Friday 25 February 2011

Berat Hidup di Barat

Berat Hidup di Barat


Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?

Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan.

“Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?”

Itu pertanda perang mulut pagi-pagi sudah mulai. Perempuan yang malang! Eric Sullivan melontarkan makian. Segala kuda betina, sapi blasteran, binatang ternak yang kerjanya cuma beranak, semua lepas berlompatan dari mulut Eric Sullivan. Takkan terbayangkan bahwa Luzia, istrinya, akan begitu ramah membiarkan suaminya mengoceh dengan segala macam hinaan. Sebaliknya perempuan itu akan sesengit singa betina, menampar dan mencakar. Adu mulut hanya reda bila anaknya bangun dan menangis mau nyusu, dan Eric Sullivan tersungkur di tempat-tidur lantas mendengkur.

Agak siang perempuan itu mengetok pintu.

“Maafkan kami, Maria. Dinas malam Ricki mabuk. Sejak dulu sudah kuperingatkan jangan layani anak- anak Lithuania, mereka bukan tandingan di kampus Lumumba. Wodka itu buat mereka air biasa, minuman sehari-hari. Buat Ricki… Ah, Maria, belum pernah kudengar suamimu mabuk. Minum apa sebenarnya kalian di Indonesia?”

Minum apa? Sebuah pertanyaan aneh yang nyleneh. Bila seseorang merasa haus, mau minum apa lagi sih! Istriku lantas menjawab, “Minum sap. Teh. Kopi. Air kendi.”

Itu bukan sekadar kelakar. Tetapi, Luzia melongo, lantas tertawa. Jelasnya, menertawakan.

“Di Rusia, cuma anak-anak kecil minum sap, atau teh, atau susu sapi. Orang dewasa minum wodka, Maria.”

Minum wodka kek, susu sapi kek, itu bukan urusan istriku. Dia cuma tak tahan mendengar ejekan beberapa tetangga di lantai satu yang kebanyakan orang pensiunan, tak mau sedikit terganggu. Sejak hari-hari pertama Eric Sullivan menghuni flatnya, mereka sudah berkeluh-kesah, tetapi tak punya nyali untuk menegur sendiri. Semua kehilangan respek.

“Kampungan. Tak ngerti aturan.”

“Dikira rumah kakeknya.”

“Biasa hidup di hutan sih. Kumpul kera.”

Aku bukan sejenis kera, tetapi langsung ikut tersinggung mendengar cerita istriku. Jangan-jangan kami pun diam-diam pernah dihina seperti mereka menghina Eric Sullivan untuk beberapa kesalahan kecil: jejak sepatu membekas di lantai, pot-pot bunga kekeringan lupa menyiram, teledor giliran mengepel…. Ada yang jengkel, lantas usul mengumpulkan tanda tangan, kirim protes via firma pemilik flat itu. Demi mencegah pengucilan, istriku menolak ikut bertanda tangan.

Pada hari lain pada bulan yang lain, semua penghuni flat kami menerima surat edaran. Firma itu melampirkan fotokopi tata tertib yang dulu pernah juga kami terima, dengan harapan agar diperhatikan. Sebuah edaran yang sangat sopan. Di dalamnya tidak tertera nama Eric Sullivan. Apakah dia merasa disasar, mesti tahu sendiri.

Sebagai tetangga terdekat, istriku merasa perlu mengajak bicara Luzia. Tanpa niat mengumpat.

“Kita sama-sama penyewa, Luzia. Semua membayar mahal buat menghuni flat ini dengan tenteram dan nyaman. Hati-hati, mereka tidak tinggal diam untuk membela haknya. Itu tabiat orang Barat.”

Apa kata Luzia?

“Ricki sungguh terlalu, Maria, dinas malam kunci rumah ketinggalan. Ceroboh itu bakatnya, Maria. Mana bisa aku menunggu. Dia datang terlalu siang. Ah, Maria, baru jam lima sebenarnya, tetapi dia tahu aku harus berangkat pagi-pagi buat mengantar koran. Larisa kan masih kecil, bisanya cuma menyusu, kakaknya tidur di atas, apa mesti turun memanjat tangga, Maria? Lain kali biar saja dia teler di luar, tak perlu bukakan pintu. Manusia harus belajar dari pengalaman sendiri, Maria.”

Seenaknya saja Luzia cari alasan, seolah orang mabuk akan mampu menarik pelajaran mengapa tak seorang sedia bangun membuka pintu baginya. Namun, Luzia berjanji akan mendamprat Ricki bila dia ulangi sekali lagi. Istriku kurang setuju, sebab kemarahan hanya memancing kemarahan. Lebih baik sambil lalu saja diajak bicara dan selalu diingatkan tentang kunci rumahnya. Kami pun percaya, sebagai makhluk sosial tentunya Eric Sullivan punya naluri normal, bisa saling tenggang sebagai sesama penyewa di gedung bertingkat empat itu. Memang benar, dia mulai mengerti keluh-kesah para tetangga dan tak pernah lagi semaunya memencet kenop siapa saja. Tetapi, kesadaran itu punya lain sebab.

Kata Luzia, “Ricki sudah berubah, Maria, lantaran dapat teguran dari bosnya, mabuk waktu dinas malam. Perkara alkohol, teman-teman Jerman bukan tandingan, Maria. Dia diancam pemecatan.”

Ceroboh itu bukan bakat seperti kata Luzia, melainkan penyakit yang tiap saat bisa kumat. Begitulah Eric Sullivan. Tingkah lelaki itu terulang lagi ketika dia datang terlalu pagi dari dinas malamnya. Lelaki yang malang! Bukan salah dia sebenarnya. Dia cuma berniat mengebel istrinya, tetapi dia lakukan berulang-ulang, sepuluh-sebelas kali barangkali! Itu juga mengganggu tetangga di lantai satu. Tentu saja mereka tak ambil pusing apakah dia kebelet kencing. Atau terdesak sesuatu yang mendadak. Mereka cuma mau hidup tenteram tanpa gangguan. Luzia pun enak saja bikin alasan.

“Aku sengaja tak mau membuka pintu, Maria.”

Istriku terperangah.

“Wah, sekarang kamu yang salah! Makanya dia ngebel berulang-ulang.”

“Ya, tetapi lama-lama aku kasihan, Maria. Masuk rumah ternyata kuncinya ada di ransel, bukan di saku mantel. Ceroboh itu bakatnya. Kumat! Tetapi bakat yang satu lagi, Maria…., mengerikan! Coba bayangkan, pagi-pagi dia datang, langsung ngajak begituan. Masak mau ditolak? Sudah itu kudesak-desak supaya mencuci… apanya itu, Maria? Anunya. Dia tidak melakukannya, Maria. Lemas, memang malas. Terus tidur dan mendengkur!”

Aku anggap istriku berlebihan, menganggap Eric Sullivan mengidap hiperseks hanya karena mengajak ketika hasrat mendesak.

“Dari mana kamu simpulkan itu?” tanyaku.

“Luzia bilang sendiri. Ricki tidak cukup dua hari sekali. Tiap hari, Pa!”

