PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT PAPUA
Djekky R. Djoht
(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Cenderawasih dan Sekretaris
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)
ABSTRACT
As a branch of Anthropology, medical Anthropology studies biocultural relation
between human behaviour on medical aspect in the past and present, its also studies
professional participation with their programs on improving public health by
understanding the relationship between the indication of biosociocultural with the
health, and the changing of healthy behaviour which is believed can improved the
degree of health.
The author believes that with its “emik”and “ethic” perspectives, medical
Anthropology can join with others in developing the people in Papua. He argues
that with the province’s policies on developing pubic health in Papua, such as
regional development with health conception, professionalism on medical staff,
insurance on public health and desentralization is a suitable world for medical
Antrhropology.
A. PENGERTIAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya
terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita
Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita ini masih sangat sempit karena
antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan masyarakat
dan pengaruh unsur budaya saja. Antropologi lebih luas lagi kajiannya dari
itu seperti Koentjaraningrat mengatakan bahwa ilmu antropologi
mempelajari manusia dari aspek fisik, sosial, budaya (1984;76). Pengertian
Antropologi kesehatan yang diajukan Foster/Anderson merupakan konsep
yang tepat karena termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti
disampaikan Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster/Anderson,
Antropologi Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Pokok perhatian Kutub Biologi :
•Pertumbuhan dan perkembangan manusia
•Peranan penyakit dalam evolusi manusia
•Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba)
Pokok perhatian kutub sosial-budaya :
•Sistem medis tradisional (etnomedisin)
•Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional
mereka
•Tingkah laku sakit
•Hubungan antara dokter pasien
•Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat
kepada masyarakat tradisional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi Kesehatan adalah
disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya
dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster/Anderson, 1986; 1-3).
Menurut Weaver :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang
menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit (Weaver, 1968;1)
Menurut Hasan dan Prasad :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang
mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk
sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran
(medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran
(medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalahmasalah
kesehatan manusia (Hasan dan Prasad, 1959; 21-22)
Menurut Hochstrasser :
Antropologi Kesehatan adalah pemahaman biobudaya manusia dan karyakaryanya,
yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan
(Hochstrasser dan Tapp, 1970; 245).Menurut Lieban :
Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis (Lieban 1973,
1034)
Menurut Fabrega :
Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:
•Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan
didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan
kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan
penyakit.
•Mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan
terhadap pola-pola tingkahlaku. (Fabrga, 1972;167)
Dari definisi-definisi yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi mengenai
Antropologi Kesehatan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Antropologi Kesehatan mencakup:
1. Mendefinisi secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam
masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku
manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan
penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut;
2. Partisipasi profesional mereka dalam program-program yang bertujuan
memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar
tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan,
serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Membicarakan sejarah munculnya dan perkembangan Antropologi
Kesehatan, maka saya harus melihat dari awal mula munculnya istilah ini
dan penelitian-penelitian mengenai hal ini. Uraian sejarah muncul dan
perkembangan antropologi kesehatan dibuat menurut urutan waktu
cetusannya:
Tahun 1849
Rudolf Virchow, ahli patologi Jerman terkemuka, yang pada tahun 1849
menulis apabila kedokteran adalah ilmu mengenai manusia yang sehat
maupun yang sakit, maka apa pula ilmu yang merumuskan hukum-hukum
sebagai dasar struktur sosial, untuk menjadikan efektif hal-hal yang inheren
dalam manusia itu sendiri sehingga kedokteran dapat melihat struktur sosial
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit, maka kedokteran dapat
ditetapkan sebagai antropologi. Namun demikian tidak dapat dikatakan
bahwa Vichrow berperan dalam pembentukan asal-usul bidang Antropologi
Kesehatan tersebut., munculnya bidang baru memerlukan lebih dari sekedar
cetusan inspirasi yang cemerlang.
Tahun 1953
Sejarah pertama tentang timbulnya perhatian Antropologi Kesehatan
terdapat pada tulisan yang ditulis Caudill berjudul “Applied Anthropology
in Medicine”. Tulisan ini merupakan tour the force yang cemerlang , tetapi
meskipun telah menimbulkan antusiasme, tulisan itu tidaklah menciptakan
suatu subdisiplin baru.
Tahun 1963
Sepuluh tahun kemudian, Scoth memberi judul “Antropologi Kesehatan”
dan Paul membicarakan “Ahli Antropologi Kesehatan” dalam suatu
artikel mengenai kedokteran dan kesehatan masyarakat. Setelah itu baru
ahli-ahli antropologi Amerika benar-benar menghargai implikasi dari
penelitian-penelitian tentang kesehatan dan penyakit bagi ilmu antropologi.
Pengesahan lebih lanjut atas subdisiplin Antropologi Kesehatan ini adalah
dengan munculnya tulisan yang dibuat Pearsall (1963) yang berjudul
Medical Behaviour Science yang berorientasi antropologi, sejumlah besar
(3000 judul) dari yang terdaftar dalam bibliografi tersebut tak diragukan lagi
menampakan pentingnya sistem medis bagi Antropologi.
C. ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI
1. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi
•SISTEM adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang
dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling
tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan
sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuksuatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau
bergerak dalam satu kesatuan.
•SISTEM SOSIAL-BUDAYA ATAU KEBUDAYAAN adalah
keseluruhan yang integral dalam interaksi antar manusia.
•EKOSISTEM adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan
satwa dengan lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977;289)
Dalam membicarakan Antropologi Kesehatan dan Ekologi, saya akan
menitikberatkan pembahasan pada:
Hubungan, bentuk dan fungsi kesehatan dan penyakit dari
pandangan lingkungan dan sosial-budaya.
Masalah dinamika dari konsekuensi hubungan, bentuk dan fungsi
dari kesehatan dan penyakit dengan pendekatan ekologis dan
sosial-budaya.
2. Hubungan Antropologi Kesehatan dengan Ekologi
Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan
penyakitnya dan cara-cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya
mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya selalu melalui proses umpanbalik.
Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalahmasalah
epidemiologi, cara-cara dimana tingkahlaku individu dan
kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang
berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada
penyakit malaria ditemukan pada daerah berikilim tropis dan subtropis
sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga
pada daerah diatas 1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bisa
berkembang.
Contoh lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda
dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti
malaria, demam berdarah, TBC, dll pada umumnya terdapat pada negaranegara
berkembang, sedangkan penyakit-penyakit noninfeksi seperti stress,
depresi, kanker, hipertensi umumnya terdapat pada negara-negara maju. Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada kedua
kelompok tersebut.
Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus
belajar mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhannya. Interaksi ini dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang
sering memainkan peranannya dalam mencetuskan penyakit. Penyakit
adalah bagian dari lingkungan hidup manusia. Contoh penyakit Kuru (lihat
Foster/Anderson, hal 27-29:’MISTERI KURU’).
3. Paleopatologi
Paleopatologi adalah studi mengenai penyakit-penyakit purba. Para ahli
peleopatologi melakukan studi pada tulang-tulang manusia purba, kotoran,
lukisan pada dinding, patung, mumi, dan lain lain untuk menemukan
penyakit-penyakit infeksi pada manusia purba. Studi untuk mengetahui
penyakit manusia purba dari fosil-fosil ini, pada umumnya hanya terbatas
hanya mengetahui pada penyakit-penyakit yang menunjukkan buktinya
seperti pada tulang-tulang yang dapat diidentifikasi. Sebagai contoh
kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat dari siphilis, TBC,
frambosia, osteomilitus, poliomilitis, kusta, dan penyakit-penyakit yang
sejenisnya adalah penyakit infeksi yang dapat dikenali.
Banyak penyakit-penyakit modern yang tidak terdapat pada penduduk
purba, bukan berarti manusia purba lebih sehat dari manusia modern tetapi
bahwa sakitnya manusia purba disebabkan oleh jenis-jenis patogen dan
faktor lingkungan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang dialami oleh
manusia modern. Misalnya penyakit campak, rubella, cacar, gondong,
kolera dan cacar air mungkin tidak terdapat di zaman purba.
Dapat disimpulkan bahwa paleopatologi atau studi mengenai penyakit
purba, sangat banyak berhubungan dengan lingkungan untuk menemukan
penyakit-penyakit purba.
4. Epidemiologi
Epidemiologi berkenaan dengan distribusi, tempat dan prevalensi atau
terjadinya penyakit, sebagaimana yang dipengaruhi oleh lingkungan alam
atau lingkungan ciptaan manusia serta oleh tingkah laku manusia. Variabelvariabel
yang dipakai untuk melihat distribusi tempat dan prevalensi serta
tingkah laku suatu penyakit adalah perbedaan umur, jenis kelamin, statusperkawinan, pekerjaan, hubungan suku bangsa, kelas sosial, tingkahlaku
individu, serta lingkungan alami. Faktor-faktor ini dan faktor lainnya
berperanan penting dalam distribusi dan prevalensi berbagai penyakit.
Contoh pemuda Amerika lebih banyak mengalami kecelekaan daripada
wanita muda dan orang tua, perokok lebih banyak kena kanker paru-paru
daripada bukan perokok, gondok lebih banyak menyerang penduduk
pedalaman yang tinggal di daerah pegunungan daripada penduduk pantai
yang bahan makannya kaya yodium.
Tugas seorang epidemiolog adalah bekerja untuk membuat korelasi-korelasi
dalam hal insiden penyakit dalam usaha menetapkan petunjuk tentang polapola
penyebab penyakit yang kompleks, atau tentang kemungkinankemungkinan
dalam pengawasan penyakit (Clausen; 1963:142).
Epidemiologi berusaha mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan derajat
kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman kesehatan.
Ahli antropologi lebih menaruh minat pada ciri epidemiologi dari penyakitpenyakit
penduduk non Eropa dan Amerika, termasuk penyakit-penyakit
psikologis yang disebabkan oleh struktur budaya yang dalam Antropologi
Kesehatan disebut dengan istilah “Sindroma Kebudayaan Khusus” seperti
“mengamuk” atau histeris. Selain itu, ahli antropologi juga menaruh minat
pada studi-studi mengenai “Epidemiologi Pembangunan” yaitu mencari
konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang sering bersifat mengganggu
terhadap proyek-proyek pembangunan.
D. DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI
TERHADAP KESEHATAN MANUSIA
Pembangunan mempunyai konotasi positif. Melalui pembangunan,
pemanfaatan yang rasional atas sumberdaya manusia dan fisik dapat
diperoleh, kemiskinan dapat diberantas, pendidikan dapat dinikmati dimanamana,
penyakit dapat diatasi, standar kehidupan menjadi lebih baik. Konsep
pembangunan mencakup intervensi teknologi manusia terhadap
keseimbangan alam. Namun demikian pembangunan juga membawa
dampak negatif terutama pada kesehatan manusia. Pembangunan
bendungan, pembangunan jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakitrumahsakit,
pengeboran minyak, pembukaan pabrik, dan pembangunan lainlain
menyebabkan kecepatan intervensi manusia terhadap alam menjadi
semakin meningkat. Dari sinilah mulai dikenal dengan polusi udara,
kekurangan sanitasi, cara hidup yang berdesakan di daerah pemukiman
miskin di perkotaan (Slums Area), semuanya menimbulkan konsekuensi
konsekuensi kesehatan yang belum dapat dipecahkan secara keseluruhan.
Pembangunan memang harus ada, karena tidak ada alternatif lain bagi dunia
yang semakin padat. Namun ada pembangunan yang “baik” dan ada
pembangunan yang “buruk”. Yang pertama adalah dimana pada suatu
populasi tertentu terdapat keseimbangan, yaitu populasi tersebut menjadi
lebih baik daripada sebelum adanya pembangunan, sedangkan yang kedua,
adalah dimana keadaan populasi justru menjadi lebih buruk dengan adanya
pembangunan.
