Wednesday, 10 November 2010

MAKANAN PADA KOMUNITI ADAT JAE: Catatan Sepintas-Lalu Dalam Penelitian Gizi

MAKANAN PADA KOMUNITI ADAT JAE: Catatan Sepintas-Lalu Dalam Penelitian Gizi

Frans Apomfires

Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih


Abstract
Food have special need for human community, clasificated by the culture. As
a cultural fenoment, eat is not an organic product whit biochemistry quality
only for nutriment need by the eater it in order to take living, but it’s more
extensive, that is, presence culture decision about what in a rational manner
likely eaten because to endanger and agree with symbolical sense which given
by culture. Rational decision to scoop with: what eaten, when eaten, where,
why, who eat, and how. Jae people have classification food and to bring to
life cymbolic role of food, like performance gasping, social string, and
psycologic sense in language. Food related to habit, religious, social status of
human.
As a main source in human life, food has been classified in human culture.
Food is not just an organic product with all the biochemical ingredients but
it roles in human life is wider than that. There are some rules in human
culture regarding their food in their life such as what kind of food they can
eat, who can eat it, when they can eat it, where they can eat, how and why.
Jae people classified and give symbolic roles to their food as an expression
of social bond, loyalty, tranquillity and psychological meaning in their
language.


1. PENDAHULUAN
Makanan dalam pandangan sosial-budaya, memiliki makna yang lebih luas
dari sekedar sumber nutrisi. Terkait dengan kepercayaan, status, prestise,
kesetiakawanan dan ketentraman. Di dalam kehidupan komuniti manusia
1 Ini merupakan catatan lapangan penting dari penulis yang sifatnya umum dari penelitian
tentang Aspek Gizi dan Keluarga di Kecamatan Muting Kabupaten Merauke, oleh
Persatuan Keluarga Berencana Indonesia Jayapura, pada bulan Juli – Agustus 1999.
yang bersahaja, makna ini berlaku dan dienkulturasi. Makna tersebut
menyebabkan makanan memiliki banyak peranan dalam kehidupan seharihari
suatu komunitas manusia. Makna ini selaras dengan nilai hidup, nilai
karya, nilai ruang atau waktu, nilai relasi dengan alam sekitar; dan nilai
relasi dengan sesama. Yang disoroti disini adalah makanan alamiah, natural
food pada komunitas manusia bersahaja. Beberapa ilmuan dan konsumer
mengakui bahwa makanan alamiah adalah makanan yang pada dasarnya
tidak banyak proses dan tidak mengandung bahan atau ramuan tambahan.
Ahli nutrisi merujuk pada bahan dasar dan makanan tradisional. Perhatian
pada makanan alamiah timbul sebab konsumer makin menjadi sadar bahwa
memperhalus/membersihkan makanan yang dihasilkan dalam suatu produksi
nutrisi yang kurang. Penghalusan tepung terigu murni menjadi tepung putih
misalnya, memisahkan sebagian besar nilai nutrisi dan serat dietary.
Para antropolog menggambarkan bahwa, kelompok-kelompok kultur dalam
hubungannya dengan praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan tentang
diet sangat berbeda-beda. Misalnya, terdapat variasi-variasi yang luas di
seluruh dunia tentang apa yang dianggap sebagai bahan makanan, dan apa
yang bukan makanan. Bahan makanan tertentu dimakan dalam satu
masyarakat atau satu kelompok, tetapi dilarang secara keras oleh masyarakat
atau kelompok lain. Marston Bates (dalam Parsudi Suparlan, 1993:27)
menyatakan bahwa paling aman kalau kita katakan bahwa tidak ada satupun
masyarakat manusia yang berhubungan dengan makanan yang ada di
lingkungannya, secara rasional, yaitu yang memakan makanan sesuai dengan
apa yang tersedia, yang bisa dimakan, dan nilai nutrisinya dapat dijangkau.
Masyarakat Aborigine Australia yang primitif dengan kebudayaan meramu,
food-gathering, dianggapnya contoh yang paling sesuai karena mereka harus
memakan hampir segala sesuatu yang tersedia dan bisa dimakan agar tetap
hidup, tetapi juga pada masyarakat yang demikian itu ditemukan juga
larangan-larangan tertentu seperti larangan berburu dan memakan hewanhewan
totem.
Audrey Richards (1975) dalam penelitiannya di Afrika, dimana seks bebas
dilakukan sedangkan makanan terbatas, mengemukakan bahwa dalam
masyarakat tersebut makanan mendominasi subsadar di samping kehidupan
sadar warga masyarakatnya. Dalam bukunya, Hunger and Work in Savage
Tirbe, ia mengemukakan bahwa food behavior pada manusia diatur jauh
lebih mendasar dan ekstensif oleh kebudayaan dan tradisi dibandingkan
dengan seks.
Pada komuniti adat tertentu di Papua, yang corak budayanya yang terbuka
dengan mudah dapat mengadopsi nilai baru, dan komuniti yang tertutup
adalah sebaliknya. Masyarakat dengan corak budaya terbuka merupakan
kelompok masyarakat yang memiliki variasi pada pola makan dan jenis
makanannya. Pemahaman tentang pola makan yang lebih maju pada
kelompok seperti ini relatif lebih cepat dibanding komuniti yang tertutup.
Kelompok yang proses kontak timbal-balik budaya lambat (corak budaya
tertutup) memiliki pola makan dan jenis makanan yang kurang bervariasi.
Atas dasar pandangan-pandangan diatas, tulisan ini dapat menguraikan
bagaimana klasifikasi makanan dalam kultur orang Jae dan perubahannya
sesuai perkembangan budayanya.

2. KERANGKA PEMIKIRAN DAN CARA AMBIL DATA
Data mengenai makanan dan jenisnya merupakan informasi menarik yang
diambil melalui pengamatan dan wawancara mendalam mengenai gizi dan
keluarga terhadap beberapa informan dan responden. Karena penelitian
utamanya adalah gizi dan keluarga sehingga data lapangan yang padat adalah
mengenai kondisi gizi keluarga menyangkut jenis makanan, berat badan,
keadaan fisik tubuh, volume makanan individu per hari. Beberapa tokoh adat
dan masyarakat serta 16 orang atau 24% dari warga diambil sebagai sampel
dari seluruh penduduk.
Catatan lapangan mengenai makanan dari penelitian gizi dan keluarga
diambil dan dijelaskan berdasarkan pendekatan sistem pengetahuan tentang
pilihan rasional terhadap apa yang boleh dimakan sebagai makanan dan yang
tidak boleh. Penedakatan ini dipakai karena dimensi etnologis dari komuniti
adat sasaran kajian adalah lebih dominan. Fungsi pengetahuan tradisonal
merupakan penjabaran dari konsep fungsionalime yang dikembangkan oleh
Malinowsky, yang memiliki orientasi teoritik bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu ada. Menurut
Malinowsky, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk
memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul
dari kebutuhan dasar. Dengan orientasi teoritik ini, dapat dijelaskan
bagaimana fungsi pengetahuan dalam penentuan sesuatu sebagai makanan
dan bukan makanan. Makanan dalam konteks kultur meliputi, pilihan
rasional terhadap jenis makanan, cara memasak, kesukaan dan
ketidaksukaan, kearifan kolektif, kepercayaan, dan pantangan-pantangan
yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan. Ini
semua adalah sebagai kompleks kebiasaan makan.
Koentjaraningrat (1981:25) menyatakan sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakukan manusia. Sebagai bagian dari adat-istiadat
dan wujud ideal dari kebudayaan. Sistem nilai-budaya seolah-olah berada
diluar dan di atas dari para individu yang menjadi warga masyarakat yang
bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu
sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabanya nilainilai
budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu
singkat. Clyde Kluckhohn (1961) mengatakan semua sistem nilai budaya
dalam semua kebudayaan di dunia, mengalami lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia, yaitu: (a) hakekat hidup; (b) hakekat karya; (c) hakekat
kedudukan dalam ruang atau waktu; (d) hakekat hubungan dengan alam
sekitar; dan (e) hakekat hubungan dengan sesamanya.
Kedudukan nilai-nilai budaya ini pada tiap komuniti adat tentu tidak sama,
demikian pula orientasi dari nilai-nilai itu pada tiap komuniti. Dalam kaitan
dengan penentuan makanan dan bukan makanan pada orang Jae, maka
peranan nilai-nilai budaya menjadi unik. Apa yang mendasari penentuan itu
dapat dilihat pada model muatan unsur pengetahuan pada tiga wujud
kebudayaan. Model ini merupakan penyederhanaan pemikiran dari hubungan
terkait antara unsur-unsur universal kebudayaan dengan tiga wujud
kebudayaan. Bahwa, gagasan untuk mencoba lalu memilih dan menentukan
sesuatu sebagai makanan dan bukan makanan ada pada kolom I; tindakan
untuk merealisasi gagasan (kolom I) itu berada pada kolom II; sedangkan
kolom III adalah hasil pemilihan dan penentuan berdasarkan kolom I dan
kolom II.
Muatan unsur dan wujud kebudayaan
I II III Unsur Pengetahuan
(I) Sistem Budaya (II) Sistem Sosial (III) peralatan/material
Muatan budaya dari unsur pengetahuan yaitu berupa gagasan tentang
sesuatu, sedangkan muatan sosial dari unsur pengetahuan itu berupa tindakan
dan atau perilaku untuk mewujudkan gagasan tentang sesuatu tadi, serta
muatan material dari pengetahuan dapat berupa benda hasil karya yang
diwujudkan dari gagasan itu melalui suatu aktivitas.


3. GAMBARAN UMUM KOMUNITI JAE
Orang Jae membedakan diri dari kelompok orang Marind lainnya. Deskripsi
etnografis mengenai sukubangsa Marind dimana orang Jae termasuk di
dalamnya diprotes oleh orang Jae. Mereka memiliki asal usul, bahasa dan
organisasi sosial yang tersendiri dari orang Marind. Tetapi mereka
memaklumi penggolongan diri mereka ke dalam suku besar Marind, yang
tersebar menduduki beberapa kawasan mulai dari pantai sampai pedalaman
di kabupaten Merauke. Orang Jae bertempat di daerah Bupul distrik Muting,
tanah leluhur mereka. Secara fisik dan sosial-budaya memang tidak berbeda
dengan orang Marind, tetapi mereka mengaku diri bukan orang Marind.
Mereka tidak membantah jika disebut dengan istilah Marind-Jae. Bagi
mereka, sebutan Marind-Jae boleh dipopulerkan untuk menyebut diri mereka
dengan maksud untuk mengekspos diri kepada orang luar yang selama ini
hanya tehu tentang suku Marind saja. Dalam sistem pemerintahan Indonesia,
suku ini dimukimkan pada sejumlah desa menurut sub-suku pada lahan dan
dusun sagunya. Sejumlah klen dapat bersatu sebagai satu kesatuan hidup
karena memiliki mitos yang sama. Stratifikasi sosial masyarakat Marind-Jae
terdiri dari tiga lapisan, yaitu (1) pemimpin, (2) kepala klen, dan (3)
masyarakat biasa.

