Saturday 25 December 2010

Arya Penangsang - Satria Sejati

Arya Penangsang - Satria Sejati



Perseteruan Jipang dengan Pajang.

Perkembangan yang memanas antara aria Pengangsang dengan sultan Hadiwiijaya, sangat menggelisahan hati kanjeng sunan Kalijaga. Disatu sisi sunan Kalijaga adalah salat satu guru dari Jaka Tingkir, disisi lain sunan Kudus yg berpihak pada aria Penangsang adalah merupakan kerabatnya sebagai Ulama utama di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga tidak ingin lagi terjadi ribut perebutan kuasa. Dan berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah dari terjadi diantara keturunan dinasti Demak Bintara. Untuk itu sunan Kalijaga datang mengunjungi sunan Kudus.

Dalam silaturahim antara sunan Kudus dengan sunan Kalijaga dibincangkan soal ketegangan antara Pajang deng Jipang. Pandangan sunan Kalijaga tentang keberpihakan sunan Kudus terhadap aria Penangsang diakui kebenaranya sunan Kudus. Akan tetapi, menurut sunan Kalijaga, Demak sudah runtuh. Para Wali memiliki andil yang menyebabkan Demak runtuh. Pada awalnya para wali bersepakat untuk membangun Demak sedikitnya bisa menyamai kejayaan Majaphait atau berumur lebih panjang dari Majapahit. Dengan cara ikut berkiprah dalam urusan tata negara.

Kesultanan Pajang berdiri karena Hibah dari ratu Kalinyamat kepada Hadiwijaya. Dan saat ini Kesultanan Pajang berada dibawah sultan Hadiwijaya yang bukan darah sentono Demak. Jadi jika aria Penangsang menuntut tahta Pajang, hal itu sudah diluar adat dan ketentuan Hukum, Yaitu mengambil “harta” yang sudah dihibahkan kepada orang lain.

Sunan Kalijaga memohon kepada sunan Kudus agar para sepuh (wali) sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.

Biarkanlah Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh tinggal nonton saja. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua. Yang becik ketitik sing ala ketara. Kita (wali) lebih baik mensyi’arkan Islam tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Kita (wali) adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai kita (wali) terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata pawongan (baca; rakyat jelata), jika melihat para Ulama kok ikut-ikutan cari mukti (kekuasaan duniawiyah) sendiri.

Sunan Kudus berniat kembali kepada khitahnya sebagai ulama. Tidak lagi ingin mencampuri urusan dunia kekuasaan. Dan berniat untuk bersikap netral. Oleh karena itu Sunan Kudus memanggil aria Penangsang untuk menjelaskan maksudnya.

Sunan Kudus menjelaskan wacananya kepada aria Penangsang. Bahwa memang Penangsang punya hak sebagai pewaris Kesultanan Demak. Akan tetapi Demak sudah runtuh. Jadi hak waris Penangsang atas Demak sudah tidak ada lagi. Karena semua yang ada di Demak sudah dihibahkan kepada Pajang. Dan Sultan Pajang bukan keturunan Demak, Meski masih memiliki tetes getih dari Majapahit. Sehingga menurut adat maupun hukum tuntutan untuk mengambil tahta Pajang sudah berada diluar adat hukum.

Mendengar penjelasan sunan Kudus, aria Penangsang merasa ditinggal sama pepundenya. Dan menyatakan bahwa tanpa kanjeng sunan Kudus berpihak pada Penangsang. Jipang Panolan sanggup menghancurkan Pajang asal kanjeng kiai Betok keris pusaka sunan Kudus menjadi sipat kandel aria Penangsang berdampingan dengan keris pusaka kiai Setan Kober miliknya.

Sunan Kudus sudah tidak bisa lagi menghalangi nafsu aria Penangsang untuk merebut tahta Pajang dari tangan Hadiwijaya. Sebagai pernyataan bahwa sama sekali sunan Kudus tidak meninggalkan aria Penangsang maka keris Kiai Betok diserahkan kepada Penangsang. Sunan Kudus Cuma ingin meynampaikan bahwa maksudnya sunan Kudus tidak lagi ikut campur dalam urusan tata negara.

Rencana menggulingkan Pajang.

Aria Penangsang kecewa merasa ditinggalkan oleh sunan Kudus. Namun sedikit terhibur, karena keris saksti Kiai Betok milik sunan Kudus sudah berada di tanganya sebagai sipat kandel adipati Jipang. Dengan memiliki dua pusaka yaitu keris kiai Setan Kober dan kiai Betok, meski tanpa dukungan langsung dari sunan Kudus aria Penangsang merasa kuat untuk menghadapi Pajang. Karena aria Penangsang juga yakin bahwa tidak satupun para wali yang ikut campur dalam perseteruan antara Jipang dengan Pajang.

Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh aria Penangsang bahwa disamping sultan Hadiwijaya ada tiga tokoh utama murid-murid sunan Kalijaga. Yakni Pemanahan, Juru Mertani dan Panjawi. Sedangkan disisi aria Penangsang cuma ada satu yakni Sumangkar. Ibaratnya Sultan Hadiwijaya punya tiga Jenderal, tetapi aria Penangsang cuma punya satu Jenderal.

Usaha melakukan pembunuhan terhadap sultan Hadiwijaya oleh aria Penangsang dilakukan dengan aneka cara diantaranya setelah perundingan diplomatis, dimana secara diam diam oleh aria Panangsang. Dimana dalam perundingan tersebut mengalami jalan buntu akibat tidak terimanya usul sultan Hadiwijaya memberikan Demak kepada aria Penangsang dan status Demak sebagai kadipaten dibawah kesultanan Pajang.

Sangat beruntung bagi sultan Hadiwijaya, karena seusai perundingan menyimpang dulu ke wilayah gunung Danaraja ,Jepara untuk bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa lukar umbar aurat. Tujuan Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Danaraja adalah memenuhi permintaan sunan Kalijaga untuk menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya berhasil menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Dan membawa sang Ratu kembali ke Jepara untuk memimpin kabupaten Jepara yang lama kosong ditinggal bertapa. Himbauan Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat, menyatakan bahwa jika Jepara dibiarkan kosong, maka dengan mudah aria Penangsang dapat merebut Jepara, serta membiarkan Jipang menjadi lebih kuat.

Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Pajang, rombongan sultan Hadiwijaya dihadang oleh Pasukan Jipang. Akan tetapi pasukan ini gagal memerangi sultan Hadiwijaya dan rombonganya. Bahkan seultan Hadiwijaya berhasil menawan sisa pasukan Jipang yang masih hidup. Namun dilepaskan dengan membawa pesan untuk mempermalukan adipati Jipang.

Gagalnya perundingan antara sultan Hadiwijaya dengan aria Penangsang, sangat mengecewakan hati sunan Kudus atas sikap aria Penangsang yang menolak tawaran damai sultan Pajang. Oleh karena itu sunan Kudus mengusulkan untuk dilakukan perundingan ulang dimana sunan Kudus bertindak sebagai penengahnya. Dimana dalam perundingan ini disyaratkan masing masih pihak tidak membawa pendamping. Pihak Jipang diwakili sendiri oleh aria Penangsang, dan pihak Pajang diwakili oleh sultan Hadiwijaya sendiri. Dalan hal ini Patih Sumangkar dari Jipang maupun Ki Juru Mertani atau Pemanahan maupun Penjawi tidak diikut sertakan dalam perundingan ini. Sehingga perundingan ini bersifat seimbang.
Sunan Kudus meski tampak memberikan syarat yg adil tetapi masih menyimpan keberpihakan kepada anak angkatnya yaitu aria Penangsang. Dimana satu diantara kursi tempat berunding diberikan rajah Kalachakra yng nantinya disiapkan untuk di duduki oleh sultan Hadiwijaya. Dimana kekuatan rajah kalachakra adalah untuk membuat seseorang akan apes jayanya jika rajah kalachakra diduduki.

Untuk membedakan mana kursi yang sudah di rajah dengan kalachakra adalah kursi baru berukir indah dan diberi tilam putih. Sedangkan yang tidak di rajah adalah kursi lama yang biasa untuk tamu dengan diberi talam warna hijau.

Kedatangan sultan Hadiwijaya disambut oleh sunan Kudus yang didampingi oleh aria Penangsaangan. Sesampainya didalam ruang perundingan sunan Kudus mempersilahkan sultan Hadiwijaya untuk duduk di kursi baru yang bertilam putih. Melihat kursi baru berukir indah dan bertilam putih sultan Hadiwijaya yang terbiasa dididik pekerti luhur oleh orang tuanya untuk tidak mendahului menggunakan apa saja yang belum pernah digunakan oleh orang yang lebih tua, Maka dengan penuh hormat menyatakan lebih baik kanjeng sunan Kudus yang duduk di kursi tersebut.Karena kelihatanya kursi itu masih baru dan belum pernah digunakan. Sultan Hadiwijaya tidak berani menduduki karena takut kualat mendahului pemilikinya. Apalagi kursi tersebut milik pribadi sunan Kudus. Jelas saja sunan Kudus tidak berani menduduki kursi yang sudah di rajah kalachakra. Lain halnya dengan aria Penangsang. Penolakan sultan Hadiwijaya dianggap sebagai penghinaan terhadap pribadi sunan Kudus. Aria Penangsang memang tidak tahu kalau kursi bertilam putih sudah dirajah dengan KalaChakra. Aria Penangsang merasa sultan Hadiwijaya telah melakukan penghinaan tehadap sunan Kudus sebagai sudarma pepundenya, maka aria Penangsang menghunus keris kiai Setan Kober. Melihat keris Keris kiai Setan Kober terhunus sultan Hadiwijaya kaget dan mundur selangkah. Melihat gelagat ini sunan Kudus memerintahkan aria Penangsang untuk menyarungkan keris kiai Setan Kober.

Dengan serta merta keris disarungkan ke warakanya. Dan aria penangsang langsung duduk di kursi bertilam putih yang dirajah Kalachakra.

Melihat gelagat yang tidak baik sultan Hadiwijaya menyatakan kepada sunan Kudus membatalkan perundingan dan mohon pamit mundur kembali ke Pajang. Alagkah kagetnya sunan Kudus ketika kembali ke ruang perundingan setelah melepas sultan Hadiwijaya, melihat aria Penangsang duduk di kursi bertilam putih yang dirajah kalachakra. Sunan Kudus memberi tahu jika perintah menyarungkan keris adalah sasmita (kode), untuk menyarungkan keris itu ke badan sultan Hadiwijaya. Dan kesalahan yang paling fatal adalah aria penangsang menduduki kursi yang sudah dirajah. Kalachakra. Artinya akan menjadi apes buat aria Penangsang. Maka sunan Kudus memerntahkan aria Penangsang untuk melakukan puasa selama 40 hari, untuk menghapus apes.

Tetes Darah Majapahit Terputus ???

Sejarah mencatat, bahwa dinasti Mataram berpangkal dari Ki. Ageng Pemanahan yang berhasil menobatkan Sutawijaya (penembahan Senopati) menjadi raja Mataram Islam hingga zaman sekarang.