“Duilah. Kok yang begituan diomongkan.”

“Kena depresi barangkali. Masak, nyuci, ngurus suami, momong Larisa, mengantar koran. Lantas siapa bisa diajak bicara? Dia memerlukan teman. Tak ada teman Rusia-nya di sini.”

“Semua orang di Barat hidupnya berat, Ma. Dia bicara apa lagi?”

“Itulah gilanya. Dia tanya, apa kamu sama seperti Ricki, mintanya tiap hari.”

“Buset! Apa jawabmu?”

“Kusuruh dia langsung tanya sendiri.”

“Hah? Gila kau, Ma!” istriku kucerca. “Aku pilih ngumpet di kamar! Bilang saja, hiperseks itu mungkin ciri lelaki mungkin juga perempuan. Bahayanya, apa saja bisa dilanggar bila kebutuhan biologis tak terpenuhi.”

“Melanggar bagaimana maksudmu?”

“Memerkosa. Melacur. Ngeluyur di daerah lampu merah.”

Astaghfirullah! Istriku ternyata menyampaikannya. Perempuan macam Luzia sekali-sekali perlu ditakut-takuti, katanya. Agaknya dia percaya, menelan begitu saja apa-apa yang tak pernah ada di Rusia sejak Lenin hingga Yeltzin: pelacuran, pemerkosaan. Kecuali yang tersembunyi. Saran istriku, “Di Barat ini lain, Luzia. Kebebasan selalu dipertuhan. Jangan biarkan suami kita ketularan.”

Sebodoh itu Luzia tidak. Dia percaya moral suaminya. Dia mencintainya. Kalau tidak, buat apa ikut Eric Sullivan berangkat ke Eropa Barat sebelum Yeltzin diganti Putin. Barangkali suatu saat dia pun ikut Eric Sullivan pulang ke Ethiopia. Lelaki yang malang! Mengestu Heile Mariam memilih pertumpahan darah ketimbang mundur teratur. Perang saudara berkecamuk di negerinya. Kuterka, kira-kira status lelaki itu di negeri ini tidak berbeda dengan kami. Namun, aku terlalu bodoh untuk mengerti seluk-beluk dalam negeri Eric Sullivan, kecuali hadirnya Baret Biru*) dan tumbangnya Mengestu. Addis Ababa kabarnya aman.

Istriku tidak menduga ketika Luzia mengetok pintu. Napasnya gelagepan, suaranya tertekan. Tentu saja aku cepat-cepat ngumpet di kamar, dan kubiarkan istriku menemuinya sendiri.

“Maria! Maria! Mana suamimu?”

“Sudah tidur, Luzia. Ada apa?”

“Aku perlu tanya,” bisik Luzia.

“Soal itu kan? Sehari sekali!?”

“Bukan, Maria, bukan. Aku cuma tanya, sudah tidur?”

“Dia capai. Siang tadi kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”

“Ricki bilang dia bermaksud pulang. Addis Ababa aman. Bagaimana ini? Ada perang saudara di sana.”

“Suamimu lebih tahu.”

“Aku tahu, Mengestu sudah kalah, Maria. Sekarang perempuan terancam. Aku takut, Maria. Ngeri.”

“Kalau Ricki bilang aman, ya aman, Luzia. Jangan khawatir.”

“Aku bilang di sana perempuan mulai terancam.”

“Perempuan tidak diapa-apakan. Mereka dilindungi.”

“Tidak, Maria. Mereka disunat. Pada zaman Kaisar Heile Selassi tidak. Pada zaman Mengestu juga tidak.”

“Disunat? Yang disunat apanya?”

“Suamimu sudah tidur, Maria?” bisik Luzia lagi.

“Aku bilang dia capai, tadi siang kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”

“Anak gadis disunat, klitoris diiris! Pakai silet, Maria. Mengerikan. Kaulihat kemarin malam di Kanal-1?”

“Ha!?”

Aku masih terkurung di kamar. Tak kuduga begitu lama mereka mengobrol sana-sini. Satu jam lebih aku menahan kencing. Ketika tak tahan lagi, aku nekat keluar menuju kamar mandi. Mereka melihat aku lewat.

Luzia kaget, melontarkan protes.

“Kamu bilang dia sudah tidur, Maria. Kalau tadi dia dengar, bagaimana? Malu dong aku!”

“Terkadang dia pura-pura saja tidur.”

Sampai sekarang Eric Sullivan sekeluarga tetap tinggal di flat kami. Anaknya lima. Cuma satu belum sekolah. Anak kami tidak bertambah.

Koeln, awal April 2004

*) Baret Biru , Pasukan Keamanan PBB




Soeprijadi Tomodihardjo

Dari Mana Datangnya Mata

Dari Mana Datangnya Mata



dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali

“Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.”

Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung.

Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan.

dari mana datangnya lintah

jiwa manis indung disayang

“Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.”

Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat.

Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama.

Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam.

Ada yang menyelipkan belati di balik kutang.

Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang.

Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung.

Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman.

Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam.

Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang.

Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang.

Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman.

Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam.

Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan.

Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan.

dari mana datangnya lintah

dari mana datangnya cinta

“Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.”

“Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.”

“Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.”

“Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.”

Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan.

“Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan.

Lelaki itu kemudian menembus dini hari.

Lelaki itu kemudian memasuki pagi.

Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam.

Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan.

Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah….

“Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.”

Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya.

Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata.

“Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.”

dari mana datangnya lintah

jiwa manis indung disayang

dari mana datangnya cinta

ooo…

Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam.

“Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu.

Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli….

“Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….”

Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata.

Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah.

Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu.

Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga.

“Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih.

Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya?

“Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas.

Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya.

“Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang.

“Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu.

Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap.

dari mana datangnya cinta

darilah mata turun ke hati

“Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.”

kalau ada sumur di ladang

jiwa manis indung disayang….

Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya.

“Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa.

Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya.

Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya.
dari mana datangnya…

uggffhhh…

dari mana datangnya Mata!

Yogya, paruh awal 1980

Jakarta, Maret 2004




Veven Sp Wardhana

Lontarak

Lontarak



Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.

Wajah kakak sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya.

“Semula kami tidak mau merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi,” ujar sepupu saya. Suaminya pun membenarkan.

Belum saya tanggapi, sepupu saya yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. “Bagaimana kabar Andi dan anak-anak di rumah. Sehat saja toh,” katanya menanyakan kondisi istri dan anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman, tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan istrinya.

“Baik, semuanya sehat,” kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju mobil saya.

Mereka memperhatikan ketika saya mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain, empat lembar ribuan lagi.

“Eh, de… de… de…. Mengapa kita harus membayar begitu banyak?” tanya dia heran, karena tak pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan.

“Karena jalan mulus ini dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar. Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis. Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai melihat peluang usaha,” kata saya.

Di rumah, istri saya tak kalah gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman. Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan, anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang pelicin puluhan juta rupiah.

Setelah suasana semakin cair, saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta.

“Begini… Ndi. Dua bulan lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan lontarak sebagai warisan keluarga,” paparnya.