Kebudayaan adalah sistem keseimbangan yang rumit yang tidak akan
berubah begitu saja, sehingga inovasi yang nampaknya baik bagi suatu
bidang (misalnya, pertanian) kemudian menimbulkan perubahan-perubahan
kedua dan ketiga di bidang lain (misalnya kesehatan) yang dampaknya
melebihi keuntungan yang diharapkan. Hampir selalu terdapat implikasiimplikasi
yang tak terduga pada inovasi yang terencana, beberapa
diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian tidak diinginkan.
Dubos menyebutkan model implikasi yang tak terduga ini dengan istilah
ekologi. Semua inovasi teknologi yang berhubungan dengan praktekprekatek
industri, maupun dengan pertanian atau kedokteran, akan
mengganggu keseimbangan alam. Kenyataannya menguasi alam sama
artinya dengan mengganggu keteraturan alam (DuBos, 1965:416).
Pandangan ekologi menyediakan perspektif yang ideal bagi studi mengenai
perubahan-perubahan pembangunan, karena kebanyakan dari proyek-proyek
yang dianalisis melibatkan intervensi terhadap alam.
Contoh-contoh tentang macam-macam masalah kesehatan yang
berhubungan dengan pembangunan:
Kasus penggalian terusan Panama, demam kuninglah yang
mengalahkan insinyur Perancis DeLessup dalam usahanya untuk
menggali terusan; setelah dokter-dokter Amerika menemukan
penyebab sakit kuning, dan setelah vektor nyamuk dibasmi,
barulah keadaan memungkinkan menyelesaikan terusan itu.Sampai akhir-akhir ini malaria endemik telah menyebabkan banyak
dataran-dataran subur tropis hampir tidak didiami.
Penyakit tidur yang disebabkan oleh lalat Tsetse amat membatasi
eksploitasi dari banyak wilayah di Afrika.
Pembangunan yang sukses sering secara berarti menyebabkan peningkatan
munculnya penyakit-penyakit tertentu, menimbulkan masalah-masalah
kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau yang relatif hanya sedikit.
Sebaliknya keberhasilan dalam pembasmian penyakit-penyakit infeksi,
menyebabkan ledakan penduduk, yang merupakan bahaya terbesar bagi
kehidupan masa depan kemanusiaan. Kemungkinan juga dengan adanya
pertambahan penduduk, penyakit-penyakit masih juga terdapat diseluruh
dunia, walaupun pengobatan modern telah menunjukkan keberhasilannya
dalam pengawasan penyakit.
Demikianlah saya dihadapkan pada matarantai lingkaran peristiwa yang
disebabkan oleh penyakit. Penyakit menghambat pem-bangunan sehingga
mendorong timbulnya perkembangan pelayanan-pelayanan kesehatan dan
pengawasan penyakit, yang berdampak juga pada macam-macam
pembangunan lainnya. Namun yang seringkali terjadi dibalik keberhasilan
pembangunan kesehatan ini adalah justru terdapat kelebihan penduduk dan
bertambahnya penyakit, sehingga siklus itupun dimulai lagi.
Contoh-contoh dampak pembangunan terhadap macam-macam masalah
kesehatan, secara ringkas adalah sebagai berikut.
1. Pembangunan lembah sungai, di Mesir dan Sudan yang
mengakibatkan bahaya yang cukup tinggi bagi kesehatan, terutama
peningkatan penyakit Bilharziasis (penyakit cacing pita dari genus
Schistosoma ditularkan lewat siput air) dan Ochoncerciasis (buta
sungai, ditularkan oleh vektor lalat yang mengigit dibagian belakan
kepala, merusak saraf mata yang mengakibatkan kebutaan.
2. Pembudidayaan tanah, di Karibia merupakan kondisi ideal bagi
peningkatan pengembangbiakan jenis nyamuk anopheles yang
menularkan penyakit malaria.
3. Pembangunan Jalan Raya, beberapa penyakit yang dulunya terbatas
wilayahnya atau menyebar secara lambat, disebarkan kedaerah-daerah
yang dulunya bebas penyakit, sebagai akibat dari komunikasi besarbesaran
yang dimungkinkan oleh adanya jalan-jalan raya, jalan kereta
api, dan lalulintas udara. Trypanosomiasis (penyakit tidur adalah salah
satu penyakit yang tersebar secara luas di Afrika. Lalat tsetse
merupakan vektor bagi penyakit-penyakit protosoa, yang menulari
manusia dan hewan. Dengan adanya jalan-jalan baru yang
menyebabkan para musafir sering beristirahat dan minum ditepi sungai
dekat jalan raya, merupakan bahaya yang mengacam mereka dari
gigitan lalat tsetse dan infeksi penyakit tidur.
4. Urbanisasi, Migrasi penduduk desa ke daerah-daerah pemukiman
miskin yang padat diperkotaan menyebabkan timbulnya berbagai
maslah kesehatan. Pada awal periode industri di Inggris, angka
Tubercolosis sering amat tinggi, disebabkan karena kepadatan
penduduk dalam rumah, kondisi rumah yang buruk, sehingga
memungkinkan dengan mudahnya baksil TBC, hidup dan menularkan
pada manusia.
E. PERANAN ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM
PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA
Dalam bagian ini saya akan menguraikan peranan Antropologi Kesehatan
dalam menjalankan program-program pembangunan yang direncanakan
untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat
Papua. Ini berarti merupakan penerapan masalah pengetahuan Antropologi
Kesehatan dan konsekuensinya.
Fokus yang dibicarakan dalam bagian ini adalah mengenai antropologi
tentang kesehatan atau antropologi dalam kesehatan. Ini berarti membahas
kesehatan dari perspektif antropologi “sebagai ahli antropologi” dan
membahas ahli antropologi sebagai pekerja kesehatan.
Untuk menjadi seorang ahli antropologi kesehatan, seseorang memerlukan
dasar latihan antropologi yang baik, pengalaman penelitian, naluri terhadap
masalah, simpati terhadap orang lain dan tentu saja dapat memasuki dunia
kesehatan dan masyarakat kesehatan yang bersedia menerima kehadiran
para ahli antropologi itu.
Ahli antropologi mempunyai banyak ladang di dalam lembaga kesehatan
atau “masyarakat kesehatan” sebagai tempat kajiannya seperti rumah sakit
jiwa, rumahsakit umum, dokter praktek, para pasien, sekolah-sekolahkedokteran, klinik-klinik, puskesmas dan “masyarakat kesehatan” lainnya.
Metode-metode penelitian yang sama seperti yang dipergunakan ahli
antropologi pada umumnya dalam penelitian tradisional dapat diterapkan
kepada lingkungan-lingkungan itu (“masyarakat kesehatan”). Pranatapranata
kesehatan dalam arti yang luas adalah sejumlah lapangan penelitian
yang sangat produktif bagi para ahli antropologi. Namun tidaklah cukup jika
hanya pranata kesehatan saja yang dipelajari. Para ahli antropologi harus
dapat memasuki pranata itu. Meneliti pranata kesehatan dalam masyarakat
tradisional tidak memerlukan para tenaga kesehatan, tetapi meneliti
“masyarakat kesehatan” tidak cukup seorang ahli antropologi, tetapi ia harus
diterima dalam pranata masyarkat kesehatan dan membutuhkan bantuan
tenaga profesional kesehatan yang lain.
1. Kondisi Ekologis dan Kebudayaan Masyarakat Papua
Papua ditinjau dari lingkungan alam sangat beranekaragam. Menurut
Petocz (1987; 30-37) Lingkungan utama di Papua terdiri dari :
•Hutan Bakau, terdapat di rawa-rawa berair asin payau. Vegetasi ini
tumbuh di sepanjang cekungan yang landai dan paling berkembang
di daerah yang terlindung dari gamparan gelombang air laut. Hutan
bakau yang paling luas terdapat di muara teluk Bintuni.
•Rawa, disepanjang pantai selatan, dataran rendah daerah Kepala
Burung dan pantai utara delta Mamberamo ke arah barat sampai
muara teluk Cenderawasih.
•Hutan basah dataran rendah
•Zone pegunungan bawah
•Zone pegunungan atas
•Zone Alpin
Kategori Petocz di dasarkan pada tinggi daratan diatas permukaan laut.
Walker dan Mansoben (1990), telah menggolongkan masyarakat dan
kebudayaan Papua dalam tiga kategori, tipe-tipe mata pencaharian yang
berkembang di tiga tipe ekologi atau lingkungan alam, yaitu :
•Daerah rawa-rawa, pantai dan banyak sungai
•Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil
•Daerah dataran tinggi.
Parsudi Suparlan (1994), mengkritik kategori yang dibuat Walker dan
Mansoben dengan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan mereka
sebenarnya telah mereduksi keanekaragaman kebudayaan-kebudayaan di
Papua ke dalam kategori mata pencaharian dan ekologinya, akan banyak
merugikan warga masyarakat Papua. Mata pencaharian bukanlah suatu
gejala yang merupakan satuan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan
dengan dan didukung oleh pengorganisasian sosial (keluarga, kelompok
kekerabatan, keyakinan keagamaan, hak milik dan penguasaan atas tanah
dan pohon, kekuasaan dan pertahanan, serta berbagai aspek lainnya).
Selanjutnya Parsudi melihat bahwa kerugian yang dimaksud adalah
diabaikannya satuan-satuan budaya yang mendukung kebudayaan
ekonomi dari masyarakat setempat.
Berdasarkan kategori kebudayaan yang dibuat Walker dan Mansoben ini,
oleh Parsudi Suparlan mengusulkan pembagian pola-pola kebudayaan di
Papua dalam suatu penggolongan yang lebih luas yaitu :
•Wilayah pantai dan pulau, yang terdiri atas : (1) Daerah pantai utara,
(2) Daerah-daerah pulau-pulau Biak-Numfor, Yapen, Waigeo dan
pulau-pulau kecil lainnya, (3) Daerah pantai selatan yang penuh
dengan daerah berlumpur dan pasang surut serta perbedaan musim
kemarau dan hujan yang tajam.
•Wilayah pedalaman yang mencakup : (1) Daerah sungai-sungai dan
rawa-rawa (2) Daerah danau dan sekitarnya (3) Daerah kaki bukit
dan lembah-lembah kecil.
•Wilayah dataran tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Walker dan Mansoben.
Koentjaraningrat mengelompokkan masyarakat Papua berdasarkan letak
geografis dan mata pencahariannya menjadi tiga yaitu :
•Penduduk Pantai dan Hilir
Kelompok ini telah mengadakan kontak dengan dunia modern/luar
kurang lebih 100 tahun yang lalu, dan sudah beragama Kristen dan
Roma Khatolik. Mereka sudah mengalami pendidikan formal dan
kebutuhan hidup tergantung pada pasar dengan sumber alam yang
melimpah.
•Masyarakat Pedalaman
Kelompok-kelompok kecil yang tinggal di sepanjang sungai, di
hutan-hutan rimba. mereka adalah peramu yang sering berpindahpindah
tempat tinggal, jumlah penduduknya tidak besar. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah orang-•Masyarakat Pegunungan Tengah.
Kelompok masyarakat ini terdidri dari beberapa suku bangsa yang
tinggal di lembah-lembah, di pengunungan tengah yang terdiri dari
pegunungan Mooke, Sudirman. Dalam keadaan sekarang mereka ini
pada umumnya tinggal di kebupaten Paniai dan Jayawijaya, jumlah
penduduknya cukup padat. Pemeliharaan ternak babi dan
pembudidayaan Ubi jalar merupakan kegiatan ekonomi yang maha
penting (Giay.B; 1996, 4-5).
