masyarakat tidak sama antara satu dengan lainnya. Ketidak-samaan ini bisa terwujud diantara masyarakat-masyarakat yang berbeda satuan nasionalnya, maupun diantara masyarakat-masyarakat yang tergolong dalam satuan-satuan nasional yang sama. Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, antara lain, masalah peningkatan pelanggaran hukum dan kejahatan; tidaklah sama dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Amerika Serikat yang antara lain adalah yang berkenaan dengan krisis energi. Begitu juga masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat kota Jakarta belum tentu sama dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan di pinggiran kota Jakarta, misalnya.

Walaupun demikian, pada prinsipnya ada masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat yang bersumber pada aspek-aspek yang sama dan yang perwujudannya terletak dalam kaitannya dengan aspek-aspek tersebut. Yaitu pada keluarga, golongan-golongan sosial, agama, pendidikan, kependudukan, lingkungan alam, ekonomi dan kemiskinan, penyimpangan sosial dan kejahatan, serta sistem politik dan kenegaraan. Masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan dan bersumber pada aspek-aspek inilah yang menjadi ruang lingkup dari sasaran studi ilmu sosial dasar.

3. Ilmu Sosial Dasar

Masalah-masalah Sosial dan Beberapa Pendekatan

Masalah-masalah sosial telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia, karena dianggap sebagai mengganggu kesejahteraan hidup mereka. Sehingga, merangsang para warga masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya. Di masa lampau, pada waktu belum ada ahli-ahli ilmu sosial, para warga masyarakat yang biasanya peka terhadap adanya masalah-masalah sosial adalah para ahli filsafat, ahli dan pemuka agama, dan para ahli politik dan kenegaraan.

Di samping pendekatan-pendekatan tersebut, berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial (seperti antropologi, sosiologi, politik, psikologi sosial, komunikasi), juga mencakup berbagai masalah sosial dalam ruang lingkup studi mereka masing-masing. Walaupun demikian, pusat perhatian studi-studi mereka itu bukanlah pada masalah-masalah sosial itu sendiri tetapi pada usaha untuk memahami hakekat manusia, kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah sosial dilihat sebagai hasil atau akibat dari adanya proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah proses-proses yang secara tetap dan terus menerus di alami oleh setiap masyarakat manusia, cepat atau lambat, berlangsung dengan tenang ataupun dengan kekacauan.

Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Norton dan Nisbet (1961), Denzin (1973), Gerson (1969), dan Bodley (1976), merasakan bahwa dengan menggunakan pendekatan masalah-masalah sosial maka hakekat masyarakat dan kebudayaan manusia akan dapat lebih dipahami, begitu juga berbagai dengan usaha-usaha untuk memperbaikinya akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan atas pendekatan tersebut diatas, Ilmu Sosial Dasar dikembangkan sebagai ilmu.

Ilmu Sosial Dasar: Kerangka Pendekatan

Sesungguhnya, yang dinamakan ilmu sosial dasar itu bukanlah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Tapi hanyalah pengetahuan mengenai masalah-masalah sosial dan berbagai aspek yang berkaitan dengan itu, yaitu aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia. Karena istilah pengetahuan mempunyai pengertian yang menunjukkan kelonggaran dalam batas dan kerangka berpikir, maka istilah ilmu telah digunakan karena mencakup suatu pengertian mengenai suatu sistem pengetahuan yang mempunyai kerangka pendekatan berkenaan dengan masalah-masalah yang menjadi perhatiannya.

Ilmu Sosial Dasar mempelajari masalah-masalah sosial yang terwujud dalam masyarakat, yaitu menganalisa dan menjelaskan masalah-masalah sosial tersebut dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Aspek-aspek tersebut mencakup nilai-nilai, norma- norma, sistem-sistem penggolongan dan pranata-pranata sosial serta kebudayaan yang berlaku.

