Monday 30 June 2008

IDENTITAS DAN NILAI-NILAI BUDAYA JAKARTA

IDENTITAS DAN NILAI-NILAI BUDAYA JAKARTA*)
Potensi Untuk Pengembangan Wisata Melalui Pranata-Pranatanya
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA


Pendahuluan

Tokoh budayawan Mochtar Lubis (1977) pernah mengatakan bahwa Jakarta mempunyai corak kehidupan yang penuh kontras. Apa yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis tersebut sebenarnya bukan hanya suatu kesan saja, tetapi memang merupakan suatu konfigurasi dari tata kehidupan dan cara-cara hidup atau kebudayaan Jakarta. Dari satu segi, yaitu dari pendekatan sistemik atau holistik, mungkin lebih tepat untuk mengatakan bahwa kehidupan atau kebudayaan Jakarta ditandai oleh keanekaragaman. Melihat dan memperlakukan kebudayaan sebagai suatu keanekaragaman adalah sama dengan melihat dan memperlakukan kebudayaan Jakarta sebagai suatu satuan sistem yang terdiri dari unsur-unsurnya yang masing-masing berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan menghidupi. Dalam kerangka pendekatan sistemik atau holistik ini akan saya coba untuk memperlihatkan identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta yang penuh dengan keanekaragaman itu dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan wisata yang dapat menguntungkan semua pihak.

Permasalahannya sebenarnya terletak pada kemampuan mengidentifikasi identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta secara tepat dan menonjolkan serta memasarkannya sesuai dengan selera wisatawan. Pengorganisasian dan pemanfaatan nilai-nilai budaya Jakarta sehigga selera dengan wisatawan untuk dapat berhasil menuntut adanya hubungan institusional atau secara pranata-pranata yang fungsional diantara pemerintah dengan biro-biro wisata, wisatawan, dan dengan pendukung atau pemilik kebudayaan-kebudayaan yang menjadi sasaran wisata. Permasalahan tersebut menuntut suatu pembahasan khusus dan mendalam serta profesional yang berada di luar jangkauan ruang lingkup makalah ini. Sehingga apa yang ingin dikemukakan dalam makalah ini sebenarnya hanyalah suatu garis besar dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan nilai-nilai budaya Jakarta dan mengembangkannya sebagai potensi-potensi wisata. Kerangka landasan argumentasi yang dikemukakan dalam makalah ini bertolak dari dan diilhami oleh disertasi antropolog Philip McKean (1973) yang melihat pariwisata atau turisme di Bali sebagai suatu masalah budaya; dan hubungan antara pemerintah dengan pengusaha wisata dan pendukung kebudayaan Bali di satu pihak dan dengan wisatawan di pihak lain sebagai hubungan prosesual. Dalam hubungan prosesual tersebut muncul gejala-gejala saling memahami, merubah, dan saling mengambil untung dengan kerugian dan keuntungan di pihak masing-masing. Kesemuanya ini didasari oleh prinsip ekonomi pasar.

Identitas dan Nilai-nilai Budaya Jakarta

Keanekaragaman corak kebudayaan Jakarta, sebagaimana dikemukakan diatas, sebenarnya memang merupakan ciri utama corak kebudayaan Jakarta semenjak dulu, yaitu sejak terbentuk dan adanya kota dan masyarakat Jakarta (Batavia). Yang membedakan corak keanekaragamannya yang terdapat dahulu dan sekarang adalah isi dari ciri-ciri atau unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan dari masing-masing jaman tersebut. Mungkin tidak mudah untuk dapat menunjukkan dengan jelas seperti apa yang menjadi atau dinamakan identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta tanpa menggunakan alat atau pendekatan metodologi yang relevan. Karena identitas budaya adalah suatu kesimpulan yang esensial yang berasal dari dan yang muncul dalam interaksi kehidupan sehari-hari diantara berbagai nilai-nilai budaya yang berlainan; yang hasil kesimpulan tersebut dilihat sebagai identitas budaya dari masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. Begitu juga halnya dengan nilai-nilai budaya, yaitu sesuatu yang esensial mengenai hakekat hidup dan kehidupan dan harkat martabat manusia serta simbol-simbol yang secara empirik dijadikan sebagai pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh pendukung kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan identitas budaya, maka juga nilai-nilai budaya, adalah kesimpulan-kesimpulan dari kenyataan-kenyataan empirik yang diwujudkan oleh pendukung-pendukung kebudayaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi bukan sesuatu yang hanya digagasan atau diangan-angankan oleh seseorang.

Dari satu segi, salah satu pendekatan metodologi yang relevan, adalah melihat kebudayaan Jakarta dengan menggunakan pendekatan kemajemukan (lihat: Suparlan, [1982] yang menggunakan pendekatan ini untuk mengkaji kebudayaan nasional Indonesia). Dengan pendekatan ini maka kebudayaan Jakarta dapat dipilah-pilah, dihubung-hubungkan secara struktural-fungsional, dan masing-masing pilahan dapat dikaji secara tersendiri maupun dalam kaitannya dengan pilahan-pilahan lainnya untuk diperinci ciri-cirinya yang menyolok dan utama yang melandasi corak identitas dan nilai-nilai budayanya. Dengan pendekatan kemajemukan ini kebudayaan Jakarta dilihat sebagai sebuah sistem; yang dalam sistem tersebut tercakup sistem nasional dengan kebudayaan dan nilai-nilai budayanya yang nasional yang secara operasional sebagai pedoman bertindak dibakukan melalui peranata-pranatanya dan terwujud sebagai tindakan-tindakan yang mencerminkan pelakunya sebagai Orang Indonesia. Tindakan-tindakan sebagai Orang Indonesia diwujudkan dalam struktur-struktur perhubungan antar-peranan yang telah didefinisikan oleh pranata-pranata yang bersangkutan. Sistem nasional berada di atas dan menjadi acuan pedoman, secara nyata maupun secara tersamar, bagi sistem-sistem lainnya yang tercakup dalam kebudayaan Jakarta.

Sistem-sistem lainnya yang tercakup dalam dan menjadi bagian dari kebudayaan Jakarta adalah sistem sukubangsa dan/atau etnik dengan kebudayaan dan nilai-nilai budaya sukubangsa dan/atau etniknya. Perwujudan dari kebudayaan dan nilai-nilai budaya sukubangsa ini adalah juga melalui pranata-peranata sukubangsa dan/atau etnik yang bersangkutan, terutama melalui dan ada dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan serta seringkali juga terwujud dalam upacara-upacara keagamaan dan sosial dalam kebersamaan diantara mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa dan/atau etnik. Sedangkan sistem lainnya adalah sistem yang berlaku sebagai pedoman atau lokal. Sistem ini dapat digolongkan sebagai kebudayaan umum-lokal, karena sebagai pedoman hidup dan bertindak adalah baku dan menjadi tradisi-tradisi yang berlaku setempat atau lokal dalam ruang lingkup kota dan masyarakat Jakarta. Salah satu ciri yang menyolok dari kebudayaan umum-lokal ini adalah mengakomodasi perbedaan-perbedaan kebudayaan diantara pelaku-pelakunya. Kemampuan akomodasi perbedaan-perbedaan ini disebabkan adanya hubungan saling kepentingan diantara pelaku, dan berbagai tatacara formal atau berbelit-belit dan berbunga-bunga disederhanakan dalam simbol-simbol komunikasi yang memudahkan kelancaran terlaksananya hubungan kepentingan diantara pelaku. Yang menonjol atau mendominasi kebudayaan umum-lokal adalah pasar, yang terwujud sebagai pranata- pranata untuk transaksi benda, jasa, dan uang.

Di samping sistem-sistem tersebut di atas ada sebuah sistem lainnya yang kedudukannya marjinal dalam hubungannya dengan kebudayaan Jakarta dan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem tersebut adalah kebudayaan asing yang coraknya internasional dan kosmopolitan. Pendukung kebudayaan tersebut, sebagai sebuah golongan sosial, diatur hak dan kewajibannya secara sebagian oleh sistem nasional, dan tidak menjadi bagian sepenuhnya dari pendukung sistem nasional. Hubungan-hubungan kepentingan menjadi nampak menonjol diantara golongan ini dengan golongan-golongan pribumi khususnya dalam kehidupan ekonomi maupun dalam hubungan-hubungan sosial. Akulturasi kebudayaan asing dengan pribumi (secara umum) terwujud melalui kebudayaan-kebudayaan umum-lokal atau pasar, dimulai dengan proses saling meminjam kosa kata dan dapat berlanjut dengan saling minjam-meminjam simbol-simbol dan tatacara.

Dengan menggunakan pendekatan kemajemukan tersebut diatas maka keanekaragaman kebudayaan Jakarta dapat dipahami; yaitu:

1. Jakarta adalah ibukota negara, pusat dari sistem nasional Indonesia dengan segala pranata-pranata dan pengorganisasiannya. Sebagai pusat maka juga penonjolan dari kebudayaan dan nilai-nilai budaya nasional Indonesia menjadi bagian yang inheren dalam sistem nasional tersebut. Dalam sejarahnya Jakarta adalah juga pusat dari perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia; sehingga ciri-ciri kebudayaan dan nilai-nilai budaya nasional Indonesia adalah bagian dari tradisi-tradisi kebudayaan Jakarta.
Sebagai ibukota negara Jakarta adalah juga tempat berpusatnya komuniti dan kebudayaan asing, internasional, dan kosmopolitan. Dan ciri-ciri ini juga ada dalam tradisi kebudayaan Jakarta yang memang sejak jaman penjajahan Belanda adalah juga ibukota negara; dan begitu juga jaman pendudukan Jepang. Sehingga kehadiran kebudayaan asing, internasional, dan kosmopolitan dalam kebudayaan Jakarta sebenarnya ada dalam tradisi-tradisi kebudayaannya. Tradisi-tradisi ini terwujud sebagai kemampuan-kemampuan mengakomodasi perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan dengan kebudayaan asing tersebut, terutama dalam kebudayaan pasar dan transaksi-transaksi yang berkaitan dengan itu.

2. Sebagai ibukota negara Jakarta adalah juga pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan dan salah satu pintu gerbang bagi perdagangan internasional. Bukan hanya dalam jaman republik saja tetapi juga sudah ada dalam tradisi-tradisi yang berkaitan dengan berdiri dan tumbuhnya kota Jakarta sejah dahulu. Sebenarnya dibandingkan dengan sistem- sistem lainnya yang ada dalam kebudayaan Jakarta, sebagaimana yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan ekonomi-perdagangan dengan kebudayaan pasarnya itulah sebenarnya yang nampak paling menonjol. Kemenonjolan ini dapat terwujud, disamping kedudukan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan perdagangan itu dan pintu gerbang perdagangan internasional, juga oleh kebudayaan perkotaan itu sendiri yang memungkinkan pengembangan kegiatan ekonomi tertier dan hilir serta terutama penekanan kegiatan pelayanan dalam industri dan jasa. Sehingga di Jakarta berkembang beranekaragam kegiatan ekonomi di sektor jasa dan industri, dari yang resmi atau formal coraknya sampai dengan yang informal atau tidak resmi, dan dari yang berskala jutaan rumaih omzetnya per hari sampai dengan yang hanya ratusan rupiah saja. Seorang asing, teman saya pada suatu hari saya ajak berjalan-jalan masuk kampung ke luar kampung, mengatakan kesannya: "Di Jakarta dimana-mana orang berjualan dan selalu ada pembelinya. Nampaknya tidak ada yang tidak laku dijual di Jakarta ini".

Kesan teman tersebut nampaknya ada benarnya, dan didukung oleh kesan-kesan yang berlaku umum bahwa sebenarnya apapun dapat menjadi uang di Jakarta. Bahkan ada sebuah pameo yang dulu pernah populer di Jakarta yang bunyinya: "Ada uang abang sayang...". Ungkapan tersebut mungkin tidak sebenar-benarnya mencerminkan cinta Orang Jakarta yang dengan mudah dapat dibeli dengan uang, tetapi merupakan suatu pencerminan mengenai pentingnya uang dalam kebudayaan Jakarta. Kesan seperti ini terdapat di hampir seluruh masyarakat-masyarakat daerah di Indonesia; Uang gampang dicari di Jakarta asalkan mau bekerja apa saja. Orang Jakarta kaya-kaya, banyak duitnya. Faktor ini mungkin merupakan salah satu penyebab dari kedatangan para pendatang ke dan menetap di Jakarta. Sehingga setiap hari selalu ada pendatang-pendatang baru ke Jakarta, bukan yang datang pulang-pergi dari rumahnya di pinggir/luar Jakarta setiap hari ke Jakarta untuk bekerja atau bersekolah, untuk berjudi mengadu nasib peruntungannya di Jakarta. Pendatang-pendatang baru ini biasanya ditampung oleh keluarga, kerabat, atau orang se-asal yang sudah terlebih dahulu menetap di Jakarta. Pendatang-pendatang baru inilah yang sebenarnya telah turut mempunyai saham melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai budaya asal sukubangsa atau etniknya. Sehingga kebudayaan-kebudayaan dan nilai-nilai budaya asal sukubangsa atau etnik di Jakarta justru lestari dan dikembangkan sehingga adaptif dengan kehidupan kota dibandingkan dengan yang di tempat asal masing-masing.

3. Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa atau etnik di Jakarta mungkin tidak akan dapat dipertahankan kelestariannya secara kokoh tanpa adanya pendatang-pendatang baru dari daerah asal masing-masing. Tanpa kedatangan para pendatang baru tersebut mungkin kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang sudah ada di Jakarta akan tumbuh dan berkembang menjadi suatu kebudayaan tersendiri dengan pendukung kebudayaan tersebut sebagai suatu golongan sukubangsa atau etnik yang kerangka acuan identifikasinya adalah lokalitas atau daerah Jakarta. Proses ini mungkin saja terjadi, seperti yang pernah terjadi di Jakarta yang memunculkan golongan Orang Betawi dengan kebudayaan Betawinya, sebagai hasil suatu proses melting pot yang berlangsung secara tetap dan lama dari saling hubungan penduduk Jakarta (Batavia) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar Indonesia. Proses melting pot tersebut telah terjadi karena adanya dan besarnya peranan kebudayaan umum-lokal yang menjembatani dan mengakomodasi perbedaan-perbedaan kebudayaan diantara mereka, dan membawa serta menggunakan hasil-hasil akulturasi yang berlaku di tempat-tempat umum-lokal mejadi pedoman hidup yang berlaku dalam kehidupan sukubangsa atau etnik, yaitu dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan.

Walaupun sebagai sebuah satuan golongan sosial, melting pot yang baru itu tidak terwujud secara jelas batas-batasnya tetapi sebagai sebuah golongan yang longgar identitas Jakarta dan kebudayaannya, yaitu yang berlaku dan digunakan di tempat-tempat umum setempat nampaknya juga sudah menjadi bagian dari kerangka acuan atau pedoman hidup dan bertindak dalam keluarga dan kekerabatan dari keturunan para pendatang yang hidup dan menetap di Jakarta. Kenyataan ini telah menghasilkan corak kebudayaan suku-sukubangsa atau etnik yang lebih kompleks dan beranekaragam. Sehingga ada kebudayaan- kebudayaan yang merupakan hasil melting pot dan ada kebudayaan-kebudayaan yang masih 'asli' dipertahankan sebagai kebudayaan sukubangsa atau etnik.

Dari uraian tersebut di atas mengenai corak keanekaragaman kebudayaan Jakarta mungkin menarik untuk diperhatikan betapa pentingnya arti kebudayaan umum-lokal atau lebih khusus lagi kebudayaan pasar dalam kehidupan Jakarta. Dan dari kenyataan sejarah Jakarta di masa lampau mungkin patut dikemukakan bahwa sebenarnya yang telah turut berperan secara besar dalam membangun Jakarta adalah para pendatang, yaitu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi- perdagangan dan malalui kebudayaan pasarnya yang menekankan pada pentingnya arti transaksi, dan nilai uang. Mayling Oey (1977), pernah mengatakan bahwa Jakarta dibangun oleh para pendatang. Apa yang dikemukakannya sebenarnya bukan hanya berlaku untuk kota Jakarta saja tetapi untuk semua kota secara universal. Karena para pendatang tersebut sebenarnya dapat lebih bebas dalam melakukan tawar-menawar (yang dari satu segi dapat dilihat sebagai 'bohong' atau 'menipu' untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari lawan - atau sama dengan dosa) dibandingkan dengan penduduk setempat yang terikat oleh sistem kontrol sosial melalui komunitinya. Dengan demikianm sebenarnya identitas budaya Jakarta dapat dicirikan sebagai keanekaragaman yang penuh dengan kontras yang masing-masing fungsional dalam ruang-ruang kegiatan masing-masing. Keanekaragaman dan kontras ini didukung oleh niali-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan Jakarta yang juga beranekaragam dan kontras. Kalau nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kegiatan-kegiatan kantor pemerintah atau upacara-upacara nasional yang resmi, teratur, jujur, dan 'suci' dan dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan nilai-nilai budaya yang ditekankan adalah keakraban emosi dan perasaan, keluhuran budi dan adab, serta kesucian; maka dalam kehidupan umum atau pasar yang berlaku adalah nilai-nilai budaya yang menekankan pada kemampuan mengambil untung yang sebanyak-banyaknya dan bukannya masalah-masalah keluhuran budi, kesucian, atau yang sejenis dengan itu. Kontras ini mungkin juga dapat disederhanakan sebagai pertentangan tetapi saling ketergantungan antara wilayah-wilayah suci, luhur, formal, dan akrab disatu pihak dengan wilayah-wilayah yang tergolong sebagai duniawi, dosa, kotor, atau maksiat. Model nilai budaya seperti ini terdapat di semua kebudayaan, hanya pencerminan atau perwujudannya yang tidak seragam; ada yang secara terelaborasi terwujud dalam tradisi-tradisi pembagian ruang-ruang atau penataan ruang pemukiman dan tempat tinggal, seperti yang berlaku dalam kebudayaan Bali, misalnya; tetapi ada juga hanya nampak samar-samar batas-batas perbedaannya. Mekanisme penataan ruang pemukiman atau tempat tinggal dan kegiatan manusia pada umumnya yang dengan jelas diberi batas-batas secara simbolik melalui idiom suci - kotor, dan/atau suci - kotor/suci - kkotor, seperti yang terdapat di Bali, telah memungkinkan bertahannya kebudayaan Bali dalam menanggapi goncangan-goncangan sebagai akibat pariwisata dan modernisasi.

Pariwisata dan Wisatawan

Cohen (1974) mengatakan bahwa pariwisata dapat didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi yang dilakukan dengan mengunjungi tempat lain atas kehendak sendiri, yang dilakukan untuk suatu jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan yang berbeda dari yang dialaminya sehari-hari di tempat asal wisatawan; kesenangan yang dimaksud adalah sesuatu yang eksotik. Penenkanan pada sesuatu yang eksotik adalah sangat penting dilihat dari perspektif wisatawan. Sehingga kegiatan wisatawan sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu kegiatan yang membebaskan dirinya dari kehidupan rutin sehari-hari yang mekanistik dan membosankan. Kegiatan wisata dilakukan untuk suatu jangka waktu tertentu atau sementara, karena kalau dilakukan dalam jangka panjang, maka si wisatawan akan terjebak lagi dalam struktur mekanistik dan rutin dari kegiatan sehari-hari. Tidak lagi wisata tersebut dilihat sebagai yang menggairahkan.

MacCannell (1976) lebih lanjut menyatakan bahwa wisatawan sebenarnya tergolong dalam dua, yaitu yang hanya ingin menikmati suasana yang eksotik, sebagai orang asing di tempat asing. Golongan ini dinamakannya sebagai wisatawan budaya yang sasaran kenikmatannya adalah pengalaman-pengalaman pribadi yang eksotik dengan melalui kegiatan- kegiatan mengunjungi tempat-tempat rekreasi, gedung-gedung bersejarah, hasil-hasil kesenian, pertunjukan-pertunjukan yang eksotik, atau membebaskan diri dari kungkungan struktur sosial yang berlaku setempat dengan pergi ke tempat rekreasi untuk rileks dengan menghilangkan identitas dirinya. Sedangkan golongan kedua adalah yang dinamakannya sebagai wisatawan etnik. Golongan yang kedua ini tidak lagi hanya menuntut dapat mengalami sesuatu yang eksotik tetapi sesuatu yang otentik. Sesuatu yang betul-betul asli yang tidak dibuat-buat yang dapat dinikmatinya dengan menjalaninya. Masalah otentiknya suatu sasaran wisata tidak menjadi masalah bagi wisatawan biasa tetapi menjadi masalah serius yang dituntut oleh wisatawan etnik.

Dalam kegiatan wisata biasa atau wisata budaya, kehidupan masyarakat setempat yang sehari-hari tidak menjadi bagian perhatian. Yang menjadi perhatian adalah sesuatu yang eksotik yang dipertunjukkan, yang telah diolah sesuai dengan selera dari wisatawan. Sesuatu tersebut dapat berupa karya seni, makanan-minuman, tempat-tempat akomodasi, tempat-tempat rekreasi, atau juga pertunjukan-pertunjukan kesenian setempat. Penduduk atau masyarakat setempatm, dalam hal pertunjukan kesenian, sebenarnya bukan lagi bertindak sebagai penduduk atau warga masyarakat dalam kesehariannya, tetapi sebagai aktor atau para pemain panggung. Dalam hubungan wisatawan dengan penjaja wisata, yaitu penduduk setempat, corak wisata yang dijajakan sebenarnya diarahkan oleh para biro-biro pariwisata dan lebih kongkrit lagi oleh pramuwisata. Peranan dari biro pariwisata sebenarnya bukan hanya mengarahkan corak wisata yang seharusnya dijajakan oleh penjaja-wisata, tetapi juga mengarahkan corak selera yang dinamakan atau digolongkan sebagai eksotik oleh wisatawan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat setempat dengan demikian sebenarnya hanya terjadi pada tingkat unsur-unsur kebudayaan yang dijual kepada wisatawan. Sedangkan unsur-unsur yang hakiki yang ada dalam kebudayaan masyarakat tersebut tetap lestari.

Keadaan seperti tersebut diatas berbeda dengan keadaan yang terjadi sebagai akibat dari hubungan penduduk setempat dengan wisata-etnik. Karena yang dituntut sebagai eksotik adalah sesuatu yang otentik dari kebudayaan setempat yang asli, maka wisatawan-etnik hidup dan berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asli yang hakiki yang dipunyai oleh penduduk setempat. Sedikit atau banyak, cepat atau lambat, hasil dari hubungan tersebut menghasilkan perubahan-perubahan. Perubahan biasanya dimulai dengan perubahan- perubahan yang terjadi pada tingkat hubungan timbal balik dalam kegiatan sehari-hari; yang biasanya berlaku berdasarkan azas moral tolong menolong diganti dengan membeli-menjual pertolongan, yaitu dengan menggunakan uang. Dan, sekali sebuah kebudayaan dari suatu masyarakat itu berubah maka kebudayaan yang telah berubah itu tidak mungkin untuk dapat dikembalikan lagi ke pola aslinya yang semula. Biaya dari dampat wisata biasanya terletak disini.
Peranan dari biro pariwisata, yang sebetulnya mewakili atau merupakan kepanjangan dari tangan pemerintah dalam melayani kebutuhan-kebutuhan para wisatawan adalah sangat besar. Peranannya yang besar tersebut mencakup: kemampuan untuk mengidentifikasi sesuatu yang eksotik yang dapat dijual atau dipasarkan sebagai kenikmatan wisata, kemampuan untuk membentuk dan mengarahkan selera wisatawan, mengorganisasi sistem-sistem pelayanan kebutuhan wisatawan, dan kemampuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar- besarnya dari wisatawan atas jasa pelayanan yang diberikan tanpa dirasakan sebagai merugikan oleh wisatawan. Di lain pihak biro pariwisata juga mempunyai peranan dalam mempersiapkan masyarakat dan penduduk setempat dalam menerima kehadiran wisatawan di dalam kehidupan sehari-hari mereka, mempersiapkan masyarakat dan penduduk setempat dalam menjual sesuatu yang eksotik yang dapat turut dinikmati keuntungan ekonominya oleh masyarakat setempat, menghadirkan para wisatawan dalam kehidupan masyarakat setempat yang secara ekonomi menguntungkan tanpa harus menghancurkan nilai-nilai budaya yang hakiki yang menjadi identitas budaya masyarakat tersebut. Dalam hal ini peranan dari biro pariwisata adalah sebagai perantara-kebudayaan yang menciptakan saling pengertian dan saling menguntungkan dalam transaksi jual beli jasa hiburan yang eksotik.

Potensi-potensi Budaya untuk Pengembangan Wisata

Sebetulnya potensi-potensi yang ada dalam kebudayaan Jakarta yang dapat diidentifikasi dan dimanfaatkan untuk dikembangkan sebagai sesuatu yang eksotik untuk para wisatawan itu banyak. Masalahnya yang harus dipikirkan dan dilakukan oleh biro pariwisata, adalah mengidentifikasi sasaran wisata yang sesuai dengan kelompok-sasaran wisatawan, mengembangkan potensi tersebut sehingga sesuai dengan selera wisatawan, mengorganisasi kegiatan-kegiatan kunjungan wisatawan untuk menikmatinya yang dirasakan sebagai murah biayanya oleh wisatawan, dan kemampuan biro pariwisata untuk turut melibatkan masyarakat atau penduduk setempat dalam mengikutkan keberhasilan proyek wisatanya.

Potensi yang mendasar adalah identitas budayanya yang beranekaragam dan penuh kontras yang kondusif terhadap sesuatu yang asing, yaitu wisatawan, untuk dilayani asal ada biaya pelayanannya. Potensi-potensi yang lain adalah kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara yang merupakan salah satu pintu masuk bagi wisatawan asing, sebagai transit, yang dapat dimanfaatkan untuk menikmati sesuatu yang eksotik. Adanya kebudayaan umum-lokal atau pasar yang dominan dalam kebudayaan Jakarta sebenarnya merupakan suatu potensi yang menguntungkan karena kegiatan-kegiatan pariwisata sebenarnya dapat dilakukan dan dikembangkan dalam arena-arena ini tanpa harus merugikan kebudayaan nasional maupun sukubangsa. Mungkin yang harus dipikirkan secara lebih matang adalah pengaturan keteraturan dan ketertiban di tempat-tempat umum-lokal atau pasar yang memungkinkan pelayanan wisata dapat menguntungkan semua pihak. Juga pendefinisian tempat-tempat umum-lokal atau pasar, sebagai tempat yang menjadi dominasi kebudayaan yang profan, harus dilakukan secara lebih terperinci atau manta, yang dibedakan dari tempat-tempat atau suasana-suasana nasional dan sukubangsa/keluarga/kerabat yang berisikan nilai-nilai moral dan suci. Pentingya pendefinisian ini adalah dalam rangka menciptakan kegiatan-kegiatan pelayanan wisata yang eksotik, yang profan, yang dibedakan dari kepentingan moral, nasioanl, adab, dan keagamaan.