Sedangkan kalau kategori suku bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271
lebih suku bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage,
SIL, 1988, Jayapura)
Kategori-kategori ini mempunyai keuntungan tapi juga kerugian terhadap
masyarakat. Keuntungannya adalah karena kategori ini bisa mempermudah
menganlisis dan membuat rencana-rencana dan program. Kerugiannya
adalah kategori ini bisa menjebak saya pada analisis-analisis yang dangkal
dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang lain. Namun untuk
kepentingan ilmu, maka perlu ada klasifikasi-klasifikasi demikian. Saya
tidak mau menganut klasifikasi-klasifikasi itu, tetapi orientasi saya bahwa
kebudayaan ini berbeda-beda, tetapi untuk mengkategori perbedaanperbedaan
itu membutuhkan pekerjaan yang besar. Mudah-mudahan ada
pakar-pakar dari Papua ini yang mau melakukan pekerjaan besar ini.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak
yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat
tardisional Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang
terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam
kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi
adanya 44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan
masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar
dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held
(1951,1953) dan Van Baal (1954), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut
terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat
perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan
ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan
struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka seharihari
Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di Papua,
tetapi diantara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang umum dan
mendasar yang memperlihatkan kesamaan-kesamaan dalam inti kebudayaan
atau nilai-nilai budaya mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang
Papua bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan oleh ciriciri
orang Papua pada umumnya “Improvisator kebudayaan“, yaitu
mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan
kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya
dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara
menyeluruh (Parsudi Suparland, 1994). van Baal (1951) mengatakan bahwa
ciri utama kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat dari
kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan tersebut muncul
karena kebudayaan orang Papua yang rendah tingkat teknologinya dan yang
dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah
menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju
atau lebih cocok.
Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara
masyarakat-masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi
dalam kategori yang terakhir diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat
(1994). Dalam awal kontak interaksi yang memberi dampak dalam
kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan
kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang
mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan
Manik-manik, para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang
mengkristenkan mereka melalui pendidikan formal dengan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran teknologi dan penggunaan uang
oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan kemudian oleh pemerintah
Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari luar telah
memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan
keterbukaan suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan
2. Program-program Pembangunan Kesehatan di Provinsi Papua
Pembangunan kesehatan di Provinsi Papua dilaksanakan melalui empat
strategi yaitu ;
•Pembanguan daerah berwawasan kesehatan, artinya program
pembangunan tersebut harus memberikan kontribusi yang positif
terhadap kesehatan yang meliputi pembentukan lingkungan yang
sehat dan pembentukan perilaku yang sehat.
•Profesionalisme tenaga kesehatan. Untuk terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu didukung oleh penerapan
ilmu dan teknologi bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran.
•Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Kemandirian
masyarakat dalam melaksanakan pola hidup sehat perlu
ditingkatkan dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya termasuk
peran sertanya dalam pembiayaan kesehatan perlu digalakkan.
•Desentralisasi. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan,
penyelenggaraan pelbagai upaya kesehatan harus bertitik tolak dari
masalah kesehatan yang ada dan potensi spesifik daerah untuk
mengatasinya.
Dalam jangka pendek, langkah utama pengembangan kesehatan ditujukan
untuk mempertahankan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat dari dampak
buruk terjadinya krisis ekonomi, terutama dari keluarga miskin.
Dalam jangka menengah, kebijakan umum pembangunan kesehatan antara
lain adalah :
•Pemantapan kerjasama lintas sektor
•Peningkatan perilaku peningkatan dan kemitraan antara pemerintah
dan swasta dalam pembanguan kesehatan
•Peningkatan kesehatan lingkungan
•Peningkatan upaya kesehatan masyarakat
•Peningkatan kemampuan dalam penyususnan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan,
•Peningkatan perlindungan kesehatan masayarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan yang tidak
absah,
•Peningkatan pengetahuan dan teknologi.
2.1. Program Perilaku Sehat Dan Pemberdayaan Masyarakat
Program ini bertujuan untuk memberdayakan individu dan masayarakat
dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya sendiri dari lingkungannya menuju masyarakat yang sehat,
mandiri dan produktif.
Sasarannya adalah terciptanya keberdayaan individu dan masyarakat dalam
bidang kesehatan yang ditandai oleh peningkatan perilaku hidup sehat dan
peran aktif dalam memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri
dan lingkungan sesuai budaya setempat.
2.2. Program Lingkungan Sehat
Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang bersih
sehat agar dapat melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal
dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat yang optimal.
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya suatu
lingkungan yang bersih dan sehat yang berasal dari kesadaran masyarakat
akan kesehatan dengan ditunjang oleh kelengkapan pelayanan pemerintah
dalam memenuhi persyaratan kebersihan lingkungan maupun individu.
2.3. Program Upaya Kesehatan
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya
kesehatan yang berhasil guna dan berdayaguna serta terjangkau oleh
segenap anggota masyarakat. Secara umum program ini adalah tersedianya
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan baik pemerintah maupun swasta
yang didukung oleh peran serta masyarakat dan sistem pembiayaan pra
upaya.
Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu kesehatan
masyarakat yang ditunjang dengan meningkatnya mutu pelayanan kesehatan
oleh pemerintah yang berasaskan pemerataan dan keadilan pelayanan secara
intensif dan keseluruhan.
2.4. Program Sumber Daya Kesehatan
Tujuan program ini secara umum adalah menngkatkan jumlah, mutu danefisiensi penggunaan biaya yang dapat penggandaan produksi bahan baku
dan obat yang bermutu aman.
Sasaran umum program ini adalah terdapatnya kebijakan dan rencana
pengembangan tenaga kesehatan dari masyarakat, digunakannnya tenaga
kesehatan yang ada, berfungsinya pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan, meningkatnya jaringan pemberi pelayanan kesehatan paripurna
dan bermutu.
2.5. Program Obat, Makanan Dan Bahan Berbahaya
Program ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, prikotropika, narkotika, zat aditif
(NAPZA) dan bahan berbahaya lainnya. Di samping itu program ini
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
makanan dan alat kesehetan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan.
Sasaran yang ingin dicapai oleh program ini adalah terlindungi masyarakat
dari kesalahan penggunaan NAPZA sehingga tercapainya tujuan medis
penggunaan obat secara efektif dan aman dengan ketersediaan obat yang
bermutu.
2.6. Program Kebijakan Dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Program ini bertujuan memberikan masukan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menunjang pembangunan kesehatan, mendukung
perumusan kebijakan masalah kesehatan, dan mengatasi kendala dalam
pelaksanaan program kesehatan.
Sasaran program ini adalah makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, gizi,
pendayagunaan obat, pemberatasan penyakit dan perbaikan lingkungan.
Makin berkembangnya penelitian yang berkaitan dengan ekonomi kesehatan
untuk membantu upaya-upaya mengoptimalkan pemanfaatan biaya
kesehatan dari pemerintah dan swasta. Makin meningkatnya penelitian
bidang sosial budaya dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi masalah
kesehatan masyarakat.
3. Peranan Ahli Antropologi Kesehatan terhadap Penanganan
Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Papua
Enam program utama dalam lembaga Dinas Kesehatan Provinsi Papua
seperti tersebut di atas kalau diperhatikan dengan seksama sangat berkaitan
dengan peranan antropologi dalam menangani masalah kesehatan. Fokus
program-program tersebut pada penanganan kebiasaan buruk yang
menyebabkan sakit, penanganan partisipasi masyarakat memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah, meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kualitas manusia tenaga
kesehatan dan penanganan dampak ekologi terhadap kesehatan manusia.
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa antropologi kesehatan mengkaji
biokultural kesehatan manusia dan ini berarti penggunaan tenaga
antropologi sangat dibutuhkan dalam penanganan program-program
kesehatan tersebut. Atau tenaga kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan
Provinsi Papua yang tersebar diberbagai kabupaten kota di Papua perlu
memiliki pengetahuan antropologi kesehatan dalam mengatasi masalahmasalah
praktis yang mereka hadapi di lapangan.
Penggunaan tenaga antropologi kesehatan dalam program-program
pembangunan kesehatan di Papua, menurut saya masih sangat rendah.
Sepanjang pengetahuan saya keterlibatan tenaga antropologi kesehatan
dipakai untuk riset-riset tertentu saja, tetapi belum pernah digunakan dalam
perencanaan pembangunan kesehatan, keterlibatan sebagai konsultan dalam
penanganan kegiatan program kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi
Papua.
Tetapi tenaga kesehatan belajar antropologi pernah di programkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Papua bekerjasama dengan Jurusan Antropologi
Uncen pada tahun 1998. 15 orang tenaga perawat dari 12 kabupaten dan 2
kota di Provinsi Papua belajar Antropologi di Program studi Antropologi
UNCEN. Saat ini mereka telah menyelesaikan pendidikan antropologinya di
Uncen, sayangnya sampai saat ini belum ada evaluasi bagaimana
penggunaan ilmu antropologi kesehatan dalam penanganan masalah
kesehatan di Provinsi Papua.
3.1. Penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit
Ini berkaitan dengan pranata-pranata kebudayaan yang mengatur perilaku
manusia tentang kebiasaan-kebiasaan yang dapat menyebabkan
terjangkitnya penyakit. Bicara pranata-pranata kebudayaan yang mengatur
perilaku manusia merupakan salah satu isu yang dipelajari oleh IlmuAntropologi Kesehatan dan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus
dimiliki oleh seorang antropolog. Dengan demikian penggunaan ilmu
antropologi kesehatan sangat dibutuhkan dalam program Dinas Kesehatan
tentang “Program Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat”. Sekarang
tinggal bagaimana kerjasama antara Jurusan Antropologi dengan Dinas
Kesehatan Provinsi Papua dalam melibatkan tenaga Antropologi Kesehatan
dalam program-program Dinas Kesehatan.
3.2. Penanganan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah
Antropologi mempunyai metode yang khas dan tidak dimiliki oleh ilmuilmu
lain, yaitu Observasi partisipasi. Metode ini yang sering
menghebohkan dunia ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru
yang sangat berguna dalam membangun suatu masyarakat. Kadang-kadang
di lingkungan dunia “praktis”, cara masuk untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat sangat lambat dan bahkan tidak berhasil karena pendekatan yang
digunakan keliru. Ilmu Antropologi memahami kebudyaan manusia dan
mengerti orientasi nilai dalam suatu masyarakat yang menjadi acuan dalam
hidupnya untuk melakukan sesuatu (partisipasi dalam bahasa dunia
“praktis”). Dengan memahami orientasi nilai ini, partisipasi sangat mudah
dibangun dalam menjalankan program pembangunan. Disinilah letak
penggunaan ilmu antropologi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu tenaga antropologi sangat
dibutuhkan dalam program pembangunan kesehatan di Papua.
Sering terjadi pada masyarakat sederhana lebih percaya pada pengobatan
tradisional dari pada pengobatan modern karena alasan nilai yang dipakai
untuk melihat sistem pelayanan yang dibangun oleh kedua pengobatan
tersebut. Ahli antropologi lebih memahami konsep ini daripada tenaga
kesehatan. Konsep “Etik” dan Konsep “Emik” lebih dikuasai oleh ahli
antropologi daripada tenaga kesehatan. Oleh karena itu ahli antropologi
sangat dibutuhkan dalam merancang sistem pelayanan kesehatan moderen
yang bisa diterima masyarakat tradisional.
F. KESIMPULAN
•Antropologi Kesehatan berdasarkan definisinya mempelajari
kesehatan manusia dari dua sisi, yaitu cultural dan biologis tetapi
tidak dilihat terpisah sehingga disebut biocultural.
•Penggunaan ilmu ini dalam “masyarakat kesehatan” sangat berguna
membantu keberhasilan program-program kesehatan dalam dunia
praktis.
•Dunia Praktis di Papua (pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan)
sudah saatnya memakai ahli antropologi sebagai perencana,
pelaksana dan evaluator serta konsultan sebagai bagian dari sistem
manajeman Dunia Praktis mereka secara keseluruhan.
G. BIBLIOGRAFI
Caudill, William. 1953. Applied Anthropology in Medicine. Dalam
Anthropology Today: An Encyclopedic Inventory. A.L. Kroeber, edt. Hlm
771-806. Chicago. The University of Chicago Press.
Clausen John A. 1963. Social Factors in Disease. Dalam Medicine and
Society. J.A. Clausen and R. Strauss, edt.The Annuals of Amrican Academy
of Political and Social Science346. Hlm 138-148.
DuBos Rene. 1963. Man Adapting. New Haven. Yale University Press.
Fabrega, Horacio, Jr. 1970. Medical Anthropology. Dalam Bienial Review
of Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Giay Beni. 1996. Pembangunan Irian Jaya dalam Perspektif Agama, Buda
ya dan Antropologi, dalam Buletin Deiyai No. 5/thn I/Mei-Juni, 1996,
Jayapura.