Karena dalam kenyataannya masalah-masalah sosial itu mewujudkan adanya semacam disorganisasi sosial, maka dalam pendekatan Ilmu Sosial Dasar menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan untuk dapat memahami masalah-masalah sosial dan aspek-aspek yang ada dalam masyarakat.
Landasan berfikir dari penggunaan kerangka tersebut diatas adalah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu organisasi sosial yang kompleks yang terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma, pranata-pranata dan aturan-aturan untuk mewujudkan tingkah laku, yang secara bersama-sama dimiliki oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan disorganisasi sosial adalah kenyataan bahwa tidak setiap warga masyarakat mengetahui dan menyetujui serta mengikuti seluruh norma-norma ideal (yang dianggap baik menurut ukuran kebudayaan yang berlaku) dalam mewujudkan tingkah laku, sehingga masyarakat sebagai suatu organisasi sosial berada dalam suatu kondisi yang memperlihatkan adanya diorganisasi sosial. Ketidaksetujuan warga masyarakat atas tingkah laku yang seharusnya diwujudkan (berdasarkan norma ideal) dalam kehidupan sosial, terutama disebabkan karena adanya konflik dalam nilai-nilai yang mereka punyai yang nilai-nilai ini menyelimuti dan mewarnai norma-norma yang ada pada mereka. Perbedaan yang ada diantara warga masyarakat mengenai nilai-nilai yang mereka punyai, antara lain, adalah karena perbedaan dalam pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan yang mereka punyai dalam pengalaman-pengalaman mereka dalam proses perubahan kebudayaan dan sosial yang berlaku dalam masyarakat mereka. Di samping itu juga, hal ini mewujudkan adanya motivasi-motivasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan yang berbeda diantara para warga masyarakat. Karenanya, dalam usaha untuk memahami disorganisasi sosial maka pendekatan penyimpangan, baik perseorangan maupun sosial, akan juga digunakan.

Adanya masalah-masalah sosial yang terwujud karena adanya disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan oleh para warga masyarakat; dari satu segi memperihatkan adanya kenyataan-kenyataan yang menurut nilai moral yang berlaku adalah buruk, tetapi kalau dilihat dari segi lain memperlihatkan adanya dinamika sosial dari masyarakat tersebut. Dalam dinamika ini, terdapat dorongan-dorongan dari dalam masyarakat itu sendiri untuk memperbaiki dan membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Pada tingkat-tingkat perkembangan tertentu, dorongan-dorongan ini dapat mewujudkan adanya konflik-konflik sosial yang perwujudannya tidak selamanya negatif, sebagaimana pendapat umum, tapi bisa bersifat positif dalam hal membantu terwujudnya adanya rasa persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat (Coser, 1956).

Konflik-konflik sosial adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam proses perkembangan masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sesunggguhnya, tiada suatu masyarakatpun yang dalam proses perkembangannya tidak mengalami adanya konflik-konflik sosial. Hal ini disebabkan juga oleh, antara lain, bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup terus menerus dalam suatu keteraturan dan ketertiban yang abadi, begitu juga tidak dapat terus menerus hidup dalam suatu kekalutan yang abadi.

Dalam pengkajiannya mengenai masalah-masalah sosial dan aspek-aspeknya, Ilmu Sosial Dasar menggunakan metode vertehen, yaitu menggunakan pengetahuan kebudayaan dari warga masyarakat yang sedang dikaji masalah-massalah sosialnya. Penggunaan metode tersebut adalah dalam usaha untuk memahami masalah-masalah tersebut menurut konteks yang empiris dan seobjektif mungkin. Dakam metode ini kepekaan dan kesanggupan si pengkaji (pengajar dan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan) untuk mengambil alih peranan-peranan warga masyarakat yang sedang dikaji masalah-masalah sosialnya adalah merupakan suatu syarat mutlak.

4. Penutup

Dalam tulisan ini telah saya usahakan untuk memberikan suatu uraian mengenai ruang lingkup dan metodologi dari Ilmu Sosial Dasar. Yang ingin saya tekankan dalam uraian ini adalah bahwa walaupun Ilmu Sosial Dasar itu konsep-konsep dan pendekatannya bersumber pada hasil-hasil pengkajian ilmiah dari dan yang telah dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, tetapi tidaklah berarti bahwa Ilmu Sosial Dasar adalah sama dengan gabungan dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

Sebaliknya, Ilmu Sosial Dasar mencoba untuk mengembangkan kerangka pendekatan sendiri metode verstehen dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan disorganisasi sosial, konflik nilai, dan penyimpangan. Inti dari kerangka pendekatan ini adalah bersumber pada teori-teori mengenai perubahan kebudayaan dan perubahan sosial. Dengan melalui kerangka pendekatan ini diusahakan agar berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat dapat dipahami oleh para pengkaji (khususnya para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Ilmu Sosial Dasar) menurut konteks yang setepat-tepatnya sehingga kepekaan dan pengkajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan keobjektifannya baik secara ilmiah, secara moral dan akal.