Saya sendiri tak pernah mendengar cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang ditulis berdasarkan keperluannya.

Ah, saya teringat waktu kecil, ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di betis.

Sepupu saya pun lalu bercerita mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung (raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang, maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu.

“Lalu kapan upacaranya?” tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak itu.

“Rencananya bulan depan. Tim itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya kita,” paparnya bersemangat.

Saya lega, ternyata sepupu saya tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama. “Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar.”

Mendengar alasan saya itu, wajah kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. “Bisa-bisa saya tidak melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku itu Andi,” katanya dengan nada memelas, penuh harap.

Istri saya pun menimpali perbincangan. “Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang kampung,” katanya.

Ketika saya tiba di kampung dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu, silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu, aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu.

Semalaman saya tak bisa tidur, karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan, atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya.

“Upacara pembukaan lontarak yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi,” kata kakak sepupuku, ketika mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan.

Rupanya itulah tujuan kakak sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku, semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku tadi.

Masih pagi-pagi benar, mereka sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak kata-katanya yang tak dapat saya mengerti.

Kakak sepupuku sendiri sibuk luar biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah sekalipun dibuka.

Si Belanda dengan hati-hati dan khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan, memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan berkeringat.

Mister Belanda itu perlahan melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam.

Saya melihat Si Bule dan seorang yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi, terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai.

Setelah mematikan mesin scanner-nya, Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer, membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda. Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya tak percayai.

Semua yang hadir kaget, seolah tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan “bodoh” itu ada yang paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu terhormat tersebut.

Tim Pusat bersama Si Bule menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik.

Mereka meminta saya untuk menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir, menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati, akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan itu.

“Saudara-saudaraku yang saya cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang juga sudah mati semua.”

Mendengar penjelasan saya itu, semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya.

“Kita semua yang hadir di sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita harus baca. Bacalah…!” kata saya.

Kakak sepupu saya yang punya hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya.

“Inilah kesalahan orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu. Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya, begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!” kata saya.

Pamulang, 240304

Catatan:

lontarak: naskah yang ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar;
Andi, ndi panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.



Andi Suruji

Kyai Sepuh dan Maling

Kyai Sepuh dan Maling



Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat.

Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh.

Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi.

Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia.

Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat.

Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!”

Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”.

Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan.

Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku!

Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”.

“Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat.

Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru.

Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek.

Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”.

Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya.

“Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling.

“Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat.

Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang.

Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya.

“Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh.

“Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit.

“Siapa kamu?! Darimana?!”

“Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan.

“Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?!

“E, maaf, mBah.”

“mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!”

“Maaf, kyai.”

“Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!”

“Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.”

“Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan.

“Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!”

“Saya, kyai.”

“Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin.

“Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.”

“Maaf, kyai.”

“Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.”

Maling mengangguk meng”iya”kan.

“Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!”

“Ampun, Kyai Sepuh.”

“Maksudmu?”

“Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.”

“Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!”

Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur.

Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu.

Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota.

Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak.

Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri.

Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat.

“Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!”

“Saya, kyai.”

“Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!”

Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini.

“Kenapa menangis?”

“Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.”

“Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.”

“Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.”

Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis.

“Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.”

“Terima kasih, kyai.”

“Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.”

Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak.

29 Maret 2004

Pamulang-Tangerang



Sandy Tyas

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”


Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”

Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”

Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.

Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.

“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.

Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.

“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang.

“Gotong-royong kita sangat bagus.”

“Kita masih punya semangat empat-lima.”

Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”

Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya.

Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.

Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal.

“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.”

“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon.

“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.

“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.”

“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.

Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.

Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.

Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.

Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.

Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab.

“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.”

“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya.

“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.”

“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.

Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi.

“Pagi-pagi sekali, dari mana?”

“Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”.

“Lho, kok?”

“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”

Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.

“Di mana kalian? Kami kalah.”

Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali.

“Di mana?”

“Sini!”

Berulang-ulang.

Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.

Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu.

“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.”

“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.”

“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan.

Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.

“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”

Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.

Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.

Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih.

Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.

“Kok menyapu sendiri, Pak?”

“He-eh, tidak ada yang disuruh.”

Lain hari perempuan itu lewat lagi.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”

“He-eh, habis bagaimana lagi.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”

“Ya tidak ada.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”

“Mau saja.”

Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.

Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.

Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!

Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”

Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.

Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.

Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.

Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *

Yogyakarta, 23 Februari 2004




Kuntowijoyo

Warna Ungu

Warna Ungu



Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu. (Tempat resepsi pernikahan yang paling bergengsi di Kota Malang). Mereka akan memakai adat Malangan secara lengkap. (pengantin perempuan yang sangat menyukai warna ungu) akan menikah dengan Indra teman kuliahnya di Fakultas Teknik UB. Perjodohan mereka dianggap sangat wajar, Indra dan Luke punya status sosial yang sangat sejajar. Indra adalah anak usahawan yang berada di Jakarta. Konon, bapak Indra seperti dongengnya Cinderella, melihat Indra yang belum juga pacaran, mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan mengundang beberapa gadis pilihan untuk menjadi pacar Indra.

Luke menjadi calon mantu yang paling favorit bagi keluarga Indra.

Penduduk kota ini menganggap mereka akan menjadi pasangan yang serasi! Umur mereka sudahlah pantas untuk menjadi pasangan muda yang bahagia. Teman-teman dekat Luke maupun Indra tidak melihat cela yang akan terjadi di antara hubungan mereka. Menurut teman dekat Indra maupun Luke, Luke dan Indra pasangan yang sangat senang anak-anak. Luke mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru play group. Oleh karena itu, sering mereka melihat Indra dan Luke bersama anak didiknya bermain-main dengan gembira.

Mereka jarang bertengkar, terlampau banyak kesamaan antara Indra dan Luke, mulai dari selera makan sampai mengisi waktu luang. Kalau toh ada pertengkaran rasanya tidak akan pernah saling melukai. Sesungguhnya, sebelum acara pernikahannya, pada teman-temannya Luke berkata, “Aku tidak menikahi seorang pangeran. Aku menikahi Indra dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada usiaku yang kedua puluh satu nanti, aku kepingin menjadi ibu dari anak- anakku. Kurasa umur yang pantas untukku. Aku tidak terlampau ingin sibuk dengan karier sehingga lupa punya anak. Anak-anak bagiku adalah masa depanku juga masa depan bangsa ini. Aku bersyukur dokter mengatakan aku cukup sehat untuk punya anak. Aku sebetulnya sudah menanti seorang anak sejak usiaku yang kedelapan belas. Indralah yang dengan serius menanggapi cita-citaku. Banyak pasangan muda takut kalau mereka segera punya anak, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk bersenang-senang berdua. Tapi aku tidak! Sejak usiaku yang kedelapan belas, aku sudah menyiapkan diri untuk tidak terlampau larut dengan dunia anak muda. Sering aku membeli buku bagaimana mendidik anak-anak. Dan walaupun aku tidak menyukai lagu klasik, ketika ketemu simfoni Mozart, aku langsung membelinya! Karena, aku membaca di satu artikel bahwa lagu klasik bisa merangsang kepandaian anak. Harusnya digarisbawahi, aku tidak kepingin mendidik anak-anakku seperti Mama mendidikku.