3.1. MATA PENCAHARIAN HIDUP.
Mata pencaharian hidup terdiri dari meramu, berburu dan bercocok tanam.
Dalam aktivitas tradisional tersebut terjadi perbedaan yang menyolok pada
keahlian yang dimiliki masing-masing individu. Misalnya kegiatan berburu,
hanya orang tertentu saja yang bisa melakukannya, demikian pula meramu,
bercocok tanam, kesenian dan lain-lain. Pemburu binatang di hutan tahu
tentang musim dan saat dimana binatang misalnya babi, lao-lao, kasuari,
dapat diburu dan ditangkap. Keseragaman aktivitas ekonomi orang Jae
dengan suku Marind lainnya tercermin dalam hal-hal tertentu saja, misalnya
pola konsumsi makanan pokok, yakni cara mempersiapkan dan menyajikan
sagu dan lauk bagi sagu. Peranan utama dari sagu pada masyarakat ini
sangat penting, walaupun sekarang sudah banyak diselingi dengan makanan
lain. Bagaimana memperoleh sari tepung sagu untuk bahan makanan dilihat
pada bagian bie sebagai makanan pokok dan sakral.
Dalam pekerjaan mengolah sagu ini laki-laki dapat membantu apabila dusun
sagu jauh dari kampung. Kadang untuk jangkauan yang jauh laki-laki saja
yang bekerja, perempuan melakukan pekerjaan lain, seperti menangkap ikan
di sungai.

3.2. RELIGI.
Orang Jae berhubungan sangat erat dengan alam sekitarnya. Mereka percaya
bahwa, hutan, bukit, sungai itu dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus
yang dibedakannya dari roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam
diri manusia boleh selalu mau hidup berkreasi karena terkait dengan roh di
luar manusia. Roh diluar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang
bersifat tidak baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat
baik selalu akan melindungi manusia. Sedangkan roh yang bersifat tidak baik
selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan tradisional mereka ini
juga ada yang terkait dengan mitos, totem dan tabu, yang juga mendasari
klasifikasi tentang makanan dan bukan makanan, tentang makanan yang bisa
dimakan dan yang tidak bisa dimakan.
Orang Jae percaya kepada kekuatan magis yang dipraktikan oleh orang-orang
tertentu dalam melakukan kegiatan tertentu. Adanya kekuatan magis ini
mempengaruhi perilaku mereka dalam bertindak pada hal-hal tertentu.
Mereka juga mengenal pantangan-pantangan. Banyak pantangan yang
dipatuhi di dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, misalnya, dalam
mengumpulkan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, pemburuan
binatang. Misalnya, pantangan dalam memangkur sagu adalah tidak boleh
masuk sembarangan ke hutan sagu. Kekuatan magis juga digunakan untuk
menguasai alam dan dapat mendatangkan angin badai, halilintar, kabut,
hujan dan taufan. Kekuatan magis juga dapat digunakan untuk menemukan
barang yang hilang, barang yang dicuri, atau untuk menunjukkan si pencuri.
Ilmu sihir hitam juga banyak digunakan terutama oleh kaum perempuan.
Dengan ilmu sihir, penyihir dapat menyakiti, dan bahkan dapat membunuh
manusia. Ilmu ini biasanya diberikan oleh seorang ibu kepada anak
perempuannya sebagai pelindung dirinya. Misi keagamaan dan kehidupan
baru telah banyak mengurangi kepercayaan tersebut.

3.2. TOTEM.
Setiap klen pada masyarakat ini memiliki totem, yang terdiri dari binatang
dan tumbuh-tumbuhan. Ada klen yang mensakralkan dan tidak bisa
menyentuh totemnya. Tetapi ada klen yang totemnya walaupun disakralkan
namun bisa disentuh. Umumnya totem-totem pada orang Jae disakralkan tapi
bisa disentuh. Misalnya totem dari klen Keijai adalah kasuari, walaupun
kasuari disucikan tetapi binatang tersebut bisa disentuh atau dimakan oleh
klen Keijai. Begitu pula klen Kewamijai yang bertotem sagu, dimana sagu
tetap dimakan oleh warga klen tersebut. Yang sangat ditabuhkan adalah
ceritera asal usul atau bagaimana terjadinya klen, tidak boleh diceriterakan
kepada siapapun diluar klen yang bersangkutan.

3.3. ORGANISASI SOSIAL DAN KEKERABATAN.
Organisasi sosial yang paling kecil dalam kehidupan orang Jae adalah
keluarga inti, - ayah, ibu dan anaknya yang belum menikah. Tetapi organisasi
yang paling menonjol dalam kehidupan sosial ekonomi sehari-hari adalah
keluarga luas, - kelurga inti ayah ditambah keluarga inti anak-anak. Aktivitas
sosial dan ekonomi dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa keluarga
tersebut, yang tinggal di dalam satu rumah atau satu kampung.
Dalam kaitan dengan usaha mencari makan, maka orang yang bekerjasama
adalah yang berhubungan kerabat atas dasar pertalian darah dan kawin.
Hubungan atas dasar pertalian darah yaitu ayah-ibu dan anak atau kakak
beradik dari satu leluhur atau nenek, atau tete, atau satu klen. Sedangkan
hubungan atas dasar pertalian kawin yaitu anak-anak dari saudara ibu, atau
klen yang berbeda.


4. MAKANAN DAN POLA MAKAN PADA ORANG JAE
4.1 Pengantar
Kajian mengenai klasifikasi makanan dari sisi sosial-budaya pernah
dilakukan oleh Cecil Helman (1984:23-24) ke dalam lima kategori pokok,
yaitu: (1) makanan dan bukan makanan; (2) makanan sakral dan profan;
(3) makanan yang digunakan sebagai obat dan obat sebagai makanan; (4)
makanan sebagai simbol status sosial; (5) makanan paralel. Klasifikasi
Helman ini dipakai sebagai acuan untuk menggali dan menjelaskan pola
makanan pada kultur komuniti Jae, dengan penambahan tertentu yang
disesuaikan dengan kultur komuniti tersebut.
Sebagai masyarakat dengan kebudayaan meramu, orang Jae memakan
hampir segala sesuatu yang tersedia untuk bisa dimakan agar tetap hidup.
Rasionalisasi dari sistem pengetahuan orang Jae tentang apa yang bisa
dan tidak bisa dimakan merupakan sebuah proses panjang sampai pada
pengakuan sesuatu sebagai makanan. Sesuatu ditetapkan sebagai
makanan karena tidak mematikan orang, sebaliknya sesuatu yang
mematikan tidak dimakan. Pati sagu dari pohon sagu diambil sebagai
makanan sehari-hari karena tidak mematikan. Orang Jae berhubungan
dengan makanan yang ada di lingkungannya secara rasional, yaitu
memakan makanan sesuai dengan apa yang tersedia yang bisa dimakan
dan dipilih atau ditetapkan karena tidak berbahaya dan mematikan. Di
dalam kebudayaannya, orang Jae mengenal pula sejumlah peranan yang
implisit yang mempengaruhi siapa yang harus menyiapkan makanan,
menyimpan makanan, untuk siapa, individu atau kelompok yang makan
bersama serta saat yang bagaimana, dan di mana tempat mengkonsumsi
makanan. Berikut uraian mengenai makanan pada orang Jae.

4.2 Bie Sebagai Makanan Pokok dan Sakral
Makanan pokok orang Jae adalah bie atau sagu. Bagi orang Jae, sagu bakar
yang dimakan dapat menguatkan badan dan atau mengatasi rasa lapar.
Sedangkan pati sagu yang tidak dibakar tidak bisa dimakan karena tidak
menguatkan tubuh, malahan bisa mematikan orang. Jadi dalam proses itu,
apa saja yang dimakan dan ternyata mematikan, maka dianggap bukan
makanan. Untuk memperoleh sagu untuk makanan sehari-hari, mereka
menempu dua strategi ke dusun sagu. Pertama, strategi jarak pendek yakni,
pergi-pulang dari kampung ke dusun sagu karena jangkauannya dekat.
Keluar pagi dan pulang sore hari dengan membawa hasil. Kedua, strategi
jarak panjang yakni, pergi beberapa lama tinggal di dusun sagu, dengan
membangun sebuah rumah untuk dihuni. Segala perlengkapan seperti, tikar
untuk alas tidur, kapak dan perlengkapan lainnya dibawahnya dari kampung.
Hidup di hutan-hutan sagu dengan menetap di suatu tempat untuk beberapa
waktu, lalu pindah mencari tempat baru adalah apabila makanan di tempat
itu sudah mulai berkurang. Hidup di tengah hutan bagi mereka itu adalah
hidup yang bebas, tidak ada peraturan yang mengikat mereka. Inilah yang
menyebabkan mereka sering meninggalkan kampungnya. Anak-anak
biasanya diikutsertakan dalam kegiatan pencarian makan ini. Walau pun
sekarang ini (saat penelitian ini dilakukan), ada orang tua yang memandang
bahwa anak-anaknya yang bersekolah tinggal di kampung, akan tetapi
pandangan ini sulit dipraktekan.
Sari pati sagu diambil dengan cara batang sagu ditebang, dibersihkan
pelepahnya, dipotong secukupnya kurang lebih 2 meter lalu dibelah untuk
ditokok dan dipukul menggunakan kayu buah sehingga empulur sagu itu
halus. Empulur sagu yang sudah halus diangkat ke dalam tempat meramas
yang dibuat dari pelepah sagu kurang lebih 3 kg, dicampur air lalu diramas.
Ini dilakukan selama dua kali. Perempuanlah yang umumnya melakukan
pekerjaan ini. Tepung sagu yang dihasilkan diambil untuk bahan makanan,
biasannya dibakar dalam bentuk gumpalan, istilah yang populer adalah sagu
bola. Selain sagu bola, dibungkus dengan daun lalu dibakar. Sekarang
mereka cenderung membakar sagu dengan kaleng dan piring ceper.
Selain sebagai makanan pokok, bie juga merupakan makanan yang
disakralkan, terutama oleh klen Keijai yang memandang sagu sebagai
totemnya. Warga dari klen ini percaya bahwa sagu adalah leluhur dan asal
mula dari kehidupan mereka. Atas dasar pandangan inilah, maka mitos dari
sagu dan keberadaan sagu disekitarnya tidak mudah diceriterakan kepada
orang lain. Mitos sagu telah menjadi kerangka moral yang dipatuhi.
Berlandaskan ini, maka sagu diambil secara baik dalam suatu proses tata
krama tersendiri dan dikonsumsi secara baik pula agar kehidupan dan
penghidupan mereka selalu berlangsung dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa mengkonsumsi sagu itu sebenarnya bukan karena sekedar memberikan
kekuatan pada tubuh mereka yang lemah agar bisa mampu bekerja, tetapi
lebih daripada itu, adalah mengekspresi ketaatan kepada leluhur sebagai akar
dari kehidupan. Karena itu selain klen tadi, orang Jae umumnya, menaati
keyakinan bahwa perlakuan yang baik terhadap sagu itu akan berakibat baik
bagi mereka, yakin suasana damai sejahtera. Ketaatan itu dapat juga dilihat
dari cara mereka mulai menebang pohon sagu sampai memangkurnya.
Penebangan dilakukan orang tua tertentu yang tahu tentang ungkapanungkapan
adat yang berkaitan dengan sagu atau leluhur itu, dimana sambil
menebang penebang berkata-kata seraya memohon maaf dan izin. Demikian
juga tidak boleh adanya empulur sagu yang terjatuh sembarangan ke tanah.
Bahkan ketaatan itu menyebabkan empulur yang siap diramas dipukul-pukul
menggunakan kayu buah sampai menjadi lebih halus agar semua sari tepung
tersaring ke dalam babat, tempat penampung untuk diambil.
Penerapan dikotomi makanan religius lebih dari sekedar klasifikasi bagi
makanan, dan hal ini biasanya merupakan bagian dari “kerangka moral”
dalam kebudayaan mereka. Persoalan mengenai apa yang ditolak dan apa
yang diterima tentu saja berada dibawah kontrol kebudayaan mereka,
khususnya yang berkenaan dengan makanan.
Bahan-bahan makanan tertentu juga disakralkan karena adalah merupakan
totem dari klen-klen tertentu. Umumnya komuniti bersahaja tidak memakan
sesuatu yang disakralkan sebagai totemnya. Hal ini berbeda pada orang Jae.
Klen Keijai misalnya, mensakralkan kasuari, tetapi tidak dipantangkan. Klen
Dambojai mensakralkan sagu, tetapi tetap memakan sagu sebagai makanan
pokoknya. Bahan-bahan makanan tertentu juga dianggap “profan” sehingga
dalam kehidupan mareka, bahan makanan tersebut bukan saja menjadi
subyek tabu yang ketat, tetapi juga tidak bisa disentuh dan tidak akan
disentuh. Misalnya, ikan kakap dan ikan sembilan yang besar dianggap aneh
dan berbahaya, maka tidak boleh dimakan, karena jika dimakan akan
menimbulkan kelainan pada tubuh dan menyebabkan yang memakannya akan
mati.