Dengan kata lain, versi sejarah mencatat bahwa raja-raja keturunan (darah) Majapahit terputus sejak runtuhnya Kesultanan Pajang. Namun versi legenda masyarakat bahwa darah keturunan Majapahit tetap berlanjut menjadi raja-raja di tanah Jawa. Karena percaya bahwa Sutawijaya adalah “lembu peteng”) alias “anak gembala” (anak hasil hubungan gelap) antara sultan Hadiwijaya dengan istri ki ageng Pemanahan yang ditingal bertapa untuk memohon agar diberi keturunan. Selama ditinggal bertapa Ki Ageng Pemanahan menitipkan istrinya kepada Sultan Hadiwijaya di istana Pajang. Hal ini terjadi atas usul Ki Juru Mertani.
Dalam kias / sanepan. Ki Ageng Pemanahan meminum air kelapa kelapa (baca: banyu cengkir) yang disimpan oleh Juru Mertani dan dititipkan kapada sultan.
Cerita rakyat menyatakan hal berbeda. Bahwasanya nyi Ageng (istri Pemanahan), tidak akan punya anak jika tidak didampingi oleh satria lelanang jagad yang pada saat itu wahyu lelanang jagad dipercaya ada didalam diri Sultan Hadiwijaya. Atau tidak bisa melahirkan jika tidak didampingi oleh sultan Hadiwijaya. Supaya anak bisa lahir, maka Ki Ageng Pemanahan sendiri yang meminta sultan Hadiwijaya mendampingi Nyi Ageng supaya anaknya bisa lahir. Setelah lahir diberi nama Danang Sutawijaya yang berarti: danang (lelaki) Suta (hadir) Wijaya (sultan Hadiwijaya). Mengandung maksud anak laki yang lahir karena hadirnya sultan Hadiwijaya.

Kontroversi siapa sebenarnya Sutawijaya, apakah anak ki. Ageng Pemanahan atau anak sultan Hadiwijaya. Sampai saat ini tidak jelas. Secara fakta adalah anak ki Ageng Pemanahan. Yang diadopsi sebagai anak sultan Hadiwijaya. Tetapi masyarakat menyatakan “lembu peteng” nya Jaka Tingkir,

Dilihat dari sejarah, dimana kekuasaan Raja adalah mutak. Dimana tak seorang yang berada dibawah kuasanya bisa menolak keinginan raja. Terlepas apakah keinginan itu benar atau salah. Sabda raja adalah hukum. Menolak keinginan raja berarti menentang hukum. Kebiasaan raja memiliki selir disamping garwa padmi, adalah suatu hal yang sangat biasa .
Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Benawa sebagai pewaris syah Pajang. Namun mengapa tokoh pangeran Benawa ini tidak menonjol kiprahnya. Hal ini dilatar belakangi bahwa dianggap kurang tidak cerdas. Sedagkan cerita rakyat mengatakan bahwa pangeran Benawa “kesinungan pengung” dalam istilah sekarang biasa disebut autis. .
Jadi jelas mengapa peran pangeran Benawa dalam mempertahankan Pajang dari rongrongan aria Penangsang tidak tercatat dalam sejarah.

Pada saat sekarang didalam masyarakat jawa kususnya masih dipercaya bahwa dinasti raja-raja di tanah jawa (Islam) masih memilik satu darah, yakni darah asal Majapahit. Dan Indonesia dipercaya baru akan keluar dari masalah jika dipimpin oleh sosok yang berdarah raja Majapahit. Sampai Sekrang dalam kenyataan tidak satupun pemimpin negeri in sejak merdeka yang memiliki darah raja Majapahit.
Wallahualam bisawab.

Hari hari terakhir Harya Penangsang

Ketika terjadi insiden di di padepokan sunan Kudus. Aria Penangsang yg tidak tanggap atas sasmita dari sunan Kudus “sarungkan” keris pusaka kiai Setan Kober dan menduduki rajah kalacakra. Aria Penangsang diwajibkan untuk melakukan puasa 40 hari lamanya.

Sultan Hadiwijaya sepulangnya dari padepokan sunan Kudus, memanggil Trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani). Untuk mengatur strategi untuk menghadapi krida aria Penangsang, yag secara terus terang akan merongrong Pajang. Oleh karena itu sultan Hadiwijaya membuka sayembara untuk mengalahkan aria Penangsang. Dimana siapa saja yang bisa menewaskan aria Penangsang akan diberi tanah perdikan di Mentaok.

Ki Ageng Pemanahan mengajukan anaknya, Sutawijaya yang juga sebagai anak angkat sultan Hadiwijaya untuk maju sebagai senapati Pajang untuk menghadapi aria Penangsang. Pada awalnya, sultan Hadiwijaya keberatan. Karena Sutawijaya masih muda belia dan belum berpengalaman. Namun Ki. Ageng Pemanahan meyakinkan bahwa Sutawijaya tidak maju sendiri, Tetap didukung oleh trio Selo (Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani), serta membawa sipat kandel tombak Kiai Plered yang ampuh.

Trio Selo mengatur strategi dengan mengirim 9 santri untuk mematai-mati kekuatan Jipang. Namun malang kesemua tertangkap di Jipang dan dieksekusi. Konon makam 9 santri sekarang berada dilingkungan petilasan Jipang. Namun usaha untuk mencari info kelemahan Jipang terus diupayakan. Sehingganya akhirnya diperoleh informasi bahwa aria Penangsang sedang melakukan Puasa 40 hari setelah menduduki rajah kalacakra guna menghapus apes.

Dengan diketahui keadaan ini maka ki Juru Mertani mengatur siasat untuk menantang aria Penangsang sebelum masa puasanya usai atau membatalkan puasanya. Dari sini jelas bahwa di penghujung masa puasa, kondisi aria Penangsang akan lemah secara fisik.
Ki. Ageng Pemanahan dan Sutawijaya menyusun pasukan di tepi seberang bengawan sore, sedangkan ki Juru Mertani menyusup ke Pajang. Malang bagi abdi dalem pemelihara kuda Gagak Rimang milik aria Penangsang yang sedang merumput ketika bertemu dengan Ki. Juru Mertani. Abdi dalem ditangkap oleh Ki Juru Mertani dan dikerat kupingnya, serta dibekali surat tantangan dari Sutawijaya untuk aria Penangsang.

Aria penangsang belum genap puasa 40 hari, amarahnya menggelegak ketika menerima tangtangan dari Sutawijaya yg dianggapnya sebagai anak kemaren sore yang masih ingusan. Patih ki Mentahun dan penasehat pribadinya ki Sumangkar gagal meredam kemarahan aria Penangsang. Meski fisiknya masih lemah karena sudah menjalani puasa 39 hari, memerintahkan untuk berangkat menghadapi Sutawijaya. Patih ki Mentahun dan ki Sumangkar meminta untuk menahan diri selama satu hari saja agar aria Penangsang menyelesaikan puasanya. Karena suasana seperti ini adalah akal-akalan orang Pajang untuk membatalkan puasa. Namun semua nasihat tidak lagi didengar oleh aria Penangsang yang sudah terbakar amarahnya.