Karangan ini merupakan salah satu dari rangkaian karangan mengenai masalah-masalah yang tercakup dalam ruang lingkup studi Ilmu Sosial Dasar. Karangan ini merupakan landasan atau titik pangkal bagi masalah-masalah yang selanjutnya akan disajikan secara berturut-turut. Sebagai akhir kata, pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dalam tulisan ini masih harus ditelaah dan dikaji lagi untuk dapat lebih disempurnakan. Kritik-kritik dan komentar akan sangat dihargai.

Kepustakaan

Brodley, John H.
1976 Anthropology and Contemporary Human Problems, Menlo Park, California: Cummings.

Coser, Lewis
1956 The Function of Social Conflict, New York: The Free Press.

Denzin, Norman K. (ed)
1973 The Values of Social Science, New Brunswick, New Jersey: Transaction.

Geertz, Clifford
1973 "The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man", dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays, oleh Clifford Geertz, New York: Basic Books, Chapter II, pp.33-54.

Gerson, Walter M. (ed)
1969 Social Problems in a Changing World: A Compa- rative Reader, New York: Thomas Y. Cromwell.

Keesing, Roger M. dan Felix M. Keesing
1971 New Perspective in Cultural Anthropology, New York: Holt, Reinhart and Winston.

Merton, Robert K. dan Robert A. Nisbet (ed)
1961 Contemporary Social Problems, New York: Harcourt, Brace and World, pp.3-18.

Spradley, James P.
1972 "Foundations of Cultural Knowledge", dalam Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, oleh: James P. Spradley (ed), San Francisco: Chandler, pp.3-38.

POKOK-POKOK PENGANTAR PENDEKATAN KWALITATIF

POKOK-POKOK PENGANTAR PENDEKATAN KWALITATIF*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA




Penelitian dalam Ilmu-Ilmu Sosial:

Penelitian ilmiah adalah kegiatan sistematik, dengan menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang baku dan relevan, untuk mengumpulkan informasi atau fakta-fakta melalui kegiatan-kegiatan pengamatan, wawancara, dan pengamatan terlibat, untuk digunakan sebagai bukti-bukti dan/atau pembuktian dalam pembuatan teori.

Konsep-konsep dan teori-teori yang relevan, dari hasil seleksi oleh si peneliti, digunakan untuk menciptakan sebuah kerangka teori atau model teori yang digunakan sebagai acuan untuk menciptakan masalah penelitian. Sebuah masalah penelitian diciptakan berlandaskan atas hipotesa yang dibuat. Hipotesa adalah jawaban sementara, atau teori sementara, mengenai hubungan diantara gejala-gejala atau fakta-fakta yang dipertanyakan. Kerangka teori atau model teori tersebut juga digunakan sebagai acuan untuk menentukan pendekatan yang digunakan. Yaitu, pendekatan kwalitatif atau pendekatan kwantitatif.

Teori-teori yang dihasilkan melalui dan oleh pendekatan kalitatif adalah teori-teori substantif. Sedangkan teori-teori yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan kwantitatif adalah teori-teori metodelogi dan subtantif.

Pendekatan kwantitatif menekankan pada kegiatan pengukuran kecenderungan-kecenderungan dari korelasi-korelasi yang ada diantara gejala-gejala sebagai satuan-satuan yang tergolong dalam kategori yang sejenis yang dibedakan dari kategori yang lain jenisnya yang dinamakan variabel-variabel. Karena sasaran kajiannya adalah gejala sebagai satuan, maka untuk ketepatan pengukuran hubungan-hubungan atau korelasinya haruslah menggunakan rumus-rumus statistik atau matematik. Begitu juga , data yang dikumpulkan dan diteliti atau dikaji adalah data kwantitatif, karena itu, dalam pendekatan kwantitarif digunakan konsep-konsep universum, populasi, sampel, dsb., yang mencirikan coraknya yang kantitatif.