Papa dan Mama sangat sibuk dengan usahanya sehingga waktu kecil ketika seorang pembantu sering mencubiti diriku, aku tidak berani mengatakan pada orangtuaku. Kalau aku menceritakan penyiksaan itu, Mama pasti tidak mempercayaiku. Di muka orangtuaku, dia bisa bersikap sangat manis. Mamaku merasa bebannya dengan anak-anaknya bisa terkurangi, apalagi pembantuku itu tidak mencubiti adikku. Mama selalu menganggap aku terlampau nakal, lain dari adikku yang masih bayi itu.

Aku tidak tahu sampai hari ini mengapa kebencian terhadap pembantuku itu selalu berada di ruang hati dan seluruh sudut rumah ini. Tadi siang, dia datang dengan cucunya, (aku tidak menyukai anak itu). Aku menjadi cemas karena setiap orang bilang aku adalah kekasih anak-anak. Rupanya, aku bisa tidak menyukai anak kecil ini. Di matanya, aku melihat mata pembantu yang mencubitiku dulu. Anak itu mengerti perasaanku, dia meminta segera keluar dari kamarku. Aku mengiyakan dengan cepat dan mendorong keduanya keluar dari kamar ini.

Mestinya aku bisa memilah-milah persoalan. Aku hari ini sedikit depresi, aku sering sekali pusing dan mimpi buruk yang terputus-putus sejak seminggu ini. Seharusnya aku kelewat bahagia karena akan menikah dengan calon bapak dari anak-anak. Sungguh, aku merasa pusing lagi, aku tertidur. Mimpiku, anak kecil itu memukul-mukul kendang persis di sebelah telingaku. Aku terbangun dan kepingin muntah, padahal hari ini aku harus kelihatan bugar dan cantik.

Sungguh, sebelum aku menjadi pengantinnya Indra aku sudah membicarakan hal ini berulang-ulang kepadanya. Kalau kita punya anak, sebaiknya ada orang yang bisa kita percayai untuk mengurus anak-anak. Oleh karena itu, pernikahan bagiku adalah sebuah langkah yang sangat serius. Aku tidak lagi mengulang kesalahan-kesalahan Mamaku, yang lebih menikmati dunianya sendiri. Tentu saja, aku tidak berani bilang, “Mamaku seorang egois.” Kehidupanku dengan dua adik laki-lakiku sangat tercukupi. Aku masih ingat ketika usiaku yang ketujuh, aku meminta sepatu roda yang pada waktu itu jarang dijual di Kota Malang. Dengan mudah Mama mendapatkan sepatu itu. Aku masih ingat bagaimana teman-teman SD-ku (yang menurutku orangtuanya lebih kaya) membelalakkan matanya ketika aku meluncur dengan sepatu roda itu.

Mama sering bilang, “Dia adalah perempuan yang bahagia.” Papa tidak pernah memukul seperti suami adiknya atau pelit seperti suami kakaknya. Masih menurut Mama, tidak ada yang bisa disalahkan dari saudara-saudara perempuannya. Seorang laki-laki baru ketahuan jeleknya kalau sudah jadi suami. Jadi, pernikahan dengan suami yang baik, seperti mendapat undian. Aku merasa sudah melihat kekurangan Indra, rasanya aku masih bisa mentolerir kekurangannya. Aku percaya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena aku sendiri bukan perempuan yang sempurna. Tetapi kadang-kadang omongan Mama tentang perempuan yang mendapat suami yang salah, menghantui diriku. Sahabat Rita, akhir-akhir ini mengeluhkan suaminya yang sering memukul. Aku khawatir, dia tidak bisa keluar dari lingkaran setan itu. Aku takut sekali melihat memar-memar bekas pukulan suaminya. Tentu saja aku akan bertindak tegas jika Indra memperlakukan diriku seperti Rita. Tapi Mama bilang, “Kalau kita sudah menikah, masalahnya tidak sesederhana itu.” Rita mungkin sudah lama ingin keluar dari pernikahannya, tapi tidak bisa! Aku bilang, “Kalau aku jadi Rita, aku sudah lama menceraikan suamiku.”

Mama mengangkat bahu, seolah-olah tidak yakin aku bisa setegas itu.

Sesungguhnya perayaan pernikahan ini sudah dibicarakan oleh penduduk Kota Malang, karena yang bakal mantu adalah usahawan sukses di mana akan banyak sekali memakai adat Malangan, yang sudah lama tidak lagi dipakai oleh masyarakat Malang. Ini merupakan tontonan yang menarik. Pak Hendrawan sudah membeli dokar untuk kirab kedua pengantin dari rumah sampai ke gedung resepsi. Penduduk Kota Malang sudah sering melihat dokar berwarna ungu, yang sekarang begitu cantik, berada di halaman rumah Pak Hendrawan.

Mereka akan memakai seragam ungu, pada resepsi pernikahan dan gedung resepsi pernikahan akan ditata dengan serba warna ungu, mulai dari tempat duduk pengantin, karpet, dan bunga-bunga hiasan. (Pak Hendrawan sudah mengorder berpuluh-puluh bunga anggrek bulan ungu untuk hiasan di gedung pengantin). Mereka memilih warna ungu, warna favorit dari keluarga Pak Hendrawan. Sebagian ruangan rumah Pak Hendrawan, khususnya kamar pengantin, sudah dicat dengan warna ungu. Seprei pengantin dan semua hiasan berwarna ungu di kamar itu. Hanya pada saat ijab kabul, kedua pengantin memakai baju brokat putih, tapi kerudung untuk mereka berdua tetap dengan warna ungu. Konon baju tidur mereka berdua juga berwarna ungu.

Tak pernah seorang pun di Kota Malang melihat persiapan yang begitu ribet dengan biaya yang rasanya sulit dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk di Kota Malang.

Adalah Mbok Pah, yang ingin memberikan jamu, yang pertama kali merasa kehilangan Luke. Sementara yang lainnya masih tidur dengan kelelapan yang luar biasa. Mbok Pah mencari di setiap sudut rumah ini. Akhirnya dengan cemas membangunkan ibu Luke.

“Saya tidak menemukan Jeng Luke, Bu.”

Mama Luke yang kelihatan mengantuk tiba-tiba terbangun. “Cari dia sampai dapat, sebentar lagi acara akad nikah segera dimulai.”

Akhirnya, setelah sekian lama Mbok Pah mencari, seluruh keluarga besar terbangun dan menjadi gagap, “Luke memang tidak ada di tempat!”

Sekarang setiap kerabat, sahabat, mencari Luke ke seluruh penjuru Kota Malang. Tidak diketemukan calon pengantin perempuan.

Kepanikan semakin lama semakin lebar ketika pengantin pria dan seluruh keluarga besarnya sudah datang untuk menikahkan putra-putrinya. Semua keluarga besar Hendrawan hampir tidak bisa berbuat apa pun ketika yang satu mulai menangis dan yang lainnya ikut- ikutan.

