Thursday 4 November 2010

Jati Diri Polri Dimasalahkan

Jati Diri Polri Dimasalahkan


Dr. Bambang Widodo Umar

Staf Pengajar Program Pascasarjana KIK - UI



Latar Belakang
Kajian Daniel S. Lev tentang Politik Perkembangan Peradilan di Indonesia terutama yang mambahas “Polisi versus Jaksa” dalam bukunya Legal Evolution and Political Authority in Indonesia (2000 : 88–97) menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan di Indonesia telah terjadi persaingan antar lembaga penegak hukum untuk mendapatkan “otoritas dan prestise” yang lebih besar dalam perkembangan negara. Seperti ditunjukkan pada peristiwa tahun 1946, di mana Perdana Menteri pertama RI Sutan Syahrir mengalihkan kepolisian dari Kementerian Dalam Negeri ke Perdana Menteri, polisi menganggap hal itu sebagai pengakuan atas pentingnya lembaga kepolisian.
Kini setelah ± 61 tahun, momentum reformasi 1998 yang mampun memisahkan POLRI dari TNI berdasarkan TAP MPR Nomor : VI/MPR/2000, dan TAP MPR Nomor : VII/MPR/2000 tentang peranan TNI dan Polri, ada kecenderungan fenomena itu muncul kembali. Polri sudah merasa final dalam posisinya di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. Jika dulu pengalihan posisi polisi tidak disertai dengan revisi dua undang-undang pra-perang yang berlaku untuk organisasi dan kompetensi polisi, yaitu H.l.R dan undang-undang organisasi peradilan (rechterlijke organisatie), demikian pula saat pemisahan POLRI dari TNI tidak disertai revisi KUHAP sebagai landasan organisasi dan kompetensi Polri. Dari kedua peristiwa itu ada yang terlupakan dalam pengembangan, yaitu apa sesungguhnya jati diri Polri?
Oleh karena itu tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Polri merupakan endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang dikonfrontasikan dengan masyarakat masih aktual. Ditetapkan UU Nomor 2 Tahun 20002 tentang Kepolisian Negara R.I seharusnya membawa ke arah kelembagaan polisi menjadi semakin jelas, kuat dan legal. UU kepolisian yang lahir dalam suasana tuntutan masyarakat ke arah pemerintahan yang demokratis, sesungguhnya merupakan landasan konstitusional untuk mengubah jati diri Polri yang selama ini militeristik menjadi polisi sipil yang profesional dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance).
Keluarnya produk legislatif ini tentu bukanlah merupakan langkah yang final. Reformasi dalam bidang keamanan masih memerlukan beberapa produk legal lainnya. Sebab kemajuan legal yang telah dicapai belum menghasilkan institusi polisi yang benar-benar memenuhi kriteria polisi sipil yang demokratis dan profesional. Banyak kalangan berpendapat, pasal-pasal dalam produk legislatif itu belum benar-benar mencerminkan – untuk tidak dikatakan bertentangan – gagasan polisi sipil, demokratis dan professional.
Upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri untuk membenahi dan menciptakan jati diri Polri yang pasti dan konsisten nampaknya tidak lepas dari dinamika politik dan pergolakan sosial di negeri ini. Akhirnya, upaya itu sekedar menghasilkan “citra diri” (self-image) atas prestasi yang dicapai dalam mengungkapkan jaringan terorisme, membongkar pabrik ekstasi, menutup perjudian, memberantas illegal logging dan lain-lain, sedangkan upaya membangun jati diri polisi yang responsif, akuntabel dan profesional belum nampak hasilnya.

Aspek Sejarah Yang Membentuk Jati Diri Polri
Menurut literature kepolisian di Indonesia, polisi sebagai suatu lembaga telah mengakar di masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada di kerajaan Mojopahit guna memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan. Harsya W. Bachtiar (1994) dalam bukunya “Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu yang baru”, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata Bhayangkara berarti “yang menakutkan”. Pemakaian kata itu pada masa kerajaan Mojopahit tidak janggal, tetapi jika digunakan pada masa negara R.I yang sudah merdeka menjadi tidak relevan. Pengertian Bhayangkara lebih tepat untuk militer, karena tugasnya selain menjaga
keamanan wilayah kerajaan juga untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Di sisi lain, kajian tentang lembaga-lembaga sosial dalam lingkungan Adat di Nusantara yang identik dengan lembaga kepolisian seperti Jogoboyo di Jawa, Jayengsekar di Madura, Pecalang di Bali dan daerah-daerah lain sebagai acuan untuk membangun jati diri polisi dapat dikatakan tidak ada.
Pada tahun 1620 di kota Batavia, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mendirikan Bailluw (semacam Satpam) untuk melindungi orang-orang Belanda sekaligus perusahaan karena waktu itu sering terjadi perampokan, penyerangan, dan kerusuhan. 1 Kemudian ketika VOC diambilalih oleh pemerintah Inggris, Raffles menyempurnakan Bailluw dengan mengeluarkan Verordening over de administratie de Justitie bij de gewestelijke hoven op Java en de administratie der Politie, 11 Februari 1814 untuk mengatur organisasi, peran, dan tugas polisi, dengan rincian : (1) menjaga ketertiban umum; (2) mengawasi tindakan warga masyarakat yang menimbulkan kerugian; (3) menyidik semua tindak kejahatan yang ditujukan kepada negara maupun perorangan; (4) menjaga keamanan dan bila perlu dapat minta bantuan kepada militer (KNIL); (5) melaksanakan putusan pemidanaan; dan (6) mengawasi tahanan di penjara (Oudang, 1952).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia (1800 – 1942), Polisi Administratif merupakan bagian dari Departement Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Daniel S. Lev (2000 : 88) mengatakan bahwa, polisi dikelola sebagai bagian dari Kementerian Dalam Negeri dan membawahi pamong pradja. Kementerian ini menyelenggarakan urusan pegawai, pendidikan, latihan, perlengkapan, persenjataan, dan pengawasan korps, tetapi tidak berhak mencampuri pelaksanaan operasi kepolisian. Dalam tugas represif (police judiciare) polisi diperintah oleh Jaksa. Dalam hal ini ada pemisahan kekuasaan, pembinaan kepolisian oleh Departemen Dalam Negeri dan penggunaan kepolisian oleh Jaksa.
Keberadaan polisi adalah untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, karena itu pekerjaan polisi adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan baik dengan kekerasan atau cara apapun. Kepada rakyat diciptakan rasa takut, sehingga pemerintah Hindia Belanda tetap berkuasa. Dengan demikian wajar jika citra polisi menakutkan seperti istilah Bhayangkara pada era kerajaan Mojopahit (Effendi, 1995).
Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan pengorganisasian militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pekerjaan polisi identik dengan militer dan pelaksanaannya di masyarakat juga menggunakan pendekatan militer. Selama masa kepedudukan Jepang polisi dan jaksa mengalami sejumlah pergerakan antar kementrian, mereka kembali pada hubungan hukum pra-perang dalam peraturan hukum yang diterapkan oleh republik revolusioner.
Sejalan dengan kemerdekaan Negara R.I, Panitia Persiapan Kemerdekaan lndonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk badan Kepolisian yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri. Tanggal 2 September 1945 untuk pertama kalinya dibentuk ”Kabinet Presidensial” dalam pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Kemudian tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/SD, membentuk Jawatan Kepolisian yang bertanggungjawab kepada Perdana Menteri. Saat itu kabinet berubah menjadi Parlementer di mana Presiden tidak memegang kekuasaan eksekutif.
Ada suatu kejanggalan jika tanggal ”1 Juli” ditetapkan sebagai hari Bhayangkara, sebab organisasi kepolisian sudah dibentuk pada tanggal 19 Agusteus 1945. Alasan untuk itu menurut Awaloedin Djamin (1995) disebabkan oleh tugas polisi yang beraneka ragam di jaman Hindia Belanda perlu dijadikan satu wadah, yaitu Jawatan Kepolisian Negara. Selain itu 1 Juli juga merupakan lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia, di mana seluruh tugas kepolisian di tanah air berada dalam satu organisasi nasional dan bertanggungjawab kepada pimpinan pemerintahan yaitu Perdana Menteri.
Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 dengan sistem kabinet Presidensial. Kemudian dengan SK Presiden Nomor 154 Tahun 1959 dibentuk Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian. Kemidian pada tahun 1961 keluar UU Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961 yang memperkokoh Departemen Kepolisian dipimpin Menteri/Kepala Kepolisian Negara R.I dan bertanggungjawab kepada Presiden. Selain itu dalam UU tersebut ditegaskan bahwa Polri merupakan bagian dari ABRI dan hal ini berlangsung hingga tahun 1998.
Sebagai konsekuensi masuknya Polri menjadi bagian ABRI, terjadilah pengaburan secara pelan-pelan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat. Di sisi yang lain dalam rangka kaderisasi pimpinan Polri, pendidikan perwira polisi dilakukan melalui AKABRI yang menggunakan metode militer. Konsekuensinua Polri wajib menganut doktrin Dwi Fungsi. Dengan doktrin tersebut, politisasi terhadap Polri menimbulkan kesan yang mendalam di kalangan anggota bahwa tugas polisi adalah mempertahankan pemerintahan yang sah.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru tanggal 21 Mei 1998, kondisi Polri menunjukkan : (1) Pengorganisasian yang sentralistik dalam kerangka membangun kekuatan birokrasi yang dominan; (2) Rekrutmen personel polisi ditentukan oleh kemampuan pemerintah bukan atas kebutuhan masyarakat; (3) Pengembangan organisasi kurang berorientasi pada profesionalisme polisi; (4) Penganggaran sentralistik dengan sistem budget oriented; (5) Simbol-simbol militer melekat pada sikap perilaku keseharian polisi, sistem pendidikan, organisasi, manajemen, dan operasional Polri.
Dari uraian tentang perkembangan polisi pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang di Indonesia terdapat tiga ciri dari polisi di masyarakat. Pertama, secara struktural, polisi tersentralisir dan militeristirk. Polisi dipersenjatai dan dinilai sangat penting untuk mengendalikan masyarakat. Kedua, dalam fungsinya, polisi lebih banyak memberikan prioritas pada tugas-tugas menekan masyarakat. Misalnya, polisi digunakan untuk memberangus protes termasuk sengketa perburuhan. Ketiga, lejitimasi polisi diperoleh dari pemerintah kolonial, bukan dari penduduk yang dijajah. Tujuannya untuk mempertahankan status quo rejim pemerintahan kolonial.
Yang menarik dicermati dalam konteks setelah kemerdekaan negara R.I pada masa transisi dari polisi kolonial ke polisi nasional, perkembangan polisi lebih sebagai usaha untuk peningkatan status dibanding usaha perbaikan lembaga keadilan. Aspek kunci dari parameter jati diri polisi hingga reformasi 1998 belum menemukan standar yang fundamental. Daniel S. Lev (2000 : 97) menilai perkembangan polisi di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan politis. Mencermati hal itu penerapan nilai-nilai yang dianut polisi di Indonesia cenderung kontradiksi dengan tujuan organisasi yang dikatakan sebagai pengayom, pelindung dan pembimbing masyarakat.
Model-model Pembentukan Polisi
Ditinjau dari kelahirannya terdapat pembentukan polisi yang berasal dari masyarakat. Lembaga itu dibutuhkan karena social control dinilai tidak efektif mengatasi masalah ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Polisi sebagai lembaga sosial, seperti tithing man di Inggris, constable di Perancis, Shire reeve di Amerika Serikat lama-lama mewujud menjadi social control, dan kemudian negara memberikan wewenang untuk menegakkan hukum. Terdapat pula pembentukan polisi yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini kepolisian digunakan sebagai alat kekuasaan politik untuk menjaga kebijakannya, seperti yang pernah terjadi di Uni Sovyet, Cina, Cuba dan lain-lain.
Secara teoretik dapat dilakukan perbandingan sebagai upaya untuk melihat pembentukan polisi di beberapa negara. Perbandingan ini dapat diklasifikasikan dari perspektif liberal dan radikal, yang amat mempengaruhi bentuk organisasi, pendekatan, mekanisme kontrol, dan teknik ketahanan polisi. Tabel di bawah menunjukkan bahwa dua model yang amat kontradiktif antara perspektif liberal dengan radikal. Perspektif liberal mengarahkan polisi harus menjadi bagian dari public order dan fungsi pemolisian (policing) sebagai dasarnya. Artinya, komunitas polisi (community policing) menjadi bagian yang kuat dalam kelembagaan polisi. Karena itu masyarakat terlibat aktif dalam menciptakan kontrol terhadap polisi.
Perspektif ini menghendaki agar polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara dan pemerintah, tetapi lebih mengabdi sebagai pelindung masyarakat secara umum. Dalam perspektif ini masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap fungsi-fungsi pemolisian yang sebagian dijalankan oleh polisi.
Tabel
Police Politics Term Description Example
Perspectives
Liberal The Police are disinterested custodians of public order - policing is based on consent.
Radical The police are agents of the state and an instrument of coercion.
Organization
Bottom-Up Police forces originate from rudimentary local patterns of law enforcement. Characterised by decentralised control. Britain
USA
Top-Down The Police are under the direct control of central government. Characterised by national rather than local police forces. France
Approaches
Community Policy force is part of the community. The entire community is part of the law enforcement process. Japan
Reactive "Heavy-handed" policing. Crime is prevented by ensuring that everyone is aware of the power of the police. Authoritarian regimes
Control Mechanism
Internal The police is responsible for its own discipline, and investigates accusations wrong doing by officers. Most police forces
External Representatives of the local community for elected civilian politicians play a major role in policing the police. Sweden
Surveillance Techniques
Overt The police makes sure that people know that their actions are being closely watched Communist party states
Covert Secret surveillance of people who are deemed to be a danger to the state All countries
Sebaliknya, perspektif radikal merumuskan polisi sebagai alat negara (agen kekerasan). Dua perspektif tersebut merupakan prinsip awal dalam memposisikan politik dalam sistem kenegaraan yang dianut. Apabila kita konsisten bahwa sistem politik dan tata negara Indonesia pasca Soeharto adalah demokrasi, maka prinsip-prinsip yang ditekankan dalam pendekatan demokrasi harus menjadi landasan dalam melakukan penataan terhadap kepolisian ke depan.
Pada Tabel di atas juga terlihat dua bentuk model organisasi yaitu bottom up dan top down. Perancis misalnya, model organisasi polisinya adalah sentralistik dengan kontrol dari pemerintah pusat. Demikian juga Indonesia, sementara AS dan Britain memilih model bottom up sesuai dengan bentuk negara yang mereka gunakan (federasi). Ini menunjukkan ada kekhasan organisasi polisi sesuai dengan karakter lokal (daerah), sehingga ada desentralisasi organisasi.
Timbulnya dua tipe pemolisian adalah berasal dari perkembangan historis yang berbeda antara polisi di Inggris dan Eropa Kontinental (Belanda, Perancis, Jerman, Yunani). Tipe Eropa Kontinental berasal dari pemisahan fungsi perlindungan terhadap ketertiban umum dengan penegakan hukum. Perkembangan model ini menunjukkan bahwa fungsi kepolisian merupakan fungsi negara yang melekat dalam sejarah negara feodal (kerajaan). Sementara itu tipe anglo-saxon berasal dari sejarah polisi di Inggris. Institusi kepolisian di Inggris dimulai dari Franklepledge System, yang menempatkan fungsi kepolisian pada masing-masing individu warga masyarakat. Lembaga kepolisian tipe Anglo-Saxon itu tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat, bukan dari kekuasaan negara (sebagai alat kekuasaan negara).
Titik ekstrim dari tipe pemolisian kontinental adalah sebuah polisi yang otoriter, di mana polisi memiliki wewenang luas untuk mengatur sejumlah besar aspek kehidupan masyarakat, termasuk masalah moral, pemikiran politik, bahkan penyimpangan samar dari segi hukum. Sementara itu titik ekstrim pemolisian tipe anglo-saxon adalah pemolisian yang terfragmentasi. Pada tipe ini struktur polisi terbagi antara unit yang memiliki fungsi dan tanggungjawab umum, setingkat kota (municipal) dan desa (county) dengan tanggungjawab yurisdiksi yang khusus, dan polisi yang memiliki fungsi terbatas.
Awal abad ke-20 terjadi perubahan tipe pemolisian khususnya di negara-negara maju. Perubahannya merupakan inovasi dari tipe sebelumnya (desentralisasi model sentralistis dan sentralisasi model desentralistis). Hal ini terjadi di AS yang memusatkan dan mengkoordinasikan aktivitas hukum (khusus hukum federal) pada FBI sejak 1909. Sementara itu Inggris juga merestui terjadinya campur tangan pemerintah pusat atas penyelenggaraan fungsi kepolisian melalui pembentukan The Royal Commission on the Police (1960) yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan masalah kepolisian hingga ke tingkat lokal. Di Jepang sejak 1954 menekankan peran polisi di kota dan desa, masing-masing disebut Koban dan Chuzaisos, jumlahnya lebih dari 15.000 kantor polisi tersebar di seluruh Jepang.
Memasuki dekade 1980-an model pemolisian mulai mengalami perubahan lagi dengan diperkenalkannya problem-oriented policing, sebuah metode yang diimpelementasikan untuk meningkatkan kapasitas polisi dalam menyelesaikan misinya. Metode ini mempengaruhi seluruh aspek kegiatan polisi, baik manajerial maupun operasional. Pada saat yang hampir bersamaan, pada awal dekade 1980-an, muncul terminologi Community Oriented Policing (COP), yang menekankan pada pencegahan tindak kejahatan ketimbang pengejaran dan penangkapan para pelaku kriminalitas. Di AS penerapan COP telah menjadi begitu bervariasi, mulai dari peningkatan kerjasama dengan komunitas, desentralisasi komando, hingga yang sederhana seperti penambahan jumlah polisi yang beroperasi (beat police).
Di Inggris struktur polisi dibuat sedemikian rupa tidak seragam namun merefleksikan keseimbangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari kehadiran tiga struktur polisi yang dikenal dengan nama London Metropolitan Police, county forces dan borough police. Namun kehadiran polisi lokal jangan ditafsirkan bahwa polisi lokal itu bertanggung jawab pada komunitas lokal. Dalam praktik mereka menjadi lebih bertanggungjawab kepada elite-elite lokal.
Ciri-ciri khas polisi Eropa Kontinental sangat berbeda dengan polisi di Inggris. Pertama, secara struktural polisi tersentralisir dan militeristik. Kedua, fungsi polisi lebih menekankan pada
tugas-tugas administratif dan politik. Misalnya mengontrol pasport, pengumppulan pajak, regulasi bangunan, inspeksi susu, bahkan melakukan pengumpulan data metereologi. Ketiga, dilihat dari lejitimasinya, polisi lebih terkait dengan pemerintah dan kurang bertanggungjawab pada publik dan hukum. Secara umum polisi di EK bertanggungjawab secara langsung kepada kepala negara (head of state).
Perubahan yang menarik terjadi di Perancis. Sebagai negara yang dikenal sentralistis tipe pemolisiannya cukup sukses menerapkan Community Oriented Policing (COP) yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian. Sejak tahun 1995 pemerintah Perancis menerapkan metode COP. Untuk itu pemerintah Perancis menerapkan kerangka administratif baru bernama Local Security Contact, yang memberi payung hukum bagi hubungan interagensi antara polisi dan lembaga-lembaga komunitas kepolisian lokal dalam menyelesaikan masalah ketertiban dan keamanan.
Organisasi polisi di dunia mengenal tiga bentuk yaitu bentuk sentralisasi, desentralisasi dan gabungan antara keduanya (Tim Newburn, 2003). Beberapa negara sebagaimana disebut dalam Tabel di atas pada dasarnya memilih salah satu model organisasi tersebut. Masing-masing pengorganisasian polisi itu memiliki kekuatan dan kelemahan. Inggris misalnya, memilih model desentralisasi, demikian juga dengan Amerika Serikat. Karena itu, ada kekhususan dari setiap organisasi polisi yang dibentuknya sesuai dengan karakteristik masyarakat dan daerahnya.
Dari uraian tersebut bahwa jati diri polisi disuatu negara bisa berbeda-beda. Pada dasarnya tergantung faktor sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Contoh, jati diri polisi Jepang jelas berbeda dengan jati diri polisi AS. Jika di negeri Uncle Sam polisi lebih bersifat individual, maka di Jepang polisi lebih akrab dengan warga masyarakat. David H. Bayley (1988) mengatakan, meskipun kepolisian di kedua negara itu memiliki tanggungjawab yang sama, namun cara mereka berhubungan dengan masyarakat sangat berbeda. Polisi Jepang lebih luwes dalam berinteraksi dengan warga masyarakat dibanding dengan polisi AS.