Sedangkan dalam pendekatan kwalitatif penekanan kegiatannya adalah pada pemahaman mengenai hakekat hubungan diantara satuan-satuan gejala atau satuan-satuan permasalahan konseptual yang merupakan sebuah satuan permasalahan yang dikaji. Sasaran kajiannya adalah prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum, yang diperlakukan sebagai konsep-konsep; dan karena itu tidak mengenal adanya konsep-konsep universum, populasi, sampel, dan sebagainya, yang digunakan dalam pendekatan kwantitatif. Sebuah satuan kajian atau penelitian dinamakannya sebagai kasus.

Teori-teori yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan kwantitatif ditunjukan kebenarannya dengan cara melakukan pembuktian-menunjukkan data yang kwantitatif dan sekaligus menunjukan metodenya, tanpa tambahan interpretasi dari si peneliti atau penyaji hasil-hasil temuan penelitian. Sedangkan teori-teori yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan kwalitatif dilakukan dengan menunjukkan serangkain bukti-bukti, dan bukti-bukti tersebut dihubungkan dengan teori yang dibuatnya melalui interpretasi oleh si peneliti. Interpretasi yang menggunakan serangkaian teori-teori yang ada yang baku.

Pendekatan Kwalitatif

Karena tujuan kajian adalah pemahaman mengenai hakekat hubungan diantara satuan-satuan permasalahan konseptual, dan karena kenyataan-kenyataan empirik atau fakta-fakta itu diperlakukan sebagai bukti-bukti, maka dalam pendekatan kwalitatif satuan permasalahan yang diteliti itu dilihat dan diperlakukan sebagai sebuah sistem, dengan unsur-unsurnya yang saling terkait satu sama lainnya sebagai sebuah satuan yang menyeluruh. Satuan-satuan gejala yang diteliti diperlakukan sebagai unsur-unsur yang saling terkait sebagai sebuah sejumlah sub-sistem yang secara keseluruhan saling terkait secara fungsional sebagai sebuah sistem.

Dalam kegiatan penelitiannya seorang peneliti yang menggunakan pendekatan kwalitatif tidak menggunakan hipotesa uji sebagi pedoman untuk menguji hubungan-hubungan diantara gejala-gejala, tetapi menggunakan sebuah pedoman umum yang dinamakan sebagai hipotesa kerja. Hipotesa kerja ini mendefinisikan ruang lingkup permasalahan yang diteliti dan satuan-satuan permasalahan, baik secara horizontal maupun secara vertikal atau berjenjang unsur-unsur atau satuan-satuan permasalahan yang tercakup dalam masalah penelitian tersebut. Karena itu pendekatan kwalitatif seringkali juga dinamakan pendekatan yang sistematik atau holistik (unsur-unsurnya saling terkait satu sama lainnya merupakan suatu keseluruhan yang bulat).

Dalam pendekatan kwalitatif instrumen penelitian adalah si peneliti itu sendiri. Karena, dalam pendekatan kwalitatif si peneliti bukan hanya mengumpulkan informasi selama melakukan penelitian lapangan, tetapi bersamaan dengan pengumpulan bukti -bukti tersebut si peneliti melakukan penggolongan gejala-gejala atau informasi-informasi, menganalisa hubungan diantara gejala-gejala , membuat kesimpulan-kesimpulan, dan kesimpulan-kesimpulan tersebut dihubungkan lagi dengan satuan-satuan gejala atau fakta-fakta atau informasi yang ada di lapangan. Kemampuan mengidentifikasi gejala-gejala dan menggolong-golongkannya serta menganalisa hubungan-hubungan golongan-golongan atau kategori-kategori tersebut tergantung pada kemampuan konseptual dan teoretikal yang dipunyai oleh si peneliti. Seorang peneliti dengan kamampuan S1 akan mempunyai kemampuan instrumental dalam penelitian yang berbeda dengan seorang peneliti dengan kemampuan S2 atau S3.

