Friday, 12 November 2010

NOKTURNO

NOKTURNO

Sapardi Djoko Damono



Kubiarkan cahaya bintang memilikimu

Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya

Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu …

Entah kapan kau bisa kutangkap

Thursday, 11 November 2010

HATIKU SELEMBAR DAUN

HATIKU SELEMBAR DAUN

Sapardi Djoko Damono



hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



Hatiku selembar daun...

PERTAPA

PERTAPA

Sapardi Djoko Damono




Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.




Hatiku selembar daun...

TEGAR

TEGAR

Rieke Dyah Pitaloka




Apakah tegar itu
seperti nyiur yang bergeming dalam badai,
tak beranjak dari hempasan ombak
Ataukah seperti tetes air yang tak henti
jatuh tetes demi tetes setiap waktu
mampu melubangi bebatuan
Ataukan nyanyian para pekerja
diantara deru mesin yang selalu terjaga
Barangkali…




Hatiku selembar daun...

Seorang Kakek dan Anaknya yang 'Berbakti'

Seorang Kakek dan Anaknya yang 'Berbakti'


Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.


Source: Dari Milis Tetangga




Hatiku selembar daun...

Separuh Jiwaku Pergi

Separuh Jiwaku Pergi


Separuh Jiwaku Pergi
Memang indah semua
Tapi berakhir luka

Reff:
Benar ku mencintaimu
Tapi tak begini
Kau khianati hati ini
Kau curangi aku

Kau bilang tak pernah bahagia
Selama dengan aku
Itu ucap bibirmu
Kau dustakan semua
Yang kita bina
Kau hancurkan semua




Hatiku selembar daun...

Salah Kaprah Paten Budaya

Salah Kaprah Paten Budaya


Tajuk Rencana Kompas (3/10) berjudul "Batik Milik Dunia" berisi: "Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional" . Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.

Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya.

Jadi, pernyataan "perlu mematenkan seni budaya" adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung. Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).

Distorsi ini sangat berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain, tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan paten.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan "Wayang stories borrow characters from Indian epics and heroes from Persian tales". UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.


Solusinya

Pertama, media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating. Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.

Ketiga, database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru seni budaya Indonesia.

Kelima, Indonesia bersama negara-negara berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan sumber genetika.
Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang cerdas.




Salah Kaprah Paten Budaya
KOMPAS, Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIB
Oleh Arif Havas Oegroseno
Arif Havas Oegroseno Alumnus Harvard Law School

Source: alumni-bounces@adsindonesia.or.id




Hatiku selembar daun...

Bintang

Bintang

Arif Rohman

Malam merambat mendekat. Malu-malu nampak giginya yang hitam. Dari sela-sela mulutnya bertetesan air yang kemudian merdeka menjadi embun-embun pagi. Semua itu disaksikan oleh bintang. Sayang bintang kemerlip itu telah hilang. Engkau telah mengambilnya dan langsung mengantonginya. Dan engkaupun meringis gembira sambil berucap, 'Asyik tak ada saksi...'



Armidale, 28 June 2009.



Hatiku selembar daun...

Kisah Si Rusa Emas

Kisah Si Rusa Emas



Dikisahkan ada seorang raja yang sangat serakah. Supaya diri dan kerajaannya semakin kaya, ia akan berbuat apa saja. Suatu hari ia mendengar, bahwa di hutan nun jauh di sana ada seekor rusa emas. Katanya setiap kali rusa itu menghentakkan kakinya, satu keping emas akan jatuh di depannya. Raja yang serakah itu sangat ingin memiliki rusa emas ajaib itu. Sudah puluhan prajurit beliau kirim untuk menangkap rusa emas itu, tapi selalu tidak berhasil. Karena gagal, ya kepalanya dipancung.

Akhirnya raja memerintahkan panglimanya sendiri untuk menangkap rusa itu. Ia terkenal sangat baik, suka menolong dan murah hati.Selama berbulan-bulan ia berada di hutan, tapi tidak sekalipun melihat rusa ajaib itu. Ia hampir putus asa. Suatu hari, tiba-tiba lewat di depannya seekot rusa yang dikejar oleh tiga orang pemburu dan anjing mereka. Rusa itu dalam keadaan luka parah. Selain gembira karena rusa itu adalah rusa emas yang dicari-carinya, ia juga terkejut, sebab ia berlari kepadanya dan minta disembunyikan dari kejaran tiga orang pemburu dan anjing-anjingnya. “Bantu saya. Sekali kelak saya akan membantumu”, pintanya. Panglima itu langsung memapah si rusa masuk ke sebuah gua di dekatnya. Bahkan ia juga menjaga di mulut gua. Lalu dengan pemburu yang merangsek masuk, panglima itu menghadapinya. Perkelahian tiga lawan satu terjadi. Si rusa emas menyaksikannya penuh kagum terhadap pelindungnya. Walau penuh luka, panglima berhasil menang. Si rusa emas pun bertanya, “Mengapa Anda berada di hutan ini?” Panglima menjawab pertanyaan itu terus terang, dan berkata, “Saya akan pulang dan melaporkannya kepada raja, bahwa saya gagal menangkap rusa yang dirindukannya. Kalau karena itu saya dipancung, saya siap”. Mendengar itu, si rusa emas berkata, “Paduka telah menolong saya. Sekarang giliran saya untuk menolong paduka. Marilah kita pergi menemui sang raja!”

Ketika raja yang serakah itu melihat panglimanya pulang dan membawa rusa emas, hatinya bersorak senang. Rusa emas kini dijadikan dewa kekayaan, dan semua rakyat disuruh menyembahnya. Dan raja sendiri minta, supaya rusa emas itu mulai menurunkan emas bagi kerajaannya. Tapi… sebelum rusa emas memenuhi keinginan raja, ia mengajukan satu syarat, “Saya akan menurunkan emas, tapi baginda raja tidak pernah boleh menghentikannya. Kalau baginda menyuruh berhenti, maka semua emas itu akan berubah menjadi abu”. Dengan gembiranya raj berkata, “Tentu… tentu… saya tidak akan menyuruh berhenti”.

Maka mulailah si rusa emas menghentakkan kakinya. Dan setiap kali ia melakukan itu, sekeping emas jatuh di depan kaki baginda. Tumpukan keping emas makin lama makin tinggi menggunung, sampai setinggi kepala raja dan menutupi seluruh badannya. Karena panik, raja berteriak, “Berhenti… berhenti…”. Seketika itu juga semua emas itu berubah menjadi abu dan raja mati terkubur abu tanah yang menggunung itu.



Hatiku selembar daun...

Never under-estimate others, guys...

Never under-estimate others, guys..



Kabayan dan profesor duduk berhadapan di kereta api yang membawa mereka
dari Bandung ke Jakarta. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya, itulah
sebabnya sepanjang perjalanan mereka tidak saling bercakap-cakap.