Jati diri Polri
Ada tiga parameter untuk mendudukan jati diri polisi : (1) lejitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); dan (3) struktur (structure). Parameter lejitimasi menunjukkan dari mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa harus bertanggungjawab. Parameter fungsi menunjukkan bagaimana polisi diperankan dalam pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum. Sedangkan parameter struktur menunjukkan bagaimana besaran organisasi, spesialisasi dan tipe paksaan yang dianggap layak.
Ada keberagaman dalam penerapan parameter itu antara satu negara dengan negara lain. Untuk parameter lejitimasi misalnya, terdapat pemberian monopoli kepada polisi dari suatu elite dalam masyarakat (publik) atau elite politik di parlemen (undang-undang). Demikian pula dalam hal penerapan parameter fungsi. Misalnya dalam tugas-tugas yang dilekatkan pada polisi antara pemeliharaan hakum dengan ketertiban (order), pencegahan, dan pendeteksian tidaklah sama antar setiap negara. Untuk parameter struktur juga terdapat variasi dalam pengorganisasian polisi, sentralisasi atau desentralisasi.
Dengan mempelajari pengalaman beberapa negara dalam membentuk kepolisian mengacu pada sistem politik, ketatanegaran, serta memperhatikan kondisi masyarakat, muncul pertanyaan : (1) Apakah lejitimasi Polri tetap seperti dirumuskan dalam UU No. 2/2002 yang bertanggungjawab kepada Presiden atau diubah menjadi bertanggungjawab kepada aturan hukum dan kesepakatan publik (sebagaimana pengalaman di Inggris); (2) Apakah fungsi Polri tetap seperti sekarang ini selaku penegak hukum sekaligus pengelola keamanan, ketertiban, dan pelayan masyarakat atau menerapkan Community Oriented Policing yang menekankan pendekatan lokal dalam pemolisian (seperti pengalaman di Perancis); dan (3) Apakah struktur Polri tetap seperti sekarang ini sentralisasi atau desentralisasi (seperti pengalaman AS dan Britain). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam membangun jati diri Polri perlu dilakukan perubahan mendasar. 7
Sasarannya adalah membangun jati diri Polri yang demokratis dan profesional. Polisi yang demokratis mengarahkan aktivitasnya kepada kebutuhan publik. Dalam hal ini polisi harus responsif, artinya merespon kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok-kelompok swasta, maupun non-negara. Akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas penggunaan wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diimplementasikan pada lembaga kepolisian: (1) Answeribilty, mengacu kepada kewajiban polisi untuk memberikan informasi dan menjelaskan atas segala apa yang mereka lakukan, (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) Punishibility, mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bilamana mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.
Prinsip profesionalisme mengacu pada tumbuhnya kemampuan untuk, (1) menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang, (2) memberikan layanan terbaik, (3) otonom, (4) memiliki kontrol kuat terhadap anggotanya, (5) mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode etik, (7) memiliki kebanggaan profesi; (8) memilih profesi sebagai pengabdian, dan (9) bertanggungjawab atas monopoli keahlian. Untuk mencapai hal itu dilakukan melalui perubahan dalam hal sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan, dan pembinaan/pengembangan karier yang mengacu pada merit-system. Demikian pula dalam hal sistem manajemen kepeolisian.
Selain demokratis dan profesional, lebih penting polisi harus bersifat sipil, karena dengan kriteria sipil pada dasarnya akan memasukkan pula karakter demokratis dan profesional. Polisi sipil mengacu kepada pengertian polisi sebagai institasi publik yang ditumbuhkembangkan secara profesional dalam masyarakat demokratik, yang menjalankan fungsi penegakan hukum, ketertiban masyarakat, dan pelayanan masyarakat, dengan tunduk terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas, penghormatan terhadap hak-hak sipil, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, adaptif terhadap perubahan masyarakat, dan mengutamakan kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya.

P e n u t u p
Dalam konteks Indonesia, sejak awal organisasi polisi yang dibentuk adalah polisi nasional yang sentralistik. Sesuai dengan perkembangan, perspektif ini perlu perubahan. Yang jelas tidak mungkin menggunakan perspektif radikal di mana ia sebagai alat kekerasan negara yang condong dan membela kekuasaan negara. Polri perlu mengubah jati dirinya dengan mengedepankan prinsip demokrasi di mana polisi adalah bagian dari masyarakat dan mampu bekerja secara independen.

1 Sebuah plakat tentang pembentukan Bailluw pada tanggal 29 Maret 1602 berbunyi : enn Bailluw over dese onse stadt Jaccatra, de domainen en de jurisdictie van dien baer, soo te water als te land uystrckende.

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

URGENSI MEDIA DALAM MENGAJAR

A. Pengertian Media
Dalam kajian pendidikan, pembicaraan tentang media tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan, media merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan. Sampai saat ini terdapat banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli untuk menunjuk pengertian media. Diantara istilah tersebut antara lain : audio-visual, teaching materials, instructional materials dan lain sebagainya.
Association for Educational and Communication Technology (AECT) mengartikan media sebagai “segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi
National Education Association (NEA) mengartikan media sebagai “segala bentuk benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibicarakan, dibaca, beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut
Oemar Hamalik berpendapat bahwa media pendidikan adalah “Alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Gane L Winkinson (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membagi media menjadi dua bagian yaitu Media dalam arti luas dan media dalam arti sempit. Media dalam arti luas lebih menekankan sebagai suatu proses ketimbang sebagai benda-benda. Sedangkan media pendidikan dalam arti sempit terutama hanya memperhatikan dua unsur yakni bahan dan alat.
W. Schramm juga mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Gane di atas, yaitu media dapat dibedakan menjadi dua yakni media besar dan media kecil. Media besar adalah media yang komplek dan harganya mahal seperti televisi, film, komputer dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan media kecil adalah media sederhana baik dari segi bendanya, pemakaiannya, harga maupun perangkatnya, seperti: slide, film strip, OHP sampai kepada radio dan teks program.
B. Pentingnya Media dalam Proses Pembelajaran
Kenyataan menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran atau proses belajar mengajar sering tidak tercapai secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran sebagai suatu proses komunikasi sering dihadapkan kepada berbagai kendala. Diantara kendala tersebut ialah adanya kecendrungan verbal ketidaksiapan, kurangnya minat, gairah dan lain-lain. Pemanfaatan media dalam proses pembelajaran adalah merupakan salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut, mengingat fungsi media dalam proses pembelajaran, selain sebagai penyaji stimulus juga untuk meningkatkan keserasian terutama dalam menerima informasi. Disamping itu media juga berfungsi sebagai perantara antara penyaji dengan siswa (warga belajar) dan dalam hal tertentu media berfungsi untuk mengatur langkah-langkah kemajuan serta untuk memberikan umpan balik.
Moldstad (dalam Harsya W Bachtiar, 1984) menyatakan bahwa teknologi instruksional dalam proses pembelajaran akan dapat menimbulkan kondisi-kondisi positif, seperti :
1. Belajar lebih banyak terjadi jika media diintegrasikan dengan program instruksional yang tradisional.
2. Jumlah belajar yang setara sering dapat tercapai dalam waktu yang lebih singkat dengan menggunakan teknologi instruksional.
3. Program instruksional dengan menggunakan berbagai media yang didasarkan pada suatu pendekatan sistem, seringkali memudahkan siswa dalam belajar secara lebih efektif.
4. Program-program multi media dan atau tutorial audio untuk pembelajaran biasanya lebih disukai siswa bila dibandingkan dengan pengajaran tradisional.
Pada tahun 1973 (Schramm dalam Harsya W Bachtiar, 1984) membahas kepustakaan mengenai penelitian media dengan maksud menguji pernyataan Gane bahwa kondisi yang diperlukan untuk belajar dapat dihasilkan oleh setiap media" Schramm menyimpulkan bahwa siswa yang telah bermotivasi dapat belajar dari medium apa saja jika media itu dipakai menurut kemampuannya dan disesuaikan dengan kebutuhan
Dalam keterbatasan fisiknya, setiap media dapat menampilkan tugas pendidikan apa saja. Soal apakah seorang siswa belajar lebih banyak dari suatu media tertentu ketimbang dari media yang lain, setidaknya lebih tergantung pada bagaimana media yang bersangkutan digunakan ketimbang pada media apa yang digunakan.
Schramm mengemukakan beberapa fungsi media sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan belajar yang lebih luas sampai kepada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang mungkin dapat dicapai dengan tanpa media.
2. Membantu guru/tutor dalam menyusun program pembelajaran agar menjadi lebih efektif.
3. Sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses pembe-lajaran.
4. Memberikan pengalaman tanpa wahana abstrak, misalnya menerangkan tentang ember akan lebih jelas bila ditunjukkan bendanya.
C. Pemilihan (Seleksi) Media
Beranekaragamnya media serta masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, maka guru/tutor harus berusaha memilih media dengan selektif. Persoalannya adalah bagaimana seorang guru/tutor dapat memilih media dengan tepat ?.
Mudhofir mengemukakan ada tiga kesulitan dalam memilih media, yaitu :
1. Media itu sendiri banyak macamnya, sehingga menimbulkan keraguan dalam menentukan pilihan.
2. Dalam pemilihan media terdapat keluwesan. Tidak ada keharusan atau kemutlakan walaupun sudah ada pedoman umum.
3. Tidak semua guru/tutor mempunyai pengalaman yang luas dalam pemakaian media. Selain itu persediaan dari media itu sendiri sering tidak memadai, sehingga guru/tutor memakai media seadanya.
Agar prinsip efektivitas kerja tercapai dalam proses pembelajaran, Schramm menyarankan agar pemilihan media memperhatikan dua hal, yaitu ekonomis dan praktis. Selain itu pemilihan media juga tidak terlepas dari program pembelajaran. Sehubungan dengan adanya media besar dan media kecil, penggunaan media besar akan memberikan harapan dimana pendidikan akan dapat menjadi lebih produktif. Akan tetapi disatu sisi hal ini memerlukan biaya yang besar, hal ini tentu menjadi masalah terutama dinegara-negara yang sedang berkembang, namun tidak demikian halnya bagi negara-negara maju seperti Amerika.
Dinegara-negara sedang berkembang cendrung menggunakan media kecil dibandingkan dengan media besar. Misalnya, Thailand menggunakan media yang murah untuk mengembangkan kesempatan belajar di sekolah metropolitan dan kota-kota kecil serta pedesaan. Nigeria memilih kombinasi radio dan slide untuk keperluan pertanian dan kesehatan. Kolombia telah memilih siaran radio untuk mengajarkan baca tulis fungsional bagi penduduknya. Sekalipun demikian, kini telah mulai dipertimbangkan pemakaian media yang lebih besar/kompleks.
Untuk negara maju, ada beberapa faktor yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih media besar yaitu :
Pertama: Keperluan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama untuk pekerja dewasa tanpa perlu memperbanyak kampus dan sekolah.
Kedua: Masalah pendidikan yang mempunyai sistem yang universal guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi lapisan masyarakat ba-wah dan kelompok minoritas.
Dengan demikian, pemilihan media adalah bersifat lokal, dalam arti mempertimbangkan kebutuhan setempat dan keadaan sumber daya dan memperhatikan petunjuk-petunjuknya sesuai dengan kenyataan. Selain pertimbangan yang langsung bertalian dengan pendidikan, ada juga per-timbangan lain seperti : pertimbangan politik, prestise dan juga aspek hiburan (misalnya ingin memberikan hiburan kepada masyarakat).
Zainuddin (1983) memberikan beberapa kriteria pemilihan media sebagai berikut :
1. Tujuan
2. Ketepatgunaan
3. Keadaan siswa/warga belajar
4. Ketersediaan
5. Mutu teknis
6. Biaya
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Media
Pemilihan media dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1. Faktor tugas, 2. Faktor media, dan 3. Faktor biaya. Keputusan (pemilihan) media pada tingkat manapun perlu dinyatakan secara tegas mengenai tugas yang akan dikerjakan, dugaan tentang efektivitas media yang akan digunakan, dan harga yang mungkin diperlukan dikaitkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Ini berarti, setiap pemilihan media memerlukan informasi dari tiga sumber yang berbeda, yaitu : ilmu pendidikan, bidang ekonomi, penelitian tentang media dan pengalaman.
Istilah faktor tugas yang berasal dari dunia pendidikan memerlukan analisa dari tiga aspek, seperti :
1. Keperluan relatif dan manfaat yang mungkin ada dari pendidikan yang hendak dicapai.
2. Keperluan dan kemampuan murid yang belajar.
3. Prioritas langkah untuk berbuat, termasuk keputusan sementara menge-nai skala, kualitas, dan kontrol khusus yang dirasakan perlu.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Analisis Tugas
Analisis Murid
Analisis Prioritas
Pada setiap kasus akan nampak interaksi antara berbagai analisa seperti : analisa tugas, murid dan prioritas. Tugas yang tersedia barangkali perlu direvisi bila mungkin telah diketahui murid, kebenaran tentang apa yang perlu diketahui murid dan prioritas yang hendak diberikan, dianalisa dan dinilai berdasarkan keperluan murid.
Faktor media juga merupakan proses interaktif yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Analisis Efektivitas
Analisis Ketersediaan
1. Ketersediaan media
2. Hasil dari pemakaian media

Evaluasi Media
1. Berdasarkan pengalaman
2. Laporan peneli-tian lapangan

Dugaan efektivitas dapat diketahui dari laporan penelitian dan proyek di lapangan. Umpamanya guru bermaksud mengajarkan bagaimana mesin ketup bekerja, memutuskan untuk memilih penggunaan media berupa film gerak lambat yang dianggap paling efektif. Namun demikian walaupun ada proyektor film akan tetapi tidak mampu menyewa ataupun meminjam film yang diperlukan, maka film gerak lambat tidak dapat dipilih. Barangkali bagan atau film strip yang akan digunakan.
Tabel di bawah ini berisi syarat-syarat tentang/berkenaan dengan tiga media besar yang dipertentangkan dengan media kecil. Kesulitannya terletak pada masalah ketersediaan media yang diperlukan.
Syarat-Syarat Jenis Media
TV Pengajaran Komputer pengajaran Radio Film PI Media Visual sederhana
Aliran listrik tersedia meluas Ya Ya Tidak Ya Tidak Mungkin tidak
Mesin yg komplek Ya Ya Tidak terlalu Tidak terlalu Tidak Tidak
Pemeliharaan yang sulit Ya Ya Kurang Tidak terlalu Tidak Tidak
Perlu operator yang terlatih benar Ya Ya Kurang Tidak Tidak Tidak
Keterangan:
Masing-masing dari kegiatan itu bila dilaksanakan tersendiri hendaknya menghasilkan suatu daftar prioritas, untuk tugas yang perlu dikerjakan, untuk media yang digunakan dan untuk alternatif jenis media yang dinilai kegunaannya dari segi ekonomi.
Bila digambar dalam bentuk bagan proses tersebut terlihat sebagai berikut :
Alternatif media
PrioritasTugas
Alternatif ekonomi

Dalam prakteknya semua unsur-unsur tersebut berjalan secara bersama-sama. Analisis biaya berhubungan dengan analisis media, tetapi sering terjadi perubahan pikiran yang disebabkan oleh data tentang media. Dan bila data yang diinginkan tidak mungkin digunakan, maka perlu diadakan pembahasan dalam penentuan prioritas tugas. Keseluruhan hasil menurut teorinya akan terjadi/menjadi perkiraan keperluan-biaya-efektivitas yang mungkin seorang pendidik atau perencana pendidikan mengambil kesimpulan bahwa untuk suatu tugas yang diprioritaskan, media yang tersedia merupakan yang terbaik ditinjau dari biaya dan efektivitasnya.
Kesimpulan utama mengenai efektivitas media ialah hubungan umum yang mengikat media dengan tugas-tugas belajar :
1. Siswa akan mampu belajar dengan media jenis apa saja, baik di sekolah ataupun di luar sekolah, sengaja atau tidak sengaja, mempelajari hal-hal yang seharusnya dipelajari atau tidak.
2. Media mampu melayani berbagai tugas mengajar. Menurut Gagne bahwa sebagian besar tugas mengajar dapat dilakukan dengan sejumlah besar media
3. Pada dasarnya penentuan pilihan mengenai media biasanya ialah pemilihan kombinasi media.
4. Tugas memilih media tidak mudah dan tidak jelas dirumuskan.
RUJUKAN
Bachtiar, Harsya W, 1984. Media dalam Pembelajaran. Jakarta : CV Rajawali dan Pustekom Dikbud
Basori, Mukti. 1983. Pusat dan Sumber Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni Bandung
Mudhoffir. 1984. Teknologi Instruksional. Bandung: CV Remaja Karya, Bandung
W Schramm. 1977. Big Media Litle Media. London: Sage Public-Baverly Hills



Sumber:
http://umsb.ac.id/?id=6

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

Mientje D.E. Roembiak

(Ketua Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)


Abstract

This article will descripe only some aspects of the use and a category of land
as well as the rights to land in the Biak-numfor culture area.
The Byak people distinguish the following categories of land. First, Karmgu
or mbrus , is virgin land or promair land/forest. Its was part of clan or
village territories. Secondly are gerdens, “yaf”, on which crop rotation is
planted. After a few years the soil is infertil, the land is called “yadas” or
“Yapur”. Thirdly, there are large land or deserted areas, they called it
“mamiai” consisting a number of Yaf-das land. When the people repeated
gerdening has made, there are still infertile it is refered to as “mamires”,
bush.
Beside of that, in the coastal villages there are part of the beach and the sea
“bosenrasowan”. The people of the villages use to catching fish. On Byak
and Numfor all decision over land of particuler Keret are taken by the
leadman of the Keret which is the oldest keret or important man, snon benai
suo or mansren mnu (master of the village).


A. PENDAHULUAN
Di tanah Papua setiap masyarakat adat mempunyai aturan-aturan yang
berkenaan dengan kekuasaan, pemilikan, pemakaian atas tanah dan
teritorial. Pada umumnya setiap etnik mempunyai pokok-pokok aturan
adat yang masih dianut, meskipun tidak tertulis. Contohnya, hak
kekerabatan, aturan hukum, hak tanah, hak persekutuan dan
sebagainya. Aturan-aturan tersebut juga mengatur hubungan-hubungan
manusia; manusia dengan alam sekitarnya bahkan relasi manusia dengan
alam gaib.
Pemilikan, kekuasaan atas tanah dan hutan meliputi air merupakan warisan
pemilik hak ulayat dari generasi ke generasi secara patrilineal. Adanya hak
paten setiap etnik diakui dan ditaati baik oleh pemiliknya maupun oleh
orang lain. Di dalam pemilikan tersebut masyarakat adat juga mempunyai
konsep kategori terhadap lingkungannya.
Secara khusus pemilikan tanah dan penggunaannya dalam masyarakat adat
Biak-Numfor telah ada sistem konversi hutan berdasarkan fungsi hutan;
demikian juga dengan kategori yang dibuat menurut statusnya. Jika kita
dapat memahaminya, sebetulnya dalam tatanan sosial budaya masyarakat
lokal telah ada aturan-aturan yang diturunkan dari generasi ke generasi,
maka ada seperangkat pengetahuan dan budaya yang menata sistem dan
pola penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Artikel ini akan memberikan suatu deskripsi tentang pengetahuan lokal
penduduk etnis Biak tentang kategori dan hak pemilikan tanah. Untuk itu
tulisan ini terdiri atas tiga bagian : pertama, gambaran umum tentang orang
Biak wilayah dan unsur budayanya; kedua, kategori tanah menurut status;
ketiga, hak atas tanah menurut aturan adat.


B. IDENTIFIKASI ETNIK BYAK – NUMFOR
Orang Biak mendiami kepulauan Biak – Numfor. Di sini terdapat tiga pulau
besar yaitu pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau Numfor sedangkan pulaupulau
kecil lainnya adalah gugusan kepulauan Padaido terletak di sebelah
timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi berada di bagian selatan pulau
Supiori pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau berada juga di bagian utara
Supiori dan kepulauan Mapia yang terletak di bagian utara pulau Ajau. Di
tahun 1961 jumlah penduduk orang Biak 35.000 jiwa (Galis, 1961)
sedangkan data terakhir tahun 2001 adalah 118.810 jiwa (BPS, Biak –
Numfor) menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226 kampung
(kabupaten Biak – Numfor dalam angka 2001).
Di samping itu ada daerah-daerah migran orang Biak, Yapen Utara, daerah
Wandamen, ujung timur pulau Yapen, Krudu, Ansus utara, pantai utara,
kepala burung (SauSapor) dan Sau Korem dan Mega. Kepulauan Raja
Ampat (Kamma, 1974; Mansoben J., 1994).
Orang Biak menggunakan satu bahasa, bahasa Biak yang digunakan di Biak
– Numfor dan daerah Migran sebagai bahasa penentuan dan komunikasi
sehari-hari. Meskipun satu bahasa daerah ada 11 dialek, 9 dialek ada di
Biak; 3 dialek ada di daerah migarn.1)
Di masa lampau sebelum kedatangan orang kulit putih, orang Biak
mempunyai mata pencaharian yang amat penting adalah perdagangan baik
antar kampung, antar suku di luar pulau Biak, sampai ke arah barat daerah
Maluku, dan ke arah timur Papua New Guinea (Kamma, 1974; Galis, 1961).
Kontak budaya ini membuat orang Biak mengadopsi beberapa elemen
budaya dari daerah-daerah tersebut ke dalam kebudayaannya sendiri.
Secara tradisional kampung atau “mnu” adalah suatu pemukiman di mana
terdapat beberapa “keret” (bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang
Numfor 2) yang bersifat patrilineal.
Organisasi sosial terkecil dalam kehidupan orang Biak adalah keret
kesatuan sosial yang bersifat exogam dan patrilokal. Organisasi dan
perencanaan orang Biak dahulu diatur di dalam kampung atau mnu oleh
seorang pemimpin yang disebut Mananwir. Dalam berbagai tahapan daur
hidup suku Biak Numfor di tandai dengan upacara adat (Wor) yang dapat
mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam
hubungan karena perkawinan tetapi juga hubungan tanah. Perkawinan
ditandai dengan pemberian benda-benda maskawin. (ararem).


C. KATEGORI HUTAN DAN TANAH
Orang Biak mempunyai pengetahuan tentang hutan, dan laut serta isinya.
Mereka mengkategorikannya menurut status dan penggunaannya, dan
bagaimana pembagian itu mengacu pada aktivitas hidup mereka sehari-hari;
wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral,
tetapi juga yang masuk dalam konvensi adat yang dilindungi.
1) Kamma, 1972; Mansoben J.R., 1994; Siltzer, 1985
2) Keret atau cr masing-masing mempunyai seorang pemimpin; yang lebih senior keretnya dalam
kampung. Di dalam kampung ada dewan, dimana keret-keret itu terwakili. Anggota-anggota dewan lain
dalam sebagai mediator antara masyarakat dan pemimpin. Kedudukan mereka dicapai dalam dewan
karena kemampuan bukan diwariskan (de Bruijn, 1965 : 82-4).
Tanah di dalam kehidupan orang Biak dibagi menjadi tiga (3) bagian.
Pertama, kata “hutan” dalam bahasa Biak adalah Karmgu, artinya hutan asli
atau hutan primer Kata ini menggambarkan kondisi hutan primer yang
lebat. Hutan ini tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota/
warga kampung. Biasanya hutan atau karmgu ini ditumbuhi oleh tumbuhan
yang spesifik sesuai dengan topografi tanah. Kata lain untuk karmgu adalah
“mbrur” Hutan ini disebut juga hutan asli. Hutan ini tidak untuk berburu
dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior makin
lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun mereka telah pindah dan
bermukim di tepi pantai hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi
milik Keret maupun mnu.
Kedua, status tanah untuk kebun disebut “yaf” tempat ini merupakan hutan
yang dibuka untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila
tanah tidak subur lagi maka bekas kebun ini disebut Yaf-das atau yapur.
Biasanya yapur atau jaf-das dapat ditinggalkan untuk sementara waktu
sekitar 2-3 tahun diolah kembali.
Ketiga, suatu padang yang sangat luas disebut “Mamiai”3) kadang-kadang
merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh
pemiliknya. Mamiai dapat ditanami kembali setelah beberapa kali panen.
Adakalanya padang yang sangat luas ini tidak subur lagi untuk ditanami
maka akan ditinggalkan menjadi hutan semak kembali, disebut “marires”4).
Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang
diuraikan di atas. Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak
subur, tidak memiliki pohon-pohon pelindung tidak pernah ditanami oleh
manusia5).
Di samping itu kata lain yang digunakan secara umum dalam bahasa Biak
untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret yang dapat
diolah sebagai sumber mata pencaharian adalah Saprop (tanah). Tanah
tersebut dapat diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu sampai sekarang
kebun-kebun diberi pagar oleh pemiliknya untuk mencegah tanamannya
dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi pendatang (bukan penduduk
pemilik kampung) yang tidak memiliki tanah untuk menggunakannya.
3) Lihat Galis K.H. : 1961
4) Key informan A.K (72 tahun) dari kampung MokmerBiasanya ada ijin dari pemilik apakah untuk menggunakannya. Biasanya ada
ijin dari pemilik apakah marires atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi
pelanggaran, tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada
kompensasi pembayaran denda atau “Wabiak”.Dahulu,daerah perang antar
keret terjadi dan ada pertumpahan daerah maupun pembunuhan merupakan
tanah yang dikutuk dan dilarang menurut adat untuk tidak boleh digunakan
dari generasi ke generasi.


D. HAK PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH
Pemilikan dan penggunaan tanah menurut aturan-aturan adat orang Biak
mengikuti status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang pertama yang
mendiami kampung tersebut mempunyai hak atas tanah. Ia mempunyai
kewenangan untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau
tanah kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Mansren Mnu dan
dianggap senior keret dalam kampung, diakui dan disegani.
Sesuatu wilayah atau teritorial berhubungan dengan pemukiman dan
pemilikan. Kita dapat melihatnya melalui pembagi-an oleh penduduk
menjadi tipe bagian yaitu :
Pertama, tempat pemukiman oleh keluarga batih.
Kedua, tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan.
Terakhir wilayah yang dihuni oleh gabungan suku dengan persekutuan
kampung. Faktor generalogis dan teritorial sangat erat hubungannya dengan
kehidupan etnik-etnik di Papua, khususnya di Biak.
Adanya hubungan genealogis yang sangat kuat untuk mempertahankan
haknya, misalnya hak individu.
Aturan-aturan adat mem-pengaruhi kepentingan seluruh persekutuan
genealogis ini untuk bermukim bersama di satu tempat, tetapi kadang
memiliki pemukiman yang sangat berjauhan. Letak pemukiman yang
berjauhan tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam aktivitas
sosial-budaya, misalnya upacara; maupun hadir untuk mengambil bagian
dalam menyelesaikan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.
Seorang perempuan yang telah menikah tidak mempunyai hak untuk
memiliki harta keret suaminya, misalnya tanah.Tetapi dalam adat Biak
perempuan mempunyai hak atas pemakaian tanah dan diberikan kepadanya
untuk diolah.
Ada aturan-aturan tertentu yang berhubungan dengan pemilikan tanah yang
boleh dipakai sebagai sumber pengolahan kesejahteraan. Mengacu pada
pembagian status tanah dan hutan dalam pengetahuan orang Byak maka
dapat dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya.
Pertama, karmgu, atau hutan merupakan milik klen, atau keret atau wilayah
kampung. Mereka mempunyai hak untuk hidup, mencari nafkah, “bosen
rasowan”. Pemilikan dan penggunaannya adalah diatur oleh keret dalam
kampung untuk menggunakan tertentu pemilikan dan penggunaan mengacu
kepada keret pertama yang mendiami kampung di pesisir pantai. (Contoh di
Numfor kampung Kameri menjadi pemilikan Wanma dan kampung Samber
dimana kampung Samber diberi ijin pemakai sebagian kecil dari tanah untuk
berladang. (Gallis, K.W., 1961).
Contoh lain di Warsa (Biak Utara) pemilik tanah adalah klen Wampier,
Marin dan Arfusan. Pemilikan dibagi menurut ketiga clan tersebut (Gallis,
K.W., 1961). Dahulu adanya migrasi yang berlangsung di antara orang Byak
karena bencana kelaparan, penyakit, hubungan dagang, perkawinan, konflik
dalam keret dan kampung. Migrasi baru terjadi karena adanya klen-klen
baru yang berdatangan dari kampung lain dan bermukim bersama pemilik
pertama sebuah kampung6).
Hal-hal yang nampak menonjol di kampung-kampung adalah banyak orangorang
muda pindah ke kota, keluar dari daerah asal karena pendidikan dan
pencarian kerja. Orang-orang tua adalah pemilik dan pengguna hak waris di
kampung. Sangat dikhawatirkan bahwa kadang-kadang kepala klen tidak
lagi memperhatikan hak pemilik yang telah meninggalkan kampung
halamannya bertahun-tahun.
Dengan adanya dewan adat Biak yang telah terbentuk maka setiap
Mananwir mnu dan keret mengatur, menata kembali dan meninjau aturanaturan
yang sudah ditetapkan. Sehingga hak-hak atas tanah ulayat dipetakan
sebagai salah satu asset keret maupun mnu, dimana warganya dapat
mengolah hasil-hasil alam yang ada untuk kesejahteraan hidup. Lebih dari
itu orang Biak mempunyai aturan yang telah dibakukan dalam ketetapan
adat baik di tingkat keret dan mnu tentang Hak Tanah/Ulayat


R E F E R E N S I
Galis , K. W. (1961) “Het Byak –Noemfoorse Gronden Recht”, di dalam
Nieuw – Guinea Studient Vols.
_____________ (1970) “Land Tenure in West Irian. Published by The New
Guinea Research Unit , The Australian National University, Number 38.
Kamma, F.C. (1972) “Koreri : Messianic Movements in The Biak Numfor
Culture Area”. The Hague M Nijhoff. KITLV Tranlation Series, 13.
Kan C.M & Timmerman J.E.C.A. (1983). ”Tijdschrift Van Hetkon”.
Nederlandsch Aar Drijks Kundig Genootschap-Leiden, E.J. Brill.
PEMDA TK II Biak Numfor (2001). ”Kabupaten Biak Numfor Dalam
Angka”
Koentjaraningrat & Harsya W Bachtiar, (1963). ”Penduduk Irian Barat” ,
Universitas Press.
Mansoben J.R , (1994) “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya”. Penerbit
LIPI – RUL. Jakarta.
Silzer, P.J. & H Heikkinen (1984).”Index of Irian Jaya Languages”. Dalam :
Irian Bulletin for Irian Jaya Languages. Abepura : Universitas
Cenderawasih , Summer Institute of Linguistics.

KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN

KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN


A.E. Dumatubun

(Staf dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)


Abstract

In this article the author tries to look on social and cultural interpretation of the health
problems on Papuan’s societies. The Papuan’s traditionally, have different views to care
out their health.
As found in most – perhaps all – societies some illnesses are viewed as having “natural” or
“naturalistic” causes, while others have “magical” or “supernatural” or “personalistic
causes. In this causes, most of the Papuan’s depent on supernatural or personalistic to care
about their health. My finding is more complexs. That is how the decision was made and
what kind of help to look for depent on many factors such as perceived the gravity of the
illness, past experience with different kinds of healers, family knowledge and therapeutic
skills (couple with the advice of friends and neighbors), cost of different kinds of treatment,
and the covenience and availability of different kinds of treatment.
The author suggests that by knowing the social and cultural interpretation of health
problems on Papuan’s, it will be more easy to apply modern medicine in the rural
societies to care out their health problems.


A. PENDAHULUAN
Orang Papua berdasarkan kajian-kajian etnografi mempunyai
keanekaragaman kebudayaan yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tidak
hanya saja pada keanekaragaman kebudayaan tetapi dalam semua unsur
kebudayaan mempunyai keaneka ragaman yang berbeda satu sama lainnya.
Keaneka ragaman ini juga melukiskan adanya perbedaan terhadap
pandangan serta pengetahuan tentang kesehatan.
Kalau dilihat kebudayaan sebagai pedoman dalam berperilaku setiap
individu dalam kehidupannya, tentu dalam kesehatan orang Papua
mempunyai seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan masalah
kesehatan berdasarkan perspektif masing-masing suku bangsa. Keaneka
ragaman dalam kebudayaan baik dalam unsur mata pencaharian, ekologi,
kepercayaan/religi, organisasi sosial, dan lainnya secara langsung
memberikan pengaruh terhadap kesehatan para warganya. Dengan
demikian secara kongkrit orang Papua mempunyai seperangkat
pengetahuan berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing dalam
menanggapi masalah kesehatan.
Kajian etnografi ini akan memberikan ilustrasi tentang bagaimana
kebudayaan, kesehatan orang Papua berdasarkan perspektif antropologi,
yang dapat memberikan pemahaman kesehatan secara kultural.


B. KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEBAGAI KONSEP DASAR
Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh
lebih kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan
kebudayaan itu sendiri akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan
kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah
dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan:
“…dalam konteks suatu aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar
pengaruhnya dalam kajian antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme”
(ideationalism) (Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.
Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif- suatu
sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada
dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”. Atau kebudayaan merupakan
perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam
proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan
penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat. Dengan demikian merupakan
pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas
dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain. Hal yang sama pula
dikemukakan oleh Sathe (1985:10) bahwa kebudayaan adalah gagasan-gagasan dan
asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat yang menentukan atau
mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya
(Kalangie,1994:1-2).
Pemahaman kebudayaan seperti dalam konteks ideasionalisme bukan hanya
mengacu pada tipe-tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada
sistem-sistem yang formal (organisasi formal dalam membicarakan
pengaruh-pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme). Untuk
dapat memahami rumusan kebudayaan, tidaklah berpendapat bahwa
seluruh kelompok masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan, tetapi
masing-masing kelompok masyarakat
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan.
Bila berbicara tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai
suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat , yang diwujudkan dalam
sistem sosial di lingkungan warganya. Berbicara tentang konsep perilaku,
hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku
kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan,
nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi,
pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan
mereka masing-masing.
Kebudayaan mempunyai sifat yang tidak statis, berarti dapat berubah
cepat atau lambat karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya
gagasan baru dari luar yang dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini
berarti bahwa terjadi proses interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan
penyandangnya dengan pranata ilmu pengetahuan yang baru akan
menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung yang
mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola perilaku
dalam masyarakat secara menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti
bahwa, persepsi warga masyarakat penyandang kebudayaan mereka masingmasing
akan menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang berbeda
tentang suatu pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit,
sehat, sakit.
Dengan demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada
terapi adikodrati (personalistik), sedangkan lainnya pada naturalistik
berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan tubuh. Hal ini berarti masyarakat
ada yang menekankan pada penjelasan sehat-sakit berdasarkan pemahaman
mereka secara emik pada konsep personalistik maupun naturalistik. Jadi
keaneka ragaman persepsi sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan,
kepercayaan, nilai, norma kebudayaan masing-masing masyarakat
penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah dikatakan bahwa
kebudayaanlah yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita
sebagai akibat dari perilakunya.
Sehubungan dengan hal di atas, maka kebudayaan sebagai konsep dasar,
gagasan budaya dapat menjelaskan makna hubungan timbal balik antara
gejala-gejala sosial (sosiobudaya) dari penyakit dengan gejala biologis
(biobudaya) seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster. Berarti
orang Papua sebagai suatu kelompok masyarakat yang mempunyai
seperangkat pengetahuan, nilai, gagasan, norma, aturan sebagai konsep
dasar dari kebudayaan, akan mewujudkan bentuk-bentuk perilakunya dalam
kehidupan sosial. Perilaku itu akan mewujudkan perbedaan persepsi
terhadap suatu konsep sehat, sakit, penyakit secara kongkrit berbeda dengan
kelompok etnik lainnya. Apalagi dengan adanya keaneka ragaman
kebudayaan pada orang Papua, tentu secara kongkrit akan mewujudkan
adanya perbedaan persepsi dalam menyatakan suatu gejala kesehatan.


C. KONSEP SEHAT DAN SAKIT
C.1. KONSEP SEHAT
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan
komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari
keaneka ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan
perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan
etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang
dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
(1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
(2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat diantara ketiganya;
(3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara cepat;
(4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
(5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
(6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam
masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik
yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berart
bahwa:
Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not
merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas
terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi
mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini
dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide
kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan
sosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan
pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep
kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi
konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan yang berbeda
terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat bahwa
seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan
aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya
sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya
dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di
bawah ini sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik
(sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis.
Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan
perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian
medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar
utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan
sosialnya setiap hari seperti biasa.
Standard apa yang dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik
berkurang sehingga ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai
kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah
salah satu harapan mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit.
Gagasan orang tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan
itu dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan.
(Kalangie, 1994:39-40)


C.2. KONSEP SAKIT
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan
secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari
masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat
berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat
disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky
(2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini
ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap
hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut
terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka
akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata. Keluhan
psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan
masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang
sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak
dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman
konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana
dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin,
bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
(1) Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu
agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa),
mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk
manusia (tukang sihir, tukang tenung).
(2) Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan
bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi
karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada
dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah
dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah
penyakit (1986;63-70)


D. ORANG PAPUA DAN KESEHATAN
D.1. IMPLIKASI KONSEP SEHAT DAN SAKIT
Implikasi dari konsep sehat dan sakit tersebut di atas, dapat memberikan
perbedaan pandangan untuk setiap individu, dan hal ini akan lebih nampak
berbeda bila dikaitkan berdasarkan konsepsi kebudayaan masing-masing
penyandangnya, seperti ditulis dalam karangan Djekky (2001: 15).
Semua obyek atau situasi dapat dipersepsikan secara berlainan oleh beberapa individu.
Demikian juga halnya dengan konsep sehat dan sakit. Pandangan orang tentang kriteria
tubuh sehat dan sakit sifatnya selalu tidak obyektif, bahkan lebih banyak unsur
subyektivitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang
sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur-unsur pengalaman masa lalu,
disamping unsur sosial-budaya. Sebaliknya para medis yang menilai secara obyektif
berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu.
Perbedaan kedua kelompok ini yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan
program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan
sarana kesehatan yang tersedia sebab ia tidak merasa mengidap penyakit. Atau si
individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahluk halus, atau “gunaguna”,
maka ia akan memilih untuk berobat kepada dukun, shaman atau orang pandai
yang dianggap mampu mengusir mahluk halus tersebut atau guna-guna orang tersebut
dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Jordan, 1985; Sudarti, 1988),
dalam Djekky (2001:15).
Lebih jauh implikasi sehat dan sakit ini dapat dilihat berdasarkan
pemahaman secara “etik” oleh para medis terhadap masyarakat secara
rasionalistik dengan melihat pada istilah yang sistimatik secara naturalistik
sebagai berikut dikutip dari Djekky (2001: 12):
Para medis umumnya mendeteksi kebutuhan masyarakat akan upaya kesehatan (Health
Care) pada tahap yang lebih awal. Kebutuhan ini akan hanya dideteksi pada awal
dimulainya suatu penyakit tetapi lebih awal lagi, yaitu ketika orangnya masih sehat
tetapi membutuhkan upaya kesehatan guna mencegah timbulnya penyakit-penyakit
tertentu. Sebaliknya masyarakat baru membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah
berada dalam tahap sakit yang parah, artinya tidak dapat diatasi dengan sekedar
beristirahat atau minum jamu. Berbagai penelitian menujukkan bahwa tindakan
pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (Self Medication). Di
Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka
datang ke petugas kesehatan, yaitu pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan
tradisional lainnya (Jordan, 1985; Sarwono, 1992, Velsink, 1992) dalam Djekky (2001:
12).
Hal ini dapat berdampak negatif bila dikaitkan dengan bentuk pertolongan
yang secara etik kurang diperhatikan, sebab nampaknya masyarakat lebih
banyak melakukan tindakan pertama apabila sakit pergi ke dukun, setelah
itu baru meminta pertolongan para medis.
Yang lebih sulit lagi, konsep sehat-sakit ini berbeda-beda antar kelompok masyarakat,
oleh sebab itu untuk keberhasilan program kesehatan, perlu dilihat persepsi
masyarakat tentang konsep sehat dan sakit, mencoba mengerti mengapa persepsi
tersebut sampai berkembang sedemikan rupa dan setelah itu mengusahakan merubah
persepsi tersebut agar mendekati konsep yang lebih obyektif. Implikasi dari konsep
sehat-sakit tersebut membawa orang dalam berperilaku mencari kesembuhan yang
bervariasi pula. Suchman (Notoatmodjo, 1993), menganalisis pola pencaharian
pengobatan dimana terdapat lima macam reaksi dalam proses pencaharian pengobatan
tersebut, yaitu:
(1) Shopping, proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seorang
yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.
(2) Fragmantation, proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi
yang sama seperti berobat ke dokter, sekaligus ke dukun.
(3) Procrastination, penundaan pencarian pengobatan walaupun gejala penyakitnya
sudah dirasakan.
(4) Self Medication, pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau
obat-obat yang dinilainya tepat baginya.
(5) Discontinuity, penghentian proses pengobatan. (Djekky, 2001:13)
Bagaimana orang Papua berdasarkan kebudayaannya mengkonsepkan sehat
dan sakit. Karena keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, maka konsep sehat dan sakit itu dapat
dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka
masing-masing.
Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan
keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia.
Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh manusia (Wambrauw,
1994). Hal ini berarti, bahwa bagi orang Moi yang sehat, ia harus selalu menghindari
gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindari diri dari tempat-tempat
dimana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, hutan larangan, dan
sebagainya). Karena kekuatan-kekuatan alam itu berada pada lingkungan-lingkungan
yang menurut adat mereka adalah tempat pantangan untuk dilewati sembarangan.
Biasanya untuk mencari pengobatan, mereka langsung pergi ke dukun, atau mengobati
sendiri dengan pengobatan tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa
penyakitnya (dukun akan mengobati kalau hal itu terganggu langsung oleh roh
manusia).
Orang Biak Numfor mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan
terdapat ketidak seimbangan dalam diri tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya
sesuatu kekuatan yang diberikan oleh seseorang melalui kekuatan gaib karena
kedengkiannya terhadap orang tersebut (Wambrauw, 1994).
Ini berarti sakit itu disebabkan oleh buatan orang lain melalui kekuatan gaib
yang bisa berupa tenung, black magic. Untuk itu maka penyembuhannya
selalu melalui dukun atau orang yang dapat mengembalikan buatan orang
tersebut dengan menggunakan beberapa mantera.
Orang Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyai
konsepsi tentang sehat dan sakit, dimana apabila seseorang itu sakit berarti
orang tersebut terkena guna-guna (black magic). Mereka juga mempunyai
pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi
keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak
dapat mendukung kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila
keseimbangan ini sudah terganggu maka akan ada banyak orang sakit, dan
biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem) yang
melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampung
secara berurutan sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali
normal dan bisa mendukung kehidupan warganya (Dumatubun, 2001).
Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila terjadi
ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbul
berbagai penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah
yang lebih berkaitan dengan tanah karena tanah adalah “mama” yang
memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan makan kepada mereka
(Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah
merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik.
Orang Moi di Kepala Burung Papua (Sorong) percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural, seperti dewa-dewa,
kekuatan bukan manusia seperti roh halus dan kekuatan manusia dengan
menggunakan black magic. Di samping itu ada kepercayaan bahwa kalau
orang melanggar pantangan-pantangan secara adat maka akan menderita
sakit. Orang Moi, bagi ibu hamil dan suaminya itu harus berpantang
terhadap beberapa makanan, dan kegiatan, atau tidak boleh melewati
tempat-tempat yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit
(Dumatubun,1999). Ini berarti untuk sehat, maka orang Moi tidak boleh
makan makanan tertentu pada saat ibu hamil dan suaminya tidak boleh
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti membunuh binatang besar,
dan sebagainya.
Hal yang sama pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu sungai
Beraur, (Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh
adanya gangguan roh jahat, buatan orang serta melanggar pantanganpantangan
secara adat. Misalnya bila seorang ibu hamil mengalami
keguguran atau perdarahan selagi hamil itu berarti ibu tersebut terkena
“hawa kurang baik” (terkena black magic/ atau roh jahat). Mereka juga
percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil/ tidak bisa meneruskan keturunan,
berarti ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi mas kawin.
Kehamilan akan terjadi bila sang suami sudah dapat melunasinya, maka
penguncinya akan membuka black magic-nya itu (Dumatubun, 1999).
Orang Hatam yang berada di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu
disebabkan oleh gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat,
dan buatan manusia. Orang Hatam percaya bahwa bila ibu hamil sulit
melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan obat racun
(rumuep) yaitu suanggi, atau penyakit oleh orang lain yang disebut “priet”
(Dumatubun, 1999).
Orang Kaureh di kecamatan Lereh percaya bahwa seorang ibu yang
mandul adalah hasil perbuatan orang lain yaitu dengan black magic atau
juga karena kutukan oleh keluarga yang tidak menerima bagian harta mas
kawin (Dumatubun, 1999).
Hal yang serupa pula pada orang Walsa (Keerom), percaya bahwa sakit
disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan orang, atau terkena gangguan
dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih dahulu,
berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada pula
disebabkan oleh roh-roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga
disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan secara adat baik berupa
makanan yang dilarang, dan perkawinan (Dumatubun,1999).
Berdasarkan beberapa contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa
orang Papua mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri
berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang
kepercayaan tersebut bila dilihat sudah mulai berkurang terutama pada
orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan, sedangkan bagi
mereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan
kesehatan moderen, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan
mereka sehari-hari
Bagaimana persepsi orang Papua tentang sehat dan sakit, dapatlah diketahui
bahwa orang Papua mempunyai persepsi bahwa sakit itu karena melanggar
pantangan secara adat, adanya gangguan roh jahat, dewa, serta pengaruh
lingkungan alam. Jadi sehat, berarti harus menghindari semua pantangan,
dan menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam serta bisa menjaga,
jangan sampai tempat-tempat keramat atau tempat roh-roh diganggu atau
dilewati dengan sengaja. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya
dengan pandangan dasar dari kebudayaan mereka masing-masing dan erat
terkait dengan unsur-unsur budaya, religi, organisasi sosial, ekonomi, sistem
pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan perilaku mereka dalam masalah
kesehatan.