Pakde dari Luke, atas desakan keluarga besar calon mantu melapor ke polisi atas kehilangan keponakannya.

Polisi mencatat semua data-data Luke dan berulang-ulang bertanya, “Apakah mereka akan dinikahkan secara paksa?”

“Tidak, mereka pacaran. Tolong kami, karena acara resepsi di gedung tinggal beberapa jam lagi dan kalau si pengantin tidak diketemukan, besok semua koran lokal dan nasional akan memuat berita ini. Indra anak pengusaha sukses di Jakarta. Ini akan memalukan seluruh keluarga besar kami,” kata Pakde Luke, telak.

Polisi cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ini kasus yang pertama ditemui oleh pihak kepolisian. Padahal bapak polisi sangat akrab dengan pengusaha yang sangat sukses itu. Polisi mengerahkan anak buahnya untuk mencari Luke.

Luke tidak diketemukan sampai waktu resepsi. Para undangan saling berbisik dan sebagian orang ikut prihatin atas hilangnya pengantin perempuan. Padahal, menurut Indra, sejam sebelum hilangnya Luke mereka masih SMS-an. Luke cuma bilang, dia lebih sering berkeringat dan pusing sehingga perias pengantinnya sering membubuhi bedak (satu hal yang tidak disukai Luke). Sebelum rencana pernikahan ini dikukuhkan oleh para orangtua mereka, Indra bercerita di depan polisi, “Kami berdua sangat sepakat untuk segera menikah, agar lebih cepat memiliki anak di masa muda.”

Mereka berdua sepakat tidak akan pernah meniru tante Luke yang masih hidup sendiri di usianya yang hampir 35 tahun. Masih menurut Indra, Luke sering bercerita tentang tantenya itu, “Tanteku kariernya bagus, tapi dia tidak sempat menikah! Saya tidak ingin seperti dia, tanteku tidak bisa memahami bagaimana mencari susu bayi, mengantarkan ke taman kanak-kanak atau ke dokter.”

Namun, dua bulan sebelum pernikahan Luke, tantenya dengan bangga mengatakan, “Aku baru saja melahirkan seorang anak.” Tante tidak pernah menyebut-nyebut siapa bapak dari bayi itu. Luke melihat hal itu sangat luar biasa dan ini sering diceritakan pada Indra. Tetapi Luke dan Indra tetap sepakat akan menikah secara normatif dan kemudian punya anak.

Jadi, tidak mungkin Luke pergi tanpa alasan yang jelas. Indra takut ini ada tangan-tangan kotor dari pesaing bisnis papanya atau Pak Hendrawan dalam pernikahan mereka. Lantas, dia mendesak polisi dan seluruh kerabat Hendrawan untuk mencari Luke agar tidak mempermalukan dirinya dan mencari akar masalah dari musibah ini. Apakah ini ada hubungannya dengan pesaing bisnis papanya dan pesaing bisnis papa Luke?

Di depan polisi Indra berulang-ulang berkata, “Pak, di antara pelaku bisnis itu selalu muncul iri hati satu sama lain dan mungkin kedengkian inilah yang menjudi akar masalahnya. Oleh karena itu, berapa pun akan saya bayar untuk mencari Luke hari ini juga! Saya tidak yakin Luke pergi dari rumah, tidak dengan alasan yang jelas. Yang saya banggakan darinya sikapnya yang rasional dan kemauan yang keras. Kalau tidak pacaran dengannya, saya mungkin belum berani menikah.”

Luke memang tidak ditemui di penjuru kota ini.

Luke setelah tiga hari pulang ke rumah dan Luke bercerita, “Waktu itu saya merasa gerah, seorang anak kecil membimbing saya untuk keluar dari rumah ini. Saya berpikir untuk menghibur anak ini. Saya kira dia salah satu anak dari keluarga besar kami. Untuk menghiburnya, kami menaiki becak yang parkir di depan rumah, dengan harapan saya akan kembali pukul 14.00 WIB sebelum menikah. Ini sensasi yang luar biasa, saya dan anak kecil itu merasa bahagia. Kami ke sebuah taman anak- anak minum es krim dan saling memakai ayunan. Kemudian setelah hampir pukul 16.00 WIB saya sadar sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu sudah pergi entah ke mana, sehingga saya panik mencarinya.”

“Jadi, saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, saya mencari anak itu yang tadinya cuma pamit sebentar. Saya pikir orangtuanya pasti akan kehilangan anak itu, kalau tidak saya temukan dirinya. Saya tentu bersalah! Walaupun saya tahu saya harus pulang untuk menikah dengan Indra. Ya, seharusnya anak itu tidak pergi dari sisi saya, sehingga saya dengan dia bisa pulang ke rumah dan kemudian jadi pengantinnya Indra, dengan kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh seluruh keluarga besar saya.”

“Anak itu tetap tidak diketemukan, saya menangis. Saya cemaskan anak itu. Kalau tidak bisa diketemukan malam ini, saya sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya. Seharusnya, saya melaporkan kehilangan anak ini pada keluarga dan polisi. Tapi, saya merasa ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari-hari yang lebih bahagia.”

Semua orang tidak mempercayai omongannya. Kedua orangtuanya merasa dipermalukan. Sementara itu, pacar Luke menyatakan mereka sekeluarga merasa dipermalukan dan tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini.

Luke berulang-ulang bilang, “Kalau pernikahan itu tidak jadi, saya tidak bisa disalahkan. Waktu itu saya dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan saya begitu panik karena tiba-tiba anak itu tidak berada di sisi saya. Seharusnya, Indra menganalisa masalah ini dahulu, dengan lebih tenang, sebelum memutuskan hubungan kita. Kami masih saling mencintai.”

Penduduk kota kami membicarakan gagalnya pernikahan itu berhari-hari. Sebagian orang menganggap keluarga Hendrawan kurang melengkapi sesajennya, ketika akan menikahkan dengan adat Malangan, sehingga penghuni halus jadi marah-marah. Seharusnya keluarga Hendrawan bikin selamatan untuk menyucikan tempat pernikahan itu terlebih dahulu. Penduduk kota kami percaya untuk memakai adat Malangan yang lengkap harus memakai sesajen, untuk melewati proses demi proses dari mulai widhodharen, temu, sampai selesainya pernikahan tersebut.

Sementara itu, beberapa teman Luke maupun Indra merasa heran, mengapa pengantin minggat, padahal mereka saling mencintai? Dan mereka berdua begitu mantap untuk menikah, sekalipun kuliah mereka berdua belum selesai.

Kita membicarakan itu selama berhari-hari sehingga tak tahu lagi bagaimana kabar Luke sebenarnya, yang menurut beberapa orang, tidak ketahuan ke mana perginya.