Untuk mengusir kebosanan, profesor menawarkan sesuatu pada Kabayan,
“Hai Kabayan, bagaimana kalau kita main tebak-tebakan?”

Kabayan diam saja sambil menatap pemandangan di luar jendela kereta.
Hal ini membuat Profesor menjadi gusar. Katanya, “Kabayan, ayo kita main
tebak-tebakan!

Aku akan mengajukan pertanyaan untuk kau tebak. Kalau kau tak bisa
menjawabnya, kau harus membayarku Rp.5.000, Tetapi kalau kau bisa
menjawabnya, aku bayar kau Rp. 50.000.

Kabayan mulai tertarik dengan tawaran itu.

Profesor melanjutkan, “Kemudian, kau ajukan pertanyaan padaku. Kalau
aku bisa menjawabnya, cukup kau bayar aku Rp. 5.000. Tapi kalau aku tak
bisa menjawabnya, aku bayar kau Rp. 50.000, Bagaimana?”

Mata Kabayan berbinar-binar. Katanya, “Baik kalau begitu. Sekarang
ajukan pertanyaanmu.”

“Ok,”sahut profesor dengan cepat. “Pertanyaanku, berapa jarak yang
tepat antara bumi dan bulan?”

Kabayan tersenyum karena tak tahu apa jawabannya. Ia langsung merogoh
sakunya dan menyerahkan Rp. 5.000,pada profesor. Dengan gembira Profesor
menerima uang itu, “Nah, sekarang giliranmu.”

Kabayan berpikir sejenak, lalu bertanya, “Binatang apa yang sewaktu
mendaki gunung berkaki dua. Tapi sewaktu turun gunung berkaki empat?”

Profesor lalu berpikir keras mencari jawabannya. Ia melakukan
coret-coretan perhitungan dengan kalkulatornya. Kemudian ia mengeluarkan laptop,
menghubungkannya dengan internet dan melakukan pencarian di berbagai
situs ensiklopedi. Beberapa lama, profesor itu mencoba. Akhirnya ia
menyerah.

Sambil bersungut-sungut ia memberi uang Rp. 50.000 pada Kabayan yang
menerimanya dengan hati senang.

“Hai, tunggu dulu!” profesor itu berteriak. “Aku tidak terima. Apa
jawaban atas pertanyaanmu tadi?”

Si Kabayan tersenyum pada profesor. Dengan santai ia merogoh saku
celananya dan menyerahkan Rp.5.000,- pada profesor.




Hatiku selembar daun...

PILIH GADIS MATEMATIS ATAU GADIS LOGIS?

PILIH GADIS MATEMATIS ATAU GADIS LOGIS?



Ada dua orang gadis, salah satu dari mereka cara
berpikirnya MATEMATIS (M) dan yang lainnya cara
berpikirnya mengandalkan LOGIKA ( L) . Mereka berdua
berjalan pulang melewati jalan yang gelap, dan
jarak rumah mereka masih agak jauh. Setelah beberapa
lama mereka berjalan....

M : Apakah kamu juga memperhatikan, ada seorang pria
yang sedang berjalan mengikuti kita kira2 sejak
tigapuluh delapan setengah menit yang lalu? Saya
khawatir dia bermaksud jelek.

L : Itu hal yang Logis. Dia ingin memperkosa kita.

M : Oh tidak, dengan kecepatan berjalan kita seperti
ini, dalam waktu 15 menit dia akan berhasil menangkap
kita. Apa yang harus kita lakukan.

L : Hanya ada 1 cara logis yg harus kita lakukan,
yaitu berjalan lebih cepat.

M : Itu tidak banyak membantu, gimana nich.....

L : Tentu saja itu tidak membantu, Logikanya kalau
kita berjalan lebih cepat dia juga akan mempercepat
jalannya.

M : Lalu, apa yang harus kita lakukan? Dengan
kecepatan kita seperti ini dia akan berhasil menangkap
kita dalam waktu dua setengah menit...

L : Hanya ada satu langkah Logis yang harus kita
lakukan.. Kamu lewat jalan yang ke kiri dan aku lewat
jalan yang kekanan. sehingga dia tidak bisa mengikuti
kita berdua dan hanya salah satu yang diikuti
olehnya.

Setelah kedua gadis itu berpisah, ternyata Pria tadi
mengikuti langkah si gadis yang menggunakan logika
(L ). Gadis matematis ( M) tiba di rumah lebih dulu dan
dia khawatir akan keselamatan sahabatnya. Tapi, tidak
berapa lama kemudian, Ga dis Logika (L ) datang.

M : Oh terima kasih Tuhan.. Kamu tiba dengan selamat.
Eh, gimana pengalamanmu diikuti oleh Pria tadi?

L : Setelah kita berpisah dia mengikuti aku terus.

M : Ya.. ya.. Tetapi apa yang terjadi kemudian dengan
kamu?

L : Sesuai dengan logika saya langsung lari sekuat
tenaga dan Pria itupun juga lari sekuat tenaga
mengejar saya.

M : Dan... dan..

L : Sesuai dengan logika dia berhasil mendekati saya
di tempat yang gelap...

M : Lalu.. Apa yang kamu lakukan?

L : Hanya ada satu hal logis yang dapat saya lakukan,
yaitu saya mengangkat rok saya..

M : Oh... Lalu apa yang dilakukan pria tadi?

L : Sesuai dengan logika... Dia menurunkan
celananya...

M : Oh tidak... Lalu apa yang terjadi kemudian?

L : Hal yang logis bukan, kalau gadis yang mengangkat
roknya larinya lebih cepat dari pada lelaki yang
berlari sambil memelorotkan celananya... So akhirnya
aku bisa lolos dari pria itu...





Hatiku selembar daun...

Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan

Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan

Martin Aleida



Genealogis, siapa sebenarnya Sitor Situmorang itu? ”Saya adalah keturunan Si Marsaitan generasi ke-12,” kata sang penyair dengan lantang. Si Marsaitan? Kalau begitu kakek-moyang Sitor adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena perempuan yang hebat itu berpura-pura cinta dan menjadi istri karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai. Dalam biografi yang ditulisnya, ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba,” dia mengisahkan serentetan kejadian dramatis, begini rupa: Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta.

Namanya hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.

Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.

Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu.
Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.

Sampai di huta itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”

Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.

”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.

Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan, kakek-moyang Sitor Situmorang.

Unik, kuat berakar pada tradisi Batak nan purba, heroik, namun tak bebas dari godaan zaman, itulah Sitor. Ayahnya berumur 74 tahun ketika dia dilahirklan oleh istri kedua ayahnya. Sang ayah meninggal dalam usia 103 tahun. Tanggal 2 Oktober 2009 Sitor merayakan ulangtahunnya yang ke-85. Tapi, siapa tahu, mungkin dia sebenarnya sudah berusia 86. Dia memang yakin lahir 2 Oktober, tapi tahunnya meragukan, apakah 1923 atau 1924. Karena catatan yang kurang jelas di dalam buku gereja, katanya.