D.2. INTERPRETASI ORANG PAPUA TENTANG IBU HAMIL,
MELAHIRKAN, NIFAS
Orang Papua mempunyai konsepsi dasar berdasarkan pandangan
kebudayaan mereka masing-masing terhadap berbagai penyakit demikian
halnya pada kasus tentang kehamilan, persalinan, dan nifas berdasarkan
persepsi kebudayaan mereka. Akibat adanya pandangan tersebut di atas,
maka orang Papua mempunyai beberapa bentuk pengobatan serta siapa
yang manangani, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan terhadap
konsep sakit yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, perdarahan,
pembengkakan kaki selama hamil, berdasarkan pandangan kebudayaan
mereka. Sebagai ilustrasi dapat disajikan beberapa contoh kasus pada orang
Papua ( Orang Hatam, Sough, Lereh, Walsa, Moi Kalabra). Hal yang sama
pula ada pada suku bangsa-suku bangsa Papua lainnya, tetapi secara detail
belum dilakukan penelitian terhadap kasus ibu hamil, melahirkan, dan nifas
pada orang Papua.
Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang Ibu hamil,
melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan
kebudayaan mereka secara turun temurun. Hal ini jelas didasarkan atas
perilaku leluhur dan orang tua mereka sejak dahulu kala sampai sekarang.
Bagi orang Hatam dan Sough, kehamilan adalah suatu gejala alamiah dan
bukan suatu penyakit. Untuk itu harus taat pada pantangan-pantangan secara
adat, dan bila dilanggar akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada
kehamilan seorang ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan
melakukan penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang
akan diminum oleh ibu tersebut. Tindakan lain yang biasanya dilakukan
oleh Ndaken tersebut juga berupa, mengurut perut ibu hamil yang sakit.
Sedangkan bila ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, berarti ibu
tersebut telah melewati tempat-tempat keramat secara sengaja atau pula
telah melanggar pantangan-pantangan yang diberlakukan selama ibu
tersebut hamil. Biasanya akan diberikan pengobatan dengan memberikan air
putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum ibu tersebut. Juga dapat
diberikan pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang
dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil diuruturut.
Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu
airnya diminum. Disini posisi seorang dukun perempuan atau Ndaken
sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan secara
langsung. Bagaimana persepsi orang Hatam dan Sough tentang perdarahan
selama kehamilan dan setelah melahirkan ? Hal itu berarti ibu hamil telah
melanggar pantangan, suaminya telah melanggar pantangan serta belum
menyelesaikan masalah dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila
perdarahan terjadi setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor,
dan bagi mereka adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila
terjadi perdarahan, maka Ndaken akan memberikan air putih yang telah
dibacakan matera untuk diminum oleh ibu tersebut. Selain itu akan
diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang
direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan
kerabat atau orang lain, maka suaminya secara adat harus meminta maaf. Di
sini peranan dukun perempuan (ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout,
Rengrehidodo) sangatlah penting.Persalinan bagi orang Hatam dan Sough
adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka)
yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi
ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila
terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan dalam aktivitas
berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah dari
rumah induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena menurut
orang Hatam dan Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah
keluar. Pemotongan tali pusar harus ditunggu sampai ari-ari sudah keluar.
Apabila dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau keluar.
Bagi orang Kaureh yang berada di kecamatan Lereh, juga mempunyai
interpretasi tentang ibu hamil, melahirkan dan nifas berdasarkan
pemahaman kebudayaan mereka. Orang Kaureh melihat kehamilan sebagai
suatu masa krisis, dimana penuh resiko dan secara alamiah harus dialami
oleh seorang ibu, untuk itu perlu taat terhadap pantangan-pantangan dan
aturan-aturan secara adat. Bila melanggar, ibu hamil akan memderita sakitdan bisa meninggal. Biasanya bila seorang ibu hamil mengalami penderitaan
(sakit), akan diberikan ramuan berupa air putih yang telah dibacakan
mantera untuk diminum. Yang lebih banyak berperan adalah kepala klen
atau ajibar/pikandu.
Sedangkan bila seorang ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, itu
berati ibu tersebut telah melewati tempat-tempat terlarang atau keramat. Di
samping itu pula bisa terjadi karena buatan orang dengan tenung/black
magic, atau terkena suanggi. Pengobatannya dengan cara memberikan air
putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum, atau seorang
dukun/kepala klen (ajibar/Pikandu) akan mengusirnya dengan membacakan
mantera-mantera. Apabila seorang ibu hamil mengalami perdarahan dan
setelah melahirkan mengalami perdarahan, itu bagi mereka adalah suatu hal
yang biasa saja. Perdarahan berarti pembuangan darah kotor, dan bila terjadi
banyak perdarahan berarti ibu tersebut telah melanggar pantanganpantangan
secara adat dan suami belum menyelesaikan persoalan dengan
kerabat atau orang lain. Untuk itu biasanya ajibar/Pikandu memberikan
ramuan berupa air putih yang telah dibacakan mantera yang diminum oleh
ibu tersebut. Untuk masalah pertikaian maka suami harus meminta maaf
secara adat pada kerabat dan orang lain. Sedangkan persalinan bagi orang
Kaureh adalah suatu masa krisis, dan persalinan harus dilakukan di luar
rumah dalam pondok kecil di hutan karena darah sangat berbahaya bagi
kaum laki-laki. Posisi persalinan dengan cara jongkok, karena akan mudah
bayi keluar. Pemotongan tali pusar biasanya setelah ari-ari keluar baru
dilaksanakan, sebab bila dipotong sebelumnya maka ari-ari akan tinggal
terus di dalam perut.
Bagaimana orang Walsa yang berada di kecamatan Waris daerah perbatasan
Indonesia dan Papua Niguni. Mereka juga mempunyai kepercayaan tentang
kehamilan, persalinan dan nifas yang didasarkan pada pemahaman
kebudayaan mereka secara turun temurun. Bagi orang Walsa, kehamilan
adalah kondisi ibu dalam situasi yang baru, dimana terjadi perubahan fisik,
dan ini bagi mereka bukan suatu kondisi penyakit. Sebagaimana dengan
kelompok suku bangsa yang lain, mereka juga percaya bahwa untuk dapat
mewujudkan seorang ibu hamil sehat, maka harus menjalankan berbagai
pantangan-pantangan. Namun demikian kadangkala bila ibu mengalami
sakit bisa terjadi karena adanya gangguan dari luar seperti terkena roh jahat,
atau buatan orang lain yang tidak senang dengan keluarga tersebut. Untuk
mengatasi gangguan tersebut biasanya dukun (Putua/ Mundklok) akan
membantu dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera
untuk diminum, atau dengan memberikan ramuan daun-daun yang direbus
lalu diminum ibu hamil tersebut. Sedangkan bila terjadi pembengkakan
pada kaki, berarti ibu hamil telah melanggar pantangan, menginjak tempattempat
keramat, terkena roh jahat, dan suami belum melunasi mas kawin.
Untuk mengatasi masalah tersebut, dukun akan memberikan air putih yang
dibacakan mantera untuk diminum, sedangkan untuk mas kawin, maka
suami harus lunasi dahulu kepada paman dari istrinya. Sedangkan bila
terjadi perdarahan selama hamil dan setelah bersalin, bagi orang Walsa itu
hal biasa saja, karena terjadi pembuangan darah kotor, atau ibu telah
melanggar pantangan secara adat, suami belum melunasi mas kawin dan ibu
terkena jampi-jampi. Untuk mengatasi masalah tersebut, biasanya dukun
Putua/ Mundklok akan menyarankan untuk menyelesaikan mas kawin, dan
juga diberikan ramuan daun-daun untuk diminum. Bagi orang Walsa
persalinan adalah suatu masa krisis, untuk itu tidak boleh melanggar
pantangan adat. Dahulu melahirkan di pondok kecil (demutpul) yang
dibangun di hutan, karena darah bagi kaum laki-laki sangat berbahaya. Bila
terkena darah dari ibu hamil, berarti kaum laki-laki akan mengalami
banyak kegagalan dalam usaha serta berburu. Dalam proses persalinan
biasanya dibantu oleh dukun Putua/Mundklok, tetapi disamping itu ada
bantuan juga dari dewa Fipao supaya berjalan dengan baik. Proses
persalinan dalam kondisi jongkok, biar bayi dengan mudah dapat keluar,
dan tali pusar dipotong setelah ari-ari keluar.
Orang Moi Kalabra yang berada di kecamatan Wanurian dan terletak di
hulu sungai Beraur Sorong mempunyai persepsi juga terhadap kehamilan,
persalinan dan nifas bagi ibu-ibu berdasarkan kepercayaan kebudayaan
mereka secara turun temurun. Kehamilan bagi mereka adalah si ibu
mengalami situasi yang baru dan bukan penyakit. Untuk itu ibu tersebut dan
suaminya harus menjalankan berbagai pantangan-pantangan terhadap
makanan dan kegiatan yang ditata secara adat. Mereka juga percaya bila ada
gangguan terhadap kehamilan, itu berarti ibu dan suaminya telah melanggar
pantangan, di samping itu pula ada gangguan dari roh jahat atau buatan
orang (suanggi). Untuk mengatasi hal tersebut, dukun laki-laki (Woun) dan
dukun perempuan (Naredi Yan Segren) atau Biang akan membantu dengan
air putih yang dibacakan mantera untuk diminum, atau dengan
menggunakan jimat tertentu mengusir roh jahat atau gangguan orang lain
(suanggi). Pembengkakan pada kaki ibu hamil berarti melanggar pantangan,
terekan roh jahat, disihir orang lain dan suami belum melunasi mas kawin,
serta menginjak tempat-tempat keramat. Sedangkan apabila terjadi
perdarahan pada waktu hamil dan setelah melahirkan itu adalah suatu hal
biasa, karena membuang darah kotor. Bila terjadi banyak perdarahan berati
ibu tersebut melanggar pantangan serta disihir oleh orang lain. Untuk itu
maka akan diberikan ramuan daun-daun dan kulit kayu yang direbus lalu
diminum. Kadang diberi daun jargkli, bowolas pada tempat yang sakit oleh
dukun Woun atau Naredi Yan Segren, Biang. Adapun persalinan
merupana suatu masa krisis untuk itu tidak boleh melanggar pantangan
adat. Biasanya proses persalinan dilakukan dalam pondok kecil yang
dibangun di hutan, karena darah bagi kaum pria adalah berbahaya, bisa
mengakibatkan kegagalan dalam berburu. Posisi persalinaan biasanya
dalam kondisi jongkok karena bayi akan mudah keluar, dan tali pusar
dipotong setelah ari-ari telah keluar. Untuk membantu persalinan biasanya
dukun akan memberikan ramuan daun-daun yang diminum dan pada bagian
perut dioles dengan daun jargkli, gedi, jarak, kapas, daun sereh untuk
menghilangkan rasa sakit dan proses kelahiran dapat berjalan cepat. Semua
kegiatan persalinan dibantu oleh dukun perempuan (Naredi Yan Segren).


E. POLA PENGOBATAN TRADISIONAL ORANG PAPUA
Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat
diketengahkan konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual
dapatlah dikemukakan konsep pengobatan secara “etik” dan “emik”
berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan berlandaskan
pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan
pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman
kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam,
dapatlah dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara
tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang
Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:
1. Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di
daerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip
pengobatan jimat, menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda
kuat atau jimat untuk memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah
segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan
yang berbau kuat dan berwarna tua.
2. Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di
daerah sayap burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan
kesurupan menurut van Longhem adalah seorang pengobat sering kemasukan
roh/mahluk halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi
kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan
jimat.
3. Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal
oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi,
Marind-anim, Kimaam, Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut
Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka
dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara
pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan pisau,
pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan
meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah
dan bibir daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang
dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja.
Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.
4. Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal
disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut
Oosterwal adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh,
maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai,
dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke kepala, maka injakan tersebut akan
mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
5. Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa
yang tinggal di daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan
kabupaten Jayapura yaitu suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini
menurut van Amelsvoort adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh
kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit, maka akan
keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari
hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe
penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan
daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan
kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
6. Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal
di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu
suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakit
terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa,
maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat
mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.
Apabila dikaji lebih lanjut tentang konsep sehat dan sakit menurut perspektif
kebudayaan orang Papua, maka paling sedikit ada dua kategori yang sama
seperti apa yang dikemukakan oleh Anderson/Foster, berdasarkan lingkup
hidup manusianya. Kategori pertama, memandang konsep sehat-sakit
bersifat “supranatural” artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan
dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib atau
mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia. Sedangkan
kategori kedua, adalah “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena
adanya intervensi dari alam, iklim, air, tanah, dan lainnya serta perilaku
manusia itu sendiri seperti hubungan sosial yang kurang baik, kondisi
kejiwaan, dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada
orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori
supranatural, terutama pada orang Papua yang masih berada di daerah
pedesaan dan pedalaman . Sedangkan untuk orang Papua yang berada di
daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori rasionalistik
dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada
sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua.
Bila dikaji secara mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi
masalah kesehatan secara emik, masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti
orang Papua dengan keaneka ragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi
kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan variasi lingkungan
kebudayaannya secara berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa
lainnya di Papua.


F. PENUTUP
Orang Papua yang terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan memiliki
pengetahuan tentang mengatasi berbagai masalah kesehatan yang secara
turun temurun diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Nampaknya
pengetahuan tentang mengatasi masalah kesehatan pada orang Papua yang
berada di daerah pedesaan lebih cenderung menggunakan pendekatan
tradisional karena faktor-faktor kebiasaan, lebih percaya pada kebiasaan
leluhur mereka, dekat dengan praktisi langsung seperti dukun, lebih dekat
dengan kerabat yang berpengalaman mengatasi masalah kesehatan secara
tradisional, mudah dijangkau, dan pengetahuan penduduk yang masih
berorientasi tradisional.
Sebagian besar orang Papua di daerah pedesaan lebih menekankan gejala
penyakit disebabkan oleh faktor supernatural atau adanya intervensi dari
kekuatan gaib, roh jahat, suanggi, yang semuanya dapat diatasi kembali
dengan sistem pengobatan secara tradisional pula. Namun demikian bagi
orang Papua yang berada di daerah perkotaan sudah dapat
mengkombinasikan pengetahuan moderen dalam menangani masalah
kesehatan mereka.
Saya berpendapat bahwa untuk dapat dengan mudah menyelesaikan
permasalahan penanganan kesehatan pada orang Papua di daerah pedesaan,
perlu secara mendalam memahami konsep serta interpretasi mereka
terhadap sehat, sakit, dan berbagai pengobatan secara tradisional yang
terwujud melalui kebudayaan mereka dengan baik. Dengan demikian
langkah-langkah pendekatan dalam aplikasi pembangunan kesehatan
moderen dapat terealisasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan hal
tersebut perlu diinfentarisasikan secara baik lagi suku bangsa suku bangsa
Papua lainnya yang secara lengkap belum ada literatur tentang masalah
kesehatannya, sehingga dalam menyusun program kesehatan dapat
dicarikan solusi yang terbaik.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Djoht, Djekky R. “Kebudayaan, Penyakit dan Kesehatan di Papua dalam
Perspektif Antropologi Kesehatan” dalam Buletin Populasi Papua, Vol. II.
No.4 November 2001. Jayapura. PSK-UNCEN
Dumatubun, A.E. (1999). Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan
KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Prafi dan
Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura. UNICEF-PMD.
-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Beraur,
Salawati dan Kecamatan Samate, Kabupaten Sorong. Jayapura. UNICEFPMD.
-----------------, 1999) Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE
Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Kaureh dan
Kecamatan Waris, Kabupaten Jayapura. Jayapura. UNICEF-PMD.
Foster, Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta. Grafiti
Glik, L.B. (1967). Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New
Guinea Highlands. Etnology Buletine.
Joordaan, Roy E. (1985). Folk Medicine In Madura. Dissertation, Faculty of
Social Science, University of Leiden.
Kalangie, Nico S. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan
Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. PT.
Kesaint Blanc Indah Corp.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer. Jilid 1, 2. Jakarta, Erlangga Penerbit.
Koentjaraningrat, (1994) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Jakarta. Jambatan.
Morin, Jack (1998). Profil Masyarakat Towe. Jayapura. Yayasan Kesehatan
Bethesda.
Muzaham, Fauzi. (1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta. UI Press.
Sarwono, R. (1992). Personalistics Belief In Health: A Case of West Java,
Leiden. Workshop on Health Care in Java.
Sarwono, S. (1993). Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta
Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada Press.
Slamet-Velsink, (1992). Sense And Nonsense of Traditional Healers.
Leiden, Workshop on Health Care in Java.
Sudarti, dkk. (1985). Persepsi Masyarakat Tentang Sehat-Sakit dan
Posyandu. Depok. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
Wambrau, D. (1994). Konsep Sehat, Persepsi Sakit dan Cara Pengobatan
pada Suku Moi di Kecamatan Sentani, Jayapura. PSK-UNCEN.
---------------, (1996). Mati Karena Dibunuh Suanggi: Suatu Konsep Sakit
dan Persepsi Penyakit Masyarakat Pulau Nunmfor, Jayapura. PSKUNCEN.
World Health Organization (WHO). (1981). Development of Indicator for
Monitoring Progress Towards Health for All by The Year 2000, Geneva,
WHO.

DR. J.VAN BAAL (SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA)

DR. J.VAN BAAL (SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA)


Frumensius Obe Samkakai

(Kepala Seksi Lingkungan Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Papua)


Abstract

Jan van Baal was born in Scheveningen, Holland in Nvember 1909. He studied
languages, culture history and law in Netherlands East Indies in Leiden from 1927
to 1931 with specialization in Anthropology.
He argues that Marind-Anim life style is complex, full of symbol and their way of
life affected by apprehended intensionality and covered by mystery of Dema. The
people proud as Animha with no disturbance from modernization.
Marind-Anim according to van Baal have ascriptive way of thinking, centred on
Dema, not like modern man who have descriptive way of thinking.


A. PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis sebagai bahan kajian histori mengenai pandangan salah
satu etnolog asal negeri kicir angin, J. van Baal mengenai penilaiannya pada
orang Marind-Anim dan otobiografinya selama bekerja di Tanah Papua.
Pandangannya pada masyarakat Marind-Anim, saya lebih fokuskan pada
aspek Ilmu Antropologi dari pada aspek penerapan ilmu antropologi seperti
yang dilakukan negara jajahan pada masyarakat jajahannya. Banyak teori
dan konsep yang ia kembangkan setelah 30 tahun dia bekerja dengan orang
Marind-Anim, yang berguna bagi pengembangan ilmu antropologi.
Konsep dan teori seperti gaya hidup orang Marind-Anim yang rumit, penuh
simbolisme, berpikir menurut asas apprehended intensionality, diliputi oleh
misteri dema ; Konsep general concepts concerning man and his life;
Konsep a system of recurring oppositions and associations. Merupakan
konsep dan teori yang sangat penting untuk perkembangan Ilmu
Antropologi.