4.3 Makanan Selingan
Bie biasanya diselingi makanan lain seperti pisang dan talas. Pisang dan
talas ditanam di kebun pada pekarangan rumah, selain itu nasi yang sudah
dikenal dan biasa dimakan. Walaupun ada makanan selingan itu, tetapi sagu
tetap diutamakan. Beberapa orang menyatakan, makan sagu itu kenyang
lebih lama daripada makan pisang, nasi dan talas.

4.4 Makanan Sebagai Obat dan Obat Sebagai Makanan.
Klasifikasi semacam ini sering terkait erat dengan klasifikasi makanan
paralel. Pucuk muda dari sagu yang sering diambil sebagai makanan,
kadang-kadang dijadikan obat. Tumbuhan sammai (bahasa Jae) atau wati
(bahasa Marind) adalah tumbuhan yang memiliki fungsi sosial dan budaya
dalam kehidupan mereka. Tumbuhan sammai di tanam dan jaga secara adat
untuk acara-acara adat. Sedikit bagian dari tumbuhan ini akan dikunya oleh
pimpinan acara atau orang tertentu lalu diberikan kepada peserta acara untuk
memberi semangat berbicara atau berkomunikasi diantara mereka. Bagi
generasi sekarang sammai dimakan agar tidak stres. Selain sammai, pohon
taak (bahasa Jae) yang getahnya dimakan baik oleh wanita yang telah
melahirkan maupun yang masih gadis yang bakal kawin untuk melancarkan
air susu bagi kebutuhan bayi.

4.5 Makanan bayi.
Makanan untuk bayi adalah gumpalan sagu bakar lunak. Proses
pembuatannya sama seperti yang dibuat untuk orang dewasa, tetapi sagu
bakar untuk bayi sambil dibakar diberi air secukupnya sehingga lunak.
Maksudnya, agar mudah dimakan. Makanan ini hanya bersifat sementara,
karena setelah berumur diatas 7 tahum, ia pun memakan makanan yang
dimakan orang dewasa.

4.6 Biekalmu: Makanan Status Sosial.
Makanan ini memperlihatkan ciri dan bentuk yang berbeda dengan yang
lainnya. Biekalmu adalah makanan yang menentukan status sosial dari orang
Jae, dimana orang lain di luar kelompok dan kampung diundang untuk
menikmatinya. Pada saat dan setelah makanan ini disajikan maka orang luar
kampung secara spontan menyatakan rasa kagum atas kenikmatan makanan
ini. Ini pertanda adanya kemakmuran dan sejahtera bagi kampung penyaji
makanan. Tujuan dari penyajian ini memang adalah untuk mendapat
penilaian terhadap kondisi kemakmuran dan kesejahteraan warga kampung
atas.
Selain itu dengan melakukan ini maka dusun, hutan dan segala yanga di
dalamnya tetap baik dan mudah diperoleh untuk kehidupan manusia. Ciri dan
bentuk makanan ini bisa dibilang sebagai simbol kesejahteraan dan
kedamaian kampung. Selain itu, nilai simbolis yang dimaksud disini terutama
berkaitan dengan ungkapan rasa persaudaraan, identitas kelompok, serta
sebagai ungkapan prestise dari kelompok. Biekalmu, disajikan secara
insidentil, yang disebut pesta biekalmu, yakni pesta untuk menjamu tamu
kehormatan dan suku-suku tetangga. Bagi orang Jae, Biekalmu adalah
makanan yang sangat istimewa, karena dibuat dari bahan-bahan makanan
yang segar seperti pati sagu, daging binatang buruan seperti kanguru, babi,
dan burung kasuari, serta sayur-sayuran. Setelah bahan-bahan itu disiapkan
maka dicampur aduk lalu dibungkus dengan daun atau kulit kayu tertentu
lalu dibakar. Besar dan berat bungkusan bielakmu bisa bervariasi, tetapi
umumnya sebesar kurang lebih 65 cm2 dengan berat 6 kg lebih. Biekalmu
dibakar diatas bara api yang panas. Setelah matang diangkat lalu dibiarkan
hingga agak dingin barulah kemudian dibuka. Semua orang yang hendak
mencicipi biekalmu harus berada disamping pada saat bungkusan hendak
dibuka. Hal ini agar masing-masing bisa menghirup aroma biekalmu yang
menggiurkan. Pesta biekalmu adalah pesta yang sangat meriah karena
dihadiri banyak orang berbagai kampung, disitu pula merupakan moment
pengakuan prestise, pertukaran sosial, budaya dan peminangan.
Selain makanan yang menunjuk status sosial itu, makanan yang sifatnya
hampir sama adalah pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu merupakan pesta yang
sangat meriah, semua orang terutama laki-laki bergiat secara sungguhAntropologi
sungguh memberi yang terbaik untuk pesta ini. Manfaatnya adalah hubungan
sosial menjadi lebih akrab. Mereka menyadari pesta ini memberi kenikmatan
yang tinggi karena sajiannya sangat enak, ini adalah kesempatan untuk
mengkonsumsi makanan yang enak.
Pesta pendewasaan (inisiasi) pada suku ini disuguhi makanan tersebut
diselingi dengan yang lainnya. Karena pendewasaan amat sangat penting
untuk masyarakat yang bersangkutan, maka makanan selalu disajikan
sebagai tanda suka cita. Di dalam pesta ini daging binatang buruan, piaran,
ikan dan sayuran disajikan.

4.7 Pola Makan
Pola makan mencakup apa yang dimakan, kapan dimakan, siapa yang
makan, dimana, mengapa, dan bagaimana memakan makanan. Kapan,
dimana dan bagaimana orang Jae memakan makanan pokok dan selingan di
dalam tradisi mereka, ketepatannya sangat relatif. Umumnya mereka tidak
biasa duduk sama-sama memakan makanan, kecuali pada saat pesta
biekalmu. Orang secara individu memakan makanan yang disiapkannya
tanpa harus bersama-sama dengan warga lainnya. Penentuan waktu untuk
makan pun tidak tegas. Setiap orang dapat makan kapan saja, kalau memang
ia merasa lapar atau ingin makan. Walaupun demikian, setiap pagi saat
orang belum pergi melakukan aktivitasnya, ada asap api di rumah masingmasing
yang ternyata adalah karena sedang membakar sagu untuk dimakan
atau dibawa ke tempat bekerja. Rumah yang tidak berasap api pertanda, sagu
sudah dibakar dari malam, atau tidak punya sagu untuk dibakar. Orang atau
keluarga yang tidak punya sagu di rumah maka makanannya akan dibuat di
dusun dan atau di tempat kerja. Simon dan Wilianus (tokoh masyarakat)
menuturkan:
...kalau ada sagu atau makanan, maka kami dapat makan pada pagi hari
sebelum keluar rumah melakukan aktivitas.Tetapi kalau tidak ada, maka
kami akan bakar sagu untuk dimakan di tempat kerja, misalnya di dusun, di
hutan dan di tepi sungai….
Pemahaman baru tentang pola makan dan waktu makan (pagi, siang, dan
malam) seperti yang umumnya pada masyarakat di kota dan masyarakat
yang sudah maju, telah dikenal melalui kehidupan para misionaris dan
petugas-petugas pemerintah, namun belum banyak ditiru karena masih
kuatnya pegangan mereka pada irama kehidupan berlandaskan ekonomi
subsisten.
Dalam kasus tertentu, apa yang dipertimbangkan untuk dapat dimakan dan
tidak dapat dimakan cenderung bersifat fleksibel. Misalnya pada wanita yang
sedang hamil, menyusui, dan menstruasi, untuk sementera tidak memakan
makanan tertentu, dan sesudah masa itu ia boleh makan makanan yang
dilarang tadi. Misalnya, wanita Jei-Marind yang sedang hamil atau menyusui
tidak boleh memakan daging kasuari, anak babi dan ikan kakap besar karena
kalau dimakan akan mengakibatkan kelumpuhan pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana pandangan logika kesehatan modern mengenai kebiasaan ini?.
Waktu makan. Sagu adalah makanan utama pada pagi, siang dan sore hari.
Belum ada makanan pengganti makanan pokok ini walaupun mereka sudah
mengenal nasi dan ubi-ubian (lihat bagian 2.4 tentang makanan pokok dan
tambahan). Daging hewan buruan dan ikan yang segar bisa diperoleh setiap
hari melalui berburu dan menjaring. Namun hal ini tidak selalu dilakukan
karena tergantung kepada orang yang bisa melakukan, bukan suatu
keharusan untuk makanan tersebut diadakan menjadi lauk bagi sagu.
Pemburu hewan hutan adalah profesi bagi orang-orang tertentu, dan karena
itu keputusan untuk berburu bergantung pada si pemburu itu. Daging hewan
bisa dapat dimakan bersama sagu, tetapi juga daging bisa dimakan tanpa
sagu. Seorang pemburu biasanya akan membagi hasil buruannya kepada
kerabatnya atau warga lain sehingga bagian untuk dirinya atau keluarganya
hanya cukup dimakan sehari. Implikasi sosial dari tindakan ini lebih penting
daripada ekonomi. Artinya dengan tindakan ini kehidupan dianggap lebih
damai dan tentram. Sekarang ini setelah mengenal nilai uang dari luar, maka
sebagian atau semua hasil buruan dapat dijual untuk memperoleh uang.
Ikan cukup tersedia di lingkungan perairannya tetapi tingkat mengkonsumsi
ikan masih rendah dibanding orang yang sudah hidup modern di kota. Hal ini
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
selain karena signifikansi budaya ekonominya yang masih rendah terhadap
alam lingkungannya sehingga tidak mampu menangkap banyak ikan, tetapi
juga karena pola konsumsi ikan yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan.
Pandangan masyarakat ini sama dengan banyak masyarakat kampung
lainnya bahwa banyak mengkonsumsi ikan itu suatu penyimpangan budaya
dan juga perut akan ada cacing.
Sebagian orang Jae di kampung Bupul senang memelihara ayam di
pekarangan rumah. Ada beberapa asalan mereka beternak ayam, pertama,
sebagai alasan prestise atau sebuah wujud dari pemikiran yang maju; kedua,
dimotivasi pemimpin pastor dan pendeta; dan ketiga, dipelihara untuk
kepentingan tamu dari luar, yakni dipotong untuk dijadkan lauk bagi tamu.
Beberapa petugas pemerintah di desa memelihara ayam untuk dimakan dan
dijual. Babi dipelihara oleh orang Jae untuk maskawin dan pesta biekalmu.
Sekarang babi dipelihara untuk ulang tahun dan hari raya paskah, natal serta
dijual.
Tanaman kacang-kacangan sudah dikenal dan ditanam orang Jae, tetapi
bukan untuk dikonsumsi dengan sagu melainkan sebagai tindakan nyata dari
pengetahuan baru mereka tentang kegiatan produksi pertanian. Sayuran hijau
seperti daun melinjo, dan jenis paku-pakuan banyak terdapat di hutan dan
dusun sekitar kampung. Sayuran ini biasanya diambil untuk dikonsumsi
dengan sagu, ubi, dan nasi.
Tanaman buah seperti mangga, nangka, rambutan, nenas, jeruk dan lainnya
ditanam di pekarangan rumah untuk dimakan buahnya. Tanaman ini tidak
ditanam pada lahan tersendiri yang luas. Buah yang disukai adalah buah pala
hutan, yang diambil di hutan secara berramai-ramai, biasanya ada musim
dimana buah ini sarat berbuah di hutan. Selain itu buah matoa juga dapat
diperoleh pada musim tersendiri.


5. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan beberapa catatan kesimpulan bahwa:
1. penyediaan makanan pada komuniti adat Jae, bukan dikelola secara
sengaja untuk memenuhi nutrisi bagi tubuh mereka, melainkan sebagai
suatu kebiasaan rutin supaya mereka dapat makan dan mendapat
kekuatan tubuh agar melakukan pekerjaan dengan baik.
2. jenis dan variasi makanan disediakan sesuai dengan kepentingan yang
berlainan bagi ibu hamil, bayi, dan orang dewasa.
3. disamping sebagai bagian dari sistem budaya, dalam konteks sehat dan
sakit makanan merupakan sub-sistem dari sistem perawatan kesehatan
tradisional, folk medicine systems pada orang Jae.
4. sistem sosial budaya makan dan makanan pada komuniti ini
mengimplikasikan adanya sejumlah aturan yang menyangkut mengenai
apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, baik secara ketat maupun
secara temporer dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi tertentu.




Daftar Kepustakaan :

Audrey, Richards, 1975 “Hunger and Work in a Savage Tribe”, dalam
Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Audy, J.R. and F.L.Dunn, 1974, “Health and Desease” (bab 15) dan
Community Health” (bab 16), dalam Human Ecology, F.Sargen
(ed.). Amsterdam Publishing Co.
Bates, Marston 1958 Manusia, Makanan, dan Seks, dalam Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungannya. Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada.
Boelaars,J., 1986 Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan.
Jakarta: PT.Gramedia.
Foster, G., 1973 Traditional Scienties and Technological Change.
Foster G.M. & Anderson B.G, 1974, Medical Anthropology. Diterjemahkan
oleh Priyanti Pakan Suryaharma dan Meutia F. Swasono. Jakarta:
UI press.
Helman, Cecil, 1986, “Diet and Nutrition, dalam Culture, Health and
illness. England: John Wright & Sons Publising, Pp.23 – 41.
Jellife, B.D, 1967 “Paralel Food Clasification in Developing and
Industrialized Countris”, dalam The American of Cultural
Nutritions, vol. 20, No.3 March, Pp. 279 –281.
Kumbara,A.A. Ngr.Anom, 1989, Kepercayaan “Panas dan Dingin”:
Dihubungkan dengan Program Perbaikan Gizi Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui di pedesaan Kabupaten Lebak Jawa Barat ( Suatu
Kajian Antropologi Gizi). Tesis Strata 2 Bidang Multidisipliner,
Program Pengkhususan Antropologi Kesehatan, Fakultas
Pascasarjana UI, Jakarta.
Mansoben,J.R., 1995 Politik Tradisional Irian Jaya. Disertasi. Jakarta: LIPI.
Meutia, F.Swasono, dkk, 1994, Masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu,
Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya: Adat Istiadat dan
Pengaruhnya terhadap Kesehatan. Makalah Seminar Perilaku dan
Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial, kerjasama Program
Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi FISIP UI dengan The
Ford Foundation.
Parsudi, Suparlan, 1993, manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya.
Bacaan untuk mata kuliah dasar umum, khususnya Ilmu Sosial
Dasar. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Pelto,J.P, dan Pelto,H.G., 1983, “Culture, Nutrition and Health”, dalam The
Anthropology of Medicine: from culture to method. Rommanucci-
Ross (ed.) Massachusets Berin and Gorvey Publisher Inc. Pp. 173
–200.

RS Cikini Rumah Sang Maestro

RS Cikini Rumah Sang Maestro


Warta Kota, 27 Aug 2010


RUMAH SAKIT Cikini yang terletak di Jalan Raden Saleh. Cikini. Jakarta Pusat, bukan sekadar rumah sakit swasta pertama di Indonesia. Bangunan bak istana ttu Juga menyimpan sejarah seni yang penting. DI gedung itu pernah berdiam seorang maestro, pelukis

terkenal Indonesia yang bernama Raden Saleh. Namanya diabadikan menjadi nama Jalan di depan RS Cikini. Raden Saleh dilahirkan di Terboyo. Semarang. Jawa Tengah, tahun 1814. Pelukis Sang Raja" begitu gelar resmi yang diberikan Raja William Ifi kepadanya di tahun 1849. Dia bertahun-tahun bermukim dan menimba Ilmu seni lukis di Eropa.

Tahun 1951 dia menetap di Batavia bersama istrinya yang orang Belanda, Wlnkelman. yang kaya raya. Ia membangun rumah di Cikini yang saat Itu termasuk kawasan Weltevredcn, tempat orang berduit membangun rumah peristirahatan (Land Hulzen). Sementara Raden Saleh membangun rumah gaya neo gothlc Perancis. j Menurut Harsja W Bachtiar dalam artikel berjudul .Raden Saleh Bangsawan. Pelukis, dan Ilmuwan, dalam buku berjudul Raden Saleh Anak Belanda Mod Indie

Nasionalisme(2009). Istana Raden Saleh terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap dan galeri. Di bangunan utama terdapat aula yang dilengkapi dengan meja berukir dan kursi-kursi. Sedangkan di halaman depan istana itu terhampar rumput hijau dengan bunga berdaun merah. Harsja W Bachtiar yang sosiolog mengutip pernyataan seorang profesor dari Amerika Serikat Albert S Blchmore, yang pernah melancong ke Istana Raden Saleh, Tidak ada penguasa pribumi di seluruh Kepulauan Nusantara yang memiliki Istana sehebat Istana Raden Saleh".

Goresan kuas atau pensil gambarnya telah mengabadikan para pembesar istana dan pejabat pemerintah di Hindia Belanda. Raden Saleh pernah melukis Grand Duke Ernestl dari Saxe-Coburg-Gotha dan Victoria yang bergelar Duchess of Kent. Ia juga melukis wajah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud. Johannes van Den Bosch, dan Hendrik Merkus de Kock. Lukisannya yang sangat terkenal, yakni penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang. Lukisan itu dlpersembah-kannya untuk Raja William IU dari Belanda

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

J.H. Abendanon

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-

idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Abdul Ghafar Al Holandi alias Snouck Hurgronye
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.


Sumber: jonizar.wordpress.com

Thursday, 4 November 2010

Jati Diri Polri Dimasalahkan

Jati Diri Polri Dimasalahkan


Dr. Bambang Widodo Umar

Staf Pengajar Program Pascasarjana KIK - UI



Latar Belakang
Kajian Daniel S. Lev tentang Politik Perkembangan Peradilan di Indonesia terutama yang mambahas “Polisi versus Jaksa” dalam bukunya Legal Evolution and Political Authority in Indonesia (2000 : 88–97) menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan di Indonesia telah terjadi persaingan antar lembaga penegak hukum untuk mendapatkan “otoritas dan prestise” yang lebih besar dalam perkembangan negara. Seperti ditunjukkan pada peristiwa tahun 1946, di mana Perdana Menteri pertama RI Sutan Syahrir mengalihkan kepolisian dari Kementerian Dalam Negeri ke Perdana Menteri, polisi menganggap hal itu sebagai pengakuan atas pentingnya lembaga kepolisian.
Kini setelah ± 61 tahun, momentum reformasi 1998 yang mampun memisahkan POLRI dari TNI berdasarkan TAP MPR Nomor : VI/MPR/2000, dan TAP MPR Nomor : VII/MPR/2000 tentang peranan TNI dan Polri, ada kecenderungan fenomena itu muncul kembali. Polri sudah merasa final dalam posisinya di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. Jika dulu pengalihan posisi polisi tidak disertai dengan revisi dua undang-undang pra-perang yang berlaku untuk organisasi dan kompetensi polisi, yaitu H.l.R dan undang-undang organisasi peradilan (rechterlijke organisatie), demikian pula saat pemisahan POLRI dari TNI tidak disertai revisi KUHAP sebagai landasan organisasi dan kompetensi Polri. Dari kedua peristiwa itu ada yang terlupakan dalam pengembangan, yaitu apa sesungguhnya jati diri Polri?
Oleh karena itu tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Polri merupakan endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang dikonfrontasikan dengan masyarakat masih aktual. Ditetapkan UU Nomor 2 Tahun 20002 tentang Kepolisian Negara R.I seharusnya membawa ke arah kelembagaan polisi menjadi semakin jelas, kuat dan legal. UU kepolisian yang lahir dalam suasana tuntutan masyarakat ke arah pemerintahan yang demokratis, sesungguhnya merupakan landasan konstitusional untuk mengubah jati diri Polri yang selama ini militeristik menjadi polisi sipil yang profesional dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance).
Keluarnya produk legislatif ini tentu bukanlah merupakan langkah yang final. Reformasi dalam bidang keamanan masih memerlukan beberapa produk legal lainnya. Sebab kemajuan legal yang telah dicapai belum menghasilkan institusi polisi yang benar-benar memenuhi kriteria polisi sipil yang demokratis dan profesional. Banyak kalangan berpendapat, pasal-pasal dalam produk legislatif itu belum benar-benar mencerminkan – untuk tidak dikatakan bertentangan – gagasan polisi sipil, demokratis dan professional.
Upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri untuk membenahi dan menciptakan jati diri Polri yang pasti dan konsisten nampaknya tidak lepas dari dinamika politik dan pergolakan sosial di negeri ini. Akhirnya, upaya itu sekedar menghasilkan “citra diri” (self-image) atas prestasi yang dicapai dalam mengungkapkan jaringan terorisme, membongkar pabrik ekstasi, menutup perjudian, memberantas illegal logging dan lain-lain, sedangkan upaya membangun jati diri polisi yang responsif, akuntabel dan profesional belum nampak hasilnya.