Sitor adalah penyair Indonesia paling produktif dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya atau para pendahulunya. Dia telah menulis 103 puisi yang terkumpul dalam tiga antologi yang mengekalkan namanya dalam perpuisian modern Indonesia: Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Dia melampaui ”si binatang jalang” yang dia kagumi, Chairil Anwar, yang hanya membukukan 69 puisi, Sanusi Pane 48, dan Amir Hamzah 52. Tak ada penyair yang mengembara sejauh yang telah diseret kakinya. Dari Harianboho, di lembah Pusuk Buhit, di mana manusia Batak yang pertama, menurut mitologi, diturunkan oleh Dewata, dia menginjakkan kaki di Batavia, lantas bertualang di Belanda, Perancis, Italia, Spanyol, dan bertahun-tahun kemudian menjadi ”warga dunia,” bolak-balik Jakarta-Paris- Amsterdam. Tak ada yang cukup berani membawa sikap bohemian ke dalam kehidupan keluarga sebagaimana yang telah dia tunjukkan dalam hidupnya. Berpisah dengan istri pertamanya,
Tiominar Gultom, untuk kemudian merebahkan kepalanya yang sarat puisi nan romantis ke pangkuan seorang perempuan Belanda yang telah membawa aura baru ke dalam gaya hidupnya yang berbunga-bunga: Barbara Brouwer. Hubungan asmara yang sempat dilukiskan V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra 2001, di dalam salah satu bukunya, hasil kunjungannya ke Indonesia, ”Among the Believers.” Keterlibatan Sitor dalam politik menyebabkannya harus mengenakan baju tahanan Orde Baru bernomor 5051. Sebagai sahabat dan pengikut Sukarno, dia mendekam dalam penjara kekuasaan Suharto yang fasistis selama delapan tahun tanpa proses pengadilan. Masih mujur, dia tak sempat dibuang ke Buru, sebagaimana temam-teman seperjuangannya yang dituduh komunis dan dicap jadi dalang pembunuhan jenderal-jenderal, hidup melata selama sepuluh tahun di pulau buangan itu. Bagaimanapun, dia sudah merasakan tepi neraka, ketika selama tiga bulan dikurung di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo,
Jakarta Pusat. Selama seratus hari dia tak pernah melihat matahari. ”Tiga bulan terasa seperti tiga abad,” katanya lirih kepada penulis risalah ini yang bersama Dolorosa Sinaga, Chris Poerba, dan Hotman J. Lumban Gaol dari majalah TAPIAN datang bertandang ke lantai 10 Bellagio, apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, di mana dia dan Barbara menghabiskan waktu selama mereka berada di Indonesia.
.....

Tiba juga
saatnya aku melangkahkan
langkah pertama
(sesudah 8 tahun menunggu)
saat gerbang ke-7
dibuka
ke dunia luar
yang baru dan menyilaukan

......

Begitu dia mendendangkan perasaannya saat melangkah keluar dari bendul penjara Salemba, di mana ratusan tahanan telah menemukan ajal karena kekurangan makanan dan diserang penyakit -- untuk menerima pembebasan atas kesalahannya yang tak pernah dijelaskan, pada tahun 1976.

”Saya bukan orang mistik, namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak-kanak, di mana mitos dan silsilah, silsilah dan mitos adalah anak kembar impian manusia, yang sekaligus jadi pegangannya. Dunia ini adalah kata kias untuk penjara, secara kebatinan tentunya, untuk orang yang percaya akan yang gaib seperti Ayah, seperti Kakekku,” katanya.

Namun, Sitor dipenjarakan bukan karena yang gaib, tapi oleh yang nyata, tersebab pilihannya untuk bersahabat dan memperjuangkan pandangan politik seorang nasionalis besar yang bernama Sukarno. Karena gagasan Soekarno mengenai keniscayaan bersatunya kaum nasionalis, agama, dan sosialis-komunis untuk kejayaan Indonesia, Sitor, sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional awal tahun 1960-an bekerjasama erat dengan para tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebagai penyair, dia bersama Rivai Apin berkunjung ke Tiongkok pada masa itu, pulang-pulang dia menulis sejumlah puisi perjalanan yang kemudian diterbitkan dengan judul ”Zaman Baru” -- mengambil nama majalah terbitan Lekra yang dipimpin oleh Rivai Apin. Antologi itu berukuran sebesar buku tulis dengan kulit berwarna kuning cemerlang. Kalau dikaitkan dengan tema yang tampil dalam puisi-puisi di dalamnya, judul itu bisa pula dibaca sebagai sebuah metafora untuk melukiskan pembangunan dunia baru di
Tiongkok di bawah kepemimpinan Ketua Mao. Dalam perjalanan ke Tiongkok itu Sitor tidak hanya ditemani oleh Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani, tetapi juga para pengarang dari Asia-Afrika. Dalam sebuah pembicaraan di Teater Utan Kayu, Sitor menceritakan, dalam perjalanan tersebut, dia tak banyak berbicara dengan Rivai Apin, orang dianggap telah ”membinanya.”

Rivai, salah seorang pelopor Angkatan 45, adalah seorang pembaca yang tekun, dengan rokok yang sambung-menyambung di jarinya, namun dia bukanlah seorang yang gemar berbicara apalagi berdiskusi mengerenyitkan jidat. Dia murah senyum, dengan lirikan matanya yang khas, sambil membuat komentar-komentar kecil yang menggelitik. Ketika penulis duduk sebagai salah seorang anggota redaksi bulanan Zaman Baru itu bersama S. Anantaguna pada tahun 1964, Pai (dia acap disapa dengan Bung Pai) mengingatkan saya, ”Kalau kurang naskah, pegang saja leher baju Sabar,” maksudnya S. Anataguna, salah seorang anggota pimpinan pusat Lekra. ”Kalau kehabisan stok vignette untuk mengisi halaman, tutup botol kecap boleh kau pakai...,” dan dia terkekeh-kekeh dengan giginya yang kuning kecoklatan disamak candu rokok.

Tentang antologi puisi perjalanan ”Zaman Baru” itu, para pengamat sastra ketika itu memberikan tinjauan dan komentar, baik yang memuji maupun mencerca serta menuduh Sitor telah terlalu jauh mencemari sastra dengan politik. Tetapi, tak sedikit yang mengenang puisinya yang berjudul ”Makan Roti Komune” sebagai puisi perjalanan berbobot politik yang hangat mempesona. Puisi itu dianggap sebagai perpaduan yang serasi antara sikap politiknya sebagai seorang nasionalis berpadu dengan pencapaian artistik dalam dua puisi paling awalnya yang monumental, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau.”