Mungkin juga harus mulai dipertegas sasaran wisatawan yang seharusnya layak dilayani, yang tidak hanya mencakup wisatawan asing tetapi juga wisatawan Indonesia yang berasal dari Jakarta maupun dari luar Jakarta. Pemanfaatan bangunan-bangunan bersejarah, yang merupakan bagian dari proses pembentukan nasion Indonesia mungkin dapat dilakukan. Ilustrasi menarik yang dapat mengembangkan imaji mengenai masa lampau, dan khususnya yang ditujukan kepada para murid sekolah, dapat membantu usaha pemahaman pengajaran sejarah Indonesia. Juga masih dalam cakupan sistem nasional, misalnya, mengaktifkan keingintahuan calon wisatawan mengenai bagaimana sebenarnya uang dan perangko Indonesia dicetak - sambil mengembangkan hobi numismatik dan filateli yang juga dapat membantu kas negara melalui penjualan benda-benda numismatik dan filateli.

Nostalgia mengenai becak dan sebentar lagi akan hilang peredarannya dari jalan-jalan raya di Jakarta, mungkin dapat juga dimanfaatkan. Mungkin dapat juga diusulkan untuk menggunakan becak sebagai angkutan lokal di Taman Mini, atau di tempat-tempat kunjungan wisata yang kehadiran becak tersebut tidak akan mengganggu lalu lintas tetapi menguntungkan. Secara umum unsur-unsur kebudayaan sukubangsa atau etnik tersebut telah dimanfaatkan dan dijajakan sebagai sesuatu yang eksotrik di pasar. Yaitu makanan dan minuman. Yang patut diperhatikan mungkin masalah kebersihan dan sanitasinya, khususnya yang dijajakan di pinggir jalan atau kakilima. Sedangkan pertunjukan-pertunjukan kesenian, yang bobotnya nasional dan daerah, mungkin belum secara sepenuhnya ditangani untuk dimanfaatkan sebagai program- program yang eksotik.

Potensi-potensi budaya lainnya, yang mungkin perlu dipikirkan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan wisata adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa atau etnik yang ada di Jakarta. Beberapa waktu yang lalu saya melihat pelukisan kehidupan dan kebudayaan Orang Tugu dengan musik kerontjongnya. Seorang teman saya bertanya kepada saya mengapa potensi budaya seperti itu tidak dimanfaatkan sebagai kegiatan wisata yang eksotik; mendengarkan musik kerontjong melalui pertunjukan orkes sambil menikmati kelapa muda? Saya jawab tidak tahu. Mungkin juga karena dianggap tidak menguntungkan. Hal yang sama sebenarnya juga terasa dalam memahami potensi budaya Orang Betawi; atau museum-museum yang ada di Jakarta. Keberhasilan pasar barang antik dan collectibles jalan Surabaya dan toko-toko barang antik Ciputat Raya, misalnya, yang telah menjadi bagian dari program kunjungan wisatawan mungkin patut dipelajari mekanisme model keberhasilannya.

Penutup

Identitas dan nilai-nilai budaya Jakarta sebenarnya dapat dilihat sebagai berpotensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan wisata di Jakarta. Potensi-potensi tersebut tidak akan mungkin dapat dimanfaatkan dan dipasarkan sebagai sesuatu yang eksotik tanpa adanya cara memandang atau memperlakukan potensi-potensi tersebut dari kacamata wisatawan yang mencari dan membayar kesenangan yang eksotik. Sebagai sebuah kegiatan yang melibatkan banyak pihak dengan sendirinya juga usaha pemanfaatan dan pemasaran serta pengaturan wisata tidak mungkin dapat dilakukan secara terpisah dari pengaruh kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lainnya yang ada dalam masyarakat setempat maupun di tempat lain atau secara nasional dan bahkan secara internasional. Diantara hubungan-hubungan yang saling terkait, yang biasanya mendasar, adalah hubungan antara wisatawan - biro wisata - sarana-sarana fasilitas penunjang - pemain/pelaku - penduduk setempat. Kesemuanya ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya program-program menyeluruh dari pemerintah.

Di antara hubungan keterkaitan tersebut yang biasanya menjadi permasalahan adalah hubungan antara turis dengan penduduk setempat, dan antara biro pariwisata dengan penduduk setempat. Masalah tersebut biasanya muncul karena tidak adanya kesadaran warga mengenai arti penting pariwisata dalam konteks nasional maupun lokal. Ketidak adaan kesadaran tersebut sebenarnya dilandasi bahwa penduduk setempat merasa tidak mempunyai kepentingan atau keuntungan maupun dalam kaitan dengan adanya kegiatan pariwisata tersebut. Mungkin ini nampaknya menjadi tugas utama pemerintah untuk secara sistem memperlakukan program pengembangan pariwisata sebagai program yang menyeluruh. Pranata-pranata yang mendukung keberhasilan kegiatan wisata sebenarnya muncul secara spontan, dan menjadi bagian dari tradisi-tradisi.

DAFTAR BACAAN

Casyles, L.
1967 "Ethnic Profile in Jakarta", dalam Indonesia, VIII, April.

Cohen
197? "Who is a tourist?", dalam Sociological Review, pp.527-555.

Lubis, M.
1977 "Jakarta Penuh Kontras", dalam Prisma, No.5, Mei 1977.

MacCannel, D.
1976 The Tourist: A New Theory of the Leissure Class, New York: Shocken.

MacKearn, Ph.P.
1973 Cultural Involution: Tourist, Balinese, and the Process of Modernization inAnthropological Perspective, Ph.D. Thesis, Brown University.

Mayling, Oey
1977 "Jakarta Dibangun Kaum Pendatang", dalam Prisma, No.5, Mei 1977.

Suparlan, Parsudi
1982 Strategi Pembangunan Kebudayaan Nasional, Makalah disampaikan pada Florektiu Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

*) Jakarta, 29-30 Maret 1989

TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL

TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial, tata ruang sebagai sebuah variabel sering diabaikan dalam pengkajian mengenai tindakan-tindakan sosial dan pola-pola kekuatan manusia. Begitu pula pengkajian hubungan antara kebudayaan dengan tata ruang dan dengan pola kelakuan serta tindakan sosial manusia jarang diperhatikan. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial kini, khususnya dalam Antropologi, kelakuan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai hasil kebudayaannya, tetapi sebagai motif dan response terhadap lingkungan yang dihadapi (lingkungan sosial yang dapat berupa pola-pola interaksi, dan sebagainya; lingkungan alam; dan lingkungan fisik), yang perwujudannya dipengaruhi oleh kebudayaannya dan diselimuti oleh simbol-simbol yang bersumber pada kebudayaannya tersebut.

Ceramah ini berisikan uraian pengantar singkat mengenai kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang, kehidupan sosial, dan masalah-masalah sosial. Besar harapan bahwa ceramah ini akan mendapat merangsang para peserta ceramah untuk turut memikirkan berbagai masalah tata ruang dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam masyarakat-masyarakat Indonesia yang sedang dengan cepat mengalami perubahan karena pembangunan.

Kebudayaan dan Tata Ruang

Tidaklah dapat disangkal akan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perwujudan adanya ruangan (space) dimana hubungan-hubungan antar individu dapat diwujudkan dengan tepat sesuai dengan motif dan lingkungan yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Hall (1959) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan pengetahuan tentang kewilayahan (territoriality) yang dipunyai oleh hewan juga terdapat pada manusia dalam wujud jarak (distance), yang bagi manusia sebenarnya merupakan medium komunikasi di antara sesamanya. Dalam tulisan tersebut lebih lanjut ditunjukkan oleh Hall bahwa kebudayaan merupakan landasan bagi terwujudnya pola-pola mengenai tata ruang yang ada pada arsitektur, tata ruang pada umumnya (landscaping), dan pada desain tata kota.

Dalam studinya lebih lanjut mengenai ruang sebagai suatu dimensi yang tersembunyi dalam kebudayaan manusia, Hall (1966) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe-tipe dan ukuran-ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Salah satu dari ruangan-ruangan, dimana manusia hidup dan memperlihatkan adanya tipe dan ukuran yang tertentu adalah rumah (berikut pekarangannya) tempat manusia tinggal. Di dalam rumah ada pembagian ruangan-ruangan yang tepat sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan. Pada orang Jawa, misalnya, ruangan-ruangan dalam rumah dibagi menurut pola sebagai berikut:

1. Bagian luar (bagian depan terdiri atas ruangan untuk bercengkerama dan menerima tamu; dan bagian belakang terdiri dari dapur, kamar mandi dan sumur dan bagian paling luar adalah kakus).

2. Bagian dalam (terdiri atas ruang tengah untuk makan dan kamar-kamar tidur).

Batas-batas antara ruangan-ruangan ini adalah jelas; dan bahkan menurut konsep yang ada dalam kebudayaan orang Jawa, masing-masing ruangan ini mempunyai penunggu-penunggu makhluk halus tertentu sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan dan tidak bisa dicampur adukkan yang menunggu dapur, misalnya, dikenal sebagai kyai atau nyai Geseng yang memberi berkah pada dapur; sedangkan yang menunggu tempat-tempat MCK adalah gendruwo. Mengenai pola ideal rumah menurut kepercayaan Jawa, saya persilahkan mempelajarinya dari buku Kitab Bentaljemur Adammakno.

Tata Ruang dan Kesatuan Sosial

Kalau kita melihat rumah sebagai suatu kesatuan tata ruang, kita melihat bahwa rumah bukanlah hanya semata-mata merupakan satuan ruang dengan batas-batas yang jelas dan nyata dapat dilihat dan diraba, tetapi juga merupakan suatu satuan sosial yang mempunyai batas-batas sosial yang jelas. Rumah adalah tempat keluarga melangsungkan kehidupannya, (memenuhi kebutuhan hidupnya) yaitu: mempersiapkan makanan dan minuman, melakukan hiburan dan bersendau gurau, pendidikan anak-anak dan sosialisasi, tempat belajar, tempat beristirahat, tempat berlindung, berkembang biak, melakukan kegiatan MCK, dan juga tempat mengadakan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Bahkan juga, rumah dapat dilihat sebagai tempat terwujudnya berbagai situasi sosial dimana interaksi sosial dapat terwujud antara lain dengan adanya ruangan-ruangan yang berfungsi sesuai dengan berbagai kebutuhan manusia, yang fungsi tersebut sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan (Hall, 1977).

Tiga perspektif dalam melihat rumah telah diperlihatkan tersebut di atas, yaitu sebagai suatu tata ruang yang modelnya bersumber pada kebudayaan, sebagai tata ruang yang fungsinya berkaitan erat dengan corak dan pola kesatuan sosial yang hidup di dalamnya, dan sebagai tata ruang yang merupakan medium komunikasi dimana tata ruang tersebut menjadi situasi-situasi sosial dimana interaksi-interaksi dan kegiatan-kegiatan sosial dilakukan.

Ketiga perspektif dalam melihat rumah tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai luas rumah, pembagian rumah dalam ruangan-ruangan, fungsi rumah dan ruangan-ruangan rumah, dan jumlah serta kategori individu yang boleh tinggal di dalamnya, tidaklah sama pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Bahkan dalam satu mayarakat yang dapat digolongkan sebagai mempunyai kebudayaan yang sama, misalnya masyarakat kota dengan kebudayaan kotanya, perbedaan-perbedaan ini tetap ada karena adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dipunyai oleh warga kota yang bersumber pada latar belakang asal kebudayaan (antara lain kebudayaan sukubangsa), tingkat ekonomi, lama tinggal di kota, profesi, dan lingkungan yang dihadapi di kota (termasuk antara lain kepadatan wilayah kota tempat mereka tinggal, pola kebudayaan dan pengelompokan pemukiman di sektor kota tempat mereka tinggal).

Model yang digunakan dalam contoh mengenai rumah tersebut di atas, dapat juga digunakan untuk mengkaji wujud tata ruang lainnya, seperti misalnya, tempat pemukiman, kampung, desa, kota, dan bahkan juga wilayah. Pengkajian tersebut di atas, belum lagi memperhitungkan macam-macam komponen/unsur- unsur yang ada dalam ruangan dan penataan unsur-unsur tersebut sehingga menciptakan suatu ruangan yang sesuai dengan fungsinya bagi situasi-situasi sosia dimana interaksi-interaksi sosial diwujudkan.

Tata Ruang dan Masalah-masalah Sosial

Masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu gejala sosial yang dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak biasa, tidak benar, dan merugikan mereka. Masalah sosial dapat juga dilihat dengan kacamata pengukuran ilmiah sebagai suatu gejala yang merugikan para warga masyarakat walaupun para warga masyarakat tersebut tidak sadar akan hal itu. Biasanya setelah suatu hasil penemuan ilmiah berkenaan dengan gejala sosial yang merugikan warga masyarakat tersebut disebar luaskan di dalam masyarakat yang bersangkutan, barulah para warga masyarakat tersebut sadar akan adanya masalah sosial tersebut.