Aspek Sejarah Yang Membentuk Jati Diri Polri
Menurut literature kepolisian di Indonesia, polisi sebagai suatu lembaga telah mengakar di masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada di kerajaan Mojopahit guna memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan. Harsya W. Bachtiar (1994) dalam bukunya “Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu yang baru”, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata Bhayangkara berarti “yang menakutkan”. Pemakaian kata itu pada masa kerajaan Mojopahit tidak janggal, tetapi jika digunakan pada masa negara R.I yang sudah merdeka menjadi tidak relevan. Pengertian Bhayangkara lebih tepat untuk militer, karena tugasnya selain menjaga
keamanan wilayah kerajaan juga untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Di sisi lain, kajian tentang lembaga-lembaga sosial dalam lingkungan Adat di Nusantara yang identik dengan lembaga kepolisian seperti Jogoboyo di Jawa, Jayengsekar di Madura, Pecalang di Bali dan daerah-daerah lain sebagai acuan untuk membangun jati diri polisi dapat dikatakan tidak ada.
Pada tahun 1620 di kota Batavia, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mendirikan Bailluw (semacam Satpam) untuk melindungi orang-orang Belanda sekaligus perusahaan karena waktu itu sering terjadi perampokan, penyerangan, dan kerusuhan. 1 Kemudian ketika VOC diambilalih oleh pemerintah Inggris, Raffles menyempurnakan Bailluw dengan mengeluarkan Verordening over de administratie de Justitie bij de gewestelijke hoven op Java en de administratie der Politie, 11 Februari 1814 untuk mengatur organisasi, peran, dan tugas polisi, dengan rincian : (1) menjaga ketertiban umum; (2) mengawasi tindakan warga masyarakat yang menimbulkan kerugian; (3) menyidik semua tindak kejahatan yang ditujukan kepada negara maupun perorangan; (4) menjaga keamanan dan bila perlu dapat minta bantuan kepada militer (KNIL); (5) melaksanakan putusan pemidanaan; dan (6) mengawasi tahanan di penjara (Oudang, 1952).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia (1800 – 1942), Polisi Administratif merupakan bagian dari Departement Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Daniel S. Lev (2000 : 88) mengatakan bahwa, polisi dikelola sebagai bagian dari Kementerian Dalam Negeri dan membawahi pamong pradja. Kementerian ini menyelenggarakan urusan pegawai, pendidikan, latihan, perlengkapan, persenjataan, dan pengawasan korps, tetapi tidak berhak mencampuri pelaksanaan operasi kepolisian. Dalam tugas represif (police judiciare) polisi diperintah oleh Jaksa. Dalam hal ini ada pemisahan kekuasaan, pembinaan kepolisian oleh Departemen Dalam Negeri dan penggunaan kepolisian oleh Jaksa.
Keberadaan polisi adalah untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, karena itu pekerjaan polisi adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan baik dengan kekerasan atau cara apapun. Kepada rakyat diciptakan rasa takut, sehingga pemerintah Hindia Belanda tetap berkuasa. Dengan demikian wajar jika citra polisi menakutkan seperti istilah Bhayangkara pada era kerajaan Mojopahit (Effendi, 1995).
Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan pengorganisasian militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pekerjaan polisi identik dengan militer dan pelaksanaannya di masyarakat juga menggunakan pendekatan militer. Selama masa kepedudukan Jepang polisi dan jaksa mengalami sejumlah pergerakan antar kementrian, mereka kembali pada hubungan hukum pra-perang dalam peraturan hukum yang diterapkan oleh republik revolusioner.
Sejalan dengan kemerdekaan Negara R.I, Panitia Persiapan Kemerdekaan lndonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk badan Kepolisian yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri. Tanggal 2 September 1945 untuk pertama kalinya dibentuk ”Kabinet Presidensial” dalam pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Kemudian tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/SD, membentuk Jawatan Kepolisian yang bertanggungjawab kepada Perdana Menteri. Saat itu kabinet berubah menjadi Parlementer di mana Presiden tidak memegang kekuasaan eksekutif.
Ada suatu kejanggalan jika tanggal ”1 Juli” ditetapkan sebagai hari Bhayangkara, sebab organisasi kepolisian sudah dibentuk pada tanggal 19 Agusteus 1945. Alasan untuk itu menurut Awaloedin Djamin (1995) disebabkan oleh tugas polisi yang beraneka ragam di jaman Hindia Belanda perlu dijadikan satu wadah, yaitu Jawatan Kepolisian Negara. Selain itu 1 Juli juga merupakan lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia, di mana seluruh tugas kepolisian di tanah air berada dalam satu organisasi nasional dan bertanggungjawab kepada pimpinan pemerintahan yaitu Perdana Menteri.
Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 dengan sistem kabinet Presidensial. Kemudian dengan SK Presiden Nomor 154 Tahun 1959 dibentuk Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian. Kemidian pada tahun 1961 keluar UU Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961 yang memperkokoh Departemen Kepolisian dipimpin Menteri/Kepala Kepolisian Negara R.I dan bertanggungjawab kepada Presiden. Selain itu dalam UU tersebut ditegaskan bahwa Polri merupakan bagian dari ABRI dan hal ini berlangsung hingga tahun 1998.
Sebagai konsekuensi masuknya Polri menjadi bagian ABRI, terjadilah pengaburan secara pelan-pelan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat. Di sisi yang lain dalam rangka kaderisasi pimpinan Polri, pendidikan perwira polisi dilakukan melalui AKABRI yang menggunakan metode militer. Konsekuensinua Polri wajib menganut doktrin Dwi Fungsi. Dengan doktrin tersebut, politisasi terhadap Polri menimbulkan kesan yang mendalam di kalangan anggota bahwa tugas polisi adalah mempertahankan pemerintahan yang sah.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru tanggal 21 Mei 1998, kondisi Polri menunjukkan : (1) Pengorganisasian yang sentralistik dalam kerangka membangun kekuatan birokrasi yang dominan; (2) Rekrutmen personel polisi ditentukan oleh kemampuan pemerintah bukan atas kebutuhan masyarakat; (3) Pengembangan organisasi kurang berorientasi pada profesionalisme polisi; (4) Penganggaran sentralistik dengan sistem budget oriented; (5) Simbol-simbol militer melekat pada sikap perilaku keseharian polisi, sistem pendidikan, organisasi, manajemen, dan operasional Polri.
Dari uraian tentang perkembangan polisi pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang di Indonesia terdapat tiga ciri dari polisi di masyarakat. Pertama, secara struktural, polisi tersentralisir dan militeristirk. Polisi dipersenjatai dan dinilai sangat penting untuk mengendalikan masyarakat. Kedua, dalam fungsinya, polisi lebih banyak memberikan prioritas pada tugas-tugas menekan masyarakat. Misalnya, polisi digunakan untuk memberangus protes termasuk sengketa perburuhan. Ketiga, lejitimasi polisi diperoleh dari pemerintah kolonial, bukan dari penduduk yang dijajah. Tujuannya untuk mempertahankan status quo rejim pemerintahan kolonial.
Yang menarik dicermati dalam konteks setelah kemerdekaan negara R.I pada masa transisi dari polisi kolonial ke polisi nasional, perkembangan polisi lebih sebagai usaha untuk peningkatan status dibanding usaha perbaikan lembaga keadilan. Aspek kunci dari parameter jati diri polisi hingga reformasi 1998 belum menemukan standar yang fundamental. Daniel S. Lev (2000 : 97) menilai perkembangan polisi di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan politis. Mencermati hal itu penerapan nilai-nilai yang dianut polisi di Indonesia cenderung kontradiksi dengan tujuan organisasi yang dikatakan sebagai pengayom, pelindung dan pembimbing masyarakat.
Model-model Pembentukan Polisi
Ditinjau dari kelahirannya terdapat pembentukan polisi yang berasal dari masyarakat. Lembaga itu dibutuhkan karena social control dinilai tidak efektif mengatasi masalah ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Polisi sebagai lembaga sosial, seperti tithing man di Inggris, constable di Perancis, Shire reeve di Amerika Serikat lama-lama mewujud menjadi social control, dan kemudian negara memberikan wewenang untuk menegakkan hukum. Terdapat pula pembentukan polisi yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini kepolisian digunakan sebagai alat kekuasaan politik untuk menjaga kebijakannya, seperti yang pernah terjadi di Uni Sovyet, Cina, Cuba dan lain-lain.
Secara teoretik dapat dilakukan perbandingan sebagai upaya untuk melihat pembentukan polisi di beberapa negara. Perbandingan ini dapat diklasifikasikan dari perspektif liberal dan radikal, yang amat mempengaruhi bentuk organisasi, pendekatan, mekanisme kontrol, dan teknik ketahanan polisi. Tabel di bawah menunjukkan bahwa dua model yang amat kontradiktif antara perspektif liberal dengan radikal. Perspektif liberal mengarahkan polisi harus menjadi bagian dari public order dan fungsi pemolisian (policing) sebagai dasarnya. Artinya, komunitas polisi (community policing) menjadi bagian yang kuat dalam kelembagaan polisi. Karena itu masyarakat terlibat aktif dalam menciptakan kontrol terhadap polisi.
Perspektif ini menghendaki agar polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara dan pemerintah, tetapi lebih mengabdi sebagai pelindung masyarakat secara umum. Dalam perspektif ini masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap fungsi-fungsi pemolisian yang sebagian dijalankan oleh polisi.
Tabel
Police Politics Term Description Example
Perspectives
Liberal The Police are disinterested custodians of public order - policing is based on consent.
Radical The police are agents of the state and an instrument of coercion.
Organization
Bottom-Up Police forces originate from rudimentary local patterns of law enforcement. Characterised by decentralised control. Britain
USA
Top-Down The Police are under the direct control of central government. Characterised by national rather than local police forces. France
Approaches
Community Policy force is part of the community. The entire community is part of the law enforcement process. Japan
Reactive "Heavy-handed" policing. Crime is prevented by ensuring that everyone is aware of the power of the police. Authoritarian regimes
Control Mechanism
Internal The police is responsible for its own discipline, and investigates accusations wrong doing by officers. Most police forces
External Representatives of the local community for elected civilian politicians play a major role in policing the police. Sweden
Surveillance Techniques
Overt The police makes sure that people know that their actions are being closely watched Communist party states
Covert Secret surveillance of people who are deemed to be a danger to the state All countries
Sebaliknya, perspektif radikal merumuskan polisi sebagai alat negara (agen kekerasan). Dua perspektif tersebut merupakan prinsip awal dalam memposisikan politik dalam sistem kenegaraan yang dianut. Apabila kita konsisten bahwa sistem politik dan tata negara Indonesia pasca Soeharto adalah demokrasi, maka prinsip-prinsip yang ditekankan dalam pendekatan demokrasi harus menjadi landasan dalam melakukan penataan terhadap kepolisian ke depan.
Pada Tabel di atas juga terlihat dua bentuk model organisasi yaitu bottom up dan top down. Perancis misalnya, model organisasi polisinya adalah sentralistik dengan kontrol dari pemerintah pusat. Demikian juga Indonesia, sementara AS dan Britain memilih model bottom up sesuai dengan bentuk negara yang mereka gunakan (federasi). Ini menunjukkan ada kekhasan organisasi polisi sesuai dengan karakter lokal (daerah), sehingga ada desentralisasi organisasi.
Timbulnya dua tipe pemolisian adalah berasal dari perkembangan historis yang berbeda antara polisi di Inggris dan Eropa Kontinental (Belanda, Perancis, Jerman, Yunani). Tipe Eropa Kontinental berasal dari pemisahan fungsi perlindungan terhadap ketertiban umum dengan penegakan hukum. Perkembangan model ini menunjukkan bahwa fungsi kepolisian merupakan fungsi negara yang melekat dalam sejarah negara feodal (kerajaan). Sementara itu tipe anglo-saxon berasal dari sejarah polisi di Inggris. Institusi kepolisian di Inggris dimulai dari Franklepledge System, yang menempatkan fungsi kepolisian pada masing-masing individu warga masyarakat. Lembaga kepolisian tipe Anglo-Saxon itu tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat, bukan dari kekuasaan negara (sebagai alat kekuasaan negara).
Titik ekstrim dari tipe pemolisian kontinental adalah sebuah polisi yang otoriter, di mana polisi memiliki wewenang luas untuk mengatur sejumlah besar aspek kehidupan masyarakat, termasuk masalah moral, pemikiran politik, bahkan penyimpangan samar dari segi hukum. Sementara itu titik ekstrim pemolisian tipe anglo-saxon adalah pemolisian yang terfragmentasi. Pada tipe ini struktur polisi terbagi antara unit yang memiliki fungsi dan tanggungjawab umum, setingkat kota (municipal) dan desa (county) dengan tanggungjawab yurisdiksi yang khusus, dan polisi yang memiliki fungsi terbatas.
Awal abad ke-20 terjadi perubahan tipe pemolisian khususnya di negara-negara maju. Perubahannya merupakan inovasi dari tipe sebelumnya (desentralisasi model sentralistis dan sentralisasi model desentralistis). Hal ini terjadi di AS yang memusatkan dan mengkoordinasikan aktivitas hukum (khusus hukum federal) pada FBI sejak 1909. Sementara itu Inggris juga merestui terjadinya campur tangan pemerintah pusat atas penyelenggaraan fungsi kepolisian melalui pembentukan The Royal Commission on the Police (1960) yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan masalah kepolisian hingga ke tingkat lokal. Di Jepang sejak 1954 menekankan peran polisi di kota dan desa, masing-masing disebut Koban dan Chuzaisos, jumlahnya lebih dari 15.000 kantor polisi tersebar di seluruh Jepang.
Memasuki dekade 1980-an model pemolisian mulai mengalami perubahan lagi dengan diperkenalkannya problem-oriented policing, sebuah metode yang diimpelementasikan untuk meningkatkan kapasitas polisi dalam menyelesaikan misinya. Metode ini mempengaruhi seluruh aspek kegiatan polisi, baik manajerial maupun operasional. Pada saat yang hampir bersamaan, pada awal dekade 1980-an, muncul terminologi Community Oriented Policing (COP), yang menekankan pada pencegahan tindak kejahatan ketimbang pengejaran dan penangkapan para pelaku kriminalitas. Di AS penerapan COP telah menjadi begitu bervariasi, mulai dari peningkatan kerjasama dengan komunitas, desentralisasi komando, hingga yang sederhana seperti penambahan jumlah polisi yang beroperasi (beat police).
Di Inggris struktur polisi dibuat sedemikian rupa tidak seragam namun merefleksikan keseimbangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari kehadiran tiga struktur polisi yang dikenal dengan nama London Metropolitan Police, county forces dan borough police. Namun kehadiran polisi lokal jangan ditafsirkan bahwa polisi lokal itu bertanggung jawab pada komunitas lokal. Dalam praktik mereka menjadi lebih bertanggungjawab kepada elite-elite lokal.
Ciri-ciri khas polisi Eropa Kontinental sangat berbeda dengan polisi di Inggris. Pertama, secara struktural polisi tersentralisir dan militeristik. Kedua, fungsi polisi lebih menekankan pada
tugas-tugas administratif dan politik. Misalnya mengontrol pasport, pengumppulan pajak, regulasi bangunan, inspeksi susu, bahkan melakukan pengumpulan data metereologi. Ketiga, dilihat dari lejitimasinya, polisi lebih terkait dengan pemerintah dan kurang bertanggungjawab pada publik dan hukum. Secara umum polisi di EK bertanggungjawab secara langsung kepada kepala negara (head of state).
Perubahan yang menarik terjadi di Perancis. Sebagai negara yang dikenal sentralistis tipe pemolisiannya cukup sukses menerapkan Community Oriented Policing (COP) yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian. Sejak tahun 1995 pemerintah Perancis menerapkan metode COP. Untuk itu pemerintah Perancis menerapkan kerangka administratif baru bernama Local Security Contact, yang memberi payung hukum bagi hubungan interagensi antara polisi dan lembaga-lembaga komunitas kepolisian lokal dalam menyelesaikan masalah ketertiban dan keamanan.
Organisasi polisi di dunia mengenal tiga bentuk yaitu bentuk sentralisasi, desentralisasi dan gabungan antara keduanya (Tim Newburn, 2003). Beberapa negara sebagaimana disebut dalam Tabel di atas pada dasarnya memilih salah satu model organisasi tersebut. Masing-masing pengorganisasian polisi itu memiliki kekuatan dan kelemahan. Inggris misalnya, memilih model desentralisasi, demikian juga dengan Amerika Serikat. Karena itu, ada kekhususan dari setiap organisasi polisi yang dibentuknya sesuai dengan karakteristik masyarakat dan daerahnya.
Dari uraian tersebut bahwa jati diri polisi disuatu negara bisa berbeda-beda. Pada dasarnya tergantung faktor sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Contoh, jati diri polisi Jepang jelas berbeda dengan jati diri polisi AS. Jika di negeri Uncle Sam polisi lebih bersifat individual, maka di Jepang polisi lebih akrab dengan warga masyarakat. David H. Bayley (1988) mengatakan, meskipun kepolisian di kedua negara itu memiliki tanggungjawab yang sama, namun cara mereka berhubungan dengan masyarakat sangat berbeda. Polisi Jepang lebih luwes dalam berinteraksi dengan warga masyarakat dibanding dengan polisi AS.