Glick L.B 1967. Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New
Guinea Highlands. Etnology Buletin
Hochstrasser, Donald L dan Jesse W. Tapp, Jr. 1970. Social Medicine and
Public. Dalam Anthropology and the Bihavioural and Health Science.
Pittburgh. University of Pitsburgh Press.
Hassan, Khwaja Arif dan B.G. Prassad. 1959. A Note on The Contributions
of Anthropology to Medical Science. Journal of the Indian Medical
Assosiation. 33: hlm 182-190.
Hardesty, Donald L. 1977. Ecological Anthropology. New York. John
Wiley
Koentjaraningrat. 1994. Papua Membangun Masyarakat Majemuk,
Jakarta, Jambatan.
Lieben Richard W. 1970. Medical Anthropology. Dalam Handbook of
Social and Cultural Anthropology. J.J Honigmann, ed. Hlm. 1031-1072.
Chicago. Rand McNally.
Paul Benyamin D. 1963. Anthropology Perspectives on Medicine and Public
Health. Dalam Medicine and Society.
J.A. Clausen and R. Strauss, edt. Hlm. 34-43. The Annual of the American
Academy of Political and Social Science.
Pearsall, Marion. 1963. Medical Behavioural Science: A Selected
Bibliography. Lexington. University of Kentucky Press.
Petocz, R. 1987. Konservasi Alam di Papua, Jakarta, Grafiti
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta
Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Scotch, Norman A. 1963. Medical Anthropology dalam Bienial Review of
Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Suparlan, Parsudi. 1994. Keanekaragaman Kebudayaan, Strategi
Pembangunan dan Transformasi Sosial, dalam Buletin Penduduk dan
Pembangunan, Jilid V No. 1-2, Lembaga Iimu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Suparlan, Parsudi. 1994a. The Diversity Of Cultures In Irian Jaya, The
Indonesian Quartely, 22:2, 170-182.
Tim Peneliti Univesrsitas Cenderawasih. 1991. Laporan Penelitian
Penyusunan Peta Sosial Budaya Papua; Pusat Penelitian Universitas
Cenderawasih
Walker, M & Johz Mansoben. 1990. Papua Cultures; An Overview, Buletin
Of Papua, 18:1-16.
Weaver, Thomas. 1967. Medical Anthropology: Trends in Reasearch and
Medical Education. University of Georgia Press.
Thursday 4 November 2010
ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN
ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN
Leonard Siregar
(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Ketua
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)
Abstract
Anthropology is about all human beings, and it is the charge of the Anthropology to
tell about human story, not just the good side but also the bad. It should include not
just one group of people, but others. It shouldn’t illustrate just one aspect of human
life, but all.
The article tries to revolve around a number of general pedagogical questions such
as: What do anthropologists study? How do they go about it? What perspective do
they bring to their work? And what is the relation of the Anthropology with the
Culture.
A. PENDAHULUAN
Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang
bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi
ini juga baru memulai suatu langkah kedalam lapangan dari suatu bidang
ilmu yang disebut dengan Antropologi.
Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan
banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang
mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang
lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literature-literature atau
tulisan-tulisan tentang Antropologi.
Banyak orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang
hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja
menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guciguci
tua, peralatan –peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti
dari apa yang ditemukannya itu.
Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan
mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari
kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang
mempunyai pandangan yang sangat keras terhadap penciptaan manusia dari
sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari
Antroplogi dan doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam
yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja atau meneliti orang-orang yang
aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka
masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat umum
adalah asing.
Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada
benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin
mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang
hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka
tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada
Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotongsepotong
ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang
apa sebenarnya Antropologi itu.
Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang
asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari
masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan
primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku
manusia di tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit dan di
tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentukbentuk
pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama
tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang
sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada
masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.
B. BIDANG ILMU ANTROPOLOGI
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia
yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka
bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk
mahluk hidup yang ada diAntropologi bukanlah satu satunya ilmu yang mempelajari manusia. Ilmuilmu
lain seperti ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia,
ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang
mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga
mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari atau melihat
manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut dengan
Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi. Antropologi berusaha
untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan
di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua
manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka
bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan
mendasar dalam studi-studi Antropologi.
B.1. Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi
Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau
pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari Antropologi,
yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah Antropologi
Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-Budaya.
B.1.1. Antropologi Fisik
Antropologi Fisik tertarik pada sisi fisik dari manusia. Termasuk
didalamnya mempelajari gen-gen yang menentukan struktur dari tubuh
manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk manusia sejak manusia itu
mulai ada di bumi sampai manusia yang ada sekarang ini. Beberapa ahli
Antropologi Fisik menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan fosil yang
membantu memberikan keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli
Antropologi Fisik yang lain menjadi terkenal karena keahlian forensiknya;
mereka membantu dengan menyampaikan pendapat mereka pada sidangsidang
pengadilan dan membantu pihak berwenang dalam penyelidikan
kasus-kasus pembunuhan.
B.1.2. Arkeologi
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari
masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk
menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Benda –benda ini adalah
barang tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang
mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau membentuk kembali modelmodel
kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada bentuk
kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan
bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana
mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu
berinteraksi.
B.1.3. Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya
berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini
mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau
tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya
kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam
pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses
pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar
yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak.
Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh
atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial
yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut
dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik
itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi
objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam
perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam
bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang
kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari
bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau
Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk
perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari
sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
C. KONSEP KEBUDAYAAN
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan
Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif
untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga
memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintahjuga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering
digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa
Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan
kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam
pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai
pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi
yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada
sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi.
Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama
diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu
definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph
Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan
pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak
hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi
dan lebih diinginkan”.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan
juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu.
Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan
dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang
ilmuwan. Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam
melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah
satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan
dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti
simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaankesamaan.
Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam
membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah
kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan
aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam
bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus
dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan
perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk
mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram
dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti
perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya
harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku
lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku
manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa
dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia
tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yang
mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa
dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk
beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.
C.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar.
Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis.
Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang
digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya
digerakan oleh insting.
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut
digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk
dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah
kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk
dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang
dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua
manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompokkelompoknya
menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan
cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang.
Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja,
langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut
perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana
dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat
tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu
makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada
tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi
karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh
generasi sebelumya atau lingkunganSebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut
semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan,
walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang
semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari
semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
C.2. Kebudayaan Milik Bersama
Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan
seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para
ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok
mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama
sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat
melalui proses belajar.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan,
nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki
bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian
masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang
tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya
tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.
C.3. Kebudayaan sebagai Pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah
pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan
adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang
ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut
diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan
tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma,
Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya
selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal
yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan
mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada
apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian
dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan
perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh
cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu
pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang
telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan
baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan
kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang
langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan
langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut
kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau
bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan
ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal
yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan
kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut
sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka
dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika
seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam
gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur
tentang hal ini. Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja
ketika ke gereja, mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan.
Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya
mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di tangkap
oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan
oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung
akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan
dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami
atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang
melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan
menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena
tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan
kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang
pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yangmengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi
bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu
yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian
seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun
mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas.
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh
masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari
kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak
disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat
untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan
suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang
dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau
sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan
pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal
dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan
tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam
hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan
warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
C.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena
kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada
lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya.
Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok
masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain,
tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan
lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang
akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada
masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai
anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan
tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat
pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu,
hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik
dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu
mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi
memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan
tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya
merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut
untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan
pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan
penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu
pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk
sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga
dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang
awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk
membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan
sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam
memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada
hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah
alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat
disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus
mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka
adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara
penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan
mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang
sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban
terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih
tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini sangat
banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk
menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu
menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada
umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau
penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu
akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan adamasyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya
sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka
memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap
keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya
tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat
sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter
atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian
banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu
kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu
dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu
akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan
tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan
hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan
masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini
tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan
penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya
juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua
dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
D. PENUTUP
Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan
kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada
kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat
statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain
atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari
luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan
memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya
akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari
kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan
kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan
membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi tersebut.
REFERENSI
Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Co., 1980.
Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An Introduction to General
Anthropology”, New York, Harper and Row Publishers, 1988.
Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” American
Ethnologist, 2, no.3 (August 1975).
Leonard Siregar
(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Ketua
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)
Abstract
Anthropology is about all human beings, and it is the charge of the Anthropology to
tell about human story, not just the good side but also the bad. It should include not
just one group of people, but others. It shouldn’t illustrate just one aspect of human
life, but all.
The article tries to revolve around a number of general pedagogical questions such
as: What do anthropologists study? How do they go about it? What perspective do
they bring to their work? And what is the relation of the Anthropology with the
Culture.
A. PENDAHULUAN
Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang
bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi
ini juga baru memulai suatu langkah kedalam lapangan dari suatu bidang
ilmu yang disebut dengan Antropologi.
Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan
banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang
mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang
lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literature-literature atau
tulisan-tulisan tentang Antropologi.
Banyak orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang
hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja
menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guciguci
tua, peralatan –peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti
dari apa yang ditemukannya itu.
Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan
mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari
kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang
mempunyai pandangan yang sangat keras terhadap penciptaan manusia dari
sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari
Antroplogi dan doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam
yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja atau meneliti orang-orang yang
aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka
masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat umum
adalah asing.
Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada
benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin
mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang
hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka
tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada
Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotongsepotong
ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang
apa sebenarnya Antropologi itu.
Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang
asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari
masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan
primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku
manusia di tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit dan di
tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentukbentuk
pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama
tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang
sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada
masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.
B. BIDANG ILMU ANTROPOLOGI
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia
yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka
bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk
mahluk hidup yang ada diAntropologi bukanlah satu satunya ilmu yang mempelajari manusia. Ilmuilmu
lain seperti ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia,
ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang
mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga
mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari atau melihat
manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut dengan
Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi. Antropologi berusaha
untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan
di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua
manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka
bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan
mendasar dalam studi-studi Antropologi.
B.1. Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi
Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau
pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari Antropologi,
yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah Antropologi
Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-Budaya.
B.1.1. Antropologi Fisik
Antropologi Fisik tertarik pada sisi fisik dari manusia. Termasuk
didalamnya mempelajari gen-gen yang menentukan struktur dari tubuh
manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk manusia sejak manusia itu
mulai ada di bumi sampai manusia yang ada sekarang ini. Beberapa ahli
Antropologi Fisik menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan fosil yang
membantu memberikan keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli
Antropologi Fisik yang lain menjadi terkenal karena keahlian forensiknya;
mereka membantu dengan menyampaikan pendapat mereka pada sidangsidang
pengadilan dan membantu pihak berwenang dalam penyelidikan
kasus-kasus pembunuhan.
B.1.2. Arkeologi
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari
masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk
menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Benda –benda ini adalah
barang tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang
mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau membentuk kembali modelmodel
kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada bentuk
kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan
bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana
mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu
berinteraksi.
B.1.3. Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya
berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini
mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau
tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya
kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam
pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses
pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar
yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak.
Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh
atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial
yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut
dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik
itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi
objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam
perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam
bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang
kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari
bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau
Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk
perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari
sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
C. KONSEP KEBUDAYAAN
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan
Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif
untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga
memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintahjuga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering
digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa
Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan
kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam
pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai
pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi
yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada
sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi.
Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama
diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu
definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph
Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan
pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak
hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi
dan lebih diinginkan”.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan
juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu.
Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan
dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang
ilmuwan. Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam
melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah
satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan
dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti
simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaankesamaan.
Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam
membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah
kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan
aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam
bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus
dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan
perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk
mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram
dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti
perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya
harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku
lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku
manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa
dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia
tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yang
mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa
dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk
beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.
C.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar.
Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis.
Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang
digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya
digerakan oleh insting.
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut
digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk
dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah
kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk
dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang
dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua
manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompokkelompoknya
menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan
cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang.
Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja,
langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut
perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana
dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat
tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu
makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada
tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi
karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh
generasi sebelumya atau lingkunganSebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut
semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan,
walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang
semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari
semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
C.2. Kebudayaan Milik Bersama
Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan
seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para
ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok
mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama
sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat
melalui proses belajar.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan,
nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki
bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian
masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang
tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya
tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.
C.3. Kebudayaan sebagai Pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah
pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan
adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang
ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut
diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan
tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma,
Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya
selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal
yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan
mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada
apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian
dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan
perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh
cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu
pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang
telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan
baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan
kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang
langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan
langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut
kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau
bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan
ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal
yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan
kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut
sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka
dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika
seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam
gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur
tentang hal ini. Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja
ketika ke gereja, mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan.
Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya
mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di tangkap
oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan
oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung
akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan
dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami
atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang
melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan
menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena
tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan
kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang
pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yangmengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi
bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu
yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian
seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun
mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas.
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh
masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari
kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak
disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat
untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan
suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang
dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau
sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan
pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal
dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan
tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam
hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan
warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
C.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena
kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada
lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya.
Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok
masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain,
tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan
lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang
akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada
masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai
anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan
tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat
pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu,
hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik
dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu
mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi
memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan
tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya
merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut
untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan
pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan
penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu
pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk
sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga
dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang
awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk
membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan
sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam
memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada
hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah
alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat
disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus
mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka
adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara
penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan
mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang
sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban
terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih
tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini sangat
banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk
menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu
menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada
umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau
penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu
akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan adamasyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya
sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka
memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap
keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya
tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat
sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter
atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian
banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu
kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu
dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu
akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan
tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan
hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan
masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini
tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan
penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya
juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua
dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
D. PENUTUP
Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan
kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada
kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat
statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain
atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari
luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan
memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya
akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari
kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan
kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan
membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi tersebut.
REFERENSI
Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Co., 1980.
Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An Introduction to General
Anthropology”, New York, Harper and Row Publishers, 1988.
Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” American
Ethnologist, 2, no.3 (August 1975).
JURNAL MASYARAKAT INDONESIA DAN PERKEMBANGAN ILMU-ILMU SOSIAL
JURNAL MASYARAKAT INDONESIA DAN PERKEMBANGAN ILMU-ILMU SOSIAL
Ignas Kleden
I. ENAM ISU YANG AKAN DIBAHAS
1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah Jurnal Penelitian sosial (termasuk ekonomi, politik dan budaya).
2. Hubungan Jurnal dengan penelitian sosial
3. Hubungan Penelitian dengan Perkembangan Ilmu-Ilmu sosial
4. Penelitian, kebijakan dan advokasi
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan
6. Context of discovery dan context of justification
II. URAIAN
1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah jurnal penelitian sosial.
Sifat ini sudah memberi tiga batasan untuk pemilihan dan penerimaan tulisan yaitu
a) Tulisan haruslah bersifat research paper dan bukan policy paper atau esai bebas.
b) Tulisan haruslah membahas masalah-masalah masyarakat Indonesia dan bukan masalah di negeri lain.
c) Tulisan haruslah mencerminkan penerapan atau pengujian terhadap sebuah teori atau sebuah metode ilmu sosial
Sebagai jurnal penelitian sosial maka tema-tema tulisan mencakup bidang yang luas mencakup bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dilihat dengan cara itu maka jurnal ini dapat mengatur nomor-nomor penerbitan
• Berdasarkan disiplin ilmu-ilmu sosial (nomor ekonomi, sosial, politik, budaya), seperti
a) hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengembangan sektor riil dan penyerapan tenaga kerja dalam ekonomi,
b) atau hubungan antara pimpinan politik, lembaga politik, dan sistem politik dalam politik,
c) atau pembagian kerja seksual, patriarki dan partisipasi perempuan dalam kesempatan kerja untuk bidang sosial,
d) dan ada tidaknya pengaruh gaya hidup perkotaan terhadap persepsi anak-anak SD tentang nilai moral atau nilai estetik untuk bidang budaya.
• Berdasarkan sebuah isu yang dibahas seperti migrasi, kependudukan, korupsi, atau bencana alam, yang dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian ada studi ekonomi tentang migrasi, studi sosiologi tentang migrasi, studi politik tentang migrasi dan studi budaya tentang migrasi. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap isu-isu lain yang dipilih.
• Pada tingkat yang lebih tinggi dapat diterbitkan nomor yang berisikan peninjauan kembali terhadap metode dan teori-teori ilmu sosial yang banyak digunakan dalam penelitian.
a) Dalam setiap pemilihan umum lembaga-lembaga penelitian dan konsultasi politik melakukan berbagai survei. Pada titik ini dapat diterbitkan sebuah nomor jurnal untuk mereview praktek survei yang dijalankan dalam berbagai penelitian tersebut.
b) Atau koalisi menjadi isu yang hangat saat ini. Maka jurnal dapat terbit dengan suatu rangkaian karangan tentang teori ilmu politik mengenai koalisi dan praktek koalisi dalam politik Indonesia.
c) Karena isu etnisitas merupakan isu yang aktual karena adanya konflik antar-etnik, sebuah nomor dapat diterbitkan khusus tentang etnisitas baik berupa uraian yang berisi pandangan antropologi tentang teori etnisitas maupun uraian ilmu politik tentang bagaimana etnisitas dijadikan alat untuk perjuangan atau dominasi politik, dan uraian sosiologi tentang pembagian kerja dan pembagian sumber daya ekonomi berdasarkan etnisitas.
2. Hubungan jurnal dengan penelitian sosial
Sebuah jurnal dapat memainkan tiga fungsi dalam hubungan dengan penelitian sosial.
a) Dia dapat menjadi tempat penampungan hasil-hasil penelitian yang kemudian diumumkan ke publik
b) Dia dapat menjadi rujukan untuk penelitian lain
c) Dia dapat dan menjadi tempat pengembangan wacana dan diskusi tentang praktek penelitian.
Menurut pengamatan saya, jurnal Masyarakat Indonesia hingga saat ini berperanan baik dalam fungsi pertama, belum dapat dibuktikan perannya dalam fungsi kedua, tetapi belum dan sama sekali belum memainkan peranan dalam fungsi ketiga.
Ini artinya Masyarakat Indonesia berperan dengan baik mengumumkan hasil-hasil penelitian yang memenuhi kriteria penerbitan, mungkin di sana-sini dijadikannya rujukan dalam melakukan penelitian, tetapi belum mengembangkan dirinya menjadi tempat di mana suatu hasil penelitian didiskusikan, diperdebatkan atau difalsifikasi oleh data dan argumen peneliti lain.
Ini merupakan satu kekurangan yang sampai saat ini menyebabkan kurangnya daya tarik jurnal ini, karena hasil-hasil penelitian yang diterbitkan tidak diangkat menjadi bagian dari wacana dan diskusi akademis di antara sesama peneliti. Dengan adanya pengembangan wacana dalam jurnal, para pembaca yang bukan peneliti dapat dibantu untuk mengapresiasi hasil penelitian yang baik, yang kurang baik, dan yang gagal tetapi kebetulan terbit.
Dari pihak lain mutu sebuah jurnal penelitian sangat tergantung dari mutu penelitian sosial yang dijalankan. Karena itu sebuah jurnal yang berhasil dapat diperlakukan sebagai sebuah cermin bagi taraf peneltian yang dicapai dalam suatu komunitas penelitian. Sebuah jurnal penelitian yang bagus hanya mungkin didukung oleh praktek penelitian yang baik dan sebaliknya.
3. Hubungan penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial
Hubungan di antara penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial bersifat hubungan yang memutar dalam suatu lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle).
a) Dari satu sisi keberhasilan suatu penelitian tergantung dari tingkat kecanggilan peralatan ilmu-ilmu sosial yang digunakan, baik peralatan teoretis maupun peralatan metodologis. Dengan lain perkataan penelitian adalah output dari ilmu-ilmu sosial pada tingkat perkembangan tertentu.
b) Dari sisi lainnya pengembangan teori dan metode ilmu-ilmu sosial hanya mungkin dilakukan dalam penelitian dan melalui penelitian. Karena itu penelitian adalah input terpenting untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial. Tingkat kecanggihan dalam teori dan metode ilmu sosial tergantung secara harafiah dari tingkat kecanggihan suatu penelitian.
c) Perlu diberi catatan bahwa hubungan antara teori dan metode ilmu-ilmu sosial dengan penelitian sosial masih turut ditentukan oleh tingkat kecanggihan peneliti sendiri. Data penelitian adalah data yang bisu, yang hanya bisa berbicara kalau diajak bicara oleh seorang peneliti dalam suatu tanya jawab. Data itu akan memberi jawaban pintar kepada pertanyaan yang pintar, dan data yang sama akan memberi jawaban yang dungu kepada pertanyaan yang bodoh.
Selanjutnya hubungan ilmu-ilmu sosial dengan masyarakat Indonesia dapat dilihat dengan dua cara.
a) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan perkembangan dan perubahan masyarakat
b) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan kekuasaan yang mengatur masyarakat itu.
Dalam hubungan dengan relasi teori dengan perkembangan masyarakat, maka teori ilmu-ilmu sosial berfungsi
• menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang terjadi (fungsi eksplanatoris dan fungsi hermeneutis teori)
• merencanakan suatu perubahan sosial dan menggerakkan masyarakat kearah perubahan yang diinginkan (fungsi engineering teori)
• Mengawasi dan mencegah perubahan sosial yang tak direncanakan atau tak diinginkan (fungsi kontrol teori)
Dalam kaitan antara teori dan kekuasaan maka suatu teori dapat berfungsi
• Membenarkan kekuasaan yang ada (teori sebagai legitimasi)
• Mempertanyakan kekuasaan yang ada (teori sebagai kritik)
• Memperbaiki praktek kekuasaan (teori sebagai koreksi)
Dalam hubungan dengan kedua proposisi di atas maka menurut pengamatan saya jurnal Masyarakat Indonesia baru sampai pada taraf menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang berlangsung dan belum banyak menyumbang kepada perencanaan perubahan sosial yang diinginkan atau kepada pengawasan dan pencegahan perubahan-perubahan sosial yang tak dikehendaki.
Demikian pun terhadap kekuasaan jurnal ini berusaha untuk tidak sekedar membenarkan kekuasaan, berusaha melakukan koreksi terhadap praktek kekuasaan, tetapi belum memberi cukup perhatian kepada kritik terhadap kekuasaan.
4. Penelitian, Kebijakan dan Advokasi
Selalu ada hubungan di antara penelitian, kebijakan atau suatu advokasi yang hendak dijalankan. Khususnya di negara-negara yang hendak melaksanakan apa yang dinamakan knowledge-based policy penelitian memainkan peranan yang amat menentukan.
Namun demikian dalam praktek perlu dibedakan dengan jelas tiga jenis pertanyaan yang amat berbeda yaitu
i) Research question
ii) Policy question
iii) Advocacy question
Pertanyaan tentang kebijakan akan menghasilkan usul kebijakan atau policy brief. Pertanyaan tentang advokasi menghasilkan suatu aksi terorganisasi dengan sasaran tertentu. Sedangkan pertanyaan penelitian menghasilkan tambahan pengetahuan tentang suatu keadaan masyarakat.
Hasil sebuah penelitian dapat dijadikan dasar bagi usul kebijakan atau pegangan dalam melakukan advokasi. Akan tetapi penelitian harus dan hanya mungkin dijalankan berdasarkan pertanyaan penelitian.