Gagak Rimang di luar kendali.

Harya Penangsang membatalkan puasa yang belum genap 40 hari. Sebenarnya kondisi fisiknya masih belum prima, namun hal tersebut tidak dirasakan, karena emosinya sudah terbakar. Harga dirinya terasa di injak-injak oleh Danang Sutawijaya anak angkat sultan Hadiwijaya yang dinilai masih bocah kemaren sore. Dengan busana keprajuritan memimpin sendiri pasukan menuju tempat yang dtentukan yakni ditepi bengawan sore.

Disisi Pajang, ternyata sudah memiliki persiapan yang sangat matang untuk menghadapi pasukan Jipang. Dalam hal ini Pajang tidak hanya sendiri untuk berlaga, bantuan pasukan dari bupati Jepara Ratu Kalinyamat dan pasukan dari pesantren Selo (murid murid turunan ki Ageng Selo) yang dipimpin oleh Penjawi, Juru Martani dan Ki Pemanahan.

Situasi seperti ini tidak diperhitungkan oleh bupati Jipang Arya Penangsang. Karena memang sudah terbakar emosinya dan mengandalkan kharismatik sebagai bupati yang di segani, karena memang tergolong bupati yang menjadi murid langsung dari sunan Kudus.

Sejak terjadi konfrontasi antara Jipang dengan Pajang. Secara ghaib wilayah Jipang memang dilindungi oleh sunan Kudus dengan menebar “tabir gaib” yang dipasang di sungai Bengawan Sore. Siapapun yang menyebrang bengawan sore akan kehilangan daya kekuatanya.
Akan tetapi tapi tabir ghaib yang ada di bengawan sore sudah diketahui keberadaanya oleh Trio Selo. Namun tabir ghaib itu tak bisa disingkirkan. Oleh karena itu dilakukan siasat untuk memancing arya Penangsang untuk menyebrang kali Bengawan Sore.

Danang Sutawijaya meski merasa tidak mampu melawan Arya Penangsang, namun tegar dan meningkat keberanianya karena didukung oleh Tri Selo dan dibekali pusaka pribadi sultan Hadiwijaya sebagai sipat kandel, yakni tombak pusaka Kiayi Plered yang terkenal ampuh. Bahkan keampuhanya bisa menembus siapapun meski memiliki ilmu kebal.
Oleh Trio Selo, Danang Sutawijaya dberi kuda tunggangan peremuan yang sedang birahi untuk menghadapi Arya penangsang yang menggunakan kuda tunggangan Gagak Rimang.

Arya Penangsang dan pasukan, setibanya di tepi kali Bengawan Sore, menggelar pasukan untuk siap-siap menyerang. Penyerangan ke pasukan Pajang ia tunda karena Arya Penangsang tahu bahwa jika menyebrang kali bengawan sore akan terkena tabir ghaib yang dtebar oleh Sunan Kudus, dirinya dan pasukanya akan kehilangan kekuatanya. Lagi pula pasukan yang akan membantu yakni pasukan kepatihan dibawah ki Sumangkar dan pasukan kabupaten Jipang yang dipimpin oleh Ki Mentahun belum tiba.

Trio Selo melihat arya Penangsang menunda penyerangan, hatinya semakin waswas. Karena harapanya adalah Arya Penangsang dan pasukan Jipang yang belum lengkap segera menyebrang kali bengawan sore. Oleh karena itu ki Juru Mertani yang mendampingi Danang Sutawijaya yang menunggang kuda perempuan berteriak memanasmanasi alias provokasi ke Arya Penangsang untuk bertanding diseberang kali bengawan sore. Pada awalnya provokasi ki Juru Mertani tidak digubris oleh arya Penangsang. Namun Sutawijaya yang mengunggang kuda perempuan yg sedang birahi melakukan manuver,untuk mengusik Gagak Rimang, kuda tunggangan arya Penangsang.

Gagak Rimang kuda jantan melihat kuda betina yang sedang birahi melesat menyebrangi kali bengawan sore. Arya Penangsang terkejut akan polah Gagak Rimang, sehingga ia pun terbawa menyebrangi kali bengawan sore. Tidak sempat lagi memberi komando kepada pasukanya. Namun pasukan yang teratih segera menyusul ikut menyebrang.

Melihat Gagak Rimang melesat sendiri menyebrang kali diluar kendali tuanya, adalah merupakan kesempatan yang sangat baik, bagi Sutawijaya.

Dengan Tombak kiyai Plered di tangan siap menyambut kedatangan arya Penangsang di seberang kali. Arya Penangsang sibuk berusaha mengendalikan Gagak Rimang yang lepas kendali karena terpicu birahinya oleh kuda tunggangan Sutawijaya. Sehingga hilang kewaspadaanya terhadap bahaya yang sedang di hadapi. Luput penglihatanya bahwa seberang kali sudah ditunggu oleh tombak kiayi Plered yang dipegang oleh Sutawijaya.

Arya Penangsang Tewas

Gagak Rimang yang terpicu birahi lari menyeberangi kali bengawan sore, tanpa menghiraukan bahwa tuanya berada di punggungnya. Arya Penangsang dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan krida sang gagak rimang. Tetap di tepi seberang kali bengawan sore gagak rimang menghentikan langkah dengan kedua kaki depan mengangkat keatas, karena tali sais ditarik kuat kebelakang. Dalam keadaan demikian Arya Penangsang berusaha memegang tali sais sekuatnya agar tidak jatuh terjengkang. Kesempatan ini di gunakan untuk menjojohkan tombak kiayi Plered ke badan sang bupati Jipang. Sudah tentu Arya Penangsang tidak bisa menangkis hunjaman tombak, karena kedua tanganya masih tercengkeram kuat memegang tali sais untuk menahan agar dirinya tidak jatuh dari kuda. Lambung Arya Penangsang sobek terkena hunjaman tombak kiayi Plered. Dan kemudian terjatuh menyebabkan sobekan luka bertambah lebar, menyebabkan ususnya keluar.

Meski demikian Arya Penangsang masih sanggup untuk bangun dan menangkis datangnya hunjaman tombak berikutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya sibuk mengalugkan usus yang keluar ke gagang keris setan kober.

Dengan sekali sentak tubuh arya Penangsang melenting keatas dan mendarat diatasa tanah di tepi bengawan sore. Sutawijaya terkejut, tidak percaya bahwa sang bupati Jipang yang sudah terluka dan ususnya keluar masih mampu bergerak secepat itu. Belum lagi sempat Sutawijaya sadar dari rasa terkejutnya, Arya Penangsang sudah berada dibelakangnya dan menyekap leher Sutawijaya. Rasa sesak napas menjalar diseluruh badan terasa kesemutan membuat Sutawijaya kehilangan tenaga. Dan hanya mampu berkata:”Paman Harya ampuni saya paman”.

Ki Juru Mertani yang melihat keadaan tersebut mengkhawatirkan Sutawijaya akan mati bukan karena terkena senjata tajam. Akan tetapi mati lemas karena kehabisan napas. Dengan serta merta berteriak kepada Arya Penangsang :”Penangsang bunuh anak itu secara ksatria dengan Kerismu.”.

Mendengar teriakan ki Juru Mertani Arya Penangsang mengendurkan cekikan seraya meraba keris kiayi setan kober. Sutawijaya merasa cekikan melonggar dan dapat bernapas kembali, namun tetap tidak bisa melepaskan diri dari sekapan Arya Penangsang. Satu satunya yang bisa dilakukan adalah meraih usus Arya penangsang yang masih menyangkut di hulu keris setan kober. Tentu saja membuat usus arya Penangsang menjadi semakin tegang. Disaat yang sama arya Penangsang menarik keris setan kober dari warangkanya dengan nafsu untuk menghabisi Sutawijaya. Sekelebat keris terhunus, terpotonglah usus sang Arya Penangsang. Sutawijaya terjatuh begitu usus arya Penangsang putus diiringi tumbangnya tubuh sang bupati Jipang Panolan yang perkasa.

Masih sempat Sutawijaya menghampiri arya Peangsang yang sudah tidak berdaya. Dan berkata :”Paman Arya, saya tidak membunuh paman. Keris paman sendirilah yang memutuskan usus paman, Dengan suara lemah Arya Penangsang berkata:”Angger, berjanjilah sebagai bukti kebenaran kata-katamu. Katakan kepada semua pawongan, jika mereka menikah harus mengguna busana seperti yang dipakai oleh paman”. Selepas itu Arya Penangsang wafat di pangkuan Sutawijaya. Tewas sebagai Ksatria.

Hingga saat ini disetiap perhelatan temu penganten di wilayah Yogya, Penganten Priya menggunakan busana Penangsang dengan keris yang dironce dengan bunga melati dan mawar. Sedangkan pakaian adat sehari hari masyarakat Yogya (mataram) adalah Surjan dengan blangkon mondolan.

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak

Kisah Arya Penangsang dan Kemelut Berdarah di Kerajaan Demak


Mendapatkan hikmah dari pelajaran sejarah

Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman dahulu kala. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang. Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.

Kita perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama tersebut dan genetiknya telah terwariskan kepada kita.

Kalaupun kita mempercayai pandangan Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’ dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi semua pengalaman tersebut telah tercatat dalam DNA kita. Adalah perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan memutus siklus karakter bangsa yang tidak baik.

Yang namanya ‘kisah’ tentu saja sulit dicari keotentikannya, akan tetapi bagaimana pun kita tetap dapat mengambil hikmah dari sebuah ‘kisah’, khususnya ‘Kisah Arya Penangsang’.



Kemelut di Demak

Para pemimpin di Demak di masa itu, telah melihat kemelut yang terjadi di Istana Majapahit dan yakin pemerintahan Raden Patah dengan penasehat para Wali akan mengalami kejayaan kembali seperti Kerajaan Majapahit di masa jayanya berdasarkan tuntunan agama yang mulia. Mungkin mereka lupa apa yang ditabur akan dituai, perebutan kekuasaan Kerajaan Majapahit akan dialami pula oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Majapahit mampu bertahan selama 4 abad, akan tetapi Kerajaan Demak, hanya beberapa generasi saja.

Raden Patah digantikan oleh Pati Unus menantu Raden Patah yang akhirnya meninggal sewaktu menyerang Malaka dan terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sabrang Lor’, Pangeran yang menyeberangi laut ke utara. Putra Raden Patah, Pangeran Bagus Surawiyata, dibunuh oleh Sunan Prawoto, putra Trenggono, adik Pangeran Bagus Surawiyata. Trenggono lah yang kemudian menjadi Sultan Demak. Pangeran Bagus Surawiyata sering disebut dengan sebutan ‘Pangeran Sekar Seda Lepen’, Pangeran yang meninggal di kali. Arya Penangsang adalah putra Pangeran Bagus Surawiyata yang merasa berhak mewarisi tahta, apalagi dia telah diangkat anak oleh Sunan Kudus dan sudah menjadi Adipati di Jipang Panolan. Bagaimana pun semua keputusan harus mendapatkan kesepakatan dari para Wali.

Meninggalnya Sultan Trenggono di Panarukan membuat kemelut Istana Demak memuncak. Ada perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya Adipati Pajang menantu Sultan Trenggono yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus, menantu Raden Patah sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit.

Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa Pangeran Bagus Mukmin (Sunan Prawata), putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum. Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.

Di masa Sunan Prawata menjadi raja, Banten dan Cirebon memisahkan diri dari Demak dan berdiri sendiri sebagai kerajaan yang berdaulat sehingga Kasultanan Demak sudah berkurang wilayahnya. Pada suatu malam, Sunan Prawata dibunuh oleh Rangkud orang kepercayaan Arya Penangsang atas restu Sunan Kudus.

Puteri Sultan Trenggono, Ratu Kalinyamat beserta suaminya Pangeran Hadiri datang menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan atas kematian kakaknya dan oleh Sunan Kudus dijelaskan sebab musabab Sunan Prawoto terbunuh, agar suasana yang penuh ketegangan dapat mereda. Akan tetapi sepulang dari Sunan Kudus, mereka dicegat pasukan Arya Penangsang dan Pangeran Hadiri terbunuh. Ratu Kalinyamat amat marah dan mengatakan administrasi Kerajaan dipindah ke Pajang, dimana adik iparnya menjadi adipati di sana. Dia ingin menjauhkan peran para Wali di Demak terhadap pemerintahan dan kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja dan tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang mati. Ratu Kalinyamat sakit hati terhadap Sunan Kudus sebagai Hakim Agung di Demak yang memihak kepada Arya Penangsang.

Demak dinyatakan sudah kehilangan wahyu kraton dan berdirilah kerajaan baru, Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang dibawah Sultan Hadiwijawa (Jaka Tingkir), berdiri tahun 1530 tanpa ada pesta pelantikan, bahkan menurut kisah turun temurun masyarakat disekitar wilayah Pajang, Raja Hadiwijaya tidak dilantik oleh para Wali. Kecuali dihadiri oleh Sunan Kalijaga dengan kapasitas sebagai seorang Guru Jaka Tingkir. Setelah itu tidak ada lagi Wali sebagai pengambil keputusan bidang pemerintahan.

Seorang Guru yang berpikiran jernih berpendapat bahwa apa pun keyakinan yang dianut, sebetulnya akhlaknya tergantung pada diri pribadi. Keserakahan, keangkuhan dan nafsu diri tidak berubah hanya karena berganti keyakinan. Boleh saja seseorang mengaku mempunyai keyakinan yang paling benar, akan tetapi kalau dia tidak memperbaiki akhlaknya, maka dia akan mempermalukan lembaga keyakinan yang dinutnya. Masyarakat yang akan menilai.



Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.



Perbaikan Karakter Bangsa

Kita harus mulai hidup berkesadaran. Pertama kita sadari bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri. Keributan dalam pertunjukan dangdut dan sepakbola, adalah bukti masih adanya potensi kekerasan dalam diri. Latihan meditasi atau olah batin dapat melembutkan diri.

Selanjutnya kita harus berjuang membuang potensi genetik lama yang kurang baik dan menggantinya dengan kebiasaan baru, karakter baru dan akhirnya membuat perbaikan genetik. Dari studi genetika terbukti bahwa kita telah mengalami evolusi yang luar biasa, maka perbaikan karakter sudah pasti dapat dicapai dengan suatu perjuangan.

Sudah waktunya kita menghormati jasa leluhur kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan Budaya kita. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi. Terima Kasih Guru.

Arya Penangsang

Arya Penangsang


Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.
[sunting] Aksi pembunuhan

Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.
[sunting] Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.

Thursday 23 December 2010

Tentang Pendekar Hina Kelana

Soepalarto Soedibjo ‎: pak Parjoko, sebenarnya pak Arif itu sopo tha..?? Kadang2 jadi tukang pulung, jadi relawan bencana tsunami aceh, tukang buah (belimbing), TKI, ... jadi manusia bumi. Tulisannya gak ada yang gak saya baca jhe... nambah wacana ... terusin nulisnya pak, tukang belimbing Demak ... he he he. Sukses!

14 hours ago







Parjoko Midjan

Pak Dokter, beliau itu pedekar hina kelana, bertapa di gunung Dieng, gunung Semar, Lawu, bahkan di Gunung Merapi. Ketika turun gunung dunia kangouw menjadi gempar dengan sepak terjang hohan yang terkenal dengan jurus: memetik belimbing demak-nya. Banyak orang tidak mengenal wajahnya, karena sepak terjangnya nggak pernah diketahui berkelebat cepat hanya terasa angin pukulannya saja.


Gingkangnya sangat tinggi sehingga bisa muncul di beberapa bagian dunia, dan sinkangnya sudah mencapai tingkat hampir sempurna sehingga hanya dengan sorot matanya bisa membuat takluk harimau sumatera yang ganas, yang baru saja turun dari gunung merapi. Sekarang ini pendekar dikabarkan baru saja berkelebat di daerah taman mini sedang menyoja memperingati Hari Ibu.



10 hours ago







Soepalarto Soedibjo



‎: Pendekar hina kelana yang cuman pakau cawet itu???... Luar biasa!

Gingkangnya jangat kelewat tinggi, awas cawet 'e ucol...!

BTW, pak Parjoko yang ngurus BMB Menkokesra ..?
SOP korban TIP yg pernah kita buat di KPP (2008), telah dirobah (ol penerus saya) menjadi SOP Pemberdayaan Perempuan secara umum ... aneh! Beda masalah ya beda SOP. Mudah2an BMB tdk mengikuti pola pikir KPP he he he. Salam & sukses buat pak Parjoko.

7 hours ago





Aihhh... Berat3x...



Hatiku selembar daun....

Wednesday 22 December 2010

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya







Hari Ibu dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia merupakan

peringatan perjuangan merebut kesetaraan, keadilan, dan pembebasan

perempuan yang ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I. Makna

itu harus dijaga untuk mengingatkan pada ancaman besar bagi

keberagaman yang dijalankan melalui kontrol atas tubuh dan seksualitas

perempuan.



Itulah yang diingatkan ilmuwan dan pengajar di Jurusan Filsafat

Universitas Indonesia, Rocky Gerung, serta aktivis dan feminis Muslim,

Lies Marcoes-Natsir. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki

Jakarta beberapa waktu lalu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih juga

mengingatkan hal senada.



Pada 22 Desember 1928, sejumlah organisasi perempuan terkemuka ikut

serta dalam Kongres Nasional Organisasi Perempuan Indonesia I di

Yogyakarta. Kongres diselenggarakan untuk "mengatasi provinsialisme di

dalam gerakan wanita".



Pemrakarsa kongres adalah Nyi Hajar Dewantara atau Ibu Suwardi, Ni

Suyatin, pemimpin Putri Indonesia, yang juga pamong Taman Siswa, serta

Ny Sukonto, anggota Wanita Utama dan guru di HIS (sekolah Belanda

untuk pribumi).



Kongres itu membicarakan sejumlah masalah. Hal itu di antaranya

pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda,

perkawinan usia anak, pembaruan Undang-Undang Perkawinan Islam,

meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Selain

itu, juga ada sejumlah ceramah tentang nasionalisme dan antipermaduan.



Meski demikian, mosi yang diterima dari kongres agak terbatas. Kongres

tidak menyatakan pendirian nasionalisme dengan tegas. Seperti

dikemukakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pidatonya, posisi

antipoligami dari gerakan perempuan nasionalis terus-menerus

menimbulkan ketegangan, bukan saja di kalangan lelaki, tetapi juga di

dalam gerakan perempuan.



Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh dari organisasi-organisasi

Islam kesulitan menentukan acuan pembenar untuk mengkritik praktik

poligami yang lazim di kalangan laki-laki Muslim pada masa itu.



Sejarah



Rocky Gerung mengingatkan bagaimana negara terus berusaha mereduksi

makna Hari Ibu. Pada zaman Orde Baru, ideologi ibuisme negara

digunakan untuk meringkus perempuan demi stabilitas nasional.



Pada saat itu, perempuan sebagai manusia direduksi maknanya. Mereka

lebih dihargai sebagai ibu, istri, dan anak perempuan daripada

individu yang memiliki kebebasan berpikir.



Tentu saja hal itu terkait erat dengan sejarah pembentukan Orde Baru.

Agung Ayu Ratih mengingatkan, model pemusnahan perempuan ala abad

pertengahan berlangsung seiring terbangunnya kediktatoran Soeharto

pada akhir tahun 1965. Penguasa militer menggunakan imaji seksual

keliaran dan kebuasan perempuan-perempuan "komunis" yang menari-nari

telanjang di Lubang Buaya untuk menumbuhkan kebencian pada perempuan

berpolitik.



Propaganda hitam ini segera memicu serangan fisik terhadap perempuan

yang berpolitik, anggota PKI, dan organisasi-organisasi massa yang

dianggap sealiran. Pesannya jelas; perempuan "komunis", perempuan yang

berpolitik membahayakan keselamatan dan integritas bangsa.



Pemerintahan Orde Baru, menurut Agung Ayu, tak hanya menghancurkan

Gerwani, tetapi juga merebut otoritas organisasi-organisasi perempuan

lainnya dalam menentukan gerak mereka. Ide-ide emansipatoris tentang

kemandirian perempuan yang belum selesai diperbincangkan sejak dekade

kedua abad ke-20 dikooptasi dan diberi bentuk yang paling konservatif:

peran ganda wanita.



Pemerintah kemudian membentuk organisasi-organisasi istri pegawai yang

strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan

kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Sementara kekerasan

militer secara massal terhadap perempuan berlanjut di daerah- daerah

operasi militer.



Pada masa reformasi, gerakan perempuan merayakan kemenangannya karena

berhasil mendesak pemerintahan Habibie untuk meminta maaf dan mengakui

pemerkosaan Mei sebagai tanggung jawab negara dengan membentuk Tim

Gabungan Pencari Fakta dan mendirikan Komisi Nasional Antikekerasan

terhadap perempuan. Pada masa transisi, kemenangan itu disusul dengan

pengesahan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kewarganegaraan dan

kuota 30 persen perempuan di legislatif,



Namun, hal itu tak berlangsung lama. "Sekarang ini negara justru

menjadi instalasi politik agama yang memberikan pengesahan pada

penafsiran tunggal yang ditetapkan secara komunal. Definisi Ibu pun

diatur untuk kepentingan agama," ujar Rocky.



Menurut Lies Marcoes, imperialisme zaman penjajahan menemukan

bentuknya yang baru saat ini, yakni penjajahan atas tubuh dan

seksualitas perempuan. "Perempuan tak punya legalitas atas milik

sendiri," ujar Lies.



"Tubuh dan seksualitas perempuan itu begitu beragam dan kaya

berdasarkan pengalaman hidup dan spiritualitasnya direduksi menjadi

obyek seks dan dibebani segudang prasangka sehingga harus dikontrol.

Waktu zaman Orde Baru, seksualitas perempuan digunakan untuk

mengontrol pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana.

Sekarang, gerak perempuan dikontrol melalui perda-perda syariat dan UU

Pornografi," katanya.



Agung Ayu Ratih mengingatkan, yang dihadapi saat ini bukan perang

teologi, tetapi pertarungan politik dan kultural. "Kita sedang berebut

ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan

merumuskan keindonesiaan," ujar Agung Ayu Ratih.



Pada Hari Ibu 2008 ini marilah mencamkan apa yang ditegaskan Agung Ayu

Ratih. "Berlawanan dengan pandangan para pendukung UU Pornografi yang

menyatakan bahwa mereka berminat melindungi perempuan dari kekerasan,

kemiskinan, dan keruntuhan akhlak, saya berpendapat bahwa pembebasan

tubuh dan gerak perempuan merupakan salah satu prasyarat utama dalam

penegakan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial!"











MARIA HARTININGSIH





http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/02330790/hari.ibu.untuk.merumuskan.k\eindonesiaan
Ibuku, Kenapa Kau Menangis?

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. “Ibu, mengapa Ibu menangis?”. Ibunya menjawab, “Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak”. “Aku tak mengerti” kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti….”

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. “Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?” Sang ayah menjawab, “Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan”. Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan.”Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?”

Dalam mimpinya, Tuhan menjawab,

“Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama.

Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan”.

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga.




Selamat Hari Ibu....

Hatiku selembar daun...

Malaikat Pelindung

Malaikat Pelindung

Suatu ketika, ada seorang bayi yang siap untuk dilahirkan. Maka, ia bertanya kepada Tuhan. “Ya Tuhan, Engkau akan mengirimku ke bumi. Tapi, aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku disana?”.

