Sunday 20 July 2008

Email Nyasar dari - Gelandangan Masa Kini

Email Nyasar dari - Gelandangan Masa Kini


Ini email nyasar atau memang ditujukan kepada saya, saya tidak tahu... Berikut emailnya :

Suatu kali pernah mendengar nama Parsudi. Dulu sekali. Tidak pernah mengenal beliau secara pribadi. Hanya sepintas lalu. Melalui nara sumber katanya lalu membaca profil beliau dari berbagai sumber, sepertinya saya bisa mengenal setingkat lebih tinggi. Membuat hati ingin berguru padanya. Namun sayang, sudah terlambat. Begitu juga dengan salah satu penulis yang mengupas secara detail beliau (Walau agak sedikit sulit dimengerti. Setidaknya bisa dipahami). Mengamati dari jauh perjalanannya yang panjang. Mundur hitungan hari ke masa lalu, pernah ada yang berkata, "Saya takut, ngeri tinggal di Jakarta". Sudah teraba maksud kalimat singkat, walau tidak jelas. Abstrak apa yang ditakutinya karena terlihat dengan jelas di mata, bahwa si pengucap, akan menjadi sesuatu kelak. Tak terucap. Ada rasa takut mendahului yang maha kuasa. Terlihat dari jauh, sepertinya sedikit demi sedikit sesuatu yang tak ter visualisasikan kala itu, mulai nampak siluetnya. Kecintaannya pada sang bunda, membuat jalannya dipermudah. Dari cara merangkaikan huruf untuk menjadi kata, terjalin menjadi kalimat yang kemudian dikumpul menjadi paragraf. Tampak seperti film yang diputar, jelas wujudnya. "Sesuatu". Orang awam itu dikaruniai kemampuan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Sepertinya, dia tidak menyadarinya. Atau pura2 tidak menyadarinya? Selalu saja sebegitu rendahnya merendahkan diri di depan publik. Kadang terlihat begitu meyakini diri sendiri. Sekarang, nyata di depan mata. Jangan kau pungkiri lagi.




UNTUKMU KEKASIHKU

UNTUKMU KEKASIHKU

Arif Rohman



Malam ini memang sunyi
Tapi aku tak merasa sepi
Karena kamu ada di sini
I love you sweety
Hihihi.....

April 15, 2007




Arif Rohman

Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.


Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies

University of Indonesia
MA Urban Studies

Bandung School of Social Work
BSW Social Work


Email: arif_rohman@hotmail.com

Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).

KEPADA DEWI MALAM

KEPADA DEWI MALAM
Arif Rohman



Malam-malamku terasa sepi
Terselimuti kabut kesendirian
Hanya dipancari cahaya bulan yang separuh
Ataupun kerlip bintang yang sesekali menghilang
Dan dinginnya angin malam yang kian mengusik
Ditambah kesunyian yang selalu membosankan
Inilah aku dewi malam
Sosok yang angkuh dan penuh kesombongan
Tegar berdiri menatap berputarnya masa
Tak tergoyahkan oleh segala terpaan badai
Kokoh menancap dalam prinsip dan cita
Tapi ironisnya rindu akan hangatnya cinta
Jujur kukatakan padamu dewi malamku
Aku takut tak kebagian cinta
Aku malu tak memperoleh cinta
Dan aku khawatir dijauhkan dari cinta
Walau kutahu cinta tak harus dicari
Tapi mungkinkah kan datang sendiri..?

April 15, 2007



Arif Rohman

Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.


Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies

University of Indonesia
MA Urban Studies

Bandung School of Social Work
BSW Social Work


Email: arif_rohman@hotmail.com

Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).

HATI DAN JIWA-JIWA YANG TERTAWA

HATI DAN JIWA-JIWA YANG TERTAWA
Arif Rohman



Air mata, duka dan nestapa terkumpul. Berkeliling tujuh kali diiringi isak tangis. Terhenti oleh keputusasaan berkepanjangan. Dihembuskan oleh rasa kemalangan yang sangat. Menunduk kemudian bersedih. Kepakan sayap pegasus melemah hilang tenaga. "Kenapa harus kuteruskan hidup?", katanya dengan suara parau tak enak didengar. Dunia serasa tak bersahabat. Menghimpit dan membebani. Tak kuat akhirnya jatuh. Tersungkur. Tak ingin bangun.

Dan suara dari surga menyahut dengan lembut : "Telah kami ciptakan diri kalian dari jiwa-jiwa yang bercahaya. Lalu kalian menutupi cahaya-cahaya itu. Buknkah itu justru merugikan dirimu? Padahal kami menciptakan hati dan jiwa-jiwa yang riang penuh tawa..".

April 15, 2007




Arif Rohman

Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.


Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies

University of Indonesia
MA Urban Studies

Bandung School of Social Work
BSW Social Work


Email: arif_rohman@hotmail.com

Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).

PENGADUAN SEORANG IBU

PENGADUAN SEORANG IBU
Arif Rohman



Hari ini musibah datang pada sahaya....
Ombak besar telah mengamuk dan menenggelamkan harta benda sahaya....
Membawa suami dan anak-anak sahaya yang tercinta....
Meninggalkan segudang duka....
Membawa seribu luka-luka....
Perihh....

Anak sahaya umur 22 bulan....
Elok, cantik dan menggembirakan....
Dia adalah buah hati sahaya yang paling sahaya sayang....
Sekarang lenyap....
Hilangg....

Kini sahaya keluarkan sebuah kebenaran....
Tsunami bukan merampasnya dari pelukan sahaya....
Tapi justru saudara yang mengaku satu syariat telah mengambilnya....
Dan mereka enggan mengembalikannya kepada sahaya....
Mereka menyembunyikannya!
Mereka merampas anak sahaya dari pelukan hangat sahaya!
Mereka adalah binatang....
Munafikk!!!!

Tuhan....
Sahaya tidak ingin engkau membalasnya....
Sahaya tidak inginkan Bala dari-Mu kepada dia....
Sahaya hanya mau anak sahaya kembali....
Dia adalah permata sahaya....
Biarlah semuanya engkau ambil....
Asalkan putriku yang elok, cantik dan lucu Engkau kembalikan....
Dan bukankah Engkau maha mendengarkan keluhan hamba-Mu?

Tuhan....
Ampunilah aku yang berani menggugat-Mu....
Yang sahaya harapkan hanyalah sebuah keadilan dari-Mu....
Jika hamba-Mu ini terlalu lancang duh Tuhanku....
Ambillah jiwa sahaya, badan sahaya dan seluruh hidup sahaya....
Dan ijinkanlah sahaya berkumpul kembali bersama suami dan anak-anak sahaya....
Dan sesungguhnya Engkau mendengar segala pengaduan....
Dan ijinkanlah sahaya berbaik sangka pada-Mu....
Amien.....

April 15, 2007




Arif Rohman

Staff of Directorate General for Rehabilitation and Social Services, the Ministry of Social Affairs RI.


Qualifications:
University of New England
MA Women's and Gender Studies

University of Indonesia
MA Urban Studies

Bandung School of Social Work
BSW Social Work


Email: arif_rohman@hotmail.com

Research Experiences:
Rumours and Realities of Marriage Practices in Contemporary Samin Society: A Study of The Samin People of Klopoduwur, Blora, Central Java (2009), Homelessness in Senen Jakarta (2004), The Influence Factors of Children Who Had Committed Murders in Bandung West Java (2000).

ASTHA BRATA

Kerajaan Astina dan Amartha sedang bergejolak. Pasca kemenangan Pandawa atas Kurawa dalam perang maha bharata, negara yang sekarang sudah menjadi satu itu bukannya malah sejahtera tapi justru makin kacau. Kondisi ini diperparah dengan rumor bahwa Semar tidak mau lagi tinggal di istana. Usut punya usut, Bethara Ismaya yang namanya pernah mengguncang langit ini justru lebih suka tinggal di pertapaan Parikesit cucu Arjuna. Ternyata Semar telah jatuh hati padanya. Dalam cintanya, dia berikan sumpahnya. Barang siapa menyakiti Parikesit, sama saja dengan menyakiti dirinya. Dalam sayangnya, dia berikan petuah-petuah bijaknya. Petuah itu adalah Astha Brata (Matahari, Rembulan, Awan, Bintang, Air, Angin, Bumi dan Api). Berikut adalah wejangan Semar pada Parikesit :

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti MATAHARI….?”
“Matahari selalu menerangi dan memberikan cahayanya tanpa kenal lelah. Begitu juga para penguasa. Penguasa yang baik harus selalu mengingat tujuan mereka yaitu mengabdi pada bangsa dan negaranya dengan sungguh-sungguh, tanpa pamrih dan tidak pernah mengeluh...”.

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti REMBULAN….?”.
“Rembulan memancarkan cahayanya di kala bumi sedang gelap gulita. Penguasa yang baik harus bisa memunculkan ide-ide, inovasi dan kreativitas. Mereka dituntut untuk mempunyai visi yang jelas dan membawa pencerahan bagi rakyat yang dipimpinnya…”

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti AWAN….?”
“Awan selalu menakutkan bagi setiap orang karena menandakan akan datangnya hujan yang terkadang disertai badai, hujan, guntur dan lain sebagainya. Padahal datangnya awan belum pasti diikuti hujan. Penguasa yang baik harus bisa berwibawa, trengginas dan disegani oleh rakyatnya. Namun demikian, ketika rakyatnya dalam kesulitan dengan serta merta dia akan menolong secepatnya…”.

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti BINTANG…..?”
“Bintang selalu memberikan petunjuk bagi orang yang kehilangan arah. Karena itulah penguasa yang baik harus bisa menunjukkan dan memperbaiki segala bentuk pemyimpangan-penyimpangan yang membahayakan kepentingan rakyatnya…”.