Kebudayaan selalu berada dalam proses berubah. Perubahan kebudayaan tersebut bersumber pada perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang ada dalam eko-sistem, dimana manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan sebagian lain eko-sistem tersebut. Perubahan kebudayaan yang dialami oleh suatu masyarakat biasanya berjalan secara lambat dan bertahap, sehingga perubahan tersebut tidak dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan pada umumnya, sehingga karena itu juga masalah sosial tidak terwujud dalam masyarakat seperti tersebut di atas.

Tetapi dalam keadaan yang khusus, yaitu misalnya, karena dilaksanakannya program pembangunan (yang terwujud dalam bentuk serangkaian usaha untuk menaikkan taraf hidup, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif) dalam masyarakat yang bersangkutan, perubahan kebudayaan yang terwujud dapat berjalan dengan amat cepatnya. Dan sebagai hasilnya, juga, berbagai masalah sosial terwujud dan dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karenan hakekat pembangunan itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, berarti meningkatkan taraf konsumsi; dan meningkatkan taraf konsumsi harus dipenuhi oleh benda dan jasa. Pemenuhan konsumsi pada benda dan jasa secara kwantitas dan kwalitas hanya dapat dilakukan semaksimal mungkin kalau pengeksploitasian yang semaksimal mungkin juga dilakukan terhadap sumber daya yang ada dalam lingkungan alam, pisik dan terhadap manusia sendiri. Eksploitasi khususnya eksploitasi atas sumber daya alam, menyebabkan terjadinya perubahan dalam tata ruang, yang menyebabakan perubahan pada berbagai sektor kehidupan ekonomi, dan pada pola kehidupan sosial yang sudah ada sebelumnya. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan bahkan ada yang menjadi korbannya, berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat (antara lain kejahatan dan pelacuran). Contoh seperti tersebut di atas telah saya perlihatkan dalam laporan pendahuluan studi saya mengenai perubahan lingkungan hidup sosial di Citeureup (1980).

Penutup

Sebagai penutup ingin sekali lagi saya menyatakan bahwa tujuan ceramah ini adalah agar dapat merangsang pemikiran rekan-rekan dari FIS-Unair akan adanya masalah konkrit yang kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan sosial kita. Masalah konkrit tersebut terwujud dari kaitan hubungan kebudayaan, tata ruang, dan kehidupan sosial.

Masalah yang terwujud dari kaitan hubungan antara ketiganya dapat menghasilkan berbagai masalah sosial yang secara konkrit kita hadapi sebagai warga masyarakat dari negara yang sedang berkembang, yang mengalami laju perubahan kebudayaan secara cepat.

Contoh pengkajian yang telah dikemukakan tersebut di atas bersifat umum dan berkenaan dengan prinsip-prinsipnya saja. Rekan-rekan FIS-Unair tentunya dapat menciptakan masalah-masalah penelitian secara opersional dapat diteliti kebenarannya berkenaan dengan berbagai masalah sosial yang terwujud dari hasil kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang dan kehidupan sosial. Misalnya, masalah kepadatan penduduk, tata ruang dan kapasitas belajar anak pada golongan miskin di Surabaya: batas pisik, batas sosial dan ketegangan sosial; dan sebagainya.

Dengan demikian, masalah penelitian yang dikerjakan tidak saja akan memperkaya teori-teori yang telah ada dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi juga secara praktis dapat berguna bagi pemerintah dan para warga masyarakat dalam usaha menanggulangi berbagai masalah sosial untuk kita hadapi bersama. Di samping itu pendekatan yang memperhitungkan variabel tata ruang dapat menjembatani hubungan-hubungan ilmiah di antara ilmu-ilmu sosial dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya, seperti artikel perencanaan kota, dan sebagainya.


*) FISIP-Universitas Airlangga, Surabaya 20 Desember 1980

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Masalah Etika dalam Antropologi dan Sosiologi

Perkembangan antropologi dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada data yang diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang diperoleh digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta metodologi; dan juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi kebijaksanaan untuk merubah cara-cara hidup tertentu dari para informan atau responden agar sesuai dengan dan mendukung program-program pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk kepentingan praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta domestik maupun luar negeri.

Berkenaan dengan itu muncul masalah yang khususnya dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, yaitu berkenaan dengan adanya konflik-konflik sebagai hasil kaitan hubungan antara: (1) nilai-nilai kemanusiaan dan pribadi, dengan (2) penelitian dan hasil penelitiannya; dan dengan (3) aplikasi (yang digunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri dan pemerintah negara lain, untuk pemerintah jajahan, untuk badan-badan atau yayasan yang menjadi sponsor dan membiayai penelitian tersebut). Munculnya masalah tersebut didasari oleh pertanyaan berkenaan dengan: 'sampai seberapa jauhkan kita sebagai ahli antropologi yang mempunyai pengetahuan mengenai kehidupan para informan itu dapat melakukan intervensi yang merubah (dan merusak) cara-cara hidup yang menjadi tradisi mereka; dan seberapa jauhkan kita dapat mengungkapkan informan dan data yang diperoleh untuk kepentingan- kepentingan praktis?'. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai gencar pada akhir-akhir tahun enampuluhan, yang antara lain kesadaran tersebut disebabkan oleh keterlibatan sejumlah ahli antropologi dalam perang di Vietnam pada waktu itu. Padahal pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II dan sebelumnya (di wilayah-wilayah jajahan dan protektorat Amerika) banyak ahli antropologi yang menggunakan pengetahuan antropologi mereka untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi menunjang kebijaksanaan pemerintah Amerika, tetapi masalah etika tidak menjadi masalah.

Masalah etika yang dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, seperti tersebut diatas, nampaknya tidak menjadi masalah bagi para ahli sosiologi Amerika. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) sasaran kegiatan sosio- logi di Amerika adalah masyarakat Amerika itu sendiri, sehingga berbagai kode etik yang telah dikembangkan dan berlaku secara baku berkenaan dengan masalah hak azasi dan hakekat kemanusiaan secara sadar ataupun tidak sadar telah diadopsi sebagai kode etik dalam sosiologi di Amerika; dan (2) masalah etik ini telah dipecahkan seja awal oleh para tokoh pelopor sosiologi dan filsafat, sehingga masalah etika dalam aplikasi sosiologi tidak lagi menjadi masalah; John Dewey, misalnya mengatakan bahwa 'tujuan semua pengetahuan adalah untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupan dalam masyarakat bagi peningkatan harkat kemanusiaan. ... dan karena itu ... sosiologi ... harus mengabdikan dirinya pada usaha social engineering (dikutip dari tulisan Scott dan Shore, 1979:90). Sedangkan masalah etika yang dihadapi oleh para ahli sosiologi adalah berkenaan dengan obyektivitas dari hasil-hasil penemuannya.

Etika dan Penelitian: Antropologi Amerika

Dalam kongresnya pada tahun 1967 American Anthropologist Association (AAA) menerima usulan mengenai masalah-masalah penelitian antropologi dan etika, untuk dikembangkan dan diformulasikan sebagai pedoman etika bagi para ahli antropologi. Sebuah panitia yang ditunjuk pada tahun 1968, menyusun sebuah draft mengenai Kode Etika yang diterbitkan di Anthropology Newsletter, April 1969. Sebuah draft yang disusun pada tahun 1970 oleh sebuah panitia khusus yang dipilih diantara para ahli antropologi, menjadi pusat perdebatan diantara para hali antropologi dalam kongresnya pada tahun 1970, telah diterima oleh kongres dan dengan demikian menjadi pedoman kegiatan-kegiatan penelitian dan profesi para ahli antropologi.

Kata pembukaan dari Kode Etika tersebut berbunyi: 'para ahli antropologi harus menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan penelitian yang secara potensial dapat merusak atau menghancurkan warga masyarakat yang ditelitinya atau merusak dan menghancurkan komuniti ilmiah'. Kode Etika tersebut mencakup enam bidang tanggung jawab profesional ahli antropologi; yaitu: (1) terhadap mereka yang diteliti atau dikaji; (2) terhadap umum; (3) terhadap disiplin antropologi; (4) terhadap mahasiswanya; (5) terhadap sponsor yang memberikan dana penelitian; (6) terhadap pemerintahnya sendiri dan terhadap pemerintah dimana penelitian dilakukan.

Secara terperinci enam bidang profesional yang diatur oleh Kode Etika tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Terhadap Mereka Yang Diteliti atau Dikaji; adalah merupakan tanggung jawab yang paling besar dalam kegiatan penelitian antropologi. Dalam hal ini ahli antropologi harus berbuat apapun yang dapat dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan fisik, sosial dan kejiwaan dari informan serta menghormati harga diri dan 'privasi'nya. Hak-hak, kepentingan-kepentingan sensitivitas dari mereka mereka itu harus dijunjung tinggi oleh para ahli antropologi. Secara lebih khusus juga dinyatakan dalam Kode Etika tersebut bahwa para ahli antropologi harus menjelaskan tujuan penelitiannya, dan kalau untuk kepentingan aplikasi harus juga dijelaskan implikasi dari penelitian yang dilakukan tersebut terhadap kehidupan mereka; dan para ahli antropologi juga harus menjelaskan kepada mereka bahwa informan akan anonim dalam laporan data. Begitu juga, secara individual informan tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan pribadi si ahli antropologi. Ahli antropologi harus memperhitungkan akibat-akibat yang dapat merugikan mereka yang diteliti pada waktu mereka mempublikasikan hasil peneltiannya, dan berusaha untuk menghindarkan akibat-akibat yang merugikan tersebut. Bila penelitian yang dilakukan itu adalah penelitian rahasia, maka ahli antropologi tidak seharusnya membuat hasil penelitiannya yang disampaikan kepada sponsor bila hasil penelitian tersebut tidak dapat dipublikasi untuk umum.
2. Tanggung Jawab Terhadap Umum; mencakup pernyataan mengenai kejujuran cara memperoleh data dan kebenaran atau obyektivitas data yang dilaporkan. Secara jujur ahli antropologi harus mengemukakan kepada umum mengenai hasil-hasil kajiannya, karena mereka mempunyai tanggung jawab profesional untuk menyumbangkan pikiran-pikirannya yang dapat menjadi landasan bagi pendapat umum dari keterbatasan-keterbatasan pengetahuan mereka mengenai keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.
3. Tanggung Jawab Terhadap Disiplin Antropologi; mencakup pengertian tanggung jawab untuk menjaga reputasi mutu antropologi dan para ahli antropologi. Mereka juga harus menjaga hubungan baik dan menjaga reputasinya selama melakukan penelitian di lapangan, sehingga tidak menyulitkan para peneliti yang datang kemudian di tempat tersebut. Sebaiknya mereka itu tidak melakukan kegiatan- kegiatan penelitian rahasia, yang laporannya tidak dapat dipublikasikan.
4. Tanggung Jawab Terhadap Mahasiswa; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi sebagai pengajar harus jujur dan adil terhadap para mahasiswanya dalam memberikan nilai; dan karena itu nilai yang diberikan harus terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan. Mereka juga dibebani tanggung jawab untuk memajukan kemajuan akademik dan menyadarkan adanya etika dalam penelitian serta meningkatkan kesejahteraan hidup para mahasiswanya.
5. Tanggung Jawab Terhadap Sponsor; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi harus jujur terhadap kwalifikasi kesanggupan akademiknya, kesanggupan mengerjakan proyek yang diterimanya, dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dalam kegiatan penelitian yang diterimanya. Mereka harus mengetahui secara jelas darimana sumber dana bagi proyek penelitian yang diterimanya; dan sebaiknya tidak mengikat diri dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat rahasia. Dan karena itu juga mereka harus mempunyai hak untuk menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut masalah etika sebagai hasil dari penemuan-penemuan penelitiannya dalam pengambilan keputusan untuk kebijaksanaan dari sponsor yang menyangkut kepentingan warga masyarakat yang diteliti.
6. Tanggung Jawab Terhadap Pemerintahnya Sendiri dan Terhadap Pemerintah Dimana Dia Melakukan Penelitian; mencakup pengertian bahwa dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ahli antropologi harus jujur dan terbuka mengenai penelitian apa yang sedang dilakukannya dan bagaimana melakukan pengumpulan datanya. Tidak seharusnya dia terlibat dalam kegiatan penelitian yang bersifat rahasia untuk kepentingan pemerintah negaranya sehingga merugikan pemerintah dimana dia melakukan penelitian, atau sebaliknya.
Kode Etika yang dibuat tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bertindak secara profesional bagi para ahli antropologi. Walaupun demikian, Kode Etika tersebut mempunyai sanksi-sanksi, yang dapat dijatuhkan terhadap anggota (AAA) yang melanggarnya oleh (AAA) sebagai perkumpulan profesional dalam batas-batas yang sah menurut hukum yang berlaku.
Masalah Kode Etika dalam sosiologi, seperti yang dihadapi oleh antropologi di Amerika seperti diuraikan diatas, tidak pernah terjadi. Yang menjadi masalah justru adalah berkaitan dengan masalah obyektivitas dan kenetralan etika dalam penelitian. Pedoman untuk etika dalam penelitian adalah metode ilmiah. Metode ilmiah ini mengikuti prinsip- prinsi: (1) Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu dengan keraguan yang penuh dan skeptik; dan sikap ini juga berlaku untuk hasil-hasil penemuan penelitian dari yang telah dilakukannya sendiri, yang menjadi sasaran untuk dapat diubah dan untuk analisis lebih lanjut; (2) Obyektivitas, yang dalam hal ini, si ilmuwan harus menghapuskan dari dirinya sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, keyakinan-keyakinannya, dan kecenderungan-kecenderungan untuk menolak atau menyukai data yang diperoleh; dan (3) Kenetralan secara Etika, yaitu si ilmuwan tidak boleh membuat penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya; dia hanya dapat memberi penilaian mengenai data yang diperolehnya sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu juga kesimpulan-kesimpulannya tidak boleh dianggap sebagai kata akhir, mutlak, atau kebenaran universal; karena kesimpulan-kesimpulan hanya relatif untuk waktu dan tempat dimana penelitian dilakukan dan selalu akan berubah.

