Sunday 28 November 2010

Sejarah Suku Betawi

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa. Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda. Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India. Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara. Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis. Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan. Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis. Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu. Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara. Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan. Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni. Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing. Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini. Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta. Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Sejarah Glodok

Glodok adalah salah satu bagian dari kota lama Jakarta. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini juga dikenal sebagai Pecinan -- bahkan yang terbesar di Indonesia -- karena mayoritas pedagang di Glodok merupakan masyarakat keturunan Tionghoa. Di masa kini Glodok dikenal sebagai salah satu sentra penjualan elektronik di Jakarta, Indonesia. Secara administratif, daerah ini termasuk dalam wilayah kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda "Golodog". Golodog berarti pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa(Jakarta) merupakan pintu masuk ke kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi atau Batavia, Sunda Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan 'G' jadi 'K' di belakang sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda, terutama suku Jawa dan Melayu yang kemudian banyak menghuni Jakarta. Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah. Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) – pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok. Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga ke luar Jakarta. Pada 4 Oktober 1984, tiga gedung Bank Central Asia (BCA), satu di antaranya di Glodok, dibom. Beberapa orang yang dituduh terlibat dalam kasus ini ditangkap, termasuk H.R. Dharsono. Pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang menyebabkan turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya, Pasar Glodok menjadi sasaran amuk massa yang paling parah. Banyak toko yang dijarah dan kemudian dibakar. Pada 13 Mei 2000, daerah Glodok kembali dirusak oleh massa yang mengamuk setelah Mabes Polri melakukan razia terhadap para penjual VCD porno. Terbit desas-desus bahwa kerusuhan ini dimaksudkan untuk menggoyahkan kedudukan Presiden Abdurrahman Wahid.

Sejarah Kelurahan Kampung Melayu

Kelurahan Kampung Melayu, dewasa ini merupakan nama sebuah kelurahan di Jakarta Timur. Kampung Melayu juga merupakan nama sebuah stasiun pemberhentian kendaraan umum yang penting di Jakarta Timur. Kelurahan ini terletak di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Daerah yang rawan banjir ini, karena terletak di tepi kali Ciliwung, zaman dahulu adalah tempat pemukiman bangsa Melayu. Kampung Melayu pada zaman penjajahan Belanda terletak di luar kota Batavia tetapi di dekat kota satelit Jatinegara atau juga disebut dengan nama Meester Cornelis. Nama daerah ini disebut kampung Melayu karena kemungkinan besar kala itu ini tempat permukiman para pendatang Melayu. Selain Kampung Melayu banyak toponim-toponim lain di Jakarta yang menyebut nama sebuah suku atau kelompok etnis. Kemungkinan besar perkampungan-perkampungan ini zaman dahulu memang permukiman suku bangsa tersebut.

Sejarah Depok, Pondok Cina, dan Margonda

Awalnya Depok merupakan sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696 seorang pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah yang meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya dan Bojonggede. Chastelein mempekerjakan sekitar seratusan pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina.

Selain mengelola perkebunan, Cornelis juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat DEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal. Sampai saat ini, keturunan pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga. Adapun marga-marga tersebut adalah :

1. Jonathans
2. Laurens
3. Bacas
4. Loen
5. Soedira
6. Isakh
7. Samuel
8. Leander
9. Joseph
10. Tholense
11. Jacob
12. Zadokh

Tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat Gemeente (Desa Otonom).

Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942. Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung. Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha, namun dihapus pada tahun 1952 setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak lainnya.

Sejak saat itu, dimulailah pemerintahan kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui proyek perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I dan Perumnas Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok yang lebih pesat sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk kota Administratif Depok yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud).

Sejak tahun 1999, melalui UU nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :

1. Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
2. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
4. Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 2.595,3 Ha.
5. Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
6. Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.

ASAL USUL PONDOK CINA

Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong. Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok. Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.

Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota. Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.

Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu. Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar. Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api. Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat. Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.

Sebagai daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok. Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu menyulitkan mereka. Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa memakan waktu setengah hari, pedagang-pedagang tersebut membuat tempat transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong. Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut. Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.

Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina. Sebutan ini berawal ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam. Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa. Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”

Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang. Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah. Yang tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan Tionghoa. Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri. Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda. Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke tempat lain. Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.

“Saya sangat senang tinggal disini, karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”. Dulunya, cerita Sri, penduduk di Pondok Cina sangat sedikit. Itupun masih terbilang keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,” kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.

“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan disini,” kata ibu Sri lagi. Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat. Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini. Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas di Pondok Cina.

ASAL USUL MARGONDA

Margonda yang kini menjadi nama jalan protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda. Yang jelas, nama Margonda kini identik dengan Depok. Sebut saja “Margonda”, maka pasti orang akan mengasosiasikannya dengan “Depok”, beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang kian terus berkembang.

Sejarah Depok ”Dikalahkan” Kepentingan Bisnis

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Namun, pepatah tersebut tampaknya tidak berlaku bagi bangsa ini. Entah berapa banyak peninggalan sejarah di negeri ini harus kandas oleh kepentingan-kepentingan bisnis.
Salah satunya adalah Rumah Tua Pondok Cina, situs sejarah berharga bagi Kota Depok, Jawa Barat. Sepintas rumah tersebut mungkin tak berarti apa-apa. Selain gaya arsitektur Indies yang dimiliki serta beberapa kuburan tua di atas lahan seluas 1,5 hektare, lahan tersebut tak punya kelebihan lain sebagai daya pesona. Namun, jika kita mengacu pada nilai sejarah yang dimiliki Kota Depok, rumah tua itu justru sangat berharga bagi perkembangan wilayah tersebut. Hal ini karena rumah tua Pondok Cina sangat identik dengan sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Depok.
Situs tersebut merupakan saksi sejarah bagaimana etnis ini berusaha tetap eksis di wilayah Depok sekitar abad ke-18. Akhirnya tanah tersebut dibeli seorang warga Tionghoa bermarga Tan. Konon keluarga marga Tan inilah yang kemudian membangun Rumah Tua Pondok Cina serta menyediakan lahan pekuburan bagi keluarga dan penduduk sekitar. Menurut Rojak (83), seorang warga setempat, keberadaan rumah tua itu sudah merupakan bagian penting dari keberadaan daerah bernama Pondok Cina ini. “Mungkin salah satu sebab daerah ini dinamakan Pondok Cina karena keberadaan situs ini,” ujar Rojak. Meskipun nilai sejarah gedung itu cukup tinggi, ternyata realitas berkata lain. Bangunan yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda ini pun harus tergerus gilasan zaman. Selain semakin memprihatinkan karena termakan usia dan kurang terurus, bangunan itu pun kini akan tergusur oleh kepentingan bisnis yakni proyek pembangunan pusat niaga Margonda atau yang lebih dikenal sebagai Margo City Square. Keberadaan situs sejarah Depok tersebut terutama kuburan tua di Jalan Margonda itu nyaris punah. Bahkan, bebeberapa bagian rumah penghubung gedung inti juga tinggal kerangkanya. ”Sejak sebagian tanah bangunan tersebut dijual kepada pengembang pusat niaga itu, kondisinya semakin parah,” tutur Ali (80), warga lain. Dia mengaku khawatir dalam waktu dekat bangunan rumah tua yang selama ini menjadi simbol kawasan Pondok Cina akan hilang. Ali mengaku sebagai warga dia tak dapat berbuat apa-apa karena memang lahan itu bukan miliknya. Tapi dia berharap Pemerintah Kota Depok memperhatikan juga nasib situs bersejarah tersebut.
Sementara itu, PT Puri Dibya Properti, pengembang Margo City Square, berjanji tidak akan menghilangkan situs bersejarah tersebut. Menurut Manajer Operasional PT Puri Dibya, Tombok Suhendra kepada SH, memang sebagian bangunan asli rumah tua ini sudah rata dengan tanah, namun tidak seluruh bangunan akan diratakan. “Gedung inti bangunan yang berada di bagian depan tetap akan kami pertahankan. Bahkan, kuburan yang ada di sana tetap dipertahankan karena pemilik rumah masih sering datang ke sini untuk berziarah. Kami tidak mungkin menghilangkan rumah tua itu karena bangunan tersebut termasuk situs sejarah Kota Depok,” tutur Tombok. n





Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/27/jab03.html

Sejarah Pondok Cina dan The Old House

mungkin untuk kita yang sering jalan-jalan di daerah depok, pasti tau Pondok Cina atau sering disebut POCIN. Dahulu nii sebagai daerah pertanian yang makmur, Depok menjadi tujuan para pedagang dari Batavia, terutama etnis tionghoa. Semua pedagang terdaftar dengan baik, tetapi ternyata Cornelis Chatelein melarang orang-orang Tionghoa kala itu untuk tinggal di depok, karena kebiasaan mereka meminjamkan uang dengan biaya bunga sangat tinggi , suka main judi, dan membuat onar. Menurut Chalestein, hal itu akan mengganggu ketentraman Depok. Lalu mereka diperbolehkan berdagang sampai siang, dan sore hari harus keluar dari Depok, Waktu itu perjalanan ke Batavia masih menggunakan rakit melalui kali ciliwung. Bagi yang kemalaman mendirikan pondok-pondok didekat depok untuk menginap. Mereka diawasi. Dan yang akhirmya sekarang dikenal dengan Pondok Cina. Nahh kalau kita tau Pondok Cina yang berada di jalan margonda raya, disana juga terletak Mall Margo City dan sebuah bangunan kuno berwarna putih dengan design bangunan Belanda dari tahun 1841. Bangunan tersebut dimiliki dan dirikan oleh seorang arsitek Belanda, tetapi pada pertengahan abad ke 19 dibeli oleh Lauw Tek Lock dan diwariskan kepada puteranya Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang. Rumah ini pernah menjadi tempat persinggahan Cornelis Chastelein, tetapi sekarang dialih fungsikan menjadi sebuah café bernama The Old House Cofee.





http://oktaviayantisblog.blogspot.com/2010/03/sejarah-pondok-cina-dan-old-house.html

Sejarah Singkat Keris Kyai Setan Kober

Keris Kyai Setan Kober merupakan sebilah keris pusaka luk 13 yang diciptakan oleh Mpu Bayu Aji pada zaman kerajaan Pajajaran (1150). Mpu Bayu Aji adalah seorang mpu yang sangat mumpuni dan berpengatahuan sangat luas. Beliau juga mempunyai murid-murid dari bangsa jin dan siluman karena tempat tinggal sang mpu berada di tepi hutan yang sangat angker di daerah Cirebon. Karena kewaskitaan beliau, banyak dari golongan para jin yang selalu ingin menimba ilmu dan mengabdi padanya. Sang mpu merasa jengkel karena sangat sering mendengar rengekan para jin yang ingin berguru padanya. Hingga suatu hari sang mpu tengah menciptakan sebilah keris pusaka luk 13. Ketika sang mpu sedang mengheningkan cipta untuk memasukkan daya magis pada keris tersebut, konsentrasinya terganggu gara-gara rengekan para jin. Akhirnya keris pusaka tersebut menjadi tidak sempurna, dan dinamakan sebagai Keris Kyai Setan Kober. Karena tercipta akibat daya panas dan ambisi yang besar. Konon keris ini pernah jatuh ke tangan Arya Penangsang, Adipati Jipang – Panolan, pada masa Kerajaan Demak Bintoro (1521 – 1546).

SEJARAH KEBUN BINATANG JAKARTA

SEJARAH KEBUN BINATANG JAKARTA 140 tahun dalam 140 Ha


Dua abad sudah terlewati dalam perjalanannya Kebun Binatang Jakarta dan tetap tegar dalam memasuki abad ke 21. Semula kebun binatang ini berada pada areal seluas 10 Ha milik seorang pelukis pribumi terkenal bernama Rd. Saleh . Terletak di pusat kota jakarta yaitu tempat pusat kesenian jakarta Taman Ismail Mardjuki Cikini Thn 1864. Kebun Binatang ini dikelola oleh perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna di Jakarta
( Culturule Vereniging Planten en Direntuin at Batavia ) selepas revolusi tepatnya tahun 1949 diganti menjadi Kebun Binatang Cikini. Bersamaan dengan kian pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta perlu dicari tempat baru yang lebih memadai dan menjamin kehidupan satwa dan pengembangannya.Akhirnya pada perayaan seabad kelahirannya di tahun1964 ,pemerintah DKI Jakarta memindahkannya pada areal yang lebih luas dengan bentang alam yang lebih menarik yaitu di wilayah Ragunan Jakarta Selatan ,disebutlah nama Taman Margasatwa Jakarta dan lebih dikenal Kebun Binatang Ragunan. Keberhasilan pemindahan ke lokasi di Ragunan tidak lepas dari jasa 3 tokoh yaitu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin serta Benyamin Galstaun dan Nyonya. Pada awalnya luas lahan di Ragunan sekitar 28 Ha, menjelang umurnya yang ke 140 luas lahan di Ragunan telah mencapai 140 Ha. Dari rencana awal oleh Gubernur Ali Sadikin seluas 200 Ha. Pada lokasi inilah dipertaruhkan nama dan citra Kebun Binatang Jakarta . Pada usianya yang ke 140, Kebun Binatang Ragunan terus berbenah melangkah maju ,menatap masa depan dengan penuh optimisme, untuk menjadi kebun binatang terbaik di Dunia. Kebun binatang modern yang berpegang pada prinsip-prinsip yang berlaku untuk kebun binatang global( universal), mampu mensejahterakan satwa yang ada selaras dengan ekosistem yang ada. Suatu kebun binatang yang mampu memadukan potensi kekayaan alam dalam satu kesatuan, yaitu menyatukan satwa seperti di alam dalam fasilitas besar dan alami. Contoh yang sudah dibangun adalah Pusat Primata Schumtzer Taman Margasatwa Ragunan yang sudah diakui berbagaio kalangan sebagai fasilitas primate terbaik di dunia. Divisi lain kerusakan lingkungan akibat bencana alam atau penebangan hutan yang tidak terkendali yaitu 2,5 juta Ha hutan Indonesia rusak setiap tahunnya dan 75% penebanagan kayu terjadi secara illegal hali ini menyebabkan kerusakan habitatt terhadap berbagai jenis satwa dan akhirnya mendorong kepada kepunahan jenis, menurunnya keanekaragaman jenis, potensi obat-obatan dan produk lain berkurang,, resiko hama penyakit akan meningkat dan daya tarik alam Indonesia untuk wisata alam berkurang. Untuk itu semakin terasa peranan pentingnya keberadaan suatu Kebun Binatang sebagai jendela terakhir penyelamat lestarinya beberapa jenis satwa langka melalui upaya konservasi ek-situ . Peranan Kebun Binatang tidak saja sebagai sarana rekreasi juga membantu dalam dunia pendidikan penelitian dan apresiasi terhadap alam dan satwa liar. Inilah Kebun Binatang Jakarta tetap jaya dalam nuansa asri,serasi dan lestari. Sejak awal berdirinya Kebun Binatang Jakarta disiapkan sebagai tempat rekreasi yang khas dan spesifik diantara tempat rekreasi di Ibukota . kehadirannya harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat ,sebagai wahana kilas balik penyegaran jasmani .Suasana bentang alam ragunan dengan tutupan canopy dan keanekaragaman hijauan yang padat membuat suasana sejuk dan asri.Jalan setapak ,hamparan rumput lapangan yang hijau , aliran sungai dan genangan danau memunculkan nuansa alam belantara di perkotaan.Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bukan saja untuk pengunjung ,tetapi menjadi sangtuari berbagai jenis burung dan tempat nyaman untuk kehidupan satwa lainnya. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang sangat berarti, tiga juta orang lebih setiap tahunnya berkunjung ke Kebun Binatang Jakarta .Pada tahun 2003 jumlah pengunjung yang datang ke kebun binatang mencapai 3.121.677 orang .Sementara itu dalam suasana liburan sekolah pada bulan Juli tahun 2004 dalam satu bulan pengunjung ke Kebun Binatang mencapai 334.782 orang.Pada hari biasa dalam 3 (tiga ) tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung.Hal ini memperlihatkan bahwa suasana metropolis Ibukota dengan berbagai persoalannya telah merambah kepinggiran kota khususnya pada lokasi Rekreasi. Kebun Binatang telah menjadi pilihan masyarakat untuk melakukan rekreasi.Kehadiran di Kebun Binatang ini kian terasa benar-benar bermain di alam ketika memasuki Pusat Primata Schmutzer (PPS).Di lokasi ini pengunjung diajak menikmati suasana yang lain dari hanya sekedar melihat kebun binatang.Suasana yang menyatukan tempat hidup satwa serasa di alamnya dan pengunjung dapat lebih dekat mengenal satwa dalam kerimbunan hijauan yang tertata asri.Sistem peragaan yang sangat berbeda dengan konsep sebelumnya menampilkan suasana peragaan kebun binatang modern .Hubungan antar peragaan saling menyatu sehingga tidak membosankan waktu kunjungan. Sejak dibukanya PPS pada bulan Agustus 2002 sampai bulan juli 2004 telah didatangi pengunjung sekitar 830.239 orang.Pertambahan jumlah pengunjung PPS dalam 6 bulan terakhir ( Januari – Juli 2004 ) menunjukan peningkatan sekitar 100% pada bulan yang sama thn 2003.Keberadaan PPS telah membantu mengangkat citra Taman Margasatwa Ragunan dengan merubah image masyarakat tentang kebun binatang.Pengunjung Kebun Binatang Jakarta tetap menikmati kunjungan dalam suasana Asri, Serasi dan Lestari. Bila anda berkunjung ke Taman Margasatwa Ragunan jangan lupa mengunjungi Si “Panjang" dan juga mampir ke Si “Conny". Kedua jenis satwa tersebut merupakan penghuni paling lama di Ragunan. Si Panjang - begitulah namanya sesuai dengan tubuhnya yang besar dan panjang merupakan jenis buaya muara (Crocodylus porosus). Panjangnya lebih dari 6 meter (belum ada pengukuran resmi – hanya perkiraan) dengan berat sekitar 600 kg (belum ada pengukuran resmi – hanya perkiraan). Mau tahu usianya ? mungkin kita harus memanggil "Si Mbah" karena usianya sudah cukup tua, 66 tahun. Sedangkan si Conny, begitulah nama yang diberikan merupakan jenis Simpanse (Pan troglodytes) berasal dari Afrika. Tingginya sekitar 1,5 m dan beratnya sekitar 80 kg . Mau tahu juga berapa usianya, 64 tahun - suatu record tersendiri bagi simpanse yang rata-rata usianya hanya 40 tahun di alam, sedang di penangkaran 50 tahun. Rupanya kondisi lingkungan di Indonesia terutama di Jakarta yang tropis sangat berpengaruh terhadap perkembangan si Conny sehingga ia dapat berumur panjang. Kini ia tinggal bersama saudara-saudaranya Petsy, Kampo, Monica dan Kasa. Keberadaan si Panjang dan si Conny tidak lepas dari sejarah kebun binatang Ragunan sendiri. Mereka merupakan saksi sejarah kepindahan kebun binatang Cikini ke Ragunan pada tahun 1964 dan dibuka pada tahun 1968. Berdasarkan keterangan Momon (79 tahun) - karyawan TMR kini sudah pensiun yang pernah merawat kedua satwa tersebut - merawat Si Panjang dilakukan sejak tahun 1941 waktu usianya baru 3 tahun dan panjangnya sekitar satu meter. Buaya tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat Sumatera Selatan. Sedang Si Conny dirawatnya dua tahun kemudian - tahun 1943 mulai dari usia 2 tahun berasal dari kebun binatang Barcelona, Spanyol. Dilihat dari usianya yang cukup panjang, buaya merupakan salah satu jenis reptil yang berhasil selamat hingga kini sejak periode Triassic 200 juta tahun yang lalu – berarti dari zaman dinosaurus buaya tidak ikut punah ketika meteorit menghujam ke bumi, dimana banyak dinosaurus punah kecuali kelompok yang berkembang menjadi burung pada 65 juta tahun yang lalu. Secara klasifikasi buaya dikelompokkan ke dalam Klas Reptilia Ordo Crocodylia dengan Familia Crocodylidae. Di alam terdapat sekitar 25 jenis buaya dengan kerabatnya seperti aligator, kaiman, konoko dan gavial. Mereka banyak diketemukan di beberapa bagian yang beriklim hangat di Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Buaya dapat dibedakan dari bentuk moncongnya yang berbeda bentuk dari jenis satu ke jenis lainnya. Buaya muara atau buaya air asin (salt water-crocodile) merupakan salah satu jenis buaya yang paling besar dan berbahaya di dunia, panjangnya dapat mencapai 6,5 meter, bahkan ada laporan sampai 9 meter, ia dapat tumbuh sepanjang hidupnya. Konon buaya muara paling banyak menyerang manusia, di Indonesia setiap tahun masih ada laporan buaya muara menyerang manusia. Buaya muara bersifat pengembara, Ia sering berkelana di kepulauan Indonesia bahkan pernah sampai ke Kepulauan Fiji dan pulau-pulau terpencil lainnya. Buaya muara termasuk satwa kosmopolit, penyebarannya meliputi India, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Indonesia sampai ke Australia. Mereka banyak mendiami daerah pantai, muara, hutan bakau, rawa dan laut. Dapat hidup baik di air tawar maupun air laut. Di alam mereka memakan mulai dari binatang kecil seperti ikan, burung, penyu dan mammalia sampai bangkai. Ukuran mangsa tergantung besarnya buaya. Buaya muara mencapai dewasa pada usia 5 - 10 tahun, pada saat itu panjangnya sudah mencapai 2,5 - 3,5 meter. Musim berkembang biak berlangsung pada musim kering. Membuat sarangnya di pinggiran sungai, menggunakan tumpukan pasir atau lumpur dicampur dengan daun-daunan, ranting pohon dan serpihan dari tanaman lainnya. Betina bertelur sebanyak 90 butir. Telur tersebut mengalami masa inkubasi selama 4 bulan. Selama masa inkubasi betina terus menjaganya dari predator seperti biawak sampai telur-telur tersebut menetas. Si Conny merupakan jenis simpanse (Pan troglodytes). Ia termasuk kera - apes bukan monyet - monkey dan tidak berekor. Lengannya lebih panjang dari kaki. Apabila berlari menggunakan ke empat anggota badannya (quadrapedal), tetapi mereka dapat berjalan dengan 2 kaki (bipedal). Secara klasifikasi simpanse termasuk Klas Mammalia, ordo Primata dan famili Pongidae. Tingginya sekitar 1 - 1,5 m dan beratnya dapat mencapai 100 Kg. Rambut hitam panjang kecuali pada bagian belakang ada sedikit warna putih. Pada bagian wajah, telinga, tangan dan kaki tidak ditumbuhi rambut. Di alam mereka banyak mendiami hutan tropis dan hutan terbuka di Guinea, Uganda, dan Tanzania. Mereka memakan segalanya dari buah-buahan, pucuk daun, bunga, akar-akaran, kulit kayu, madu, serangga sampai memakan hewan lainnya seperti bajing dan monyet. Dewasa kelamin pada usia 8-10 tahun. Betina melahirkan anak satu jarang kembar setelah masa kehamilannya berlangsung selama 7-8 bulan. Anaknya selalu dibawa kemana induknya pergi selama lima bulan pertama dan di asuhnya selama dua tahun. Di alam satwa ini dapat hidup selama 40 tahun. Sedangkan dipenangkaran dapat hidup selama 50 tahun.

PASAR BUDAK MANGGARAI JAKARTA

Mevrouw van Mook boleh jadi menyimpan kenangan buruk tentang Manggarai hingga akhir hayatnya. Istri bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook (1931 - 1948) itu pernah dikurung di Kamp Adek?bekas pesanggrahan para kuli Jawa sebelum dikirim rodi ke Sumatra?di Manggarai pada 1944, semasa Jepang menduduki Indonesia. "Hidup kita sudah tak ubahnya penduduk asli. Kurang makan, panas, digigit nyamuk malaria, cacingan," keluhnya ketika itu. Meester dan Mevrouw van Mook kini tinggal kenangan sejarah. Tapi realitas hidup di Manggarai yang dikeluhkan sang nyonya besar sebetulnya belum banyak bergeser sejak masa 1944: nyamuk masih tetap banyak, penyakit cacingan belum hilang, hawa justru makin panas oleh polusi dan padatnya penduduk. Perkara kurang makan? Itu hal rutin bagi sebagian penduduk. Belum lagi keresahan hidup karena pertikaian pagi dan petang sesama tetangga kampung. Apa yang membuat Manggarai sarat oleh beban sosial? Apakah karena sejak dua abad lalu daerah ini telah dihuni oleh kaum susah yang notabene para budak? Sejarah wilayah ini, mau tak mau, harus ditarik dari Jakarta Selatan ke Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur. Tersebutlah, pada awal abad ke-17, daerah Manggarai menjadi pusat perdagangan budak yang didatangkan dari Manggarai, Flores Barat. Bursa budak di kawasan ini erat hubungannya dengan Menteng Buurt (lingkungan Menteng), tempat banyak orang Belanda mencari jongos dan bedinde. Ketika perbudakan mulai sepi, pasar di sana tetap ramai. Tapi yang diperjualbelikan rumput makanan ternak, sehingga mewariskan nama Pasar Rumput sampai sekarang?tempat Anda mencari barang kelontong, barang bekas, nonton bioskop murah, dan berjoget disco dangdut. Tahun 1870, Belanda membangun jalan kereta api di daerah itu. Pada 1960, tanah-tanah PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) di daerah ini disulap menjadi wilayah pemukiman. Akibatnya, populasi meningkat pesat. Namun persoalan belum banyak. Outlet-outlet ekonomi di wilayah itu masih memungkinkan orang berbagi rezeki. Migrasi penduduk dari wilayah lain kemudian membentuk semacam melting pot: Cina, Jawa, Ambon, Betawi, Sumatra, Sunda, Bugis, Manado. Kini, para migran yang telah menginjak generasi kedua ini sudah bicara dalam logat "Jakarte" yang kental, dan dipersatukan oleh kesulitan hidup sehari-hari. Waktu berjalan. Pembangunan meningkat, begitu pula jumlah populasi. Peluang memperoleh rezeki, selain makin sulit, kian mudah menimbulkan pertikaian antarkampung. Ridwan Saidi, pengamat kebudayaan Betawi, mengatakan, konflik antarkampung bukanlah hal baru di Jakarta. Namun di Manggarai perseteruan ini menjadi khas karena topografi wilayah membuat intensitas pertemuan mereka makin tinggi dengan akses jalan yang itu-itu saja. Padahal, dari ideologi politik, sebagian dari mereka sama-sama pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Penduduk di sini kental masalah keagamaannya. Banyak orang Menteng Atas belajar mengaji di daerah Kawikawi. Dari segi etnis, menurut Ridwan, praktis tak ada persoalan. Mereka tumbuh seiring pembangunan jalan kereta api. Pertikaian di Manggarai makin serius tatkala nyawa menjadi mudah melayang. Orang lalu bicara tentang adanya persoalan sosial yang laten. Lalu, apa istimewanya pertikaian di wilayah ini dibandingkan dengan, misalnya, kerusuhan sosial serupa di wilayah DKI lainnya? Di sini, bahkan cuma di sinilah, "Unsur konflik masyarakat urban terpenuhi," kata Ridwan Saidi. Dari soal kepadatan penduduk, tingginya persaingan hidup, hingga topografi wilayah. Uniknya, warga kampung cenderung punya tendensi politik yang sama. Mereka kompak dalam kerusuhan 27 Juli maupun ketika menghajar anggota Pam Swakarsa. Melihat Manggarai masa kini, sulit membayangkan wajah daerah ini di masa 1950-an: hijau oleh petak-petak kebun sayur dan hutan belukar tempat penduduk Betawi setempat menggantungkan hidup. Kawasan ini kemudian terkena program perbaikan kampung Ali Sadikin pada 1960-an dan renovasi pasar pada 1970. Manggarai mulai "terpeta" oleh gang-gang sejak 1960-an dan kian tajam pada 1980. Era 1990-an, kehidupan pergengan kian "jaya". Bahkan, sepanjang 1998, tiada bulan yang lewat tanpa ada darah mengalir. Rupanya, setelah setengah abad, kehidupan di Manggarai menjadi jauh lebih kompleks daripada sekadar kurang makan, digigit nyamuk, atau cacingan, seperti yang diderita Mevrouw van Mook.




http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/12/08/INT/mbm.19981208.INT98126.id.html

Mengenang Meester Cornelis di Jatinegara

Di gapura itu tercetak tulisan “Pasar Mester”. Dari seberang Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur, hiruk pikuk manusia di sekitar gapura menyita pemandangan. Angkutan perkotaan (angkot) yang melintas pun selalu tergoda memperlambat lajunya. Memasuki gapura setinggi empat meter itu, hiruk pikuk semakin terasa. Orang-orang terkonsentrasi di dalam bangunan pasar dan lapak-lapak yang mengelilinginya. Pasar Mester memang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Jakarta Timur. Pasar ini menjadi salah satu rekomendasi bagi pemburu souvenir murah untuk pernikahan. “Pasar Mester awalnya hanya menjual bahan pokok, ayam, kambing, dan jahitan pakaian saja,” kata Muhammad Yunus, sesepuh Jatinegara. Perubahan pesat selama 60 tahun terakhir di Pasar Mester begitu lekat dalam ingatan pria kelahiran 10 Oktober 1945. Tahun 1948, kata dia, Pasar Mester hanya lapak-lapak kumuh yang dijaga para centeng. Centeng adalah sebutan preman yang menarik uang kemanan dari pedagang. “Centeng yang terkenal yaitu Kong Jaih. Ada sekitar tahun 1950,” ujar pria yang sejak usia 3 tahun menghabiskan waktu bermain di Pasar Mester. Bangunan permanen di Pasar Mester baru muncul sekitar tahun 1970. Bangunan itu kemudian direnovasi tahun 1989 setelah terbakar. Renovasi memakan waktu 1 tahun. ”Tahun 1991 pasarnya diresmikan sampai sekarang,” kata pria yang akrab disapa Babe Yunus. Pada masa Hindia Belanda, Mester tidak hanya merujuk pada bangunan pasar. Catatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Mester digunakan untuk menyebut seluruh kawasan Jatinegara. Letaknya sekira 20 kilometer dari pusat Kota Batavia di Pasar Ikan. Sejarah dimulai sejak 1661, saat guru agama Kristen asal Pulau Banda, Cornelis Senen, membuka kawasan hutan jati di daerah itu. Jabatannya sebagai guru agama membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya, yang artinya “tuan guru”. Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. “Orang awam sih dulu bilangnya mester tapi sebenarnya master. Ya sesuai dengan lidah orang Betawi biar gampang nyebutnya,” ujarnya. Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang menjadi kota satelit Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang. Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Kala itu Jepang berupaya keras menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Lantaran kawasan itu bekas hutan jati yang lebat, dipilihlah nama Jatinegara menggantikan Meester Cornelis. Tapi, penobatan Jatinegara tidak serta merta menghilangkan nama Mester. Nama sang “tuan guru” tetap terukir indah di pasar Jatinegara.



• VIVAnews

Kampung Jatinegara Kaum

Penamaan kampung Jatinegara Kaum mempunyai unsur historis yang dihubungkan dengan peristiwa penaklukan Jayakarta oleh VOC (Kompeni Belanda). Konon pada waktu kota Jayakarta direbut oleh Kompeni Belanda, Pengeran Jayakarta Wijayakrama (Bupati Jayakarta) menyelamatkan diri ke arah tenggara kota. Tempat pengasingan ini merupakan daerah hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon jati. Di tempat inilah beliau membuka hutan bersama pengikut-pengikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan dalam pengasingan. Selanjutnya Pangeran menyebut daerah ini dengan nama “Jati Negara”. Nama ini dapat diartikan sebagai “negara yang sejati” atau “pemerintahan yang sejati”. Lama kelamaan sebutan Jatinegara meluas dibarengi dengan meluasnya daerah tersebut. Untuk membedakan Jatinegara lama dengan Jatinegara hasil pengembangan kota, maka Jatinegara lama disebut Jatinegara Kaum. Kata “Kaum” ini dapat diartikan sebagai tempat pemukiman para santri sekitar masjid (pemeluk Islam yang taat). Tetapi sampai sejauh ini belum dapat dipastikan sejak kapan nama “Kaum” tersebut digunakan. Menurut informasi dari penduduk Cina yang telah lama tinggal disana mengatakan bahwa nama Jatinegara Kaum tidak dikenal, yang dikenalnya hanyalah sebutan “Kampung Dalem”. Tentunya sebutan ini mempuyai latar belakang sejarah. Sebutan Dalem menunjukkan kepada bangunan keraton atau tempat bermukimnya para pembesar kerajaan. Dalam hal ini dapat dihubungkan dengan peristiwa pengasingan Pangeran Jayakarta beserta para pengikutnya. Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk menghimpun dan menata kekuatan armadanya. Benteng J.P. Coen di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broocke. Semua ini terjadi akibat permusuhan orang Jayakarta yang dipimpin oleh Pengeran Jayakarta Wijayakrama dan dibantu oleh Inggris terhadap orang-orang Belanda. Satu bulan setelah Jayakarta ditinggalkan J.P. Coen banteng diambil alih oleh Pangeran Jayakarta dan Inggris. Pada bulan Mei 1619, J.P. Coen datang lagi ke Jakarta bersama armadanya yang sudah siap tempur. Terjadilah pertempuran sengit antara Belanda dan Jayakarta. Armada Belanda sempat membakar masjid dan keraton serta membumihanguskan kota Jayakarta. Pada saat itu pulalah Jayakarta jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Kemenangan Belanda sekaligus mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Sebelum Jayakarta dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, sebenarnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama telah ditarik terlebih dahulu oleh Sultan Banten. Pangeran dibawa oleh Tumenggung Banten ke daerah Tanara, Banten. Berita ini diperkuat dengan adanya surat-surat Pieter van den Broocke dan Jan Pieterzoon Coen yang menyebutkan bahwa Pangeran Jayakarta telah ditarik oleh Sultan Banten sebelum Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Lain lagi dengan keterangan lisan yang disampaikan oleh Rd. Junaedi yang menerangkan bahwa kekalahan Jayakarta mengakibatkan menyingkirnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama ke daerah yang disebut Jatinegara Kaum sekarang. Di daerah ini Pangeran menyusun kekuatan untuk merebut kembali Jayakarta. Dalam sejarah pemerintahan kota, Jatinegara baru masuk sebagai wilayah administratif kota pada tahun 1926, yaitu sejak masa Stadgemeente Batavia. Pada waktu itu Meester Cornelis (Jatinegara) merupakan Stadgemeente tersendiri. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1936 daeeah ini digabung dalam Stadgemeente Batavia. Sebelum tahun 1926, Jatinegara merupakan daerah di luar kota Jayakarta. Bahkan pada saat Jayakarta menjadi Stad Batavia (tahun 1619 - 1799) daerah ini masih jauh di luar kota. Begitupula pada masa Gemeente Batavia (1905 - 1926), Kampung Jatinegara belum masuk kota. Masa Gemeente Batavia membagi kota kedalam dua distrik, yaitu Distrik Batavia dan Waltevreden. Dalam hal ini Jatinegara tidak termasuk Onderdistrik manapun. Pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945), pemerintahan kota berubah lagi menjadi Djakarta Tokubetsu Shi. Pada masa ini Jakarta dibagi kedalam tujuh daerah bagian yang disebut “Siku”, termasuk diantaranya adalah Jatinegara yang merupakan siku ke-7. Keadaan ini mungkin tidak berubah pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta (1945 - 1947), sebab keadaan kota masih belum stabil. Pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta, Belanda datang lagi. Jakarta kembali dijadikan Stadgemeente dalam masa Pemerintahan Pra Federal (1947 - 1949). Pada masa ini Jatinegara (Kaum) masuk dalam onderdistrik Pulo Gadung yang dibawahi lagi oleh Distrik Bekasi. Distrik inipun dimasukkan ke dalam daerah yang berbatasan dengan kota Jakarta. Onderdistrik disamakan dengan kecamatan sekarang, sedangkan distrik adalah daerah kekuasaan di atas kecamatan. Dengan demikian sejak tahun 1947 hingga sekarang Jatinegara Kaum masuk ke dalam Kecamatan Pulo Gadung. Daerah ini baru menjadi kelurahan tersendiri pada tanggal 1 Oktober 1966 yang merupakan penggabungan dari pecahan Kelurahan Klender, Jatinegara dan Rawaterate. Dengan demikian kini secara administratif Jatinegara Kaum merupakan kelurahan di bawah Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Adapun luas wilayah Kelurahan Jatinegara Kaum ±100,5 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :

- sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pulo Gadung dan Jalan PT Dana paint,

- sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya Bekasi dan Kelurahan Jatinegara,

- sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Klender dan rel kereta api,

- sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan cipinang, Jatirawamangun,

dan Kali Sunter.

Tidak diketahui dengan pasti apakah telah ada penduduk sebelum Pangeran Jayakarta dan pengikutnya datang ke tempat ini (Jatinegara Kaum). Namun keterangan lisan menyebutkan tidak ada penduduk di tempat ini sebelum kehadiran pangeran Jayakarta. Keterangan ini dihubungkan dengan sejarah lisan yang menyebutkan bahwa daerah Jatinegara Kaum merupakan hutan lebat yang ditumbuhi oleh pohon-pohon jati. Kemudian hutan-hutan ini dibuka oreh pangeran dan pe- ngikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan pangeran Jayakarta dalam pengasingan. pangeran Jayakarta inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang. Keterangan diatas dibenarkan oleh Rachmad Sugandi yang mengatakan bahwa penduduk asli Kampung Jatinegara Kaum memamg berasal dari Banten bukan dari Betawi. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang digunakan ditempat ini sekarang, yaitu bahasa Sunda bukan bahasa Betawi atau lainnya. Bukti lain adalah adanya nama-nama orang seperti Tubagus (Bagus), Raden dan Ateng. Nama-nama ini berasal dari Banten. Ternyata sampai sekarang nama ini masih ada yang menggunakannya. Jika kita perhatikan sumber-sumber tertulis, terutama dari Babad Purwaka Caruban Nagari, maka memang benar penduduk Jatinegara Kaum berasal dari Banten. Namun bukan berarti orang Banten asli. Dalam babad tersebut disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan Fatahillah, seorang panglima tentara muslim Demak untuk merebut Banten dan Sunda Kelapa yang masih dikuasai Pajajaran. Balatentara yang hendak menyerbu Banten dan Sunda Kelapa adalah tentara gabungan dari Demak dan Cirebon. Pasukan berjumlah 1967 orang. Daerah yang pertama kali diserbu oleh pasukan ini adalah Banten, baru setahun kemudian Sunda Kelapa. Karena penyerbuan Sunda Kelapa berangkat dari Banten, maka penduduk sekarang mengira atau menafsirkan bahwa yang menyerbu Sunda Kelapa adalah Banten. Jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan tentara muslim sekaligus mengubah nama menjadi Jayakarta. Banyak tentara muslim yang menetap di Jayakarta. Kemudian ini berkembang sejalan dengan perkembangan penduduknya. Pada tahun 1619 penduduk Jayakarta ini tersingkir akibat jatuhnya Jayakarta ketangan Kompeni Belanda. Tentara Islam berikut Pangerannya tersingkir dan lari ke Jatinegara kaum. Demikian dugaan penduduk setempat yang sekarang tentang orang-orang Banten sebgai cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum. Bila dikatakan bahwa Pangeran Jayakarta adalah cikal bakalnya penduduk Jatinegara Kaum sekarang, maka terlebih dahulu harus diketahui siapa Pangeran Jayakarta dan siapa pengikutnya. Ada beberapa sebutan untuk Pangeran Jayakarta yaitu : Pangeran Jakarta, Jayakarta Wijayakrama, Jayawikarta, Kawis Adimarta, Sungasara Jayawikarta. Berita Belanda atau Inggris menyebutnya Conick atau Regen van Jacetra atau King of Jacatra. Pangeran Jayakarta Wijayakrama mempunyai seorang ayah yang bernama Tubagus Angke yang menjadi Bupati Jakayakarta yang kedua setelah Fatahillah. Pangeran Jayakarta Wijayakrama adalah seorang anak hasil perkawinan antara Tubagus Angke dengan putrid Maulana Hasanuddin yang bernama Ratu Pembayun. Kalau saja Tubagus Angke asli Banten, maka Pangeran Jayakarta Wijayakrama marupakan hasil perkawinan campur antara Banten dan Cirebon. Setelah dewasa Pangeran Jayakarta menikah dengan seorang putri pengeran Pajajaran (Sunda) yang juga dijuluki Ratu Pembayun. Para pengikut Pangeran Jayakarta adalah tentara-tentara muslim yang setia kepada Pangeran. Tentara ini berasal dari Demak dan Cirebon. Pada saat Jayakarta jatuh, mereka mengungsi ke Jatinegara Kaum dengan membawa serta istri dan anak-anaknya. Dari keterangan diatas mengenai asal Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya, terlihat keterlibatan suku Banten, Cirebon, Sunda (Pajajaran) dan Demak. Bila memang benar Pangeran Jayakarta dan pengikutnya merupakan cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang, tentunya penduduk asli bukan saja dari Banten, melainkan juga dari Cirebon, Sunda dan Demak. Jatinegara yang merupakan “Desa Historis” didukung pula oleh adanya peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut adalah masjid kuno, makam Pangeran Jayakarta Wijayakrama dan 4 buah rumah lama arsitektur khas Betawi. Peninggalan-peninggalan sejarah ini tidak sejaman. Secara kronologis bangunan masjid kuno lebih tua, kemudian makam (nisan) dan yang termuda adalah rumah berarsitektur Betawi. Masjid Jatinegara kaum terletak di wilayah RT 006/RW 03 tepatnya di Jalan Raya Jatinegara Kaum, di tepi timur sungai Sunter. Bengunan ini sudah mengalami perbaikan, penambahan dan pemugaran, sehingga bentuknya yang sekarang tidak sesuai lagi dengan bangunannya yang lama. Bagian yang asli dari bangunan masjid ini adalah atap yang terdapat di sebelah barat. Atap ini berbentuk limas/kerucut, semakin keatas semakin meruncing dengan bagian dasarnya berbentuk bujur sangkar. Atapnya genteng, sedangkan kaso, reng dan tiang penopang terbuat dari kayu. Menurut informasi Rachmad Sugandi dulunya atap ini bertumpang dua seperti lazimnya atap-atap mesjid kuno lainnya di Pulau Jawa. Berdenah bujur sangkar dengan ukuran 10x10 meter. Pintu masuk berukuran lebar yang terdiri dari dua daun pintu. Jendela berukuran besar dengan terali yang terbuat dari kayu batang pohon aren. Melihat dari gaya atapnya, maka masjid ini dapat ditentukan masanya yaitu pada masa abad 18. Akan tetapi menurut keterangan Rachmad Sugandi, masjid ini dibangun pada tahun 1620. Sebab beliau pernah melihat prasasti kayu yang bertuliskan huruf Arab yang menunjukkan angka tahun pendirian 1620. Angka tahun ini bukan berupa candrasengkala ataupun memed. Pada jaman Jepang prasasti ini masih terpampang di atas pintu masuk masjid, tetapi kini sudah tidak ada lagi. Entah hilang kemana, tegas beliau. Komplek makam yang terdiri dari makam Pangeran Jayakarta, keluarga pangeran dan masyarakat biasa terletak di sebelah barat daya dan utara masjid. Khusus makam Pangeran Jayakarta dan keluarganya berlokasi di sebelah barat daya masjid. Makam-makam ini diletakkan pada tempat yang agak tinggi. Bentuk dan hiasan nisan hampir seluruhnya serupa, yakni berbentuk pipih dengan hiasan kerawal, bentuk kijing berundak, sekarang berhiasan marmer. Rumah lama di daerah Jatinegara kaum terdapat 4 buah dengan lokasi yang berlainan. Dua buah rumah lama terdapat di Jalan Raya Jatinegara Kaum dan dua buah lagi terdapat di Jalan Raya Bekasi. Keadaan rumah ini masih baik, hanya sebuah yang sudah rusak dan tidak dihuni, yaitu yang terletak di Jalan Raya Bekasi. Rumah-rumah lama ini berarsitektur Betawi dengan serambi yang besar di bagian depan yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu dan tempat istirahat. Di belakang serambi ini terdapat ruang tidur, ruang makan dan dapur dan pada bagian belakang sekali terdapat kamar dan WC. Bahan bangunan yang digunakan adalah batu bata tegel untuk pondasi dan lantai, kayu dan bambu untuk kerangka atap, genteng untuk penutup atap. Adapun mata pencaharian penduduk Kelurahan Jatinegara Kaum sekarang pada umumnya beraneka ragam. Ada yang menjadi pegawai negri, ABRI, buruh, pengrajin, pedagang, wiraswasta dan petani. Sarana pendidikan yang tersedia di Kampung Jatinegara Kaum masih belum memenuhi syarat dan tidak seimbang bila dilihat dari segi kebutuhan pendidikan khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan ke tingkat SMP, SMA, serta perguruan tinggi masih sangat kurang. Mayoritas penduduk Kampung Jatinegara Kaum adalah beragama Islam. Agama Islam sebuah cirri identitas dari masyarakat kampung daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari selulruh kegiatan kehidupan sehari-hari dalam masyarakatnya, yaitu rukun Iman dan rukun Islam dapat mereka jalankan dengan taat. Bahkan semua peristiwa yang menyangkut tentang bulan-bulan suci agama Islam tidak pernah luput untuk disemarakkan dan dihormati dengan patuh dan penuh keyakinan, seperti bulan Maulid, Nuzulul Qur’an, Idul Adha/Qurban, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, tahun baru Hijriyah/Muharram, Idul Fitri dan sebagainya. Pendidikan tentang agama Islam terhadap anak-anak oleh para orang tua mereka mendapat perhatian yang sangat khusus. Kegiatan keagamaan seperti pengajian dan ceramah-ceramah tentang hukum-hukum akhirat dan keduniaan selalu digalakkan, baik dikalangan orang tua, pemuda, maupun anak-anak. Penduduk Kampung Jatinegara Kaum pada mulanya adalah keturunan dari Pangeran Jayakarta yang berasal dari Banten dan Cirebon, ditambah suku lainnya yaitu orang-orang Sunda dan orang-orang Jawa Tengah (Demak). Generasi selanjutnya adalah keturunan penduduk lokal dan kelompok-kelompok suku bangsa lainnya yang datang dari penjuru daerah di Indonesia. Namun demikian dalam pergaulan sehari-hari, terutama antara anggota keluarga atau kerabat mereka menggunakan bahasa Sunda dengan campuran dialek Banten dan Cirebon. Beberapa istilah kekerabatan yang masih dipergunakan dalam bahasa Sunda, misalnya :