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti AIR…..?”
“Air merupakan sumber kehidupan. Dia selalu menetes ke bawah. Demikian juga dengan penguasa. Penguasa yang baik harus bisa menyelami dan mendalami kebutuhan rakyatnya. Dia selalu tenang, sehingga segala kebijakan dan tingkah polahnya tidak akan bertentangan dengan kepentingan rakyatnya….”

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti ANGIN…..?”
“Angin selalu berubah-ubah dan bergerak ke arah 5 penjuru. Seorang penguasa yang baik harus bisa bergaul dengan siapa saja dan masuk ke dalam setiap lapisan rakyatnya, sehingga tercipta komunikasi dan silaturahmi untuk menunjang pembangunan yang dilaksanakannya….”

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti BUMI…..?”
“Bumi adalah lambang kesuburan dan kemakmuran. Penguasa yang baik harus menomorsatukan kesejahteraan rakyatnya, sehingga rakyatnya dapat hidup dengan tenteram dan bahagia serta mencintai penguasa yang telah memenuhi kebutuhan hidupnya….”

“Kenapa pemimpin harus bisa seperti API…..?”
“Api sifatnya panas dan bisa membakar apa saja. Penguasa yang baik harus bisa membakar semangat para rakyatnya agar terus maju dan tidak putus asa dalam melakukan pekerjaannya. Dia adalah kehidupan dan sekaligus energi kedua bagi seluruh rakyatnya. Lebih mementingkan penyelesaian masalah daripada memperdebatkannya….”

“Kenapa semua nampaknya berat..? Saya tidak sanggup. Lebih baik badan sahaya dimakan murkanya Bethari Durga, dari pada saya menjadi penguasa yang salah sedikit sahaja, bisa membuat rakyat sahaya menderita. Sahaya tidak sanggup… Sungguh sahaya tidak sanggup…”.

“Karena itulah aku memilihmu, ngger cah bagus… Karena inti dari semua wejanganku adalah mau berkorban. Dari situlah dia akan berusaha bekerja keras siang malam untuk kemakmuran rakyatnya. Kemudian seluruh rakyat akan mendukungnya. Karena tidak bisa disebut penguasa kalau tanpa ada pendukungnya. Kamu terpilih ngger... Kamulah orangnya… Kamulah penguasa itu… Kamulah pemimpin itu…”.

Sejak dipimpin Parikesit, Negara Astina-Amartha makmur sejahtera. Tidak ada keangkaramurkaan. Cerita wayang mengalami kemandegan. Tidak ada cerita lagi yang patut diceritakan. Semua sudah sesuai dengan pakem. Dan itulah akhir dari sebuah pewayangan. Akhir dari sebuah drama kehidupan….

April 15, 2007







Saturday 12 July 2008

Sonnet cxvi - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet cxvi



Let me not to the marriage of true minds
Admit impediments. Love is not love
Which alters when it alteration finds,
Or bends with the remover to remove:
O no, it is an ever-fixed mark,
That looks on tempests and is never shaken;
It is the star to every wandering bark,
Whose worth’s unknown, although his height be taken.
Love’s not Time’s fool, though rosy lips and cheeks
Within his bending sickle’s compass come;
Love alters not with his brief hours and weeks,
But bears it out even to the edge of doom.
If this be error, and upon me proved,
I never writ, nor no man ever loved.

Sonnet cvi - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet cvi




When in the chronicle of wasted time
I see descriptions of the fairest wights,
And beauty making beautiful old rime,
In praise of ladies dead and lovely knights,
Then, in the blazon of sweet beauty’s best,
Of hand, of foot, of lip, of eye, of brow,
I see their antique pen would have express’d
Even such a beauty as you master now.
So all their praises are but prophecies
Of this our time, all you prefiguring;
And, for they look’d but with divining eyes,
They had not skill enough your worth to sing:
For we, which now behold these present days,
Have eyes to wonder, but lack tongues to praise.

Sonnet lxxiii - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet lxxiii



That time of year thou may’st in me behold
When yellow leaves, or none, or few, do hang
Upon those boughs which shake against the cold,
Bare ruined choirs, where late the sweet birds sang.
In me thou see’st the twilight of such day
As after sunset fadeth in the west;
Which by and by black night doth take away,
Death’s second self, that seals up all in rest.
In me thou see’st the glowing of such fire,
As on the death-bed whereon it must expire,
Consumed with that which it was nourished by.
This thou perceivest, which makes thy love more strong,
To love that well which thou must leave ere long.

Sonnet lxv - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet lxv



Since brass, nor stone, nor earth, nor boundless sea,
But sad mortality o’er-sways their power,
How with this rage shall beauty hold a plea,
Whose action is no stronger than a flower?
O, how shall summer’s honey breath hold out
Against the wreckful siege of battering days,
When rocks impregnable are not so stout,
Nor gates of steel so strong, but Time decays?
O fearful meditation! Where, alack,
Shall Time’s best jewel from Time’s chest lie hid?
Or what strong hand can hold his swift foot back ?
Or who his spoil of beauty can forbid?
O, none, unless this miracle have might,
That in black ink my love may still shine bright.

Sonnet xxx - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE


Sonnet xxx






When to the sessions of sweet silent thought
I summon up remembrance of things past,
I sigh the lack of many a thing I sought,
And with old woes new wail my dear time’s waste:
Then can I drown an eye, unused to flow,
For precious friends hid in death’s dateless night,
And weep afresh love’s long-since-cancell’d woe,
And moan the expense of many a vanish’d sight:
Then can I grieve at grievances foregone,
And heavily from woe to woe tell o’er
The sad account of fore-bemoaned moan,
Which I new pay as if not paid before.
But if the while I think on thee, dear friend,
All losses are restored and sorrows end.

Sonnet xxix - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet xxix



When in disgrace with fortune and men’s eyes
I all alone beweep my outcast state,
And trouble deaf heaven with my bootless cries,
And look upon myself, and curse my fate,
Wishing me like to one more rich in hope,
Featured like him, like him with friends possessed,
Desiring this man’s art, and that man’s scope,
With what I most enjoy contented least;
Yet in these thoughts myself almost despising-
Haply I think on thee, and then my state,
Like to the lark at break of day arising
From sullen earth, sings hymns at heaven’s gate;
For thy sweet love rememb’red such wealth brings
That then I scorn to change my state with kings.

Sonnet xviii - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet xviii


Shall I compare thee to a summer’s day?
Thou art more lovely and more temperate:
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer’s lease hath all to short a date:
Sometime too hot the eye of heaven shines,
And often is his gold complexion dimmed;
And every fair from fair sometime declines,
By chance, or nature’s changing course untrimmed;
But thy eternal summer shall not fade,
Nor lose possession of that fair thou ow’st,
Nor shall death brag thou wander’st in his shade,
When in eternal lines to time thou grow’st;
So long as men can breathe, or eyes can see,
So long lives this, and this gives life to thee.

Sonnet xii - William Shakespeare

WILLIAM SHAKESPEARE

Sonnet xii


When I do count the clock that tells the time,
And see the brave day sunk in hideous night;
When I behold the violet past prime,
And sable curls all silvered o’er with white;
When lofty trees I see barren of leaves,
Which erst from heat did canopy the herd,
And summer’s green all girded up in sheaves,
Borne on the bier with white and bristly beard;
Then of thy beauty do I question make,
Than thou among the wastes of time must go,
Since sweets and beauties do themselves forsake
And die as fast as they see others grow;
And nothing ‘gainst Time’s scythe can make defence
Save breed, to brave him when he takes thee hence.

William Shakespeare

Dear Friends,

William Shakespeare is well-known as his creation in arts. In this session I will re-write some of his famous poems to you. You can also participate to send me his poems if I haven't published it yet, but you have. Thank you. Please enjoy it..



Regards,

Arif Rohman

Homelessness Senen

Sunday 6 July 2008

KAMPUNG JAWA TONDANO: RELIGION AND CULTURAL IDENTITY

RELIGION AND CULTURAL IDENTITY

Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D

Universitas Indonesia


Ethnography is writing about people. It is an anthropologist's interpretation or analysis of the culture of the people being studied. The role of the anthropologist as an ethnographer through his ethnography is to present to his readers how ideas, beliefs, things, and events, of both the past and the present, have meaning for the people, in their own terms, as realized in their actions and the particular ways they organize their lives. In other words, an ethnography is a description of how and why the people being studied understand and make sense of their existence as part of the world in which they live. It is an ethnographer's interpretation of the people's interpretations of themselves and their world, rather than merely a description of facts.


Such description can only be brought alive and have meaning for and be understood by the readers through the interpretation of the ethnographer. The interpretation of the ethnographer is critical, as it determines the kind of ethnography being presented to the readers. An anthropologist uses a theoretical model, they build upon the selected available theories or models, as a reference for and a guide to their interpretation. These theoretical models are also used to collect data during the fieldwork and for analysing and interpreting data to be presented in the writing of the ethnography. Thus, a theoretical model determines the kind of approach and field methods employed during the fieldwork. There are two different modes of approach in anthropological study. The first is called the emic approach, in which the culture being studied is treated from the people's perspective, and the second is the etic approach, with the culture being studied barred from the people's interpretations; rather the culture is classified into components and analyzed through the anthropologist's theoretical model.


In Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, Tim Babcock is using the etic approach. This book is an ethnography focusing on the religion and cultural identity of the Javanese of Kampung Jawa in Tondano, North Sulawesi, Indonesia. This was Babcock's Cornell University Ph.D., based on his fieldwork from January 1974 to June 1975. His field research was combined with library research on historical data from archival materials, especially on the founders of Kampung Jawa, in order to reconstruct Kampung Kawa history.