Perbedaan pokok di antara ketiga pertanyaan tersebut adalah bahwa pertanyaan penelitian bersifat teoretis untuk menjelaskan atau memahami keadaan, sedangkan pertanyaan tentang kebijakan dan advokasi bersifat praktis karena berhubungan dengan keputusan politik yang diambil atau aksi sosial yang dijalankan.
Pertanyaan seperti “bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik Indonesia ” adalah pertanyaan mengenai kebijakan atau advokasi yang harus dijalankan, bukan pertanyaan penelitian. Seorang peneliti yang berpengalaman akan mengubah pertanyaan praktis tersebut menjadi pertanyaan teoretis untuk penelitian seperti misalnya “ada-tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan laki-laki dan kecenderungan patriarkis mereka”. Pertanyaan praktis ada untuk dijalankan, sedangkan hasil penelitian ada untuk diuji atau divalidasi.
Dalam kaitan dengan jurnal MI saya mengusulkan bahwa sekali pun hubungan di antara penelitian dan kebijakan selalu ada (antara lain karena penelitian disorder oleh mereka yang menentukan kebijakan) akan tetapi harus dibedakan dengan jelas sampai di mana sebuah tulisan masih mengembangkan deskripsi dan analisanya berdasarkan penelitian, dan pada titik mana dia mulai beralih kepada rekomendasi untuk kebijakan.
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan
Sebuah jurnal penelitian seperti Masyarakat Indonesia selalu tergantung kepada praktek penelitian yang dilakukan, sedangkan praktek penelitian akan sangat tergantung pada peneliti menyangkut dua hal yaitu
a) Kemampuannya secara teknis untuk menjalankan suatu penelitian
b) Minat, motivasi, dan preferensi seorang peneliti secara professional.
c) Integritasnya secara moral
Kemampuan teknis seorang peneliti tak perlu banyak diuraikan di sini karena berhubung dengan penguasaan atas teori dan metode yang sudah berulang kali dikemukakan.
Sejauh menyangkut minat, motivasi dan preferensi peneliti ada baiknya di sini diuraikan secara singkat suatu pembagian kerja intelektual.
• Tugas seorang peneliti adalah memproduksi pengetahuan ilmiah
• Tugas seorang ilmuwan adalah menjaga agar pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian dan akan digunakan oleh umum adalah pengetahuan yang valid dan bukan pengetahuan yang keliru atau pengetahuan yang salah karena didistorsikan.
• Tugas seorang teknikus adalah memberi nilai pakai (use value) kepada pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar memberi manfaat kepada orang banyak dalam penerapannya.
• Tugas seorang professional adalah memberi nilai tukar (exchange value) dari pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar dapat memberi profit dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan.
• Tugas seorang intelektual adalah mengubah atau menerjemahkan pengetahuan yang dihasilkan menjadi nilai=nilai moral yang dapat menjadi pegangan umum.
Di pihak lain kita bisa berbicara juga tentang pembagian kerja politis antara tugas politisi dan tugas seorang teknokrat.
• Tugas seorang politikus adalah memproduksi kekuasaan melalui dukungan politik yang dapat dikerahkannya. Legitimasinya ditentukan oleh luasnya konstituensi dia
• Tugas seorang teknokrat adalah memproduksi kekuasaan bukan melalui dukungan politik tetapi dengan menerjemahkan keahlian dan pengetahuannya menjadi kekuasaan. Legitimasinya ditentukan oleh kesesuaian antara tingkat keahlian yang dia miliki dan kepentingan politik yang memerlukan keahlian tersebut.
Dalam soal legitimasi sebaiknya ditekankan di sini bahwa politisi memerlukan legitimacy by the people berupa dukungan orang banyak, sedangkan seorang peneliti dan ilmuwan memiliki legitimacy by peers yaitu pengakuan yang diberikan oleh komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Dalam praktek ini artinya, popularitas bukanlah bukti keberhasilan seorang peneliti atau seorang ilmuwan karena itu hanya berhubungan dengan recognition by the people, yang bisa amat penting bagi seorang politikus atau seorang artis tetapi tidak ada artinya bagi seorang peneliti atau seorang ilmuwan.
Yang dibutuhkan oleh peneliti dan ilmuwan bukanlah popularitas tetapi reputasi yaitu recognition by peers berupa pengakuan anggota komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Sebagai formula umum bisa dikatakan bahwa semakin seorang peneliti tergoda oleh popularitas maka semakin dia terjebak ke dalam godaan memproduksi kekuasaan tetapi bukan memproduksi pengetahuan yang menjadi tugasnya.
Kesalah-pahaman umum bahwa kualifikasi seorang peneliti ditentukan oleh tingkat popularitas harus diterobos dengan berani oleh para peneliti sendiri.
6. Context of Discovery & Context of Justification
Ilmu pengetahuan berkembang karena adanya penemuan berupa pengetahuan baru, teori baru dan metode baru. Pada titik itu ilmu berkembang kalau ada imajinasi dan kreativitas para ilmuwan dan para peneliti.
Di lain pihak pengetahuan yang dihasilkan untuk menjadi pengetahuan ilmiah harus divalidasikan, yaitu harus diuji berdasarkan metode pengujian untuk menetapkan apakah pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang valid, yang bisa ditawarkan kepada publik untuk digunakan.
Dalam epistemologi modern kedua segi pengembangan ilmu tersebut dibedakan dalam istilah heuristika sebagai bidang ilmu yang menggarap kreativitas ilmiah, dan metodologi yang menjaga validitas ilmiah.
Dalam hubungan dengan jurnal Masyarakat Indonesia saya ingin menghimbau agar jurnal ini memberi tempat yang seimbang kepada kedua segi pengembangan ilmu tersebut yaitu kreativitas ilmiah dan validitas ilmiah.
Hubungan di antara kedua kepentingan itu seringkali bertolak belakang. Karena heuristika memperlakukan ilmu sebagai suatu seni atau art yang menuntut kebebasan dan keleluasaan sebesar-besarnya untuk seorang ilmuwan atau peneliti.
Sebaliknya dalam metodologi ilmu diperlakukan sebagai sebuah disiplin dengan peraturan-peraturan yang ketat yang harus ditaati oleh setiap peneliti yang bertanggungjawab.
Kedua bidang itu harus didorong secara bersamaan karena penemuan teori dan metode baru dalam ilmu sosial memerlukan kemampuan heuristik yang tinggi, yang pada gilirannya harus diuji kembali validitasnya berdasarkan metode pengujian yang ditetapkan dalam metodologi. (IK)
Ignas Kleden
I. ENAM ISU YANG AKAN DIBAHAS
1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah Jurnal Penelitian sosial (termasuk ekonomi, politik dan budaya).
2. Hubungan Jurnal dengan penelitian sosial
3. Hubungan Penelitian dengan Perkembangan Ilmu-Ilmu sosial
4. Penelitian, kebijakan dan advokasi
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan
6. Context of discovery dan context of justification
II. URAIAN
1. Masyarakat Indonesia adalah sebuah jurnal penelitian sosial.
Sifat ini sudah memberi tiga batasan untuk pemilihan dan penerimaan tulisan yaitu
a) Tulisan haruslah bersifat research paper dan bukan policy paper atau esai bebas.
b) Tulisan haruslah membahas masalah-masalah masyarakat Indonesia dan bukan masalah di negeri lain.
c) Tulisan haruslah mencerminkan penerapan atau pengujian terhadap sebuah teori atau sebuah metode ilmu sosial
Sebagai jurnal penelitian sosial maka tema-tema tulisan mencakup bidang yang luas mencakup bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dilihat dengan cara itu maka jurnal ini dapat mengatur nomor-nomor penerbitan
• Berdasarkan disiplin ilmu-ilmu sosial (nomor ekonomi, sosial, politik, budaya), seperti
a) hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengembangan sektor riil dan penyerapan tenaga kerja dalam ekonomi,
b) atau hubungan antara pimpinan politik, lembaga politik, dan sistem politik dalam politik,
c) atau pembagian kerja seksual, patriarki dan partisipasi perempuan dalam kesempatan kerja untuk bidang sosial,
d) dan ada tidaknya pengaruh gaya hidup perkotaan terhadap persepsi anak-anak SD tentang nilai moral atau nilai estetik untuk bidang budaya.
• Berdasarkan sebuah isu yang dibahas seperti migrasi, kependudukan, korupsi, atau bencana alam, yang dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian ada studi ekonomi tentang migrasi, studi sosiologi tentang migrasi, studi politik tentang migrasi dan studi budaya tentang migrasi. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap isu-isu lain yang dipilih.
• Pada tingkat yang lebih tinggi dapat diterbitkan nomor yang berisikan peninjauan kembali terhadap metode dan teori-teori ilmu sosial yang banyak digunakan dalam penelitian.
a) Dalam setiap pemilihan umum lembaga-lembaga penelitian dan konsultasi politik melakukan berbagai survei. Pada titik ini dapat diterbitkan sebuah nomor jurnal untuk mereview praktek survei yang dijalankan dalam berbagai penelitian tersebut.
b) Atau koalisi menjadi isu yang hangat saat ini. Maka jurnal dapat terbit dengan suatu rangkaian karangan tentang teori ilmu politik mengenai koalisi dan praktek koalisi dalam politik Indonesia.
c) Karena isu etnisitas merupakan isu yang aktual karena adanya konflik antar-etnik, sebuah nomor dapat diterbitkan khusus tentang etnisitas baik berupa uraian yang berisi pandangan antropologi tentang teori etnisitas maupun uraian ilmu politik tentang bagaimana etnisitas dijadikan alat untuk perjuangan atau dominasi politik, dan uraian sosiologi tentang pembagian kerja dan pembagian sumber daya ekonomi berdasarkan etnisitas.
2. Hubungan jurnal dengan penelitian sosial
Sebuah jurnal dapat memainkan tiga fungsi dalam hubungan dengan penelitian sosial.
a) Dia dapat menjadi tempat penampungan hasil-hasil penelitian yang kemudian diumumkan ke publik
b) Dia dapat menjadi rujukan untuk penelitian lain
c) Dia dapat dan menjadi tempat pengembangan wacana dan diskusi tentang praktek penelitian.
Menurut pengamatan saya, jurnal Masyarakat Indonesia hingga saat ini berperanan baik dalam fungsi pertama, belum dapat dibuktikan perannya dalam fungsi kedua, tetapi belum dan sama sekali belum memainkan peranan dalam fungsi ketiga.
Ini artinya Masyarakat Indonesia berperan dengan baik mengumumkan hasil-hasil penelitian yang memenuhi kriteria penerbitan, mungkin di sana-sini dijadikannya rujukan dalam melakukan penelitian, tetapi belum mengembangkan dirinya menjadi tempat di mana suatu hasil penelitian didiskusikan, diperdebatkan atau difalsifikasi oleh data dan argumen peneliti lain.
Ini merupakan satu kekurangan yang sampai saat ini menyebabkan kurangnya daya tarik jurnal ini, karena hasil-hasil penelitian yang diterbitkan tidak diangkat menjadi bagian dari wacana dan diskusi akademis di antara sesama peneliti. Dengan adanya pengembangan wacana dalam jurnal, para pembaca yang bukan peneliti dapat dibantu untuk mengapresiasi hasil penelitian yang baik, yang kurang baik, dan yang gagal tetapi kebetulan terbit.
Dari pihak lain mutu sebuah jurnal penelitian sangat tergantung dari mutu penelitian sosial yang dijalankan. Karena itu sebuah jurnal yang berhasil dapat diperlakukan sebagai sebuah cermin bagi taraf peneltian yang dicapai dalam suatu komunitas penelitian. Sebuah jurnal penelitian yang bagus hanya mungkin didukung oleh praktek penelitian yang baik dan sebaliknya.
3. Hubungan penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial
Hubungan di antara penelitian sosial dan perkembangan ilmu-ilmu sosial bersifat hubungan yang memutar dalam suatu lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle).
a) Dari satu sisi keberhasilan suatu penelitian tergantung dari tingkat kecanggilan peralatan ilmu-ilmu sosial yang digunakan, baik peralatan teoretis maupun peralatan metodologis. Dengan lain perkataan penelitian adalah output dari ilmu-ilmu sosial pada tingkat perkembangan tertentu.
b) Dari sisi lainnya pengembangan teori dan metode ilmu-ilmu sosial hanya mungkin dilakukan dalam penelitian dan melalui penelitian. Karena itu penelitian adalah input terpenting untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial. Tingkat kecanggihan dalam teori dan metode ilmu sosial tergantung secara harafiah dari tingkat kecanggihan suatu penelitian.
c) Perlu diberi catatan bahwa hubungan antara teori dan metode ilmu-ilmu sosial dengan penelitian sosial masih turut ditentukan oleh tingkat kecanggihan peneliti sendiri. Data penelitian adalah data yang bisu, yang hanya bisa berbicara kalau diajak bicara oleh seorang peneliti dalam suatu tanya jawab. Data itu akan memberi jawaban pintar kepada pertanyaan yang pintar, dan data yang sama akan memberi jawaban yang dungu kepada pertanyaan yang bodoh.
Selanjutnya hubungan ilmu-ilmu sosial dengan masyarakat Indonesia dapat dilihat dengan dua cara.
a) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan perkembangan dan perubahan masyarakat
b) Hubungan antara sebuah teori ilmu sosial dengan kekuasaan yang mengatur masyarakat itu.
Dalam hubungan dengan relasi teori dengan perkembangan masyarakat, maka teori ilmu-ilmu sosial berfungsi
• menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang terjadi (fungsi eksplanatoris dan fungsi hermeneutis teori)
• merencanakan suatu perubahan sosial dan menggerakkan masyarakat kearah perubahan yang diinginkan (fungsi engineering teori)
• Mengawasi dan mencegah perubahan sosial yang tak direncanakan atau tak diinginkan (fungsi kontrol teori)
Dalam kaitan antara teori dan kekuasaan maka suatu teori dapat berfungsi
• Membenarkan kekuasaan yang ada (teori sebagai legitimasi)
• Mempertanyakan kekuasaan yang ada (teori sebagai kritik)
• Memperbaiki praktek kekuasaan (teori sebagai koreksi)
Dalam hubungan dengan kedua proposisi di atas maka menurut pengamatan saya jurnal Masyarakat Indonesia baru sampai pada taraf menjelaskan dan memahami perkembangan dan perubahan sosial yang sedang berlangsung dan belum banyak menyumbang kepada perencanaan perubahan sosial yang diinginkan atau kepada pengawasan dan pencegahan perubahan-perubahan sosial yang tak dikehendaki.
Demikian pun terhadap kekuasaan jurnal ini berusaha untuk tidak sekedar membenarkan kekuasaan, berusaha melakukan koreksi terhadap praktek kekuasaan, tetapi belum memberi cukup perhatian kepada kritik terhadap kekuasaan.
4. Penelitian, Kebijakan dan Advokasi
Selalu ada hubungan di antara penelitian, kebijakan atau suatu advokasi yang hendak dijalankan. Khususnya di negara-negara yang hendak melaksanakan apa yang dinamakan knowledge-based policy penelitian memainkan peranan yang amat menentukan.
Namun demikian dalam praktek perlu dibedakan dengan jelas tiga jenis pertanyaan yang amat berbeda yaitu
i) Research question
ii) Policy question
iii) Advocacy question
Pertanyaan tentang kebijakan akan menghasilkan usul kebijakan atau policy brief. Pertanyaan tentang advokasi menghasilkan suatu aksi terorganisasi dengan sasaran tertentu. Sedangkan pertanyaan penelitian menghasilkan tambahan pengetahuan tentang suatu keadaan masyarakat.
Hasil sebuah penelitian dapat dijadikan dasar bagi usul kebijakan atau pegangan dalam melakukan advokasi. Akan tetapi penelitian harus dan hanya mungkin dijalankan berdasarkan pertanyaan penelitian.
Perbedaan pokok di antara ketiga pertanyaan tersebut adalah bahwa pertanyaan penelitian bersifat teoretis untuk menjelaskan atau memahami keadaan, sedangkan pertanyaan tentang kebijakan dan advokasi bersifat praktis karena berhubungan dengan keputusan politik yang diambil atau aksi sosial yang dijalankan.
Pertanyaan seperti “bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik Indonesia ” adalah pertanyaan mengenai kebijakan atau advokasi yang harus dijalankan, bukan pertanyaan penelitian. Seorang peneliti yang berpengalaman akan mengubah pertanyaan praktis tersebut menjadi pertanyaan teoretis untuk penelitian seperti misalnya “ada-tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan laki-laki dan kecenderungan patriarkis mereka”. Pertanyaan praktis ada untuk dijalankan, sedangkan hasil penelitian ada untuk diuji atau divalidasi.
Dalam kaitan dengan jurnal MI saya mengusulkan bahwa sekali pun hubungan di antara penelitian dan kebijakan selalu ada (antara lain karena penelitian disorder oleh mereka yang menentukan kebijakan) akan tetapi harus dibedakan dengan jelas sampai di mana sebuah tulisan masih mengembangkan deskripsi dan analisanya berdasarkan penelitian, dan pada titik mana dia mulai beralih kepada rekomendasi untuk kebijakan.
5. Produksi Pengetahuan dan Produksi Kekuasaan
Sebuah jurnal penelitian seperti Masyarakat Indonesia selalu tergantung kepada praktek penelitian yang dilakukan, sedangkan praktek penelitian akan sangat tergantung pada peneliti menyangkut dua hal yaitu
a) Kemampuannya secara teknis untuk menjalankan suatu penelitian
b) Minat, motivasi, dan preferensi seorang peneliti secara professional.
c) Integritasnya secara moral
Kemampuan teknis seorang peneliti tak perlu banyak diuraikan di sini karena berhubung dengan penguasaan atas teori dan metode yang sudah berulang kali dikemukakan.
Sejauh menyangkut minat, motivasi dan preferensi peneliti ada baiknya di sini diuraikan secara singkat suatu pembagian kerja intelektual.
• Tugas seorang peneliti adalah memproduksi pengetahuan ilmiah
• Tugas seorang ilmuwan adalah menjaga agar pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian dan akan digunakan oleh umum adalah pengetahuan yang valid dan bukan pengetahuan yang keliru atau pengetahuan yang salah karena didistorsikan.
• Tugas seorang teknikus adalah memberi nilai pakai (use value) kepada pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar memberi manfaat kepada orang banyak dalam penerapannya.
• Tugas seorang professional adalah memberi nilai tukar (exchange value) dari pengetahuan yang dihasilkan dalam penelitian agar dapat memberi profit dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan.
• Tugas seorang intelektual adalah mengubah atau menerjemahkan pengetahuan yang dihasilkan menjadi nilai=nilai moral yang dapat menjadi pegangan umum.
Di pihak lain kita bisa berbicara juga tentang pembagian kerja politis antara tugas politisi dan tugas seorang teknokrat.
• Tugas seorang politikus adalah memproduksi kekuasaan melalui dukungan politik yang dapat dikerahkannya. Legitimasinya ditentukan oleh luasnya konstituensi dia
• Tugas seorang teknokrat adalah memproduksi kekuasaan bukan melalui dukungan politik tetapi dengan menerjemahkan keahlian dan pengetahuannya menjadi kekuasaan. Legitimasinya ditentukan oleh kesesuaian antara tingkat keahlian yang dia miliki dan kepentingan politik yang memerlukan keahlian tersebut.
Dalam soal legitimasi sebaiknya ditekankan di sini bahwa politisi memerlukan legitimacy by the people berupa dukungan orang banyak, sedangkan seorang peneliti dan ilmuwan memiliki legitimacy by peers yaitu pengakuan yang diberikan oleh komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Dalam praktek ini artinya, popularitas bukanlah bukti keberhasilan seorang peneliti atau seorang ilmuwan karena itu hanya berhubungan dengan recognition by the people, yang bisa amat penting bagi seorang politikus atau seorang artis tetapi tidak ada artinya bagi seorang peneliti atau seorang ilmuwan.
Yang dibutuhkan oleh peneliti dan ilmuwan bukanlah popularitas tetapi reputasi yaitu recognition by peers berupa pengakuan anggota komunitas peneliti dan komunitas ilmiah.
Sebagai formula umum bisa dikatakan bahwa semakin seorang peneliti tergoda oleh popularitas maka semakin dia terjebak ke dalam godaan memproduksi kekuasaan tetapi bukan memproduksi pengetahuan yang menjadi tugasnya.
Kesalah-pahaman umum bahwa kualifikasi seorang peneliti ditentukan oleh tingkat popularitas harus diterobos dengan berani oleh para peneliti sendiri.
6. Context of Discovery & Context of Justification
Ilmu pengetahuan berkembang karena adanya penemuan berupa pengetahuan baru, teori baru dan metode baru. Pada titik itu ilmu berkembang kalau ada imajinasi dan kreativitas para ilmuwan dan para peneliti.
Di lain pihak pengetahuan yang dihasilkan untuk menjadi pengetahuan ilmiah harus divalidasikan, yaitu harus diuji berdasarkan metode pengujian untuk menetapkan apakah pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang valid, yang bisa ditawarkan kepada publik untuk digunakan.
Dalam epistemologi modern kedua segi pengembangan ilmu tersebut dibedakan dalam istilah heuristika sebagai bidang ilmu yang menggarap kreativitas ilmiah, dan metodologi yang menjaga validitas ilmiah.
Dalam hubungan dengan jurnal Masyarakat Indonesia saya ingin menghimbau agar jurnal ini memberi tempat yang seimbang kepada kedua segi pengembangan ilmu tersebut yaitu kreativitas ilmiah dan validitas ilmiah.
Hubungan di antara kedua kepentingan itu seringkali bertolak belakang. Karena heuristika memperlakukan ilmu sebagai suatu seni atau art yang menuntut kebebasan dan keleluasaan sebesar-besarnya untuk seorang ilmuwan atau peneliti.
Sebaliknya dalam metodologi ilmu diperlakukan sebagai sebuah disiplin dengan peraturan-peraturan yang ketat yang harus ditaati oleh setiap peneliti yang bertanggungjawab.
Kedua bidang itu harus didorong secara bersamaan karena penemuan teori dan metode baru dalam ilmu sosial memerlukan kemampuan heuristik yang tinggi, yang pada gilirannya harus diuji kembali validitasnya berdasarkan metode pengujian yang ditetapkan dalam metodologi. (IK)
ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL
ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL
Nur Syam
Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Pendahuluan
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia.
Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain. Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.
Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin, yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew, tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam, yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti. Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.
Islam Pesisir versus Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup, upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi. Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.
Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan. Dewasa ini, yang terjadi hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.
Nur Syam
Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Pendahuluan
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia.
Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain. Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.
Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin, yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew, tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam, yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti. Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.
Islam Pesisir versus Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup, upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi. Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.
Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan. Dewasa ini, yang terjadi hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.
Wednesday 29 September 2010
VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES: RUMOURS AND REALITIES OF MARRIAGE PRACTICES IN CONTEMPORARY SAMIN SOCIETY (A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA)
From the mid – 19th century the Samin people have made a contribution to resistance to Dutch colonial rule in rural Java by their non-violence movement and passive resistance (lijdelijk verset). History also notes that they have a unique culture and system of values which reflect their own local wisdom. However, many negative rumours have become widespread regarding this community. This book explores the marriage practices in Samin society and finds out how Samin society gives meaning to these marriage practices. It examines whether the practice of ‘virginity tests’ and ‘stray marriages’ exist in contemporary Samin society. To know the actual marriage practices of the Samin Klopoduwur, the author during his research used a feminist ethnography approach. Reading this book, the author invites us to enter this community and to look up many interesting aspects, such as their cultures, beliefs, customs and local wisdom.
Personal name: Rohman, Arif, author.
Main title: Virginity tests & stray marriages / Arif Rohman.