Etika Penelitian Antropologi dan Sosiologi di Indonesia dan Malaysia

Masalah etika penelitian bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan bagi antropologi dan sosiologi khususnya, belum pernah secara tertulis dinyatakan kehadirannya dalam dunia ilmu-ilmu sosial khususnya di Indonesia. Walaupun demikian, secara individual para ahli ilmu-ilmu sosial masing-masing telah menjalankan etika tersebut dengan bidang profesi mereka masing-masing. Mungkin sudah waktunya kalau para ahli antropologi dan sosiologi di Indonesia dan Malaysia mulai memikirkan Kode Etika yang macam mana yang sebaiknya mereka formulasikan untuk dapat dijadikan sebagai pedoman kegiatan- kegiatan profesional mereka masing-masing.

Asosiasi Ahli Antropologi Indonesia (AAAI) telah membuat draft Kode Etika untuk para anggotanya (yang dibuat oleh Dr. E.K.M. Masinambouw). Ada baiknya juga kalau para ahli antropologi dan ahli sosiologi di Indonesia dan Malaysia turut membahas draft Kode Etika tersebut, sehingga bukan hanya berlaku sebagai pedoman kegiatan profesional para ahli antropologi Indonesia saja. Uraian panjang lebar mengenai Kode Etika dari American Anthropologist Association sebenarnya dimaksudkan untuk kita dapat melihat bahwa Kode Etika itu perlu untuk digunakan bagi peningkatan kegiatan profesional kita dalam turut membantu meningkatkan harkat kemanusiaan dan pembangunan negara dan bangsa, dan dalam meningkatkan mutu keilmuwan disiplin kita masing-masing. Peningkatan mutu keilmuwan disiplin ilmu kita masing-masing, berarti juga meningkatkan mutu ilmu-ilmu sosial pada umumnya di negara kita masing- masing, berarti juga meningkatkan kepercayaan umum dan pemerintah terhadap kesanggupan profesional kita untuk turut membantu memecahkan berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional antar bangsa.

Dengan demikian, perlunya Kode Etika bagi profesi kita masing-masing maupun secara bersama-sama itu tidak dapat ditawar lagi. Tanpa adanya Kode Etika, khususnya bagi penelitian, maka mutu keilmiahan dari data yang dikumpulkan dan dianalisis bisa menyimpang daripada yang diharapkan dari suatu penelitian ilmiah.

Kepustakaan

American Anthropologist Association
1970 AAA: Principles of Professional Responsibility.

Scott, Robert A. dan Arnold R. Shore
1979 Why Sociology Does Not Apply: A Study of Sociology in Public Policy, New York: Elsevier.

*) Malaysia, 9-11 Desember 1985

PERUBAHAN SOSIAL

PERUBAHAN SOSIAL*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan primitif, yang hidup terisolasi jauh dari berbagai jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain di luar dunianya sendiri, perubahan yang terjadi dalam keadaan lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif tersebut, biasanya telah terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, yaitu karena perubahan dalam hal jumlah dan komposisi penduduknya dan karena perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang hidupnya tidak terisolasi dari atau yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif seperti tersebut di atas. Perubahan yang terjadi secara lebih cepat tersebut, disamping karena faktor-faktor perubahan jumlah dan komposisi penduduk serta perubahan lingkungan hidup juga telah disebabkan oleh adanya difusi atau adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam masyarakat yang bersangkutan, penemuan-penemuan baru khususnya penemuan-penemuan teknologi dan inovasi.

Uraian berikut ini berusaha untuk menjelaskan hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, implikasinya terhadap ketertiban sosial dan bagaimana warga masyarakat yang bersangkutan berpartisipasi di dalamnya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai perubahan sosial dan perubahan kebudayaan, faktor-faktor pendorong terwujudnya perubahan sosial manusia, proses penerimaan dan penolakan terhadap pembaruan yang terjadi dalam masyarakat oleh warga yang bersangkutan, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang berisikan antara lain sebuah kerangka dasar berkenaan dengan syarat-syarat suatu unsur baru dapat diterima dalam suatu masyarakat.

Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan

Ada perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup, sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau oleh sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup, aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.

Walaupun perubahan sosial dibedakan dari perubahan kebudayaan, tetapi pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai suatu pengertian yang benar tanpa harus juga mengkaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang sama juga berlaku dalam pembahasan-pembahasan mengenai perubahan kebudayaan.

Salah satu bentuk proses perubahan sosial yang terwujud dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif maupun dengan kebudayaan yang kompleks atau maju, adalah proses imitasi yang dilakukan oleh generasi yang lebih muda terhadap kebudayaan dari generasi yang lebih tua. Proses imitasi dilakukan dengan belajar meniru, yang belum tentu atau bahkan yang kebanyakan tidak sempurna, dari berbagai pola tindakan generasi orang tua. Sehingga hasilnya adalah adanya perubahan yang berjalan secara lambat dan teratur, dan yang baru terasa perubahannya setelah dilihat dalam suatu jangka waktu yang panjang dari proses pewarisan kebudayaan tersebut.

Proses lain yang biasanya juga berjalan secara lambat dan teratur, yang pada umumnya berlaku dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif adalah hasil suatu proses alamiah dimana jumlah dan komposisi dari generasi anak berbeda dengan jumlah dan komposisi penduduk generasi tua dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, secara lambat dan juga biasanya tanpa disadari, berbagai pola kelakuan, norma-norma, nilai-nilai, dan pranata-pranata telah berubah karena sebagian dari unsur-unsur kebudayaan dan struktur sosial yang telah berlaku harus dirubah disesuaikan dengan jumlah dan komposisi dari penduduk yang menjadi warga dari masyarakat tersebut.

Sedangkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sudah maju atau kompleks kebudayaannya daripada masyarakat dengan kebudayaan primitif yang terisolasi kehidupannya, biasanya terwujud dengan melalui proses penemuan (discovery), penciptaan bentuk baru (invention), dan melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Dengan melalui proses-proses tersebut di atas, perubahan sosial biasanya berjalan dengan cepat. Sehingga, berbagai nilai, norma, dan pola-pola hubungan sosial yang tadinya berlaku pada generasi sebelumnya dalam masyarakat tersebut bisa tidak berlaku lagi dan diganti oleh yang lainnya.

Penemuan (discovery) adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakekat sesuatu gejala atau hakekat mengenai hubungan antara dua gejala atau lebih. Suatu penemuan (discovery) mengenai bentuk bumi yang bulat dan bukannya datar, telah menyebabkan adanya berbagai kegiatan yang berkenaan dengan itu yang mewujudkan adanya perubahan sosial pada masyarakat-masyarakat di Eropa Barat pada abad ke-16. Perubahan sosial tersebut telah terjadi karena adanya usaha-usaha untuk melayari bumi tanpa harus takut untuk sampai ke ujung dunia yang tidak berujung pangkal, sebagaimana disangkakan semula, guna mencari rempah-rempah dan benda-benda berharga lainnya.

Sedangkan ciptaan baru (invention) adalah suatu pembuatan bentuk baru yang berupa benda atau pengetahuan yang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang didasarkan atas pengkombinasian dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala. Contohnya, sepotong kayu yang berbentuk seperti tongkat dan sebuah batu hitam adalah dua benda alamiah. Kedua benda ini kalau dihubungkan satu dengan lainnya dapat menjadi sebuah tugal atau alat untuk melubangi tanah guna menaruh biji-bijian yang ditanam di ladang. Caranya adalah dengan pengkombinasian pengetahuan mengenai perlunya ujung tongkat yang tajam untuk melubangi tanah dan batu hitam yang keras permukaannya, dan bahwa penajaman ujung kayu dapat dilakukan dengan cara mengasahkannya pada permukaan benda yang keras dan kasar, dan bahwa batu hitam yang keras dan kasar tersebut dapat digunakan untuk mengasah tongkat kayu sehingga tajam ujungnya; dan menghasilkan alat yang namanya tugal.

Contoh yang lain lagi dari penciptaan baru adalah ditemukannya listrik, yang bersumber pada pengetahuan bahwa gesekan menimbulkan listrik, dan bahwa benda-benda tertentu dapat menghasilkan listrik lebih banyak bila digesekkan satu dengan lainnya, dan bahwa diperlukan tehnik-tehnik penggesekkan tertentu untuk menghasilkan listrik, dan benda-benda tertentu yang dapat menerima arus listrik tanpa membahayakan keselamatan jiwa dan raga manusia. Kombinasi dari pengetahuan ini menghasilkan serentetan penemuan baru, yaitu: alat-alat penghasil tenaga listrik, benda-benda atau alat-alat yang dapat menyalurkan arus listrik, dan alat-alat yang dapat memanfaatkan arus tenaga listrik tersebut sebagai sumber energi sehingga dapat berguna bagi manusia.

Dengan adanya penciptaan-penciptaan baru tersebut, berbagai sarana perlu juga dipikirkan untuk diciptakan guna mendukung bermanfaatnya hasil-hasil ciptaan baru; sehingga serentetan ciptaan baru juga dilahirkan, dan dengan demikian sejumlah alat-alat hasil ciptaan baru tersebut telah mengambil alih peranan dari tenaga kasar manusia atau mengambil alih fungsi-fungsi anggota-anggota tubuh manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

Tetapi penemuan baru maupun penciptaan baru tidaklah dapat begitu saja merubah kehidupan sosial manusia tanpa melalui suatu proses difusi. Difusi adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari warga masyarakat yang satu ke warga yang lain dari masyarakat yang bersangkutan. Persebaran unsur kebudayaan adalah suatu proses, yaitu proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Suatu unsur kebudayaan baru, yang berupa penciptaan ataupun penemuan baru, tidak akan dapat digunakan dan mempunyai fungsi merubah kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan tanpa melalui proses difusi. Suatu unsur baru dapat saja ditolak oleh warga masyarakat yang bersangkutan sehingga unsur kebudayaan baru tersebut tidak mempunyai arti apapun dalam kehidupan sosial. Contohnya adalah penolakan cara mengerjakan sawah secara lebih intensif dengan menggunakan mesin traktor yang dilakukan oleh para petani di pulau Bali.

Para petani di Bali menganggap bahwa cara bertani dengan menggunakan traktor tidak menguntungkan, karena biaya perawatannya yang cukup mahal dari mereka, dan juga karena traktor bisa rusak dan tidak bisa digunakan lagi, serta traktor tidak dapat beranak. Sehingga mereka menganggap bahwa mengerjakan sawah dengan menggunakan traktor lebih banyak ruginya daripada untungnya; khususnya kalau mereka bandingkan dengan penggunaan sapi dalam pertanian sawah. Menurut mereka, sapi tidak merugikan dan bahkan menguntungkan. Biaya pemeliharaannya murah, tidak pernah tidak berguna, dapat beranak, dan kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk.

Dari contoh penolakkan terhadap pemasukkan traktor untuk digunakan sebagai alat meningkatkan hasil pertanian sawah, nampah bahwa arti kegunaan traktor lebih merugikan daripada menguntungkan dibandingkan dengan arti kegunaan sapi, sehingga traktor bagi petani Bali memberikan pengertian yang dikaitkan dengan sesuatu yang merugikan atau negatif. Fungsi traktor dalam kehidupan sosial dan khususnya untuk kegiatan-kegiatan pertanian sawah harus didukung oleh sejumlah unsur yang harus mendukung fungsi tersebut, antara lain, onderdil atau spare parts untuk reparasi, montir-montir yang dapat mereparasi atau memelihara kelancaran mesinnya, bensin atau minyak solar yang digunakan untuk menggerakkan mesinnya, pompa bensin/minyak solar, tempat menyimpan bensin/minyak solar yang aman dari bahaya kebakaran. Kesemuanya ini terasa lebih ruwet dan mahal dibandingkan dengan penggunaan/pemeliharaan sapi.

Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya. Contohnya adalah hubungan antara masyarakat kota dengan masyarakat desa. Lebih banyak unsur-unsur kebudayaan kota yang diambil alih dan diterima untuk dijadikan pegangan dalam berbagai kehidupan sosial warga desa daripada unsur-unsur kebudayaan desa yang dijadikan pegangan bagi pengaturan kehidupan sosial warga masyarakat kota.