The author describes both ethnographic and historical phenomena with a focus on Islamic religion in its intertwining with a Javanese ethnic identity. He shows the processes of change and persistence of the Javanese culture of Tondano, as expressed in religious rituals and sociocultural identity. The main purpose of this book is to show that the Kampung Jawa community of Tondano is a special or a unique village, due to its unique history, i.e., it is a Muslim Javanese community surrounded by the majority of Christian Minahasans, the natives of the area. Kampung Jawa of Tondano was born in 1830, when the Dutch settled some sixty captured Muslim Javanese fighters of the Jaya War (Perang Diponegoro) in that area. These exiles, who were mostly male warriors, led by Kyai Mojo, their leader in the Java War, were sentenced by their Dutch captors to live there permanently. They married the local Minahasan women, whom they converted to Islam, as well as other women who came and settled in Kampung Jawa Tondano. To this day they maintain their Islamic religion and Javanese culture, especially the life cycle rituals as attributes of their identity as Muslim Javanese, a Javanese of Tondano (Orang Jawa Tondano, or Jaton as they call themselves and are called by others in Minahasa and North Sulawesi).


In his ethnography, Babcock looks at religion as a religious field, rather than as a culture (cf. Clifford Geertz's approach to religion). This religious field, a model developed by Tambiah in studying Thai religion, is constructed based on the researcher's scientific logic combined with impressions of certain significant symbols of the culture being studied. It is basically a sphere of religious activities comprising rituals and the people's participation in such rituals. Through this religious field Babcock constructs ideal types to measure and evaluate the sociocultural processes related to religious activities in order to be able to identify the cultural theme and/or worldview of the Tondano Javanese Muslim. Furthermore, by looking at the Islamic history of the Tondano Javanese, through his etic or outsider approach, he tries to look at the problem of Tradionalist and Reformist Islam, and to look at these two configurations as having different roots and responses to modernity. He concludes that the Tondano Javanese is basically a traditionalist Muslim, and thus, will not be converted to reformist Islam.


Like most anthropologists who use such a model, the author is stuck within his own approach. He sees things and events or phenomena through his model and at the same time he does not see things, events, and phenomena because they are not seen by his model. He sees phenomena as significant as his model sees them, while such phenomena actually are seen as trivia or not significant by the people; and vice versa. Take the example of the inability of this model to identify the real religion of the traditionalist Tondano Javanese. Because the concern of the model is to identify rituals and their componential analysis within the realm of the religious field, the nature of the traditionalist Islam of the Tondano Javanese which is basically the teachings of the Tharekat Sotoriyah, is not well known by Babcock.


Another problem is that of the identification of the Tondano Javanese, which if we follow Babcock's analysis and interpretation, is basically an output of their religion and their descent from Javanese male parents. If one looks at the problems of ethnic group, ethnic identification, and ethnicity as developed by Frederik Barth. ["Introduction", in Ethnic Groups and Boundaries (Boston: Little, Brown, 1969), pp. 9-38], it can be seen that ethnic group or ethnicity emerges out of and within ethnic interaction. Edward M. Bruner's dominant culture hypothesis. ["The Expression of Ethnicity in Indonesia", Urban Anthropology, edited by A. Cohen (London: Tavistock, 1974, A.S.A. Monograph No. 12), pp. 251-80], could have helped in looking at the relationships between the Tondano Javanese and the Minahasans in various spheres of activity and how these affect the ethnicity of the Tondano Javanese. Rather than concentrating so much on the religious field, the author could have considered these models.


Asides from criticism concerning the ethnography of the Tondano Javanese, mentioned above, this book is worthy of mention as one of a few dedicated to the study of the Javanese who for generations have lived outside Java. Such studies inform us of the processes of change and maintenance of Javanese culture and identity, and thus broaden our understanding of such cultural processes, including religion, in the maintenance of Javanese ethnic identification. See also P. Suparlan [The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society (Tempe: Arizona State University, 1995)] on the Javanese in Surinam.


To conclude this review, I would like to mention that one major strength of this book is the elaborate work on the details of the data and the interpretations. This is especially true in respect to Babcock's historical records of the genealogy of the Javanese of Kampung Jawa Tondano. Gadjah Mada University Press should also be praised for making valuable studies such as this available to a domestic Indonesian market.

BEBERAPA ASPEK KEHIDUPAN ORANG ARSO























KOTA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN

KOTA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
DALAM OTONOMI DAERAH

Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D

Universitas Indonesia


Abstrak/Abstract
Kerancuan makna Otonomi Daerah bagi wilayah kabupaten di Indonesia menimbulkan munculnya isyu yang menggolongkan dan membedakan penduduk asli dari penduduk pendatang. Dampak dari diskriminasi ini mencakup bidang-bidang birokrasi, kehidupan sosial, kebudayaan demokrasi dan HAM, dan pembangunan wilayah. Tulisan ini akan membahas permasalahan tersebut di atas dengan melihat bahwa pemberian otonomi daerah atau desentralisasi tersebut ada dalam batas-batas sistem nasional yang menekankan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, demokrasi, kelestarian lingkungan, dan birokrasi modern untuk meniadakan KKN sesuai cita-cita Reformasi.

Misperception of Regional Autonomy by regency in Indonesia has been generating issues that stratified and make the differences between local and migrant. Impact of this discrimination impedes other aspect such as bureaucrat ion, social life, democracy and human rights, and regional development. This paper will discuss about that issues with focus on the regional autonomy and the decentralization were given in national system boundary in order to keep some valuable values from Unity in Diversity, democracy, sustainable environment, and modern bureaucracy for eliminating KKN to achieve Reform goal.

Kata Kunci: sukubangsa, kesukubangsaan, primordial, patrimonial, birokrasi rasional, multikulturalisme





PENDAHULUAN

Konsekwensi dari diberlakukannya Otonomi
Daerah bagi wilayah kabupaten di Indonesia adalah
kerancuan berpikir mengenai makna otonomi daerah.
Kerancuan tersebut yang nampak menonjol adalah
bahwa melalui otonomi daerah atau desentralisasi
seolah-olah pemerintah telah memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada masyarakat kabupaten dan juga
propinsi untuk menentukan nasib sendiri dan mengatur
kehidupan mereka sendiri terlepas dari sistem nasional
Indonesia atau Negara Republik Indonesia. Sehingga
muncul pertanyaan apakah pemberlakuan otonomi
daerah oleh pemerintah Indonesia kepada kabupatenkabupaten
atau sejumlah propinsi itu sama dengan
pemberian restu untuk melakukan tindakan
separatisme (Morell 2002: 13-24).


Konsekwensi lebih lanjut dari kerancuan berpikir
tersebut nampak secara menonjol berkenaan dengan
munculnya isyu yang menggolongkan dan
membedakan penduduk asli dari penduduk pendatang.
Penduduk asli adalah mereka yang tergolong sebagai
anggota sukubangsa asli setempat sedangkan
penduduk pendatang adalah para pendatang dari
berbagai sukubangsa di luar sukubangsa asli serta
keturunan mereka, baik keturunan sukubangsa
pendatang yang tinggal menetap di wilayah tersebut
ataupun mereka yang merupakan hasil kawin silang
dengan anggota sukubangsa asli setempat (Suparlan
2001: 1-12). Isyu asli dan pendatang muncul dalam
berbagai peristiwa nasional maupun lokal, tetapi tidak
pernah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
dari pemerintah dan media massa, walaupun dampak
dari diskriminasi1ini mencakup bidang-bidang birokrasi,
kehidupan sosial, kebudayaan demokrasi dan HAM,
dan pembangunan wilayah yang bersangkutan.


Tulisan ini akan membahas permasalahan
tersebut di atas dengan melihat bahwa pemberian
otonomi daerah atau desentralisasi tersebut ada dalam
batas-batas sistem nasional yang menekankan
pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, demokrasi,
kelestarian lingkungan, dan birokrasi modern untuk
meniadakan KKN sesuai cita-cita Reformasi.


MASYARAKAT INDONESIA YANG MAJEMUK

Dalam berbagai tulisan, antara lain Suparlan
(2000a: 1-13), telah saya tunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society).
Yaitu, sebuah masyarakat negara yang terdiri atas lebih
dari 500 sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem
nasional sebagai sebuah bangsa dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia. Corak dari masyarakat
majemuk ini ditonjolkan sebagai motto dalam lambang
negara Republik Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika,
yang artinya berbeda-beda [sukubangsa] tetapi satu
juga [bangsa Indonesia]. Sukubangsa dan
kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa bukan hanya
pemanis bibir atau lirik lagu-lagu yang dinyanyikan oleh
Rhoma Irama tetapi adalah kenyataan hidup sehari-hari
bagi orang-orang Indonesia. Bangsa Indonesia atau
jatidiri sebagai bangsa Indonesia justru yang pada
masa akhir-akhir ini menjadi samar-samar oleh
berbagai upaya separatisme atau upaya memisahkan
diri dari negara Republik Indonesia, yang telah dan
sedang terjadi di beberapa wilayah propinsi Indonesia.


Upaya-upaya pemisahan diri dari negara
kesatuan Republik Indonesia telah terjadi setelah
kejatuhan pemerintahan presiden Suharto. Upayaupaya
tersebut dapat dilihat sebagai kelanjutan dari
ketidakpuasan dan pemberontakan terselubung kepada
pemerintah Indonesia di bawah presiden Suharto yang
kuat karena bercorak otoriter dan militeristik, yang
meledak dan mencapai kekuatannya pada waktu
pemerintahan presiden Habibie dan Abdurrahman
Wahid setelah kejatuhan pemerintahan presiden
Suharto. Baik secara langsung atau tidak langsung,
salah satu sebab diundangkannya UU No.22 Th.1999
tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 Th.1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat dilihat sebagai
upaya untuk meredam keinginan memisahkan diri dari
berbagai daerah di Indonesia.