Published/Produced: Pasar Minggu, Jakarta : Jaspro Press, 2012.
Notes:
Originally presented as the author's thesis (M.A.)--University of New England, 2009.
"Rumours and realities of marriage practices in contemporary Samin society, a study of the Samin people of Klopoduwur, Blora, Central Java"--Cover.
Includes bibliographical references (pages [89]-96).
In English.
From the mid – 19th century the Samin people have made a contribution to resistance to Dutch colonial rule in rural Java by their non-violence movement and passive resistance (lijdelijk verset). History also notes that they have a unique culture and system of values which reflect their own local wisdom. However, many negative rumours have become widespread regarding this community. This book explores the marriage practices in Samin society and finds out how Samin society gives meaning to these marriage practices. It examines whether the practice of ‘virginity tests’ and ‘stray marriages’ exist in contemporary Samin society. To know the actual marriage practices of the Samin Klopoduwur, the author during his research used a feminist ethnography approach. Reading this book, the author invites us to enter this community and to look up many interesting aspects, such as their cultures, beliefs, customs and local wisdom.
Personal name: Rohman, Arif, author.
Main title: Virginity tests & stray marriages / Arif Rohman.
Published/Produced: Pasar Minggu, Jakarta : Jaspro Press, 2012.
Notes:
Originally presented as the author's thesis (M.A.)--University of New England, 2009.
"Rumours and realities of marriage practices in contemporary Samin society, a study of the Samin people of Klopoduwur, Blora, Central Java"--Cover.
Includes bibliographical references (pages [89]-96).
In English.
Personal name: Rohman, Arif, author.
Main title: Virginity tests & stray marriages / Arif Rohman.
Published/Produced: Pasar Minggu, Jakarta : Jaspro Press, 2012.
Notes:
Originally presented as the author's thesis (M.A.)--University of New England, 2009.
"Rumours and realities of marriage practices in contemporary Samin society, a study of the Samin people of Klopoduwur, Blora, Central Java"--Cover.
Includes bibliographical references (pages [89]-96).
In English.
Wednesday 15 September 2010
Semoga Gw Yang Salah
Semoga Gw Yang Salah
Arif Rohman
Once again, a good paper. This essay contained good evidence of thinking logically through the issues and reading appropriate texts. A good grasp of the issues. The essay has a straightforward structure, which is easy to follow, presents an argument, has a clear writing style, and shows, well-developed analytical skills. Your paper does reflect considerable thought and effort. You have provided a coherent response to the topic and your ideas and opinions were presented in a clear and logical fashion. Analytical skills are evident. You are a genious. Well done.
Baru kali ini seumur-umur gw dipuji sama dosen. Bule lagi.. Pendidikan di Barat memang benar-benar terkesan menghargai sebuah usaha dan pemikiran studentnya. Ada semacam semangat egaliter, dan kebersamaan di dalamnya.. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mengarah ke sana.. Gw jadi teringat cerita teman yang sekolah di ITB drop-out, tapi disekolahin professornya di Amerika, ehh.. Malah lulus Cum-Laude. Gw jadi bertanya-tanya apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita? Apakah memberikan penghargaan untuk student adalah sesuatu yang sangat mahal? Seumur-umur jujur gw kagak pernah nerima feed-back dari dosen atas tulisan-tulisan yang gw produce. Tahu-tahu nilai sudah keluar.. Jujur gw gembira, tapi itu tidak membuat gw bahagia. Gw sempat berpikir semoga tulisan-tulisan yang dulu gw tulis, ga dibuang ke tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Dan semoga tulisan-tulisan itu benar-benar dibaca dosen-dosen dan dikritisi secara ilmiah. Kalau tidak, pantaslah perkembangan pendidikan di Indonesia disalip oleh negara-negara tetangga sebelah. Menurut gw, sekolah yang baik adalah sekolah yang benar-benar mampu meningkatkan potensi para studentnya, mengukur tingkat pemahaman mahasiswanya, menunjukkan kesalahan studentnya dalam berpikir ilmiah dengan pendekatan yang membangun, mencetak budaya diskusi ilmiah, dan tak kalah pentingnya yaitu memberikan sentuhan personal kepada studentnya dalam situasi khusus. Ironisnya, saat ini, gw merasa 'belum' melihat itu. Tapi, semoga penilaian gw lah yang salah.. Bukankah di negeri yang 'ramah' ini ngomong jujur malah dianggap aneh dan bila perlu dihukum beramai-ramai? Bukankah ngomong jujur di negara ini sudah dianggap sebagai pendosa? Memang, dimanapun pendekatan penghukuman terasa lebih mudah daripada repot-repot mengurusi suatu perbaikan yang seringkali njlimet? Tapi bukankah itu yang harus dilakukan untuk sebuah kemajuan? Benar, gw seringkali iri melihat para journalists dan sastrawan. Bagi gw, mereka adalah pendekar-pendekar demokrasi. Walaupun kadang ada juga dari mereka yang melacurkan informasi. Tapi setidaknya, sebagian besar mereka, memperjuangkan kebebasan dengan torehan tinta dan puisi-puisi mereka. Jujur, gw sungguh kagum.. Kembali ke masalah kritik dalam pendidikan. Gw selalu ngomong dari apa yang gw lihat dan apa yang gw rasakan. Dan bisa jadi penilaian gw salah. Dan gw sudah menjelaskan berkali-kali sampai mulut gw berbusa-busa (bc. sampai mau muntah) bahwa pendapat gw, tidak lebih hanyalah sebuah penilaian subyektif. Jika ada yang merasa berseberangan dan tidak senang, itu hak mereka, dan bukankah itu hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi? Jika gw memang salah, apakah kemudian gw harus menjadi 'sais kereta kuda untuk membuat semua orang yang berseberangan dengan gw menjadi senang dan berbahagia?'. Bukankah manusia diciptakan tuhan dengan segala kesempurnaan dan keunikannya? Bukankah kita bisa mengendarai seekor kuda dari puncak gunung menuju ke sungai, tapi kita tidak bisa memaksa kuda tersebut untuk minum air sungai itu? Bukankah perbedaan justru melambangkan kebhinnekaan yang oleh para founding father kita selalu digadang-gadangkan? Sejarah membuktikan bahwa si penentang norma yang conservative dan orthodox harus lari semisal dari Perancis ke Inggris dan terbang ke Australia ataupun ke Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikirnya? Dan sejarah juga mencatat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah 'syarat perlu' untuk sebuah kehidupan yang progressive dan humanis? Well, gw sudah kehabisan kata.. Condemnation is easier than introspection.. Tapi sekali lagi, semoga penilaian gw yang salah. Dan sekarang ini, jika ada anggur atau air sumur yang bisa membuat gw 'sama dengan orang lain', gw akan dengan senang hati meminumnya. Tapi bukankah itu mengkhianati kodrat penciptaan Tuhan yang maha misterius?? Sigh..!! Dunia memang benar-benar panggung sandiwara, dan gw adalah salah satu korbannya..
Armidale, 30 June 2009.
Menanti-nanti turunnya salju sambil berucap, 'Tulisan untuk seni dan kebebasan memang harus dibayar mahal..'
Arif Rohman
Once again, a good paper. This essay contained good evidence of thinking logically through the issues and reading appropriate texts. A good grasp of the issues. The essay has a straightforward structure, which is easy to follow, presents an argument, has a clear writing style, and shows, well-developed analytical skills. Your paper does reflect considerable thought and effort. You have provided a coherent response to the topic and your ideas and opinions were presented in a clear and logical fashion. Analytical skills are evident. You are a genious. Well done.
Baru kali ini seumur-umur gw dipuji sama dosen. Bule lagi.. Pendidikan di Barat memang benar-benar terkesan menghargai sebuah usaha dan pemikiran studentnya. Ada semacam semangat egaliter, dan kebersamaan di dalamnya.. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mengarah ke sana.. Gw jadi teringat cerita teman yang sekolah di ITB drop-out, tapi disekolahin professornya di Amerika, ehh.. Malah lulus Cum-Laude. Gw jadi bertanya-tanya apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita? Apakah memberikan penghargaan untuk student adalah sesuatu yang sangat mahal? Seumur-umur jujur gw kagak pernah nerima feed-back dari dosen atas tulisan-tulisan yang gw produce. Tahu-tahu nilai sudah keluar.. Jujur gw gembira, tapi itu tidak membuat gw bahagia. Gw sempat berpikir semoga tulisan-tulisan yang dulu gw tulis, ga dibuang ke tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Dan semoga tulisan-tulisan itu benar-benar dibaca dosen-dosen dan dikritisi secara ilmiah. Kalau tidak, pantaslah perkembangan pendidikan di Indonesia disalip oleh negara-negara tetangga sebelah. Menurut gw, sekolah yang baik adalah sekolah yang benar-benar mampu meningkatkan potensi para studentnya, mengukur tingkat pemahaman mahasiswanya, menunjukkan kesalahan studentnya dalam berpikir ilmiah dengan pendekatan yang membangun, mencetak budaya diskusi ilmiah, dan tak kalah pentingnya yaitu memberikan sentuhan personal kepada studentnya dalam situasi khusus. Ironisnya, saat ini, gw merasa 'belum' melihat itu. Tapi, semoga penilaian gw lah yang salah.. Bukankah di negeri yang 'ramah' ini ngomong jujur malah dianggap aneh dan bila perlu dihukum beramai-ramai? Bukankah ngomong jujur di negara ini sudah dianggap sebagai pendosa? Memang, dimanapun pendekatan penghukuman terasa lebih mudah daripada repot-repot mengurusi suatu perbaikan yang seringkali njlimet? Tapi bukankah itu yang harus dilakukan untuk sebuah kemajuan? Benar, gw seringkali iri melihat para journalists dan sastrawan. Bagi gw, mereka adalah pendekar-pendekar demokrasi. Walaupun kadang ada juga dari mereka yang melacurkan informasi. Tapi setidaknya, sebagian besar mereka, memperjuangkan kebebasan dengan torehan tinta dan puisi-puisi mereka. Jujur, gw sungguh kagum.. Kembali ke masalah kritik dalam pendidikan. Gw selalu ngomong dari apa yang gw lihat dan apa yang gw rasakan. Dan bisa jadi penilaian gw salah. Dan gw sudah menjelaskan berkali-kali sampai mulut gw berbusa-busa (bc. sampai mau muntah) bahwa pendapat gw, tidak lebih hanyalah sebuah penilaian subyektif. Jika ada yang merasa berseberangan dan tidak senang, itu hak mereka, dan bukankah itu hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi? Jika gw memang salah, apakah kemudian gw harus menjadi 'sais kereta kuda untuk membuat semua orang yang berseberangan dengan gw menjadi senang dan berbahagia?'. Bukankah manusia diciptakan tuhan dengan segala kesempurnaan dan keunikannya? Bukankah kita bisa mengendarai seekor kuda dari puncak gunung menuju ke sungai, tapi kita tidak bisa memaksa kuda tersebut untuk minum air sungai itu? Bukankah perbedaan justru melambangkan kebhinnekaan yang oleh para founding father kita selalu digadang-gadangkan? Sejarah membuktikan bahwa si penentang norma yang conservative dan orthodox harus lari semisal dari Perancis ke Inggris dan terbang ke Australia ataupun ke Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikirnya? Dan sejarah juga mencatat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah 'syarat perlu' untuk sebuah kehidupan yang progressive dan humanis? Well, gw sudah kehabisan kata.. Condemnation is easier than introspection.. Tapi sekali lagi, semoga penilaian gw yang salah. Dan sekarang ini, jika ada anggur atau air sumur yang bisa membuat gw 'sama dengan orang lain', gw akan dengan senang hati meminumnya. Tapi bukankah itu mengkhianati kodrat penciptaan Tuhan yang maha misterius?? Sigh..!! Dunia memang benar-benar panggung sandiwara, dan gw adalah salah satu korbannya..
Armidale, 30 June 2009.
Menanti-nanti turunnya salju sambil berucap, 'Tulisan untuk seni dan kebebasan memang harus dibayar mahal..'
Subscribe to:
Posts (Atom)