Jati diri Polri
Ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) lejitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter lejitimasi menunjukkan dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak.
Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain. Untuk parameter lejitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hakum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Dengan mempelajari pengalaman beberapa negara dalam membentuk kepolisian mengacu pada sistem politik, ketatanegaran, serta memperhatikan kondisi masyarakat, muncul pertanyaan : (1) Apakah lejitimasi Polri tetap seperti dirumuskan dalam UU No. 2/2002 yang bertanggungjawab kepada Presiden atau diubah menjadi bertanggungjawab kepada aturan hukum dan kesepakatan publik (sebagaimana pengalaman di Inggris); (2) Apakah fungsi Polri tetap seperti sekarang ini selaku penegak hukum sekaligus pengelola keamanan, ketertiban, dan pelayan masyarakat atau menerapkan Community Oriented Policing yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian (seperti pengalaman di Perancis); dan (3) Apakah struktur Polri tetap seperti sekarang ini sentralisasi atau desentralisasi (seperti pengalaman AS dan Britain). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam membangun jati diri Polri perlu dilakukan perubahan mendasar. 7
Sasarannya adalah membangun jati diri Polri yang demokratis dan profesional. Polisi yang demokratis mengarahkan aktivitasnya kepada kebutuhan publik. Dalam hal ini polisi harus responsif, artinya merespon kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok-kelompok swasta, maupun non-negara. Akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas penggunaan wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diimplementasikan pada lembaga kepolisian: (1) Answeribilty, mengacu kepada kewajiban polisi untuk memberikan informasi dan menjelaskan atas segala apa yang mereka lakukan, (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) Punishibility, mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bilamana mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.
Prinsip profesionalisme mengacu pada tumbuhnya kemampuan untuk, (1) menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang, (2) memberikan layanan terbaik, (3) otonom, (4) memiliki kontrol kuat terhadap anggotanya, (5) mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode etik, (7) memiliki kebanggaan profesi; (8) memilih profesi sebagai pengabdian, dan (9) bertanggungjawab atas monopoli keahlian. Untuk mencapai hal itu dilakukan melalui perubahan dalam hal sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan, dan pembinaan/pengembangan karier yang mengacu pada merit-system. Demikian pula dalam hal sistem manajemen kepeolisian.
Selain demokratis dan profesional, lebih penting polisi harus bersifat sipil, karena dengan kriteria sipil pada dasarnya akan memasukkan pula karakter demokratis dan profesional. Polisi sipil mengacu kepada pengertian polisi sebagai institasi publik yang ditumbuhkembangkan secara profesional dalam masyarakat demokratik, yang menjalankan fungsi penegakan hukum, ketertiban masyarakat, dan pelayanan masyarakat, dengan tunduk terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas, penghormatan terhadap hak-hak sipil, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, adaptif terhadap perubahan masyarakat, dan mengutamakan kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya.

P e n u t u p
Dalam konteks Indonesia, sejak awal organisasi polisi yang dibentuk adalah polisi nasional yang sentralistik. Sesuai dengan perkembangan, perspektif ini perlu perubahan. Yang jelas tidak mungkin menggunakan perspektif radikal di mana ia sebagai alat kekerasan negara yang condong dan membela kekuasaan negara. Polri perlu mengubah jati dirinya dengan mengedepankan prinsip demokrasi di mana polisi adalah bagian dari masyarakat dan mampu bekerja secara independen.

1 Sebuah plakat tentang pembentukan Bailluw pada tanggal 29 Maret 1602 berbunyi : enn Bailluw over dese onse stadt Jaccatra, de domainen en de jurisdictie van dien baer, soo te water als te land uystrckende.