Delapan tahun dikerangkeng Orde Baru, sikap Sitor tidak berubah sebagai seorang pengikut dan pengagum Sukarno. Dalam sebuah pertemuan belum lama ini, di rumah salah seorang anaknya, dari istri pertama, di wilayah Sawangan, Jawa Barat, sedang hangat-hangatnya Sitor berbicara, salah seorang tamu yang masih muda menimpali, ”Bukankah Sukarno tidak bebas dari kesalahan?” Gesit bagaikan seorang pesilat, Sitor cepat bangkit dari tepat duduk dan meninju meja: ”Bah, kau pikir Sukarno itu malaikat?!” Bibirnya bergetar dan menatap dengan tajam anak muda yang berada di depannya seperti mau menelannya.

Sitor berdiri begitu kokoh, dan tampak lebih sehat dari lima tamu yang sedang mengeruminya. Layaknya dia belum pernah menjalani operasi jantung bypass (di Paris), di mana lima pembuluh darah jantungnya dipotong disambung-sambungka n. Hanya garis-garis yang menoreh di pojok matanya yang menunjukkan dia sudah berusia mendekati 85 tahun. Juga mata kirinya yang menjadi agak sipit dibandingkan dengan yang kanan.

”Kalau ada bukti bahwa Sukarno itu menangkap Syahrir, barulah akan saya katakan, ’Sekarang di tahun 2009 ini, Sitor Situmorang, pengikut Sukarno, akan menyerukan hapus jasa-jasa Sukarno,’” dia meletup kembali. Dengan tetap tegak, tantangnya pula: ”Apa salah Sukarno? Katakan...! Syahrir berlindung di belakang Sukarno sehingga bebas dapat berkumpul dan bertemu dengan kelompok radikal. Jepang takut menjamah Syahrir karena ada Sukarno yang melindunginya.” Sitor mentah-mentah menolak sang pemimpin pujaannya, Putra Sang Fajar, sebagai seorang kolaborator Jepang.

Ketika salah seorang tamunya berusaha untuk menenangkan suasana percakapan yang memanas ketika itu, dan bertanya apakah dia, dalam usia selanjut seperti sekarang, masih menenggak bir kesukaannya, dengan ligat sambil senyum malu-malu dia menjawab: ”Ah, itu harus...” dan dia tertawa terkekeh. ”Ai berapa botol kau punya?” tantangnya pula. Giginya masih kuat menyantap makanan yang dinikmati anak-anak muda yang menjadi tamunya. Bedanya, dia harus menelan pil penjaga kestabilan kadar gula di dalam darahnya sebelum duduk di kursi meja makan.

Ketika ditanya, apa rahasianya bisa bertahan hidup dengan usia yang panjang dan relatif sehat, dia menjawab: ”DNA menentukan.” Sitor bersaudara sembilan orang. Ayahnya, yang berjuang melawan Belanda bersama Raja Sisingamangaraja XII, adalah manusia fenomenal. Seperti manusia yang tidak bisa-bisa mati-mati. Setiap kali merasa ajal sudah mendekat, sang ayah memanggil putra-putranya. Sitor dan saudara-saudaranya secara bersama-sama datang menyampaikan persembahan dan sungkem di hadapan sang ayah. Upacara seperti itu sudah lima kali dilakukan sebelumnya, sejak 1950-1962, ”... Ayah setiap kali merasa sudah dekat ajalnya. Tapi ternyata ia hidup terus.”

Menurut Sitor dalam biografinya, tahun 1963, ketika ayahnya sudah bertahun-tahun sakit, sang ayah menyimpulkan ”Tak akan mati sebelum putra kelimanya, yaitu saya (Sitor) ikut hadir. Saya disuruh jemput dari Jakarta oleh utusan dan dengan titipan ongkos untuk pesawat terbang. Beberapa bulan kemudian, setelah upacara itu, ia pun meninggal, tanpa saya hadir.”

Sitor Situmorang juga menulis cerita pendek, walau tak sampai sepuluh. Dia tak pernah memberi isyarat bahwa dia pernah bercerita secara khusus tentang ayahnya itu. Kecuali ketika dia berkisah dengan syahdu tentang kematian ibunya dalam cerita pendek ”Ibu Pergi ke Sorga.” Di situ, sang ayah muncul sebagai pemeran pembantu. Setelah sang ibu dimakamkan dalam sebuah upacara, begitulah Sitor becerita, ”Ia (ayah) berdiri di pekarangan luas dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya ke sudut pekarangan. Tak tahu aku maksudnya. Setelah aku dekat ia berkata: ’Kau ada uang?’

Aku terkejut, karena tak tahu maksud apa yang terkandung dalam pertanyaannya, tapi akhirnya kubilang: ’Berapa Pak perlu?’

”Seribu, dua ribu sudah cukup,” katanya.

”Buat apa?” tanyaku sambil mengikuti dia, dan pada ketika itu kami sampai di sudut pekarangan. Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata: ’Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku, kalau aku sudah mati, ibumu kau pindahkan ke mari.’

Aku hanya bertanya: ’Mengapa mesti di sini?’

Bapak melepas tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang ke puncak gunung dan berkata: ’Dari tempat ini aku dapat memandang lepas ke daratan tinggi dan ke danau.’

Aku diam...”

Sitor diam terpesona dibuai ayahnya, sementara imajinasi pembaca dibuatnya sesak dengan seribu fantasi tentang kematian yang tak pernah datang ketika memandang indahnya Danau Toba di bawah sana.

Ketika ditanya apakah pernah menyesal dalam hidup, mungkin karena ada yang belum bisa diselesaikan, atau ada yang tak pantas dikerjakan, Sitor menjawab: ”Soal apa yang saya kerjakan tidak ada, baik sebagai pengarang, baik sebagai manusia biasa, baik sebagai kepala keluarga. Tak ada yang perlu saya sesalkan. Pilihan politik saya pun tidak ada yang saya sesalkan.”

Bagaimana Bung ingin dikenang dalam sejarah?

”Saya tidak melihat seperti itu. Kalau saya bekerja, bukan ingin dikenang. Apa yang saya kerjakan itu yang harus dikenang orang. Bukan Sitor. Saya bisa dijelaskan dari karya-karaya saya, bukan dari dongeng-dongeng atas nama Sitor Situmorang. Pandanglah saya dari karya, apa yang telah saya sumbangkan.”

Apakah puncak yang telah Bung capai?

“Tak ada. Belum ada. Mudah-mudahan masih ada. Tapi, kalau pun tidak ada, tidak apa-apa.”

Di antara sekian banyak puisi yang telah ditulis, yang mana yang Bung anggap paling berhasil?
”Tidak ada. Sebab tema puisi saya berbagai macam. Yang satu dengan yang lainnya berbeda.”