Kemudian, kalau kita melewati rumah Luke, tampak pagar dan dokar yang berwarna ungu. *

Malang, 2004
Cinta Elena & Pedro

tinggalkan komentar »




Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana. Pengamen-pengamen asal Puerto Riko asyik menyanyikan lagu-lagu tradisional mereka. Lagu-lagu tentang semangat kerja rakyat petani. El Cantar de un Campesino (A Farmer’s Song), Mi Jaragual (My Little Farm), meluncur mendayu-dayu diiringi dansa-dansa yang amat indah. Beberapa orang berkerumun untuk mendengarkan. Ada juga yang membeli kaset hand made-nya seharga 10 pesetas.

“Como estas, hoy, Elena?”

“Bien. Muy bien, Pedro.”

Seorang pria duduk di sebelahnya. Sebuah tongkat kayu dari pohon ek berada di tangannya. Ia setua si wanita. Kepalanya botak. Berkilat-kilat kena cahaya lampu yang mulai dinyalakan. Si wanita mencium aroma wewangian dari tubuh si pria. Kesegaran menjalari seluruh tubuhnya.

“Apakah mereka sudah menyanyikan Cantandole a lo Nuestro?” si pria bertanya. “Aku selalu menyukai lagu itu.”

Si wanita tersenyum. “Belum. Kau bisa memberinya beberapa pesetas dan meminta mereka menyanyikannya untukmu.”

“Untuk kita.”

Tersenyum, tangan si wanita memegang tangan si pria. Bara cinta meletup di dadanya.

“Ya, untuk kita, Pedro,” katanya.

Sesaat ia diam.

“Aku baru saja mendapatkan cucu ketiga,” kata si wanita beberapa saat kemudian. Suaranya datar. Matanya menatap ke pengamen obor api yang memasukkan dan mengeluarkan obor berapi di mulutnya. “Una hija. Muy bonita.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan sekulum senyum.

Si pria menoleh.

“Siapa orangtuanya?” ia bertanya. Suaranya lirih. Ada nada pedih. Seperti ada beban yang menindih.

“Si bungsu. Julia.”

Si pria menarik napas. Tanpa berkata.

“Kau tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Pedro? Por que?” si wanita menoleh, memandang laki-laki di sebelahnya itu. Ia masih tampan seperti dulu, si wanita membatin. Ia menyembunyikan sukacita di hatinya. Api cinta bergejolak di dadanya.

“Kau ingin aku mengatakan apa? Aku turut bahagia dengan segala anugerah yang kau terima? Begitukah?”

“Setidaknya kau bisa berkomentar apa saja, Pedro. Kau bisa pura-pura bahagia. Demi aku.”

Malam terus merayap. Matahari sebentar lagi akan lenyap ditelan Bumi. Begitulah selalu di Spanyol. Di musim panas, matahari seolah enggan buru-buru berhenti menyinari Bumi.

“Bagaimana kabar Raul? Apakah ia bahagia dengan Bettina?” si pria bertanya. Di wajahnya lintasan kebahagiaan berpendar-pendar. Ia menunggu jawaban si wanita dengan dada berdebar. Tak sabar.

“Raul sering kali menanyakanmu. Ia selalu merindukanmu.”

Mendadak si pria tersenyum getir. Dalam benaknya, wajah Raul bergulir. Seorang pria tinggi besar yang hampir saja tewas karena serudukan banteng di gelanggang matador di La Monumental de Barcelona. Itu yang membuatnya berhenti sebagai torero, meskipun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin sekali menjadi seperti Pedro Romero, matador legendaris yang amat masyhur, yang selalu dielu-elukan penonton dalam setiap pertunjukan.

Si pria melirik si wanita. Tangannya masih dalam genggaman tangan si wanita. Api cintanya membara.

“Aku sebenarnya menginginkan ia menjadi pemain sepak bola,” katanya dengan sunggingan senyum tertahan. “Kalau ia menuruti kata-kataku, mungkin saat ini ia tengah bertanding di La Liga bersama Raul Gonzalez. Akan ada dua Raul di sana. El Merengues selalu jadi tim kebanggaanku meski aku orang Basque. Aku tak ingin ia berada di Nou Camp. Aku cuma ingin ia berada di Santiago Bernabeu.”

Si wanita tersenyum. Tangannya masih juga memegang tangan si pria. Ia tahu Pedro tak ingin Raul berada di Nou Camp. Stadion kebanggaan pendukung El Barca itu terlalu banyak tahu tentang mereka. Di sanalah ia dan Pedro pertama kali bertemu ketika Barcelona dikalahkan Liverpool dalam suatu pertandingan tingkat Eropa >jmp -2008m<>h 6024m,0<>w 6024m<1)>jmp 0m<>h 8000m,0<>w 8000m< 26 tahun lalu. Pedro datang dengan segala atribut El Barca. Begitu juga Elena. Dalam sekali pandang, cinta mereka bertaut. Di dada mereka bunga-bunga cinta membalut. Jantung keduanya serasa lebih cepat berdenyut.

Dua tahun Elena dan Pedro bahu-membahu sebagai pendukung Barcelona sampai kemudian cinta mereka dipisahkan oleh takdir, sama seperti El Barca yang dua tahun sebelumnya disisihkan klub sepak bola dari tanah Inggris itu. Cinta memang tak selalu mempertautkan raga meski jiwa mereka takkan terpisahkan oleh apa saja.

“Kukira sudah terlalu malam,” kata si pria kemudian. Suaranya agak parau. “Sudah saatnya kita berpisah. Aku pamit.” Si pria bangkit. Mengecup kening si wanita. “Buenas noches, Elena. Hasta luego.”

Si wanita tersenyum. “Pedro,” katanya, menghentikan langkah si pria. “Te amo.”

“Mi, tambien.”

Tak ada yang berubah di Las Ramblas. Pejalan kaki tetap berseliweran dari pagi sampai pagi. Ada yang santai, ada yang dalam gegas. Para pengamen berdiri di sisi jalan dengan kesabaran tanpa batas. Semuanya mempertontonkan kelebihan masing-masing seraya berharap ada pejalan kaki yang rela menyisihkan uang recehnya beberapa pesetas. Mereka tak menadahkan tangan. Mereka menjual kepandaian. Ada yang berperilaku seperti manekin hidup dengan tubuh berbalut semacam cat putih dan baru mengubah posisi mematungnya manakala seseorang melempar uang receh pada sebuah wadah di depannya. Kelompok penyanyi Puerto Riko juga tetap setia membawakan lagu-lagu rakyatnya di depan sebuah toko yang menjual berbagai macam majalah dan koran.

Elena, si wanita berambut keemasan itu, juga tetap setia duduk di kursi yang kemarin didudukinya. Entah ini hari ke berapa ia berada di sana. Ia belum pikun untuk menghitung masa. Tapi, ia memang tak ingin menghitung. Ia khawatir hitungannya terhenti pada bilangan tertentu. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya seperti yang ia inginkan sendiri. Tanpa terikat apa-apa.

Seperti juga hari-hari sebelumnya, Pedro, si pria tua itu, muncul belakangan. Dengan tongkat di tangan. Yang diketuk-ketuknya perlahan-lahan ketika ia berjalan. Tanpa tongkat itu pun ia sebenarnya masih bisa bertahan. Tongkat dari kayu ek itu lebih hanya sebagai teman. Yang membuat langkahnya terasa lebih ringan.