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

A. Pengertian Media
Dalam kajian pendidikan, pembicaraan tentang media tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan, media merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan. Sampai saat ini terdapat banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli untuk menunjuk pengertian media. Diantara istilah tersebut antara lain : audio-visual, teaching materials, instructional materials dan lain sebagainya.
Association for Educational and Communication Technology (AECT) mengartikan media sebagai “segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi
National Education Association (NEA) mengartikan media sebagai “segala bentuk benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibicarakan, dibaca, beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut
Oemar Hamalik berpendapat bahwa media pendidikan adalah “Alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Gane L Winkinson (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membagi media menjadi dua bagian yaitu Media dalam arti luas dan media dalam arti sempit. Media dalam arti luas lebih menekankan sebagai suatu proses ketimbang sebagai benda-benda. Sedangkan media pendidikan dalam arti sempit terutama hanya memperhatikan dua unsur yakni bahan dan alat.
W. Schramm juga mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Gane di atas, yaitu media dapat dibedakan menjadi dua yakni media besar dan media kecil. Media besar adalah media yang komplek dan harganya mahal seperti televisi, film, komputer dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan media kecil adalah media sederhana baik dari segi bendanya, pemakaiannya, harga maupun perangkatnya, seperti: slide, film strip, OHP sampai kepada radio dan teks program.
B. Pentingnya Media dalam Proses Pembelajaran
Kenyataan menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran atau proses belajar mengajar sering tidak tercapai secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran sebagai suatu proses komunikasi sering dihadapkan kepada berbagai kendala. Diantara kendala tersebut ialah adanya kecendrungan verbal ketidaksiapan, kurangnya minat, gairah dan lain-lain. Pemanfaatan media dalam proses pembelajaran adalah merupakan salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut, mengingat fungsi media dalam proses pembelajaran, selain sebagai penyaji stimulus juga untuk meningkatkan keserasian terutama dalam menerima informasi. Disamping itu media juga berfungsi sebagai perantara antara penyaji dengan siswa (warga belajar) dan dalam hal tertentu media berfungsi untuk mengatur langkah-langkah kemajuan serta untuk memberikan umpan balik.
Moldstad (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) menyatakan bahwa teknologi instruksional dalam proses pembelajaran akan dapat menimbulkan kondisi-kondisi positif, seperti :
1. Belajar lebih banyak terjadi jika media diintegrasikan dengan program instruksional yang tradisional.
2. Jumlah belajar yang setara sering dapat tercapai dalam waktu yang lebih singkat dengan menggunakan teknologi instruksional.
3. Program instruksional dengan menggunakan berbagai media yang didasarkan pada suatu pendekatan sistem, seringkali memudahkan siswa dalam belajar secara lebih efektif.
4. Program-program multi media dan atau tutorial audio untuk pembelajaran biasanya lebih disukai siswa bila dibandingkan dengan pengajaran tradisional.
Pada tahun 1973 (Schramm dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membahas kepustakaan mengenai penelitian media dengan maksud menguji pernyataan Gane bahwa kondisi yang diperlukan untuk belajar dapat dihasilkan oleh setiap media" Schramm menyimpulkan bahwa siswa yang telah bermotivasi dapat belajar dari medium apa saja jika media itu dipakai menurut kemampuannya dan disesuaikan dengan kebutuhan
Dalam keterbatasan fisiknya, setiap media dapat menampilkan tugas pendidikan apa saja. Soal apakah seorang siswa belajar lebih banyak dari suatu media tertentu ketimbang dari media yang lain, setidaknya lebih tergantung pada bagaimana media yang bersangkutan digunakan ketimbang pada media apa yang digunakan.
Schramm mengemukakan beberapa fungsi media sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan belajar yang lebih luas sampai kepada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang mungkin dapat dicapai dengan tanpa media.
2. Membantu guru/tutor dalam menyusun program pembelajaran agar menjadi lebih efektif.
3. Sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses pembe-lajaran.
4. Memberikan pengalaman tanpa wahana abstrak, misalnya menerangkan tentang ember akan lebih jelas bila ditunjukkan bendanya.
C. Pemilihan (Seleksi) Media
Beranekaragamnya media serta masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, maka guru/tutor harus berusaha memilih media dengan selektif. Persoalannya adalah bagaimana seorang guru/tutor dapat memilih media dengan tepat ?.
Mudhofir mengemukakan ada tiga kesulitan dalam memilih media, yaitu :
1. Media itu sendiri banyak macamnya, sehingga menimbulkan keraguan dalam menentukan pilihan.
2. Dalam pemilihan media terdapat keluwesan. Tidak ada keharusan atau kemutlakan walaupun sudah ada pedoman umum.
3. Tidak semua guru/tutor mempunyai pengalaman yang luas dalam pemakaian media. Selain itu persediaan dari media itu sendiri sering tidak memadai, sehingga guru/tutor memakai media seadanya.
Agar prinsip efektivitas kerja tercapai dalam proses pembelajaran, Schramm menyarankan agar pemilihan media memperhatikan dua hal, yaitu ekonomis dan praktis. Selain itu pemilihan media juga tidak terlepas dari program pembelajaran. Sehubungan dengan adanya media besar dan media kecil, penggunaan media besar akan memberikan harapan dimana pendidikan akan dapat menjadi lebih produktif. Akan tetapi disatu sisi hal ini memerlukan biaya yang besar, hal ini tentu menjadi masalah terutama dinegara-negara yang sedang berkembang, namun tidak demikian halnya bagi negara-negara maju seperti Amerika.
Dinegara-negara sedang berkembang cendrung menggunakan media kecil dibandingkan dengan media besar. Misalnya, Thailand menggunakan media yang murah untuk mengembangkan kesempatan belajar di sekolah metropolitan dan kota-kota kecil serta pedesaan. Nigeria memilih kombinasi radio dan slide untuk keperluan pertanian dan kesehatan. Kolombia telah memilih siaran radio untuk mengajarkan baca tulis fungsional bagi penduduknya. Sekalipun demikian, kini telah mulai dipertimbangkan pemakaian media yang lebih besar/kompleks.
Untuk negara maju, ada beberapa faktor yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih media besar yaitu :
Pertama: Keperluan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama untuk pekerja dewasa tanpa perlu memperbanyak kampus dan sekolah.
Kedua: Masalah pendidikan yang mempunyai sistem yang universal guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi lapisan masyarakat ba-wah dan kelompok minoritas.
Dengan demikian, pemilihan media adalah bersifat lokal, dalam arti mempertimbangkan kebutuhan setempat dan keadaan sumber daya dan memperhatikan petunjuk-petunjuknya sesuai dengan kenyataan. Selain pertimbangan yang langsung bertalian dengan pendidikan, ada juga per-timbangan lain seperti : pertimbangan politik, prestise dan juga aspek hiburan (misalnya ingin memberikan hiburan kepada masyarakat).
Zainuddin (1983) memberikan beberapa kriteria pemilihan media sebagai berikut :
1. Tujuan
2. Ketepatgunaan
3. Keadaan siswa/warga belajar
4. Ketersediaan
5. Mutu teknis
6. Biaya
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Media
Pemilihan media dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1. Faktor tugas, 2. Faktor media, dan 3. Faktor biaya. Keputusan (pemilihan) media pada tingkat manapun perlu dinyatakan secara tegas mengenai tugas yang akan dikerjakan, dugaan tentang efektivitas media yang akan digunakan, dan harga yang mungkin diperlukan dikaitkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Ini berarti, setiap pemilihan media memerlukan informasi dari tiga sumber yang berbeda, yaitu : ilmu pendidikan, bidang ekonomi, penelitian tentang media dan pengalaman.
Istilah faktor tugas yang berasal dari dunia pendidikan memerlukan analisa dari tiga aspek, seperti :
1. Keperluan relatif dan manfaat yang mungkin ada dari pendidikan yang hendak dicapai.
2. Keperluan dan kemampuan murid yang belajar.
3. Prioritas langkah untuk berbuat, termasuk keputusan sementara menge-nai skala, kualitas, dan kontrol khusus yang dirasakan perlu.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Analisis Tugas
Analisis Murid
Analisis Prioritas
Pada setiap kasus akan nampak interaksi antara berbagai analisa seperti : analisa tugas, murid dan prioritas. Tugas yang tersedia barangkali perlu direvisi bila mungkin telah diketahui murid, kebenaran tentang apa yang perlu diketahui murid dan prioritas yang hendak diberikan, dianalisa dan dinilai berdasarkan keperluan murid.
Faktor media juga merupakan proses interaktif yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Analisis Efektivitas
Analisis Ketersediaan
1. Ketersediaan media
2. Hasil dari pemakaian media

Evaluasi Media
1. Berdasarkan pengalaman
2. Laporan peneli-tian lapangan

Dugaan efektivitas dapat diketahui dari laporan penelitian dan proyek di lapangan. Umpamanya guru bermaksud mengajarkan bagaimana mesin ketup bekerja, memutuskan untuk memilih penggunaan media berupa film gerak lambat yang dianggap paling efektif. Namun demikian walaupun ada proyektor film akan tetapi tidak mampu menyewa ataupun meminjam film yang diperlukan, maka film gerak lambat tidak dapat dipilih. Barangkali bagan atau film strip yang akan digunakan.
Tabel di bawah ini berisi syarat-syarat tentang/berkenaan dengan tiga media besar yang dipertentangkan dengan media kecil. Kesulitannya terletak pada masalah ketersediaan media yang diperlukan.
Syarat-Syarat Jenis Media
TV Pengajaran Komputer pengajaran Radio Film PI Media Visual sederhana
Aliran listrik tersedia meluas Ya Ya Tidak Ya Tidak Mungkin tidak
Mesin yg komplek Ya Ya Tidak terlalu Tidak terlalu Tidak Tidak
Pemeliharaan yang sulit Ya Ya Kurang Tidak terlalu Tidak Tidak
Perlu operator yang terlatih benar Ya Ya Kurang Tidak Tidak Tidak
Keterangan:
Masing-masing dari kegiatan itu bila dilaksanakan tersendiri hendaknya menghasilkan suatu daftar prioritas, untuk tugas yang perlu dikerjakan, untuk media yang digunakan dan untuk alternatif jenis media yang dinilai kegunaannya dari segi ekonomi.
Bila digambar dalam bentuk bagan proses tersebut terlihat sebagai berikut :
Alternatif media
PrioritasTugas
Alternatif ekonomi

Dalam prakteknya semua unsur-unsur tersebut berjalan secara bersama-sama. Analisis biaya berhubungan dengan analisis media, tetapi sering terjadi perubahan pikiran yang disebabkan oleh data tentang media. Dan bila data yang diinginkan tidak mungkin digunakan, maka perlu diadakan pembahasan dalam penentuan prioritas tugas. Keseluruhan hasil menurut teorinya akan terjadi/menjadi perkiraan keperluan-biaya-efektivitas yang mungkin seorang pendidik atau perencana pendidikan mengambil kesimpulan bahwa untuk suatu tugas yang diprioritaskan, media yang tersedia merupakan yang terbaik ditinjau dari biaya dan efektivitasnya.
Kesimpulan utama mengenai efektivitas media ialah hubungan umum yang mengikat media dengan tugas-tugas belajar :
1. Siswa akan mampu belajar dengan media jenis apa saja, baik di sekolah ataupun di luar sekolah, sengaja atau tidak sengaja, mempelajari hal-hal yang seharusnya dipelajari atau tidak.
2. Media mampu melayani berbagai tugas mengajar. Menurut Gagne bahwa sebagian besar tugas mengajar dapat dilakukan dengan sejumlah besar media
3. Pada dasarnya penentuan pilihan mengenai media biasanya ialah pemilihan kombinasi media.
4. Tugas memilih media tidak mudah dan tidak jelas dirumuskan.
RUJUKAN
Bachtiar, Harsya W, 1984. Media dalam Pembelajaran. Jakarta : CV Rajawali dan Pustekom Dikbud
Basori, Mukti. 1983. Pusat dan Sumber Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni Bandung
Mudhoffir. 1984. Teknologi Instruksional. Bandung: CV Remaja Karya, Bandung
W Schramm. 1977. Big Media Litle Media. London: Sage Public-Baverly Hills



Sumber:
http://umsb.ac.id/?id=6

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

Mientje D.E. Roembiak

(Ketua Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)


Abstract

This article will descripe only some aspects of the use and a category of land
as well as the rights to land in the Biak-numfor culture area.
The Byak people distinguish the following categories of land. First, Karmgu
or mbrus , is virgin land or promair land/forest. Its was part of clan or
village territories. Secondly are gerdens, “yaf”, on which crop rotation is
planted. After a few years the soil is infertil, the land is called “yadas” or
“Yapur”. Thirdly, there are large land or deserted areas, they called it
“mamiai” consisting a number of Yaf-das land. When the people repeated
gerdening has made, there are still infertile it is refered to as “mamires”,
bush.
Beside of that, in the coastal villages there are part of the beach and the sea
“bosenrasowan”. The people of the villages use to catching fish. On Byak
and Numfor all decision over land of particuler Keret are taken by the
leadman of the Keret which is the oldest keret or important man, snon benai
suo or mansren mnu (master of the village).


A. PENDAHULUAN
Di tanah Papua setiap masyarakat adat mempunyai aturan-aturan yang
berkenaan dengan kekuasaan, pemilikan, pemakaian atas tanah dan
teritorial. Pada umumnya setiap etnik mempunyai pokok-pokok aturan
adat yang masih dianut, meskipun tidak tertulis. Contohnya, hak
kekerabatan, aturan hukum, hak tanah, hak persekutuan dan
sebagainya. Aturan-aturan tersebut juga mengatur hubungan-hubungan
manusia; manusia dengan alam sekitarnya bahkan relasi manusia dengan
alam gaib.
Pemilikan, kekuasaan atas tanah dan hutan meliputi air merupakan warisan
pemilik hak ulayat dari generasi ke generasi secara patrilineal. Adanya hak
paten setiap etnik diakui dan ditaati baik oleh pemiliknya maupun oleh
orang lain. Di dalam pemilikan tersebut masyarakat adat juga mempunyai
konsep kategori terhadap lingkungannya.
Secara khusus pemilikan tanah dan penggunaannya dalam masyarakat adat
Biak-Numfor telah ada sistem konversi hutan berdasarkan fungsi hutan;
demikian juga dengan kategori yang dibuat menurut statusnya. Jika kita
dapat memahaminya, sebetulnya dalam tatanan sosial budaya masyarakat
lokal telah ada aturan-aturan yang diturunkan dari generasi ke generasi,
maka ada seperangkat pengetahuan dan budaya yang menata sistem dan
pola penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Artikel ini akan memberikan suatu deskripsi tentang pengetahuan lokal
penduduk etnis Biak tentang kategori dan hak pemilikan tanah. Untuk itu
tulisan ini terdiri atas tiga bagian : pertama, gambaran umum tentang orang
Biak wilayah dan unsur budayanya; kedua, kategori tanah menurut status;
ketiga, hak atas tanah menurut aturan adat.