B. GUBERNUR PENCARI DEMA
B.1. Dari Indologi ke Etnologi
Jan van Baal lahir di Scheveningen Holland Nopember 1909, belajar
bahasa-bahasa, sejarah kebudayaan, dan hukum Netherlands East Indies di
Leiden 1927-1932 dengan spesialisasi antropologi, mencapai gelar Doktor,
disertasinya tentang religi dan masyarakat Pantai Selatan Netherlands New
Guinea 1934, kemudian masuk pegawai negeri sipil. Dua tahun berdinas di
Tanah Jawa dan Madura, ke Pantai Selatan Netherlands New Guinea, pindah
lagi ke Tanah Jawa, pindah lagi ke Lombok, dipenjarakan oleh Bala Tentara
Pendukukan Dai Nippon di Sulawesi Selatan 1942-1945. Kemudian
berturut-turut berdinas kembali di Jakarta, Bali, Lombok, dan Sumatra
Timur. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pindah lagi ke
Netherlands New Guinea menjadi Penasehat Urusan Pribumi dalam
Pemerintahan Netherlands New Guinea. Menjadi anggota Parlemen
Belanda, kembali lagi ke Netherlands New Guinea memangku jabatan
Gubernur Netherlands New Guinea 1953-1958. Menjadi anggota Royal
Tropical Institute di Amsterdam 1959, menjadi direktur bidang antropologi
pada Royal Tropical Institute itu 1962-1969, asisten professor pada
Universitas Utrecht, kemudian dikukuhkan menjadi professor pada
Universitas Utrecht. Pensiun September 1975, pemrakarsa CESO (The
Centre for the Study of Education in Changing Societies 1963. Pernah
menjabat ketua WOTRO) Netherlands Foundation for the Advancement of
Tropical Research, anggota Board of the Royal Institute of Language and
Antropology di Leiden, dan anggota Unesco hingga 1972 (P.E. de Josselin
de Jong, Ed, Structural Anthropology in the Netherlands, KITLV,
Translation Series 17, Second Edition, Foris Publications Holland/U.S.A,
1983, 320-321).
Van Baal seorang administratur yang oleh minat yang dalam telah
menempuh sebuah lorong Indiologie untuk berusaha memahami isi hati
bangsa-bangsa jajahan di Kepulauan Selatan yang di Negeri Kincir Angin
lebih dikenal sebagai Netherlandsh Indie. Satu pulau pada tepi timur
Kepulauan Selatan itu yang telah lama dieksplorasi yang oleh akumulasi
pengetahuan tentang pulau itu berusaha didefinisikan sebagai satuan
administratif Netherlandsche New Guinea. Kepulauan Selatan itu makin
menarik perhatian negara-negara Eropa Barat yang sedang berusaha himpunkepercayaan diri dari kelumpuhan akibat dua Perang Dunia dan pelapukan
administrasi kolonial yang makin pasti. van Baal adalah anak zaman transisi
kolonial yang diharapkan akan selamatkan bangunan VOC yang harus
ditransformasikan ke dalam sistem kenegaraan jajahan modern dengan
perekat etnologi.
Laporan-laporan berkala oleh karya missionaris Katholik di Selatan
Nederlandsch Nieuw Guinea terutama pengumpulan kosa kata pribumi oleh
Geurtjens dan Drabbe. Pencatatan tentang kehidupan pribumi oleh
J.C.Verschueren, Vertenten, Nevermann, dan Paul Wirz, dan sejumlah arsip
pemerintahan di Afdeling Zuid Nieuw Guinea telah mendorong van Baal
rampungkan disertasi doktoralnya yang berjudul Godsdienst en
samenleving in Nederlandsch-Zuid-Nieuw Guinea, Amsterdam: Noord-
Hollandsche Uitgevermaatschappij, 1934. Disertasi doktoral itu yang
makin disempurnakan dengan fokus Marind-Anim sepanjang karir
etnologisnya yang hampir menyita seluruh masa berdinasnya sejak tahun
1934 hingga rampungnya penelitian etnologi itu tahun 1966 berjudul:
Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea),
The Hague, Martinus-Nijhoff).
Nederlandsch Nieuw Guinea dan Lombok adalah lapangan penelitian van
Baal dengan minat yang kuat dalam antropologi religi yang telah
mempersembahkan beberapa karya tulisnya sebagai berikut:
1). Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New
Guinea), The Hague, Martinus-Nijhoff, 1966);
2). Symbol for Communication, Assen, Van Gorcum, 1971;
3). The message of the three illusions, 1972;
4). Reciprocity and the position of women, 1975;
5). Aggression among equals, Assen, Van Gorcum, 1974; dan
6). Mensen in verandering, Arbeiderspers, Amsterdam, 1967.
7). Jan Verschueren’s Descriptions of Yeinan-Culture, Extracted from
the Posthumous Papers, KITLV, The Hague-Martinus Nijhoff,
1982.

B.2. Rumah Belum Selesai Dibangun
Rumah belum selesai dibangun adalah ungkapan van Baal yang berhasil
masih diingat oleh Bapak Guru Pensiun Mabad Gebze ketika penulis pada
tahun 1999 menemuinya Mabad Gebze yang adalah kakek sepupu dengan
penulis. Ungkapan rumah belum selesai dibangun itu adalah ungkapan khas
Marind-Anim untuk mengatakan sebuah perjuangan pembangunan yang
menyangkut kehidupan kemasyarakatan sebagai pembangunan Marind-
Anim berbasis kebudayaan. Rumah itu rumah Marind-Anim yang berusaha
dibangun kembali oleh van Baal melalui rekonstruksi penulisan etnologinya
lewat analisis mitologi Marind-Anim telah membuatnya terpesona oleh
gaya hidup Marind-Anim yang rumit, penuh simbolisme, berpikir menurut
asas apprehended intensionality, diliputi oleh misteri dema, mementaskan
drama keagungan ritus-ritus kehidupan, menampilkan kebanggaan diri
Marind-Anim sebagai animha tanpa terusik oleh modernisasi, pemujaan
Marind-Anim atas negerinya. Untuk van Baal sendiri sebuah hutang budi
dari sebuah persahabatan bertahun-tahun lamanya untuk mengabadikan
potret isi rumah Marind-Anim yang adalah isi hati animha.
Aliran Leiden yang menempatkan mitologi sebagai kerangka berpikir yang
melandasi perilaku budaya seperti yang diyakini oleh J.P.B de Josselin de
Jong nampak pada seluruh wacana etnologi van Baal pada Marind-Anim
yang dikatakannya sistem kasifikatori (classicatory system). Kehidupan
Marind-Anim yang oleh penerjemaah diterjemahkan sebagai general
concepts concerning man and his life nampak pada sistematika penulisan
etnologi Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New
Guinea). Ia melukiskan siklus hidup individu Marind-Anim/Anum tanpa
memandang identitas klen dan moiety. Bahwa Marind-Anim/Anum
mengikuti perjalanan matahari yang adalah perjalanan manusia seperti
burung bangau (ndik) dari matahari terbit ke matahari terbenam kembali ke
matahari terbit. Diasosiasikan lagi seperti penanaman pohon kelapa saat
kelahiran anak, penebangan pohon kelapa saat akhir usia, dan penamaan
anak dengan nama kepala (paigiz). Perjalanan manusia itu sebuah inisiasi
panjang dari pesta perkawinan kedua orang tua, kelahiran di rumah bersalin
(oramaha), pemberian nama, pengasuhan anak, aroi patur (l), wokraved (l),
ewati (l), miakim (l), kivasomiwag (p), wahuku (p), iwag (p), pesta
perkawinan, kehidupan perkawinan sebagai orang dewasa, pengabadian
kisah-kisah kepahlawanan budaya, dan perjalanan pulang ke matahari terbit.Sistem klasifikatori (classicatory system) menurut van Baal adalah sebuah
sistem oposisi-oposisi dan asosiasi-asosiasi yang selalu berulang a system of
recurring oppositions and associations dari langit-bumi, matahari (katane)-
bulan (mandau), timur (sendawi)-barat (muli), musim kemarau (pig)-musim
penghujan (umbr), belakang (es)-depan (mahai), moiety dominan-moiety
dialektis, dan lain-lain. Marind-Anim dikatakannya menganut cara berpikir
ascriptive bukan descriptive seperti manusia modern, hidup dalam dunia
appehended intentionality berkarakteristik manusia, dan berpusat pada
dema. van Baal artikan dema itu sebagai beings yang hidup pada jaman
mitis, biasanya mengambil rupa manusia, kadang-kadang juga dalam rupa
satwa yang menjadi leluhur klen dan subklen, diasosiasikan dengan totem,
dan seringkali juga pencipta totem (van Baal, Dema, 179). Sikap tremendum
dan fascinating terhadap penghayatan dema kontras dengan penampilan
Marind-Anim yang dikatakan oleh van Baal sendiri sebagai “Marind-Anim
yang bebas bepergian, humoris, menikmati apa yang ada, dari luar hampir
tidak terkesan oleh dunia tak nyata yang begitu banyak menguras tenaganya,
dan sikap realistik terhadap kehidupan sehari bersamaan dengan ritual yang
rumit, magis, dan seremoni” (van Baal, Dema, 929).
Bagian akhir dari buku Dema, Description and Analysis of Marind-Anim
(South New Guinea), meninggalkan pertanyaan-pertanyaan spekulatif
tentang sisi esoteris budaya Marind-Anim dari misteri dema yang dalam,
dramatisasi gender yang dipahaminya dalam pengertian erotisme dari kultus
phalus, dan semangat raiding terhadap para suku tetangga untuk katarsis
agresivitas yang sebenarnya dapat dipahami sebagai bentuk permainan
mendalam dari inisiasi keras sebagai pengalaman puncak dari ciri-ciri
homoludens.
Pandangan awalnya yang keliru tentang struktur sistematis dari religi
Marind-Anim yang disangkanya berasal dari sikap non-reflektif Marind-
Anim telah diakuinya pada bagian penutup dari buku Dema, Description
and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea) sebagai cara berpikir
ascriptive dengan logika ketat berupa kecakapan dan perenungan sadar
Marind-Anim tentang simbol-simbol yang menyatukan the secret meaning
and intention of the universe. Cara berpikir ascriptive itu berusaha
dibandingkan dengan para suku bangsa Trans-Fly di Teluk Papua, Selat
Torres, dan Aborigin Autralia yang termasuk satu wilayah budaya dengan
Marind-Anim seperti Elema, Kiwai, Mawata, dan Aranda.
Studi perbandingan yang bagus itu dimasukkan ke dalam tubuh karangan
Dema, Description and Analysis of Marind-Anim (South New Guinea)
pada orang Boadzi di Sungai Fly Atas berdasarkan data yang dikumpulkan
oleh Verschuren yang dapat makin lengkap bila kelompok Marind Yeinan
dibandingkan juga bersama orang Boadzi. Sayang catatan anumerta
Verschurens tentang orang Yeinan diterbitkan tahun 1982 yang bukan
berbentuk studi perbandingan berjudul Jan Verschueren’s Descriptions of
Yeinan-Culture, Extracted from the Posthumous Papers, KITLV, The
Hague-Martinus Nijhoff, 1982.

B.3. Diversitas Tersamar
“Kemiskinan kebudayaan material, diversitas yang besar dalam kehidupan
beragama, kehidupan sosial, pengelompokan lokal kecil yang tidak
mencapai kelembagaan chieftainship seperti para suku bangsa Melanesia,
dan dapat mengambil pengaruh kepemimpinan Melanesia dan juga
Indonesia merupakan ciri-ciri peradaban Papua yang paling menonjol.
Ekualitas setiap warga suku barangkali berasal dari penolakan terhadap
tekanan yang tak terelakkan dari kelompok sosial yang lebih besar pada para
warganya. Sumberdaya sosial lemah dalam kehidupan orang Papua,
kelompok para warga selalu pecah dan menarik dari untuk waktu pendek
atau juga lama ke kebun yang jauh tempat memulai komunitas baru yang
paling selaras dengan pilihannya. Bahkan para pemenggal kepala yang
adalah musuh itu sering tidak membuat kelompok-kelompok kecil itu
bersatu, hampir lebih tidak takut terhadap para pemenggal kepala daripada
terhadap suanggi di kampung sendiri. Hal itu yang dapat menjelaskan
diversitas kehidupan kebudayaan dan kemiskinan materialnya mereka selalu
mulai lagi dari awal dan tidak pernah mencapai masyarakat yang cukup
besar untuk mencapai tingkat kemajuan material yang berarti.
Hampir tidak mungkin dilakukan klasifikasi provinsi kebudayaan oleh
karena diversitas kehidupan kultural yang besar itu mengingat bahwa
klasivikasi itu tidak dapat dilakukan tampa paling kurang pengetahuan yang
luas tentang sejumlah besar para masyarakat ini terutama Papua bagian
barat. Kebudayaan Papua dan kebudayaan Papua–Melanesia tidak dapat
bentuk membantu pembentukan klasifikasi sejumlah besar peradaban asli
Papua.Upaya-upaya ke arah itu terulangkali tergangu oleh perbedaanperbedaan mendasar dalam etos dan struktur bahkan di antara para suku
bertetangga.
Bentuk klasifikasi paling nyata terlihat pada perbedaan bentuk-bentuk
kehidupan ekonomi, upacara-upacara dan kehidupan sosial para suku
bangsa. Kebun sagu biasanya lebih rumit dan sifatnya lebih emosional
daripada para suku bangsa kebun ubi-ubian. Kecuali para suku bangsa
kebun sagu Pantai Utara, terlihat beda antara para suku bangsa dataran
rendah dengan pegunungan tengah, para pedagang uang kulit kerang yang
menjangkau luas.
Apapun upaya ke arah itu banyak pengecualian, nampak cara satu-satunya
untuk hantarkan kehidupan orang Papua ke khlayak pembaca tanpa harus
menyertakan sejumlah klasifikasi yang diperdebatkan ini. Namun sebuah
resume yang agak lebih rinci tentang kehidupan budaya beberapa suku
bangsa, dan lebih baik tidak dilakukan deskripsi tentang para suku bangsa
lainnya secara bersama” (Dr. J. van Baal, Volken, Summary, Ethnology
dalam Nieuw Guinea, DEEL III, 1954, 468).


DAFTAR PUSTAKA
Dr. J. van Baal, 1954. Volken, Summary, Ethnology dalam Nieuw Guinea,
DEEL III.
--------------------, 1966. Dema, Description and Analysis of Marind-Anim
(South New Guinea), The Hague, Martinus-Nijhoff
--------------------, 1971. Symbol for Communication, Assen, Van Gorcum.
--------------------, 1972. The message of the three illusions.
--------------------, 1975. Reciprocity and the position of women.
---------------------. 1974 Aggression among equals, Assen, Van Gorcum.
------------------, 1967. Mensen in verandering, Arbeiderspers, Amsterdam.
------------------, 1982 Descriptions of Yeinan-Culture, Extracted from the
Posthumous Papers, KITLV, The Hague-Martinus Nijhoff.