Perubahan-perubahan yang terwujud karena inovasi (inovasi adalah istilah yang dipakai untuk pengertian baik untuk discovery maupun untuk invention) dan karena difusi dari inovasi telah dipercepat lagi prosesnya oleh kekuatan-kekuatan teknologi, industrialisasi, dan urbanisasi. Ketiga-tiganya secara bersama-sama menghasilkan proses modernisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Teknologi modern, secara disadari atau tidak oleh para warga masyarakat yang bersangkutan, telah menciptakan keinginan- keinginan dan impian-impian baru berkenaan dengan kehidupan yang ingin dijalani (yaitu berupa memperoleh berbagai peralatan yang serba modern dan luks secara lebih banyak dan lebih baik daripada yang sudah dipunyai, kondisi kehidupan yang lebih nyaman dan nikmat), dan memberikan jalan-jalan yang dapat memungkinkan dilaksanakannya usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Teknologi secara langsung berkaitan dengan industrialisasi. Industrialisasi dan mesinisasi cenderung merubah dasar-dasar atau hakekat pengertian kebendaan atau materi yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung mempercepat proses perubahan pengorganisasian berbagai kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dari contoh pemasukkan traktor di pulau Bali tersebut di atas, jika sekiranya traktor tersebar di pedesaan dan mekanisasi atau mesinisasi pertanian berjalan sebagaimana yang direncanakan, maka berbagai sarana harus disediakan untuk menunjang unsur traktor tersebut. Sarana-sarana ini antara lain, bahan bakar untuk traktor, spare parts, bengkel-bengkel, montir-montir dan disamping itu juga matinya usaha pemeliharaan sapi, matinya kegiatan gotong royong dalam pertanian, dan mengganggunya buruh-buruh tani yang biasa menyediakan tenaga kasar mereka di bidang pertanian.

Teknologi dan industrialisasi langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap terwujudnya proses urbanisasi. Urbanisasi yang disatu pihak dilihat sebagai cara hidup kota dan dipihak yang lain dilihat sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi dan industrialisasi. Dari contoh orang Bali tersebut di atas, para buruh tani yang telah tidak mempunyai pekerjaan di desa terpaksa harus meninggalkan desanya mencari pekerjaan di tempat-tempat dimana kesempatan untuk bekerja masih ada. Kesempatan bekerja yang kemungkinan terbesar masih ada adalah di kota, karena di kota mata pencaharian tidak didasarkan pada mengolah lingkungan alam untuk memperoleh bahan mentah, tetapi berdasarkan atas jasa. Perubahan mata pencaharian dari mengolah alam kepada jasa dimungkinkan oleh tingkat perkembangan teknologi dan industrialisasi.

Proses urbanisasi juga menyebabkan adanya percepatan proses perubahan dalam masyarakat, baik yang ditinggalkan maupun yang didatangi, yang juga mewujudkan adanya proses penataan kehidupan sosial kembali oleh mereka yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Orang-orang desa yang datang ke kota yang biasanya hidup dalam berbagai peraturan adat yang ketat berkenaan dengan masalah moral, dapat berubah dan menerima norma-norma yang longgar berkenaan dengan masalah moral ini mengakibatkan adanya berbagai masalah keluarga dan sosial di antara mereka.

Penerimaan terhadap Perubahan

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya sesuatu unsur kebudayaan baru atau asing dalam suatu masyarakat yang biasanya cukup berperan adalah:
1. Terbiasanya masyarakat tersebut mempunyai hubungan/kontak kebudayaan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sebuah masyarakat yang terbuka bagi hubungan-hubungan dengan orang yang beraneka ragam kebudayaannya, cenderung menghasilkan warga masyarakat yang bersikap terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan asing. Sikap mudah menerima kebudayaan asing lebih-lebih lagi nampak menonjol kalau masyarakat tersebut menekankan pada ide bahwa kemajuan dapat dicapai dengan adanya sesuatu yang baru, yaitu baik yang datang dan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari kebudayaan yang datang dari luar.

2. Kalau pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam kebudayaan tersebut ditentukan oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama; dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada dalam masyarakat tersebut; maka penerimaan unsur-unsur kebudayaan yang baru atau asing selalu mengalami kelambatan karena harus di sensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan pada ajaran agama yang berlaku. Dengan demikian, suatu unsur kebudayaan baru akan dapat diterima jika unsur kebudayaan yang baru tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku, dan karenanya tidak akan merusak pranata-pranata yang sudah ada.

3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan unsur kebudayaan baru. Suatu struktur sosial yang didasarkan atas sistem otoriter akan sukar untuk dapat menerima suatu unsur kebudayaan baru, kecuali kalau unsur kebudayaan baru tadi secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh rezim yang berkuasa sebagai sesuatu yang menguntungkan mereka.

4. Suatu unsur kebudayaan baru dengan lebih mudah diterima oleh suatu masyarakat kalau sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut. Di pedesaan di pulau Jawa, adanya sepeda sebagai alat pengangkut dapat menjadi landasan memudahkan di terimanya sepeda motor di daerah pedesaan di Jawa; dan memang dalam kenyataan demikian.

5. Sebuah unsur baru yang mempunyai skala kegiatan yang terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, dibandingkan dengan sesuatu unsur kebudayaan yang mempunyai skala luas dan yang sukar secara konkrit dibuktikan kegunaannya. Contohnya adalah diterimanya radio transistor dengan mudah oleh warga masyarakat Indonesia, dan bahkan dari golongan berpenghasilan rendah merupakan benda yang biasa dipunyai.

Dari beberapa pokok pembicaraan yang dikemukakan di atas berkenaan dengan penerimaan unsur-unsur baru, dapat dikatakan bahwa inovasi bisa terdapat karena: 1) inovasi tersebut bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang sudah ada; 2) kalau inovasi tersebut akan mengakibatkan perubahan pola-pola kebudayaan dan struktur sosial yang sudah ada dan menggantikannya dengan yang baru; 3) kalau inovasi tersebut bersifat mendasar berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan: misalnya "free lover" untuk masyarakat Indonesia akan ditentang kalau harus diterima sebagai suatu cara hidup; 4) disamping itu bila inovasi itu dianggap terlalu mahal biayanya juga akan terhambat dalam penciptaannya maupun dalam penyebaran atau difusinya, terkecuali kalau oleh kelompok yang digolongkan sebagai "vested interests" (suatu kelompok yang mempunyai pengaruh atas kehidupan sosial dan mempunyai andil untuk menarik keuntungan atas kehidupan sosial yang ada) inovasi tersebut dianggap menguntungkan maka inovasi akan diterima.

Penerimaan atas unsur baru atau inovasi dapat mengakibatkan terwujudnya berbagai kekacauan sosial yang merupakan perwujudan- perwujudan dari proses perubahan sosial, sebelum inovasi tersebut diterima dengan mantap dan menjadi baku dalam tata kehidupan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kekacauan sosial tersebut biasanya dinamakan sebagai disorganisasi sosial (social disorganization). Dalam keadaan kekacauan sosial ini, aturan-aturan atau norma-norma lama sudah tidak berlaku lagi atau sebagian-sebagian masih berlaku sedangkan aturan-aturan atau norma-norma lama tersebut dalam mengatur kehidupan sosial warga masyarakat. Sehingga dalam tahap ini terdapat semacam kebingungan atau kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan sosial.

Bila unsur-unsur baru telah mantap diterima dan norma-norma atau aturan-aturan baru telah mantap menjadi pegangan dalam berbagai kegiatan sosial, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat tersebut telah mencapai tingkat tertib sosial lagi. Tidak selamanya suatu penerimaan inovasi menimbulkan kekacauan sosial. Kekacauan sosial terwujud bila inovasi tersebut menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang mendasar pada pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kesimpulan

Uraian dalam tulisan ini telah memberikan suatu penjelasan mengenai hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, faktor-faktor yang turut mempengaruhi tingkat dan corak perkembangan itu, dan implikasi dari perubahan tersebut terhadap kehidupan manusia bermasyarakat.

Suatu perubahan sosial selalu terwujud dalam bentuk adanya kekacauan dalam kehidupan sosial; tetapi tidak semua perubahan ini mewujudkan kekacauan sosial yang besar. Yang terbanyak adalah adanya kekacauan dalam ruang-ruang lingkup kehidupan sosial yang kecil dan yang biasanya terjadi dimulai dalam kehidupan keluarga. Kekacauan sosial dapat mengakibatkan adanya konflik-konflik sosial, tetapi suatu konflik sosial tidak dapat berlangsung terus menerus. Karena manusia tidak dapat hidup dalam suatu keadaan kekacauan terus menerus, maka pada suatu saat suatu kedamaian terwujud dan suatu ketertiban sosial baru menjadi landasan dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha mengatasi kekacauan biasanya juga berasal dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri, yaitu sejumlah warga masyarakat yang menyadari kerugian-kerugian dari adanya kekacauan; tetapi bisa juga oleh adanya kekuatan yang berasal dari luar masyarakat tersebut.

*) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sub-Proyek Pembinaan MKDU- Konsorsium Antar Bidang, Penataran Pengajar ISD, Wisma PEMDA "Tri Arga", Bukit Tinggi, 13-19 April 1981

PENGANTAR METODE PENELITIAN

Pendekatan Kwalitatif *)


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA




1. Penelitian dan Metode Ilmiah


Penelitian dapat digolongkan dalam dua, sesuai dengan ukuran kwalitasnya yaitu penelitian ilmiah dan penelitian tidak ilmiah atau yang dilakukan oleh orang awam. Penelitian tidak ilmiah mempunyai ciri-ciri dilakukan tidak sistematik, data yang dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu penelitian tidak ilmiah adalah penelitian yang coraknya subyektif. Sedangkan penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsipnya yang mendasar dan berlaku umum (teori) mengenai masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan, berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, dan tujuannya adalah untuk menambah atau menyempurnakan teori yang telah ada mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian.


Berbeda dengan penelitian tidak ilmiah, penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan; eksperimen, generalisasi, dan verifikasi juga dilakukan dalam kegiatan-kegiatan penelitian oleh para ahli dalam bidang-bidang ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya untuk memperoleh hasil-hasil penelitian tertentu sesuai dengan tujuan penelitiannya. Metode ilmiah berlandaskan pada pemikiran bahwa pengetahuan itu terwujud melalui apa yang dialami oleh pancaindera, khususnya melalui pengamatan dan pendengaran. Sehingga jika suatu pernyataan mengenai gejala-gejala itu harus diterima sebagai kebenaran, maka gejala-gejala itu harus dapat di verifikasi secara empirik. Jadi, setiap hukum atau rumus atau teori ilmiah haruslah dibuat berdasarkan atas adanya bukti-bukti empirik.


Sebuah teori, sebenarnya adalah bagian yang utama dari metode ilmiah. Sebuah kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Dalam hal ini peranan dari metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Peranan ini melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya kumulatif.


Dalam ilmu-ilmu sosial, masalah obyektivitas dari data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan suatu isyu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan sains, data yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan-kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan yang diteliti. Untuk menjaga obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:


1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;


2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan-kecenderungannya untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;


3. Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau terbebas dari membuat penilaian-penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, atau dengan kata lain, menghindarkan diri dari kecenderungan untuk menghakimi secara moral para informannya berdasarkan hasil-hasil penemuannya. Dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya mengenai palsu atau tidaknya data yang diperolehnya itu. Begitu juga dalam kesimpulan-kesimpulannya si peneliti tidak boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data akhir, mutlak, merupakan kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan sesuai dengan masalah yang diteliti dan dengan kerangka teori yang menjadi landasan penelitian itu.


Untuk menjaga obyektivitas dari data yang dikumpulkan, setiap kegiatan penelitian biasanya dilakukan dengan berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:


1. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya; karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu disebutkan metode apa yang digunakan dan bagaimana menggunakan metode tersebut.


2. Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku; karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu dinyatakan/didefinisikan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan dan referensi atau kerangka acuannya.


3. Pengumpulan data digunakan secara obyektif, yaitu dengan menggunakan metode atau metode-metode penelitian ilmiah yang baku.


4. Hasil-hasil penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lainnya, bila sasaran atau masalah penelitiannya sama dan pendekatan serta prosedur penelitiannya juga sama. Contohnya adalah hasil penemuan penelitian saya mengenai pola hubungan patron-klien pada komuniti gelandangan yang saya teliti di Jl. Tanah Abang pada tahun 1961, yang juga ditemukan ulang oleh Drs. Haswinar Arifin dalam penelitiannya mengenai komuniti gelandangan di Bendungan Hilir pada tahun 1984 (Skripsi Sarjana Antropologi UI).


5. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk pembuatan teori, interpretasi atas teori atau teori-teori yang sudah ada dan untuk membuat prediksi-prediksi berdasarkan atas gejala-gejala yang diteliti. Jadi bukan hanya untuk mengumpulkan data saja.




2. Pendekatan Kwalitatif


Secara garis besarnya ada dua golongan pendekatan yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu: (1) pendekatan kwalitatif, dan (2) pendekatan kwalitatif. Pendekatan kwantitatif memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Pendekatan kwalitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Dalam pendekatan kwantitatif hakekat hubungan diantara variabel-variabel dianalisis dengan menggunakan teori yang obyektif. Sedangkan dalam pendekatan kwalitatif yang dianalisis gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang obyektif.


Karena sasaran kajian dari pendekatan kwantitatif adalah pada gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik yang kwantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga penyimpangan-penyimpangannya; begitu juga dalam penganalisisan dari data yang telah dikumpulkan. Sedangkan dengan pendekatan kwalitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku dan merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas perwujudan dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak obyektif. Sehingga pendekatan kwantitatif menjadi tidak relevan.


Untuk dapat memperoleh data mengenai pola-pola yang ada, sesuai dengan sasaran atau masalah penelitian, diperlukan informasi yang selengkap dan sedalam mungkin mengenai gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Gejala-gejala tersebut dilihat sebagai satuan-satuan yang masing-masing berdiri sendiri tetapi yang satu sama lainnya saling berkaitan merupakan suatu kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Pendekatan seperti ini dinamakan pendekatan holistik. Dalam pendekatan tersebut tidak dikenal adanya sampel. Yang dikenal adalah kasus, yang diteliti secara mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai pola-polanya. Contoh dari penelitian kasus adalah yang dilakukan oleh Dr. Boedhisantoso mengenai keluarga matrifokal di Cibuaya, Kerawang, Jawa Barat (Disertasi Doktor Antropologi UI, 1977).