“Buenos dias, Elena,” katanya begitu tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sebelah si wanita.

“Buenos dias,” Elena tersenyum sumringah. Kesejukan di hatinya singgah. Di dadanya rasa nyaman merambah. Sisa-sisa api cinta berpendar-pendar di matanya yang cerah.

“Kau sehat?” si pria bertanya, seperti coba mencari topik pembicaraan di sore yang juga cerah.

“Seperti yang kau lihat. Sejak dulu matamu selalu bagus, bukan?” si wanita menjawab. Tanpa menoleh.

Sepasang muda-mudi kemudian duduk di kursi di depan di seberang mereka. Dengan es krim di tangan mereka. Si pemudi menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemuda. Si pemuda menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemudi. Lalu, keduanya bersama-sama menggigit es krim di tangan si pemudi dalam waktu bersamaan. Lalu mereka tertawa-tawa berkakakan. Mereka seolah cuma ada berduaan. Mereka tak peduli dengan pejalan kaki yang berseliweran.

Si wanita tersenyum. Si pria tersenyum. Keduanya teringat masa-masa lalu yang indah di Plaza Montjuic di bawah tempias air mancur yang meloncat-loncat seiring dentuman drum dari simfoni-simfoni klasik gubahan Beethoven entah berapa waktu lalu. Ketika cinta tengah membuat mereka mabuk. Ketika saling memberi dan menerima merasuk.

“Kau masih ingat ketika itu aku meringis, bukan?” si wanita menoleh.

“Ya, katamu gigimu sedang sakit. Bukankah kau sakit gigi waktu itu?”

“Bukan sakit gigi. Sariawan membuat gusiku peka.”

Kenangan-kenangan indah bermunculan susul-menyusul memenuhi benak mereka manakala mereka tengah duduk berdua seperti sekarang ini. Selain Nou Camp, sudut-sudut Plaza Montjuic jadi saksi abadi keabadian cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu dan perubahan. Ketika mereka saling memagut dalam alunan cinta yang kian bertaut. Ketika kelana cinta mereka menari-nari dalam sinar mercury yang remang. Saat itu mereka yakin takkan ada yang mampu memutus tali dan jalinan kasih mereka, setelah setetes benih juga tersemaikan dalam sebuah romantisme kasih tak terperi.

Tapi, takdir itu kemudian datang memisahkan mereka. Elena harus menikah dengan pria lain pilihan ayahnya. Tak pernah terbayangkan hal itu dapat terjadi. Demi sebuah bisnis keluarga, Elena, si wanita terkasih, disujudkan kepada laki-laki yang tak dicintainya. Dan keduanya pun kemudian berpisah dalam dekap penuh tangis di sebuah kamar hotel tua di sisi pedestrian Las Ramblas ini. Wajah mereka basah oleh air mata dan tetes-tetes cinta.

Hampir dua puluh delapan tahun peristiwa itu berlalu. Dan kini alam mempertemukan keduanya kembali. Dalam tubuh yang renta, cinta mereka tetap bergelora. Dalam tubuh renta mereka, api kasih masih panas membara. Masa tak mampu memupus dan memudarkan hasrat mereka untuk tetap bersama. Api cinta mereka memang terpendam. Tapi tak pernah padam. Cinta mereka memang terbelenggu. Tapi kasih mereka tak dilekangkan oleh perubahan dan waktu.

“Kau mencintai istrimu, Pedro?” si wanita bertanya.

Si pria menoleh. Inilah untuk pertama kalinya pertanyaan seperti itu meluncur. Setelah sekian lama mereka kerap bertemu dan saling mencurahkan isi hati yang pernah hancur. Haruskah aku menjawabnya secara jujur? Si pria bertanya dalam hati. Jika aku berkata jujur, apakah hatinya takkan hancur? Ia kembali mengetuk hatinya dengan pertanyaan penuh keraguan.

“Almarhumah istriku?” ia mencoba mengulur. Sambil coba mencari jawaban yang paling tepat. Yang takkan melukai hati si wanita di sisinya. Wanita yang dulu selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

Si wanita menoleh. Melemparkan senyum. Dengan bibir yang masih tampak ranum. Setidaknya di mata si pria yang kian rabun. Tapi, senyuman itu sekaligus membuat si pria gelisah. Membuat hatinya resah. Dan ia merasa keringat telah membuat telapak tangannya basah. Embusan angin membuat hatinya makin galau. Di dadanya menggumpal rasa risau. Pedihnya seperti tertusuk-tusuk sejuta pisau.

“Setidaknya aku punya anak dari Evita,” suaranya parau. “Aku mencintai anak-anakku. Pablo dan Javier.” Ia diam sejenak. Sesuatu seperti membuat tenggorokannya tersedak. Ketika ia melirik si wanita, ia melihat angin membuat rambut si wanita tersibak. Dan ia seperti menunggu. “Apakah, apakah kau mencintai suamimu?” ia bertanya setelah mengumpulkan segenap keberanian.

Si wanita tertawa kecil. Suaranya agak menggigil.

“Mengapa kau tertawa, Elena?” si pria bertanya.

“Seperti kau, dari Enrique aku punya Julia.”

“Dan Raul.”

“Kau tak ingin mengatakan Raul sebagai anakmu?”

Si pria tak segera menjawab. Seolah ingin membiarkan pertanyaan itu menguap.

“Kau masih mendengarkan aku, Pedro?”

“Ya,” tenggorokan si pria terasa kian tercekat. “Raul mungkin darah dagingku. Tapi ia anakmu dan Enrique.”

Malam merayap naik. Udara dingin kian terasa menusuk tubuh mereka yang renta.

“Aku pulang dulu, Elena,” kata si pria mendahului setelah seorang pemuda meluncur di depannya dengan sepatu roda di kakinya.

Elena bangkit. Pedro pun bangkit. Ia mengecup kening si wanita. Lalu melangkah ke arah utara. Si wanita melangkah ke selatan, ke Plaza de Catalunia.

HARI berikutnya, keduanya bertemu di Plaza de Toros La Monumental de Barcelona, sebuah bangunan tua yang tetap terawat dengan sangat baik. Keduanya memang selalu menyukai aksi para torero dan matador membunuh banteng.

“Kudengar makin banyak yang menentang pertunjukan seperti ini,” kata si pria ketika keduanya duduk di kursi dari kayu tua di barreras. “Kelihatannya memang tak manusiawi. Tapi alam diciptakan Tuhan untuk manusia. Makhluk-makhluk lain adalah pelengkap. Mereka harus menjadi bagian yang membahagiakan manusia.”

“Itu katamu,” si wanita menyunggingkan senyum ketika para paseillo memasuki arena dan melambaikan tangan mereka kepada para penonton. Sejak kecil, si wanita selalu dibuat kagum oleh pakaian para torero yang berwarna-warni. “Mereka, para pencinta lingkungan dan binatang, menginginkan semua makhluk hidup, hidup berdampingan secara damai.”

“Tapi ini tradisi kita,” si pria membantah.