- Ama : panggilan anak kepada ayah

- Emang : saudara laki-laki dari ayah atau ibu

- Bibi : saudara perempuan dari ayah atau ibu

- Uwa : kakak laki-laki atau perempuan dari ayah atau ibu

- Aca : saudara laki-laki yang lebih tua

- Alo : saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu

- Ateng : gelar penghormatan bagi orang yang sudah lanjut usia

- Raden : gelar dari warisan leluhur keraton

Tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakat Kampung Jatinegara Kaum mempunyai perbedaan dengan tradisi-tradisi yang ada di lingkungan kampung-kampung yang bercorak Betawi. Walaupun demikian sudah terlihat pula adanya saling mempengaruhi anatara tradisi yang ada dengan tradisi di sekitarnya yang bercorak Betawi. Bentuk campuran tradisi-tradisi dalam siklus kehidupan warga kempung tersebut masing-masing meliputi :

- Upacara kehamilan 7 bulan (nujuh bulan) bagi seorang calon ibu, yaitu dimandikan oleh seorang dukun dengan air kembang sambil dibacakan Surat Yusuf;

- Mengadzankan dan mengqomatkan seorang bayi yang baru lahir setelahnya dibersihkan;

- Mengubur ari-ari bayi yang telah dibersihkan dan diberi bumbu-bumbu ramuan di depan halaman rumah dengan mempergunakan tempayan kecil, selama satu minggu diterangi oleh sebuah pelita;

- Menyelenggarakan akikah bagi mereka yang mampu, yaitu memotong seekor kambing bagi kelahiran bayi perempuan dan dua ekor kambing bagi kelahiran bayi laki-laki;

- Upacara khitanan bagi anak laki-laki yang sudah berusia 7 – 8 tahun yang sebelumnya terlebih dahulu diarak keliling kampung;

- Upacara pernikahan yang sebelum pelaksanaannya melewati tahap-tahap berikut:

Saat pinangan diutus 4 – 5 orang dari pihak laki-laki kepada gadis yang akan dipinang untuk menanyakan status dari gadis tersebut.

2 atau 3 bulan sebelum pelaksanaan pernikahan kedua belah pihak mengadakan persiapan-persiapan begi pelaksanaan pernikahan mereka.

Saat pernikahan pihak laki-laki membawakan pihak perempuan dengan berbagai bawaan dan pengiringnya. Sebelum pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan, akan dibacakan sebuah syair. Bagi para tamu undangan, makanan nasi dalam piring telah disiapkan, hanya tinggal mengambil lauk pauknya saja. Saat ada kematian salah seorang warganya, penduduk yang lain akan segera memberikan bantuan baik dalam segi materi maupun moril. Saat setelah jenazah dikuburkan, maka pada malam harinya di rumah duka diadakan pembacaan Al-Qur’an dan doa serta sedekahan pada setiap hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 harinya. Untuk hal itu tergantung pada keadaan ekonomi dari keluarga yang terkena musibah tersebut. Kesenian yang digemari oleh penduduk Kampung Jatinegara Kaum ini adalah berupa kesenian gambus, rebana dan ketimpring yang memiliki unsur-unsur religius. Sedangkan kesenian Betawi yang berupa lenong, macam-macam tarian dan cokek kurang diminati karena tidak cocok dengan keyakinan agama mereka.




Referensi: Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993.
Sumber: Diskominfomas

Jatinegara dan Sejarah yang Hilang

SUATU siang di tahun 1770-an. Pasar di depan gerbang Benteng Belanda Meester Cornelis, sekitar 15 kilometer dari Batavia, tengah menggeliat. Seorang kusir Jawa memarkir pedati, lalu melepas kerbau di dekat pedatinya itu. Di sisi lain, di bawah gubug, beberapa wanita sedang menggelar barang dagangannya di atas kain, sementara pelanggan berlalu-lalang. Benteng berbentuk bintang tujuh dengan gardu berpenjaga yang dipersenjatai meriam berada di sisi Sungai Ciliwung. Benteng itu berfungsi untuk menjaga akses ke arah Buitenzorg (Bogor). Dalam benteng ada menara, tampak pula atap genteng rumah perwira komandan barak prajurit Eropa. Ada bangunan beratap daun kelapa yang merupakan tempat penyimpanan (gudang) dan tempat tinggal pekerja. Di atas tembok benteng terdapat kandang burung dara yang sengaja dipelihara untuk dikonsumsi. Demikian deskripsi untuk lukisan Johannes Rach tentang pasar di depan Benteng Mester Cornelis. Lukisan itu kini menjadi salah satu koleksi digital Perpustakaan Nasional dan bisa diakses melalui situs digital.pnri.go.id/collection. Teks keterangan lukisan dibuat Max de Bruijn dan Bas Kist. Johannes Rach sendiri seorang pelukis topografi VOC berkembangsaan Denmark yang tinggal di Batavia tahun 1763 hingga ia meninggal tahun 1783. BENTENG Meester Cornelis kini tak berbekas. Sementara pasar dalam lukisan itu boleh jadi merupakan cikal bakal Pasar Jatinegara di Jakarta Timur saat ini. Pasar Jatinegara merupakan salah satu aset penting PD Pasar Jaya, perusahan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Jatinegara dulunya memang bernama Mester Cornelis. Sampai sekarang Pasar Jatingara pun disebut Pasar Mester. Pada pintu masuk pasar dari Jalan Jatinegara Timur terpampang tulisan "Pasar Mester'. Para kondektur bus pun masih berteriak 'mester... mester...' ketika melintas di daerah Jatinegara. Mereka hendak memberi tahu penumpang bahwa bus sudah sampai di wilayah Mester Cornelis. Nama Mester Cornelis mengacu kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis menjadi guru agama kristen, membuka sekolah, dan memimpin ibadat agama kristen serta menyampaikan kotbah dalam Bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat 'gelar' Meester, atau 'tuan guru'. Cornelis berniat jadi pendeta tetapi ia ditolak. Belanda memberi dia hak istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung. Dia juga memunyai sebidang tanah luas penuh pepohonan di pinggir Ciliwung. Tanah luas penuh pepohonan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis. Menjelang berakhrinya masa penjajahan Belanda, kawasan itu menjadi suatu kotapraja tersendiri, wilayahnya mencakup Bekasi sekarang ini. WILAYAH Mester Cornelis berubah nama jadi Jatinegara pada zaman Jepang. Ada yang berpendapat perubahan tersebut karena di daerah itu ditemukan banyak pohon jati. Namun ada pula yang berpendapat, nama Jatinegara mengacu kepada 'negara sejati' yang sudah dipopulerkan Pangeran Jayakarta jauh sebelumnya. Pangeran Jayakarta mendirikan perkampungan Jatingera Kaum di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur setelah Belanda menghancurkan keratonnya di Sunda Kelapa. Entah mana yang benar. Yang pasti sampai kini di Jatinegara banyak terdapat bangunan-bangunan tua bersejarah, di antaranya Stasiun Kereta Api Jatinegara, Gereja GPIB Koinonia, bagunan bekas markas Kodim 0505, Pasar Lama Jatinegara, rumah langgam Cina, kelenteng, dan gedung SMP 14 Jatinegara (di samping Jatinegara Plasa). Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang masa lalu bangunan-bangunan itu. Gedung SMP 14 misalnya, tidak diketahui sejarahnya, demikian juga bangunan stasiun Jatinegara dan Kantor Pos Jatinegara. Wilayah Jatinegera mulai berkembang cepat awal abad ke 20, tepatnya sekitar tahun 1905, seiring dengan perluasan wilayah Batavia. Banyak bangunan di Jatinegara dibangun pada periode itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini berupaya menelusuri sejarah sejumlah bangunan-bangunan itu, antara lain dengan melakukan riset sejarah, menerima masukan dari masyarakat dan berkordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sejauh ini bangunan yang masuk dalam daftar usulan bangunan cagar budaya baru bekas gedung Kodim 0505 di Jalan Raya Bekasi Timur. Bangunan bekas rumah bupati Mester itu sempat jadi 'markas' pedagang kaki lima. Ada kecemasan, banguna-bangun tua bersejarah di kawasan itu akan hilang tak berbekas. Pasalnya, Pemerintah Kota Jakarta Timur tengah merancang penataaan kawasan tersebut jadi kawasan perdagangan. Penataan dijadwalkan kelar tahun 2010. Meski ada penegasan dari Pemerintah Kota Jakarta Tiimur bahwa Jatinegara merupakan kawasan perdagangan yang memiliki nilai sejarah tinggi, seperti halnya kawasan Glodok, tetapi itu saja tidak cukup. Sampai saat ini, keberadaan bangunan-bangunan itu sebagai bangunan bersejarah tidak punya dasar hukum. Motif-motif ekonomi kiranya tidak mengurangi niat untuk menggali kisah masa lalu bangunan-bangun tua yang ada. Bagaimanapun, bangunan tua bersejarah sesungguhnya bisa mendatangkan uang bila dikemas menjadi sebuah dagangan, yaitu 'dagang sejarah'. Tetapi kalau sejarah gedung-gedung itu saja tidak diketahui, lantas apa yang bisa dijual?