Dalam perspektif ini maka keberadaan dan
berfungsinya Otonomi Daerah dapat dilihat sebagai
bagian dari beroperasinya sistem nasional atau
pemerintahan Indonesia, dan sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat yang dikelola oleh
masyarakat daerah atau putra daerah. Permasalahan
yang kritikal dalam pengelolaan Otonomi Daerah
adalah konsep masyarakat daerah atau putra daerah
yang dilepaskan begitu saja pendefinisiannya oleh
pemerintah nasional Indonesia kepada umum dan
masyarakat-masyarakat daerah di Indonesia. Dengan
dilepaskannya pendefinisian putra daerah kepada
masyarakat-masyarakat daerah yang bersangkutan,
maka konsep kesukubangsaan yang ada dalam
kehidupan setempat menjadi menonjol karena
fungsinya yang penting dalam perebutan sumberdaya
sosial, budaya, fisik, dan alam di daerah-daerah yang
bersangkutan. Masalah ini tidak pernah terpikirkan oleh
pemerintah dan bilapun terpikirkan maka tidak pernah
dipikirkan pemecahannya untuk mengantisipasi
dampak-dampak yang diakibatkannya yang dapat
merugikan persatuan dan kesatuan, merugikan
terlaksananya kebudayaan demokrasi, dan berbagai
konflik antar-sukubangsa yang menelan korban jiwa
raga serta harta benda yang tidak terhingga besarnya.
Permasalahan ini akan saya bahas secara bertahap
melalui pembahasan-pembahasan mengenai Propinsi
dan Kabupaten dalam sistem nasional, Kota sebagai
pusat pendominasian wilayahnya, Administrasi kota
dan birokrasinya, dan masyarakat kota beserta
masyarakat kabupatennya yang beranekaragam dalam
kesederajatan.


PROPINSI DAN KABUPATEN DALAM ERA
OTONOMI DAERAH

Sesuai dengan UUD 1945, Indonesia sebagai
sebuah negara kesatuan yang mengikuti azas
desentralisasi telah membagi seluruh wilayah Indonesia
ke dalam daerah-daerah yang masing-masing
merupakan administrasi pemerintahan propinsi. Secara
berjenjang masing-masing propinsi terdiri atas
kabupaten dan kota, dan masing-masing kabupaten
dan kota mempunyai sejumlah kecamatan, dan jenjang
terbawah dari administrasi daerah adalah desa atau
kelurahan. Kewenangan administrasi pemerintahan
yang diberikan kepada propinsi tergolong sebagai
desentralisasi atau dekonsentrasi, sedangkan
kewenangan yang diberikan kepada kabupaten atau
kota tergolong sebagai desentralisasi (Kansil dan Kansil
2001: 10). Hampir seluruh wilayah propinsi di Indonesia
dihuni secara heterogen oleh masyarakat-masyarakat
sukubangsa, kecuali propinsi Jawa Tengah dan Bali.


Secara sukubangsa, masyarakat-masyarakat
yang hidup di propinsi-propinsi tersebut mempunyai
corak komposisi yang berbeda-beda. Di propinsi Jawa
Tengah masyarakat sukubangsa Jawa adalah sembilan
puluh sembilan persen dan dominan; hal yang sama
juga menjadi corak propinsi Bali. Sedangkan di
sejumlah propinsi lainnya, yang heterogen masyarakat
sukubangsanya, ada salah satu masyarakat
sukubangsanya yang dominan tetapi bukan yang
mayoritas, seperti yang terdapat di propinsi-propinsi
Kalimantan; sedangkan di Propinsi Sulawesi Utara dan
Gorontalo dan Minangkabau dan di sejumlah propinsi
lainnya masyarakat sukubangsa yang mayoritas di
masing-masing propinsi tersebut adalah juga yang
dominan.


Klaim yang mendasar dan yang utama yang
memberi legitimasi bagi pendominasian sesuatu
masyarakat sukubangsa di sesuatu propinsi dalam
administrasi pemerintahan propinsi adalah autentisitas
atau keaslian sebagai penduduk propinsi setempat,
klaim legitimasi atas tanah-tanah ulayat yang diakui
secara adat, sejarah politik dari masyarakat-masyarakat
sukubangsa setempat dimana ada satu golongan
sukubangsa yang dominan dalam sejarah politik
tersebut. Berdasarkan klaim tersebut maka dibedakan
antara anggota-anggota masyarakat sukubangsa yang
dominan dari yang minoritas (walaupun jumlahnya
mayoritas), dan antara yang asli dari yang pendatang
atau keturunan pendatang. Penggolongan ini dilakukan
untuk menggolongkan hak-hak atas sumberdaya dan
rezeki yang ada dalam wilayah propinsi tersebut,
dimana mereka yang tergolong sebagai minoritas
(seperti orang-orang Sakai, Hutan, Talang Mamak, Apit,
Laut, yang tergolong sebagai masyarakat terasing atau
masyarakat adat di propinsi Riau) atau para pendatang
dan keturunannya didiskriminasi oleh orang-orang
Melayu yang tergolongan dominan. Hal yang sama
juga terjadi di hampir seluruh propinsi di Indonesia,
kecuali di propinsi DKI Jakarta dan di Kotamadya
Tarakan.


Karena itu tidaklah mengherankan bahwa
sampai dengan sekarang ini banyak masyarakatmasyarakat
sukubangsa dalam propinsi yang
didominasi oleh sesuatu masyarakat sukubangsa
menuntut supaya propinsi tersebut dimekarkan menjadi
dua propinsi atau lebih supaya kelompok-kelompok
sukubangsa minoritas tersebut dapat mempunyai
propinsi sendiri terpisah dari propinsi yang sudah ada.
Tujuan utama dari tuntutan untuk mempunyai propinsi
sendiri bagi masyarakat sukubangsa yang
bersangkutan adalah supaya sumber-sumber daya dan
rezeki jatuh ke tangan mereka sebagai sebuah
kelompok atau masyarakat sukubangsa dan tidak jatuh
kepada kelompok atau masyarakat sukubangsa yang
dominan yang membuat mereka itu menjadi minoritas.
Morell (2002: 15) mencatat bahwa ada 17 kabupaten
dan kota dari sejumlah 24 kabupaten di Sulawesi
Selatan yang masing-masing menuntut untuk menjadi
propinsi tersendiri. Seorang sahabat saya dari
Sambas, Kalimantan Barat, mengatakan bahwa pada
saat ini sedang ada tuntutan kepada Depdagri untuk
mengubah status kabupaten Sambas menjadi propinsi
Sambas yang khusus untuk masyarakat sukubangsa
Melayu. Bayangkan! Begitu pentingnya sukubangsa
dan kesukubangsaan dalam otonomi daerah ini.
Sebuah isyu yang dapat diaktifkan untuk memecah
belah negara kesatuan Republik Indonesia.


Dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno
kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik
pemecah belah kebangsaan dilarang untuk digunakan
dalam partai politik, dalam upayanya untuk membangun
nasionalisme Indonesia. Partai politik sukubangsa
yang terakhir membubarkan diri adalah Partai Daya
Raya pada tahun 1953. Politik presiden Sukarno pada
waktu itu adalah melarang semua kajian atau
pembahasan mengenai sukubangsa dan
kesukubangsaan (Suparlan 1979: 53-55) tetapi
mendukung segala usaha pengungkapan karya-karya
seni sukubangsa dan saling kawin diantara mereka
yang berbeda sukubangsanya dalam upaya melebur
semua sukubangsa yang ada di Indonesia menjadi
sebuah bangsa Indonesia, sebuah politik amalgasi
(amalgation) yang ternyata gagal. Kegagalan politik
amalgasi pada waktu itu disebabkan oleh kurangnya
landasan pemahaman teori mengenai apa itu amalgasi
dan kaitannya dengan konsep sukubangsa dan
kesukubangsaan.


Sukubangsa adalah golongan atau kategori
sosial askriptif yang mengacu pada keturunan dan
tempat asal. Kategori sosial askriptif ini diterima begitu
saja oleh pelaku, tanpa yang bersangkutan dapat
menolaknya, sama halnya dengan kategori sosial
askriptif lainnya yaitu umur dan jenis kelamin atau
gender (Suparlan 2002a). Sebagai golongan sosial
sukubangsa terwujud dalam diri orang-perorang atau
individu dan dalam kelompok (keluarga, komuniti,
masyarakat). Sebuah kelompok sukubangsa hidup
dalam wilayah alam dan fisik yang diklaim sebagai
haknya menurut adat yang berlaku, yang biasanya
dinamakan wilayah hak ulayat dari kelompok
sukubangsa tersebut. Anggota-anggota sukubangsa
dan kelompok-kelompok sukubangsa hidup dari
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam
wilayah hak ulayat atau lingkungan mereka masingmasing.
Masing-masing kelompok sukubangsa
mengembangkan kebudayaan atau pedoman bagi
kehidupan sesuai dengan lingkungan yang mereka
hadapi dan manfaatkan.


Kebudayaan, sebagai pedoman bagi kehidupan
untuk menghadapi dan memanfaatkan lingkungan
beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
hidup mereka sebagai manusia, berisikan
pengetahuan, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai.
Sejak masa kelahiran, anak-anak diajari dan dilatih
mempraktekkan pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai
budayanya, yaitu kebudayaan sukubangsanya. Setiap
anak manusia di bumi ini dijadikan manusia oleh
kebudayaan sukubangsanya, sehingga yang namanya
manusia adalah manusia dengan jatidiri
sukubangsanya atau kesukubangsaannya. Karena itu
kebudayaan sukubangsa dan jatidiri sukubangsa
seringkali digolongkan sebagai bercorak primordial atau
yang utama dan pertama dalam kehidupan manusia.


Orang-orang dari sukubangsa lain akan dilihat
sebagai berbeda karena ciri-ciri fisik, bahasa yang
digunakan, dan tindakan-tindakan yang merupakan
ungkapan-ungkapan kebudayaannya. Dalam
hubungan antar-sukubangsa pengetahuan mengenai
sukubangsa lain akan berupa stereotip atau
pengetahuan yang diyakini kebenarannya tetapi secara
obyektif belum tentu benar yang dijadikan acuan dalam
menghadapi mereka yang tergolong sukubangsa lain,
dan prasangka atau penilaian berdasarkan atas
sangkaan yang belum tentu benar tetapi diyakini
kebenarannya. Adanya stereotip dan prasangka ini
menjadi salah satu faktor utama yang membatasi atau
memisahkan dua kelompok sukubangsa atau lebih,
yang hidup secara bersama dalam sebuah wilayah
administrasi. Stereotip atau prasangka ini memperkuat
kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa dalam
hubungan antar-sukubangsa, yang dengan jelas
memperbedakan antara 'kami' dari 'mereka'.
Perbedaan antara 'kami' dari 'mereka' menghasilkan
kesamaan diantara sesama 'kami', dan kesamaan
diantara 'kami' memudahkan kerjasama dan solidaritas
sosial diantara mereka yang sama sukubangsanya
dalam kompetisi memperebutkan sumber-sumber-daya
dan rezeki. Kondisi seperti inilah yang saya amati
dalam masyarakat-masyarakat daerah yang sekarang
ini hidup dalam suasana administrasi otonomi daerah.
Tanpa disadari muncul jenjang sosial diantara
kelompok-kelompok sukubangsa yang ada setempat,
jenjang sosial ini berkembang dan mantap sebagai
sebuah struktur sosial yang mendefinisikan peranperan
dari mereka yang berbeda sukubangsanya dalam
berbagai interaksi sosial yang berlaku setempat. Dan,
lebih lanjut, muncul dan berkembang stratifikasi sosial
berdasarkan kemampuan ekonomi dari kelompokkelompok
sukubangsa dalam kehidupan masyarakat
setempat.


Proses-proses seperti tersebut di atas juga
berlaku dalam kehidupan masyarakat di wilayahwilayah
kabupaten, yang merupakan satuan-satuan
administrasi di bawah propinsi. Karena, pada masa
sekarang ini wilayah administrasi kabupaten tidak
hanya dihuni oleh sebuah kelompok sukubangsa, tetapi
oleh lebih dari satu sukubangsa. Bahkan daerah
pedesaan yang di masa lampau dihuni secara
homogen oleh sebuah kelompok sukubangsa pada
masa sekarang telah secara heterogen dihuni oleh
sejumlah kelompok sukubangsa. Ini semua disebabkan
oleh berbagai kemudahan komunikasi dan arus
informasi serta kemudahan transportasi dan biayanya
yang relatif terjangkau oleh para pendatang dari
berbagai penjuru tanah air, dan oleh adanya program
transmigrasi dari pemerintah.


Dari konflik antara sukubangsa Madura dan
Melayu dan Dayak di kabupaten Sambas (Suparlan
2000b) konflik-konflik antar-sukubangsa justru bermula
di desa yang kemudian meluas melibatkan desa-desa
lain, yang kemudian berkembang meliputi sebuah
wilayah kecamatan dan meluas melibatkan sejumlah
wilayah kecamatan dalam sebuah wilayah administrasi
kabupaten. Dampak dari konflik-konflik antar
sukubangsa yang terjadi di propinsi Kalimantan Barat,
terutama di kabupaten Sambas adalah bahwa
kabupaten Sambas dimekarkan menjadi kabupaten
Sambas untuk masyarakat sukubangsa Melayu,
kabupaten Bengkayang untuk masyarakat sukubangsa
Dayak. Kota Singkawang yang semula adalah ibukota
kabupaten Sambas, sekarang ini menjadi kotamadya
dengan status otonomi. Penduduk kota Singkawang
yang mayoritas Cina didominasi oleh kelompokkelompok
sukubangsa Melayu yang dalam sejarah kota
Singkawang dan kabupaten Sambas memang
mendominasi kehidupan masyarakat kota tersebut.


KOTA DAN MASYARAKATNYA

Kota adalah sebuah permukiman yang dihuni
secara permanen, yang jelas batas-batas wilayahnya
(Suparlan 1995). Penduduk kota bukan hanya terdiri
atas sebuah kelompok kerabat, klen atau marga, atau
sebuah kelompok sukubangsa yang merupakan
penduduk asli kota setempat. Penduduk kota terdiri
atas keturunan dari penduduk asli setempat dan
penduduk pendatang yang berasal dari berbagai
sukubangsa dan asal daerah di Indonesia beserta
keturunannya, dan penduduk pendatang asal dari
berbagai kebangsaan beserta keturunan mereka.
Semakin besar kotanya semakin beranekaragam asal
sukubangsa dan kebangsaan dari penduduknya,
semakin beraneka-ragam dan kompleks kebudayaan
dari kota tersebut, dan semakin jelas batas-batas kelas
sosial yang membentuk stratifikasi sosial masyarakat
kota tersebut dan semakin memudar berlakunya
jenjang sosial yang berdasarkan atas prestige sosial.


Penduduk kota ditandai oleh jumlahnya yang
besar dan tingkat kepadatannya yang tinggi. Jumlah
penduduk yang besar dapat disebabkan oleh adanya
urbanisasi maupun oleh kelahiran alamiah dari
penduduknya atau oleh kedua sebab tersebut. Kota
dapat menampung jumlah penduduk yang besar karena
perekonomian kota tidak tergantung pada memungut
hasil alam atau mengolah alam yang terbatas
potensinya untuk dieksploitasi, tetapi pada industri dan
pelayanan jasa-jasa. Penduduk kota tidak akan
menganggur selama masih ada kegiatan industri dan
pelayanan jasa-jasa yang memerlukan tenaga mereka.
Karena itu satuan kegiatan ekonomi di daerah
perkotaan berbeda dari satuan kegiatan ekonomi di
daerah pedesaan. Bila di daerah pedesaan satuan
ekonomi ada dalam rumah tangga, maka di daerah
perkotaan satuan ekonomi ada dalam pranata-pranata
(institutions) pelayanan administrasi, sosial, budaya,
ekonomi dan dalam organisasi-organisasi industri dan
bisnis, dan pasar. Sedangkan rumah tangga hanya
berfungsi sebagai satuan konsumen. Sebuah kota
menjadi besar karena adanya dan kompleksnya
pranata-pranata pelayanan, organisasi-organisasi
bisnis, dan pasar. Karena itu di daerah perkotaan,
uang menjadi amat penting dalam kehidupan
warganya. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, tetapi
uang juga menjadi kapital, dan bahkan untuk kota besar
uang adalah komoditi. Tanpa adanya uang yang cukup
dan yang lancar peredarannya untuk tukar-menukar
uang, jasa, dan barang, maka kehidupan di daerah
perkotaan tidak mungkin dapat berjalan dan
berkembang, dan tanpa adanya uang yang cukup untuk
pembiayaan berbagai pranata pelayanan dan industri
serta kegiatan bisnis dan pasar maka kota tersebut
akan mengalami kemunduran dan kematiannya, yang
berdampak bukan hanya pada masyarakat dari kota
yang bersangkutan tetapi juga pada kota-kota dan
desa-desa yang ada di sekelilingnya, yang tercakup
dalam wilayah administrasinya.


Karena itu dari satu segi, sebuah kota dilihat
sebagai bagian dari jaringan politik, administrasi,
perdagangan dan bisnis, dan sosial dan budaya
dengan kota-kota lainnya, dan dari segi lain kota dapat
dilihat sebagai pusat pendominasian atas wilayahwilayah
yang ada di sekelilingnya. Pendominasian
secara administratif, ekonomi dan bisnis, sosial, dan
budaya. Sebuah kota, terutama yang berstatus ibukota
propinsi, kabupaten, atau kecamatan, adalah pusat
pendominasian wilayah administrasinya dan karena itu
menjadi orientasi dari wilayah-wilayah yang berada
dibawah administrasi pemerintahannya. Kota yang
karena kegiatan industri dan pelayanan jasa-jasanya
serta pasarnya berkembang dapat mendominasi
wilayah-wilayah di sekelilingnya melampaui batas-batas
wilayah administrasi pemerintahannya. Kota seperti ini
menjadi pusat orientasi dari wilayah-wilayah di
sekelilingnya dalam hal ekonomi dan bisnis, dan dalam
kebijakan politik dan administrasi berkenaan dengan
bisnis. Semakin besar dan maju kota tersebut semakin
besar dan luas pula cakupan wilayah dominasinya.
Contohnya kota Singapura.


Dalam perspektif otonomi daerah, yang
terutama dilihat adalah kota sebagai pusat
pendominasian administratif wilayah administrasinya.
Dalam otonomi daerah yang coraknya menekankan
pentingnya kesukubangsaan, dan kesukubangsaan
yang menekankan pembedaan antara yang asli dengan
yang bukan asli setempat, yang mendiskriminasikan
mereka yang pendatang dari yang asli terhadap akses
pemilikan, penguasaan, dan pendistribusian sumbersumber
daya, masyarakat daerah perkotaan juga
tergolong dalam mereka yang sukubangsa asli dan
mereka yang tergolong sebagai sukubangsa pendatang
atau tidak asli. Dengan demikian, pranata administrasi
pemerintahan wilayah administratif propinsi, kabupaten,
dan kecamatan, akan dikuasai oleh mereka yang
tergolong sebagai sukubangsa asli.


Walaupun dalam petunjuk yang tercakup dalam
UU No.2 Th.1999 dinyatakan bahwa kepala daerah
harus adil, bijaksana, menjunjung azas demokrasi
tetapi primordialisme sukubangsa dan kesukubangsaan
dalam politik administrasi pemerintahan tidak dapat
dihindari, atau si kepala daerah tersebut akan
dikucilkan dari kelompok sukubangsanya dan dicabut
dukungan solidaritas dari kelompok sukubangsanya
yang dominan diwilayah administrasi pemerintahannya.
Sehingga, sebetulnya petunjuk yang normatif tersebut
hanya menjadi petunjuk saja. Karena itu, yang terjadi
di propinsi-propinsi dan di kabupaten-kabupaten adalah
corak pranata-pranata pelayanan administratif,
ekonomi, sosial, dan budaya yang didominasi oleh
kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa asli
setempat. Inilah sebuah bentuk penguasaan monopoli
dan diskriminatif yang memperoleh legitimasi dari
diadakannya kebijakan otonomi daerah. Melalui
legitimasi kekuasaan yang monopolisitik bagi golongan
sukubangsa asli, maka mereka yang tidak asli tersingkir
dari persaingan untuk jabatan adminsitratif. Sedangkan
jabatan-jabatan administratif yang terbatas dan
berharga tersebut secara eksklusif menjadi ajang
persaingan kelompok-kelompok sukubangsa asli yang
ada dalam masyarakat kota yang bersangkutan.


Bila kita melihat kota adalah pusat
pendominasian atas wilayah administrasinya, dan bila
kita secara terbatas melihat pendominasian kota atas
wilayah administrasinya itu adalah pendominasian
secara administrasi pemerintahan, maka dalam
otonomi daerah seperti sekarang ini pendominasian
tersebut adalah pendominasian secara kesukubangsaan
yang primordial atau patrimonial menurut
Max Weber. Gejala ini juga bertentangan dengan
prinsip demokrasi dan sarat dengan potensi KKN.


Saya akan mulai membahas permasalahan
tersebut di atas dari permasalahan administrasi dan
birokrasi perkotaan. Pembahasan mengenai birokrasi
akan saya acu dari tulisan Weber (1946: 196-294)
dengan tujuan untuk menunjukkan ciri-ciri birokrasi
modern yang anti primordialisme atau patrimonialisme.
Birokrasi adalah sebuah tipe administrasi dimana
administrasi tersebut diatur menurut prinsip-prinsip
impersonal, aturan-aturan tertulis, dan sebuah jenjang
jabatan-jabatan. Dalam birokrasi dengan jelas
dibedakan antara masalah jabatan dari masalah
pribadi, dan posisi-posisi jabatan didasarkan atas
kualifikasi formal yang impersonal. Dengan demikian
yang namanya birokrasi haruslah didasarkan atas
pemikiran rasional, dan karena itu yang namanya
birokrasi adalah bentuk-bentuk hukum yang rasional
mengenai pendominasian yang tergantung pada
perkembangan dari ekonomi uang, pasar bebas,
modifikasi hukum, dan ekspansi dari kekuasaan
administrasi atas wilayahnya. Weber melihat birokrasi
dalam kerangka teori tentang kekuatan, yaitu teori
sehubungan dengan hubungan kekuatan diantara
pejabat-pejabat dalam sesuatu birokrasi dan dengan
kekuatan yang dimiliki oleh birokrasi dalam mengatur
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi serta bisnis
dalam wilayah administrasi yang secara legal menjadi
kewenangan administratifnya.


Dalam penjelasannya lebih lanjut, Weber
menyatakan bahwa model birokrasi modern yang
dikemukakannya adalah sebuah tipe ideal yang
dibedakan dari model birokrasi yang berkembang
dalam masyarakat dan pemerintahan tradisional yang
coraknya patrimonial, yang sarat dengan hubunganhubungan
personal dan kekerabatan, pendiskriminasian
pelayanan berdasarkan atas suka atau tidak suka
terhadap yang dilayani dan atas penggolongan sosial
yang berlaku dalam masyarakatnya. Weber
menyatakan bahwa model birokrasi rasional yang
impersonal dan sesuai ketentuan hukum adalah
responsif terhadap perkembangan ekonomi pasar yang
kapitalistik dan terhadap kehidupan modern karena
birokrasi yang rasional jauh lebih efisien daripada
birokrasi yang patrimonial.


KESIMPULAN

Bila kita perhatikan corak birokrasi yang
dikembangkan dalam administrasi kota-kota di
Indonesia dalam kerangka otonomi daerah, terutama di
ibukota propinsi dan kabupaten serta kecamatan,
secara hipotetis kita akan menyimpulkan bahwa
birokrasi yang berlaku bukanlah birokrasi rasional yang
modern yang antisipatif terhadap ekonomi uang dan
kebebasan pasar, tetapi birokrasi yang patrimonial.
Jadi jangan kaget kalau kehidupan kita bangsa
Indonesia ini semakin terpuruk, secara ekonomi, sosial,
dan budaya. Apakah kondisi birokrasi yang menjadi
corak dari pranata-pranata pelayanan administratif
pemerintahan kota terhadap warga kota dan warga
wilayahnya dapat diperbaiki? Tentu saja dapat.
Asalkan kepala daerah dan pejabat-pejabat yang
menjadi pimpinan administrasi wilayahnya yang
bercokol di kota itu mau memperbaikinya. Yang
mendasar yang harus diperbaiki adalah konsep
kesukubangsaaan dan sukubangsa sebagai landasan
bagi penggolongan masyarakat di wilayahnya,
landasan bagi pemupukan kekuatan dan
penggunaannya sebagai acuan bagi persaingan dan
konflik untuk memperebutkan posisi-posisi publik dan
menguasai sumber-sumber daya dan
pendistribusiannya. Karena penggolongan masyarakat
atas dasar sukubangsa dan kesukubangsaan
menghasilkan diskriminasi, dan ini bertetangan dengan
prinsip demokrasi dan kesamaan hak individual dan
hak komuniti (Suparlan 2001: 1-12).


Mochtar Lubis (1994) menyatakan bahwa
demokrasi sebagai ideologi mencakup prinsip-prinsip
kekuasaan berdasarkan atas persetujuan dari rakyat
yang diperintah, kekuasaan oleh mayoritas yang
dibarengi dengan adanya hak-hak minoritas, prosesproses
hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan
pemerintah secara konstitusional, kemajemukan secara
sosial, budaya, dan ekonomi, dan nilai-nilai toleransi
atas perbedaan-perbedaan. Bila demokrasi dilihat
sebagai ideologi, maka demokrasi tersebut hanya ada
dalam benak kepala kita. Bila demokrasi itu betul-betul
ada dalam kehidupan masyarakat maka demokrasi
menjadi pedoman hidup atau kebudayaan dan terutama
menjadi pedoman etika dan moral dari masyarakat
tersebut dan terserap dalam pranata-pranata yang ada
dalam masyarakat tersebut, termasuk dalam
birokrasinya. Diantara prinsip-prinsip yang ada dalam
pedoman etika dan moral demokrasi yang seharusnya
ada dalam diri orang-perorang dan pranata-pranata
adalah kesetaraan derajat individu, individualisme dan
individualitas, toleran terhadap perbedaan, menghargai
kesederajatan dalam perbedaan, dan meniadakan
jenjang sosial berdasarkan atas ciri-ciri askriptif seperti
gender dan kesukubangsaan. Pemerintahan kota di
Indonesia dalam otonomi daerah belum menerapkan
prinsip-prinsip demokrasi ini melalui berbagai
pranatanya dan terutama melalui birokrasinya. Dengan
demikian, pemerintahan kota dalam otonomi daerah,
secara sadar ataupun tidak sadar telah mendiskriminasi
warga masyarakatnya sendiri ke dalam golongan atau
kategori asli dan tidak asli, dan menciptakan dua
golongan yang berbeda akses-aksesnya terhadap
sumber-sumberdaya dan pendistribusiannya, dan
menciptakan adanya golongan minoritas yang tidak
diperhatikan atau disikriminasi hak-haknya.


Apakah kondisi ini dapat diperbaiki? Tentu saja
dapat. Proses-prosesnya tentu saja tidak harus
revolusioner tetapi secara evolusi atau bertahap
menerapkan ideologi multikulturalisme (multiculturalism),
yang intinya adalah kesederajatan dalam perbedaan,
terutama perbedaan-perbedaan diantara kategorikategori
sosial yang askriptif (Suparlan 2002b: 98-105).



DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T. dan Christine C. Kansil. 2001. Kitab
Undang-Undang Otonomi Daerah 1999-2001.
Jakarta: Pradnya Paramita


Lubis, Mochtar (ed.). 1994. Demokrasi Klasik dan
Modern. Jakarta: Yayasan OBOR


Morell, Gerard. 2002. "Desentralisasi atau Separasi?".
Jurnal Antropologi Indonesia, 68: 13-24


Suparlan, Parsudi. 1979. "Ethnic Groups of Indonesia".
Indonesian Quarterly, 7, 2: 53-75
_____________. 1995. Diktat Antropologi Perkotaan.
Jakarta: Jurusan Antropologi. FISIP-UI
_____________. 2000a. "Masyarakat Majemuk dan
Perawatannya". Jurnal Antropologi Indonesia,
63: 1-13
_____________. 2000b. "Kerusuhan Sambas". Jurnal
Polisi Indonesia, 2: 71-85
_____________. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak
Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk".
Jurnal Antropologi Indionesia, 66: 1-12
____________. 2002a. Diktat Hubungan Antar
Sukubangsa. Jakarta: PTIK
____________. 2002b. "Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural". Jurnal Antropologi Indonesia,
69: 95-105


Weber, Max. 1946. From MaxWeber: Essays in
Sociology. Translated, Edited, and with an
Introduction by H.H.Gerth and C. Wright Mills.
New York: Oxford University Press


1 Seminar Nasional “Urban Management”,
Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana, UI, bekerjasama
dengan Pusat Kajian Wilayah dan Perkotaan, U.I., Jakarta, 2003

Parsudi Suparlan
adalah Pengajar Tetap pada Program Pascasarjana
Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia

Saturday 5 July 2008

KEHIDUPAN EKONOMI ORANG GELANDANGAN DI SENEN

KEHIDUPAN EKONOMI ORANG GELANDANGAN DI SENEN


Akses masyarakat terhadap kegiatan perkotaan yang juga dibahas adalah akses terhadap kegiatan ekonomi perkotaan. Secara khusus, Arif Rohman meneliti tetang kehidupan ekonomi orang gelandangan di Senen, yaitu suatu kajian tentang strategi pengorganisasian ekonomi informal gelandangan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Menurut Arif, gelandangan dapat terus melangsungkan usahanya dalam perdagangan informal karena adanya pengorganisasian dalam perdagangan informal dan kemampuannya dalam menciptakan pola hubungan sosial yang mendukung usaha mereka. Arif juga menemukan jiwa enterpreneur yang digunakan dalam pengorganisasian kegiatan perdagangan mereka, baik itu dari perdagangan barang, penentuan segmen pasar, dan penentuan harga jual dan pendistribusiannya.

