Thursday 4 November 2010

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

Nur Syam
Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel

Pendahuluan
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia.

Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain. Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.
Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin, yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew, tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam, yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti. Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.

Islam Pesisir versus Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup, upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi. Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.

Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan. Dewasa ini, yang terjadi hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.

No comments: