Saturday 25 December 2010

Arya Penangsang Demak

Arya Penangsang Demak


-Damar Shashangka-



Bagian 1
Pemerintahan Demak Bintara semenjak dipegang oleh Sultan Trenggana mulai pada tahun 1521 Masehi, terus menerus harus melakukan aksi militer demi untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan Islam Jawa sekaligus untuk kembali memasukkan wilayah-wilayah bekas Kerajaan Majapahit diseluruh Jawa.

Pada masa awal Sultan Trenggana diangkat sebagai Sultan ke III Demak Bintara, garis politik fleksibel model Islam Abangan menjadi pilihan Sultan Trenggana. Namun menjelang pertengahan tampuk pemerintahannya, terpicu melihat keberhasilan Kesultanan Cirebon mampu menghancurkan Pajajaran dengan bantuan militer Demak Bintara, pandangan politik Sultan Trengana berubah haluan.

Kemenangan Cirebon atas sokongan militer Demak membuat Sultan Trenggana menjadi yakin akan kekuatan angkatan bersenjatanya. Maka berturut-turut, Demak mengadakan agresi militer ke Jawa bagian timur dimana sisa-sisa bangsawan Majapahit masih punya daerah kekuasan dan mendominasi disana.

Satu demi satu, daerah-daerah di wilayah Jawa bagian timur, ditundukkan dengan kekuatan bersenjata. Kekuasaan Demak Bintara semakin melebar dan meluas kearah timur pulau Jawa.

Semenjak tahun 1527, peperangan demi peperangan terus terjadi. Hingga pada tahun 1546, ketika Sultan Trenggana memimpin sendiri peperangan di wilayah Panarukan ( sekarang masuk wilayah Situbondo, Jawa Timur ), Sultan Trenggana tewas! Kabar kematian Sultan Trenggana mengguncangkan ibu kota Demak. Agresi militer yg bertujuan untuk menguasai wilayah Panarukan dan selanjutnya Banyuwangi, gagal!

Konon menurut cerita tutur, kematian Sultan Trenggana tidak terjadi di medan laga. Namun terjadi dikala Sultan Trenggana tengah menerima delegasi para bangsawan dari daerah taklukan baru. Konon ketika pertemuan terjadi, Sultan Trenggana menyuruh salah seorang bangsawan mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih yang terletak tak jauh dimeja perjamuan. Karuan, bangsawan Jawa timur yang disuruh merasa tersinggung. Walaupun daerah kekuasaannya telah mengakui kalah dan tunduk kepada Demak, namun tidak seharusnya Sultan memerintah dia mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih. Bagaimanapun juga, dia tetap seorang bangsawan. Masih banyak abdi dalem atau pelayan Sultan yang bisa disuruh untuk itu.

Tapi dengan berpura-pura memenuhi permintaan Sultan, bangsawan ini mendekati tempat duduk Sultan. Begitu sudah dekat, dihunusnya keris dan ditusukkannya ke tubuh Sultan Trenggana!

Sultan Trenggana tewas seketika ditempat perjamuan. Dan bangsawan yang nekad membunuh Sultan Trenggana berikut delegasinya, mendapat hukuman setimpal, penggal kepala!

Kabar tewasnya Sultan Trenggana di Panarukan mengguncangkan Demak Bintara. Jenazah Sultan Trenggana setelah diberi rempah-rempah agar tidak cepat membusuk, dibawa pulang ke ibu kota Demak melalui jalur laut.

Demak Bintara berkabung! Tak kurang, seluruh putra laki-laki Raden Patah, mulai yang sulung Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, lantas Pangeran Suryawiyata atau Pangeran Sekar Seda Lepen, dan kini Pangeran Trenggana atau Sultan Trenggana, semua meninggal karena terbunuh! Kasak-kusuk beredar ditengah masyarakat Jawa, bahwa trah Demak memang tengah mendapat kutukan dari para leluhur tanah Jawa!

Dengan wafatnya Sultan Trenggana, maka secepatnya diangkatlah penggantinya. Dan putra sulung Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, terpilih. Dia dikukuhkan sebgai Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat IV.

Pangeran Prawata atau Sunan Prawata memiliki cacat mata, yaitu buta. Konon hal ini karena kutukan Pangeran Suryawiyata, pamannya sendiri, saat Pangeran Prawata disaat mudanya membunuh pamannya itu terkait pemberontakan yang dia lakukan. ( Lebih jelas baca catatan saya Jaka Tingkir bagian 1 : Damar Shashangka).

Sosok Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, tidaklah begitu popular dimata para bangsawan Demak Bintara. Diam-diam, didalam tubuh birokrasi dan angkatan bersenjata Demak, sudah terpecah dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung Sunan Kudus dengan Jipang Panolan-nya. Sedangkan kubu kedua mendukung Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya dengan Pajang-nya.

Pendukung Sunan Kudus adalah mereka-mereka yang berhalauan keras. Sedangkan pendukung Jaka Tingkir adalah mereka-mereka yang dulu memberikan dukungan kepada Sultan Trenggana ditambah sisa-sisa lasykar Majapahit yang berkedudukan di Jawa bagian tengah. Para lasykar ini merapatkan barisan dibelakang Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging yang sangat mereka hormati. ( Ki Ageng Pengging dan putranya, Jaka Tingkir sesungguhnya beragama Shiwa Buddha, oleh karena itu, sampai sekarang tidak ada makam dari kedua tokoh ini. Jaka Tingkir tidak pernah berguru kepada Sunan Kudus maupun Sunan Kalijaga. Namun, kepada Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir sangat-sangat menaruh hormat. Murid-murid Sunan Kalijaga, adalah dari trah Tarub yang kelak menurunkan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Sudah saatnya sejarah diluruskan. : Damar Shashangka).

Dipihak Sunan Kudus, Arya Penangsang, putra Pangeran Suryawiyata, telah ditampilkan sebagai pemimpin kubu Putihan. Arya Penangsang yang masih berusia 26 tahun saat itu, tumbuh menjadi sosok pemuda yang ahli bela diri dan olah kanuragan berkat bimbingan Sunan Kudus secara khusus! Nama Arya Penangsang sangat ditakuti. Disamping terkenal keras perangainya, kesaktian yang dimilikinya juga membuat lawan berfikir seratus kali untuk berhadapan dengan putra Pangeran Suryawiyata ini!

Begitu Sunan Prawata dikukuhkan sebagai Sultan Demak IV, tampuk pemerintahan Jipang Panolan yang telah vacuum untuk beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata yang menemui kegagalan, tanpa persetujuan Sultan Demak, Arya Penangsang langsung dikukuhkan sebagai Adipati Jipang Panolan. Dan Sunan Kudus, bermain dibalik peristiwa itu!

Peristiwa penobatan ini mengejutkan pihak yang berseberangan dengan Jipang Panolan dan antek-anteknya. Tak urung, Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya didukung beberapa Adipati yang pro dengannya, menyarankan kepada Sultan Demak IV untuk segera mengambil tindakan tegas! Jipang Panolan adalah wilayah Demak Bintara, tidak sepatutnya terjadi pengangkatan seorang Adipati tanpa persetujuan Sultan Demak sendiri!

Situasi politik Demak Bintara mulai memanas. Manakala Sultan Demak IV sudah berencana melepas jabatan Arya Penangsang sebagai Adipati dan hendak menggantikannya dengan seorang pejabat lain, terdengar kabar yang sangat mengejutkan, bahwa Sultan Demak IV atau Sunan Prawata, tewas terbunuh berikut sang permaisuri!

Demak Bintara terguncang! Dan yang lebih mengejutkan lagi, selain jenazah Sultan dan permaisuri, ditempat kejadian juga terdapat jenazah seorang laki-laki misterius dengan sebilah keris menancap didadanya dan keris tersebut tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober, pusaka milik Sunan Kudus!

Tidak ada saksi mata lain saat peristiwa berdarah itu terjadi kecuali sosok Arya Pangiri, putra Sultan yang masih kecil. Arya Pangiri selamat karena dia bersembunyi dibawah kolong ranjang sewaktu peristiwa itu terjadi!

Sultan Demak, sang permaisuri berikut putranya Arya Pangiri sebenarnya adalah target pembunuhan. Tapi, Arya Pangiri berhasil lolos dari maut!

Ratu Kalinyamat, bibi Arya Pangiri, adik Sultan Demak IV (Baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka) segera membaw Arya Pangiri secepatnya ke Jepara. Keselamatan Arya Pangiri tengah terancam dan Ratu Kalinyamat tahu betul siapa dalang dibalik pembunuhan keluarga Sultan Demak, kakaknya itu.

Ratu Kalinyamat diam-diam juga membawa Keris Kyai Brongot Setan Kober yang menancap ditubuh jenazah misterius yang dapat dipastikan adalah salah seorang pembunuh Sultan Demak berikut permaisuri. Ratu Kalinyamat bertindak cepat. Dia tahu, di istana Demak dan ditubuh angkatan bersenjata Demak, sudah berkeliaran antek-antek Jipang Panolan. Sebelum bukti otentik pembunuhan tersebut dihilangkan oleh mereka-mereka yang pro Jipang Panolan, Ratu Kalinyamat mengamankannya terlebih dahulu.

Tidak ada orang lain lagi yang memiliki Keris Kyai Brongot Setan Kober kecuali Sunan Kudus. Dan konon kabarnya, keris ini telah diwariskan kepada Arya Penangsang begitu dia dikukuhkan secara sepihak sebagai Adipati Jipang Panolan.

Menurut kesaksian Arya Pangiri, pada malam itu dia tengah tidur bersama Rama dan Ibu-nya. Tapi mendadak, dia dibangunkan oleh ibunya ditengah-tengah tidur pulasnya. Dia disuruh masuk kebawah kolong ranjang dan diperintahkan tidak boleh keluar dan tidak boleh bersuara sedikitpun!

Arya Pangiri yang masih kecil dan penasaran ditengah ketercekamannya mencoba mengintip apa yang tengah terjadi. Dia melihat dua orang masuk ke kamar Rama-nya melalui pintu kamar setelah mencongkelnya. Arya Pangiri tahu, ada beberapa orang lagi yang tengah berada diluar kamar dan tidak ikut masuk.

Terjadi percakapan antara Rama-nya dengan salah seorang penyusup. Percakapan yang sempat didengar oleh Arya Pangiri adalah jawaban dari Ramanya :

“Bunuhlah aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kematian paman Suryawiyata. Tapi jangan kalian ikut sertakan istriku!”

Setelah itu Arya Pangiri mendengar suara gaduh dan jeritan dari Rama dan Ibu-nya hamper bersamaan. Lantas terdengar suara Ramanya berteriak :

“Mengapa kamu ikut sertakan istriku!”

Suara gaduh terdengar kembali, diiringi erangaan kesakitan. Lantas lengang…

Arya Pangiri yang ketakutan baru berani keluar setelah prajurid Demak mengeluarkanya dari bawah kolong ranjang. Dan begitu melihat apa yang sebenarnya terjadi, maka Arya Pangiri menangis sejadi-jadinya. Diatas ranjang, Ramanya tengah rebah kebelakang dalam posisi bersila, dan tepat dibelakang Ramanya, Ibu-nya tengah rebah. Keduanya bermandikan darah.

Dari posisi kematian Sultan dan permaisuri, jelas terlihat, Sultan ditusuk keris hingga tembus punggung. Dan keris itu menghunjam pula ke tubuh permaisuri yang tengah merapatkan tubuhnya ke punggung Sultan! Jelas, sang permaisuri menyengaja untuk ikut mati bersama-sama dengan suaminya!

Sedangkan jenazah laki-laki misterius yang terkapar tak jauh dari pintu kamar, diduga tewas akibat lemparan keris yang dilakukan oleh Sultan sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. Betapa kuatnya Sultan, dia menarik keris yang menancap di dadanya lantas melemparkannya tepat kepada salah seorang penyusup. Ditambah lagi dengan kondisi cacat mata, jelas Sultan Demak IV, bukan orang sembarangan!

Mendengar penuturan Arya Pangiri dan melihat bukti-bukti yang ada, Ratu Kalinyamat menyimpulkan, Sunan Kudus dan Arya Penangsang adalah sosok yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan itu! Para penyusup yang telah berhasil membunuh Sultan beserta permaisuri, adalah anggota pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng! Pasukan yang dilatih khusus untuk menyusup dan melakukan operasi pembunuhan! Pasukan ini memang sudah didengar oleh beberapa kalangan pejabat di Demak Bintara! Dan kini, kehebatan pasukan ini telah terbukti! Jipang Panolan tidak bisa dianggap remeh sekarang!

Ratu Kalinyamat segera mengambil tindakan tegas. Dia langsung mengukuhkan suaminya, Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat sebagai Sultan Demak V. Tindakan ini diambil karena dalam hukum yang dipakai pemerintahan Demak Bintara, seorang wanita diharamkan memimpin suatu pemerintahan! (Mengenai siapa Sunan Kalinyamat atau Pangeran Hadiri, silakan baca catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka).

Situasi politik Demak semakin memanas. Di pihak Pajang, persiapan-pun dilakukan! Karena sudah jelas, pihak Jipang Panolan sudah berani memulai aksinya! Bahkan terdengar kabar, beberapa daerah telah diserang oleh Jipang Panolan. Dan daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, dimasukkan ke wilayah Jipang Panolan.

Jipang Panolan rupanya sudah siap untuk mendirikan sebuah Kesultanan baru yang lepas dari Kesultanan Demak Bintara!

Pembunuhan Sunan Kalinyamat

Setelah mengadakan musyawarah yang sangat serius dengan para pembesar Kesultanan, Ratu Kalinyamat beserta suaminya, Sunan Kalinyamat memutuskan untuk datang bertandang ke Pesantren Kudus.

Sunan Kudus memang masih menjabat sebagai salah seorang Penasehat Agung Kesultanan Demak. Jabatan ini bermakna politis. Namun disamping itu, sudah diketahui umum bahwa Sunan Kudus-pun adalah seorang pemimpin Pesantren yang memiliki banyak santri. Dia dianggap sebagai seorang sesepuh dan dituakan.

Sebagai seorang Penasehat, kedudukan Sunan Kudus memang masih dibawah kedudukan Sultan Demak, tapi kedudukannya sebagai seorang pemimpin Pesantren yang berbasiskan moral, maka dia dianggap sebagai seorang Guru. Seseorang yang patut dipatuhi dan patut dijadikan suri tauladan.

Oleh karena itulah, sengaja Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat, menyengaja datang sendiri ke Pesantren Kudus. Ini dimaksudkan, kedatangan mereka berdua lepas dari hierarki sebuah pemerintahan. Sultan Demak V beserta istri datang ke Pesantren Kudus sebagai seorang siswa yang tengah menghadap Gurunya, walaupun mereka bukan siswa langsung Pesantren Kudus.

Kedatangan rombongan Sultan Demak V mengejutkan seisi Pesantren Kudus. Mau tidak mau, walaupun kedatangan Sultan Demak V dan Ratu Kalinyamat bukanlah atas nama Kesultanan namun atas nama pribadi, tetap saja, kedatangan mereka memancing penyambutan yang meriah!

Para santri segera berjajar sembari menabuh rebana dan menyanyikan shalawat Nabi menyambut kedatangan rombongan Sultan!

Tepat pada waktu itu, banyak terlihat pasukan Jipang Panolan tengah berada disana! Baik Sultan Demak V maupun Ratu Kalinyamat, melihat itu. Para pasukan Jipang tidak satupun yang ikut melakukan penyambutan. Disudut halaman Pesantren, terlihat sebuah kuda berbulu hitam yang berhiaskan perhiasan-perhiasan indah. Ratu Kalinyamat tahu, itu adalah kuda kesayangan Arya Penangsang yang dikenal dengan nama Kyai Gagak Rimang. Berarti, saat ini, Arya Penangsang juga tengah bertandang ke Pesantren Kudus. Situasi yang agak tidak menyenangkan terjadi antara pasukan Demak dengan pasukan Jipang. Ratu Kalinyamat segera memerintahkan pemimpin pasukan agar memastikan, mengambil tempat terpisah dengan pasukan Jipang dan jangan mengambil tindakan apapun jika tidak ada perintah darinya!

Sunan Kudus beserta istri dan keluarga, menyambut kedatangan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat beserta istri, Ratu Kalinyamat. Mereka berdua diterima di Pendhopo. Namun, tak tampak Arya Penangsang ikut menyambut kedatangan Sultan. Menyadari akan hal itu, Ratu Kalinyamat benar-benar merasa diremehkan dan ditantang!

Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat memohon kepada Sunan Kudus agar bisa berbicara bertiga. Sunan Kudus mengabulkan. Dan mereka akhirnya menuju ruang dalam bertiga.

Setelah berbasa-basi berbagi keselamatan, maka Ratu Kalinyamat-pun segera menyampaikan maksud kedatangan mereka :

“Bapa Sunan, kedatangan kami kemari sesungguhnya ibarat kedatangan seorang murid kepada Guru-nya. Walaupun kami bukan murid resmi Pesantren Kudus, namun secara tidak langsung, kami menghargai Bapa Sunan sebagai Guru kami pula.”

Sejenak Ratu Kalinyamat diam, lantas :

“Dan, kami memandang Bapa Sunan adalah panutan kami, sosok yang memberikan suri tauladan bagi kami. Jadi, sekiranya kami meminta keadilan kepada Bapa Sunan, bukankah itu juga sudah sewajarnya?”

Sunan Kudus tersenyum, dan menjawab :

“Memberikan keadilan adalah kewajiban seorang Sultan. Aku bukan seorang Sultan, anakmas Sunan Kalinyamat-lah seorang Sultan. Dia yang seharusnya berhak memberikan keadilan.”

Ratu Kalinyamat tersenyum, dan berkata :

“Bukan keadilan dari seorang Sultan yang tengah kami harapkan, tapi keadilan dari seorang Guru kepada muridnya yang telah berbuat dosa!”

Sunan Kudus terdiam.

Ratu Kalinyamat mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus kain putih dari dalam peti kayu berukir yang dia bawa. Benda terbungkus kain putih tersebut dipegangnya dengan tangan kanan, lalu dibuka penutup kainnya…

Sunan Kudus memincingkan mata melihat isi didalam bungkusan kain putih tersebut…

Dan Ratu Kalinyamat kembali berkata :

“Kami tahu pemilik benda ini kini tengah bersembunyi bagai seorang pengecut diruang belakang Pesantren. Kami meminta keadilan Bapa Sunan kepada pemilik benda ini. Pastinya, Bapa Sunan mengerti apa maksud kami!”

Tegas suara Ratu Kalinyamat.

Sunan Kudus menarik nafas. Dilihatnya benda yang ditunjukkan oleh Ratu Kalinyamat tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober. Keris pusaka miliknya yang kini telah diwariskan kepada Arya Penangsang.

“Saya bukan seorang Sultan…!” Sunan Kudus tiba-tiba berkata.

“Keadilan dari seorang Guru! Bukan dari seorang Sultan!”, potong Ratu Kalinyamat berani!

Kembali Sunan Kudus terdiam.

Dan pada akhirnya, Sunan Kudus menyanggupi untuk memberikan keadilan kepada Arya Penangsang. Namun memberikan sebuah keadilan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sunan Kudus menjanjikan, tujuh hari lagi, Sunan Kudus akan menyerahkan Arya Penangsang ke Demak untuk menerima hukuman Qisas atau hukum mati pancung kepala jika memang terbukti Arya Penangsang adalah dalang pembunuhan Sultan Demak IV atau Sunan Prawata!

Ratu Kalinyamat maupun Sunan Kalinyamat, walaupun meragukan kesungguhan Sunan Kudus, terpaksa menerima janji tersebut. Dan keduanya akhirnya mohon diri.

Begitu Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat telah meninggalkan Pesantren Kudus, Arya Penangsang menghadap Sunan Kudus. Dia menanyakan kebenaran janji yang telah diucapkan Sunan Kudus barusan. Dan Sunan Kudus berkata :

“Menurut hukum syariat, jika terjadi pembunuhan, dan keluarga korban menuntut, maka tidak ada alasan untuk menolak pelaksanaan hukum Qisas atau pancung kepala. Kecuali keluarga korban mau menerima diyat atau harta pengganti dari sang pembunuh sebagai wujud perdamaian antara kedua belah pihak.”

Arya Penangsang menukas :

“Dan tidak mungkin Nimas Kalinyamat mau menerima diyat dari saya. Maka sekalian, untuk menyingkirkan lawan-lawan saya sekaligus menghindari jatuhnya hukuman mati kepada saya, maka akan saya bungkam mulut Nimas Kalinyamat untuk selamanya agar tidak bisa menuntut saya lagi!”

Sunan Kudus terdiam. Lantas berkata :

“Terserah kamu! Tapi lakukan diluar wilayah Kudus!”
Arya Penangsang menyembah lantas bergegas keluar menemui Patih Matahun, Patih sepuh Jipang Panolan. Arya Penangsang memerintahkan, melakukan penghadangan rombongan Sultan Demak V. Dan perintah utamanya adalah : BUNUH SUNAN KALINYAMAT BESERTA RATU KALINYAMAT!

Setelah menerima perintah, Patih Matahun segera menyiapkan seluruh pasukan Jipang Panolan. Tidak memakan waktu lama, pasukan Jipang Panolan segera berangkat! Kuda-kuda digebrak nyalang menimbulkan bunyi ringkikan riuh rendah bercampur teriakan-teriakan komando!

Pasukan Jipang, bergerak menyusul rombongan Sultan Demak V! Tujuannya jelas MENYINGKIRKAN RATU KALINYAMAT DAN SUNAN KALINYAMAT HARI ITU JUGA!

Sekali lagi, darah akan tertumpah dibumi Jawa!


Bagian 2
Rombongan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat telah jauh meninggalkan wilayah Kudus. Tak terbersit sedikitpun dibenak Sunan Kalinyamat jikalau dibelakang mereka kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan. Hanya Ratu Kalinyamat yang mendapatkan firasat yang tidak mengenakkan.

Dan firasat itu terbukti ketika dari arah belakang, seorang penunggang kuda tengah memacu kudanya dengan kencang, menyusul kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat. Sang penunggang kuda itu berpakaian layaknya rakyat biasa, kini nampak tengah berusaha mendekati Lurah Prajurid Pengawal Sultan.

Ratu Kalinyamat tanggap, sang penunggang kuda itu tak lain adalah anggota Pasukan Telik Sandhibaya atau Pasukan Mata-Mata Demak Bintara. Nampak, Lurah Prajurid Pengawal Sultan, setelah melihat tanda anggota yang ditunjukkan oleh sang penunggang kuda, seketika memerintahkan seluruh rombongan berhenti.

Sang penunggang kuda yang baru datang nampak turun dari punggung kuda, menghaturkan sembah sembari mendekati Lurah Prajurid Pengawal. Terjadi percakapan sebentar. Disusul, Lurah Prajurid Pengawal-pun kemudian turun dari pungung kuda, dan berdua mereka berjalan menuju Kereta yang dinaiki Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat.

Keduanya menghaturkan sembah dan melaporkan bahwa, dibelakang rombongan, kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang Panolan dengan bersenjatan lengkap!

Sunan Kalinyamat terkejut, namun tidak dengan Ratu Kalinyamat. Dia memincingkan mata, diam sejenak, lantas segera memerintahkan seluruh pasukan untuk mempersiapkan diri. Perintah Ratu Kalinyamat jelas, yakni bersiap untuk menghadapi pasukan Jipang Panolan apapun yang dikehendaki. Jikalau pihak Jipang Panolan menginginkan perang, maka hari ini juga, Ratu Kalinyamat akan memenuhi keinginan pasukan Jipang!

Dua orang prajurid ditugaskan menuju ibu kota Demak untuk menyampaikan perintah tertinggi Sultan Demak V yang diwakili Ratu Kalinyamat kepada seluruh angkatan bersenjata Demak agar mempersiapkan diri untuk memulai perang terbuka dengan pihak Jipang Panolan!

Ratu Kalinyamat sendiri yang memimpin rombongan Pasukan Pengawal. Dia kini keluar dari kereta dan menaiki seekor kuda. Ratu Kalinyamat terlihat gagah dan anggun ketika duduk diatas pungung kuda. Sorot matanya garang, sangat kontras dengan kecantikan wajahnya. Namun, walaupun begitu, malahan nampak terlihat semakin anggun!

Seluruh pasukan telah bersiap ditempat masing-masing menunggu komando. Medan perbukitan yang kini tengah mereka jajaki, telah siap mereka jadikan ajang pertempuran!

Dan benar! Dari arah berlawanan, sepasukan prajurid berkuda nampak datang! Jelas, atribut yang mereka kenakan memang berasal dari pasukan Jipang Panolan! Dari kejauhan, melihat pasukan Demak telah siap tempur, pasukan Jipang yang baru datang tersebut langsung menghunus senjata masing-masing dan langsung menyerbu pasukan Demak!

Ratu Kalinyamat dengan tenang menghunus kerisnya. Diangkatnya tinggi-tinggi keris tersebut dengan tangan kanannya. Lantas setelah dirasa sudah saatnya, Ratu Kalinyamat sontak lantang berteriak memberikan komando !

“Seraaaaaang!!!”

Gemuruh dan hiruk pikut suara pasukan Jipang Panolan yang tengah maju kini berbaur dengan gemuruh pekikan pasukan Demak yang juga maju menyambut kedatangan mereka!

Pertempuran tak terelakkan lagi! Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat yang kini juga ikut turun dari kereta berganti menaiki seekor kuda, mengamuk di medan laga! Satu dua prajurid Jipang terbabat keris Ratu Kalinyamat tepat dileher! Sontak menjerit kesakitan dan sekarat dengan leher menganga mengucurkan darah segar!

Sungguh luar biasa sosok Ratu Kalinyamat! Dibalik kecantikan dan keanggunannya, kini dia berubah menjadi harimau betina yang pilih tanding! Kerisnya menyambar ke sana kemari, sangat cepat dan lihai!

Dipihak Jipang, pasukan dipimpin oleh Patih Matahun. Patih sepuh yang semenjak dulu setia mengabdi kepada Pangeran Suryawiyata dan sempat menghilang beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata dapat dipatahkan, kini, setelah Arya Penangsang tampil kedepan, Patih sepuh ini ikut tampil kembali.

Banyak prajurid Demak yang meregang nyawa terkena amukan Patih Matahun! Kelincahannya sangat mengagumkan! Kerisnya mencicit kesana kemari mengincar nyawa pasukan Demak!

Tingkah Patih Matahun menyita perhatian Ratu Kalinyamat. Harimau betina ini menggeram! Digebraknya kuda dan dengan sangat berani menyibak pertempuran dan melaju ke garis depan! Tujuan Ratu Kalinyamat tak lain adalah Patih Matahun!

Jika berkelahi dengan tangan kosong, Ratu Kalinyamat mungkin kalah tenaga dengan Patih Matahun. Namun jika beradu keahlian bermain keris, maka jangan sekali-kali meremehkan Ratu Kalinyamat!

Keris Ratu Kalinyamat mencicit tak terduga menelusup daerah vital lawan! Banyak prajurid Jipang yang ciut nyalinya melihat kelihaian Ratu Kalinyamat dalam bermain keris. Satu dua prajurid Jipang meregang nyawa sia-sia manakala hendak mencoba menghadang laju kuda harimau betina ini!

Dan Patih Matahun baru menyadari jika kini Ratu Kalinyamat tengah menuju ke arahnya! Patih sepuh ini segera bersiap diri. Ratu Kalinyamat terkenal mahir bermain keris dan Patih Matahun tidak berani sembarangan menghadapi perempuan cantik ini!

Dan benar! Begitu jarak mereka sudah sedemikian dekat, sembari terus memacu kudanya kencang, Ratu Kalinyamat menyabetkan keris kearah Patih Matahun! Serangan itu mengincar leher! Patih Matahun mencoba menghindar dengan cara memutar kudanya! Tapi ternyata, begitu jarak keris sudah sedemikian dekat, mendadak Ratu Kalinyamat mengubah serangan mengarah perut! Begitu cepat dan tak terduga! Patih Matahun kaget setengah mati! Tak urung, perutnya terkena sabetan keris Ratu Kalinyamat! Untung cuma tergores! Namun bagaimanapun juga, lukanya cukup lumayan!

Patih Matahun menggeram marah! Putri Sultan Trenggana ini ternyata memang mahir bermain keris! Jarang bisa ditemukan sosok seperti ini, walaupun seorang laki-laki sekalipun! Patih Matahun kini tidak berani main-main lagi!

Pertempuran semakin sengit!! Denting senjata diiringi teriakan-teriakan nyalang terdengar disana-sini! Diselingi pekik kesakitan dari mereka-mereka yang tengah terbabat senjata lawan atau yang tengah menggelepar meregang nyawa! Mayat telah banyak bergelimpangan dengan darah membasah!

Namun, jumlah pasukan Demak memang kalah banyak dengan jumlah pasukan Jipang! Pelahan dan pasti, pasukan Demak terpukul mundur!

Dan yang mengejutkan, terdengar teriakan-teriakan pasukan Jipang Panolan ditengah-tengah pertempuran. Teriakan-teriakan itu bersahut-sahutan :

“Sultan Demak wis matii!!! Sultan Demak wis matii!!”
(Sultan Demak tewas!! Sultan Demak tewas!!)

Ratu Kalinyamat terkejut mendengar bunyi teriakan-teriakan itu! Konsentrasinya seketika buyar! Patih Matahun tak menyia-nyiakan kesempatan itu! Ditubruknya tubuh Ratu Kalinyamat ! Patih Matahun meompat dari punggung kuda menabrakkan tubuhnya ke tubuh Ratu Kalinyamat!

Ratu Kalinyamat yang tak menduga akan hal itu tak sempat menghindar! Tubuhnya kontan tertimpa tubuh Patih Matahun! Keduanya jatuh terguling-guling diatas tanah! Dan celakanya, keris ditangan Ratu Kalinyamat terlepas dari genggaman!!

Sigap Ratu Kalinyamat bangkit dari tanah! Namun Patih Matahun lebih sigap lagi! Patih sepuh itu nampak kesetanan! Keris ditangannya mencicit mengarah dada Ratu Kalinyamat!

Ratu Kalinyamat bagai harimau kehilangan taring! Dia mencoba menghindar dan terus menghindar tanpa bisa membalas serangan!!

Ditempat lain, pasukan Demak mulai kocar-kacir! Kondisi pertempuran telah berubah drastis! Pasukan Demak terdesak hebat! Sebentar lagi, pasukan Demak akan menemui kekalahan!!

Ratu Kalinyamat panik! Serangan Patih Matahun terus mencercanya! Hingga disuatu ketika, posisi tempat Ratu Kalinyamat berdiri, kini tengah berada dibibir tebing! Mata Ratu Kalinyamat memerah! Nafasnya turun naik!! Dia memperhatikan Patih Matahun yang kini sudah dibantu oleh beberapa pasukan Jipang! Ratu Kalinyamat sadar, pasukan Demak sudah hampir kalah! Dan posisinya kini tengah berada diujung tanduk!

Dan, entah keberanian dari mana yang hinggap di benak Ratu Kalinyamat. Begitu mendapati dirinya terdesak, sontak, dia berbalik arah dan nekad terjun ke tebing dibelakangnya!

Patih Matahun yang hendak menabraknya terlambat! Tubuh Ratu Kalinyamat telah meluncur ke bawah dengan meninggalkan jeritan yang menggema!!

Patih Matahun kebingungan mengamati ke bawah tebing dimana Ratu Kalinyamat tadi melompat! Namun tidak lama, segera setelah itu dia memerintahkan beberapa prajurid untuk menuruni tebing dari sisi lain! Beberapa prajurid Jipang segera bergerak mencari jalan ke bawah!

Dimedan laga, prajurid Demak banyak yang tewas! Sisanya melarikan diri. Dan mayat Sunan Kalinyamat terlihat dibawa menepi oleh beberapa prajurid Jipang!

Hampir seharian, pencarian keberadaan Ratu Kalinyamat tidak mendapatkan hasil sama sekali. Patih Matahun menyimpulkan, putri Sultan Trenggana itu telah tewas didasar tebing. Dan berarti tugas mereka untuk membunuh Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat telah berhasil dengan gemilang!

Kini, Patih Matahun dengan pasukan Jipang yang tersisa, tinggal kembali ke Jipang Panolan untuk menggabungkan diri dengan pasukan Jipang yang lebih besar, yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Pasukan Jipang Panolan tengah mempersiapkan diri untuk bergerak ke ibu kota Demak Bintara.

Keesokan harinya, pasukan Jipang Panolan benar-benar bergerak ke ibu kota Demak Bintara! Angkatan bersenjata Demak yang memang telah mempersiapkan diri pula, menyambut pasukan Jipang Panolan walaupun mereka telah kehilangan sosok Sultan!

Dan tentu saja, sosok panutan tertinggi memang sangat berpengaruh bagi kondisi kejiwaan para prajurid. Pasukan Demak telah kehilangan semangatnya! Bahkan banyak kesatuan-kesatuan yang menyeberang ke pihak Jipang Panolan! Peperangan antara Jipang dengan Demak Bintara tidak memakan waktu lama! Demak Bintara berhasil ditaklukkan dengan sangat mudah!!

Para personil angkatan bersenjata Demak yang anti Jipang, banyak yang melarikan diri ke Kadipaten Pajang. Mereka mengabarkan kejatuhan Demak Bintara ditangan Arya Penangsang . Mengabarkan wafatnya Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat, dan kini mereka hendak bergabung kedalam angkatan bersenjata Pajang!

Pajang gempar!! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir yang memang sudah lama mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi seperti ini, segera memerintahkan angkatan bersenjata Pajang untuk semakin mempersiapkan diri berperang dengan Jipang Panolan!

Situasi benar-benar memanas! Peperangan antara Jipang Panolan yang mayoritas diperkuat barisan Islam Putihan dengan Pajang yang mayoritas diperkuat barisan Islam Abangan dan Shiwa Buddha, sudah tampak didepan mata!

Bahkan terdengar kabar sekali lagi, Jepara kini telah diserang oleh Jipang Panolan!

Para Senopati Pajang telah meminta kepada Adipati Adiwijaya untuk mengeluarkan maklumat perang dengan Jipang Panolan. Namun atas saran Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, seyogyanya Adipati Adiwijaya untuk sementara waktu melihat reaksi Dewan Wali Sangha atas peristiwa tersebut. Jika Dewan Wali Sangha nampak tidak menyetujui tindakan Arya Penangsang, maka tidak ada salahnya jika Pajang mengangkat senjata secara terbuka. Namun manakala pihak Dewan Wali Sangha malah merestui tindakan Arya Penangsang, maka harus dicari jalan lain demi menghadapi Jipang. Tidak boleh terlihat dipermukaan bahwa Pajang melawan Jipang jika Dewan Wali berpihak kepada Jipang. Namun harus ada tangan ketiga yang seolah-olah lepas dari Pajang yang harus menghadapi Jipang Panolan!

Sikap Dewan Wali belum jelas. Namun sikap Sunan Kudus sudah terbaca. Sunan Kudus menyetujui tindakan Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya harus sabar menunggu reaksi Dewan Wali Sangha. Sebab jika gegabah menyerang Jipang, dan ternyata Dewan Wali merestui Jipang, bisa jadi, Cirebon dan Banten akan diperintahkan Dewan Wali membantu Jipang. Itu berarti, Pajang harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus!

Adipati Adiwijaya sebenarnya sudah tidak sabar ingin berhadapan dengan Arya Penangsang yang katanya tak terkalahkan tersebut! Biarpun Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya alias Jaka Tingkir, tidak gentar sedikitpun! Namun saran dari pembantu-pembantu terdekatnya, memang patut dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun istri sang Adipati, Nimas Sekaring Kedhaton, terus menangis mendengar dua orang kakak kandungnya, yaitu Sunan Prawata dan Ratu Kalinyamat, telah tewas ditangan pasukan Jipang Panolan!

Nimas Sekaring Kedhaton memohon kepada Adipati Adiwijaya agar berjanji membalaskan dendamnya kepada Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya atau Jaka Tingkir, tidak bisa menolak permintaan istri kesayangannya tersebut!!

Namun bagaimanapun juga, reaksi dari Dewan Wali Sangha memang patut ditunggu. Setelah reaksi dari Dewan Wali keluar, maka saat itulah Pajang akan bergerak!!

Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.

Dipihak Pajang, telah sekian lama mengabdi dua orang keturunan Raden Bondhan Kejawen. Kedua orang ini memang sengaja dititipkan oleh Sunan Kalijaga kepada Adipati Adiwijaya. Mereka adalah Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani.
Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gedhe Mentaram
Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng Mangenis Sela. Ki Ageng Mangenis Sela adalah putra dari Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela adalah putra dari Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra dari Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Dan Raden Bondhan Kejawen adalah putra selir Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning atau Dewi Bondrit Cemara, putri yang berasal dari daerah Wandhan atau Banda Niera sekarang. ( Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara dan Jaka Tingkir : Damar Shashangka).

Sedangkan Ki Juru Martani adalah putra dari adik Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memiliki tujuh orang adik perempuan. Dan salah satunya menurunkan Ki Juru Martani.

Usia Ki Juru Martani dengan Ki Ageng Pamanahan tidaklah terpaut terlalu jauh. Walaupun begitu, Ki Ageng Pamanahan tetap harus memanggil paman kepada Ki Juru Martani. Karena bagaimanapun juga, Ki Juru Martani adalah adik keponakan dari Ki Ageng Mangenis Sela, ayah Ki Ageng Pamanahan.

Kedua keturunan Raden Bondhan Kejawen ini telah lama berguru kepada Sunan Kalijaga. Dan manakala Jaka Tingkir telah berhasil menjabat sebagai Adipati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya, maka atas permintaan Ki Ageng Sela, Sunan Kalijaga diminta menitipkan kedua orang ini kepada Jaka Tingkir.

Mendapati trah Tarub dititipkan oleh Sunan Kalijaga guna mengabdi di Pajang, Jaka Tingkir-pun tak mampu menolaknya. Keduanya-pun diterima sebagai pemimpin kesatuan Prajurid Pengawal Adipati yang kedudukannya berada dibawah Lurah Prajurid Pengawal langsung.

Kecakapan Ki Ageng Pamanahan membuat Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya merasa tidak salah telah mempercayainya sebagai salah satu pemimpin Prajurid Pengawal. Ditambah kepintaran Ki Juru Martani dalam hal siasat politik maupun militer, membuat Adipati Adiwijaya akhirnya mengangkat Ki Ageng Pamanahan sebagai Lurah Prajurid Pengawal Adipati dan Ki Juru Martani sebagai wakilnya.

Ki Ageng Pamanahan memiliki seorang putra yang masih muda belia. Danang Sutawijaya namanya. Kedekatan Ki Ageng Pamanahan secara pribadi dengan Adipati Adiwijaya membuat Danang Sutawijaya pada akhirnya diambil putra angkat oleh Sang Adipati dan dijadikan teman bermain Pangeran Benawa, putra Sang Adipati yang usianya juga tak terpaut jauh dengan Danang Sutawijaya!

Maka, jika Adipati Adiwijaya secara pribadi dekat dengan Ki Ageng Pamanahan, Pangeran Benawa-pun sangat akrab dengan Danang Sutawijaya. Jalinan persaudaraan-pun tercipta antara keluarga Adipati dengan keluarga Ki Ageng Pamanahan.

Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda dusun yang memohon untuk menghadap kepada Adipati Adiwijaya. Kehadiran pemuda ini menggemparkan seisi Kadipaten karena dia mengaku telah diutus secara langsung oleh Ratu Kalinyamat!!

Tanpa menunggu waktu, Adipati Adiwijaya memerintahkan pemuda itu untuk segera menghadap kepadanya!!

Bagian 3

Kedatangan pemuda dusun yang konon diutus oleh Ratu Kalinyamat tersebut benar-benar menggemparkan seisi Kadipaten Pajang. Secepatnya Adipati Adiwijaya menyuruh pemuda itu untuk menghadap. Adipati Adiwijaya menemui sang pemuda secara pribadi dengan hanya ditemani oleh Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil.

Dari penuturan pemuda dusun tersebut, tahulah Adipati Adiwijaya dan seluruh yang hadir disitu bahwasanya Ratu Kalinyamat masih diberikan umur panjang. Menurut sang pemuda, tubuh Ratu Kalinyamat dia ketemukan tengah tersangkut disebuah batang pohon besar yang kebetulan tumbuh didasar tebing.

Dalam kondisi yang terluka teramat parah, Ratu Kalinyamat ternyata masih hidup. Sangat beruntung sekali Ratu Kalinyamat karena saat terjatuh dari atas tebing, tubuhnya tidak sempat terbentur bebatuan cadas. Dan lebih beruntung lagi karena tubuhnya menimpa sebatang dahan pohon raksasa yang tumbuhnya kebetulan memang miring. Sungguh suatu keajaiban yang tidak akan mungkin bisa terulang lagi!

Sang pemuda yang kebetulan tengah mencari madu hutan, tanpa sengaja mendapati sosok tubuh seorang wanita yang penuh luka dan darah disana-sini tengah tersangkut di sebuah batang pohon. Menitik dari pakaian yang dikenakan, jelas sosok ini bukan dari kalangan rakyat biasa. Mendapati sosok itu masih hidup dan tengah sekarat, segera saja sang pemuda melupakan tujuannya semula yang hendak mencari madu ke hutan. Dia segera membopong tubuh tersebut dan membawanya pulang ke desa!

Bekel atau Kepala Desa yang mendapat laporan tentang penemuan sesosok tubuh wanita dari sang pemuda, segera datang ke rumah sang pemuda untuk melihatnya sendiri. Sang Bekel kaget melihat pakaian kebesaran Demak Bintara melekat pada tubuh wanita yang terluka parah tersebut. Segera saja Sang Bekel memerintahkan ahli pengobatan yang tinggal di desa tersebut untuk segera memberikan pertolongan secepatnya.

Beberapa tulang yang cidera, dikembalikan lagi posisinya. (Dalam pengobatan Jawa dikenal dengan Ilmu Sangkal Putung, yaitu ilmu pengobatan khusus tulang yang mampu mengembalikan posisi cidera tulang akibat benturan keras. Sampai sekarang masyarakat Jawa yang tengah mengalami cidera akibat kecelakaan, masih banyak yang meminta bantuan ahli Sangkal Putung. Dan pada kenyataannya, memang sangat mujarab. Banyak penderita yang tertolong walaupun tidak harus mendatangi Rumah Sakit : Damar Shashangka.)

Luka-luka luar maupun luka-luka dalam, pelahan dengan pasti berangsur-angsur sembuh berkat ramuan yang diracik dari berbagai tanaman. Dan satu minggu kemudian, sosok wanita yang tak lain adalah Ratu Kalinyamat tersebut, baru bisa diajak bicara. Dan terkejutlah seisi penghuni desa tak terkecuali Sang Bekel mendapati pengakuan dari wanita tersebut bahwasanya dirinya tak lain adalah Ratu Kalinyamat, permaisuri Sultan Demak V yang kini telah tewas akibat terbunuh oleh pasukan Jipang Panolan!

Satu bulan kemudian, Ratu Kalinyamat telah mampu bangkit dari ranjang walau masih tertatih-tatih akibat cidera tulang yg dialaminya masih belum sembuh total.

Pada masa itu, interaksi antar penduduk satu desa dengan desa lain sangat-sangat terbatas. Disamping kebutuhan ekonomi mereka telah tercukupi dari hasil pertanian olahan sendiri, medan dan jalan-jalan penghubung antar daerah masih sulit dan terjal. Apalagi desa dimana Ratu Kalinyamat tertolong termasuk desa yang ada dilereng pegunungan. Maka bisa dibayangkan, betapa terisolirnya letak desa tersebut.

Bagi para penduduk desa, adalah sebuah kehormatan besar bagi mereka telah menolong seorang permaisuri Sultan Demak. Dan kepada pemuda yang dulu menemukan tubuh Ratu Kalinyamat pada mula pertama, Sang Ratu menjanjikan sebuah jabatan di pemerintahan.

Sang pemuda lantas diutus oleh Ratu Kalinyamat menyampaikan kabar keselamatannya ke Pajang. Dengan dibekali beberapa lembar Rontal yang telah ditulisi pesan pribadi dari Sang Ratu, dan setelah diwanti-wanti agar berhati-hati dijalan karena ini adalah tugas yang cukup rahasia dan berbahaya jika sampai diketahui oleh mata-mata Jipang, maka berangkatlah sang pemuda ke Pajang.

Adipati Adiwijaya berikut sang permaisuri, Nimas Sekaring Kedhaton benar-benar bersyukur kepada Hyang Widdhi mendengar kabar yang dibawa oleh sang pemuda yang kini tengah ada dihadapan mereka. Bahkan saking gembiranya, Nimas Sekaring Kedhaton meneteskan air mata bahagia.

Segera Adipati Adiwijaya membaca surat dari kakak iparnya yang diserahkan oleh sang pemuda. Nampak Sang Adipati mengerutkan dahi setelah membaca isi surat dari Ratu Kalinyamat. Disana tertulis bahwasanya Sang Ratu meminta kepada Adipati Adiwijaya supaya mengirimkan beberapa prajurid pilihan untuk mengantarkannya pulang ke Jepara. Para prajurid harus ‘nylamur lampah’ alias menyamar sebagai orang kebanyakan. Tidak hanya prajurid, Sang Ratu juga meminta agar dikirimkan pula beserta para prajurid, beberapa pelayan wanita.

Tujuan Sang Ratu ke Jepara adalah menuju sebuah gua rahasia yang tidak seorang-pun mengetahui letak gua tersebut kecuali Sang Ratu sendiri dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat. Disana selain menyembunyikan diri, Ratu Kalinyamat juga bertekad akan melakukan TAPA WUDA atau TAPA TELANJANG. Ratu Kalinyamat tidak akan mengenakan selembar pakaian-pun selama Arya Penangsang belum mati terbunuh!!

Selain itu, Ratu Kalinyamat secara khusus meminta agar Adipati Adiwijaya memberikan ganjaran atau anugerah berupa uang yang sepantasnya kepada para penduduk desa yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya. Dan khusus kepada pemuda yang telah menemukan tubuhnya ketika terluka parah, Ratu Kalinyamat memohon agar pemuda tersebut bisa diberikan kedudukan yang pantas dijajaran pemerintahan Kadipaten Pajang.

Membaca permintaan yang kedua dan ketiga dari Ratu Kalinyamat, bagi Sang Adipati tidak menjadi masalah untuk memenuhinya, namun membaca permintaan pertama dimana Sang Ratu hendak berniat menuju Jepara, membuat Adipati Adiwijaya merasa berberat hati.

Adipati Adiwijaya memutuskan agar sang pemuda untuk sementara mundur dahulu dari hadapan beliau. Dia diutus agar beristirahat untuk sementara waktu. Beliau sendiri hendak membahas isi surat Ratu Kalinyamat dengan Nimas Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil secara pribadi.

Sang pemuda diantar beberapa prajurid pengawal Adipati menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan baginya.

Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat.

Jepara kini telah dikuasai oleh Jipang Panolan. Bila Ratu Kalinyamat nekad kembali ke Jepara, itu sama saja dengan ‘Ula marani gepuk’ atau mencari mati. ( Ula marani gepuk adalah istilah Jawa yang artinya kurang lebih, seekor ular malah mendekati tongkat pemukul yang hendak dipergunakan untuk meremukkan kepalanya : Damar Shashangka). Begitulah Adipati Adiwijaya berpendapat.

Namun, Nimas Sekaring Kedhaton malah berpendapat lain. Saat ini, malahan tempat yang dirasa paling aman bagi kakak kandungnya memang hanyalah wilayah Jepara. Karena walaupun Jepara memang telah dikuasai Jipang Panolan, namun Ratu Kalinyamat, bagaimanapun juga, telah hapal setiap jengkal tanah Jepara.

Bahkan, Nimas Sekaring Kedhaton dulu pernah mendengar bahwa kakak kandungnya memang memiliki tempat rahasia yang khusus, tempat yang kerap kali dia pergunakan untuk menyepi dan bertapa.

Hanya Ratu Kalinyamat dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat saja yang tahu dimana letak tempat tersebut. Para prajurid Jepara-pun, tidak seorang-pun yang mengetahuinya. Konon letaknya berada disekitar Gunung Danaraja. Mungkin, jika benar Ratu Kalinyamat berniat untuk menyembunyikan diri disana, pihak Jipang dapat dipastikan tidak akan bisa menemukannya!

Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil condong menyetujui pendapat Nimas Sekaring Kedhaton.

Apa yang telah diputuskan oleh Ratu Kalinyamat, tentunya memang sudah dipertimbangkan secara masak. Mungkin, selain beliau berniat untuk menyembunyikan diri ditempat yang paling aman menurut beliau, diam-diam Sang Ratu juga bisa mengkoordinasikan kekuatan dari para pendukungnya yang masih ada disana. Siapa saja mereka, tentunya hanya Ratu Kalinyamat yang tahu. Ratu Kalinyamat lebih bisa berbuat sesuatu di Jepara daripada jika Sang Ratu memilih bersembunyi ke Pajang, begitu menurut pendapat Ki Mas Manca.

Setelah berunding cukup lama, pada akhirnya, Adipati Adiwijaya memutuskan memenuhi semua permintaan Ratu Kalinyamat. Dikirimkannyalah dua puluh prajurid khusus pilihan dari Pajang dengan menyamar sebagai rombongan penari keliling. Dengan membawa seperangkat Gamelan sebagai bagian dari aksi penyamaran,ditambah lima orang pelayan wanita yang menyamar sebagai para penarinya, maka dihari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka.

Disetiap tempat, mereka sengaja menggelar pertunjukan. Hal ini demi untuk mengelabuhi para mata-mata Jipang sekiranya keberadaan mereka tengah menjadi perhatian mereka. Dan pada akhirnya sampai juga mereka di desa dimana Ratu Kalinyamat tengah menyembunyikan diri.

Ratu Kalinyamat lantas ikut rombongan Pajang tersebut dan meninggalkan desa dimana selama ini Sang Ratu telah dirawat untuk menuju ke Jepara. Dalam perjalanan ke Jepara, rombongan tersebut juga kerap menggelar pertunjukan. Namun, Sang Ratu sengaja tidak tampil ke muka umum. Hingga pada akhirnya, rombongan ini selamat sampai ke Gunung Danaraja.

Ratu Kalinyamat dan rombongan segera menuju gua rahasia yang selama ini sangat dirahasiakan oleh Sang Ratu. Dua puluh prajurid pilihan Pajang bertugas menjaga keselamatan Sang Ratu. Sedangkan lima orang pelayan wanita bertugas melayani kebutuhan Sang Ratu. Sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri, segera memilih tempat yang tepat, tempat yang tersembunyi dan agak gelap. Dan setelah tempat tersebut dibersihkan sedemikian rupa, Sang Ratu-pun untuk sejenak beristirahat disana sembari menunggu malam menjelang.

Begitu malam telah turun, Sang Ratu dengan diantar lima pelayan wanita, keluar dari gua menuju sungai Gajahan yang terletak tak jauh dari sana. Sang Ratu membersihkan diri disungai tersebut. Selesai membersihkan diri, beliau kembali ke dalam gua.

Ditempat yang telah dipilih, Sang Ratu melepaskan seluruh busananya hingga telanjang bulat. Rambut panjangnya diurai sedemikian rupa hingga menutupi bagian payudaranya. Ratu Kalinyamat duduk bersila. Sang Ratu bertekad, tidak akan mengenakan busananya lagi sebelum Arya Penangsang mati! ( Tempat Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat hingga sekarang menjadi tempat ziarah. Terletak di Desa Danaraja, Jepara bagian utara, dan Sungai Gajahan masih tetap mengalir disana. : Damar Shashangka)

Dalam kondisi seperti itu, hanya pelayan wanita saja yang diperbolehkan mendekati beliau.

Diam-diam, walaupun Ratu Kalinyamat juga tengah menjalani Tapa Telanjang, melalui kedua puluh prajuirid pilihan yang menjaganya, Ratu Kalinyamat mencoba menghubungi beberapa mantan petinggi Jepara yang masih loyal kepadanya. Beberapa mantan pejabat tersebut diam-diam pula bertandang menghadap ke Gunung Danaraja. Dari sini, koordinasi mulai dibangun kembali. Ratu Kalinyamat pelahan dan pasti, mulai merapatkan barisan para pendukungnya. Kekuatan Jepara yg tercerai berai akibat gempuran Jipang Panolan, diam-diam mulai menyatu kembali.

Usaha Pembunuhan Adipati Adiwijaya.

Arya Penangsang sudah bersiap untuk menyerang Pajang. Namun Sunan Kudus masih menghalanginya. Pajang terlalu kuat untuk diperangi saat ini. Seluruh kekuatan Islam Abangan, bahkan sedikit banyak kekuatan Shiwa Buddha, kini telah merapat dalam satu barisan dibawah panji Kadipaten Pajang.

Jika Dewan Wali Sangha sudah jelas-jelas memberikan dukungan kepada Jipang, maka penyerangan ke Pajang tidaklah menjadi masalah. Karena sudah dapat dipastikan, Cirebon dan Banten, mau tidak mau akan ikut memperkuat barisan Jipang manakala Dewan Wali telah mengeluarkan fatwanya!

Kekuatan Pajang sebenarnya terletak pada sosok Jaka Tingkir sebagai pewaris tahta Majapahit. Sosok Adipati Pajang ini mampu memberikan semangat romantisme yang luar biasa akan kejayaan Majapahit. Baik pengikut dari Shiwa Buddha maupun Islam Abangan, mereka semua sangat-sangat mengagungkan Majapahit.

Sunan Kudus memberikan solusi, jika Jaka Tingkir berhasil dibunuh, maka dapat dipastikan, kekuatan Pajang akan terpecah-pecah!

Model pembunuhan seperti yang pernah dilakukan kepada Sunan Prawata yang berhasil dengan gemilang, tidak ada salahnya dicoba untuk dilakukan sekali lagi kepada Adipati Pajang tersebut.

Arya Penangsang merespon solusi yang dianjurkan oleh Sunan Kudus. Dipilihnyalah empat orang anggota prajurid Sureng, prajurid khusus Jipang Panolan, untuk menjalankan tugas rahasia tersebut.

Empat anggota prajurid pilihan yang diambil dari anggota pasukan khusus segera ditugaskan menuju Pajang. Konon, Jaka Tingkir adalah sosok manusia digdaya yang tubuhnya kebal senjata tajam. Maka, sekali lagi, Keris Kyai Brongot Setan Kober yang berhasil direbut dari dalam Kereta kencana Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat dikala penyerangan kepada kedua bangsawan tersebut tempo hari, kini dibekalkan kepada empat orang prajurid tersebut.

Dengan menyamar sebagai pedagang keliling, empat orang prajurid khusus Jipang Panolan tersebut segera berangkat menuju Pajang. Beberapa hari mereka menempuh perjalanan dan akhirnya sampai juga di ibukota Kadipaten Pajang.

Empat orang prajurid Jipang selama tiga hari menyamar sebagai pedagang keliling. Sembari pura-pura menjajakan dagangan berupa pakaian-pakaian jadi, mereka mencoba mencari informasi seputar kondisi dan situasi Kadipaten.

Sebagai seorang prajurid khusus yang telah terlatih, mereka dengan sangat cepat mampu menandai dimana titik-titik lemah penjagaan Kadipaten Pajang.

Setelah yakin akan hasil penyelidikannya, maka pada hari keempat, tepat tengah malam, mereka segera memulai aksinya.

Malam itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani belum tertidur. Keduanya masih terjaga sembari berbincang-bincang. Namun mendadak, baik Ki Ageng Pemanahan maupun Ki Juru Martani, merasakan perubahan suasana yang aneh. Kondisi Kadipaten tiba-tiba terasa senyap. Bahkan suara burung malam yang sesekali terdengar, kini mendadak tak terdengar sama sekali. Seolah seluruh makhluk penghuni malam, telah hilang begitu saja, entah kemana. Bahkan, jengkerikpun tiba-tiba tidak memperdengarkan suara khasnya.

Suasana yang terasa aneh seperti itu membuat kedua orang ini waspada. Ki Juru Martani berbisik kepada Ki Ageng Pemanahan bahwa sepertinya ada orang yang tengah menebarkan kekuatan gaib ilmu sirep, yaitu sejenis ilmu yang dipergunakan untuk membuat orang lain tertidur pulas bagaikan mati. Ki Ageng Pemanahan segera memutuskan untuk keluar dari bilik pribadi. Dengan diikuti oleh Ki Juru Martani, keduanya segera berkeliling areal Kadipaten.

Didalam bilik peraduan, Adipati Adiwijaya juga merasakan perubahan suasana yang misterius tersebut. Malam itu, Sang Adipati tidur dengan ditemani empat orang istri selir. Keempat istri selir nampak pulas tertidur disisi kanan dan kiri Sang Adipati, mereka tertidur bagaikan mati. Hanya tinggal Adipati Adiwijaya saja yang terjaga dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tengah terjadi. Sang Adipati kini mulai meningkatkan kewaspadaannya. Dengan tetap berbaring telentang, Adipati Adiwijaya sengaja menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain kemben.

Situasi sangat-sangat senyap.

Mendadak dari arah pintu kamar, lamat-lamat terdengar bunyi berisik. Mata Sang Adipati nyalang melirik ke arah pintu kamar. Jelas dari arah luar, ada orang yang sengaja berusaha masuyk secara paksa kedalam. Sang Adipati waspada. Dengan tetap dalam posisi telentang berselimutkan kain kemben, Sang Adipati siaga sepenuhnya!

Tidak berapa lama berselang, dua orang bercadar berhasil membuka pintu dan langsung masuk kedalam. Yang seorang segera bergerak kearah pembaringan dan yang seorang tetap menjaga pintu! Terlihat keris dihunus dari warangka, berkilat sesaat tertimpa cahaya pelita kamar. Dengan memegang keris terhunus dan berjalan mengendap-endap, salah seorang bercadar mendekati pembaringan Adipati Adiwijaya.

Begitu jarak sudah sedemikian dekat dengan tubuh Sang Adipati, orang bercadar tersebut secepat kilat menikamkan keris kedada Sang Adipati! Keris terayun nyalang mengarah dada!

Namun terjadi keanehan! Tusukan yang telah sedemikian tepat dan mematikan tersebut mental bagaikan mengenai lempengan besi padat! Dada Sang Adipati sama sekali tidak terluka sedikitpun! Hanya kain kemben yang dijadikan selimut tersingkap!

Orang bercadar yang menusukkan keris terkejut!! Sekali lagi dihunjamkannya keris kearah yang sama! Dan sekali lagi pula, keris mental bagai mengenai lempengan logam!

Disaat itu, Adipati Adiwijaya mendadak membuka mata nyalang! Dengan menggeram marah, Adipati Adiwijaya segera menjejakkan kakinya ke dada orang bercadar yang berusaha hendak menusukkan keris sekali lagi ke arah tubuhnya! Jejakan kaki Sang Adipati tepat mengenai dada! Tubuh orang bercadar terdorong kebelakang, lantas jatuh menimpa perabotan kamar diiringi bunyi gaduh yang nyaring!!

Bunyi gaduh akibat jatuhnya tubuh orang bercadar menimpa perabotan kamar membuat keempat istri selir terbangun! Kontan begitu menyadari ada dua orang lain yang tengah hadir didalam kamar, mereka langsung menjerit ketakutan!

Dengan bertelanjang dada, Adipati Adiwijaya bangkit dari pembaringan dan langsung menyambar sebuah keris yang menyandar disudut dinding!! Adipati Adiwijaya menghunus keris tersebut seketika! Salah seorang bercadar yang sedari tadi menjaga pintu, tanpa menunggu waktu langsung menyerang Sang Adipati! Perkelahian segera terjadi! Kegaduhan pun tercipta diiringi jerit ketakutan keempat istri selir yang kini nampak berkumpul berdiri dipojok kamar !!


Bagian 4

Tusukan keris bisa dihindari oleh Adipati Adiwijaya. Bahkan dengan tak terduga, keris ditangan Sang Adipati cepat menukik ke arah perut! Orang bercadar kaget! Begitu cepat serangan tersebut! Dia berusaha menghindar selekasnya, namun karena terlalu cepatnya serangan, kulit perutnya-pun tergores juga! Dibalik cadarnya, dia meringis kesakitan!!

Salah seorang yang sedari tadi terjatuh, kini bangkit berdiri dan langsung menyerang! Kegaduhan kembali terjadi lebih dari semula! Namun, bagaimanapun juga, kedua pasukan khusus Sureng Jipang Panolan ini diam-diam harus mengakui, sosok Adipati Adiwijaya memang tangkas dan trengginas dalam bermain silat!

Belum lama pertempuran terjadi, karena terpancing suara gaduh dan jeritan para selir yg berselang-seling dengan teriakan-teriakan dari mereka yang tengah berkelahi, beberapa pasukan pengawal Adipati merangsak masuk ke dalam kamar. Nampak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani langsung ikut meleburkan diri dalam kegaduhan!

Sang Adipati berteriak nyalang :

“Jangan bunuh!! Tangkap hidup-hidup!!”

Apa daya dua orang menghadapi beberapa prajurid pengawal Adipati Pajang. Begitu tombak-tombak panjang yang runcing terarah ketubuh mereka, mau tak mau, mereka menghentikan serangannya dan langsung duduk bersimpuh!!

“Kangjeng Adipati, saya juga telah membekuk dua orang lain yang berada diluar!”. Ujar Ki Ageng Pamanahan sembari menyembah.

Adipati Adiwijaya menyarungkan kerisnya.

“Kurung mereka untuk sementara waktu. Obati luka-luka mereka. Besok pagi, hadapkan semuanya kepadaku!”

Ki Ageng Pemanahan menyembah lantas memrintahkan dua orang prajurid pengawal untuk mengikat tangan kedua orang bercadar yang kini tengah duduk bersimpuh! Keduanya lantas digiring keluar kamar dan dibawa ke Pakunjaran atau tempat kurungan.

Malam itu, Adipati Adiwijaya terpaksa harus tidur dikamar permaisurinya, Nimas Sekaring Kedhaton yang jadi ikut terbangun akibat kejadian tersebut. Beberapa pelayan wanita terpaksa pula membereskan seluruh perabotan pecah belah yang hancur berserakan akibat perkelahian barusan.
Malam itu, seisi Kadipaten Pajang geger!

Keesokan harinya, keempat orang yang semalam tertangkap, dihadapkan secara khusus kepada Adipati Adiwijaya. Cadar mereka telah dibuang. Kini wajah keempat-empatnya nampak jelas sudah. Mereka menundukkan muka, menunggu jatuhnya hukuman mati yang pasti akan diberikan oleh Adipati Adiwijaya!

Sang Adipati terdiam agak lama memperhatikan keempat orang yang nampak sudah sangat pasrah tersebut. Di sana, Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani ikut hadir. Berikut beberapa prajurid pengawal. Suasana tegang, menantikan apa yang hendak dilakukan oleh Sang Adipati. Tak ada yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun.

Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya-pun angkat suara.

“Dhimas Pemanahan. Bagaimana hasilnya?”

Ki Ageng Pamanahan menyembah sejenak dan menjawab :

“Kasinggihan Dalem Kangjeng, keempat orang ini adalah prajurid Sureng dari Jipang Panolan!”

Seluruh yang hadir terkejut seketika mendengar jawaban Ki Ageng Pemanahan. Adipati Adiwijaya lekat memperhatikan keempat orang dihadapannya sembari memincingkan mata. Yang diperhatikan semakin menundukkan kepala.

Nampak kemudian, Ki Ageng Pemanahan mengeluarkan benda berbuntalkan kain putih dari balik bajunya, kemudian menyembah sejenak dan berjalan duduk menghampiri tempat Adipati.

“Mohon Kangjeng memeriksa benda ini.”

Adipati Adiwijaya menerima benda berbungkus kain putih yang dihaturkan Ki Ageng Pemanahan. Dengan menahan nafas, dibukanya kain putih penutup, begitu benda telah lepas dari penutupnya, memerahlah wajah Sang Adipati. Bibirnya tanpa sadar bergumam :

“Kyai Brongot Setan Kober!”

Suara Sang Adipati menambah keterkejutan semua yang hadir. Ditangannya kini tergenggam sebilah keris yang tak lain adalah Kyai Brongot Setan Kober, keris pusaka milik Sunan Kudus yang telah diberikan kepada Arya Penangsang.

Dada Adipati Adiwijaya bergemuruh. Ditunjukkannya keris ditangan kepada Ki Mas Manca. Ki Mas Manca memincingkan mata memperhatikan keris tersebut lekat-lekat. Sembari menarik nafas, wajah Ki Mas Manca bersemu merah!

“Bagaimana, kangmas?” , tanya Adipati Adiwijaya.

Ki Mas Manca diam sesaat. Kemudian dia menjawab :

“Terserah dhimas Adipati. Ini sudah keterlaluan!”

Keris lantas diserahkan kembali kepada Ki Ageng Pemanahan. Kini kembali Adipati Adiwijaya memperhatikan empat orang prajurid Sureng Jipang Panolan. Sang Adipati dengan suara tertahan, menanyakan langsung kepada keempat prajurid dihadapannya, benarkah Arya Penangsang yang telah memerintahkan mereka.

Salah seorang prajurid yang ditunjuk untuk menjawab, dengan terbata-bata membenarkan akan hal itu. Suasana menjadi bertambah tegang.

Adipati Adiwijaya menghela nafas, lantas berkata :

“Kalian orang Jipang, kali ini aku ampuni nyawa kalian!”

Mendengar titah Sang Adipati, semua yang mendengar tidak menduga sama sekali. Lantas kembali Sang Adipati berkata :

“Pulanglah kembali ke Jipang Panolan. Tapi Kyai Brongot Setan Kober aku ambil. Dan kepulangan kalian akan aku beri bekal emas permata dan uang ketheng yang banyak. Katakan kepada Arya Penangsang, tidak mudah membunuh Jaka Tingkir!”

Keputusan sudah diturunkan, tidak ada lagi yang berani membantah.

Keeesokan harinya, keempat prajurid Sureng dari Jipang dihantarkan oleh prajurid khusus pengawal Adipati keluar dari ibu kota Pajang untuk pulang kembali ke Jipang Panolan.

Betapa malu keempat orang prajurid Sureng tersebut mendapat perlakuan semacam itu.

Undangan Sunan Kudus

Kepulangan empat prajurid Sureng ke Jipang Panolan, bukannya membawa kabar keberhasilan yang membuat Arya Penangsang senang, namun malahan membawa malu yang mencoreng muka Arya Penangsang. Tidak hanya gagal menjalankan tugas, tapi juga meninggalkan Keris Kyai Setan Kober di Pajang!

Sudah bisa ditebak, diam-diam keempat orang prajurid ini dijatuhi hukuman penggal kepala oleh Arya Penangsang karena tidak berhasil menjalankan tugas. Ironis.

Kabar kegagalan itu dilaporkan oleh Arya Penangsang kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus tak habis pikir, betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Adipati Adiwijaya. Keris Kyai Brongot Setan Kober, tidak mampu melukai tubuhnya sedikitpun. Arya Penangsang mendesak Sunan Kudus agar diberi ijin untuk mengadakan penyerangan ke Kadipaten Pajang. Karena semua sudah kepalang basah. Namun lagi-lagi, Sunan Kudus menghalanginya. Sunan Kudus masih memiliki satu cara lagi. Satu cara untuk memancing Adipati Adiwijaya keluar dari sarang. Jika berhasil dipancing keluar dari sarangnya, maka untuk memusnahkan segala ilmu kanuragan yang dimilikinya dan lantas membunuhnya akan semakin mudah dilakukan.

Pada hari yang akan ditentukan, Sunan Kudus secara pribadi akan mengirimkan undangan khusus kepada Adipati Pajang. Sunan Kudus sengaja mengundang Sang Adipati guna untuk memperingati tahun baru Islam, satu Muharrom, yang hendak dirayakan oleh Pesantren Kudus. (Waktu itu, kalender Jawa belum lahir. Kalender yang dipakai adalah kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Kedua kalender yang berasal dari tradisi Islam dan tradisi Hindhu ini dipakai secara bersamaan. Jadi waktu itu belum dikenal istilah SURO-an. Kalender Jawa baru lahir kelak oleh cicit Ki Ageng Pemanahan, cucu Panembahan Senopati, yaitu Kangjeng Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Kalender Jawa adalah sistim penanggalan dimana kalender Hijriyyah dari Islam dan kalender Saka dari Hindhu dilebur menjadi satu kesatuan. : Damar Shashangka)

Dapat dipastikan, Adipati Adiwijaya sebagai seorang pemimpin yang disegani di Jawa, akan menghargai undangan tersebut. Undangan dari seorang anggota Dewan Wali Sangha yang tergolong sepuh. Yang punya pengaruh dan suaranya didengar di dalam Dewan Wali. Maka mau tak mau, Adipati Adiwijaya akan hadir memenuhi undangan tersebut.

Manakala Adipati Adiwijaya telah datang ke Kudus, maka Arya Penangsang yang harus menyambut kedatangannya. Sunan Kudus telah menyediakan sebuah kursi khusus yang sengaja telah diberi doa-doa untuk melenyapkan segala macam ilmu kesaktian yang dimiliki siapapun yang duduk diatasnya. Dan adalah tugas Arya Penangsang untuk mengusahakan agar Adipati Adiwijaya bisa duduk dikursi tersebut.

Disamping itu, diam-diam Arya Penangsang juga harus mempersiapkan seluruh angkatan bersenjata Jipang untuk bersiap-siap menyerang Pajang.

Jika Adipati Adiwijaya telah menduduki kursi khusus tersebut, maka saatnya bagi Arya Penangsang untuk membunuh Sang Adipati saat itu juga. Dapat dipastikan, seluruh kekuatan Adipati Adiwijaya luruh. Begitu Sang Adipati telah tewas, maka Arya Penangsang harus segera memerintahkan penyerangan besar-besaran ke Pajang.

Dengan tidak adanya Adipati Adiwijaya, Pajang, sekuat apapun, hanya akan menjadi harimau tak bertaring. Pajang akan kucar-kacir. Dan Jipang pasti bisa menjebol Pajang!

Rencana yang sangat matang tersebut disetujui Arya Penangsang. Dan menginjak bulan ke sebelas menurut kalender Islam, yaitu bulan Dzulqo’idah, Sunan Kudus mengirimkan surat undangannya ke Pajang.

Surat dari Sunan Kudus tersebut diterima oleh Adipati Adiwijaya. Isi surat segera menjadi bahasan serius Sang Adipati. Disana tertera bahwasanya Sunan Kudus mengharap dengan hormat kepada Kangjeng Adipati Pajang, Adiwijaya, untuk bersedia hadir di Kudus pada bulan Muharrom guna ikut memperingati perayaan tahun baru Islam.

Seluruh orang terdekat Adipati Adiwijaya menyarankan agar Adipati Adiwijaya berhati-hati. Bisa jadi ini adalah jebakan baginya. Namun, tidaklah etis mengabaikan undangan seorang berpengaruh di Jawa seperti Sunan Kudus dimana suaranya memiliki kekuatan dalam Dewan Wali Sangha.

Maka diputuskan, Adipati Adiwijaya akan berangkat ke Kudus dengan didampingi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani. Sedangkan Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil, akan tetap di Pajang. Menyiagakan seluruh kekuatan angkatan bersenjata Pajang jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Adipati Adiwijaya mempercayakan Pajang kepada Ki Mas Manca manakala dia pergi ke Kudus.

Dua bulan kemudian, menjelang beberapa hari sebelum hari perayaan yang tertera dalam surat undangan dari Kudus, berangkatlah rombongan Adipati Pajang ke Kudus. Segala macam kebesaran Pajang nampak dari rombongan tersebut. Disetiap jalan yang dilalui, rombongan Pajang senantiasa mendapatkan berbagai bentuk penghormatan dari rakyat. Bahkan, ditempat-tempat mana rombongan Pajang bermalam, rakyat sangat bersuka cita menerima kehadiran mereka. Banyak yang mempersembahkan makanan dengan suka rela walaupun sebenarnya, seluruh rombongan tidak begitu memerlukannya. Perbekalan yang dibawa dari Pajang sudah lebih dari cukup.

Namun, Adipati Adiwijaya memerintahkan kepada seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan agar menerima segala persembahan dari rakyat tersebut. Walaupun nampak remeh temeh, namun itu adalah wujud kecintaan rakyat kepada mereka semua. Jangan sekali-kali mengacuhkan persembahan makanan yang diunjukkan dengan rasa penuh kecintaan tersebut.

Beberapa hari kemudian, sampailah rombongan Adipati Pajang ke kota Kudus. Kedatangan rombongan dari Pajang ini mengagetkan masyarakat Kudus. Mereka terperangah melihat segala macam kebesaran yang terlihat. Mereka baru menyadari, bahwa Pajang ternyata sudah pantas jika menjadi sebuah Kerajaan besar. Panji-panji Pajang berkibar-kibar. Berkelebat dengan gagah diterpa angin. Nampak didepan, Adipati Adiwijaya menaiki seekor gajah diiringi beberapa prajurid berkuda diarah depan, kiri, kanan dan baru rombongan berkuda juga dibelakangnya. Seluruh orang Kudus kagum melihat kebesaran Pajang!

Rombongan itu langsung menuju ke Pesantren Kudus. Disana, para santri menyambut kedatangan rombongan Adipati Pajang dengan menabuh rebana dan menyanyikan salawat Nabi seperti kebiasaan mereka.

Diantara rombongan, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani, tetap mempertajam kewaspadaan mereka. Nampak, selain para santri, ada terlihat beberapa pasukan Jipang yang juga telah hadir disana. Bahkan ada beberapa pasukan dari daerah lain yang nampak ikut hadir.

Namun kedatangan rombongan dari Pajang, lebih menyita perhatian. Kebesaran Adipati Adiwijaya sangat memukau semua mata. Begitu Sang Adipati turun dari atas punggung gajah, nampak dipendhopo, beberapa santri langsung menyambutnya dan mempersilakan masuk ke pendhopo.
Seluruh rombongan turun dari kuda. Masing-masing tali kekang kuda ditambatkan ditempat yang telah disediakan. Perayaan tahun baru Islam di Kudus memang terlihat meriah.

Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani segera mengiringi Adipati Adiwijaya. Mereka masuk ke pendhopo diikuti para prajurid khusus Pajang yang lain.

Begitu seorang santri kembali mempersilakan agar Adipati Adiwijaya masuk ke ruang dalam untuk bertemu secara khusus dengan Sunan Kudus, Ki Ageng Pemanahan segera memilih beberapa prajurid yang terlatih untuk ikut mengiringi Sang Adipati bersamanya. Sedangkan Ki Juru Mertani, tetap bertugas diluar, menyiagakan seluruh prajurid yang tidak ikut masuk bila ada hal yang tidak dikehendaki nanti.

Manakala Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid pilihan masuk keruang dalam, betapa terkejut mereka ketika disana Arya Penangsang dan beberapa prajurid khusus Jipang Panolan telah berdiri menyambut.

Baik Adipati Adiwijaya maupun Ki Ageng Pemanahan segera waspada.

Arya Penangsang langsung bergerak memeluk Adipati Adiwijaya. Setelah itu dia berkata :

“Dhimas Adiwijaya, sangat senang hatiku melihat adhimas bersedia hadir di Kudus ini.”

Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :

“ Kangmas Penangsang, hati saya-pun gembira bisa melihat kangmas juga hadir di Kudus ini.”

Diam-diam, Ki Ageng Pemanahan memberikan isyarat wspada kepada seluruh prajurid yang ikut masuk.

Terdengar Arya Penangsang kembali buka suara :

“Mari adhimas, silakan duduk disini…”

Arya Penangsang mempersilakan Adipati Adiwijaya untuk duduk disalah satu kursi yang tersedia. Namun, mendadak terbersit perasaan ganjil dihati Adipati Adiwijaya manakala matanya melihat keberadaan kursi yang dimaksud oleh Arya Penangsang. Tanpa sadar, Adipati Adiwijaya berkata :

“Ah, kangmas. Bukankah itu kursi paling bagus diantara semua kursi yang ada disini. Tak layak bagiku duduk disana. Hanya Bapa Sunan Kudus sendiri sebagai tuan rumah yang pantas mendudukinya.”

Arya Penangsang tersenyum simpul .

“Tidak mengapa dhimas, mari…”

Arya Penangsang terlihat agak memaksa. Sikap Arya Penangsang menambah ketidak nyamanan dihati Adipati Adiwijaya semakin bertambah-tambah. Terasa aneh. Adipati Adiwijaya, secara halus tetap menolak untuk duduk disana.

“Sudahlah, kangmas Penangsang. Saya akan duduk dikursi sebelahnya saja. Saya tidak enak duduk disana, sepertinya ada sesuatu dikursi tersebut.”

Arya Penangsang kaget. Namun segera dia menutupi kekagetannya.

“Memang ada apa dikursi tersebut? Apa yang dhimas takutkan?”

Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab :

“Ah, mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi jika memang tidak ada apa-apa disana, apakah kangmas berani menduduki kursi tersebut?”

Arya Penangsang sedikit kebingungan. Hal ini terbaca oleh Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan.

“Mengapa kangmas? Kangmas takut duduk disana?” , sindir Adipati Adiwijaya.

Memerah wajah Arya Penangsang, dia menjawab :

“Tidak ada apa-apa disana, buat apa takut?!”

Dan dengan pongahnya Arya Penangsang langsung berjalan kearah kursi tersebut dan langsung duduk diatasnya. Padahal Sunan Kudus telah mewanti-wanti, kursi tersebut telah diisi dengan doa-doa, siapa saja yang menduduki kursi tersebut, dapat dipastikan, seluruh ilmu kanuragan yang dimiliki akan luruh seketika itu juga. (Sampai saat ini, kursi bersejarah ini masih tersimpan di Kudus. : Damar Shashangka)

Diam-diam, Sunan Kudus yang tengah mengintip dari dalam menggeram marah melihat kebodohan dan kesombongan Arya Penangsang. Namun dia belum memutuskan untuk keluar menemui Adipati Adiwijaya.

Melihat kursi yang semula ditawarkan kepadanya kini telah diduduki oleh Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya tersenyum simpul, lantas mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan beberapa prajurid, segera duduk bersila dibawah.

Setelah berbasa-basi sejenak, Adipati Adiwijaya menyengaja berkata demikian :

“Oh ya kangmas, saya jadi ingat. Beberapa bulan yang lalu, Pajang kemasukan para pembunuh bayaran. Nyawa saya yang diincar. Tapi syukurlah, Hyang Widdhi masih memberikan keselamatan kepada saya…,”

Sengaja Adipati Adiwijaya menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Arya Penangsang. Sedikit gugup Arya Penangsang, tapi berpura-pura dia kaget.

“Benarkah? Ah berani sekali. Syukurlah jika dhimas bisa lolos dari maut dan selamat sampai hari ini.”

Adipati Adiwijaya tersenyum mengangguk, lantas :

“Dan keris yang dipakai para pembunuh untuk membunuh saya, berhasil saya ambil…”

Adipati Adiwijaya memberi isyarat kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan nampak tegang. Dia lantas mendekat dan mengulurkan sebuah peti kayu jati ke arah Adipati Adiwijaya.

Adipati Adiwijaya menerimanya. Lantas membuka peti tersebut. Dikeluarkannya sebilah keris dari sana. Dipegangnya sedemikian rupa sehingga semua mata bisa melihat keris ditanganya.

“Inilah keris tersebut!”

Muka Arya Penangsang bagai dirobek-robek! Merah padam sudah! Giginya bergemeletukan. Apalagi ketika mendengar ucapak Adipati Adiwijaya selanjutnya.

“Dan saat ini, sang keris telah bertemu kembali dengan tuannya.”

Dengan wajah tenang dan bibir tersenyum, Adipati Adiwijaya menyerahkan keris tersebut kepada Arya Penangsang. Ragu Arya Penangsang menerimanya. Namun akhirnya, dengan perasaan campur aduk antara malu dan marah, diterima juga keris itu.

Terdengar kembali Adipati Adiwijaya berkata datar:

“Konon katanya keris tersebut ampuh. Tapi bagi saya terasa seperti digelitiki dengan lidi saat keris tersebut dihunjamkan didada saya.”

Amarah Arya Penangsang bangkit. Setengah menggeram dia berkata :

“Jika saya yang menggunakannya, jangankan manusia, gunung pun akan longsor, lautanpun akan kering!!” (Ungkapan sebenarnya adalah GUNUNG JUGRUG SEGARA ASAT yang artinya memang GUNUNG AKAN LONGSOR LAUTAN AKAN KERING. Menggambarkan betapa dahsyatnya benda tersebut. : Damar Shashangka)

Adipati Adiwijaya tergelitik juga, lantas Sang Adipati mencabut keris yang sedari tadi terselip dipinggang belakangnya. Kyai Carubuk nama keris Adipati Adiwijaya. Keris itu adalah pemberian Kangjeng Sunan Kalijaga!

“Lebih ampuh mana dengan Kyai Carubuk milik saya ini!”

Arya Penangsang seketika bangkit berdiri ! Dengan mata merah memandang kearah Adipati Adiwijaya tajam! Adipati Adiwijaya lantas ikut bangkit pula!! Suasana berubah tegang!!!

Dua orang ksatria ini kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan keris ditangan masing-masing. Arya Penangsang dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya ,sedangkan Adipati Adiwijaya dengan Kyai Carubuk!!!

Dibawah, baik prajurid Pajang maupun prajurid Jipang telah memutar keris mereka yang semua terselip dipinggang belakang, kini sudah diputar kedepan dengan gagang sudah mereka genggam!! Tinggal mencabut kerisnya!! Kedua pasukan khusus ini sudah siap tempur juga!!!

Dua kekuatan tangguh, Jipang dan Pajang, kini sudah berhadap-hadapan!!!


Bagian 5

Suasana tegang! Tak ada seorang-pun yang berani mengeluarkan suara! Hanya bunyi detak jantung yang berdegub kencang saja yang terdengar! Dan hanya terdengar oleh masing-masing pemilik jantung sendiri!

Nampak, Adipati Adiwijaya dan Arya Penangsang telah berhadapan dengan keris terhunus ditangan! Mata keduanya saling bertatapan! Gigi mereka saling bergemeletukan! Tinggal menunggu siapa dulu yang memulai menyerang!

Dibawah, kedua kelompok prajurid khusus dari Jipang dan Pajang juga tegang! Begitu junjungannya diserang atau memulai menyerang dulu, maka mereka-pun telah siap menyerang lawannya! Sesaat, mereka melirik kearah junjungannya yang masih berdiri berhadap-hadapan, sesaat kemudian mereka melirik lawan mereka yang bersila bersebelahan!

Suasana benar-benar genting!

Disaat kritis seperti itu, disaat keadaan yang tinggal meledak sebentar lagi, tiba-tiba terdengar suara salam yang keras! Disengaja keras!

“Assalammu’alaikum!!!”

Serta merta, semua mata segera melayangkan pandangannya kearah mana suara salam itu berasal. Nampak Sunan Kudus keluar dari ruang belakang diiringi beberapa santri.

Sembari menghela nafas, seluruh prajurid Jipang maupun beberapa prajurid Pajang yang muslim menjawab salam Sunan Kudus, walau tidak serempak.

Disana, baik Adipati Adiwijaya maupun Arya Penangsang segera menghela nafas melepaskan ketegangan yang semenjak tadi menyergap seluruh persendian dan melepak didada masing-masing!
Sunan Kudus berjalan menghampiri mereka sembari berucap lantang :

“Lho…lho..lho!! Kalian ini Priyayi (bangsawan: Damar Shashangka) atau pedagang keris???!!”

Sunan Kudus bergerak ketengah-tengah antara Arya Penangsang dan Adipati Adiwijaya. Posisi Adipati Adiwijaya berada disebelah kiri Sunan Kudus sedangkan Arya Penangsang berada disebelah kanannya. Terlihat, Sunan Kudus sigap memegang pergelangan tangan kedua priyayi yang tengah hendak saling serang itu! Namun, bagi yang jeli, pasti akan melihat, bahwa tangan kiri Sunan Kudus tengah memegang erat pergelangan tangan kanan Adipati Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan Sunan Kudus memegang erat pergelangan tangan kiri Arya Penangsang yang jelas-jelas tidak menggenggam apapun. Tangan kanan Arya Penangsang yang menggenggam Kyai Brongot Setan Kober bebas bergerak leluasa!!

Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang, terdengar dia membentak!!

“Sarungkan kerismu, Penangsang!!”

Arya Penangsang termangu. Masih belum bergeming. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya :

“Sarungkan, Penangsang!!”

Arya Penangsang ragu. Belum juga menurunkan kerisnya. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya lebih keras :

“Sarungkan kataku!!!”

Kali ini Arya Penangsang menurunkan Kyai Brongot Setan Kober yang terangkat, kemudian menyarungkannya ke dalam warangkanya. Melihat Arya Penangsang menyarungkan keris, Adipati Adiwijaya-pun lantas ikut menyarungkan Kyai Carubuk kedalam warangka.

“Hampir saja aku membuat makanan segar bagi burung…”, Arya Penangsang bergumam setengah menggeram.

Adipati Adiwijaya tersenyum kecil..

Sunan Kudus menghela nafas, sembari tetap diposisinya, Sunan Kudus berkata kepada Adipati Adiwijaya :

“Maafkan atas situasi yang tidak semestinya terjadi ini, anakmas Adiwijaya. Saya menyesal. Dan untuk kebaikan kita bersama, saya menyarankan, tidak ada salahnya jika anakmas beserta rombongan pulang ke Pajang lebih awal. Disini, saya pribadi dan seluruh masyarakat Kudus, sudah merasa sangat terhormat atas kedatangan anakmas Adiwijaya berikut rombongan jauh-jauh dari Pajang..”

Adipati Adiwijaya menghaturkan sembah didepan dada sembari berkata :

“Bapa Sunan, seharusnya saya yang meminta maaf kepada Bapa Sunan Kudus, karena hampir saja saya membuat seorang wanita menjadi janda baru di ruangan dalam pesantren ini..”

Mata Sunan Kudus maupun Arya Penangsang berkilat mendengar kata-kata Adipati Adiwijaya.

Sunan Kudus segera menyela :

“Sudahlah…sudahlah! Saya memaklumi kemarahan anakmas Adiwijaya. Daripada berlarut-larut, sebaiknya anakmas mengalah..”

“Baiklah Bapa Sunan, memang lebih baik saya dan rombongan mengundurkan diri dari sini…”

Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan beserta beberapa prajurid khusus Pajang segera berpamitan kepada Sunan Kudus.

Rombongan dari Pajang memutuskan pulang terlebih dahulu sebelum acara puncak peringatan Tahun Baru Islam dimulai. Iring-iringan rombongan ini tengah keluar dari pondok pesantren Kudus!

Diruang dalam, setelah melepas kepergian rombongan Pajang, Sunan Kudus memanggil secara pribadi Arya Penangsang diruangan khusus. Disana, hanya ada Sunan Kudus dan beberapa prajurid khusus yang terpercaya, termasuk Patih Matahun.

Sunan Kudus memarahi Arya Penangsang atas segala tindakan bodoh yang telah dilakukannya. Arya Penangsang menyela, meminta penjelasan dimanakah letak kebodohannya. Bukankah malah Sunan Kudus yang melerai disaat dia sudah berhadapan dengan Adipati Adiwijaya?

Dengan suara tinggi, Sunan Kudus berkata :

“Siapakah yang telah menduduki kursi yang telah aku isi doa-doa khusus?”

Seketika Arya Penangsang terdiam.

“Lantas, apakah kamu tidak menyadari tadi, saat aku melerai kalian, tangan kanan Adiwijaya aku pegang erat, sedangkan tangan kanan kamu aku biarkan bergerak bebas? Ingat-ingat lagi! Aku memegang tangan kanan Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan kamu yang tengah menggenggam Kyai Brongot aku biarkan bebas!”

Arya penangsang tetap terdiam.

“Lantas, apa yang aku katakan kepadamu?”

Arya Penangsang mengerutan dahinya, mencoba mengingat…

“Aku berkata ‘SARUNGKAN KERISMU’ sampai tiga kali. Kamu tahu maksudku yang sebenarnya? ”

Arya Penangsang menatap Sunan Kudus, mulai sedikit memahami..

“Maksudku ‘SARUNGKAN KERISMU KEDADA ADIWIJAYA, BUKAN KE WARANGKANYA’!! Kamu saja yang terlampau bodoh, sehingga tidak memahami kata-kata isyarat yang aku ucapkan. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan kamu memusnahkan salah seorang manusia penentang ajaran mulia !!”

Arya Penangsang menggeram menyadari kebodohannya sendiri! Serta merta dia menyembah dan berkata :

“Sebelum rombongan Adiwijaya jauh, tidak ada salahnya saya mengejar dan menghabisinya sekarang!!”

Sunan Kudus menatap tajam Arya Penangsang :

“Ini bukan saat yang tepat menyerang rombongan Pajang dimana banyak berkumpul para tamu undangan di Kudus. Asal kamu tahu, kecuali aku dan kamu, tidak akan ada yang mampu menghadapi kesaktian Adiwijaya. Dia memiliki pegangan ilmu kanuragan warisan Buda Majapahit. Sangat riskan jika aku terjun sendiri. Tidak pantas bagiku berhadapan dengan anak kemarin sore seperti dia. Sedangkan kamu, saat ini hanya akan menjadi boneka mainan jika berhadapan dengan dia, karena seluruh ilmu kanuragan yang kamu miliki telah lumpuh!!”

Dada Arya Penangsang terasa panas dan sesak mendengar penuturan Sunan Kudus!

“Lantas bagaimana Bapa Sunan?”

“Selama tiga bulan berselang, mulai bulan Muharram ini, kamu harus berpuasa terus-menerus! Genap tiga bulan, seluruh hizib dan asma’ yang kamu miliki akan kembali pulih dan berfungsi. Setelah itu, aku akan mencari jalan lain untuk menghadapi Adiwijayai!!”

Arya Penangsang lemas mendengarnya.

Dan Sunan Kudus berlalu kedalam sembari hanya mengucapkan salam.

Permintaan Ratu Kalinyamat.

Rombongan Pajang yang pulang lebih awal dari jadwal semula nampak keluar dari kota Kudus. Disepanjang jalan, seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, senantiasa mempertajam kewaspadaan mereka. Kejadian yang pernah menimpa rombongan Ratu Kalinyamat dulu, membuat mereka lebih siaga dan tidak mau kecolongan.

Disepanjang perjalanan, banyak mata yang memperhatikan mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Acara peringatan Tahun Baru Islam di Kudus belum juga dilaksanakan, namun rombongan dari Pajang nampak malah pulang lebih awal. Ada apa gerangan?

Ketika belum terlampau jauh dari kota Kudus, mendadak Adipati Adiwijaya memerintahkan rombongan berhenti. Perintah yang mendadak ini sedikit mengejutkan seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, tak terkecuali Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Namun, setelah menyadari jika Sang Adipati hanya sekedar ingin beristirahat, ketegangan-pun mencair.

Nampak, Adipati Adiwijaya turun dari atas punggung gajah tunggangannya. Beberapa prajurid yang bertugas mengiringi disamping binatang tunggangan bertubuh besar tersebut tanggap dan segera membantu.

Melihat Sang Adipati turun, serentak seluruh rombongan-pun ikut turun dari punggung kuda masing-masing.

Daerah mana tempat mereka berhenti memang sangat memungkinkan untuk dijadikan tempat istirahat sejenak. Disamping tempatnya yang landai, rimbunnya pepohonan raksasa yang tumbuh disepanjang jalan, membuat tempat tersebut terasa sejuk menyegarkan.

Bergegas Ki Ageng Pemanahan memerintahkan beberapa prajurid mendirikan tenda darurat sebagai tempat berteduh dan beristirahat bagi Sang Adipati. Enam orang prajurid bekerja cekatan, sebentar saja telah berdiri tenda sederhana namun megah. Permadani-pun segera dihamparkan didalam tenda.

Adipati Adiwijaya berkenan duduk diatas permadani tersebut. Suasana yang segar. Para prajurid memanfaatkan kesempatan tersebut untuk beristirahat sejanak. Masing-masing memilih tempat yang rindang. Berpencar walau tetap tidak jauh dari tenda Sang Adipati.

Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani menghadap. Keduanya duduk bersila didepan Adipati Adiwijaya. Nampak dari kejauhan, ketiga priyayi Pajang ini tengah berbincang-bincang serius.

Sejurus kemudian, terlihat Ki Ageng Pamanahan memanggil seorang prajurid. Ki Ageng Pamanahan memerintahkan sesuatu. Prajurid yang dipanggil bergegas menghampiri beberapa temannya yang lain, dia nampak memilih-milih, ada sekitar sepuluh orang yang dia pilih. Lantas mereka menghilang sejenak dibalik gerombol pepohonan dan kembali lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Mereka semua melepas pakaian keprajuridan, dan kini telah berganti dengan pakaian rakyat biasa.

Ditempat lain, Adipati Adiwijaya diam-diam juga telah berganti pakaian. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan. Namun anehnya, pakaian kebesaran Sang Adipati, kini malah dikenakan oleh Ki Juru Mertani.

Banyak prajurid yang bertanya-tanya. Namun dari bisik-bisik satu teman ke teman yang lain, mereka jadi tahu jika Adipati Adiwijaya diikuti oleh Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang terpilih, hendak menuju ke Gunung Danaraja untuk menemui Ratu Kalinyamat yang tengah bertapa telanjang. Mereka semua sengaja menyamar sebagai rakyat biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan dari mata-mata Jipang Panolan yang mungkin tengah memperhatikan rombongan mereka.

Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan kesepuluh prajurid yang kini telah berganti busana, terlihat berangkat meninggalkan rombongan. Kedua belas orang yang telah menyamar ini memacu kuda memisahkan diri dari dari rombongan dan memilih jalan yang menuju ke Jepara.

Agak lama berselang, Ki Juru Mertani segera memerintahkan seluruh rombongan siap-siap berangkat. Ki Juru Mertani dibantu dua orang prajurid, segera menaiki punggung gajah milik Sang Adipati.

Rombongan Pajang yang kini dipimpin oleh Ki Juru Mertani, berangkat dan memilih jalan ke arah Pajang.

Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan berikut sepuluh orang prajurid yang kini telah menyamar sebagai rakyat biasa terlihat memacu kuda dengan kecepatan sedang. Mereka tengah menyamar sebagai para pedagang keliling.

Akhirnya, sampailah juga kedua belas orang ini ke kota Jepara. Adipati Adiwijaya segera mencari letak Gunung Danaraja. Sesuai petunjuk yang diberikan oleh prajurid Pajang yang sempat pulang ke Pajang untuk mengambil perbekalan makanan dan berbagai keperluan bagi Ratu Kalinyamat beserta seluruh yang mengawal dan melayaninya, Adipati Adiwijaya-pun akhirnya berhasil menemukan lokasi gua tempat dimana Ratu Kalinyamat tengah menjalani tapa telanjang-nya.

Kedatangan kedua belas orang berkuda ini menimbulkan kecurigaan dari beberapa prajurid Pajang yang bertugas menjaga mulut gua. Mereka yang tengah bersembunyi ditempat-tempat strategis dibeberapa sudut tersembunyi mulut gua, segera mempersiapkan diri. Sang pemimpin pasukan memberikan isyarat agar memasang anak panah pada busurnya. Anak panah telah terpasang, busur telah diangkat dan direntangkan, siap menunggu isyarat untuk dibidikkan!!

Namun sang pemimpin prajurid memekik tertahan manakala tanpa sengaja mengenali dua orang penunggang kuda yang tengah memacu kuda dibarisan depan. Seketika itu juga, dia memberikan isyarat agar menurunkan busur panah. Dia segera keluar dari tempat persembunyian diiringi empat prajurid yang lain.

Menyadari kedatangannya telah disambut sedemikian rupa, Adipati Adiwijaya beserta rombongan terus memacu kuda lebih kencang kearah atas. Ketika jarak antara prajurid berkuda dan kelima orang yang telah menyambut sedemikian dekat, Adipati Adiwijaya segera menghentikan laju kudanya.

Kelima orang prajurid Pajang yang menyambut rombongan menghaturkan sembah hormat. Adipati Adiwijaya segera memerintahkan agar secepatnya seluruh prajurid mencari tempat yang tersembunyi untuk menaruh kuda masing-masing.

Diiringi Ki Ageng Pamanahan dan dihantar pemimpin prajurid penjaga, Adipati Adiwijaya segera memasuki gua. Sang pemimpin prajurid memanggil seorang pelayan wanita. Sang pelayan memekik gembira melihat kehadiran Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pamanahan. Beberapa pelayan yang lain segera menyadari akan hal itu, mereka semua segera mendekat dan menghaturkan sembah.

Adipati Adiwijaya memerintahkan seorang pelayan wanita untuk menghadap Ratu Kalinyamat, mengabarkan kedatangannya. Seorang pelayan wanita tergopoh-gopoh memasuki salah satu relung gua. Sejenak kemudian keluar dan menghadap kembali kepada Adipati Adiwijaya. Sembari menyembah dia berkata :

“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Kangjeng Ratu Ayu Kalinyamat meminta Kangjeng masuk ke dalam. Hanya Kangjeng seorang, tidak boleh ditemani oleh siapapun.”

Adipati Adiwijaya mengangguk. Kemudian berjalan kearah relung gua seorang diri.

Didalam, beberapa pelita terpasang didinding-dinding gua. Ruang itu cukup luas juga. Disana, merapat ke dinding gua, terlihat agak samar, sesosok wanita cantik dengan tubuh sempurna dan rambut panjang terurai, tengah duduk bersila. Dan yang membuat Adipati Adiwijaya segera menundukkan muka, karena menyadari, sosok wanita cantik itu benar-benar telanjang bulat tanpa busana.

Untung, kondisi ruangan yang cukup gelap dan hanya diterangi beberapa pelita, sedikit menyamarkan perwujudan telanjang tersebut. Namun walau bagaimanapun juga, jika mau melihat secara seksama, Adipati Adiwijaya sebetulnya bisa melihat tubuh itu secara utuh.

Dengan menundukkan wajah, Adipati Adiwijaya memberikan sembah. Dan sosok wanita cantik yang tengah bersila itu-pun membalas sembah Adipati Adiwijaya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar keselamatan masing-masing, Adipati Adiwijaya, sembari tetap menundukkan wajah-pun berkata :

“Kakangmbok Ratu Ayu, seyogyanya kakangmbok Ratu berkenan mengenakai kemben. Sangat-sangat segan hati saya jikalau harus berbincang-bincang dengan kakangmbok sedangkan kakangmbok dalam keadaan telanjang bulat sedemikian rupa…”

Dari balik geiaian rambut panjangnya, Ratu Kalinyamat tersenyum manis..

“Maafkan aku dhimas, aku terpaksa tidak bisa memenuhi permintaanmu. Biarlah, selain almarhum kangmas Sunan Kalinyamat, cukup kamu saja laki-laki yang melihat aku dalam keadaan tanpa busana seperti ini. Sudah menjadi sumpahku, tidak sudi aku mengenakan busana lagi, jikalau Hyang Maha Agung, belum memberikan keadilan kepada Arya Penangsang, pembunuh kakangmas Prawata dan kangmas Sunan Kalinyamat!”

Adipati Adiwijaya menghela nafas berat.

“Kakangmbok Ratu Ayu, sangat prihatin saya melihat keadaan kakangmbok. Sampai kapan terus telanjang tanpa busana. Selain tabu didengar orang banyak, sekali lagi, saya juga sangat merasa segan dan rikuh jika harus kemari dan tetap melihat kakangmbok seperti ini.”

Ratu Kalinyamat diam sejenak, lantas mendesis lirih dan berkata :

“Dhimas, seharusnya aku yang mempertanyakan hal ini kepadamu. Tidakkah kamu kasihan, tidakkah kamu iba melihat aku? Melihat penderitaanku? Melihat ketidak adilan yang menimpaku?”

Adipati Adiwijaya terdiam. Lantas membuka suara :

“Jangan salah sangka kakangmbok. Saya dan Nimas Sekaring Kedhaton senantiasa memikirkan keadaan kakangmbok Ratu Ayu disini. Saya juga terus menimbang-nimbang bagaimana cara terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Namun, kondisi diluar tidaklah memungkinkan bagi saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang secara terbuka. Bapa Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang. Bapa Sunan Kudus sangat berpengaruh dalam Dewan Wali Sangha. Kakangmbok tahu sendiri itu. Sangat mudah bagi Bapa Sunan Kudus mempengaruhi keputusan Dewan Wali Sangha. Jika sampai Pajang berhadapan secara frontal dengan Jipang, bukan tidak mungkin, Bapa Sunan Kudus, melalui Dewan Wali Sangha akan memerintahkan Cirebon dan Banten bergabung dengan Jipang menghadapi orang-orang yang dinilai kafir seperti saya!”

Adipati Adiwijaya diam sejenak, lantas melanjutkan kata-katanya :

“Sungguh, secara pribadi, saya sendiri juga sudah tidak tahan melihat kelakuan Arya Penangsang. Hampir saja saya bentrok secara langsung dengan dia. Hampir saja saya tidak bisa menahan diri…”

Dan Adipati Adiwijaya menceritakan pertemuannya dengan Arya Penangsang di pesantren Kudus.

“Hyang Widdhi Wasa masih berkenan mencegah saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang.”

Terdengar helaan nafas lembut dari bibir Ratu Kalinyamat, lalu dia berkata :

“Dengar dhimas. Jika kamu benar-benar dapat menyingkirkan Arya Penangsang, aku bersumpah, disaksikan Hyang Maha Agung, disaksikan langit dan bumi, semoga aku akan menuai kutuk jika aku mengingkari sumpah ini. Dengarkan! JIKA KAMU MAMPU MENYINGKIRKAN ARYA PENANGSANG, MAKA TAHTA DEMAK BINTARA AKAN AKU LIMPAHKAN KEPADAMU!”

Adipati Adiwijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya, dari balik geraian rambut panjangnya, sorot mata Ratu Kalinyamat berkilat-kilat, tengah menatap wajah Adipati Adiwijaya.

“Bahkan, jikalau peraturan hukum jaman Buda masih berlaku luas dimasyarakat Jawa, dimana seorang laki-laki boleh memadu dua orang wanita kakak beradik sekaligus, maka sungguh aku-pun rela lahir batin kamu nikahi sebagai madu dari adikku Nimas Sekaring Kedhaton. Namun, hal itu tidak mungkin bisa diterima kebanyakan masyarakat Jawa sekarang. Oleh karena itu, kamu boleh memilih selir-selir milik almarhum kangmas Sunan Kalinyamat dan almarhum kangmas Prawata yang engkau sukai untuk kamu nikahi!”

Adipati Adiwijaya terdiam. Kesungguhan kata-kata Ratu Kalinyamat terpancar dari wajah ayunya. Sengaja, rambut panjangnya yang tergerai, disibak kesamping sedikit, sehingga payudara Sang Ratu-pun terlihat. Dada Adipati Adiwijaya berdesir melihatnya, cepat-cepat dia menundukkan wajah kembali..

“Tapi ingat, dhimas! Satu permintaanku, jika kamu berhasil mengalahkan Arya Penangsang, dan tahta Demak Bintara telah kamu pegang, aku minta, janganlah kamu mendirikan Kerajaan Buda. Biarlah kamu tetap meneruskan sebuah pemerintahan berbentuk Kesultanan Islam. Biarlah gelarmu dikenal orang sebagai seorang Sultan, bukan seorang Prabhu!”

Keheningan menyergap seketika. Dan Adipati Adiwijaya semakin terperangah manakala melihat Ratu Kalinyamat menyibak seluruhnya geraian rambut panjang yang menutupi tubuh bagian depannya. Kini, tampak jelas didepan mata Adipati Adiwijaya, tubuh polos Sang Ratu tanpa ditutupi oleh apapun juga. Mendadak dada Adipati Adiwijaya terasa sesak.

“Inilah tanda kesungguhanku,” bisik Ratu Kalinyamat sembari tersenyum..

Dengan menarik nafas berat, Adipati Adiwijaya menyembah hormat dan berkata :

“Baiklah kakangmbok Ratu Ayu. Saya berjanji akan mencari jalan yang terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Dan jika hal itu berhasil atas waranugraha Hyang Widdhi, saya berjanji, akan memakai gelar Sultan, bukan Prabhu!”

Dan Adipati Adiwijaya-pun memohon diri untuk keluar ruangan. Dan Ratu Kalinyamat-pun menghaturkan terima kasihnya.

Malam itu, Sang Adipati bermalam di Gunung Danaraja. Dengan didampingi Ki Ageng Pamanahan, Adipati Adiwijaya membahas rencana yang tepat untuk memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat. Ki Ageng Pamanahan mengusulkan, agar Sang Adipati mempercayakan hal ini kepada Ki Juru Mertani.

Ki Juru Mertani adalah sosok yang cerdik dan bisa diandalkan dalam memberikan pemecahan dan cara yang terbaik disaat semua jalan dirasa buntu.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada Ratu Kalinyamat, Adipati Adiwijaya beserta Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang mengiringinya, meninggalkan Gunung Danaraja bertolak ke Pajang!


Bagian 6

Setibanya di Pajang, Adipati Adiwijaya beserta rombongan disambut para pejabat dengan suka cita. Tak ada yang kurang dari jumlah rombongan, Semua dalam kondisi baik dan selamat.

Adipati Adiwijaya berkenan untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Pada sore harinya, Adipati Adiwijaya memanggil Ki Mas Manca, Ki Mas Wila, Ki Mas Wuragil, Ki Ageng Pamanahan berikut Ki Juru Mertani.

Diruang khusus, dan tidak ada orang lain yang hadir selain keenam orang tersebut, Adipati Adiwijaya menyampaikan maksudnya. Sang Adipati berkenan meminta pemecahan mengenai kasus Arya Penangsang.

Arya Penangsang tidak bisa terus menerus didiamkan saja. Harus ada pihak yang berani bertindak. Dan tampaknya, hanya Pajang yang mampu menghadapi kekuatan Jipang.

Yang menjadi masalah, posisi Pajang sangatlah terjepit. Pajang dipimpin oleh seorang Adipati yang bukan muslim. Dan tentu saja fenomena ini akan membuat Dewan Wali Sangha tidak menaruh simpatik.

Searogan apapun Arya Penangsang, sekejam apapun dia, namun dia telah memegang dua point penting sebagai sendi kekuatannya. Pertama, jelas dia seorang muslim, kedua, Sunan Kudus berada dibelakang dia.

Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya meminta pertimbangan dan jalan keluar yang tepat, yang tidak merugikan Pajang, namun bisa menghancurkan kekuatan Jipang.

Ki Mas Manca mengusulkan agar Sang Adipati tidak gegabah berhadapan secara langsung dengan Arya Penangsang. Ki Mas Manca telah mendengar kabar bahwa di pesantren Kudus, Sang Adipati hampir saja kehilangan kontrol diri. Jika memang hendak berhadapan dengan Arya Penangsang, lebih baik menggunakan kekuatan ketiga.

Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil membenarkan pendapat Ki Mas Manca. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani. Yang menjadi masalah sekarang, siapakah kekuatan ketiga yang bisa dijadikan alat untuk memukul Jipang?

Seluruh yang hadir terdiam. Masing-masing tengah memeras otak.

Lantas, Ki Ageng Pamanahan angkat bicara sembari menyembah :

“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika diperbolehkan hamba akan memberikan masukan…”

Adipati Adiwijaya mengangguk…

“ Menurut saya,” lanjut Ki Ageng Pamanahan, ”Tidak ada lagi kekuatan dahsyat yang mampu menghadapi Jipang kecuali kekuatan Pajang. Tak ada jalan lain, tak ada kekuatan lain yang akan sanggup melakukannya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengharapkan daerah lain tampil secara mandiri berhadapan dengan Jipang.”

Semua yang hadir mengerutkan dahi mendengarnya…

“Mau tidak mau, pasukan Pajang sendiri harus bergerak! Namun….”

Semua yang hadir menunggu…

“Sebaiknya, pasukan Pajang harus melepas busana keprajuridan Pajang. Pasukan Pajang harus melepas identitasnya sebagai pasukan Pajang. Harus ada daerah lain yang berani tampil kedepan untuk mengakui bahwa, pasukan Pajang yang tengah bergerak menggempur Jipang, berasal dari daerahnya. Jika kelak terjadi perang terbuka, menang atau kalah, maka Pajang tidak akan terbawa-bawa!”

Tertegunlah seluruh yang hadir…

Ki Mas Manca angkat bicara :

“ Pamanahan, lantas daerah manakah yang dimungkinkan untuk berani tampil mengakui seperti itu?”

Ki Ageng Pamanahan menyembah :

“Kalau memang diijinkan, biarlah hamba dan paman saya, Ki Juru Mertani yang akan tampil kedepan. Biarlah kami atas nama daerah Sela, memimpin pasukan Pajang melakukan perang terbuka dengan Jipang Panolan. Biarlah terdengar kabar, Jipang Panolan tengah berperang dengan Sela!”

Seluruh yang hadir menghela nafas berat. Suasana hening untuk beberapa saat.

Ki Mas Manca kemudian angkat bicara :

“Daerah Sela identik dengan Kangjeng Sunan Kalijaga….”

Adipati Adiwijaya memincingkan mata mendengarnya…

“Dan Jipang Panolan identik dengan Kangjeng Sunan Kudus,” lanjut Ki Mas Manca.

“Dan akan menjadi sebuah berita yang besar manakala Dewan Wali Sangha mendengarnya, bukankah begitu kangmas Manca?” Sela Adipati Adiwijawa datar.

Ki Mas Manca menyembah sesaat :

“Benar dhimas Adipati. Dan jika itu terjadi, tidak menutup kemungkinan, Dewan Wali Sangha akan campur tangan untuk memaksa kedua belah pihak agar melakukan genjatan senjata.”

Adipati Adiwijaya menghela nafas sekali lagi…

Nampak kini, Ki Juru Mertani menghaturkan sembah…

“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika boleh saya hendak menghaturkan pendapat..”

Adipati Adiwijaya mengangguk mempersilakan..

“Sebaiknya Kangjeng Adipati mengeluarkan sayembara khusus secara terselubung kepada para penguasa daerah yang berada dibawah kekuasan Pajang. Mohon sayembara ditawarkan kepada penguasa yang jelas-jelas telah nyata kesetiaannya kepada Pajang. Hindari penguasa daerah yang masih diragukan kesetiaannya. Dari sekian banyak para penguasa daerah yang ditawari sayembara, pastilah ada yang akan berani tampil untuk memimpin pasukan Pajang dengan menggunakan identitas daerahnya. Jikalau memang tidak ada yang berani, maka terpaksa, saya beserta keponakan saya, Pamanahan, akan tampil kedepan dengan mempertaruhkan nama Sela! Saya berjanji, saya akan memotong kepala harimau terlebih dahulu agar peperangan tidak berjalan berlarut-larut. Arya Penangsang, saya pastikan harus tewas terbunuh terlebih dahulu. Sehingga jika kemudian Dewan Wali Sangha ikut campur memaksakan agar terjadi gencatan senjata, maka disaat gencatan senjata terjadi, Arya Penangsang harus telah mati!!”

Ki Mas Manca meragukan kata-kata Ki Juru Mertani…

“Juru Mertani, yakinkah kamu dengan ucapanmu?”

Ki Juru Mertani menyembah :

“Dengan taktik yang bakal hamba buat, untuk memperdaya Arya Penangsang, agar keluar sarang sendirian, saya yakin, saya pasti bisa memenuhi ucapan saya, Kangjeng Patih..”

Ki Mas Manca mengangguk-angguk, lantas dia menoleh ke arah Adipati Adiwijaya :

“Bagaimana, dhimas Adipati?”

Adipati Adiwijaya tercenung sesaat, lantas dia berkata :

“Baiklah, tapi hal tersebut dilakukan jika memang nanti tidak ada satupun daerah yang berani memasuki sayembara. Oleh karenanya, aku akan memberikan imbalan besar. Yaitu, siapa saja yang berani mengakui pasukan yang bakal menggempur Jipang berasal dari daerahnya dan berhasil mematahkan kekuatan Jipang, maka aku akan memberikan hutan Mentaok dan daerah Pati sebagai imbalannya!”

Keputusan telah diambil. Tidak menunggu waktu lama, atas perintah Adipati Adiwijaya, Ki Mas Manca segera memerintahkan Juru Tulis Kadipaten untuk membuat surat-surat undangan resmi. Surat-surat undangan yang bakal dikirim kepada para penguasa daerah yang berada diwilayah kekuasaan Kadipaten Pajang. Pada hari yang telah ditentukan, mereka harus datang ke Kadipaten Pajang atas perintah Adipati Adiwijaya.

Sayembara Adipati Pajang.

Tiga bulan kemudian, beberapa hari sebelum hari yang telah ditetapkan dalam surat undangan resmi, berdatanganlah para penguasa daerah yang ada diseluruh wilayah Kadipaten Pajang. Mereka datang berkelompok, tidak bersamaan, gelombang pergelombang. Tidak ada yang mencolok. Karena memang begitulah pesan yang dituliskan dalam surat undangan dari Sang Adipati.

Dan pada hari yang ditetapkan, seluruh penguasa daerah telah berkumpul di Siti Hinggil Kadipaten. Lama waktu berselang, mereka semua menunggu kehadiran Sang Adipati ditempat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah Adipati Adiwijaya diiringi Ki Mas Manca dan kepala pengawal pasukan khusus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, berikut beberapa prajurid khusaus yang mengawal.

Didepan para penguasa daerah, Adipati Adiwijaya meminta Ki Mas Manca membacakan sayembara. Seusai sayembara dibaca, suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara. Melihat situasi menjadi sepi dan tegang, Adipati Adiwijaya angkat bicara, dia mempertegas isi sayembara dengan menantang, siapa yang berani tampil kedepan, yang akan memimpin pasukan Pajang, dengan menggunakan identitas dari daerahnya?

Suasana sepi tidak juga mencair. Hingga kemudian, seorang penguasa daerah, terlihat menyembah dan berkata :

“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ijinkan saya mengutarakan kebimbangan saya, yang mungkin juga mewakili kebimbangan hati dari seluruh teman-teman yang hadir disini. Kangjeng, jika kami semua diperintahkan angkat senjata menggempur Jipang atas nama pasukan Pajang, sudah barang tentu, kami tidak akan banyak berfikir panjang, jiwa raga kami akan kami pasrahkan untuk itu. Namun, manakala kami harus menggempur Jipang atas nama daerah kami, mohon maaf, Kangjeng. Jika nanti benar-benar terjadi hal tersebut, kami tidak berani menanggung resiko dengan mengorbankan kerabat kami yang ada didaerah. Kaum Putihan terkenal radikal dan bisa berbuat ngawur atas nama agama. Mohon Kangjeng memaklumi.”

Adipati Adiwijaya menghela nafas. Kata-kata yang terucap barusan memang ada benarnya. Karena tidak ada juga yang berani memasuki sayembara, maka Adipati Adiwijaya-pun menutup pertemuan tersebut. Sebelum menutup pertemuan, Sang Adipati meminta pengiriman pasukan dari semua daerah untuk memperkuat barisan pasukan Pajang. Perintah yang terakhir ini, disambut dengan suka cita tanpa keraguan sedikit-pun oleh semua penguasa daerah.

Mendapati sayembara yang dipermaklumatkan tidak ada yang memasuki, maka hari itu juga, Adipati Adiwijaya mengutus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani untuk menjalankan rencana lain yang pernah mereka tawarkan. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, segera menjalankan perintah!

Angkatan bersenjata Pajang segera mempersiapkan diri untuk menghadapi sebuah perang besar. Mereka dikoordinir dibawah pimpinan penuh Ki Ageng Pamanahan! Sembari menunggu bantuan pasukan dari daerah, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mematangkan rencana yang telah mereka buat sebelumnya.

Atas saran Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pamanahan diminta untuk menguasahakan agar Tombak Pusaka Kyai Plered, bisa mereka pinjam. Karena hanya dengan tombak pusaka peninggalan Majapahit tersebut, kulit Arya Penangsang bisa dilukai. Hanya saja, tombak tersebut sedemikian berharga bagi Adipati Adiwijaya dan tidak akan mungkin dipinjamkan begitu saja kecuali kepada orang yang benar-benar dipercayai oleh Sang Adipati. Maka terpaksa, Ki Ageng Pamanahan, atas saran Ki Juru Mertani, meminta agar Danang Sutawijaya, putranya yang kiini telah diambil anak angkat oleh Adipati Adiwijaya, diminta untuk ikut memperkuat barisan.

Adipati Adiwijaya tidak paham atas permintaan ini, selain Danang Sutawijaya masih kecil, tidak ada kelebihan Danang Sutawijaya yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat barisan Pajang. Namun, dengan cerdiknya, Ki Ageng Pamanahan meyakinkan Adipati Adiwijaya, bahwa mengajak Danang Sutawijaya untuk memperkuat barisan Pajang adalah salah satu dari tak-tik yang hendak dijalankan. Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya menyetujui. Bahkan manakala Ki Ageng Pamanahan memohon agar Danang Sutawijaya diperkenankan membawa tombak pusaka Kyai Plered, Sang Adipati-pun tidak bisa menolaknya.

Setelah bantuan pasukan dari daerah telah sepenuhnya datang, maka pasukan segera berangkat. Tujuan awal adalah daerah Sela. Daerah asal Ki Ageng Pamanahan. Disana, seluruh pasukan akan diatur sedemikian rupa. Sela menjadi pusat konsentrasi pasukan Pajang. Dan nanti, identitas seluruh pasukan akan berganti menjadi pasukan Sela! Akan dikabarkan, bahwa pengikut Islam Abangan, bergabung di Sela untuk memerangi Jipang Panolan dibawah pimpinan Ki Ageng Pamanahan, keturunan Ki Ageng Sela! Nama Pajang, tidak sedikit-pun dibawa-bawa!

Pasukan segera berangkat berkelompok menuju Sela. Dengan berpakaian rakyat biasa serta menyembunyikan seluruh persenjataan didalam bilah bambu, maka kelompok demi kelompok, secara terpisah-pisah waktu, agar supaya tidak mencolok dan menimbulkan kecurigaan, berangkatlah seluruh pasukan Pajang.

Pergerakan pasukan ini benar-benar tersamarkan. Susul menyusul rapih dan teratur. Dan pada akhirnya, beribu-ribu pasukan pun kini telah berkumpul di Sela!

Rencana segera dimatangkan di Sela. Seluruh pasukan mengenakan tanda khusus yang disematkan dibaju mereka. Dengan pakaian rakyat biasa, layaknya para gerilyawan Majapahit, pasukan Pajang yang kini mengaku diri mereka sebagai pasukan Sela, telah siap untuk bertempur!!

Pada hari yang telah ditentukan, menjelang malam hari, pasukan-pun bergerak. Pasukan dipecah dalam empat kelompok besar. Sengaja pasukan dipecah demi untuk kembali menyamarkan diri. Disuatu titik, yaitu diperbatasan wilayah Jipang yang berwujud sungai, disanalah nanti, keempat kelompok pasukan harus kembali bertemu.

Setiap kelompok pasukan menempuh rute-rute khusus. Rute-rute yang menghindari daerah-daerah padat penduduk. Beberapa hari kemudian, seluruh kelompok telah bersatu kembali ditempat yang telah disepakati bersama.

Seluruh pasukan segera mempersiapkan diri, senjata-senjata dikeluarkan dari bilah bambu, anak panah dibagi-bagikan, pos-pos prajurid darurat ditetapkan dan segera ditempati oleh mereka-mereka yang ditunjuk untuk itu. Gerakan rahasia ini begitu rapi, sebentar saja, persiapan untuk sebuah perang besar, telah tertata!! Pasukan Pajang siap melumat Jipang panolan hari itu juga!!

Seluruh prajurid kini menunggu komando selanjutnya.

Dititik yang lebih tersembunyi, terlindung dibalik gerombol pepohonan lebat, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani tengah menunggu saat yang tepat. Nampak Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan, putra angkat Adipati Pajang Adiwijaya telah mempersiapkan diri menjalankan tugas. Dia berdiri disamping kuda putih yang nanti harus ditungganginya. Sebatang tombak panjang, dengan ujung tertutup kain putih dan rangkaian bunga melati tergantung disana, tergenggam erat ditangan kecil Danang Sutawijaya. Itulah tombak pusaka Kyai Plered yang terkenal ampuh!

(Kyai Plered konon diperoleh Syeh Maulana Maghribi, seorang wali Islam jaman Majapahit setelah dia berhasil melakukan tapa brata keras dipantai Parang Tritis, Jogjakarta, sekarang. Tombak ini lantas diberikan kepada Ki Ageng Tarub I atau Kidang Telangkas. Lantas diwariskan kepada Raden Bondhan Kejawen, putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning yang lantas bergelar Ki Ageng Tarub II. Diwariskan kemudian kepada Ki Getas Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. Lantas di serahkan kepada Ki Ageng Sela, putra Ki Getas Pandhawa. Manakala berada ditangan Ki Ageng Sela, tombak dititipkan kepada Sunan Kalijaga. Lantas oleh Sunan Kalijaga, dititipkan kepada Jaka Tingkir, Adipati Pajang hingga saat ini. Maka sesungguhnya, tombak Kyai Plered memang milik leluhur Danang Sutawijaya. Karena Ki Ageng Sela lantas berputra Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Ageng Pamanahan berputra Danang Sutawijaya, Jika ada yang bertanya mengapa silsilah keturunan Tarub jika disejajarkan dengan keturunan Pengging maka lebih cepat beranak pinak? Hal ini tidaklah aneh. Dimasyarakat Jawa sekarang-pun kadang pemuda berusia 20 tahun sudah dipanggil kakek karena kakak kandungnya telah memiliki cucu. Hal ini disebabkan jarak lahir mereka terpaut jauh beberapa tahun. Begitu pula dengan trah Tarub dan Pengging, bila ditarik garis lurus keatas, maka Ki Ageng Sela adalah cicit Brawijaya V sejajar dengan Jaka Tingkir yang juga merupakan cicit Brawijaya V. Namun, usia Ki Ageng Sela lebih tua dari Jaka Tingkir karena memang Ki Ageng Sela lahir lebih dahulu disebabkan ayah kandungnya, Ki Getas Pandhawa menikah diusia muda, lebih muda daripada Ki Ageng Pengging. Begitu juga ketika Ki Ageng Sela telah berputra Ki Ageng Ngenis, Jaka Tingkir belum menikah. Manakala Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, baru Jaka Tingkir menikah diusia yg agak tua. Maka tak heran, putra Ki Ageng Pamanahan, yaitu Danang Sutawijaya, sebaya dengan putra Jaka Tingkir, Pangeran Benawa. Lantas apa yang aneh? Saya membaca komentar yang menggelikan karena mempertanyakan hal ini disebuah catatan saya yang diterbitkan oleh http://apakabar.ws Mengenai kisah Ki Ageng Sela memberontak ke Demak yang terus dia pertanyakan, saya sarankan dia mencari BABAD TANAH JAWA terbitan TB.SADU BUDI, SOLO yang ditulis oleh Ki Wiryapanitra. Dan kepada semua orang yang meragukan kisah saya, jelas mereka tidak pernah mengenal sastra klasik Jawa seperti BABAD TANAH JAWA, DARMA GANDHUL, SERAT KANDHA, BABAD CIREBON, BABAD TUBAN, BABAD PONOROGO, dll. Saya memaklumi keraguan mereka. Yang tidak bisa saya maklumi adalah, kengototan mereka. Jika mereka ngotot meragukan catatan saya, jelas pengetahuan mereka tentang sejarah Jawa yang tertuang dalam naskah-naskah klasik sangat-sangat minim. Yang mereka ketahui hanyalah sejarah Jawa yang bersumber dari pihak mayoritas, pihak pemenang, yang tampaknya juga telah mewarnai dan mempengaruhi kurikulum Sejarah Nasional Indonesia, yang diajarkan dibangku-bangku sekolah. Maka tidak heran jika banyak email masuk bernada tercengang setelah membaca catatan saya. Saya tidak heran, karena selama ini memang mereka dicekoki dengan kisah-kisah yang putih tanpa cela saja. Mereka yang ngotot meragukan catatan saya, secara tidak sadar telah menunjukkan diri mereka adalah korban dari sebuah manipulasi sejarah tetapi tidak menyadarinya. Kepada merekalah memang catatan ini saya buat. Bagi yang sudah terbiasa dengan naskah-naskah sastra klasik Jawa, mereka hanya akan menikmati kisah yang saya tulis ulang dengan gaya penuturan khas saya ini. Mereka hanya akan duduk manis seolah me-replay sebuah film yang pernah mereka lihat bertahun-tahun lalu dan kini diputar kembali. Yang sudah tahu semua cerita yang saya tulis ini, akan duduk menikmati dan berkata,“Yang belum tahu tapi merasa sudah paling tahu dan paling benar, lihat dong kisah klasik ini!” Salam manis bagi teman-teman yang semacam ini. Namun ada pula yang sangat saya sayangkan, yaitu jika ada generasi muda yang sudah tidak tahu, namun tidak mau pula membaca catatan-catatan semacam ini. Sampai kapan kalian akan terus dibodohi? Saya tidak ingin kalian puji hanya karena telah menulis catatan-catatan seperti ini. Tujuan saya tak lain hanya BUKALAH MATA KALIAN! Jika catatan-catatan saya berhasil MEMBUKA MATA KALIAN, saya merasa puas, lebih puas daripada hanya sekedar dipuji-puji! : Damar Shashangka)

Catatan dari Admin Annunaki: Saya dukung kisah klasik yang mas damar ceritakan ulang ini. Semoga bangsa Indonesia khususnya orang JAWA mau membuka mata akan sejarah mereka yang sebenarnya :) Namaste!

Ada yang tampak aneh dari kuda putih yang tali kekangnya tengah dipegang oleh Danang Sutawijaya. Kuda tersebut jelas bukanlah kuda jantan yang biasa dipakai untuk bertempur. Kuda ini jelas kuda betina. Dan tampak semakin aneh lagi, manakala diperhatikan lebih seksama, ekor kuda terlihat diikat keatas pelana sedemikian rupa, sehingga kemaluan kuda betina itu nampak terbuka jelas. Entah apa maksudnya. Ki Juru Mertani yang mempunyai ide seperti itu.

Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan tengah bersiap-siap mengirimkan seorang utusan yang hendak diutus ke Jipang. Utusan yang membawa surat tantangan perang! Namun, belum juga sang utusan berangkat, nampak dari kejauhan, diseberang sungai, tujuh orang tukang rumput berpakaian bagus terlihat tengah berjalan ditepian sungai sembari membawa keranjang rumput.

Ki Juru Mertani tertegun, pucuk dicinta ulam tiba, dia tahu pasti, ketujuh orang yang tengah terlihat itu tak lain adalah perumput dari istana Jipang Panolan. Mereka pastilah tukang rumput yang tengah bertugas mencarikan rumput untuk makanan kuda kesayangan Arya Penangsang, Kyai Gagak Rimang. Cepat Ki Juru Mertani memerintahkan agar Ki Ageng Pamanahan mempersiapkan diri. Ki Juru Mertani memberikan petunjuk singkat. Ki Ageng Pamanahan mengangguk tanda mengerti dan langsung menaiki punggung kudanya. Sejenak Ki Juru Mertani memberikan petunjuk kepada Kepala Pasukan agar tidak melakukan gerakan apapun tanpa ada perintah darinya. Lalu, dia menaiki punggung seekor kuda.

Tak berapa lama, nampak Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan terlihat memacu kuda menyeberangi sungai yang dangkal dibawah sana. Melihat kedatangan dua orang yang tidak dikenal, tujuh orang tukang rumput terkejut. Apalagi, terdengar kemudian dua orang itu berteriak memanggil mereka. Seketrika ketujuh perumput ini menghentikan langkah kakinya.

Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menghampiri mereka. Begitu jarak sudah sedemikian dekat, keduanya segera turun dari atas pelana kuda masing-masing.

“Kisanak, buat siapakah rumput-rumput ini?” , tanya Ki Juru Mertani.

Salah seorang perumput menjawab :

“Rumput-rumput ini untuk makanan kuda Kangjeng Arya Jipang ( Arya Penangsang maksudnya : Damar Shashangka)!”

Ki Juru Mertani tersenyum. Dia keluarkan sebuah gulungan rontal dari balik bajunya.

“Kisanak, kami memiliki pesan buat junjungan kalian. Maukah kalian menyampaikannya?”

Ketujuh orang saling berpandangan, lalu salah satu dari mereka bertanya :

“Kalian orang mana?”

Ki Ageng Pamanahan menjawab :

“Katakan kepada junjungan kalian, kami berasal dari Sela!”

Ragu ketujuh orang tersebut.

“Siapakah yang mau aku titipi?” , sergah Ki Juru Mertani.

Agak ragu, salah seorang perumput mendekat..

“Baiklah, mana?”

Orang yang baru berkata segera mendekat dengan keranjang rumput yang tetap berada dipundaknya.

Ki Juru Mertani menyerahkan gulungan rontal itu kepada sang perumput. Namun diam-diam, Ki Ageng Pamanahan bergerak kearah belakang sang tukang rumput dengan gerakan pelan.

Begitu gulungan rontal telah diterima dan telah diselipkan dipinggang sang perumput, cepat Ki Ageng Pamanahan mencabut keris dari pinggangnya dan meraih daun telinga sang perumput tersebut. Tak menunggu waktu, disayatnya daun telinga sang penerima rontal hingga putus seketika itu juga!! Jerit kesakitan terdengar diiringi darah yang mengucur! Melihat kejadian itu, keenam perumput yang lain ketakutan dan langsung melarikan diri!!

Perumput yang kehilangan daun telinganya terlihat mengerang-ngerang kesakitan sembari mendekap telinganya yang telah kehilangan cuping. Darah merembes disela-sela jari jemarinya.

Sembari memegang keris, Ki Ageng Pamanahan berkata :

“Katakan kepada Arya Penangsang! Aku, orang Sela menunggu dia disini. Jika dia lelaki sejati, pasti akan datang!”

Sang perumput ketakutan setengah mati melihat Ki Ageng Pamanahan. Cepat dia membalikkan badan dan langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan keranjang rumputnya yang tumpah ditanah!!

Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani mengawasi sang perumput yang tengah berlari. Begitu sudah tidak terlihat mata, keduanya segera menaiki punggung kuda masing-masing dan kembali menuju barisan semula.

Perang besar akan terjadi sebentar lagi!!


Bagian 7

Siang itu, diruang dalam kedaton Jipang Panolan, tengah berkumpul para pembesar khusus. Pada hari itu, Arya Penangsang tengah mengadakan acara syukuran atas terselesaikannya masa puasa yang telah dijalaninya selama tiga bulan.

Dengan berpakaian kebesaran, Arya Penangsang nampak duduk dengan gagahnya dikursi indah. Bunyi gamelan mengalun mengiringi perjamuan tersebut. Di bawah, di lantai pualam yang putih bersih, para bangsawan nampak duduk bersila, berjajar dengan mengenakan pakaian kebesaran masing-masing.

Posisi duduk mereka berjajar, memanjang lurus. Ada dua kelompok barisan. Memanjang disebelah kiri dan kanan. Ditengah-tengah kedua barisan ini, tertata rapi hidangan syukuran. Beberapa daging panggang, lauk pauk, nasi tumpeng dan buah-buahan beraneka macam, tersaji disana.

Menjelang acara dimulai, gamelan mendadak berhenti. Patih Matahun yang duduk disebelah Arya Penangsang nampak menghaturkan sembah sejenak kearah junjungannya. Lantas beranjak berdiri dari tempat duduk.

Patih Matahun mewakili Arya Penangsang mengutarakan maksud di adakannya perjamuan disiang itu. Setelah Patih Matahun selesai mengutarakan maksud di adakannya acara syukuran tersebut, seorang ulama keraton segera melantunkan doa-doa.

Selesai doa dibacakan, gamelan mengalun kembali. Beberapa abdi dalem segera masuk dan membagi-bagi segala sesajian makanan yang sudah tersedia. Setiap bangsawan dilayani sebaik mungkin.

Perjamuan baru saja berjalan, manakala mendadak, seorang prajurid kawal khusus tergopoh-gopoh masuk keruangan memohon ijin memberikan laporan penting.

Seluruh yang hadir, tak terkecuali Arya Penangsang sendiri dan Patih Matahun, dibuat kaget oleh kehadiran seorang prajurid kawal khusus ini. Segera, Arya Penangsang memberikan isyarat agar prajurid tersebut mendekat saat itu juga.

Gamelan mendadak berhenti. Suasana menjadi tegang seketika. Ruangan menjadi sunyi dan hening. Seluruh bangsawan terdiam, mengawasi lekat-lekat sang prajurid yang tengah bergerak jalan duduk, sembari menduga-duga ada apakah gerangan yang terjadi?

Arya Penangsang memberikan isyarat agar sang prajurid segera memberikan laporan yang dibawanya. Diperhatikan oleh berpuluh-puluh pasang mata, dan didengar oleh berpuluh-puluh telinga dari semua yang hadir ditempat itu, sang prajurid berkata :

“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya hendak memohon ijin membawa masuk seorang perumput istana. Kondisi dia sangat tidak baik. Dia membawa gulungan rontal yang katanya surat khusus buat Kangjeng..”

Wajah Arya Penangsang tegang.

“Bawa masuk dia!”

Sang prajurid menghaturkan sembah, lantas berjalan duduk mundur. Tak lama dia sudah keluar dari ruangan. Berselang beberapa tegukan minum, dia datang kembali sembari diiringi seseorang yang lain. Seseorang yang wajahnya berlepotan darah segar. Dengan sangat kesulitan, dia berjalan duduk mengikuti prajurid kawal khusus yang membawanya.

Melihat kehadiran sosok yang dibawa menghadap oleh prajurid kawal khusus barusan, seluruh yang hadir gempar!

Seseorang yang berlepotan darah yang tak lain adalah sang perumput malang itu terlihat menahan rasa sakitnya. Belum jelas bagian mana dari kepala sang perumput yang terluka karena darah segar yang terus merembes, sedikit banyak menutupi tempat luka berasal. Namun, semakin diperhatikan, akan semakin jelas, bahwa cuping telinga kiri sang perumput telah hilang! Seluruh yang hadir bisa menebak seketika, bahwa darah itu keluar dari luka dibagian telinganya yang telah tanggal!!

Mata Arya Penangsang dan Patih Matahun memperhatikan kondisi sang perumput tanpa berkedip. Begitu sang perumput dan prajurid kawal khusus telah berada tepat dihadapan Arya Penangsang, segera Arya Penangsang berkata :

“Ada apa? Ceritakan apa yang terjadi?! Dan surat darimana yang kau bawa untukku?!”

Sembari mengerang, sang perumput menghaturkan sembah. Tangannya yang berlepotan darah gemetar saat menghaturkan sembahnya. Sang perumput, didengar oleh Arya Penangsang, Patih Matahun dan seluruh bangsawan yang hadir segera menceritakan apa yang menimpanya!

Gemuruh suara seluruh yang hadir setelah mendengar laporan sang perumput. Arya Penangsang memerah wajahnya, segera dia meminta gulungan rontal yang dibawa sang perumput. Sang perumput mengulurkan gulungan rontal yang juga berlepotan darah. Arya Penangsang menyuruh Patih Matahun menerimanya dan segera membaca isinya.

Patih Matahun menerima gulungan rontal dari tangan sang perumput. Sembari berdiri, dia buka gulungan itu dan dengan suara keras, dibaca isinya :

He, Penangsang! Yen sira nyata Lanang Sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapengin nigas janggamu!

(Hai, Penangsang! Jika nyata Lelaki Sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu dipinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki ! Berangkatlah tanpa prajurid! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!)

Menggeram marah Arya Penangsang mendengar bunyi surat yang baru dibacakan. Tangannya mengebrak meja disebelahnya yang dipenuhi dengan nasi tumpeng! Meja terguling dan nasi diatasnya berburai seketika, berserakan mengotori lantai pualam disekelilingnya!!!

Arya Penangsang, dengan dada bergemuruh dan amarah yang sudah sampai dibun-ubun segera berkata keras kepada prajurid kawal yang nampak disitu :

“Siapkan Kyai Gagak Rimang sekarang juga!!!”

Prajurid yang diperintah menyembah dan tergopoh-gopoh jalan mundur.

Seluruh yang hadir kebingungan. Patih Matahun segera menyembah dan berkata :

“Nakmas Penangsang, mohon sabarkan hati sejenak. Biarkan saya memberikan perintah kepada Senopati Jipang agar menyiagakan seluruh prajurid!!”

Arya Penangsang tak bergeming! Matanya menerawang merah penuh amarah. Sejurus kemudian, prajurid yang diutus menyiapkan kuda nampak tiba kembali diruangan. Dia tengah memulai untuk berjalan duduk dengan maksud menghadap. Namun Arya penangsang sudah tidak sabar lagi, dia segera keluar dari ruangan tanpa permisi !!!

Patih Matahun kalut! Segera dia berkata :

“Nakmas Senopati!!”

Yang ditunjuk dan tengah duduk diantara para bangsawan menyembah!

“Segera siagakan seluruh prajurid Jipang Panolan sekarang juga!”

Yang diperintahkan menyembah sekali lagi dan mohon undur.

“Dan kepada semua priyayi yang hadir disini!” lanjut Patih Matahun, keras suaranya, ”Segera siagakan diri untuk bertempur dengan orang Sela!!”

Seluruh yang hadir riuh memberikan sembah! Dan bubar saat itu juga!!

Arya Penangsang telah menaiki kuda kesayangannya. Beberapa kepala prajurid berusaha mencegahnya, namun bukan Arya Penangsang jika tidak memenuhi tantangan seorang diri. Tanpa banyak bicara lagi, digebraknya Kyai Gagak Rimang! Kuda berwarna hitam mulus itu meringkik nyaring sejenak, lantas melesat keluar dari kompleks istana Jipang Panolan!!!

Seluruh kepala prajurid dan bangsawan Jipang geger melihat kenekadan Arya Penangsang! Seketika itu juga, gong beri, gong kecil yang biasa dibunyikan agar seluruh prajurid menyiagakan diri, segera terdengar dipukul bertalu-talu. Susul menyusul. Dari satu sudut istana , disusul sudut yang lain. Riuh rendah suaranya memekakkan telinga! Disana-sini, teriakan-teriakan komando-pun terdengar, berselang-seling, membuat se-isi istana Jipang gempar!!

Ditempat lain, Kyai Gagak Rimang telah melesat menuju perbatasan!!

Tumbangnya Ksatria Putihan.

Kyai Gagak Rimang melaju kencang, melesat ke arah sungai yang menjadi tapal batas wilayah Jipang Panolan dengan daerah yang belum berhasil diduduki pasukan Jipang.

Menjelang matahari condong ke barat, tepat seusai waktu dzuhur, barulah Arya Penangsang memperlambat laju kudanya!

Wilayah yang dibentangi aliran sungai dangkal ini adalah tapal batas kekuasaan Jipang Panolan. Diseberang sana, terbentang wilayah luas yang sudah direncanakan hendak diduduki pasukan Jipang.

Kyai Gagak Rimang meringkik nyalang manakala tali kekang kuda yang melilit lehernya ditarik kencang!! Serta merta, Kyai Gagak Rimang mengangkat kedua kaki depannya sejenak, lantas kembali menjejak ke tanah dan berjalan pelan memutar.

Mata Arya Penangsang menyipit mengamati keadaan sekeliling. Aliran sungai yang tak seberapa dalam nampak terus mengalir dengan tenangnya. Pepohonan lebat yang tumbuh diseberang sana, tumbuh di area berbukit tepat dipinggir aliran sungai, nampak lengang pula. Tak tampak sesuatu-pun yang mencurigakan.

Bergegas Arya Penangsang menarik tali kekang kuda, menuruni tanah berbukit yang menuju ke bawah, menuju ke aliran sungai. Begitu sampai dibawah, tepat dipinggir sungai, ternyata situasi benar-benar senyap! Tak ada siapapun disana. Hanya bunyi burung-burung hutan yang sesekali memamerkan suara ditambah suara sungai yang gemericik, menyambut kehadiran Arya Penangsang!

Arya Penangsang mendengus. Dengan mata memandang ke seberang, dia berteriak keras :

“Keparat!! Yen nyata lanang metuwa!! Aja singidan!!”
(Keparat!! Kalau nyata laki-laki, keluarlah! Jangan bersembunyi!!)

Suara Arya Penangsang menggema, memantul dari lereng ke lereng lain! Mengoyak kesenyapan yang sedari tadi menyergap daerah itu!

Tapi, begitu suara gema menghilang. Keadaan kembali sepi. Tak ada jawaban!

Arya Penangsang gusar! Merasa dipermainkan! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang, nekad dia menyeberangi sungai! (Menurut kepercayaan Jawa, jika dua orang lawan sedang bertempur, dan diantara mereka terhalang sebuah sungai, bagi siapa saja yang berani menyeberangi, pasti akan kalah perangnya : Damar Shashangka)

Dan tepat ketika kaki-kaki Kyai Gagak Rimang tengah tertatih-tatih menapaki dasar sungai yang cuma sebatas lutut dalamnya, mendadak, terdengar bunyi riuh desingan!! Mata Arya Penangsang awas!! Dilihatnya berratus-ratus anak panah meluncur deras mengarah kearahnya!! Arya Penangsang mengumpat!! Namun sungguh luar biasa, bukannya dia kebingungan menghindar, malahan dia buka dadanya lebar-lebar!! Beberapa batang anak panah yang tepat mengarah ketubuhnya, terpental kesamping, tak bisa melukai kulitnya sama sekali dan langsung luruh masuk ke dalam aliran sungai!! Bahkan beberapa ada juga yang patah menjadi dua!! Tak hanya itu, anak panah yang sempat menyasar ke tubuh Kyai Gagak Rimang-pun mengalami hal yang serupa!! Kyai Gagak Rimang hanya terlonjak-lonjak saja ketika beberapa anak panah meluncur mengenai tubuhnya! Tak ada luka sedikit-pun ditubuh kuda hitam mulus itu!!

Bidikan anak panah mereda seketika!

Belum usai kegusaran Arya Penangsang, disusul dari arah seberang, keluar seekor kuda putih! Kuda itu dipacu menuruni lereng. Keluar dari balik pepohonan. Begitu jelas siapa yang hadir, mata Arya Penangsang melotot marah!! Jelas terlihat, seorang anak kecil, tengah menunggang kuda dengan tombak terhunus ditangan kanannya. Terdengar suara kecilnya nyaring tanpa ada kegentaran sedikitpun :

“Penangsang!! Aku lawan tandingmu!!”

Dada Arya Penangsang bagai dibakar api! Wajahnya bagai dicoreng dengan arang!! Betapa tidak! Seorang anak kecil dengan lancangnya berani sendirian menghadapinya dan bahkan sesumbar menantangnya!!! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang! Kuda meringkik, kesusahan berjalan menapaki dasar sungai! Berusaha terus melaju ke arah seberang mendekati sosok kecil yang dengan gagahnya menenteng tombak disana!

Melihat Arya Penangsang mendekat, anak kecil tersebut memutar arah kudanya. Kyai Gagak Rimang telah berhasil melewati aliran sungai dan langsung berderap mengejar kuda putih didepannya! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, mendadak terjadi keanehan! Tingkah Kyai Gagak Rimang seketika berubah!! Kepalanya mengangguk-angguk dan menjadi liar!!

Arya Penangsang terkejut menyadari perubahan yang terjadi! Kuda tunggangannya tidak pernah bertingkah aneh seperti itu selama ini. Sejenak Arya Penangsang kerepotan menarik tali kekang kudanya yang menjadi tak terkendali!! Ditengah usahanya membuat Kyai Gagak Rimang kembali patuh, mata Arya Penangsang melihat sekilas bagian belakang kuda putih yang tengah ditunggangi lawannya!! Arya Penangsang marah!! Dia menyadari sekarang mengapa Kyai Gagak Rimang bertingkah laku aneh! Rupanya, ekor kuda putih didepannnya sengaja diikat keatas, sehingga kemaluannya terlihat jelas! Dan Arya Penangsang semakin menyadari, kuda yang ditunggangi lawannya adalah kuda betina!!

Arya Penangsang mengumpat-ngumpat!! Kyai Gagak Rimang selama ini memang sengaja tidak diperkenalkan dengan kuda betina! Kyai Gagak Rimang adalah kuda tempur. Jika mengenal kuda betina dan sempat bersenggama, maka kemampuan tempurnya akan menurun! Dan kini, melihat kuda betina dengan kemaluan terbuka lebar seperti itu, Kyai Gagak Rimang tidak bisa menguasai birahinya!!

Ditengah kesibukan Arya penangsang mengendalikan keliaran Kyai Gagak Rimang, mendadak anak kecil yang menunggang kuda didepannya, memutar haluan kudanya. Berderap suaranya mendekat. Mata Arya Penangsang awas!! Namun keliaran Kyai Gagak Rimang semakin menjadi-jadi. Arya Penangsang panik!! Dan benar!!

Tombak ditangan kanan sang anak mengarah telak kearah lambungnya!!! Dan!!!

Arya Penangsang yang kerepotan diatas punggung kuda yang tengah melonjak-lonjak, tidak mampu menghindari tikaman tersebut!! Tombak Kyai Plered yang tajam langsung menembus lambungnya seketika itu juga!! Darah menyemburat!! Arya Penangsang menjerit kesakitan!! Dan yang mengerikan, begitu mata tombak ditarik, sebagian ususnya ikut terburai keluar!!!

Kuda putih berlalu dengan derapan kemenangan!! Arya Penangsang meringis kesakitan!! Diraihnya sebagian ususnya yang keluar dan langsung di kalungkan ke warangka keris Kyai Brongot Setan Kober yang terselip dipinggang kirinya!! Begitu ususnya tidak menjuntai dan terikat diwarangka keris, Arya Penangsang segera memutar tali kekang Kyai Gagak Rimang!! Kuda hitam itu mendengus-dengus dan berderap semangat mengejar kuda betina!! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, Arya penangsang meraih tubuh kecil sang penunggang kuda putih dan membantingnya ketanah!!!

Jerit kesakitan terdengar!! Arya Penangsang segera turun dari punggung kuda!! Sosok kecil yang tengah terjatuh diatas tanah berusaha bangkit dan hendak melarikan diri, namun terlambat!! Leher kecilnya terpegang dan kembali terbanting ketanah!! Begitu tubuh kecil itu telentang tak berdaya, kaki kekar Arya penangsang langsung menginjak dadanya!! Suara kesakitan nyaring terdengar!!

Arya Penangsang beringas!! Diraihnya gagang keris Kyai Brongot Setan Kober!!

“Tunggu!!!!!!”

Mendadak terdengar bunyi nyaring!! Mata Arya Penangsang mencari asal suara! Terlihat empat orang berkuda keluar dari balik gerombol pepohonan mendekat kearahnya!! Dua diantara empat orang yang datang adalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan!

Belum selesai kemunculan empat orang tersebut, disusul suara riuh rendah derap kuda dari seberang sungai terdengar!! Mata Ki Juru Mertani awas!! Pasukan Jipang Panolan ternyata sudah tiba!! Cepat dia memberikan isyarat!!! Dua orang yang ikut dengannya segera mengeluarkan bendera merah!! Begitu melihat bendera merah terkibar!! Bunyi gemuruh pasukan Pajang membahana!!! Serempak keluar dari persembunyian masing-masing!! Perang besar akan segera terjadi!!!

Mata Arya Penangsang memerah!!

Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan menatapnya lekat-lekat! Dan mata Ki Juru Mertani serta Ki Ageng Pemanahan juga melirik usus Arya penangsang yang terburai dan tersampir diwarangka keris! Begitu keris itu dicabut, maka tamatlah riwayat Arya Jipang!!

“ Penangsang!!” teriak Ki Juru Mertani, ” Anak kecil itu putra Adipati Pajang!! Bunuh saja jika kamu berani!!!”

Arya Penangsang kalap!! Dia melihat anak kecil yang masih diinjak dengan kaki kanannya! Anak kecil yang tak lain adalah Danang Sutawijaya! Dengan diiringi geraman kemarahan yang tak tertahankan, dicabutnya Kyai Brongot Setan Kober dengan kasar!!! Arya Penangsang lupa, sebagian ususnya yang keluar tersampir disana!! Kemarahan membuat Arya Penangsang lupa!!

Begitu keris Kyai Brongot Setan kober tercabut, Arya Penangsang seketika menjerit keras!!! Ususnya ikut tercerabut seketika itu juga!!! Dengan tangan kanan yang terangkat keatas, gerakan Arya Penangsang terhenti!!! Tubuhnya tergetar hebat!!! Hanya sesaat!! Sejurus kemudian, tubuhnya tumbang ke tanah dan sekarat seketika itu juga!!!

Cepat Ki Ageng Pemanahan menarik tubuh Danang Sutawijaya yang ngeri ketakutan!! Dan langsung membawanya menjauhi arena!!

Dilain tempat, peperangan telah terjadi!! Pekik kemarahan berselang sering dengan jerit kesakitan!!! Tubuh-tubuh dari kedua prajurid bertumbangan ketanah!! Darah tertumpah!! Membuat aliran sungai menjadi berubah warna menjadi merah!!!

Senjata tajam berkelabatan tertimpa sinar matahari sore!! Berdenting! Mencicit mengincar nyawa lawan!! Nampak Patih Matahun mengamuk dibarisan depan!!

Ki Juru Mertani segera memerintahkan seorang kepala prajurid Pajang berteriak mengabarkan kematian Arya Penangsang! Yang diutus segera menjalankan tugas!! Sebentar saja, teriakan serupa disambut teriakan yang lain dari kepala pasukan Pajang!!

Berita kematian Arya penangsang membuat nyali pasukan Jipang menciut!!! Ditengah-tengah pertempuran dahsyat tersebut, dari sudut kesudut, terdengar suara bersahut-sahutan dari pasukan Pajang :

“Arya Penangsang wis matiiiiiiiiiii!!!!!”
(Arya penangsang sudah mati!!!)

Dampaknya luar biasa, sebentar saja, pasukan Jipang terdesak hebat!! Satu persatu, tubuh pasukan Jipang jatuh ketanah dengan luka menganga mengeluarkan darah segar!! Pasukan Pajang terus merangsak maju!!

“Aja mundur!!! Majuuuuuuuuuuu!!”
(Jangan mundur!! Majuuuuuu!)

Terdengar teriakan Patih Matahun, disusul oleh kepala pasukan Jipang yang lain! Namun percuma! Nyali pasukan Jipang sudah turun drastis!! Bahkan, dibeberapa sisi, pasukan Jipang sudah kocar-kacir!! Jika diteruskan, seluruh pasukan Jipang akan terbabat habis tak tersisa!! Pasukan Pajang mengamuk bagai banteng ketaton!!!

Namun, Patih Matahun tak berniat mundur!! Ki Ageng Pamanahan segera memacu kuda mendekati posisi Patih Matahun!! Melihat kehadiran Ki Ageng Pamanahan, Patih Matahun langsung menyerang!! Pertempuran kedua priyayi dari Pajang dan Jipang ini terjadi!! Namun bagaimanapun juga, semangat Patih tua ini juga sudah banyak luruh!! Sebentar saja, dia sudah terlihat terdesak hebat!! Dan pada akhirnya, sebuah tusukan telak mengarah dadanya!! Patih Matahun meringis kesakitan dan tumbang ketanah!!!

Melihat Patih Matahun-pun telah tewas, beberapa kepala pasukan Jipang panik!! Pasukan Pajang terus membabat habis lawannya tanpa ampun lagi!! Mayat-mayat bergelimpangan semakin banyak!! Aliran sungai telah berwarna merah dan berbau anyir!!

Dan menjelang malam tiba, pasukan Jipang kocar-kacir!!! Pasukan Pajang terus bergerak menuju ibukota! Penduduk ibukota Jipang panik. Pasukan Pajang merangsak masuk istana Jipang! Jerit ketakutan terdengar disana-sini!! Banguna istana segera menjadi sasaran perusakan pasukan Pajang tanpa ampun!! Beberapa sudut istana dibakar!! Perlawanan dari sisa-sisa pasukan Jipang tidak berarti sama sekali!! Sebentar saja, menjelang dini hari, istana Jipang Panolan telah dikuasai pasukan Pajang!!

Gamelan ditabuh menandakan kemenangan pasukan Pajang!! Keesokan harinya, kabar kemenangan itu diteruskan ke Pajang. Beberapa prajurid diutus memberikan laporan kepada Adipati Adiwijaya!! Seluruh bangsawan Pajang menyambut kemenangan itu dengan suka cita!!

Tak menunda waktu lama, diutuslah beberapa prajurid ke Jepara untuk mengabarkan hal serupa kepada Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat bergembira dan bersedia menyudahi tapa telanjangnya. Dia lantas ikut rombongan pasukan Pajang menuju ibukota Pajang.

Kemenangan orang Sela tersiar kemana-mana. Tewasnya Arya penangsang membuat gempar seluruh bangsawan Jawa!! Tak terkecuali Sunan Kudus!!

Kini, tidak ada lagi penguasa Jawa yang kuat selain Adipati Adiwijaya di Pajang!! Beberapa minggu kemudian, upacara besar dilaksanakan. Disaksikan oleh para pembesar Demak Bintara, Ratu Kalinyamat menyerahkan tahta Demak Bintara kepada adik iparnya, Adipati Adiwijaya!! Keputusan ini banyak disokong oleh berbagai pihak!! Namun sesuai janji semula, Pajang harus berbentuk Kesultanan, bukan Kerajaan. Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya lantas dikukuhkan sebagai seorang Sultan dengan gelar Kangjeng Sultan Adiwijaya. Kejadian ini bertepatan dengan tahun 1546 Masehi!

Putra Ki Ageng Pengging, kini telah resmi memegang tampuk pemerintahan Jawa. Ramalan Sunan Kalijaga, terbukti sudah!! Kini, Ki Mas Karebet atau Jaka Tingkir, telah menjadi seorang Raja, penguasa Tanah Jawa!!!

Tamat



Mari kita ambil baiknya dan buang yang tidak baik...
Aihh... Berat3x...


Hatiku selembar daun...

Arya Penangsang - Satria Sejati

Arya Penangsang - Satria Sejati



Perseteruan Jipang dengan Pajang.

Perkembangan yang memanas antara aria Pengangsang dengan sultan Hadiwiijaya, sangat menggelisahan hati kanjeng sunan Kalijaga. Disatu sisi sunan Kalijaga adalah salat satu guru dari Jaka Tingkir, disisi lain sunan Kudus yg berpihak pada aria Penangsang adalah merupakan kerabatnya sebagai Ulama utama di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga tidak ingin lagi terjadi ribut perebutan kuasa. Dan berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah dari terjadi diantara keturunan dinasti Demak Bintara. Untuk itu sunan Kalijaga datang mengunjungi sunan Kudus.

Dalam silaturahim antara sunan Kudus dengan sunan Kalijaga dibincangkan soal ketegangan antara Pajang deng Jipang. Pandangan sunan Kalijaga tentang keberpihakan sunan Kudus terhadap aria Penangsang diakui kebenaranya sunan Kudus. Akan tetapi, menurut sunan Kalijaga, Demak sudah runtuh. Para Wali memiliki andil yang menyebabkan Demak runtuh. Pada awalnya para wali bersepakat untuk membangun Demak sedikitnya bisa menyamai kejayaan Majaphait atau berumur lebih panjang dari Majapahit. Dengan cara ikut berkiprah dalam urusan tata negara.

Kesultanan Pajang berdiri karena Hibah dari ratu Kalinyamat kepada Hadiwijaya. Dan saat ini Kesultanan Pajang berada dibawah sultan Hadiwijaya yang bukan darah sentono Demak. Jadi jika aria Penangsang menuntut tahta Pajang, hal itu sudah diluar adat dan ketentuan Hukum, Yaitu mengambil “harta” yang sudah dihibahkan kepada orang lain.

Sunan Kalijaga memohon kepada sunan Kudus agar para sepuh (wali) sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.

Biarkanlah Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh tinggal nonton saja. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua. Yang becik ketitik sing ala ketara. Kita (wali) lebih baik mensyi’arkan Islam tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Kita (wali) adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai kita (wali) terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata pawongan (baca; rakyat jelata), jika melihat para Ulama kok ikut-ikutan cari mukti (kekuasaan duniawiyah) sendiri.

Sunan Kudus berniat kembali kepada khitahnya sebagai ulama. Tidak lagi ingin mencampuri urusan dunia kekuasaan. Dan berniat untuk bersikap netral. Oleh karena itu Sunan Kudus memanggil aria Penangsang untuk menjelaskan maksudnya.

Sunan Kudus menjelaskan wacananya kepada aria Penangsang. Bahwa memang Penangsang punya hak sebagai pewaris Kesultanan Demak. Akan tetapi Demak sudah runtuh. Jadi hak waris Penangsang atas Demak sudah tidak ada lagi. Karena semua yang ada di Demak sudah dihibahkan kepada Pajang. Dan Sultan Pajang bukan keturunan Demak, Meski masih memiliki tetes getih dari Majapahit. Sehingga menurut adat maupun hukum tuntutan untuk mengambil tahta Pajang sudah berada diluar adat hukum.

Mendengar penjelasan sunan Kudus, aria Penangsang merasa ditinggal sama pepundenya. Dan menyatakan bahwa tanpa kanjeng sunan Kudus berpihak pada Penangsang. Jipang Panolan sanggup menghancurkan Pajang asal kanjeng kiai Betok keris pusaka sunan Kudus menjadi sipat kandel aria Penangsang berdampingan dengan keris pusaka kiai Setan Kober miliknya.

Sunan Kudus sudah tidak bisa lagi menghalangi nafsu aria Penangsang untuk merebut tahta Pajang dari tangan Hadiwijaya. Sebagai pernyataan bahwa sama sekali sunan Kudus tidak meninggalkan aria Penangsang maka keris Kiai Betok diserahkan kepada Penangsang. Sunan Kudus Cuma ingin meynampaikan bahwa maksudnya sunan Kudus tidak lagi ikut campur dalam urusan tata negara.

Rencana menggulingkan Pajang.

Aria Penangsang kecewa merasa ditinggalkan oleh sunan Kudus. Namun sedikit terhibur, karena keris saksti Kiai Betok milik sunan Kudus sudah berada di tanganya sebagai sipat kandel adipati Jipang. Dengan memiliki dua pusaka yaitu keris kiai Setan Kober dan kiai Betok, meski tanpa dukungan langsung dari sunan Kudus aria Penangsang merasa kuat untuk menghadapi Pajang. Karena aria Penangsang juga yakin bahwa tidak satupun para wali yang ikut campur dalam perseteruan antara Jipang dengan Pajang.

Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh aria Penangsang bahwa disamping sultan Hadiwijaya ada tiga tokoh utama murid-murid sunan Kalijaga. Yakni Pemanahan, Juru Mertani dan Panjawi. Sedangkan disisi aria Penangsang cuma ada satu yakni Sumangkar. Ibaratnya Sultan Hadiwijaya punya tiga Jenderal, tetapi aria Penangsang cuma punya satu Jenderal.

Usaha melakukan pembunuhan terhadap sultan Hadiwijaya oleh aria Penangsang dilakukan dengan aneka cara diantaranya setelah perundingan diplomatis, dimana secara diam diam oleh aria Panangsang. Dimana dalam perundingan tersebut mengalami jalan buntu akibat tidak terimanya usul sultan Hadiwijaya memberikan Demak kepada aria Penangsang dan status Demak sebagai kadipaten dibawah kesultanan Pajang.

Sangat beruntung bagi sultan Hadiwijaya, karena seusai perundingan menyimpang dulu ke wilayah gunung Danaraja ,Jepara untuk bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa lukar umbar aurat. Tujuan Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Danaraja adalah memenuhi permintaan sunan Kalijaga untuk menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya berhasil menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Dan membawa sang Ratu kembali ke Jepara untuk memimpin kabupaten Jepara yang lama kosong ditinggal bertapa. Himbauan Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat, menyatakan bahwa jika Jepara dibiarkan kosong, maka dengan mudah aria Penangsang dapat merebut Jepara, serta membiarkan Jipang menjadi lebih kuat.

Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Pajang, rombongan sultan Hadiwijaya dihadang oleh Pasukan Jipang. Akan tetapi pasukan ini gagal memerangi sultan Hadiwijaya dan rombonganya. Bahkan seultan Hadiwijaya berhasil menawan sisa pasukan Jipang yang masih hidup. Namun dilepaskan dengan membawa pesan untuk mempermalukan adipati Jipang.

Gagalnya perundingan antara sultan Hadiwijaya dengan aria Penangsang, sangat mengecewakan hati sunan Kudus atas sikap aria Penangsang yang menolak tawaran damai sultan Pajang. Oleh karena itu sunan Kudus mengusulkan untuk dilakukan perundingan ulang dimana sunan Kudus bertindak sebagai penengahnya. Dimana dalam perundingan ini disyaratkan masing masih pihak tidak membawa pendamping. Pihak Jipang diwakili sendiri oleh aria Penangsang, dan pihak Pajang diwakili oleh sultan Hadiwijaya sendiri. Dalan hal ini Patih Sumangkar dari Jipang maupun Ki Juru Mertani atau Pemanahan maupun Penjawi tidak diikut sertakan dalam perundingan ini. Sehingga perundingan ini bersifat seimbang.
Sunan Kudus meski tampak memberikan syarat yg adil tetapi masih menyimpan keberpihakan kepada anak angkatnya yaitu aria Penangsang. Dimana satu diantara kursi tempat berunding diberikan rajah Kalachakra yng nantinya disiapkan untuk di duduki oleh sultan Hadiwijaya. Dimana kekuatan rajah kalachakra adalah untuk membuat seseorang akan apes jayanya jika rajah kalachakra diduduki.

Untuk membedakan mana kursi yang sudah di rajah dengan kalachakra adalah kursi baru berukir indah dan diberi tilam putih. Sedangkan yang tidak di rajah adalah kursi lama yang biasa untuk tamu dengan diberi talam warna hijau.

Kedatangan sultan Hadiwijaya disambut oleh sunan Kudus yang didampingi oleh aria Penangsaangan. Sesampainya didalam ruang perundingan sunan Kudus mempersilahkan sultan Hadiwijaya untuk duduk di kursi baru yang bertilam putih. Melihat kursi baru berukir indah dan bertilam putih sultan Hadiwijaya yang terbiasa dididik pekerti luhur oleh orang tuanya untuk tidak mendahului menggunakan apa saja yang belum pernah digunakan oleh orang yang lebih tua, Maka dengan penuh hormat menyatakan lebih baik kanjeng sunan Kudus yang duduk di kursi tersebut.Karena kelihatanya kursi itu masih baru dan belum pernah digunakan. Sultan Hadiwijaya tidak berani menduduki karena takut kualat mendahului pemilikinya. Apalagi kursi tersebut milik pribadi sunan Kudus. Jelas saja sunan Kudus tidak berani menduduki kursi yang sudah di rajah kalachakra. Lain halnya dengan aria Penangsang. Penolakan sultan Hadiwijaya dianggap sebagai penghinaan terhadap pribadi sunan Kudus. Aria Penangsang memang tidak tahu kalau kursi bertilam putih sudah dirajah dengan KalaChakra. Aria Penangsang merasa sultan Hadiwijaya telah melakukan penghinaan tehadap sunan Kudus sebagai sudarma pepundenya, maka aria Penangsang menghunus keris kiai Setan Kober. Melihat keris Keris kiai Setan Kober terhunus sultan Hadiwijaya kaget dan mundur selangkah. Melihat gelagat ini sunan Kudus memerintahkan aria Penangsang untuk menyarungkan keris kiai Setan Kober.

Dengan serta merta keris disarungkan ke warakanya. Dan aria penangsang langsung duduk di kursi bertilam putih yang dirajah Kalachakra.

Melihat gelagat yang tidak baik sultan Hadiwijaya menyatakan kepada sunan Kudus membatalkan perundingan dan mohon pamit mundur kembali ke Pajang. Alagkah kagetnya sunan Kudus ketika kembali ke ruang perundingan setelah melepas sultan Hadiwijaya, melihat aria Penangsang duduk di kursi bertilam putih yang dirajah kalachakra. Sunan Kudus memberi tahu jika perintah menyarungkan keris adalah sasmita (kode), untuk menyarungkan keris itu ke badan sultan Hadiwijaya. Dan kesalahan yang paling fatal adalah aria penangsang menduduki kursi yang sudah dirajah. Kalachakra. Artinya akan menjadi apes buat aria Penangsang. Maka sunan Kudus memerntahkan aria Penangsang untuk melakukan puasa selama 40 hari, untuk menghapus apes.

Tetes Darah Majapahit Terputus ???

Sejarah mencatat, bahwa dinasti Mataram berpangkal dari Ki. Ageng Pemanahan yang berhasil menobatkan Sutawijaya (penembahan Senopati) menjadi raja Mataram Islam hingga zaman sekarang.

Dengan kata lain, versi sejarah mencatat bahwa raja-raja keturunan (darah) Majapahit terputus sejak runtuhnya Kesultanan Pajang. Namun versi legenda masyarakat bahwa darah keturunan Majapahit tetap berlanjut menjadi raja-raja di tanah Jawa. Karena percaya bahwa Sutawijaya adalah “lembu peteng”) alias “anak gembala” (anak hasil hubungan gelap) antara sultan Hadiwijaya dengan istri ki ageng Pemanahan yang ditingal bertapa untuk memohon agar diberi keturunan. Selama ditinggal bertapa Ki Ageng Pemanahan menitipkan istrinya kepada Sultan Hadiwijaya di istana Pajang. Hal ini terjadi atas usul Ki Juru Mertani.
Dalam kias / sanepan. Ki Ageng Pemanahan meminum air kelapa kelapa (baca: banyu cengkir) yang disimpan oleh Juru Mertani dan dititipkan kapada sultan.
Cerita rakyat menyatakan hal berbeda. Bahwasanya nyi Ageng (istri Pemanahan), tidak akan punya anak jika tidak didampingi oleh satria lelanang jagad yang pada saat itu wahyu lelanang jagad dipercaya ada didalam diri Sultan Hadiwijaya. Atau tidak bisa melahirkan jika tidak didampingi oleh sultan Hadiwijaya. Supaya anak bisa lahir, maka Ki Ageng Pemanahan sendiri yang meminta sultan Hadiwijaya mendampingi Nyi Ageng supaya anaknya bisa lahir. Setelah lahir diberi nama Danang Sutawijaya yang berarti: danang (lelaki) Suta (hadir) Wijaya (sultan Hadiwijaya). Mengandung maksud anak laki yang lahir karena hadirnya sultan Hadiwijaya.

Kontroversi siapa sebenarnya Sutawijaya, apakah anak ki. Ageng Pemanahan atau anak sultan Hadiwijaya. Sampai saat ini tidak jelas. Secara fakta adalah anak ki Ageng Pemanahan. Yang diadopsi sebagai anak sultan Hadiwijaya. Tetapi masyarakat menyatakan “lembu peteng” nya Jaka Tingkir,

Dilihat dari sejarah, dimana kekuasaan Raja adalah mutak. Dimana tak seorang yang berada dibawah kuasanya bisa menolak keinginan raja. Terlepas apakah keinginan itu benar atau salah. Sabda raja adalah hukum. Menolak keinginan raja berarti menentang hukum. Kebiasaan raja memiliki selir disamping garwa padmi, adalah suatu hal yang sangat biasa .
Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Benawa sebagai pewaris syah Pajang. Namun mengapa tokoh pangeran Benawa ini tidak menonjol kiprahnya. Hal ini dilatar belakangi bahwa dianggap kurang tidak cerdas. Sedagkan cerita rakyat mengatakan bahwa pangeran Benawa “kesinungan pengung” dalam istilah sekarang biasa disebut autis. .
Jadi jelas mengapa peran pangeran Benawa dalam mempertahankan Pajang dari rongrongan aria Penangsang tidak tercatat dalam sejarah.

Pada saat sekarang didalam masyarakat jawa kususnya masih dipercaya bahwa dinasti raja-raja di tanah jawa (Islam) masih memilik satu darah, yakni darah asal Majapahit. Dan Indonesia dipercaya baru akan keluar dari masalah jika dipimpin oleh sosok yang berdarah raja Majapahit. Sampai Sekrang dalam kenyataan tidak satupun pemimpin negeri in sejak merdeka yang memiliki darah raja Majapahit.
Wallahualam bisawab.

Hari hari terakhir Harya Penangsang

Ketika terjadi insiden di di padepokan sunan Kudus. Aria Penangsang yg tidak tanggap atas sasmita dari sunan Kudus “sarungkan” keris pusaka kiai Setan Kober dan menduduki rajah kalacakra. Aria Penangsang diwajibkan untuk melakukan puasa 40 hari lamanya.

Sultan Hadiwijaya sepulangnya dari padepokan sunan Kudus, memanggil Trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani). Untuk mengatur strategi untuk menghadapi krida aria Penangsang, yag secara terus terang akan merongrong Pajang. Oleh karena itu sultan Hadiwijaya membuka sayembara untuk mengalahkan aria Penangsang. Dimana siapa saja yang bisa menewaskan aria Penangsang akan diberi tanah perdikan di Mentaok.

Ki Ageng Pemanahan mengajukan anaknya, Sutawijaya yang juga sebagai anak angkat sultan Hadiwijaya untuk maju sebagai senapati Pajang untuk menghadapi aria Penangsang. Pada awalnya, sultan Hadiwijaya keberatan. Karena Sutawijaya masih muda belia dan belum berpengalaman. Namun Ki. Ageng Pemanahan meyakinkan bahwa Sutawijaya tidak maju sendiri, Tetap didukung oleh trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani), serta membawa sipat kandel tombak Kiai Plered yang ampuh.

Trio Selo mengatur strategi dengan mengirim 9 santri untuk mematai-mati kekuatan Jipang. Namun malang kesemua tertangkap di Jipang dan dieksekusi. Konon makam 9 santri sekarang berada dilingkungan petilasan Jipang. Namun usaha untuk mencari info kelemahan Jipang terus diupayakan. Sehingganya akhirnya diperoleh informasi bahwa aria Penangsang sedang melakukan Puasa 40 hari setelah menduduki rajah kalacakra guna menghapus apes.

Dengan diketahui keadaan ini maka ki Juru Mertani mengatur siasat untuk menantang aria Penangsang sebelum masa puasanya usai atau membatalkan puasanya. Dari sini jelas bahwa di penghujung masa puasa, kondisi aria Penangsang akan lemah secara fisik.
Ki. Ageng Pemanahan dan Sutawijaya menyusun pasukan di tepi seberang bengawan sore, sedangkan ki Juru Mertani menyusup ke Pajang. Malang bagi abdi dalem pemelihara kuda Gagak Rimang milik aria Penangsang yang sedang merumput ketika bertemu dengan Ki. Juru Mertani. Abdi dalem ditangkap oleh Ki Juru Mertani dan dikerat kupingnya, serta dibekali surat tantangan dari Sutawijaya untuk aria Penangsang.

Aria penangsang belum genap puasa 40 hari, amarahnya menggelegak ketika menerima tangtangan dari Sutawijaya yg dianggapnya sebagai anak kemaren sore yang masih ingusan. Patih ki Mentahun dan penasehat pribadinya ki Sumangkar gagal meredam kemarahan aria Penangsang. Meski fisiknya masih lemah karena sudah menjalani puasa 39 hari, memerintahkan untuk berangkat menghadapi Sutawijaya. Patih ki Mentahun dan ki Sumangkar meminta untuk menahan diri selama satu hari saja agar aria Penangsang menyelesaikan puasanya. Karena suasana seperti ini adalah akal-akalan orang Pajang untuk membatalkan puasa. Namun semua nasihat tidak lagi didengar oleh aria Penangsang yang sudah terbakar amarahnya.

Gagak Rimang di luar kendali.

Harya Penangsang membatalkan puasa yang belum genap 40 hari. Sebenarnya kondisi fisiknya masih belum prima, namun hal tersebut tidak dirasakan, karena emosinya sudah terbakar. Harga dirinya terasa di injak-injak oleh Danang Sutawijaya anak angkat sultan Hadiwijaya yang dinilai masih bocah kemaren sore. Dengan busana keprajuritan memimpin sendiri pasukan menuju tempat yang dtentukan yakni ditepi bengawan sore.

Disisi Pajang, ternyata sudah memiliki persiapan yang sangat matang untuk menghadapi pasukan Jipang. Dalam hal ini Pajang tidak hanya sendiri untuk berlaga, bantuan pasukan dari bupati Jepara Ratu Kalinyamat dan pasukan dari pesantren Selo (murid murid turunan ki Ageng Selo) yang dipimpin oleh Penjawi, Juru Martani dan Ki Pemanahan.

Situasi seperti ini tidak diperhitungkan oleh bupati Jipang Arya Penangsang. Karena memang sudah terbakar emosinya dan mengandalkan kharismatik sebagai bupati yang di segani, karena memang tergolong bupati yang menjadi murid langsung dari sunan Kudus.

Sejak terjadi konfrontasi antara Jipang dengan Pajang. Secara ghaib wilayah Jipang memang dilindungi oleh sunan Kudus dengan menebar “tabir gaib” yang dipasang di sungai Bengawan Sore. Siapapun yang menyebrang bengawan sore akan kehilangan daya kekuatanya.
Akan tetapi tapi tabir ghaib yang ada di bengawan sore sudah diketahui keberadaanya oleh Trio Selo. Namun tabir ghaib itu tak bisa disingkirkan. Oleh karena itu dilakukan siasat untuk memancing arya Penangsang untuk menyebrang kali Bengawan Sore.

Danang Sutawijaya meski merasa tidak mampu melawan Arya Penangsang, namun tegar dan meningkat keberanianya karena didukung oleh Tri Selo dan dibekali pusaka pribadi sultan Hadiwijaya sebagai sipat kandel, yakni tombak pusaka Kiayi Plered yang terkenal ampuh. Bahkan keampuhanya bisa menembus siapapun meski memiliki ilmu kebal.
Oleh Trio Selo, Danang Sutawijaya dberi kuda tunggangan peremuan yang sedang birahi untuk menghadapi Arya penangsang yang menggunakan kuda tunggangan Gagak Rimang.

Arya Penangsang dan pasukan, setibanya di tepi kali Bengawan Sore, menggelar pasukan untuk siap-siap menyerang. Penyerangan ke pasukan Pajang ia tunda karena Arya Penangsang tahu bahwa jika menyebrang kali bengawan sore akan terkena tabir ghaib yang dtebar oleh Sunan Kudus, dirinya dan pasukanya akan kehilangan kekuatanya. Lagi pula pasukan yang akan membantu yakni pasukan kepatihan dibawah ki Sumangkar dan pasukan kabupaten Jipang yang dipimpin oleh Ki Mentahun belum tiba.

Trio Selo melihat arya Penangsang menunda penyerangan, hatinya semakin waswas. Karena harapanya adalah Arya Penangsang dan pasukan Jipang yang belum lengkap segera menyebrang kali bengawan sore. Oleh karena itu ki Juru Mertani yang mendampingi Danang Sutawijaya yang menunggang kuda perempuan berteriak memanasmanasi alias provokasi ke Arya Penangsang untuk bertanding diseberang kali bengawan sore. Pada awalnya provokasi ki Juru Mertani tidak digubris oleh arya Penangsang. Namun Sutawijaya yang mengunggang kuda perempuan yg sedang birahi melakukan manuver,untuk mengusik Gagak Rimang, kuda tunggangan arya Penangsang.

Gagak Rimang kuda jantan melihat kuda betina yang sedang birahi melesat menyebrangi kali bengawan sore. Arya Penangsang terkejut akan polah Gagak Rimang, sehingga ia pun terbawa menyebrangi kali bengawan sore. Tidak sempat lagi memberi komando kepada pasukanya. Namun pasukan yang teratih segera menyusul ikut menyebrang.

Melihat Gagak Rimang melesat sendiri menyebrang kali diluar kendali tuanya, adalah merupakan kesempatan yang sangat baik, bagi Sutawijaya.

Dengan Tombak kiyai Plered di tangan siap menyambut kedatangan arya Penangsang di seberang kali. Arya Penangsang sibuk berusaha mengendalikan Gagak Rimang yang lepas kendali karena terpicu birahinya oleh kuda tunggangan Sutawijaya. Sehingga hilang kewaspadaanya terhadap bahaya yang sedang di hadapi. Luput penglihatanya bahwa seberang kali sudah ditunggu oleh tombak kiayi Plered yang dipegang oleh Sutawijaya.

Arya Penangsang Tewas

Gagak Rimang yang terpicu birahi lari menyeberangi kali bengawan sore, tanpa menghiraukan bahwa tuanya berada di punggungnya. Arya Penangsang dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan krida sang gagak rimang. Tetap di tepi seberang kali bengawan sore gagak rimang menghentikan langkah dengan kedua kaki depan mengangkat keatas, karena tali sais ditarik kuat kebelakang. Dalam keadaan demikian Arya Penangsang berusaha memegang tali sais sekuatnya agar tidak jatuh terjengkang. Kesempatan ini di gunakan untuk menjojohkan tombak kiayi Plered ke badan sang bupati Jipang. Sudah tentu Arya Penangsang tidak bisa menangkis hunjaman tombak, karena kedua tanganya masih tercengkeram kuat memegang tali sais untuk menahan agar dirinya tidak jatuh dari kuda. Lambung Arya Penangsang sobek terkena hunjaman tombak kiayi Plered. Dan kemudian terjatuh menyebabkan sobekan luka bertambah lebar, menyebabkan ususnya keluar.

Meski demikian Arya Penangsang masih sanggup untuk bangun dan menangkis datangnya hunjaman tombak berikutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya sibuk mengalugkan usus yang keluar ke gagang keris setan kober.

Dengan sekali sentak tubuh arya Penangsang melenting keatas dan mendarat diatasa tanah di tepi bengawan sore. Sutawijaya terkejut, tidak percaya bahwa sang bupati Jipang yang sudah terluka dan ususnya keluar masih mampu bergerak secepat itu. Belum lagi sempat Sutawijaya sadar dari rasa terkejutnya, Arya Penangsang sudah berada dibelakangnya dan menyekap leher Sutawijaya. Rasa sesak napas menjalar diseluruh badan terasa kesemutan membuat Sutawijaya kehilangan tenaga. Dan hanya mampu berkata:”Paman Harya ampuni saya paman”.

Ki Juru Mertani yang melihat keadaan tersebut mengkhawatirkan Sutawijaya akan mati bukan karena terkena senjata tajam. Akan tetapi mati lemas karena kehabisan napas. Dengan serta merta berteriak kepada Arya Penangsang :”Penangsang bunuh anak itu secara ksatria dengan Kerismu.”.

Mendengar teriakan ki Juru Mertani Arya Penangsang mengendurkan cekikan seraya meraba keris kiayi setan kober. Sutawijaya merasa cekikan melonggar dan dapat bernapas kembali, namun tetap tidak bisa melepaskan diri dari sekapan Arya Penangsang. Satu satunya yang bisa dilakukan adalah meraih usus Arya penangsang yang masih menyangkut di hulu keris setan kober. Tentu saja membuat usus arya Penangsang menjadi semakin tegang. Disaat yang sama arya Penangsang menarik keris setan kober dari warangkanya dengan nafsu untuk menghabisi Sutawijaya. Sekelebat keris terhunus, terpotonglah usus sang Arya Penangsang. Sutawijaya terjatuh begitu usus arya Penangsang putus diiringi tumbangnya tubuh sang bupati Jipang Panolan yang perkasa.

Masih sempat Sutawijaya menghampiri arya Peangsang yang sudah tidak berdaya. Dan berkata :”Paman Arya, saya tidak membunuh paman. Keris paman sendirilah yang memutuskan usus paman, Dengan suara lemah Arya Penangsang berkata:”Angger, berjanjilah sebagai bukti kebenaran kata-katamu. Katakan kepada semua pawongan, jika mereka menikah harus mengguna busana seperti yang dipakai oleh paman”. Selepas itu Arya Penangsang wafat di pangkuan Sutawijaya. Tewas sebagai Ksatria.

Hingga saat ini disetiap perhelatan temu penganten di wilayah Yogya, Penganten Priya menggunakan busana Penangsang dengan keris yang dironce dengan bunga melati dan mawar. Sedangkan pakaian adat sehari hari masyarakat Yogya (mataram) adalah Surjan dengan blangkon mondolan.

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak


Mendapatkan hikmah dari pelajaran sejarah

Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman dahulu kala. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang. Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.

Kita perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama tersebut dan genetiknya telah terwariskan kepada kita.

Kalaupun kita mempercayai pandangan Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’ dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi semua pengalaman tersebut telah tercatat dalam DNA kita. Adalah perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan memutus siklus karakter bangsa yang tidak baik.

Yang namanya ‘kisah’ tentu saja sulit dicari keotentikannya, akan tetapi bagaimana pun kita tetap dapat mengambil hikmah dari sebuah ‘kisah’, khususnya ‘Kisah Arya Penangsang’.



Kemelut di Demak

Para pemimpin di Demak di masa itu, telah melihat kemelut yang terjadi di Istana Majapahit dan yakin pemerintahan Raden Patah dengan penasehat para Wali akan mengalami kejayaan kembali seperti Kerajaan Majapahit di masa jayanya berdasarkan tuntunan agama yang mulia. Mungkin mereka lupa apa yang ditabur akan dituai, perebutan kekuasaan Kerajaan Majapahit akan dialami pula oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Majapahit mampu bertahan selama 4 abad, akan tetapi Kerajaan Demak, hanya beberapa generasi saja.

Raden Patah digantikan oleh Pati Unus menantu Raden Patah yang akhirnya meninggal sewaktu menyerang Malaka dan terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sabrang Lor’, Pangeran yang menyeberangi laut ke utara. Putra Raden Patah, Pangeran Bagus Surawiyata, dibunuh oleh Sunan Prawoto, putra Trenggono, adik Pangeran Bagus Surawiyata. Trenggono lah yang kemudian menjadi Sultan Demak. Pangeran Bagus Surawiyata sering disebut dengan sebutan ‘Pangeran Sekar Seda Lepen’, Pangeran yang meninggal di kali. Arya Penangsang adalah putra Pangeran Bagus Surawiyata yang merasa berhak mewarisi tahta, apalagi dia telah diangkat anak oleh Sunan Kudus dan sudah menjadi Adipati di Jipang Panolan. Bagaimana pun semua keputusan harus mendapatkan kesepakatan dari para Wali.

Meninggalnya Sultan Trenggono di Panarukan membuat kemelut Istana Demak memuncak. Ada perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya Adipati Pajang menantu Sultan Trenggono yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus, menantu Raden Patah sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit.

Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa Pangeran Bagus Mukmin (Sunan Prawata), putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum. Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.

Di masa Sunan Prawata menjadi raja, Banten dan Cirebon memisahkan diri dari Demak dan berdiri sendiri sebagai kerajaan yang berdaulat sehingga Kasultanan Demak sudah berkurang wilayahnya. Pada suatu malam, Sunan Prawata dibunuh oleh Rangkud orang kepercayaan Arya Penangsang atas restu Sunan Kudus.

Puteri Sultan Trenggono, Ratu Kalinyamat beserta suaminya Pangeran Hadiri datang menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan atas kematian kakaknya dan oleh Sunan Kudus dijelaskan sebab musabab Sunan Prawoto terbunuh, agar suasana yang penuh ketegangan dapat mereda. Akan tetapi sepulang dari Sunan Kudus, mereka dicegat pasukan Arya Penangsang dan Pangeran Hadiri terbunuh. Ratu Kalinyamat amat marah dan mengatakan administrasi Kerajaan dipindah ke Pajang, dimana adik iparnya menjadi adipati di sana. Dia ingin menjauhkan peran para Wali di Demak terhadap pemerintahan dan kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja dan tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang mati. Ratu Kalinyamat sakit hati terhadap Sunan Kudus sebagai Hakim Agung di Demak yang memihak kepada Arya Penangsang.

Demak dinyatakan sudah kehilangan wahyu kraton dan berdirilah kerajaan baru, Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang dibawah Sultan Hadiwijawa (Jaka Tingkir), berdiri tahun 1530 tanpa ada pesta pelantikan, bahkan menurut kisah turun temurun masyarakat disekitar wilayah Pajang, Raja Hadiwijaya tidak dilantik oleh para Wali. Kecuali dihadiri oleh Sunan Kalijaga dengan kapasitas sebagai seorang Guru Jaka Tingkir. Setelah itu tidak ada lagi Wali sebagai pengambil keputusan bidang pemerintahan.

Seorang Guru yang berpikiran jernih berpendapat bahwa apa pun keyakinan yang dianut, sebetulnya akhlaknya tergantung pada diri pribadi. Keserakahan, keangkuhan dan nafsu diri tidak berubah hanya karena berganti keyakinan. Boleh saja seseorang mengaku mempunyai keyakinan yang paling benar, akan tetapi kalau dia tidak memperbaiki akhlaknya, maka dia akan mempermalukan lembaga keyakinan yang dinutnya. Masyarakat yang akan menilai.



Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.



Perbaikan Karakter Bangsa

Kita harus mulai hidup berkesadaran. Pertama kita sadari bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri. Keributan dalam pertunjukan dangdut dan sepakbola, adalah bukti masih adanya potensi kekerasan dalam diri. Latihan meditasi atau olah batin dapat melembutkan diri.

Selanjutnya kita harus berjuang membuang potensi genetik lama yang kurang baik dan menggantinya dengan kebiasaan baru, karakter baru dan akhirnya membuat perbaikan genetik. Dari studi genetika terbukti bahwa kita telah mengalami evolusi yang luar biasa, maka perbaikan karakter sudah pasti dapat dicapai dengan suatu perjuangan.

Sudah waktunya kita menghormati jasa leluhur kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan Budaya kita. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi. Terima Kasih Guru.

Arya Penangsang

Arya Penangsang


Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.
[sunting] Aksi pembunuhan

Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.
[sunting] Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.

Thursday 23 December 2010

Tentang Pendekar Hina Kelana

Soepalarto Soedibjo ‎: pak Parjoko, sebenarnya pak Arif itu sopo tha..?? Kadang2 jadi tukang pulung, jadi relawan bencana tsunami aceh, tukang buah (belimbing), TKI, ... jadi manusia bumi. Tulisannya gak ada yang gak saya baca jhe... nambah wacana ... terusin nulisnya pak, tukang belimbing Demak ... he he he. Sukses!

14 hours ago







Parjoko Midjan

Pak Dokter, beliau itu pedekar hina kelana, bertapa di gunung Dieng, gunung Semar, Lawu, bahkan di Gunung Merapi. Ketika turun gunung dunia kangouw menjadi gempar dengan sepak terjang hohan yang terkenal dengan jurus: memetik belimbing demak-nya. Banyak orang tidak mengenal wajahnya, karena sepak terjangnya nggak pernah diketahui berkelebat cepat hanya terasa angin pukulannya saja.


Gingkangnya sangat tinggi sehingga bisa muncul di beberapa bagian dunia, dan sinkangnya sudah mencapai tingkat hampir sempurna sehingga hanya dengan sorot matanya bisa membuat takluk harimau sumatera yang ganas, yang baru saja turun dari gunung merapi. Sekarang ini pendekar dikabarkan baru saja berkelebat di daerah taman mini sedang menyoja memperingati Hari Ibu.



10 hours ago







Soepalarto Soedibjo



‎: Pendekar hina kelana yang cuman pakau cawet itu???... Luar biasa!

Gingkangnya jangat kelewat tinggi, awas cawet 'e ucol...!

BTW, pak Parjoko yang ngurus BMB Menkokesra ..?
SOP korban TIP yg pernah kita buat di KPP (2008), telah dirobah (ol penerus saya) menjadi SOP Pemberdayaan Perempuan secara umum ... aneh! Beda masalah ya beda SOP. Mudah2an BMB tdk mengikuti pola pikir KPP he he he. Salam & sukses buat pak Parjoko.

7 hours ago





Aihhh... Berat3x...



Hatiku selembar daun....

Wednesday 22 December 2010

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya







Hari Ibu dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia merupakan

peringatan perjuangan merebut kesetaraan, keadilan, dan pembebasan

perempuan yang ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I. Makna

itu harus dijaga untuk mengingatkan pada ancaman besar bagi

keberagaman yang dijalankan melalui kontrol atas tubuh dan seksualitas

perempuan.



Itulah yang diingatkan ilmuwan dan pengajar di Jurusan Filsafat

Universitas Indonesia, Rocky Gerung, serta aktivis dan feminis Muslim,

Lies Marcoes-Natsir. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki

Jakarta beberapa waktu lalu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih juga

mengingatkan hal senada.



Pada 22 Desember 1928, sejumlah organisasi perempuan terkemuka ikut

serta dalam Kongres Nasional Organisasi Perempuan Indonesia I di

Yogyakarta. Kongres diselenggarakan untuk "mengatasi provinsialisme di

dalam gerakan wanita".



Pemrakarsa kongres adalah Nyi Hajar Dewantara atau Ibu Suwardi, Ni

Suyatin, pemimpin Putri Indonesia, yang juga pamong Taman Siswa, serta

Ny Sukonto, anggota Wanita Utama dan guru di HIS (sekolah Belanda

untuk pribumi).



Kongres itu membicarakan sejumlah masalah. Hal itu di antaranya

pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda,

perkawinan usia anak, pembaruan Undang-Undang Perkawinan Islam,

meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Selain

itu, juga ada sejumlah ceramah tentang nasionalisme dan antipermaduan.



Meski demikian, mosi yang diterima dari kongres agak terbatas. Kongres

tidak menyatakan pendirian nasionalisme dengan tegas. Seperti

dikemukakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pidatonya, posisi

antipoligami dari gerakan perempuan nasionalis terus-menerus

menimbulkan ketegangan, bukan saja di kalangan lelaki, tetapi juga di

dalam gerakan perempuan.



Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh dari organisasi-organisasi

Islam kesulitan menentukan acuan pembenar untuk mengkritik praktik

poligami yang lazim di kalangan laki-laki Muslim pada masa itu.



Sejarah



Rocky Gerung mengingatkan bagaimana negara terus berusaha mereduksi

makna Hari Ibu. Pada zaman Orde Baru, ideologi ibuisme negara

digunakan untuk meringkus perempuan demi stabilitas nasional.



Pada saat itu, perempuan sebagai manusia direduksi maknanya. Mereka

lebih dihargai sebagai ibu, istri, dan anak perempuan daripada

individu yang memiliki kebebasan berpikir.



Tentu saja hal itu terkait erat dengan sejarah pembentukan Orde Baru.

Agung Ayu Ratih mengingatkan, model pemusnahan perempuan ala abad

pertengahan berlangsung seiring terbangunnya kediktatoran Soeharto

pada akhir tahun 1965. Penguasa militer menggunakan imaji seksual

keliaran dan kebuasan perempuan-perempuan "komunis" yang menari-nari

telanjang di Lubang Buaya untuk menumbuhkan kebencian pada perempuan

berpolitik.



Propaganda hitam ini segera memicu serangan fisik terhadap perempuan

yang berpolitik, anggota PKI, dan organisasi-organisasi massa yang

dianggap sealiran. Pesannya jelas; perempuan "komunis", perempuan yang

berpolitik membahayakan keselamatan dan integritas bangsa.



Pemerintahan Orde Baru, menurut Agung Ayu, tak hanya menghancurkan

Gerwani, tetapi juga merebut otoritas organisasi-organisasi perempuan

lainnya dalam menentukan gerak mereka. Ide-ide emansipatoris tentang

kemandirian perempuan yang belum selesai diperbincangkan sejak dekade

kedua abad ke-20 dikooptasi dan diberi bentuk yang paling konservatif:

peran ganda wanita.



Pemerintah kemudian membentuk organisasi-organisasi istri pegawai yang

strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan

kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Sementara kekerasan

militer secara massal terhadap perempuan berlanjut di daerah- daerah

operasi militer.



Pada masa reformasi, gerakan perempuan merayakan kemenangannya karena

berhasil mendesak pemerintahan Habibie untuk meminta maaf dan mengakui

pemerkosaan Mei sebagai tanggung jawab negara dengan membentuk Tim

Gabungan Pencari Fakta dan mendirikan Komisi Nasional Antikekerasan

terhadap perempuan. Pada masa transisi, kemenangan itu disusul dengan

pengesahan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kewarganegaraan dan

kuota 30 persen perempuan di legislatif,



Namun, hal itu tak berlangsung lama. "Sekarang ini negara justru

menjadi instalasi politik agama yang memberikan pengesahan pada

penafsiran tunggal yang ditetapkan secara komunal. Definisi Ibu pun

diatur untuk kepentingan agama," ujar Rocky.



Menurut Lies Marcoes, imperialisme zaman penjajahan menemukan

bentuknya yang baru saat ini, yakni penjajahan atas tubuh dan

seksualitas perempuan. "Perempuan tak punya legalitas atas milik

sendiri," ujar Lies.



"Tubuh dan seksualitas perempuan itu begitu beragam dan kaya

berdasarkan pengalaman hidup dan spiritualitasnya direduksi menjadi

obyek seks dan dibebani segudang prasangka sehingga harus dikontrol.

Waktu zaman Orde Baru, seksualitas perempuan digunakan untuk

mengontrol pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana.

Sekarang, gerak perempuan dikontrol melalui perda-perda syariat dan UU

Pornografi," katanya.



Agung Ayu Ratih mengingatkan, yang dihadapi saat ini bukan perang

teologi, tetapi pertarungan politik dan kultural. "Kita sedang berebut

ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan

merumuskan keindonesiaan," ujar Agung Ayu Ratih.



Pada Hari Ibu 2008 ini marilah mencamkan apa yang ditegaskan Agung Ayu

Ratih. "Berlawanan dengan pandangan para pendukung UU Pornografi yang

menyatakan bahwa mereka berminat melindungi perempuan dari kekerasan,

kemiskinan, dan keruntuhan akhlak, saya berpendapat bahwa pembebasan

tubuh dan gerak perempuan merupakan salah satu prasyarat utama dalam

penegakan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial!"











MARIA HARTININGSIH





http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/02330790/hari.ibu.untuk.merumuskan.k\eindonesiaan
Ibuku, Kenapa Kau Menangis?

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. “Ibu, mengapa Ibu menangis?”. Ibunya menjawab, “Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak”. “Aku tak mengerti” kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti….”

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. “Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?” Sang ayah menjawab, “Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan”. Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan.”Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?”

Dalam mimpinya, Tuhan menjawab,

“Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama.

Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan”.

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga.




Selamat Hari Ibu....

Hatiku selembar daun...

Malaikat Pelindung

Malaikat Pelindung

Suatu ketika, ada seorang bayi yang siap untuk dilahirkan. Maka, ia bertanya kepada Tuhan. “Ya Tuhan, Engkau akan mengirimku ke bumi. Tapi, aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku disana?”.

Tuhanpun menjawab. “Diantara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seorang yang khusus untukmu. Dia akan merawatmu dan mengasihimu.” Si kecil bertanya lagi, “Tapi, disini, di surga ini, aku tak berbuat apa-apa, kecuali tersenyum dan bernyanyi. Semua itu cukup membuatku bahagia. Tuhanpun menjawab, “Tak apa, malaikatmu itu, akan selalu menyenandungkan lagu untukmu, dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih sayang, dan itu semua pasti akan membuatmu bahagia.” Namun si kecil bertanya lagi, “Bagaimana aku bisa mengerti ucapan mereka, jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?

Tuhanpun menjawab, “Malaikatmu itu, akan membisikkanmu kata-kata yang paling indah, dia akan selalu sabar ada disampingmu, dan dengan kasihnya, dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia.” Si kecil bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika aku ingin berbicara padamu, ya Tuhan?”

Tuhanpun kembali menjawab, “Malaikatmu itu, akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu, dan mengajarkanmu untuk berdoa.” Lagi-lagi, si kecil menyelidik, “Namun, aku mendengar, disana, ada banyak sekali orang jahat, siapakah nanti yang akan melindungiku?

Tuhanpun menjawab, “Tenang, malaikatmu, akan terus melindungimu, walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Dia, sering akan melupakan kepentinganya sendiri untuk keselamatanmu.” Namun, si kecil kini malah sedih, “Ya Tuhan, tentu aku akan sedih jika tak melihat-Mu lagi.

Tuhan menjawab lagi, “Malaikatmu, akan selalu mengajarkamu keagungan-Ku, dan dia akan mendidikmu, bagaimana agar selalu patuh dan taat pada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu, Aku akan selalu ada disisimu.”

Hening. Kedamaianpun tetap menerpa surga. Namun, suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup. “Ya Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong, sebutkan nama malaikat yang akan melindungiku….”

Tuhanpun kembali menjawab. “Nama malaikatmu tak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan: Ibu…”

Mawar Untuk Ibu

Mawar Untuk Ibu

Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dipaketkan pada sang ibu yang tinggal sejauh 250 km darinya. Begitu keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu menanyainya kenapa dan dijawab oleh gadis kecil, “Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk ibu saya. Tapi saya cuma punya uang lima ratus saja, sedangkan harga mawar itu seribu.”

Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut, aku akan membelikanmu bunga yang kau mau.” Kemudian ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesankan karangan bunga untuk dikirimkan ke ibunya.

Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantar gadis kecil itu pulang ke rumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, katanya, “Ya tentu saja. Maukah anda mengantarkan ke tempat ibu saya?”

Kemudian mereka berdua menuju ke tempat yang ditunjukkan gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum, dimana lalu gadis kecil itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah.

Melihat hal ini, hati pria itu menjadi trenyuh dan teringat sesuatu. Bergegas, ia kembali menuju ke toko bunga tadi dan membatalkan kirimannya. Ia mengambil karangan bunga yang dipesannya dan mengendarai sendiri kendaraannya sejauh 250 km menuju rumah ibunya.

Tuesday 21 December 2010

Adat Perpatih

HUBUNGAN kebudayaan, kesenian dan warisan antara Malaysia dan Indonesia bukanlah perkara baru antara masyarakat di kedua-dua negara yang tergolong dalam rumpun sama iaitu Melayu.

Kebanyakan penduduk tempatan jika dikaji susur galur keturunan pasti mempunyai hubungan dengan negara itu. Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, Datuk Seri Dr Rais Yatim misalnya memang diketahui umum sebagai anak jati Minangkabau atau Minang.

Sebenarnya, sekitar abad ke-15, orang Minangkabau di Sumatera Barat merantau dan memulakan hidup baru di Tanah Melayu. Mereka mendiami dan meneroka kawasan di Negeri Sembilan, Melaka, Pahang dan Kelantan. Mereka membuka ladang dan sawah padi tetapi tidak pernah meninggalkan adat istiadat Minangkabau yang lebih dikenali sebagai Adat Perpatih dalam kehidupan.

Melihat kepada keunikan itu, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan mengatur langkah awal memupuk kebudayaan rumpun Malaysia dan Indonesia melalui penganjuran program Titian Budaya di Pusat Konvensyen Jakarta (JCC), Disember lalu.

Kejayaan program itu memberi keyakinan kepada kementerian terbabit untuk mengukuhkan lagi kerjasama dengan wilayah lain di Indonesia kerana hubungan seni, budaya dan warisan sekiranya dihayati oleh rakyat kedua-dua negara akan melahirkan persefahaman sekali gus mewujudkan rasa saling menghargai.

Justeru, Dr Rais bersama 11 delegasinya sekali lagi turun mengunjungi Indonesia tetapi kali ini ke Bukit Tinggi dan Padang, Sumatera Barat dalam lawatan kerja tiga hari bermula 13 Jun hingga 15 Jun lalu.

Kunjungan Dr Rais ke Sumatera Barat itu diibarat seperti 'sireh pulang ke gagang' berdasarkan keturunan Minangnya yang berakar tunjang dari wilayah berkenaan.

“Malaysia dan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tidak boleh dipisahkan kerana penduduk Negeri Sembilan termasuk saya kebanyakannya adalah daripada keturunan Minangkabau yang mengamalkan adat perpatih,” katanya yang sentiasa ceria walaupun baru pulang dari London untuk mempromosi Minggu Malaysia 07 sebelum itu.

Sumatera Barat sememangnya terkenal dengan pelbagai khazanah dan warisan turun temurun keturunan Minang yang masih tidak diketahui oleh penduduk Malaysia khususnya masyarakat Minang di Negeri Sembilan seperti Batu Batikam yang menjadi simbol demokrasi dalam sejarah masyarakat Minang.

Batu Batikam yang berukuran 55 sentimeter dan mempunyai bentuk seperti tikaman keris adalah peninggalan sejarah tanda berakhirnya perselisihan faham antara Datuk Pepatih Nan Sebatang dengan Datuk Katumanggungan mengenai sistem adat. Ia adalah kawasan sejarah yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan bermusyawarah suku Minangkabau bagi membincangkan sistem adat.

Justeru, pertemuan empat mata antara Dr Rais dan tokoh adat, bersebelahan Batu Batikam, dilihat amat simbolik dalam usaha mengeratkan lagi kerjasama antara Malaysia dan Sumatera Barat dalam aspek budaya, seni dan warisan.

Dalam pertemuan bersejarah itu, Dr Rais yang fasih dalam bahasa Minang mengumumkan untuk mewujudkan dana khas bagi penyelidikan mengenai Adat Perpatih yang sehingga kini masih belum lagi dapat dipastikan sumber sahihnya.

“Kita mahu penyelidikan mengenai Adat Perpatih ini dilakukan secara terperinci antara universiti tempatan dan universiti di wilayah ini supaya dapat dibuktikan bahawa adat perpatih ini lebih demokratik daripada Common Law (Undang-undang Lazim) yang berasal di England.

“Kita juga mahu supaya kajian ini akan dapat dihasilkan dalam bentuk jurnal, antropologi mengenai sumber Adat Perpatih ini supaya kita dapat membandingkannya dengan Common Law. Mungkin Adat Perpatih ini sudah wujud sebelum British mewujudkan Common Law," katanya.

Adat Perpatih adalah suatu peraturan hidup yang sistematik dan telah mempengaruhi rupa bentuk, konsep dan falsafah sosiobudaya sebahagian besar rakyat di Sumatera Barat, Negeri Sembilan dan Naning di Melaka. Dalam amalan Adat Minangkabau ini, harta pusaka, gelaran dan nama suku diturunkan menurut salasilah keturunan di sebelah ibu.

Adat ini berteraskan keharmonian hidup masyarakat dan merangkumi pelbagai bidang kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, sosial sehinggalah adat istiadat pertabalan Raja, kaedah pembahagian harta pusaka dan perkahwinan. Dalam sistem sosial, Adat Perpatih mengandungi sistem nilai, sistem kekeluargaan, sistem politik dan sistem hukum adat yang lengkap.

Dalam Adat Perpatih terdapat 12 kumpulan yang dipanggil Suku iaitu kumpulan kesatuan zaman dulu. Ketua bagi setiap suku dipanggil Lembaga dan mempunyai gelaran masing-masing. Lembaga berfungsi sebagai pentadbir kepada sukunya dan menyelesaikan masalah berkaitan adat, harta, perceraian, pertelingkahan.

Jika Lembaga tidak dapat mencari jalan penyelesaian, maka perkara itu akan dibawa ke pengetahuan Undang melalui Orang Besar Undang.

Bayangkan jika apa yang diperkatakan Dr Rais itu dapat dibuktikan, pastinya sejarah undang-undang dunia terpaksa diubah dan Adat Perpatih atau orang Melayu sendiri diiktiraf mempunyai perundangan lengkap pertama di dunia.

Penyelidikan seumpama itu bukan saja memberi manfaat kepada rumpun Melayu, tetapi juga dapat memperkenalkan Adat Perpatih di serata dunia.

Kunjungan ke Batu Batikam itu juga dilihat bertepatan pada masanya dalam mencari pengisian untuk Muzium Adat di Jelebu, Negeri Sembilan yang akan dibuka kepada umum bulan depan. Muzium pertama seumpama itu di negara ini akan mengetengahkan pelbagai adat termasuk Adat Perpatih.

Selesai pertemuan yang berlangsung kira-kira sejam itu, Dr Rais dan rombongan bergegas ke Pagaruyung, kira-kira 100 kilometer dari Tanah Datar untuk melihat sendiri Tapak Rumah Gadang yang terbakar akibat panahan petir Februari lalu.

Rumah Gadang atau lebih dikenali dengan Rumah Adat yang dibina semula pada 1976 selepas pertama kali terbakar ketika berlaku rusuhan sebelum itu, terkenal sebagai muzium yang menyimpan khazanah masyarakat Minangkabau.

Rumah Gadang itu dijangka dibina semula pada 8 Julai ini. Melihat signifikan Rumah Gadang itu bukan saja kepada penduduk Sumatera Barat, malah seluruh orang Minang di Nusantara ini, Dr Rais pada akhir lawatannya menyampaikan bantuan berjumlah RM50,000 kepada Gabenor Sumatera Barat, Gumawan Fauzi bagi membina semula dan mencari pengisian rumah berkenaan.

Ketika ditemui pemberita selepas melawat Muzium Adiyatwarman di Padang pada hari akhir lawatannya, beliau melahirkan rasa gembira dan berpuas hati kerana walaupun hanya dua hari berada di bumi Sumatera, ia berjaya mengeratkan lagi hubungan kebudayaan antara wilayah terbabit dengan Malaysia.

“Kerjasama seperti ini dapat memperbetulkan persepsi negatif yang mungkin timbul antara dua rakyat kerana budaya, seni dan warisan menjangkau segala aspek dan mampu merapatkan dua negara,” katanya.

Pendapat itu turut disokong Gumawan yang mahu kerjasama itu terus dilaksanakan segera kerana memberi faedah kepada Malaysia dan wilayah berkenaan.

Justeru, satu jawatankuasa khas yang turut membabitkan Timbalan Ketua Setiausaha kementerian, Datuk Dr Mohamed M Daud dan Ketua Pengarah Jabatan Muzium Malaysia, Datuk Dr Adi Taha akan diwujudkan segera bagi memastikan kerjasama itu berjalan lancar.

Jawatankuasa itu akan merangka pelbagai program kebudayaan antara Malaysia dan Sumatera Barat yang juga tanah kelahiran penulis dan ulama terkenal, Hamka. Jadi tidak hairanlah kerjasama itu juga akan turut membabitkan bidang penulisan dan penulis terkenal di wilayah itu akan dijemput menjadi penulis jemputan kementerian.

Selepas kunjungan hormat terhadap Gumawan, Dr Rais menerima replika Batu Batikam untuk diletakkan di Muzium Adat bagi tatapan penduduk Malaysia.

Lawatan ini membuka landasan dan ruang lebih luas kepada pengukuhan budaya antara Malaysia dan Wilayah Sumatera Barat.