Kemampuan menciptakan hubungan sosial baik dengan aparat maupun masyarakat setempat dalam suatu jaringan sosial dimana didalamnya terdapat hubungan patron klien juga merupakan jawaban mengapa kegiatan perdagangan mereka dapat terus lestari. Patron-patron tersebut mempunyai kepentingan, yaitu mendapatkan keuntungan dari praktek perdagangan informal ini. Oleh sebab itu, patron-patron tersebut berupaya menciptakan keteraturan sosial dan justru melindungi kegiatan perdagangan ini.

Selain itu, tingginya minat masyarakat kita terhadap barang-barang yang diperdagangkan mengindikasikan berlakunya hukum dan demanddalam kegiatan perdagangan ini. Secara otomatis, kegiatan ini tidak akan gulung tikar atau tutup selama permintaan atas barang-barang yang diperdagangkan tidak pernah susut.

Oleh karena itu, Arif Rohman menyarankan kepada Pemerintah Kota dan LSM-LSM tidak memberikan stigma negatif pada para pemukim liar yang melakukan praktek perdagangan informal tersebut. Perlu dikembangkan image positif pada keberadaan mereka (community image) dengan memberikan penghargaan-penghargaan pada jerih payah mereka dan seraya tidak mengucilkan mereka.






Cite:
Rohman, Arif. 2004. Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen (Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam mempertahankan Kelangsungan Usahanya). Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Pembimbing:
1. Prof. Parsudi Suparlan, PhD
2. Siti Oemijati Djajanegara, SE, MA, PhD




For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here

Tuesday 1 July 2008

HAK BUDAYA KOMUNITI DAN INTEGRASI KEBANGSAAN

HAK BUDAYA KOMUNITI DAN INTEGRASI KEBANGSAAN
Parsudi Suparlan

Universitas Indonesia


I
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau Bhineka Tunggal Ika (Suparlan, 1979) yang sedang mengalami transisi dari coraknya yang otoriter dan militeristik menuju masyarakat majemuk yang demokratis. Dalam proses demokrasinya Indonesia hanya mengakui dua kekuatan politik yaitu negara (pemerintah) dan individu (HAM). Pedoman bagi kehidupan atau kebudayaan demokrasi adalah konflik. Konflik yang terwujud sebagai proses-proses persaingan dan pertentangan untuk memenagkan sesuatu kepentingan atau sumber-su mberdaya yang ada dalam masyarakatnya. Dalam mengacu pada hukum dan konvensi yang berlaku, yang selalu ada wasit atau jurinya, menghasilkan kehancuran atau chaos. Sebab. Bila sampai terjadi chaos maka ada yang bukan lagi demikrasi tetapi sewenang-wenangan atau otoriter. Sebab prinsip mendasar yang menjadi tujuan dari demokrasi adalah produktivitas. Produktivitas yang menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa dan negara.

Dalam masa transisi sekarang ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menjalani kehidupan demokrasi . karena , disamping yang produktif, yang banyak adalah tukang-tukang palak ( bahkan ketua DPR Akbar Tanjung menduga bahwa pemerintah pun punya tukang palak, seperti dikutip di Pos Kota 22 Oktober 2000), atau preman. Tukang palak atau preman dapat dikatakan sebagai benalu masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung tindakan-tindakan mereka itu menghancurkan tatanan demokrasi.

Tiada tatanan hukum yang mantap yang dapat dijadikan acuan sebagai aturan main, dan belum mantapnya fungsi polisi sebagai pelayan keamanan bagi earga masyarakat, komuniti setempat, dan negara, telah menyebabkan bahwa berbagai bentuk konflik individual, ke lompok, antar kampung atau desa dan antar komuniti yang berbeda suku bangsa dan agama menjadi semakin menjadi-jadi. Konflik antar individu bukan hanya saling menghancurkan secara individual tetapi menghancurkan rumah-rumah dabn harta benda (seperti perist iwa di Manggarai dan Matraman), kampung atau desa ( seperti di Cilacap, Brebes, Losari dan Indramayu), menjadi konflik antar suku bangsa (seperti yang terjadi di ambon dan Maluku) yang menghancurkan seluruh kehidupan komuniti dan tatanan kehidupan bersama dalam masyarakat yang mejemik. Atau konflik antara kelompok-kelompok di daewrah propinsi dengan pemerintahan nasional, dimana yang menjadi korban adalah warga dan komuniti yang dianggap bukan asli setempat, seperti terjadi di Aceh dan Irian jaya (Papua).

Dari semua konflik-konflik tersebut, yang selalu menjadi korban adalah komuniti (RT, RW, kampung, desa, pemukiman atau pertokoan). Mengapa hal ini dapat terjadi ? karena, dalam prinsip demokrasi yang kita pegang sekarang ini hak budaya komuniti tidak terc akup di dalamnya. Karena tidak tercakup didalamnya maka juga hak budaya komuniti tidak dijamin keberadaannya oleh undang-undang atau hukum yang kita punyai. Karena itu juga para pelaku kerusuhan atau amuk masa yang menghancurkan kehidupan komuniti tidak p ernah sampai dibawa ke pengadilan untuk diganjar dengan hukuman.. padahal, dalam komuniti itulah kesejahteraan warga masyarakat dipelihara dan dikembangkan untuk prduktivitas. Sadar atau tidak sadar, membiarkan penghancuran atas komuniti-komuniti yang sek arang banyak berlaku di Indonesia sebenarnya bukan saja menghancurkan produktifitas dan kesejahteraan hidup tetapi adalah juga sama dengan membiarkan kehancuran tatanan demokrasi dan kebangsaan. Karena itu, hak budaya komuniti, terutama hak budaya komunit i yang tergolong minorotas, harus dijamin oleh undang-undang, sebagai unsur dari tatanan demokrasi, bersama dengan dijaminnya hak dan kewajiban negara dan individu. (HAM).

Demokrasi bukan hanya dilandasi oleh adanya hak serta kewajiban dari pemerintah (negara) dan hak serta kewjiban dari individu, melainkan dilandasi pula oleh adanya hak serta kewajiban dari komuniti (masdyarakat lokal) yang terwujud sebagai hak komuniti. T iga unsur tersebut adalah tiang penyangga demokrasi. Masing-masing berdiri sendiri dan saling menghormati, tetapi masing-masing saling bersaing untuk memenagkan haknya, yang haknya tersebut akan didukung oleh dua unsur lainnya.

II
Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sebuah negara bangsa. Sebuah negara yang dibangun berdasarkan atas prinsip ideologi politik yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang dengan semangat persatuan dan kesatuan telah memperstukan lebih dari 500 suku bangsa menjadi sebuah bangsa Indonesia. Ideologi politik yang telah mempersatukan suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dan terwujud sebagai sebuah negara kesatuan bukanlah ideologi politik suku bangsa dan tidak bersifat primordial (keyakinan-kayakin an yang pertama dan utama yang didapat bersama dengan kelahiran seseorang). Dalam negara bangsa, waerga masyarakatnya mengembangkan nasionalisme sebagai nilai sosial utama atau semangat patriotisme yang menekankan kesetiaan pada bangsa. Semangat ini menca kup tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai dan tanggung jawab bersama bagi semua warga negara. Corak patriotisme yang di masa lampau dikembangkan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang dan komunis, adalah semangat kebangsaan yang harus diperkokoh karena adanya ancaman. Di zaman pemerintahan Bung Karno adalah adanya ancaman nekolim. Dan di zaman pemerintahan HM Suharto adalah ancaman bahaya laten komunis.

Sebagai masyarakat majemuk, suku bangsa di Indonesia sebagai golongan sosial yang aspiratif adalah satuan yang terwujud dalam komuniti-komuniti dengan kebudayaan-kebudayaan masing-masing, dimana komuniti-komuniti tersebut mempunyai hak ulayat atas lingkun gan hidupnya secara tradisi atau konvensi sosial yang berlaku, serta merupakan sumber bagi kelangsungan kehidupan mereka masing-masing. Dibandingkan dengan kehidupan bernegara, kehidupan dalam komuniti tersebut bercorak primordial. Satuan kehidupan suku b angsa yang primordial ini lebih diperkuat lagi dengan keyakinan keagamaan mereka m,asing-masing. Keyakinan keagamaan tersebut telah menjadi pandangan hidup (worldview) atau nilai-nilai budaya dasar dan etos (ethos) atau nilai-nilai budaya yang operasional dalam primodial kehidupan warga komuniti suku bangsa yang bersangkutan. Primodialitas ini dapat dilihat sebagai potensi untuk bertindak dan mengorganiasi kegiatan-kegiatan produktif maupun anti produktif dalam menghadapi lingkungan hidup masing-masing. P otensi anti produktif dalam masyarakat majemuk, terutama diaktifkan dalam menghadapi orang atau kelompok yang tergomomg sebagai suku bangsa lin dalam persaingan untuk memperebutkan sumberdaya-sumberdaya dan sumber-sumber rezeki yang ada dalam lingkungan k omuniti-komuniti yang bersangkutan.

Kerusuhan di Ambon dan Kalimantan Barat, misalnya dapat dilihat sebagai ekspresi pengaktifan sukubangsa untuk menggalang solidaritas dan menguatkan sentimen anti golongan sukubangsa pihak lawannya. Dalam kasus karusuhan di ambon pada tahap permulaannya, O rang Ambon melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Buton Bugis dan Makassar adalah kategori sosial yang harus dihancurkan. Sedangkan dalam kasus Kalimantan Barat, yaitu di Kabupaten Sambas, Orang Melayu melihat bahwa mereka yang tergolong sebagai or ang Madura harus dihancurkan. Hal yang sama terjadi di Aceh dan Irian jaya. Dalam kedua kasus terakhir ini pemerintah nasional disamakan dengan pemerintahan Jawa, sehingga sasaran yang digolongkan sebagai musuh adalah Jawa dan/atau yang berkolaburasi deng an Jawa, dan mereka inilah yang dihancurkan komunitinya.