Pertengahan Agustus 2009, menjelang tengah hari, saya datang menjemputnya di apartemennya untuk kemudian menemaninya ke Buddhabar, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, di mana akan berlangsung bedah buku ”Pesta Obama di Bali,” novel Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dan Sitor jadi pembicara di samping Profesor Jakob Sumardjo, sementara saya sebagai moderator. Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri yang akan membuka diskusi tersebut. Seraya menunggunya mandi, saya melihat-lihat lukisan dan ornamen-ornamen yang dipajang di dinding. Sekelebat, tak sempat mengeluarkan kamera dari tas, Sitor menyeberang dalam keadaan telanjang bulat dari kamarmandi ke kamartidurnya. Telanjang bulat!! Cepat bagai kilat, saya teringat gosip yang beredar, termasuk dari Pramoedya, bahwa ketika di dalam penjara, kalau mandi, Sitor duduk menjongkok dalam keadaan telanjang bersama tahanan lain, dan yang jijak di lantai tidak hanya kedua kakinya, tetapi juga sejemput daging yang teramat
peka juga ikut membelai lantai. Keluar dari kamar, dia menemui saya dengan dada terbuka, cuma pakai celana pendek: ”Tunggu, aku mau bersolek dulu.”

Saya mencari taxi, dia saya suruh menunggu di depan lobby apartemen. Sementara mencari-cari taxi, saya menoleh ke belakang. Sitor berdiri dengan gayanya, seperti bertumpu pada tongkatnya. Dia mengenakan batik yang redup, tas kecil tergantung di sisinya. Sepatunya Lacoste. Di atas kepalanya membentang gagah nama apartemen: Bellagio. Pemandangan yang unik. Aku seperti melihat Sitor turun dari bukit yang sepi menuju lembah dan tiba-tiba berdiri di depan bangunan yang tak seribu tahun lagi akan dibangun di Pusuk Buhit. Jauh lebih unik dari selembar foto yang pernah ditunjukkannya kepada saya, di mana Sitor muda, dengan janggut tipis, sedang berdiri di persimpangan jalan menuju Granada, Spanyol.

Dalam pidato menandai dibukanya diskusi buku tersebut, Mega memuja Sitor Situmorang sebagai sastrawan besar, dan bahwa dia adalah teman Bapaknya. Dan dia menyatakan keinginan agar suatu ketika, kalau sudah terkumpul, agar karya Sitor juga dibicarakan di gelanggang yang cukup mewah itu. Lantas Mega meninggalkan ruangan. Selepas Jakob Sumardjo, saya persilahkan Sitor untuk memberikan pemaparaannya. Mikropon saya dekatkan ke dagunya. Ketika baru mau memulai, sekitar dua meter di depan, di antara hadirin, pengarang K. Usman berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Sitor rupanya merasa tidak dihormati dengan tingkah-laku seperti itu. ”Saya tidak suka begini, yang bicara tidak didengar. Kalau tidak mau dengar keluar saja. Atau saya saja yang keluar,” katanya sambil berdiri dan menyambar tongkatnya hendak pergi. Hadirin tegang. Cepat saya memeluk pinggangnya, memohon, ”Husomba, Amang [Kusembah Bapak], jangan pergi, malu kita...” Dia menghentak:
”Tidak, tidak...” tapi pelukan saya tetap di pinggangnya sampai dia duduk kembali. K. Usman yang rupanya merasa bersalah, maju ke depan, meminta maaf, tapi ditolak Sitor. ”Apa? Tidak!” sergahnya.

Kulirik dengan pojok mata, amuk hati Sitor sudah reda kembali, walau amarah masih membayang di pelupuk matanya. Dia menyampaikan pandangannya yang agak kritis terhadap novel tersebut, dan bahwa ”Apa yang saya harapkan, tidak muncul di sini.” Kemudian, saya mempersilakan hadirin memberikan tanggapan. Satu-dua orang maju. Mengutarakan pendapat. Diskusi lumayan hidup. Tiba-tiba seseorang meletakkan secarik kertas di depan saya, isinya agar acara dihentikan sejenak, ”Ada yang ingin disampaikan.” Salah seorang dari panitia membacakan surat masuk yang isinya Megawati ingin menyampaikan sumbangan untuk dana pengumpulan karya Sitor Situmorang. Sang penyair diminta maju ke depan untuk menerima amplop dari panitia. Kulihat dengan cukup bergairah amplop itu. Cukup tebal, saya kira lembaran seratus ribu rupiah sebanyak 200 lembar. Di bawah derai tepuktangan hadirin, sang penyair menerima amplop Mega yang diserahkan salah seorang sponsor pertemuan.

Ketika Sitor sudah duduk kembali di sampingku, cepat saya renggut mike dan saya katakan: ”Untung Bung tak jadi pergi. Kalau tadi Bung pergi, ke mana uang sebanyak itu kita cari...” Hadirin gerrr... Sitor terkekeh dan memukul-mukulkan amplop tebal itu ke bahu saya, menahan geli.

Tak sekali dua-kali dia memukul bahu saya kalau sedang hangat-hangatnya pembicaraan. Terkadang dia melompat dari kursi memegangi bahu, dan membacakan sebaris-dua- baris dari sajaknya. Suatu hari, Dolo, Chris, Hotman, dan saya datang mewawancarainya. Karena sofanya tak memadai, kami pun duduk di lantai. Sitor duduk di sofa bagaikan baginda raja. Pantas dia duduk di situ, karena dia memang raja klan Situmorang yang terakhir dan penyair dunia pula. Saya tanyakan, apakah dia tak punya dendam terhadap Suharto yang telah menistakan hidupnya selama delapan tahun?

Dia diam, berdiri dengan mulut terkatup rapat, gigi digigit-gigit, tulang pelipis menjentang, dipungutnya tumpukan buku di atas meja tamu persis di depannya, dan ... dibantingkannya kembali tepat di depan hidungku. Karena sudah mengenalnya, dan sudah terbiasa dengan temperamen Batak, saya membalas dengan sesungging senyum. ”Saya tak punya dendam. Dia itu kecil.” Maksudnya, Suharto tiada bandingannya dengan penghormatan yang telah dia terima dari masyarakat semarganya di Tanah Batak. Dan berderailah cerita dari bibirnya bagaimana dia telah menjadi orang paling terhormat di kampungnya, tak lama setelah dia keluar dari penjara, dihormati dalam sebuah acara yang disebut mangongkal holi [memindahkan tulang-belulang nenek-moyang] . Yang terakhir mendapat penghormatan seperti itu adalah keturunan kedelapan sebelum Sitor.