B. IDENTIFIKASI ETNIK BYAK – NUMFOR
Orang Biak mendiami kepulauan Biak – Numfor. Di sini terdapat tiga pulau
besar yaitu pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau Numfor sedangkan pulaupulau
kecil lainnya adalah gugusan kepulauan Padaido terletak di sebelah
timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi berada di bagian selatan pulau
Supiori pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau berada juga di bagian utara
Supiori dan kepulauan Mapia yang terletak di bagian utara pulau Ajau. Di
tahun 1961 jumlah penduduk orang Biak 35.000 jiwa (Galis, 1961)
sedangkan data terakhir tahun 2001 adalah 118.810 jiwa (BPS, Biak –
Numfor) menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226 kampung
(kabupaten Biak – Numfor dalam angka 2001).
Di samping itu ada daerah-daerah migran orang Biak, Yapen Utara, daerah
Wandamen, ujung timur pulau Yapen, Krudu, Ansus utara, pantai utara,
kepala burung (SauSapor) dan Sau Korem dan Mega. Kepulauan Raja
Ampat (Kamma, 1974; Mansoben J., 1994).
Orang Biak menggunakan satu bahasa, bahasa Biak yang digunakan di Biak
– Numfor dan daerah Migran sebagai bahasa penentuan dan komunikasi
sehari-hari. Meskipun satu bahasa daerah ada 11 dialek, 9 dialek ada di
Biak; 3 dialek ada di daerah migarn.1)
Di masa lampau sebelum kedatangan orang kulit putih, orang Biak
mempunyai mata pencaharian yang amat penting adalah perdagangan baik
antar kampung, antar suku di luar pulau Biak, sampai ke arah barat daerah
Maluku, dan ke arah timur Papua New Guinea (Kamma, 1974; Galis, 1961).
Kontak budaya ini membuat orang Biak mengadopsi beberapa elemen
budaya dari daerah-daerah tersebut ke dalam kebudayaannya sendiri.
Secara tradisional kampung atau “mnu” adalah suatu pemukiman di mana
terdapat beberapa “keret” (bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang
Numfor 2) yang bersifat patrilineal.
Organisasi sosial terkecil dalam kehidupan orang Biak adalah keret
kesatuan sosial yang bersifat exogam dan patrilokal. Organisasi dan
perencanaan orang Biak dahulu diatur di dalam kampung atau mnu oleh
seorang pemimpin yang disebut Mananwir. Dalam berbagai tahapan daur
hidup suku Biak Numfor di tandai dengan upacara adat (Wor) yang dapat
mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam
hubungan karena perkawinan tetapi juga hubungan tanah. Perkawinan
ditandai dengan pemberian benda-benda maskawin. (ararem).


C. KATEGORI HUTAN DAN TANAH
Orang Biak mempunyai pengetahuan tentang hutan, dan laut serta isinya.
Mereka mengkategorikannya menurut status dan penggunaannya, dan
bagaimana pembagian itu mengacu pada aktivitas hidup mereka sehari-hari;
wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral,
tetapi juga yang masuk dalam konvensi adat yang dilindungi.
1) Kamma, 1972; Mansoben J.R., 1994; Siltzer, 1985
2) Keret atau cr masing-masing mempunyai seorang pemimpin; yang lebih senior keretnya dalam
kampung. Di dalam kampung ada dewan, dimana keret-keret itu terwakili. Anggota-anggota dewan lain
dalam sebagai mediator antara masyarakat dan pemimpin. Kedudukan mereka dicapai dalam dewan
karena kemampuan bukan diwariskan (de Bruijn, 1965 : 82-4).
Tanah di dalam kehidupan orang Biak dibagi menjadi tiga (3) bagian.
Pertama, kata “hutan” dalam bahasa Biak adalah Karmgu, artinya hutan asli
atau hutan primer Kata ini menggambarkan kondisi hutan primer yang
lebat. Hutan ini tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota/
warga kampung. Biasanya hutan atau karmgu ini ditumbuhi oleh tumbuhan
yang spesifik sesuai dengan topografi tanah. Kata lain untuk karmgu adalah
“mbrur” Hutan ini disebut juga hutan asli. Hutan ini tidak untuk berburu
dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior makin
lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun mereka telah pindah dan
bermukim di tepi pantai hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi
milik Keret maupun mnu.
Kedua, status tanah untuk kebun disebut “yaf” tempat ini merupakan hutan
yang dibuka untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila
tanah tidak subur lagi maka bekas kebun ini disebut Yaf-das atau yapur.
Biasanya yapur atau jaf-das dapat ditinggalkan untuk sementara waktu
sekitar 2-3 tahun diolah kembali.
Ketiga, suatu padang yang sangat luas disebut “Mamiai”3) kadang-kadang
merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh
pemiliknya. Mamiai dapat ditanami kembali setelah beberapa kali panen.
Adakalanya padang yang sangat luas ini tidak subur lagi untuk ditanami
maka akan ditinggalkan menjadi hutan semak kembali, disebut “marires”4).
Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang
diuraikan di atas. Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak
subur, tidak memiliki pohon-pohon pelindung tidak pernah ditanami oleh
manusia5).
Di samping itu kata lain yang digunakan secara umum dalam bahasa Biak
untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret yang dapat
diolah sebagai sumber mata pencaharian adalah Saprop (tanah). Tanah
tersebut dapat diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu sampai sekarang
kebun-kebun diberi pagar oleh pemiliknya untuk mencegah tanamannya
dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi pendatang (bukan penduduk
pemilik kampung) yang tidak memiliki tanah untuk menggunakannya.
3) Lihat Galis K.H. : 1961
4) Key informan A.K (72 tahun) dari kampung MokmerBiasanya ada ijin dari pemilik apakah untuk menggunakannya. Biasanya ada
ijin dari pemilik apakah marires atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi
pelanggaran, tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada
kompensasi pembayaran denda atau “Wabiak”.Dahulu,daerah perang antar
keret terjadi dan ada pertumpahan daerah maupun pembunuhan merupakan
tanah yang dikutuk dan dilarang menurut adat untuk tidak boleh digunakan
dari generasi ke generasi.


D. HAK PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH
Pemilikan dan penggunaan tanah menurut aturan-aturan adat orang Biak
mengikuti status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang pertama yang
mendiami kampung tersebut mempunyai hak atas tanah. Ia mempunyai
kewenangan untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau
tanah kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Mansren Mnu dan
dianggap senior keret dalam kampung, diakui dan disegani.
Sesuatu wilayah atau teritorial berhubungan dengan pemukiman dan
pemilikan. Kita dapat melihatnya melalui pembagi-an oleh penduduk
menjadi tipe bagian yaitu :
Pertama, tempat pemukiman oleh keluarga batih.
Kedua, tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan.
Terakhir wilayah yang dihuni oleh gabungan suku dengan persekutuan
kampung. Faktor generalogis dan teritorial sangat erat hubungannya dengan
kehidupan etnik-etnik di Papua, khususnya di Biak.
Adanya hubungan genealogis yang sangat kuat untuk mempertahankan
haknya, misalnya hak individu.
Aturan-aturan adat mem-pengaruhi kepentingan seluruh persekutuan
genealogis ini untuk bermukim bersama di satu tempat, tetapi kadang
memiliki pemukiman yang sangat berjauhan. Letak pemukiman yang
berjauhan tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam aktivitas
sosial-budaya, misalnya upacara; maupun hadir untuk mengambil bagian
dalam menyelesaikan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.
Seorang perempuan yang telah menikah tidak mempunyai hak untuk
memiliki harta keret suaminya, misalnya tanah.Tetapi dalam adat Biak
perempuan mempunyai hak atas pemakaian tanah dan diberikan kepadanya
untuk diolah.
Ada aturan-aturan tertentu yang berhubungan dengan pemilikan tanah yang
boleh dipakai sebagai sumber pengolahan kesejahteraan. Mengacu pada
pembagian status tanah dan hutan dalam pengetahuan orang Byak maka
dapat dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya.
Pertama, karmgu, atau hutan merupakan milik klen, atau keret atau wilayah
kampung. Mereka mempunyai hak untuk hidup, mencari nafkah, “bosen
rasowan”. Pemilikan dan penggunaannya adalah diatur oleh keret dalam
kampung untuk menggunakan tertentu pemilikan dan penggunaan mengacu
kepada keret pertama yang mendiami kampung di pesisir pantai. (Contoh di
Numfor kampung Kameri menjadi pemilikan Wanma dan kampung Samber
dimana kampung Samber diberi ijin pemakai sebagian kecil dari tanah untuk
berladang. (Gallis, K.W., 1961).
Contoh lain di Warsa (Biak Utara) pemilik tanah adalah klen Wampier,
Marin dan Arfusan. Pemilikan dibagi menurut ketiga clan tersebut (Gallis,
K.W., 1961). Dahulu adanya migrasi yang berlangsung di antara orang Byak
karena bencana kelaparan, penyakit, hubungan dagang, perkawinan, konflik
dalam keret dan kampung. Migrasi baru terjadi karena adanya klen-klen
baru yang berdatangan dari kampung lain dan bermukim bersama pemilik
pertama sebuah kampung6).
Hal-hal yang nampak menonjol di kampung-kampung adalah banyak orangorang
muda pindah ke kota, keluar dari daerah asal karena pendidikan dan
pencarian kerja. Orang-orang tua adalah pemilik dan pengguna hak waris di
kampung. Sangat dikhawatirkan bahwa kadang-kadang kepala klen tidak
lagi memperhatikan hak pemilik yang telah meninggalkan kampung
halamannya bertahun-tahun.
Dengan adanya dewan adat Biak yang telah terbentuk maka setiap
Mananwir mnu dan keret mengatur, menata kembali dan meninjau aturanaturan
yang sudah ditetapkan. Sehingga hak-hak atas tanah ulayat dipetakan
sebagai salah satu asset keret maupun mnu, dimana warganya dapat
mengolah hasil-hasil alam yang ada untuk kesejahteraan hidup. Lebih dari
itu orang Biak mempunyai aturan yang telah dibakukan dalam ketetapan
adat baik di tingkat keret dan mnu tentang Hak Tanah/Ulayat


R E F E R E N S I
Galis , K. W. (1961) “Het Byak –Noemfoorse Gronden Recht”, di dalam
Nieuw – Guinea Studient Vols.
_____________ (1970) “Land Tenure in West Irian. Published by The New
Guinea Research Unit , The Australian National University, Number 38.
Kamma, F.C. (1972) “Koreri : Messianic Movements in The Biak Numfor
Culture Area”. The Hague M Nijhoff. KITLV Tranlation Series, 13.
Kan C.M & Timmerman J.E.C.A. (1983). ”Tijdschrift Van Hetkon”.
Nederlandsch Aar Drijks Kundig Genootschap-Leiden, E.J. Brill.
PEMDA TK II Biak Numfor (2001). ”Kabupaten Biak Numfor Dalam
Angka”
Koentjaraningrat & Harsya W Bachtiar, (1963). ”Penduduk Irian Barat” ,
Universitas Press.
Mansoben J.R , (1994) “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya”. Penerbit
LIPI – RUL. Jakarta.
Silzer, P.J. & H Heikkinen (1984).”Index of Irian Jaya Languages”. Dalam :
Irian Bulletin for Irian Jaya Languages. Abepura : Universitas
Cenderawasih , Summer Institute of Linguistics.