Hubungannya antar sukubangsa terwujud sebagau hubungan antar perorangan yang dapat melibatkan hubungan antar kelompok. Hubungan antar suku bangsa bisa terwujud sebagai hubungan pertemanan dan persahabatan dan bahkan hubungan perkawinan yang melibatkan kel ompok-kelompok kerabat dari sukubngsa yang berbeda. Tetapi hubungan antar sukubangsa juga dapat terwujud sebagai hubungan persaingan dan bahkan hubungan konflik. Dalamn setiap hubungan, termasuk hubungan antara sumu bangsa, selalu tercakup hubungan kekuat an. Yaitu hubungan kekuatan diantara para pelaku yang ditunjukkan secara empirik dalam interaksi maupun hubungan yang bercorak kategorial sebagaimana terwujud dalam stereotip dan prasangka diantara para pelaku dari suku bangsa yang berbeda. Profesor E M B runer (1974), dari penelitiannya di Medan dan di Bandung menunjukkan baahwa di Bandung ada kebudayaan Sunda yang dominan. Di Bandung, para migran atau pendatang harus mengadaptasi diri menjadi seperti orang Sunda untuk dapat diterima sebagai bagian dari k ehidupan sehari-hari di kota Bandung. Sedangkan di Medan hal itu tidak diperlukan, karena masing-masing warga (termasuk para pendatang) hidup dalam lingkungan kebudayaan suku bangsa sendiri.

III
Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintah daerah dapat dilihat sebagai upaya menuju masyarakat sipil yang demokratis di Indonesia. Masyarakat sipil yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang mengakui :kedaulatan rakyat", pemerintah berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minorotas, jaminan hak-hak asasi manusia, persamaan hak di hadapan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, po litik dan budaya, nilai-nilai toleransi, pragmatis, kerjasama dan mufakat (Lubis, 1994 dan USIS, n.d).

Dengan adanya UU ini dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah di daerah telah dicoba dikurangi, agar berbagai bentuk ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat di masa lampau terhadap pemerintah di daerah tidak terjadi lagi. Karena itu UU ini banyak berisikan pengaturan mengenai perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi, serta perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi serta perimbangan pendistribusian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerin tah daerah. Pengaturan hubungan antara badan eksekutif dengan badan legislatif yang saling mengimbangi dapat dikatakan sebagai upaya untuk menciptakan tatanan demikrasi pada tingkat pemerintah pusat dapat dikatakan sebagai tidak sepenuhnya mencerminkan ta tanan yang demokratis. Sebab, adanya dominasi kekuasan pemerintah pusat melalui badan judikatif dapat melemahkan kehidupan demokrasi. Begitu jga dalam UU ini tidak tercermin adanya hak individu dan komuniti (masyarakat lokal).

Hak individu dan hak komuniti atau hak budaya disatu pihak perlu ditinjau dalam kaitan hubungannya dengan upaya penciptaan tatanan kehidupam yang demokratis. Karena, demokrasi bukanlah semata-mata harus dilihat sebagai aturan kenegaraan, teta[I sebagai se buah kehidupan di mana warga negara dan komuniti-komunitinya dalam masyarakat tersebut secara aktif turut berpartisipasi di dalamnya dan turut memproses program-program pembangunan sehingga menghasilkan kesejahteraan hidup yang berkeadilan sosial.

Khususnya mengenai hak budaya komuniti (yang mencakup hak untuk hidup menurut cara-cara budaya dan keyakinan keagamaan masing-masing, hak atas lingkungan dan segala isinya yang secara tradisional dan konvensi sosial serta hukum adalah hak ulayatnya). Pent ingnya hak budaya komuniti untuk dipertimbangkan sebagai sebuah UU dalam UU Otonomi daerah adalah karena :

1.. hampir semua wilayah RI tidak ada satupun yang penduduknya homogen satu suku bangsa. Dengan kata lain, masyarakat yang akan menjadi daerah otonomi adalah masyarakat yang heterogen secara suku bangsa dan keyakinan keagamaannya.

2.. Hubungan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya adalah hubungan kekuatan. Hubungan antar suku bangsa ini akan menghasilkan suku bangsa yang dominan sebagai lawan dari suku bangsa atau suku bangsa lainnya yang minorotas. Kemunculan dari y ang dominan sebagai lawan dari yang minoritas adalah dari pengakuan sosial mengenai siapa yang paling asli dan siapa yang tidak asli" dan siapa yang pendatang. Pengakuan yang asli akan dibarengi dengan klaim atas lingkungan dan segala isinya sebagai milik nya yang mutlak. Sehingga mereka yang tergolong sebagai minoritas akan didiskriminasi atau diusir dan bahkan mungkin dihancurkan hak-hak budaya komunitinya.

3.. Konflik-konflik antar suku bangsa yang telah edan sedang terjadi di Indonesia terwujud sebagai penyerangan dan penghancuran komuniti (RT, RW, Kampung, desa, gereja, mesjid, kelenteng, pertokoan, dsb) dari pihak lawan. Penghancuran komuniti ditindak lanjuti dengan pengusiran atau pembersihan wilayah dari orang-orang dan unsur-unsur yang menjadi ciri-ciri pihak lawan.

4.. Selama ini polisi telah secara ragu-ragu bertindak dalam melindungi dan menyelamatkan komuniti yang diserang oleh pihak lawan, karena tidak adanya UU yang mengatur ketentuan tentang adanya hak budaya komuniti. Keragu-raguan bertindak tersebut juga d isebabkan oleh kekuatiran akan adanya sanksi pelanggaran HAM, atau karena khawatir masa penyerang akan berbalik menyerang polisi. Padahal personil dan peralatan persenjataan polisi amat terbatas.

IV
Bila sekiranya ada UU mengenai hak budaya komuniti, atau dengan kata lain hak budaya komuniti tersebut dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh UU, maka polisi akan mempunyai pegangan untuk menjalankan kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai pel ayan keamanan. Bila sekiranya konflik antar suku bangsa yang menghancurkan hak budaya komuniti tidak sepenuhnya dapat ditiadakan setidak-tidaknya akan dapat dikurangi karena polisi akan dapat bertindak secara lebih tegas dalam melindungi keselamatan komun iti dari upaya penghancuran.

Dengan adanya UU ini maka di masa akan datang diskriminasi oleh yang asli terhadap yang tidak asli atau terhadap pendatang akan dapat ditiadakan, atau setidak-tidaknya akan dapat dikurangi. Sehingga, prinsip-prinsip demokrasi akan dapat dijadikan acuan un tuk betul-betul menciptakan tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis melalui dan dalam nadministrasi pemerintahan otonomi daerah.

Dalam bayang-bayang adanya jaminan rasa aman karena adanya perlndungan hukum, maka komuniti sebagai wadah dari dan pendorong bagi kegiatan-kegiatan produksi akan dapat berfungsi dalam produktivitas secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan dapat berfun gsi dalam produktivitas secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan menjadi lebih baik, sehingga sadar atau tidak sadar ingritas kebangsaan akan diperkuat. tIdak ada masyarakat yang sejahtera hidupnya yang akan bersedia untuk saling menghancurkan. Selama ini konflik-konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan antar seku bangsa dan agama, antar desa atau antar kampung, telah terwujud karena adanya isue mengenai ketidakadilan sosial dan karena memang kehidupan mereka secara ekonomi tidak sejahtera. dala m situasi kriris ekonomi nasionlal yang berkepanjangan, yang masih belum juga terselesaikan, adanya isu tersebut dengan mudah dapat ddigunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk memicu terjadinya konflik sosial. Tindakan prefentif yang terbaik adalah menciptakan keadilan sosial dengan cara menciptakan kesehjateraan sosial. Yaitu dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan produktif dalam masyarakat, dimana hasil-hasil produksi tersebut dapat betul-betul dinikmati oleh mereka dan bukan oleh para preman at au tukang palak. Cara-cara seperti ini dapat dilakukan dengan mengacu pada model yang pernah dikemukakan oleh Milikan (n.d) atau mengacu pada keberhasilan model pariwisata budaya yang dikembangkan oleh Gubernur Bali Dr. Ida Bagus Mantra (Suparlan, 1993).

Hanya melalui adanya kesejahteraan sosial yang adil dan beradab maka integrritas atau semangat akan kokoh. Karena menciptakan kekokohan integrotas kebangsaan dengan cara menciptakan musuh untuk dihancurkan bagi Indonesia sekarang ini yang sedang menuju ma syarakat sipil yang demokratis adalah tidak relevan lagi. kArena, bila musuhnya tidak ada atau hanya dalam imaji maka kekuatan memusuhi yang menghancurkan musuh bayangan tersebut hanya akan berbalik menghancurkan diri sendiri.

Bacaan Acuan :

Bruner, Edward M. (1974), " Yhe Expression of in Indonesia". Dalam
Abner Cohen (editor), Urban Ethnicity. London : Tavistock. Hal 251-288 Lubis, Mochtar (ed) (1994), Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta : Yayasan OBOR.

Milikan, Max F. (nd), "Keadilan Sosial dan Produktivitas Dalam Pembangunan".
Dalam, Myron Weiner (ed), Modernisasi : Dinamika pertumbuhan. Voice of America Forum Lecture Series.

Suparlan, Parsudi (1979), " Ethnic Groups of Indonesia:, The Indonesian Quarterly, 7,2: 55-73.
-----------------(1993), " Development Programme, Cultural Interpretational, and Successful Implementation ", The Indonesian Quarterly, I : 99-109.
-----------------(1999a), Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada
Kapolri.
----------------(1999b), Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
----------------(2000), Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Makalah untuk Simposium dan Lokakarya Internasional Antropologi. Makassar, 1- 5 Agustus 2000.
USIS (n.d), Apakah Demokrasi Itu? Brosur.