Mitologi Batak merasuk ke dalam hati Sitor sebagai peristiwa sastra, acara-acara adat yang sarat dengan arti dan penuh irama memperkaya bakat alamnya. Suatu ketika, dia pernah bilang, kalau berada jauh di daratan Eropa, supaya jiwa tetap berada dalam pelukan tanah kelahiran maupun dalam kata-kata dan irama bahasa, dia tak lupa membawa kumpulan sajak Hamzah Fansyuri ”untuk dibaca-baca.”

Sitor sempat beberapa tahun mengajar Bahasa Indonesia di Belanda. Agaknya, Sitor bukanlah Batak komplit, yang haus akan hamoraon, kekayaan benda sebagai salah satu tujuan hidup. Dia cuma kaya dalam kata-kata, makmur dengan puisi-puisinya. Kekayaan yang tak mati-mati, tentu. Dia mengaku “tak bisa mencari uang” di luar menulis, mengajar, dan berbicara mengenai kebudayaan dalam berbagai pertemuan. Di Belanda, Perancis, dan Jerman dia kerap diundang sebagai “duta besar Tanah Batak,” dan diminta ceramah mengenai tanah tumpah darahnya sebagai orang dalam. Sebagaimana yang tercermin dalam bukunya, “Toba Na Sae,” sikapnya selalu beranjak dari pandangan dan pengamatannya sendiri. Dia tidak terpengaruh, malah mengkritik para peneliti Barat. Contohnya, kesimpulan Barat yang mengatakan orang Batak suka berperang hanya setelah mengamati huta di Tanah Batak yang selalu dikelilingi batu-bartu besar serupa benteng penghadang musuh. “Kalau berperang dan
berkelahi setiap hari bagaimana orang Batak bisa hidup sampai sekarang!” sanggahnya enteng.

Dia menjelaskan batu yang mengelilingi setiap huta, yang kelihatan mirip benteng itu, muncul karena upaya untuk memperluas areal tanah persawahan. Batu-batu itu disingkirkan dan ditumpuk agar bisa dikerjakan lahannya. Proses penyingkiran bebatuan itu berjalan sejak peradaban Batak berkembang.

Sitor berniat untuk berada di Indonesia sampai Oktober tahun ini, untuk merayakan ulangtahunnya yang ke-85 di sini. Niat itu kesampaian juga. Karena istrinya, boru Belanda, Barbara Brouwer, yang telah menyandang boru Purba, bekerja selama setengah tahun mengelola Erasmus Huis, sayap kebudayaan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belana untuk Indonesia. Barbara menjadi koordinator kegiatan seni dan budaya di situ.

Dalam usia tuanya, dia selalu membawa tongkat. Tetapi, tongkat itu kelihatan lebih banyak berperan sebagai ornamen belaka, karena kalau akan menaiki atau menuruni tangga, dia dengan tangkas menepis tangan siapa pun yang ingin memapahnya. Dia selalu ingin berdiri tegak di atas kakinya. Melihat dia berdiri, dengan mata menatap ke depan, maka saya seperti membaca sebuah buku besar yang ditulis dengan kata-kata sederhana tapi dengan simpul yang terang. Bahwa yang menulis sejarah bangsa saya adalah para korban kebengisan rezim bangsanya sendiri. Seperti si tua yang berdiri depan saya ini. Beratus ribu mereka, mungkin berbilang juta, dan saya lihat mereka di mata Sitor, juga di lututnya ketika dia kelur dari kamarnya menyambut saya. Dia, sebagaimana kata temannya, Pramoedya, toh ”tidak gepeng” dihantam palu godam dan popor Orde Baru. Merekalah yang menulis sejarah sejati bukan para penindasnya. .. ***





Source :

Saut Situmorang

http://www.facebook/ .com/profile. php?id=554828232 &ref=name
http://sautsitumora/ ng.multiply. com/
http://sautsitumora/ ng.wordpress. com/

-During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act
(George Orwell)

Kejutan di hari ulang tahunku

Kejutan di hari ulang tahunku



Dua minggu yang lalu merupakan ulang tahunku yang ke-35 dan moodku tidak terlalu baik pada pagi itu. Aku turun untuk sarapan dengan harapan istriku akan mengucapkan dengan penuh sukacita "Selamat ulang tahun suamiku tersayang" dan mungkin saja dengan sebuah kado ulang tahun untukku. Waktu berlalu dan bahkan dia tidak mengucapkan selamat pagi. Aku berpikir, ya... itulah istri, tapi mungkin anak-anakku akan mengingat kalau hari ini aku berulang tahun. Anak-anak datang ke meja makan untuk sarapan namun mereka juga tidak mengatakan satu patah katapun. Akhirnya aku berangkat ke kantor dengan perasaan penuh kecewa dan sedih.

Ketika aku masuk ke ruangan, sekretarisku Janet menyapaku "Selamat pagi Boss, selamat ulang tahun". Dan akhirnya aku merasa sedikit terobati mengetahui ada seseorang yang mengingat hari ulang tahunku. Aku bekerja sampai tengah hari dan kemudian Janet mengetuk pintu ruanganku dan berkata "Apakah Anda tidak menyadari bahwa hari ini begitu cerah di luar dan hari ini adalah hari ulang tahun Anda, mari kita pergi makan siang, hanya kita berdua". Aku berkata "Wow, itu adalah perkataan yang luar biasa yang saya dengar hari ini, mari kita pergi".

Kami berdua pergi makan siang. Kami tidak pergi ke tempat dimana kami biasanya makan siang, tetapi kami pergi ke tempat yang sepi. Kami memesan 2 botol martini dan sangat menikmati makan siang kami. Dalam perjalanan pulang ke kantor, dia berkata "Anda tahu ini adalah hari yang begitu indah, Kita tidak perlu kembali ke kantor kan ?". Tidak perlu, saya pikir tidak perlu, jawabku. Lalu dia mengajak saya untuk mampir ke apartemennya.

Setelah tiba di apartemennya, dia berkata "Boss, jika Anda tidak keberatan, saya akan pergi ke ruang tidur dan melepaskan sesuatu agar lebih nyaman". Tentu saja sahutku dengan gembira. Dia pergi kekamar tidur dan kira-kira enam menit kemudian dia keluar membawa kue ulang tahun yang besar diiringi oleh istri, anak-anakku dan sejumlah rekan kerja kami sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun.

Aku hanya duduk terpaku disana. Di sebuah sofa panjang....... telanjang tanpa sehelai benang.




Hatiku selembar daun...

KAPAN TUHAN MENDENGARKAN KELUH KESAHKU?

KAPAN TUHAN MENDENGARKAN KELUH KESAHKU?