Pendekatan kwalitatif seringkali juga disebut sebagai pendekatan yang humanistik, karena dalam pendekatan ini cara-cara hidup, cara-cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti mengenai sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan mereka itu justu yang digunakan. Dan dalam perspektif inilah ke-obyektifan dari pendekatan kwalitatif data atau bukti-bukti tidak dirubah atau direkduksi tetapi diperlakukan sebagaimana adanya, yaitu dari perspektif para pelaku yang ditelitinya. Karena itu, dalam pendekatan kwalitatif, para pelaku yang diteliti atau yang memberikan informasi kepadanya dinamakannya sebagai informan atau pemberi informasi. Berbeda dari pendekatan kwantitatif yang menamakan pemberi informasi sebagi responden atau pemberi respons karena dalam kenyataannya pendekatan kwantitatif dalam ilmu-ilmu sosial adalah bertuan untuk memperoleh informasi mengenai respons atau tanggapan dari pelaku yang diteliti. Dalam psikologi dinamakan subyek, atau pelaku yang menjadi subyek penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Dalam pendekatan kwalitatif seorang peneliti bersikap skeptis atau tidak percaya sepenuhnya terhadap informasi yang diperolehnya melalui keterangan dari informan atau melaui wawancara. Kemampuan manusia, termasuk informan, dalam memanipulasi informasi tidak terbatas; dan informasi dimanipulasi oleh dan untuk kepentingan pelaku atau informan yang bersangkutan. Untuk menghindari informasi yang menyimpang dan khususnya menghindari data palsu, maka penelitian yang menggunakan pendekatan kwalitatif terutama akan menggunakan metode pengamatan dan wawancara dengan pedoman.

Metode pengamatan terlihat pada dasarnya adalah sama dengan metode verstehen yang dikembangkan dalam filsafat. Max Weber, tokoh sosiologi klasik, menggunakan metode verstehen ini kajiannya mengenai hubungan antara etika Kristen dan munculnya kapitalisme, yaitu sebuah cara memandang dan menilai sesuatu dari kacamata atau sudut pandang orang atau warga masyarakat yang diteliti. Tingkat kemampuan untuk dapat memandang dan menilai sesuatu gejala dari sudut pandang yang diteliti ditentukan oleh tingkat kemampuan si peneliti untuk dapat secara sempurna mengikuti sudut pandang dan penilaian dari para warga masyarakat yang diteliti. Dalam hal ini, si peneliti juga menjadi instrumen penelitian.

Dalam metode pengamatan terlibat, si peneliti bukan hanya mengamati, tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan oleh para pelaku yang diteliti (dalam batas-batas tertentu). Wawancara yang dilakukan bukan wawancara yang formal dengan menggunakan pedoman wawancara atau menggunakan kwesioner, tetapi lebih sebagai sebuah dialog atau percakapan yang spontan. Justru yang spontan itulah yang obyektif karena tidak melalui rekayasa terlebih dahulu. Wawancara yang dilakukan dalam pendekatan kwalitatif dapat dilakukan dengan menggunakan kwesioner, untuk memperoleh data sensus yang akurat dari sebuah komuniti atau pemukiman; dan dapat juga menggunakan wawancara dengan pedoman yang terutama digunakan untuk memperoleh data mengenai sistem kekerabatan, sejarah kehidupan (life history), atau mengenai berbagai permasalahan formal-legal (perkawinan dan hak waris, misalnya).

Salah satu ciri yang juga dapat dilihat sebagai yang membedakan pendekatan kwalitatif dari pendekatan kwantitatif adalah pentingnya setting atau lingkungan kehidupan dari masyarakat yang diteliti. Metode yang digunakan untuk mencatat lingkungan kehidupan ini adalah metode pengamatan. Dengan metode pengamatan seorang peneliti mencatat dan membuat peta wilayah atau lingkungan kehidupan tersebut beserta segala isinya yang relevan. Pembuatan peta ini merupakan suatu prasyarat yang harus dilakukan sebelum seorang peneliti dapat betul-betul memahami segala gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Peta yang dibuat tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk betul-betul dapat mencernakan berbagai informasi yang dikumpulkannya dan lebih lanjut digunakan sebagai satuan-satuan unsur dalam analisa sistemik yang dilakukannya.


*) Pelatihan Pembimbingan, Penelitian di Lingkungan U.I., Puslit Pranata Pembangunan, U.I., Jakarta, 25 Februari - 4 Maret 1994