Seperti yang disajikan oleh Dr. Boedhisantoso dalam disertasinya, yang menggunakan metode studi kasus, dapat disimpulkan bahwa studi kasus: (1) Menyajikan deskripsi yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi-informasi yang disampaikannya nampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya; (2) Bersifat grounded atau berpijak di bumi yaitu betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya; (3) Bercorak holistik; (4) Menyajikan informasi yang terfokus dan berisikan pernyataan-pernyataan yang perlu-perlu saja, yaitu mengenai pola-polanya; (5) Mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan para pembacanya karena disajikan dengan bahasa biasa dan bukannya dengan bahasa teknis angka-angka.


Studi kasus dapat juga dinamakan sebagai studi etnografi, sebagaimana dikenal dalam Antropologi. Dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kwalitatif dan dengan metode studi kasus atau etnografi syarat utamanya adalah si peneliti itu sendiri harus hidup diantara mereka yang ditelitinya untuk suatu jangka waktu yang relatif cukup untuk si peneliti tersebut dapat hidup terintegrasi dengan masyarakat yang ditelitinya agar dia dapat mengembangkan kepekaannya dalam berpikir, merasakan, dan menginterpretasikan hasil-hasil pengamatannya dengan menggunakan konsep-konsep yang ada dalam pemikiran, perasaan-perasaan, dan nilai-nilai dari yang ditelitinya. Bersamaan dengan itu juga dia harus menginterpretasikan hasil interpretasinya tersebut berdasarkan pengetahuan teorinya. Dalam pendekatan kwalitatif ini peneliti adalah 'instrumen penelitian'. Keunggulan hasil penelitian, karena itu banyak sedikitnya ditentukan oleh kwalitas dari si peneliti sebagai 'instrumen penelitian'.


Dalam penelitian kwalitatif metode-metode penelitian yang umum digunakan adalah:
1. Metode pengamatan; yang digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat yang diteliti. Dengan menggunakan metode pengamatan, seorang peneliti dapat dengan lengkap memperoleh gambaran mengenai gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa, dsb) dan kaitan hubungan antara satu gejala dengan gejala atau gejala-gejala lainnya yang bermakna bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.


2. Metode pengamatan terlibat; sebuah tehnik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh para warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk dalam pengertian metode pengamatan terlibat adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya.


3. Wawancara dengan pedoman; adalah tehnik untuk mengumpulkan informasi dari para anggota masyarakat yang diteliti mengenai suatu masalah khusus dengan tehnik bertanya yang bebas tetapi berdasarkan atas suatu pedoman yang tujuannya adalah untuk memperoleh informasi khusus dan bukannya untuk memperoleh respon atau pendapat mengenai sesuatu masalah. Contoh dari penggunaan metode wawancara dengan pedoman adalah mengumpulkan data mengenai sistem kekerabatan yang didalamnya tercangkup informasi mengenai aturan-aturan berkenaan dengan struktur kedudukan dan peranan dari mereka yang tergolong sebagai sekerabat. Karena itu pemberi informasi atau keterangan dalam penelitian kwalitatif, dinamakan informan. Ini dibedakan dari penelitian dengan menggunakan kwesioner, yang pada dasarnya adalah mengumpulkan data mengenai respon atau pendapat dari orang yang diwawancarai mengenai sesuatu gejala atau peristiwa dimana si pemberi keterangan atau respon dinamakan responden.


Sahih dan dapat Dipercayanya Data. Sahih dapat didefinisikan sebagai adanya hasil penelitian, data, yang mencerminkan secara jelas sesuatu situasi tertentu. Sedangkan dapat dipercayanya data adalah suatu penilaian mengenai dapat tidaknya data hasil penelitian tersebut dilihat sebagai replika dari kenyataan yang ada. Kesahihan dan dapat dipercayanya data bersifat relatif, tergantung pada tujuan penelitian dan metode serta instrumen penelitian yang digunakan.
Dalam penelitian kwalitatif atau penelitian etnografi, yang tujuannya adalah mengungkapkan pola-pola yang ada dan mema-hami suatu situasi sebagaimana dipahami oleh mereka yang diteliti, masalah kesahihan dan dapat dipercayanya data berbeda dengan yang dihadapi dalam penelitian kwantitatif.


Dan masalah yang terutama dihadapi oleh peneliti adalah masalah kesahihan data. Langkah-langkah yang diambil oleh si peneliti dalam penelitiannya untuk menjamin kesahihan datanya adalah dengan cara mendekripsikan secara tepat pola-pola yang ditemukannya dan menjamin bahwa gambaran dari situasi yang dideskripsikannya itu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya yang ada di lapangan. Walaupun langkah ini telah diambilnya, seorang peneliti dengan pendekatan kwalitatif masih juga was-was akan kesahihan datanya. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa terdapat sudut pandang yang berbeda-beda mengenai sesuatu situasi sosial. Ini lebih-lebih lagi ditambah dengan kenyataan mengenai hakekat situasi sosial yang selalu berubah, yaitu bertambah atau berkurang unsur-unsurnya. Sehingga sebuah situasi sosial pada saat tertentu bisa berbeda dengan situasi sosial yang sama pada saat yang lain.


Masalah lain yang menyebabkan pertanyaan mengenai kesahihan data adalah yang berkaitan dengan masalah pendeskripsian laporan yang sifatnya manusiawi. Yang dalam hal ini menggunakan keterangan-keterangan yang diperoleh informan. Sehingga masalahnya terletak pada pemilihan informan yang tepat. Yang terbaik adalah memilih informan yang dalam berhubungan dengan si peneliti tidak merasa tegang, rikuh, atau sungkan, tetapi apa yang bersikap bebas dan leluasa seperti layaknya teman. Yang juga tidak tergesa-gesa atau yang cukup waktunya untuk mendampingi si peneliti. Disamping itu juga, yang sifatnya terbuka dan jujur, yang dapat memberikan keterangan secara pasti dan terperinci, yang tidak mencla-mencle, dan yang bersedia untuk menunjukkan dengan bukti-bukti mengenai apa yang dikatakannya.


*) Program Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia 19-24 Januari 1986

PENELITIAN ILMIAH, MASALAH PENELITIAN DAN OBJEKTIFITAS DATA

PENELITIAN ILMIAH, MASALAH PENELITIAN DAN OBJEKTIFITAS DATA*)


PARSUDI SUPARLAN


UNIVERSITAS INDONESIA






Secara sadar ataupun tidak sadar, setiap orang dalam kehidupannya sehari-hari sebenarnya melakukan kegiatan-kegiatan penelitian. Ini dilakukannya dalam usahanya untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsip yang men-dasar dan umum berkenaan dengan landasan dari sesuatu gejala atau masalah yang dihadapinya sehingga masalah tersebut da-pat dipahami dan masuk akal baginya, sehingga berguna baginya dalam menyusun strategi untuk menghadapinya atau memanfaatkannya bagi kepentingannya. Penelitian-penelitian yang kita lakukan sebagai orang awam biasanya tidak kita la-kukan secara sistematik; dan informasi-informasi yang kita kumpulkan biasanya bersifat subyektif yang penuh dengan muatan- muatan perasaan dan emosi kita, yang karena itu dapat digolongkan sebagai penelitian yang bersifat stereotipik, etnosentrik, atau cauvinistik. Penelitian secara awam berbeda coraknya dengan penelitian secara ilmiah. Uraian pendek ini dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang dinamakan penelitian ilmiah. Uraian mencakup pembahasan mengenai: (1) pengertian penelitian ilmiah; (2) tahapan-tahapannya; (3) masalah penelitian; dan (4) penelitian kwalitatif dan obyektivitas data.



Penelitian Ilmiah dan Metode Ilmiah


Penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha untuk dapat mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsipnya yang mendasar dan umum berkenaan degan landasan atau inti perwujudan masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori-teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian yang terdahulu dan bertujuan untuk menambah atau menyempurnakan teori atau pengetahuan yang telah ada mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian.


Landasan dasar dari suatu kegiatan penelitian ilmiah adalah: metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah; dalam sains melalui pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi; dan dalam ilmu-ilmu sosial atau budaya pada umumnya dilakukan dengan melalui wawancara dan pengamatan. Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa pengetahuan itu terwujud melalui apa yang dialami oleh pancaindera, dan jika suatu pernyataan mengenai gejala-gejala itu harus diterima sebagai kebenaran maka gejala-gejalat tersebut haruslah dapat diverifikasi secara empirik. Jadi setiap hukum atau teori ilmiah haruslah dibuat berdasarkan atas bukti empirik.


Penciptaan teori, sebenarnya adalah bagian yang amat penting dari metode ilmiah. Sebuah kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian, dan menghubungankannya dengan hasil-hasil penelitian yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti-peneliti lainnya. Dengan demikian, karena sebenarnya pengetahuan ilmiah itu adalah suatu proses akumulasi dari pengetahuan, maka juga penting dari metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Walaupun pada hakekatnya metode ilmiah dalam sains itu lebih menekankan pentingnya peranan metode induktif, karena tujuan utamanya adalah penciptaan generalisasi-generalisasi berlandaskan pada fakta-fakta spesifik atau khusus dalam saling kaitan antara penelitian, penciptaan teori, dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial baik metode induktif maupun metode deduktif sama-sama penting peranannya.


Tidak selamanya sebuah hasil penelitian seorang ilmuwan dapat diterima oleh ilmuwan-ilmuwan lainnya. Bila terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil penelitian, khususnya banyak terjadi dalam bidang sains, maka keputusan mengenai kebenarannya diserahkan kepada suatu komuniti ilmiah yang terdiri dari para ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian maka kegiatan penelitian yang dilakukan secara individual dan idiosinkretik yang tidak dapat dilakukan oleh peneliti lainnya, hasil penelitiannya tidak dapat dikatakan sebagai fakta ilmiah. Walaupun fakta-fakta empirik itu amat penting peranannya dalam metode ilmiah, tetapi kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan. Agar fakta-fakta tersebut mempunyai makna, maka fakta-fakta tersebut harus ditata dan diklasifikasi berdasarkan metode yang berlaku, dianalisis, digeneralisasi, dan dikaitkan antara satu dengan lainnya.


Dalam ilmu-ilmu sosial, masalah obyektivitas dari informasi yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan suatu isyu yang utama dalam metode ilmiahnya. Sebab, berbeda dengan dalam sains, informasi yang dikumpulkan itu berasal dari dan mengenai kegiatan- kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya, sehingga dapat melibatkan hubungan perasaan dan emosional diantara peneliti dengan pelaku yang diteliti. Untuk menjaga obyektivitas tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptik;

2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, dan kecenderungan-kecende-rungannya untuk menolak atau menyukai data yang telah dikumpulkannya;

3. Ilmuwan harus secara etika bersikap netral atau terbebas dari membuat penilaian-penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya, dan dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian mengenai data yang diperolehnya itu apakah sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu pula dalam kesimpulan-kesimpulannya dia tidak boleh menganggap bahwa datanya tersebut adalah data akhir, mutlak, atau kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulannya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu dan tempat dimana penelitian itu dilakukan.


Untuk menjaga nilai obyektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;

2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;

3. Pengumpulan data dilakukan secara obyektif;

4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;

5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, dan prediksi-prediksi (khususnya dalam ilmu ekonomi) mengenai gejala- gejala yang dikaji.


Secara garis besarnya ada dua macam penelitian; yaitu: (1) Penelitian Dasar (basic research), penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teori-teori ilmiah atau prinsip- prinsip mendasar dan umum dari bidang ilmu yang bersangkutan, dan yang penemuan teori-teori ilmiahnya tersebut dapat digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat aplikasi agar hasilnya lebih baik; dan (2) Penelitian untuk aplikasi (applied research), yang ditujukan untuk menemukan teori-teori atau prinsip-prinsip yang mendasar dan umum dari masalah yang dikaji untuk dapat memecahkan/mengatasi masalah tersebut dan masalah-masalah lainnya yang tergolonga dalam tipe dan kelas yang sama. Masalah-masalah tersebut dapat berupa, atau berkaitan dengan masalah-masalah, bisnis, pemerintahan, perburuhan, pendidikan, ketegangan sosial, dan sebagainya.


Disamping itu, kegiatan-kegiatan penelitian juga dapat digolongkan menurut corak kegiatannya; yaitu: (1) Penelitian yang dilakukan secara individual, yang dalam hal mana peneliti melakukan kegiatan penelitian semata-mata berlandaskan pada perhatian ilmiah dan bebas dari pengaruh keinginan birokrasi pemerintahnya ataupun kepentingan praktis untuk memecahkan sesuatu masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya; kegiatan penelitian seperti ini hanyalah dengan tujuan untuk memperdalam pengetahuannya dan untuk penciptaan/penemuan teori baru atau verifikasi teori yang sudah adal; dan (2) Penelitian terorganisasi sebagai sebuah kelompok penelitian, yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti untuk suatu masalah penelitian yang satu atau untuk sejumlah masalah penelitian yang saling berkaitan dan terkordinasi satu sama lainnya; kegiatan penelitian terorganisasi biasanya dilakukan untuk suatu tujuan aplikasi tertentu. Sesungguhnya kegiatan penelitian aplikasi tidak hanya dilakukan secara terorganisasi dalam bentuk sebuah kelompok peneliti tetapi dapat juga dilakukan oleh seorang peneliti saja. Karena peneliti tersebut biasanya dibantu oleh sejumlah asisten dalam melakukan kegiatan penelitiannya maka juga seringkali kegiatan penelitian seperti ini digolongkan sebagai kegiatan penelitian terorganisasi dalam kelompok.