Ada seorang anak muda yang bersahabat akrab dengan seorang pengkhotbah tua. Suatu hari, anak muda ini kehilangan pekerjaannya dan tidak tahu lagi harus
berbuat apa. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari si pengkhotbah tua itu



Ketika berada di ruang belajar si pengkhotbah, si pemuda ini berteriak-teriak tentang problem hidupnya. Akhirnya dengan kalap dia mengepal-ngepalkan tinjunya, sambil berteriak, "Saya memohon Tuhan agar menolong saya. Tapi hai pengkhotbah, mengapa Dia tidak menjawab saya?"

Si pengkhotbah tua itu pergi ke ruang lain dan duduk di sana. Lalu dia berbicara sesuatu dan menanti jawaban si pemuda. Tentu saja si pemuda itu tidak mendengarkan dengan jelas, sehingga dia ikut-ikutan pindah ruangan.

"Apa sih katamu?" tanya si pemuda penasaran. Si pengkhotbah itu mengulangi kata-katanya dengan perlahan sekali, seperti sedang bergumam sendiri. Tetapi si pemuda belum menangkap bisikan si pengkhotbah. Dia terus mendekati si pengkhotbah tua ini dan duduk di bangku sebelahnya.

Si pemuda itu lagi-lagi bertanya, "Apa katamu? maaf, saya tadi belum mendengarnya."

Dengan lembut, si pengkhotbah memegang pundak si pemuda, "Saudaraku, Allah kadang-kadang berbisik, jadi kita perlu lebih dekat menghampiriNya, agar dapat mendengar Dia dengan lebih jelas lagi." Si pemuda itu tertegun dan akhirnya dia mengerti.




Hatiku selembar daun...

Ahh... Kalung Mutiara!!

Ahh... Kalung Mutiara!!



Alkisah ada seorang gadis cantik, kecil berusia 5 tahun, bermata indah. Suatu hari, ketika ia dan ibunya sedang berbelanja bulanan, gadis cilik itu melihat sebuah kalung mutiara tiruan. Indah, meskipun harganya cuma 2.5 dolar. Ia sangat ingin memiliki kalung tersebut, dan mulai merengek kepada ibunya

Akhirnya sang Ibu setuju, katanya: "Baiklah, anakku. Tetapi ingatlah bahwa meskipun kalung itu sangat mahal, ibu akan membelikannya untukmu. Nanti, sesampai di rumah, kita buat daftar pekerjaan yang harus kamu lakukan sebagai gantinya. Dan, biasanya kan Nenek selalu memberimu uang pada hari ulang tahunmu. Itu juga harus kamu berikan kepada ibu." "Okay," kata si gadis setuju.

Merekapun lalu membeli kalung tersebut. Setiap hari, sang gadis dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang ditulis dalam daftar oleh ibunya. Uang yang diberikan oleh neneknya pada hari ulangtahunnya juga diberikannya kepada ibunya. Tidak berapa lama, perjanjiannya dengan ibunya pun selesai. Ia mulai memakai kalung barunya dengan rasa sangat bangga. Ia pakai kalung itu kemanapun ia pergi. Ke sekolah taman kanak-kanaknya, ke gereja, ke supermarket, bermain, dan tidur, kecuali mandi. "Nanti lehermu jadi hijau," kata ibunya. Dia juga memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya.

Setiap menjelang tidur, sang ayah akan membacakan sebuah buku cerita untuknya. Suatu hari, seusai membacakan cerita, sang ayah bertanya kepadanya: "Anakku, apakah kamu sayang ayah?" "Pasti, yah. Ayah tahu betapa aku menyayangi ayah." "Kalau kau memang mencintai ayah, berikanlah kalung mutiaramu pada ayah." "Ya, ayah, jangan kalung ini. Ayah boleh ambil mainanku yang lain. Ayah boleh ambil Rosie, bonekaku yang terbagus. Ayah juga ambil pakaian-pakaiannya yang terbaru. Tapi, jangan ayah ambil kalungku." "Ya, anakku, tidak apa-apa. Tidurlah." Sang Ayah lalu mencium keningnya dan pergi, sambil berkata: "Selamat malam, anakku. Semoga mimpi indah."

Seminggu kemudian, setelah membacakan cerita, ayahnya bertanya lagi: "Anakku, apakah kamu sayang ayah?" "Pasti, Yah. Ayah kan tahu aku sangat mencintaimu." "Kalau begitu, boleh ayah minta kalungmu?" "Ya, jangan kalungku, dong. Ayah ambil Ribbons, kuda-kudaanku. Ayah masih ingat, kan? Itu mainan favoritku. Rambutku panjang, lembut. Ayah bisa memainkan rambutnya, mengepangnya, dan sebagainya. Ambillah, Yah. Asal ayah jangan minta kalungku. Ya?" "Sudahlah, nak. Lupakanlah," kata sang ayah.

Beberapa hari setelah itu, Si gadis cilik terus berpikir, kenapa ayahnya selalu meminta kalungnya, dan kenapa ayahnya selalu menanyai apakah ia sayang padanya atau tidak. Beberapa hari kemudian, ketika ayahnya membacakan cerita, dia duduk dengan resah. Ketika ayahnya selesai membacakan cerita, dengan bibir bergetar ia mengulurkan tangannya yang mungil kepada ayahnya, sambil berkata: "Ayah, terimalah ini".

Ia lepaskan kalung kesayangannya dari genggamannya, dan ia melihat dengan penuh kesedihan, kalung tersebut berpidah ke tangan sang ayah. Dengan satu tangan menggenggam kalung mutiara palsu Kesayangan anaknya, tangan yang lainnya mengambil sebuah kotak beludru biru kecil dari kantong bajunya. Di dalam kotak beludru itu terletak seuntai kalung mutiara yang asli, sangat indah, dan sangat mahal.

Ia telah menyimpannya begitu lama, untuk anak yang dikasihinya. Ia menunggu dan menunggu agar anaknya mau melepaskan kalung mutiara plastiknya yang murah, sehingga ia dapat memberikan kepadanya kalung mutiara yang asli.



Hatiku selembar daun...

Pengusaha dan Anaknya

Pengusaha dan Anaknya


Ada seorang pengusaha Cina kaya raya. Ia sudah tua dan ingin pensiun.Dia memanggil ketiga puteranya dan berkata Saya tidak akan membagi perusahaan saya dan memberikannya pada kalian bertiga. Hal yang ingin ku ketahui adalah : diantara kalian bertiga siapakah usahawan yang paling baik? Karena itu saya akan menguji kalian bertiga. Siapa yang memenangkan ujian ini akan memperoleh seluruh perusahaan saya.

Maka pengusaha tua tersebut memberikan ketiga puteranya uang Rp. 22.500,- Ketiganya harus menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang dapat memenuhi sebuah ruangan kosong. Anak yang berhasil memenuhi ruangan itu yang akan menang.
Anak pertama segera pergi dan membeli sebatang pohon rindang, dan memotong-motongpohon itu dan diseretnya kedalam ruangan. Potongan-potongan pohon itu hanya memenuhi setengah ruangan.