“Aku tahu. Dan kita ke sini bukan untuk berbantah-bantahan, bukan? Kita ke sini untuk menonton.”

Si pria terperangah oleh suara si wanita yang terdengar getas. Ia masih seperti dulu, si pria membatin. Ia ingat ketika pertama kali memasuki La Monumental de Barcelona sebagai sepasang kekasih. Elena menolak duduk di barreras karena harga tiketnya mahal. Ia lebih suka duduk di gradas. Tiketnya paling murah. “Kalau kau mau duduk di sana, silakan kau duduk sendiri. Aku mau kita di gradas,” katanya ketika itu. Buru-buru si pria meraih tangan kanan si wanita dengan tangan kirinya. Menggenggamnya erat-erat. Seperti tak ingin terlepas.

Seorang novilladas memasuki arena. Siap memulai pertunjukan. Tepuk tangan kecil terdengar. Begitulah selalu nasib para matador pemula. Ia harus lebih dulu mempertontonkan kecekatannya menguasai seekor banteng sebelum kemudian diakui menjadi torero dan akhirnya setelah kemampuannya teruji, menjadi matador sesungguhnya.

“Siapa matador kesukaanmu sekarang?” si pria berdehem sesaat kemudian.

“Seperti cintaku padamu, sampai sekarang aku masih lebih menyukai Pedro Romero.”

“Tapi ia telah tiada.”

“Karena itu, hari ini aku ingin melihat aksi Enrique Ponce.”

“Enrique?”

Si wanita menoleh. Tersenyum penuh arti.

“Jangan seperti anak kecil, querido mio. Tak ada hubungannya dengan Enrique almarhum suamiku. Aku menyukainya karena kehebatannya, bukan karena namanya. Saat ini tak ada Enrique dalam batinku.”

Enrique Ponce memasuki arena. Ia akan memuncaki pertunjukan siang itu. Tepuk tangan membahana ketika ia keluar dari puerta grande. Tepuk tangan kian membahana ketika seekor banteng besar seberat 360 kg dihadapkan kepadanya. Dan, ia tak perlu berlama-lama untuk menancapkan estoque-nya melalui leher bagian atas si banteng yang kemudian perlahan-lahan seperti bersujud di hadapan sang matador.

“Ia seperti memiliki mata malaikat,” si wanita berkata, seperti mendesah.

“Ia memang luar biasa. Suatu saat ia mungkin bisa seperti Pedro Romero, sang legendaris itu,” sambung si pria.

Kini keduanya duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari besi di sisi jalan tak jauh dari Plaza de Toros. Matahari bersinar amat cerah. Langit tampak kebiruan.

“Aku tak ingin semua ini segera berakhir,” si pria berkata, ditingkahi suara burung-burung hoopoe dari kejauhan.

“Tapi hidup ada batasnya,” sahut si wanita seiring desiran dedaunan pohon palem yang ditiup angin.

“Kau ingin kita menyudahi semuanya, Elena?”

Tak terdengar sahutan. Mata si wanita menatap ke kejauhan. Di sana tampak empat pria tua asyik bermain petanque, yaitu permainan melempar besi berbentuk bulat seperti bola lontar martil.

“Kau ingin aku menikahimu?” si pria kembali bertanya.

Si wanita meringis.

“Akan menjadi pernikahan yang menarik,” ia mendesah beberapa saat kemudian. “Tapi Raul tak ingin hal itu terjadi.”

Si pria tampak terperanjat.

“Sudah kau ceritakan siapa aku kepadanya?” si pria bertanya. Menduga-duga. Rasa galau berloncatan di dadanya.

“Tidak seperti yang mungkin kau sangka. Baginya, kau cinta pertamaku. Ia tahu apa itu artinya.”

“Tapi, kenapa ia tak setuju kita menikah?”

Tak segera terdengar sahutan.

“Aku tak ingin tahu alasannya. Aku cuma tahu ia tak setuju.”

Lama keduanya terdiam.

Hening menyungkup kamar itu. Si pria duduk memandang si wanita. Ada gelora cinta. Menggemuruhi dada keduanya.

“Kau masih secantik dulu,” katanya lebih mirip desahan. Suaranya agak tertahan. “Cintaku tak pernah dilekangkan oleh zaman.”

Setetes air bening menetes di mata si wanita. Tak ada luncuran kata. Ia tetap diam tanpa suara, beberapa lama. Tapi di dadanya kebahagiaan melanda.

Si pria berdiri. Melangkah perlahan menghampiri. Si wanita duduk diam menanti. Dadanya berdegup tiada henti.

Beberapa lama si pria dan si wanita duduk dalam diam. Keheningan mencekam. Tapi gemuruh cinta di dada keduanya berdentam-dentam.

Lalu, ruangan itu gelap. Dalam gelap, si pria menatap bebukitan tandus tapi memberinya gairah meluap. Si wanita tergagap. Dalam gagap ia menemukan sepucuk tunas tumbuh. Gairah di dadanya pun meletup. Jantungnya kian kencang berdegup.

Dalam kepasrahan ia membiarkan si pria pergi. Mendaki. Mendaki dan mendaki. Sampai kemudian semuanya berhenti. Dalam sunyi abadi.

Raul, Julia, Pablo, dan Javier berdiri berjajar. Dengan baju serba hitam. Di hadapan mereka berjajar dua tubuh dalam diam. Dalam peti berbalut kain hitam. Sebentar lagi prosesi pemakaman dilakukan.

“Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi,” kata Pablo. Kalimat itu ia tujukan buat Raul dan Julia.

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang dapat dipersalahkan,” kata Raul dengan wajah tetap tertunduk.

“Mereka pergi membawa cinta abadi mereka,” kata Julia lirih.

Tak ada yang menyahut lagi.*

Jakarta, Februari 2004

Catatan:

Como estas, hoy? Apa kabarmu?
Bien. Muy bien, baik, baik sekali.
Pesetas, nama mata uang Spanyol.
Una hija. Muy bonita, seorang anak perempuan. Cantik sekali.
Por que? Kenapa?
Torero, sebutan umum untuk matador. Matador, bintang dalam pertunjukan matador. Tingkatannya di atas torero.
La Liga, divisi utama Liga Spanyol.
El Merengues, julukan klub sepak bola Real Madrid.
Nou Camp atau Camp Nou, kandang klub sepak bola Barcelona.
El Barca (baca El Barsa), julukan klub Barcelona.
Buenas noches. Hasta luego, selamat malam, sampai jumpa.
Te amo, aku cinta padamu.
Mi, tambien, aku juga.
Buenos dias, selamat siang.
Plaza de Toros, tempat pertunjukan matador.
Paseillo, parade para matador sebelum pertunjukan.
Barreras, kursi terdepan (termahal).
Novilladas, matador pemula.
Gradas,tempat duduk paling tinggi.
Querido mio, sayangku (My dear).
Puerta grande, pintu utama.

1) Barcelona kalah 0-1 dari Liverpool dalam pertandingan semifinal Piala UEFA second leg pada 30 Maret 1976.



Aba Mardjani