http://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hilang

Stasiun Beos Menjelang Peresmian

Stasiun Kereta Api Beos di Jakarta Kota diabadikan tahun 1929 menjelang peresmian. Belanda sendiri menyebutnya BOS kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatchapij (Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Kata BOS oleh lidah Betawi mereka sebut Beos, hingga nama itu terkenal hingga kini. Letaknya di Jalan Pintu Besar Utara/Jalan Jembatan Batu, Jakarta Kota. Stasiun yang merupakan jalur kereta api (KA) dari Batavia-Buitenzorg (Bogor) diresmikan pada 8 Oktober 1929 dengan desain putra Tulung Agung, Jawa Timur, Ir FJL Gijsels. Sebelum stasiun yang terletak di depan gedung Javasche Bank (kini Museum Bank Mandiri), yang dibangun pada 1909 stasiun KA terletak di depan Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Letaknya sekitar 200 meter dari Beos. Ketika diresmikan diadakan upacara besar-besaran, termasuk selamatan dan untuk mengusir roh jahat, juga di keempat sudut bagian muka dan belakang masing-masing diletakkan kepala kerbau. Ada kepercayaan kala itu, yang di-’amini’ pemerintah Hindia Belanda: ‘Tiap membangun gedung, pasar, atau jembatan harus ada ‘tumbal’ berupa kepala kerbau yang dikubur dan kemudian diberi bacaan-bacaan sambil ‘selamatan”. Banyak yang percaya kalau ini tidak dilakukan akan korban jiwa, terutama anak kecil, diculik roh jahat. Konon, kepercayaan berbau takhayul ini masih terjadi hingga kini. Stasiun KA Beos merupakan jalur KA menuju Bekasi dan Karawang. Beos–nama perusahaan KA BOS–merupakan jalur KA pertama dari Batavia-Bogor (Buitenzorg) yang telah beroperasi sejak 1873. Kemudian, jalur KA menuju Bandung, Yogyakarta, lewat Cirebon, Semarang, dan berakhir di Surabaya. Angkutan penumpang dari Beos kemudian meluas ke stasiun Tanjung Priok dan Merak di Banten. Ketika Beos dibangun, jalur kereta api yang telah ada sejak 1870 dipindahkan ke depan Museum Sejarah Jakarta. Stasiun Beos karya putra Belanda kelahiran Tulung Agung merupakan karya besarnya yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen, yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern Barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Kini, Beos ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No 475 tahun 1993. Saat mendatangi stasiun bersejarah ini, sangat disayangkan keadaannya kurang terawat dan tampak sampah berserakan di sana-sini. Dengan berfungsinya kereta api Jabodetabek, tiap hari dari subuh hingga malam Beos didatangi puluhan bahkan ratusan ribu penumpamg yang datang dan pergi ke berbagai penjuru tempat.



Sumber: Alwi Shahab, wartawan Republika

Sejarah Stasiun Kota (Beos)

Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (kode: JAKK), dikenal pula sebagai Stasiun Beos adalah stasiun kereta api yang berusia cukup tua di Jakarta dan ditetapkan oleh Pemerintah Kota sebagai cagar budaya. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur. Keberadaannya pada saat ini diributkan karena hendak direnovasi dengan penambahan ruang komersial. Padahal, stasiun ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, selain bangunannya kuno, stasiun ini merupakan stasiun tujuan terakhir perjalanan. Seperti halnya Stasiun Surabaya Kota atau Stasiun Semut di Surabaya yang merupakan cagar budaya, namun terjadi renovasi yang dinilai kontroversial. Pada masa lalu, karena terkenalnya stasiun ini, nama itu dijadikan sebuah acara oleh stasiun televisi swasta. Hanya saja mungkin hanya sedikit warga Jakarta yang tahu apa arti Beos yang ternyata memiliki banyak versi. Yang pertama, Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, dimana berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain. Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg, dan merupakan terminus untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia.
Stasiun Kota (1929). Foto koleksi Tropenmuseum, Amsterdam. Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk renovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta api-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931. Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung 8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels. Bersama teman-temannya seperti Hein von Essen dan F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa dilihat dari gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit PELNI di Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta. Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju kecantikan. Stasun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Walau masih berfungsi, di sana-sini terlihat sudut-sudut yang kurang terawat. Keberadaannya pun mulai terusik dengan adanya kabar mau dibangun mal di atas bangunan stasiun. Demikian pula kebersihannya yang kurang terawat, sampah beresrakan di rel-rel kereta. Selain itu, banyak orang yang tinggal di samping kiri kanan rel di dekat stasiun mengurangi nilai estetika stasiun kebanggaan ini. Pihak KA sendiri seolah-olah tidak memperhatikan hal ini.

Sejarah Prostitusi Batavia

KISAH pelacuran di Batavia tak bisa lepas dari perjalanan keroncong. Kenapa demikian, karena menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kedua hal itu memang saling kait. Keroncong diperkirakan muncul pada akhir abad 17 di Jassenburg (kini bernama Jembatan Batu, tak jauh dari Stasiun Jakarta Kota). Di lokasi ini, pemuda-pemudi tempo dulu bersantai di malam hari. Para pemuda jualan suara sambil memetik gitar, merayu gadis-gadis yang “mejeng” di loteng rumah. Hal itu merupakan tradisi Eropa yang dibawa orang-orang Mestizo (peranakan Portugis-India). Lama-kelamaan perumahan Mestizo di Jassenburg berpindah kepemilikan ke orang Tionghoa. Menurut Ridwan Saidi, musik keroncong tetap mengalun namun gadis yang berdiri di loteng bukan lagi gadis Mestizo yang hitam manis melainkan Macao Po, gadis-gadis Macao peranakan Tionghoa-Portugis. Sebutan mereka moler (Portugis) yang artinya perempuan, yang kemudian mengalami perubahan makna menjadi perempuan jalang. Pasalnya, perempuan Macao Po jadi konsumsi kapiten dan letnan Tionghoa serta kumpeni berpangkat. Sementara buaya keroncong yang tak henti memetik gitar dan menyanyikan Terang Boelan, tak masuk hitungan. Dalam Rode Lamp van Batavia tot Jakarta, Ridwan mencatat, Jassenburg menjadi rode lamp alias red light atawa kawasan pelacuran kelas menengah-bawah pertama di Batavia. Tepatnya di Gang Mangga, yaitu di sebelah timur Jassenburg. Dari kawasan inilah kemudian penyakit mangga berkembang, disebut juga pehong (sial) yang biasa menjangkiti pria yang doyan mampir ke rode lamp. Kejayaan Gang Mangga berakhir di pertengahan abad 19, kawasan itu berubah jadi permukiman penduduk dan nama Gang Mangga pelan-pelan lenyap. Kemudian, seluruh jalan yang membentang dari Jassenburg sampai ke pintu air Goenoeng Sari dinamakan Mangga Doea Weg. Sebagai ganti tempat hiburan untuk mendengarkan musik, maka muncul rumah plesir milik pribadi-pribadi kaya semacam Oei Tamba Sia yang lantas berkembang menjadi soehian. Soehian pun berubah, tak beda dengan rumah bordil. Sebelum rontok, di abad 20, soehian banyak membawa korban. Yang jadi korban tak lain adalah perempuan-perempuan penjaja. Sebut saja Fientje de Fenicks dari soehian di Paal Merah, Nona Bong dari soehian di Kampung Bebek, dan Aisah dari Kampung Kramat yang tewas di rel kereta tak jauh dari Senen. Soehian kemudian berganti menjadi kompleks WTS yang tersebar di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Hauber, Petojo. Perempuan penjaja berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai Jembatan Busuk lantaran bau parfum WTS yang menyengat bercampur bau keringat selalu menyebar di malam hari. Kedua gang tersebut terus berjaya bahkan hingga Jepang masuk ke Indonesia. Pasalnya tentara Dai Nippon juga ikut menjadi konsumen aktif ke tempat itu. Di zaman Jepang inilah, tempat WTS makin marak bahkan hingga ke gerbong kereta api Senen. Di masa milenium ini, lokalisasi pun diobrak-abrik hingga penjaja seks yang masih terus dicari calon pembeli, harus ngetem di tempat-tempat yang tak berbeda dari zaman Jepang. Maka, jangan heran jika kasus AIDS sulit dilacak sebab tak ada lokasi yang dilokalisir bagi penjaja dan pembeli seks.

GELANDANGAN

GELANDANGAN



Tunawisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung.

Orang yang mempunyai tradisi tinggal di dalam tenda seperti di Mongolia tidak bisa dikatakan tunawisma. Di negara-negara maju, ada orang yang memutuskan menjadi tunawisma bukan karena kemiskinan atau tidak memiliki uang, tapi ingin bebas dari keluarga atau tanggung jawab. Di Amerika Serikat, industrialis Howard Hughes pernah untuk sementara memutuskan untuk menjadi tuna wisma. Sewaktu Perang Vietnam anak muda Amerika Serikat dengan sengaja berkeinginan jadi tunawisma, karena orang tanpa alamat yang jelas tidak menerima surat undangan wajib militer.

Gelandangan adalah istilah dengan konotasi negatif yang ditujukan kepada orang-orang yang mengalami keadaan tunawisma.

Gelandangan Pertama Kali

Apakah gelandangan itu? Secara etimologi, gelandangan dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal tetap. Dalam sejarah perkembangan masyarakat, mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari lapangan produksi, dan terbuang dari kelasnya.

Di eropa misalnya, ketika memasuki revolusi Industri, gelandangan atau vagrants berawal dari pengusiran para petani dari ladang-ladangnya, kemudian memilih berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan (urbanisasi).

Di Indonesia, untuk pertama kalinya, sebuah laporan kolonial yang menjelaskan mengenai keberadaan para gelandangan, sudah terdokumentasi pada abad 18. Dalam laporan itu disebutkan, antara Semarang dan Jogjakarta terdapat sekitar 35 ribu orang pekerja kasar, yang disebut sebagai batur. Mereka ini, menurut laporan itu, tidak memakai baju, bercelana cawet, tidak punya tempat tinggal tetap, dan juga keluarga tetap.
Setiap hari, para batur ini bekerja secara serabutan, terutama menjadi pengangkut barang di pasar-pasar. Dari pekerjaannya itu, mereka hanya mendapat hasil yang kecil, sehingga seringkali dihabiskan di tempat perjudian. Mereka hidup secara liar, sering terlibat dalam kerusuhan, sehingga dipandang sebagai pengganggu oleh pemerintah kolonial.

Menurut penelusuran sejarah, para batur sudah hadir semenjak perang diponegoro berlangsung, dan menjadi unsur penting dalam perlawanan tersebut. Mereka menjadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan diponegoro di wilayah Jawa Tengah. Pada masa pelaksaan tanam paksa, jumlah batur meningkat dengan pesat di Indonesia, sebab banyak petani yang terusir dari tanahnya, mengalami kegagalan panen, atau terjadi kekeringan panjang. Kelaparan menimpa rakyat dimana-mana, sehingga banyak diantara mereka meninggalkan desanya menuju ke kota, dengan harapan mendapatkan bahan makanan.

Bagi pemerintah kolonial, kehadiran gelandangan ini bukan hanya dipandang sebagai persoalan ekonomi dan social, tapi juga dipandang sebagai persoalan politik yang serius. Pasalnya, dalam gerakan melawan pemerintah kolonial ketika itu, para gelandangan selalu menjadi partisan paling aktif dan berani mati.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah kolonial berupaya menampung mereka dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastuktur, seperti pembuatan jalan raya, pembangunan kantor atau gudang, awak kapal, galangan kapal, dsb.

Ketika krisis ekonomi 1930-an, misalnya, pemerintah kolonial begitu aktif mengintervensi sektor industri agar tidak bangkrut dan melahirkan pengangguran. Selain itu, pemerintah juga berupaya mengatasi persoalan kelaparan. Di Indramayu, misalnya, pemerintah terpaksa mendistribusikan beras dari gudang, guna mencega kelaparan dan pemberontakan.

Problem Gelandangan Sekarang Ini

Sekarang ini, persoalan gelandangan masih menghiasi daftar kegagalan pembangunan ekonomi dan social di Indonesia. Di berbagai kota besar di seantero negeri ini, para gelandangan memadati lampu merah, emperan toko, dan kawasan-kawasan tertentu, sehingga menjadi fenomena tersendiri di dalam kehidupan social perkotaan di Indonesia.

Menurut saya, persoalan gelandangan sekarang ini agak sedikit berbeda dengan fenomena para batur di abad 12, ataupun para vagrants di eropa pada saat revolusi Industri.

Menurut Mike Davis, seorang komentator sosial berkebangsaan merika, persoalan pengangguran bersifat inheren di dalam masyarakat kapitalis. Karena motivasi seorang kapitalis adalah mencari keuntungan, maka dia akan terus menerus berupaya memperluas industri. menurutnya, peningkatan pengangguran dihasilkan oleh perkembangan industri manufaktur, terutama penggunaan teknologi atau teknik produksi yang lebih modern dan menghemat tenaga kerja.

Di sisi lain, menurut Davis, terjadi peningkatan besar dari produksi pertanian akibat penggunaan teknologi modern dalam pertanian. Situasi ini mendorong semakin banyak orang kehilangan pekerjaan, sehingga memilih pindah ke kota dan berusaha mencari pekerjaan.

Hanya saja, menurut davis, ada perbedaan antara pemicu pengangguran di Negara industri maju dengan Negara berkembang. Di Negara kapitalis maju, pengangguran dipicu oleh pengurangan jam kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, akibat penerapan mekanisasi dan teknologi modern di sektor industri. Sementara di negera berkembang, pemicu utama pengangguran adalah gejala de-industrialisasi akibat proyek neoliberal.

Menurut dia, campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam merestrukturisasi perekonomian dunia ketiga, termasuk Indonesia, telah mendorong kehancuran sektor pertanian, menghancurkan pasar domestik, penutupan pabrik, PHK besar-besaran, dan tekanan terhadap upah.

Dampak kebijakan penyesuaan structural juga nampak dalam pertumbuhan jumlah penganggur di Indonesia. Menurut catatan, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia). Nah, angka 70% ini merupakan potensial gelandangan.

Dengan komposisi pengangguran seperti itu, maka tidak heran bila gelandangan juga terus menjamur di berbagai sudut kota di Indonesia. Ini bukan fenomena orang-orang malas, seperti yang difitnahkan sejumlah orang pintar dan beragama di republik ini, melainkan persoalan kegagalan sebuah sistim ekonomi. Siapa yang patut dipersalahkan? Jawabnya: 100% pemerintah.

Jadi, misalnya, bila pemda DKI tetap memaksakan pemberlakukan Perda Tibun, maka dampak sosialnya akan sangat luas. sebab, sasaran utama dari kebijakan ini adalah sektor informal, yang jumlahnya sangat besar.

Terkait mentalitas pejabat di Indonesia, seorang sopir bajaj pernah mengatakan kepada saya; “jangan pernah jadi pejabat di Indonesia, mas,” kata dia, “nanti kehilangan hati dan otak,” ujarnya. Menurut dia, ketika menjadi pejabat di Indonesia hati nurani akan dibuang, sehingga tidak memiliki sensifitas kemanusiaan, sementara ketidaan otak membuat para pejabat itu kehilangan fikiran.

Apa yang dikatakan oleh supir bajaj tadi, mungkin saja ada benarnya. Hanya saja, kita berharap agar MUI, Pemda DKI, dan pejabat di negeri ini lebih manusiawi dalam mengurusi rakyatnya, bukan bersandar pada logika keuntungan semata.





Rudi Hartono, peneliti di Lembaga pembebasan Media dan Ilmus Sosial (LPMIS), redaksi media alternatif, Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.






For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here

Nasib Jadi Relawan dan Cerita Suka Dukanya di ACEH

Pagi ini saya terbangun dari tidur saya. Setelah capek mencuci baju dan mengepel lantai dan sedikit bersenandung supaya kualitas vokal saya tetap terjaga baik kayak Justin Bieber, saya coba menuliskan cerita-cerita yang saya anggap lucu tapi nyata dan terjadi.. :)



Menjadi relawan di Aceh pasca tsunami adalah pengalaman yang menakjubkan dalam kehidupan saya. Hari itu kami naik pesawat berombongan dari Jakarta menuju Aceh. Kebetulan saya kedapatan kursi dengan 2 orang laki-laki dari Aceh yang wajahnya terlihat murung. Pada waktu memasuki Aceh, semua orang melihat ke bawah dan berseru, "Lihat...!! Hancur semua. Rumah-rumah hilang dan berubah seperti sawah saja..!!". Tetapi ada yang menyeletuk kalau yang kami lihat pada waktu itu memang sawah. Semua orang pun tertawa ngakak. Kedua orang yang duduk di sebelah saya pun bertanya. Kalian dari mana? Kenapa ngetawain Aceh? KAMI TERKENA MUSIBAH DAN KALIAN MENTERTAWAINYA???!! Saya pun atas nama teman-teman langsung spontan meminta maaf kepada kedua orang itu dan menjelaskan bahwa kami rombongan relawan dari Depsos yang akan membantu para pengungsi terutama anak yatim piatu korban tsunami. Saya juga menjelaskan sekenanya bahwa ada beberapa teman yang baru sekali ini naik pesawat jadi agak sedikit terbawa suasana. Mereka pun mengerti dan menanyakan saya akan tidur dimana. Saya pun langsung mengatakan tidak tahu. Tapi kemungkinan besar saya akan tidur di tenda bareng pengungsi atau tidur di halaman Masjid Indrapuri dengan para penduduk yang mengungsi. Merekapun mengangguk dan kami berpisah di bandara. Dua hari kemudian saya benar ditempatkan di pengungsian Masjid Inderapuri dan kamipun mendirikan tenda di situ. Setelah hari siang kami pun duduk-duduk di halaman masjid karena panasnya yang luar biasa. Tiba-tiba datang seorang teman saya dan bilang kalau ada 2 laki-laki Aceh paruh baya yang mencari saya. Kemungkinan GAM katanya. Saya pun agak dag dig dug juga mengingat bahwa saya dari Jawa dan rumor mengatakan bahwa orang Aceh terutama GAM, orangnya kasar-kasar dan tidak suka dengan orang Jawa. Tetapi terus saya berpikir. Bukankah saya ke Aceh sudah pamit dan minta doa restu dengan Ibu saya. Bukankah kalau kita mati sebagai relawan dan sementara hati kita masih lurus dan putih dikarena kecelakaan atau sejenisnya kita bakalan mati khusnul khotimah? Saya pun tidak takut dan menemui kedua orang tersebut. Saya selalu yakin dengan kekuatan diplomasi. Saya yakin dengan kekuatan tulisan saya, omongan saya, dan kesopan santunan apa adanya. Di luar dugaan saya, kedua orang itu adalah orang yang duduk bersebelahan dengan saya di pesawat pada waktu berangkat ke Aceh! Mereka memeluk saya, mengucapkan terima kasih bersedia membantu rakyat Aceh dan membawakan saya dua karung yang isinya buah rambutan Aceh dan langsap (sejenis buah duku tetapi agak sedikit asam dan segar). Pertemuan ini langsung mengingatkan pada kisah seorang Amerika yang mau pindah dari Florida ke Illinois. Dia bertanya kepada seseorang di tempat pengisian bensin. Apakah orang di sini ramah-ramah? Orang tua itu pun menjawab kalau menurut anda? Mungkin tidak ramah, katanya. Si orang tua itu pun menjawab kalau menurut anda tidak ramah, maka penduduk di sini jauh tidak ramah. Kalau menurut saya ramah? Si kakek itu pun menjawab, kalau menurut kamu ramah, maka penduduk di sini jauh lebih ramah... :)


Saya adalah tipikal orang yang suka humor dan jarang serius kecuali pada situasi formal yang memang kita dituntut keseriusan. Pada waktu jadi relawan keisengan saya kadang muncul. Pada suatu hari kami disuruh merapat ke Brawe markas induk relawan Depsos di Aceh. Karena perintah itu sifatnya dadakan maka kami segera berangkat buru-buru. Sewaktu dalam perjalanan sore menjelang maghrib tiba-tiba di pinggir sawah ban sepeda motor kami meletus dan terpaksa kami turun. Karena rapat kelihatan sangat penting dan harus ada perwakilannya terus kami mendiskusikan siapa yang menuntun sepeda motor mencari tambal ban dan siap yang naik labi-labi (panggilan untuk angkot di Aceh). Saya pun mengatakan dengan cengengesan, kayaknya saya yang harus naik labi-labi karena walaupun badan saya lebih besar dari dia tetapi tenaga saya jauh lebih lemah, biarpun saya kelihatan gagah tapi nyali saya kecil, dan saya pun mengucapkan sambil ngakak, bahwa kalau ada bencana kesempatan hidup harus diberikan kepada mereka yang masih muda. Hehehe... Teman saya pun misuh-misuh dan saya diijinkan pergi duluan. Setelah sampai Brawe dan selesai rapat 2 jam kemudian datang teman saya dengan sepeda motornya dengan wajah pucat pasi. Ada apa kok sampai pucat begitu? Katanya pada waktu itu hari menjelang maghrib, situasi mencekam, semua depan, belakang samping kanan kiri adalah sawah yang thowang (sepi). Dia sungguh khawatir kalau tiba-tiba ada GAM menyergap dan membunuh dirinya. Setelah 5 menit berlalu tiba-tiba ada 2 mobil brimob kencang dan berhenti tepat di depannya. Keruan dia kaget setengah mati. Dia takut dikira sama orang Brimob itu GAM dan dibunuh begitu saja karena situasi pada waktu itu masih konflik. Dengan mengatakan kamu GAM terus dibunuh pun tidak ada yang ngusut kasarannya begitu. Ternyata Brimob-brimob di dua truk itu pada turun cepat sekali di depan mukanya terus MUNTAH-MUNTAH di depannya. Ternyata perjalanan Medan - Aceh dalam truk yang pengap membuat mereka mabok perjalanan dan kemudian tidak kuat dan akhirnya pada muntah-muntah semua. Cuma kawan saya kagetnya setengah mati untung tidak jantungan. Saya pun ngakak mendengar ceritanya. saya bilang jangankan pak pulisi itu saya sebagai teman akrab tapi kalau setiap mandang wajahmu sebenarnya mau muntah juga cuman kutahan-tahan demi pertemanan kita. Hehehe... Dan dia pun bilang, Asu...!! Bukannya simpati malah ngetawain kayak gitu... Nama teman saya itu adalah KAHONO, dia orang Jogja tapi sekarang sudah pensiun.. :)


Cerita berikutnya adalah tentang teman saya namanya Heryanto orang Makassar. Sebenarnya ada dua orang Makassar nama aslinya Arifudin tapi biasa dipanggil Daeng. Sedang Heryanto dipanggil Acho. Daeng selalu suka pada waktu saya mengajarkan baca puisi pada anak-anak. Pendekatannya beda, katanya. Dia selalu terpesona setiap kali saya membaca puisi, mungkin karena ketampanan wajah saya yang menghipnotis anak-anak dan ibu-ibu karena mungkin mirip sama si Justin Bieber. Hehehe... Kalau ini narcis sedikit! Hehehe... Suatu malam kami tiduran di posko Lambaro di bawah pohon kelapa. Ketika saya mau terlelap saya mendengar suara orang mengeluh dan merintih lirih-lirih... Saya pun segera memeriksa asal muasal suara itu dan menemuka Acho sedang merintih menahan kesakitan yang luar biasa. Saya pikir dia kesambet (kerasukan setan) atau mungkin kena angin malam. saya segera pijit lehernya supaya dia lebih enakan, tapi tak mempan. Saya pun memanggil beberapa rekan relawan untuk menolong. Akhirnya dia agak baikan dan kamipun bernafas lega. Tapi otak saya terus berpikir, sebenarnya kena apa sih dia? Tak lama 20 menit kemudian dia mendatangi saya dan mengaku kalau di kejatuhan pohon kelapa! Tepat di dadanya. Pantes sampai mau klenger gitu! Kataku sambil ngakak... Aihhh... Berat3x....Hatiku selembar daun... :)



Depok, 28 Nopember 2010.

Saturday 27 November 2010

KISAH SEDIH SEORANG PEMBANGUN

Kisah seorang Pembangun yang sampai pada akhir hayatnya tidak melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya, maka biodata Pembangun dapat dilihat seperti ini :







TO WHOM IT MAY CONCERN:



Pembangun si orang biasa telah dikuburkan hari ini

Lahir

Tahun 1902, dari keluarga biasa

Pendidikan

Mengikuti kuliah dan sekolah tinggi serta lulus ujian tanpa penghargaan, selalu terpilih menjadi yang terakhir dan tidak banyak dikenal oleh kawan-kawan di sekolah maupun dikampusnya.

Pernikahan

Tahun 1935 dengan Dedes tak kurang tak lebih.

Pekerjaan

35 tahun mengabdi di perusahaan produk biasa-biasa saja, Pembangun menduduki posisi di perusahaan yang sangat tidak berarti dan mengurus keluar masuknya produk biasa-biasa yang membawanya ke kehidupan yang biasa-biasa saja.

Prestasi

Hidup 72 tahun tanpa tujuan, tanpa rencana, hasrat kepastian dan keyakinan.

Pekuburan

Pembangun beristirahat dengan tenang, bebas dari gangguan teman-teman dan di pekuburan orang-orang biasa…

Dan di nisan Pembangun tertulis :

Di sini beristirahat dengan tenang

Tn. Pembangun Si Orang Biasa

Lahir 1902

Menikah 1935

Meninggal 1974

” Ia berusaha untuk tidak pernah mencoba “

” Ia hanya memikirkan hal-hal yang kecil dan itulah yang didapat dari hidupnya selama ini “









Aihh.. Berat3x..

Hatiku selembar daun...

CERITA SEDIH TENTANG KASIH SEORANG IBU

Dari milis teman :



Sahabat… artikel ini saya persembahkan untuk orang tua saya terutama almarhum Ibu saya, dan semua Ibu-ibu yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini…Beberapa hari yang lalu, saya dan Bapak Iskandar pulang dari Pasaman, salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Barat. Dalam perjalanan pulang tersebut seperti biasa kami selalu membahas hal-hal apa saja yang dapat kami diskusikan agar perjalanan terasa menyenangkan. Sebab jarak tempuh kota Pasaman dan Padang sekitar 5 – 6 jam. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 19.30 wib. Lalulintas yang tidak begitu padat ditengah hutan rimba dengan tiupan angina yang menyejukkan membuat suasana diskusi kami terasa begitu menyenangkan. Kami membahas mulai dari kehidupan, politik, Negara sampai masa lalu dan keluarga. Dari kejauhan kami melihat seorang ibu dengan usia sekitar 60 tahun dengan wajah yang sudah lesu karena mungkin kelelahan, mencoba mencari tumpangan ( kayaknya ingin pulang ). Sebuah mobil pick up yang biasa pembawa sapi pun berhenti, setelah nego ibu tersebutpun naik dibelakang mobil tersebut. Kami melewati mobil tersebut, namun hati dan perasaan saya terus tertuju kepada sang ibu tersebut. Mobil yang kami pakaipun saya perlambat dan memberikan kesempatan mobil sapi tersebut untuk melewati mobil kami. Akhirnya mobil tersebut tepat didepan mobil yang kami bawa. Kamipun melihat wajah sang ibu yang begitu lelah, dengan kerutan diwajah serta pandangan yang kosong kearah bukit, mmmmm… ntah apa yang dia pikirkan saat itu… Kami terus memperhatikan sang ibu yang berada di mobil pick up pembawa sapi didepan mobil kami, dan tidak berapa lama, sang ibupun terlihat tertidur. Sang ibu tidur begitu pulas, karena tikungan demi tikungan dan lubang dari jalanan perbukitan yang kami lalui tidak membuat sang ibu terjaga. Hempasan mobil karena lubang dijalan dan goyangan mobil kekiri dan kekanan juga tidak mampu membuat sang ibu tersebut terjaga. Begitu lelahnya sang ibu setengah baya itu. Begitu luar biasanya Sang ibu tersebut, dengan usia yang sudah ujur, kulit yang sudah keriput serta tenaga yang sudah sangat terbatas, beliau masih saja bekerja untuk memberikan kehidupan bagi keluarganya, beliau tidak lagi mempedulikan kehidupannya, bahkan mungkin kesehatannya, dia tidak takut hujan, tidak takut hinaan, cacian bahkan gagal! Dengan tujuan bahwa sang ibu tersebut ingin anaknya dapat makan, bisa bayar uang sekolah, dan kebutuhan keluarganya. Dapatkah kita bayangkan bagaimana perasaansang ibu tersebut ketika melihat kita tidak selesai sekolah, hanya karena kita tidak mau belajar, atau mengikuti lingkungan kita, kita tidak semangat hanya karena kita pernah kecewa atau tidak mau lagi berusaha hanya karena kita pernah gagal! Terlalu egois sahabat… karena kita hanya memikirkan diri kita sendiri… cintailah orang-orang yang selama ini telah berjuang untuk hidup kita, berikan kasih saying yang tulus buat kedua orang tua kita, khususnya ibu kita. Jangan pernah kita sakiti hatinya, karena mereka ( orang tua kita ) tidak akan pernah menyakiti hati anaknya. Bagi para sahabat yang saat ini masih memiliki kedua orang tua, peliharalah mereka, cintai mereka dan senangi mereka, karena apa yang mereka lakukan selama ini buat para sahabat tidak pernah mereka tuntut. Dan satu hal bahwa sukses sahabat ada di do’a mereka!!! Selamat berjuang sahabatku yang baik….









Aihh... Berat3x...

Hatiku selembar daun...