Anak kedua juga pergi dan membeli rumput alang-alang yang dipotong oleh para petani dari sawah mereka. Para petani membawa rumput alang-alang itu kedalam ruangan dan ternyata hanya memenuhi sebagian besar ruangan.

Anak ketiga rupanya yang paling cerdik. Dia pergi ke sebuah kios dan membeli sebuah lilin seharga Rp. 500. Di malam hari, dia memanggil ayahnya untuk masuk ke dalam ruangan dan menyalakan lilin kecil itu di lantai bagian tengah ruangan itu. Setelah semenit ia pun menoleh kepada ayahnya dan berkata, Ayah,apakah ada satu bagian yang tidak terisi oleh cahaya lilin kecil ini?.

Anak laki-laki itulah yang kemudian mendapatkan perusahaan ayahnya.



Hatiku selembar daun...

PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB

PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB


Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki,
seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental
Children's Organization ( ECO ).

ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri
untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah
lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB,
dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah
pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa
pemimpin dunia terkemuka.

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga
bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai
ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan
tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)

Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental
Children Organization
Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12
dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga,
Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk
bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda
sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di
sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan
masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum
atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi
semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia
yang tangisannya tidak lagi terdengar.

Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat
yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan
habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena
berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena
saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa
tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker.
Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu
persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar
binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan
burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal
tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini
ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap
bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua
pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki
semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa
anda sekalian juga sama seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai
asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang
telah punah.

Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di
tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak
tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota
perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah
ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi
- dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua
adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih
dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi
udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan
tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita
semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu
untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak
ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami
membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang.
Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi
dengan mereka yang memerlukan.
Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk
kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan
dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda,
komputer dan perlengkapan televisi.

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami
menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah
satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku
kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan
makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih
sayang " .

Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun,
bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih
begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia
sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan
yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari
anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak
yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau
pengemis di India .

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua
uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa
indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk
berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan
orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang
kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk
berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang
anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?

Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda
melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah
yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua
seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan
mengatakan, " Semuanya akan baik-baik saja , 'kami melakukan yang
terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari
segalanya."

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut
kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda
semua? Ayah saya selalu berkata, "Kamu akan selalu dikenang karena
perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu" .

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari.
Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya
menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
***********

Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi
PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya
dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang
yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan
yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.

Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:

" Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri
karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan
isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju
berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato.
Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh
asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak
yang berusia 12 tahun "



Source: alumni-bounces@adsindonesia.or.id



Hatiku selembar daun...

Kisah Cincin Zen-sei

Kisah Cincin Zen-sei


Seorang pemuda mendatangi Zen-sei dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti
mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana.
Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya
untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain."

Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya,
lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu
lakukan satu hal untukku.Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang
sana.
Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?" Melihat cincin Zen-sei yang
kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini
bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang
kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya.
Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka
menawarnya hanya satu keping perak.
Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.
Ia kembali ke padepokan Zen-sei dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani
menawar lebih dari satu keping perak."

Zen-sei, sambil tetap tersenyum arif, berkata,"Sekarang pergilah kamu ke toko
emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang
emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan
penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud.Ia kembali kepada Zen-sei
dengan raut wajah yang lain.Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang
di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas
menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu
kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."
Zen-sei tersenyum simpul sambil berujar lirih,"Itulah jawaban atas pertanyaanmu
tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya.
Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian.
Namun tidak bagi "pedagang emas".




Hatiku selembar daun...

Pertapa Muda dan Kepiting

*Pertapa Muda dan Kepiting*

Suatu ketika di sore hari yang terasa teduh, tampak seorang pertapa muda
sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai.
Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian
pertapa itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak
beraturan.

Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya.
Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai di mana sumber suara tadi
berasal.
Ternyata, di sana tampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga>
tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan.
Karena itu, ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk
membantunya.
Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa
muda.
Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati
pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting.

Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya.
Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara
yang sama dari arah tepi sungai.
Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama.
Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan
jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus lagi.

Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin
membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri
dan menegur si pertapa muda, "Anak muda, perbuatanmu menolong adalah
cerminan hatimu yang baik.
Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit
kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?"

"Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda.
Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih.
Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa
menolong nyawa makhluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting," jawab
si pertapa muda dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas
kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah
ranting.
Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali
melawan arus sungai.
Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.
"Lihat Anak Muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik,
tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan.
Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak
harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita
manfaatkan, betul kan ?"

Seketika itu, si pemuda tersadar.
"Terima kasih, Paman. Hari ini saya belajar sesuatu.
*Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijaksanaan. **
*Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang Paman
ajarkan."




Hatiku selembar daun...

JANGAN PERNAH MERAGUKAN KASIH IBUMU

JANGAN PERNAH MERAGUKAN KASIH IBUMU


Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering meratapi nasibnya memikirkan anaknya yang mempunyai tabiat sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mabuk, dan melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Ia selalu berdoa memohon, "Tuhan, tolong sadarkan anak yang kusayangi ini, supaya tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati." Tetapi, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya.

Suatu hari, dia dibawa kehadapan raja untuk diadili setelah tertangkap lagi saat mencuri dan melakukan kekerasan di rumah penduduk desa. Perbuatan jahat yang telah dilakukan berkali-kali, membawanya dijatuhi hukuman pancung. Diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan di depan rakyat desa keesokan harinya, tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu membuat si ibu menangis sedih. Doa pengampunan terus dikumandangkannya sambil dengan langkah tertatih dia mendatangi raja untuk memohon anaknya jangan dihukum mati. Tapi keputusan tidak bisa dirubah! Dengan hati hancur, ibu tua kembali ke rumah.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat telah berkumpul di lapangan pancung. Sang algojo tampak bersiap dan si anak pun pasrah menyesali nasib dan menangis saat terbayang wajah ibunya yang sudah tua.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Namun setelah lewat lima menit dari pukul 06.00, lonceng belum berdentang. Suasana pun mulai berisik. Petugas lonceng pun kebingungan karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Saat mereka semua sedang bingung, tibatiba dari tali lonceng itu mengalir darah. Seluruh hadirin berdebar-debar menanti, apa gerangan yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul dan menggantikannya dengan kepalanya membentur di dinding lonceng.

Si ibu mengorbankan diri untuk anaknya. Malam harinya dia bersusah payah memanjat dan mengikatkan dirinya ke bandul di dalam lonceng, agar lonceng tidak pernah berdentang demi menghindari hukuman pancung anaknya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung-raung menyaksikan tubuh ibunya terbujur bersimbah darah. Penyesalan selalu datang terlambat!



Hatiku selembar daun....