Tahapan-tahapan Penelitian


Setiap kegiatan penelitian selalu dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan; dan tahapan-tahapan tersebut dila-kukan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam metode ilmiah. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Masalah penelitian didefinisikan;

2. Masalah penelitian tersebut dinyatakan/diungkapkan dalam kaitannya dengan sesuatu kerangka teori tertentu dan berkaitan dengan penemuan-penemuan yang telah ada dari hasil-hasil penelitian sebelumnya oleh peneliti lainnya;

3. Sebuah hipotesis atau sejumlah hipotesis yang berkaitan dengan masalah penelitian tersebut diciptakan, yang dibuat berdasarkan atas teori-teori yang telah ada sebelumnya, dan hipotesis tersebut menjadi landasan bagi terciptanya masalah penelitian;

4. Prosedur pengumpulan data ditentukan;

5. Data dikumpulkan dengan menggunakan tehnik-tehnik penelitian yang telah dikemukakan dalam prosedur penelitian;
Data dianalisis untuk menentukan apakah hipotesis yang telah ditentukan itu dibenarkan/diterima ataukah ditolak; dan
Kesimpulan-kesimpulan dari kajian/penelitian yang dilakukan dihubungkan dengan kerangka teori semula yang digunakan, yang dapat menghasilkan sesuatu perubahan dari teori yang digunakan tersebut setelah diperbandingkan dan dianalisis dengan hasil- hasil penemuan dari penelitian tersebut.
Masalah Penelitian
Diantara berbagai kesukaran dalam melaksanakan penelitian sesuai dengan tahapan-tahapan penelitian, yang tersukar adalah pembuatan masalah penelitian. Tahap-tahap lainnya yang ada dalam prosedur penelitian di Indonesia, telah dipecahkan hambatan- hambatannya melalui berbagai kegiatan penataran dan latihan penelitian sehingga para peneliti Indonesia dapat menjadi pengumpul data yang baik. Tetapi pembuatan masalah penelitian memerlukan kesanggupan pengetahuan yang lebih banyak daripada hanya sekedar sebagai pengumpul data; dan kenyataan ini berbeda dengan pandangan orang awam pada umumnya.
Pada umumnya orang awam berpendapat bahwa masalah penelitian dalam kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial adalah sama dengan masalah sosial (yaitu gejala atau serangkaian gejala yang ada dalam kehidupan sosial yang coraknya menyimpang dari keteraturan sosial yang berlaku sehingga oleh para warga masyarakat digolongkan sebagai masalah sosial). Disamping itu, ada juga orang awam yang menganggap bahwa suatu penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari bidang ilmu-ilmu sosial hanyalah bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang aneh atau unik atau menarik hati. Anggapan-anggapan seperti tersebut diatas tentu saja tidak benar. Karena sama halnya dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli dalam bidang sains dan teknologi, penelitian- penelitian yang dilakukan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial juga bertujuan untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum mengenai hakekat hubungan diantara variabel-variabel yang ada dalam sasaran penelitiannya. Hanya bedanya dengan sains adalah teori-teori yang ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial adalah teori penjelasan dan bukannya rumus-rumus atau hukum-hukum.
Kalau sebuah masalah sosial itu pada hakekatnya berasal dari dan terwujud dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan, maka sebuah masalah penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penciptaan sebuah masalah penelitian dilakukan dengan berlandaskan pada pembuatan sebuah proposisi (teori atau hipotesis yang belum diuji kebenarannya) yang kerangka acuannya adalah hasil pengkajian mengenai kaitan hubungan antara sejumlah teori yang sudah ada dan relevan, dan yang hasil kajian tersebut dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Dari hasil kajian tersebut dapat tercipta masalah atau masalah-masalah teori yang perlu dikaji kebenarannya berdasarkan atas fakta-fakta.
Penciptaan sebuah masalah penelitian, dengan demikian, adalah sama juga dengan penciptaan suatu model teori atau hipotesis yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi kegiatan penelitian dan bagi mengungkapkan kebenaran dari proposisi yang telah dibuat tersebut.
Dengan demikian pula, setiap kegiatan ilmiah, sebenarnya sama dengan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menguji dan memantapkan kebenaran sesuatu teori atau teori-teori yang ada dengan berdasarkan atas bukti-bukti yang telah dikumpulkan dalam penelitian.
Pembuatan Masalah Penelitian
Pembuatan masalah penelitian dimulai dengan memilih masalah penelitian. Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam memilih sebuah masalah penelitian. Pertama, masalah dibuat berdasarkan atas masalah sosial yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, yang dilihat dan dirasakan sebagai sebuah masalah oleh para warga masyarakat, yang kemudian diangkat sebagai sebuah masalah konseptual (contoh : Kurangnya Pengaruh Kontrol Orang Tua Terhadap Tingkat Kenakalan Remaja di Jakarta). Kedua, masalah penelitian dapat dibuat berdasarkan atas memperhubungkan kaitan antara satu konsep dengan konsep-konsep lain, yang menuntut dibuatnya penjelasan mengenai hakekat dari kaitan hubungan-hubungan yang diakibatkannya, dan menuntut adanya pembuktian mengenai kebenaran hakekat (teori atau hipotesis) tersebut berdasarkan atas bukti-bukti empirik yang secara obyektif dan ilmiah dapat dipertanggung-jawabkan (contoh: Hubungan Kekerabatan, Hubungan Kerja, dan Keberhasilan Bisnis Keluarga). Dari hasil pemilihan masalah seperti tersebut di atas, yang dihasilkan belumlah berbentuk sebuah masalah penelitian, tetapi baru sebuah Pernyataan Maksud Penelitian atau statement of intent.
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan untuk membuat sebuah masalah penelitian adalah mengolah pernyataan maksud penelitian yang telah dibuat melalui tahap-tahap berikut ini.
Membaca, menyeleksi, dan memperdalam konsep-konsep yang relevan dengan masalah penelitian yang dipilih.
Membaca dan menyeleksi hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian yang telah dipilih dan secara terseleksi menggunakan penemuan-penemuan yang telah dihasilkan berbagai penelitian terdahulu; baik mengenai tesis atau teorinya, maupun mengenai datanya yang relevan kegunaannya bagi masalah penelitian tersebut.
Membuat hipotesis, yaitu memperlakukan masalah penelitian yang telah dipilih itu sebagai terdiri atas satuan-satuan variabel yang hubungan sebab akibat di antara variabel-variabel tersebut menghasilkan hipotesis atau teori yang perlu dibuktikan kebenarannya.
Membaca dan mempelajari wilayah-wilayah masyarakat dan kebudayaannya untuk diseleksi dan dijadikan sasaran penelitian (sebagai kasus) untuk pembuktian kebenaran hipotesis yang telah dibuat.
Pendekatan Kualitatif dan Obyektivitas Data
Bila sebuah masalah penelitian telah dibuat, maka tahap berikutnya adalah membuat rencana penelitian, yang pembuatannya dilakukan dengan berlandaskan pada masalah penelitian tersebut. Masalah penelitian menentukan luasnya ruang lingkup dan tingkat kedalaman dari data yang akan dikumpulkan dalam penelitian, serta menentukan pendekatan yang akan digunakan sebagaimana terwujud dalam teknik-teknik pengumpulan data dan analisis data. Dalam penelitian ilmiah, secara garis besarnya terdapat dua golongan pendekatan : yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia, sedangkan pendekatan kuantitatif memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu di dalam kehidupan manusia yang dinamakannya sebagai variabel. Dalam pendekatan kuantitatif hakekat hubungan di antara variabel-variabel dianalisis dengan menggunakan teori yang obyektif, sedangkan di dalam pendekatan kualitatif yang dianalisa bukannya variabel-variabel, yang sebetulnya adalah gejala sosial, tetapi prinsip-prinsip umum yang paling mendasar yang menjadi landasan dari perwujudan satuan-satuan gejala tersebut, yang dianalisis dalam kaitan hubungan dengan prinsip-prinsip umum dari satuan-satuan gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan dari hasil analisis tersebut dianalisis lagi dengan menggunakan seperangkat teori yang berlaku.
Dengan demikian, jelas perbedaan sasaran kajian antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif, di mana sasaran kajian kuantitatif adalah gejala, sedangkan sasaran kajian pendekatan kualitatif adalah prinsip-prinsip umum dari perwujudan gejala-gejala. karena gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan manusia itu terbatas banyaknya, dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik, yang secara kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur secara kuantitatif, dan begitu juga dalam hal penganalisaan data yang telah dikumpulkan. Sedangkan di dalam pendekatan kualitatif pengukuran dari makna dan peranan gejala-gejala yang menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam kebudayaannya tidak dapat dilakukannya secara obyektif dengan menggunakan ketepatan perhitungan kuantitatif karena makna dari satuan-satuan gejala tidak hanya dapat dilihat di dalam satu konteks saja tetapi juga dapat dilihat dari banyak konteks yang tidak terkontrol.
Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran kajian/penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai sebuah satuan atau sebuat kesatuan yang menyeluruh. Karena itu pendekatan kualitatif biasanya juga dikaitkan dengan pengertian yang sama dengan pendekatan yang dalam antropologi dikenal dengan istilah pendekatan holistik. Dalam pendekatan tersebut tidak dikenal adanya sampel, tetapi penelitian kasus, yaitu sasaran penelitian dilihat sebagai sebuah kasus yang diteliti secara mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai kasus tersebut.
Dalam pendekatan kualitatif metode penelitian yang umumnya digunakan adalah :
Metode pengamatan yang digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti. Dengan menggunakan metode pengamatan seorang peneliti, dengan berpedoman pada kategori dan kelas tingkat gejala yang harus diamati, dapat mengumpulkan kumpulan data yang lengkap berkenaan dengan gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa dsb) dan kaitan hubungan antara satu dengan lainnya yang mempunyai makna bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.
Metode pengamatan terlibat, sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada sesuai makna yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk di dalam pengertian metode pengamatan terlibat adalah melakukan wawancara atau berkomunikasi dengan para warga masyarakat yang diteliti dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarkan.
Wawancara dengan pedoman, adalah suatu teknik untuk mengumpulkan keterangan dari para anggota masyarakat mengenai suatu masalah khusus dengan teknik bertanya yang bebas yang tujuannya adalah memperoleh informasi dan bukannya memperoleh pendapat atau respons. Contoh penggunaan metode wawancara dengan pedoman adalah mengumpulkan data mengenai sistem kekerabatan yang di dalamnya tercakup informasi mengenai aturan-aturan berkenaan dengan struktur kedudukan dan peranan di antara mereka yang tergolong sekerabat dan yang struktur tersebut tercermiun di dalam sistem istilah kekerabatan. Karena itu pemberi keterangan atau informasi di dalam penelitian kualitatif, yang biasanya dilakukan oleh para ahli antropologi, adalah informan. Ini dibedakan dengan penelitian yang menggunakan kuesioner yang pada dasarnya bertujuan mengumpulkan data mengenai respons atau pendapat yang diwawancarai mengenai suatu gejala atau persitiwa, yang pemberi keterangan atau responsnya dinamaka responden.
Dalam setiap kegiatan penelitian yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial, apakah penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif ataupun pendekatan kuantitatif, kegiatannya selalu berpedoman pada pada metode ilmiah (sebagaimana yang telah dibahas terdahulu). Sehingga obyektivitas dari kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tanggung jawab ilmiahnya dapat ditunjukkan. Sedangkan obyektivitas data, apakah itu penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, ditentukan oleh kesanggupan si peneliti di dalam menggunakan metode penelitiannya mengumpulkan data, dan dengan pengetahuan teorinya dalam menganalisis data yang telah dikumpulkan. Kebenaran atau validitas data tidak absolut atau universal.
Penutup
Uraian singkat yang telah disampaikan hanya merupakan pokok-pokok yang patut diketahui mengenai hakekat penelitian. Semua kegiatan penelitian ilmiah, baik dilihat dari segi perbedaan antara sains dan bukan-sains maupun dilihat dari segi pendekatannya yang kualitatif atau kuantitatif, kesemuanya menjadi ilmiah karena berlandaskan pada metode ilmiah; dan semua metode ilmiah yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan apapun, pada dasarnya sama, yaitu penciptaan teori ilmiah yang obyektif. Validitas atau kesahihan data atau teori harus dilihat dalam kaitan metodologi yang digunakan, yang bisa berbeda antara yang terdapat dalam satu bidang ilmu pengetahuan dengan bidang ilmu lainnya yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial. Sejumlah teori yang dikembangkan dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial dapat berkembang sedemikian rupa sehingga digolongkan sebagai sahih untuk bidang ilmu pengetahuan lainnya yang juga tergolong dalam ilmu-ilmu sosial. Ini dimungkinkan karena sifat-sifat ilmu sosial yang eklektik dan terbuka, berbeda dengan sains

*) Makalah dalam Penataran Metode Penelitian Kualitatif di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tahun 1991.