Tuhanpun menjawab. “Diantara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seorang yang khusus untukmu. Dia akan merawatmu dan mengasihimu.” Si kecil bertanya lagi, “Tapi, disini, di surga ini, aku tak berbuat apa-apa, kecuali tersenyum dan bernyanyi. Semua itu cukup membuatku bahagia. Tuhanpun menjawab, “Tak apa, malaikatmu itu, akan selalu menyenandungkan lagu untukmu, dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih sayang, dan itu semua pasti akan membuatmu bahagia.” Namun si kecil bertanya lagi, “Bagaimana aku bisa mengerti ucapan mereka, jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?

Tuhanpun menjawab, “Malaikatmu itu, akan membisikkanmu kata-kata yang paling indah, dia akan selalu sabar ada disampingmu, dan dengan kasihnya, dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia.” Si kecil bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika aku ingin berbicara padamu, ya Tuhan?”

Tuhanpun kembali menjawab, “Malaikatmu itu, akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu, dan mengajarkanmu untuk berdoa.” Lagi-lagi, si kecil menyelidik, “Namun, aku mendengar, disana, ada banyak sekali orang jahat, siapakah nanti yang akan melindungiku?

Tuhanpun menjawab, “Tenang, malaikatmu, akan terus melindungimu, walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Dia, sering akan melupakan kepentinganya sendiri untuk keselamatanmu.” Namun, si kecil kini malah sedih, “Ya Tuhan, tentu aku akan sedih jika tak melihat-Mu lagi.

Tuhan menjawab lagi, “Malaikatmu, akan selalu mengajarkamu keagungan-Ku, dan dia akan mendidikmu, bagaimana agar selalu patuh dan taat pada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu, Aku akan selalu ada disisimu.”

Hening. Kedamaianpun tetap menerpa surga. Namun, suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup. “Ya Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong, sebutkan nama malaikat yang akan melindungiku….”

Tuhanpun kembali menjawab. “Nama malaikatmu tak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan: Ibu…”

Mawar Untuk Ibu

Mawar Untuk Ibu

Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dipaketkan pada sang ibu yang tinggal sejauh 250 km darinya. Begitu keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu menanyainya kenapa dan dijawab oleh gadis kecil, “Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk ibu saya. Tapi saya cuma punya uang lima ratus saja, sedangkan harga mawar itu seribu.”

Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut, aku akan membelikanmu bunga yang kau mau.” Kemudian ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesankan karangan bunga untuk dikirimkan ke ibunya.

Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantar gadis kecil itu pulang ke rumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, katanya, “Ya tentu saja. Maukah anda mengantarkan ke tempat ibu saya?”

Kemudian mereka berdua menuju ke tempat yang ditunjukkan gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum, dimana lalu gadis kecil itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah.

Melihat hal ini, hati pria itu menjadi trenyuh dan teringat sesuatu. Bergegas, ia kembali menuju ke toko bunga tadi dan membatalkan kirimannya. Ia mengambil karangan bunga yang dipesannya dan mengendarai sendiri kendaraannya sejauh 250 km menuju rumah ibunya.

Tuesday 21 December 2010

Adat Perpatih

HUBUNGAN kebudayaan, kesenian dan warisan antara Malaysia dan Indonesia bukanlah perkara baru antara masyarakat di kedua-dua negara yang tergolong dalam rumpun sama iaitu Melayu.

Kebanyakan penduduk tempatan jika dikaji susur galur keturunan pasti mempunyai hubungan dengan negara itu. Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, Datuk Seri Dr Rais Yatim misalnya memang diketahui umum sebagai anak jati Minangkabau atau Minang.

Sebenarnya, sekitar abad ke-15, orang Minangkabau di Sumatera Barat merantau dan memulakan hidup baru di Tanah Melayu. Mereka mendiami dan meneroka kawasan di Negeri Sembilan, Melaka, Pahang dan Kelantan. Mereka membuka ladang dan sawah padi tetapi tidak pernah meninggalkan adat istiadat Minangkabau yang lebih dikenali sebagai Adat Perpatih dalam kehidupan.

Melihat kepada keunikan itu, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan mengatur langkah awal memupuk kebudayaan rumpun Malaysia dan Indonesia melalui penganjuran program Titian Budaya di Pusat Konvensyen Jakarta (JCC), Disember lalu.

Kejayaan program itu memberi keyakinan kepada kementerian terbabit untuk mengukuhkan lagi kerjasama dengan wilayah lain di Indonesia kerana hubungan seni, budaya dan warisan sekiranya dihayati oleh rakyat kedua-dua negara akan melahirkan persefahaman sekali gus mewujudkan rasa saling menghargai.

Justeru, Dr Rais bersama 11 delegasinya sekali lagi turun mengunjungi Indonesia tetapi kali ini ke Bukit Tinggi dan Padang, Sumatera Barat dalam lawatan kerja tiga hari bermula 13 Jun hingga 15 Jun lalu.

Kunjungan Dr Rais ke Sumatera Barat itu diibarat seperti 'sireh pulang ke gagang' berdasarkan keturunan Minangnya yang berakar tunjang dari wilayah berkenaan.

“Malaysia dan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tidak boleh dipisahkan kerana penduduk Negeri Sembilan termasuk saya kebanyakannya adalah daripada keturunan Minangkabau yang mengamalkan adat perpatih,” katanya yang sentiasa ceria walaupun baru pulang dari London untuk mempromosi Minggu Malaysia 07 sebelum itu.

Sumatera Barat sememangnya terkenal dengan pelbagai khazanah dan warisan turun temurun keturunan Minang yang masih tidak diketahui oleh penduduk Malaysia khususnya masyarakat Minang di Negeri Sembilan seperti Batu Batikam yang menjadi simbol demokrasi dalam sejarah masyarakat Minang.

Batu Batikam yang berukuran 55 sentimeter dan mempunyai bentuk seperti tikaman keris adalah peninggalan sejarah tanda berakhirnya perselisihan faham antara Datuk Pepatih Nan Sebatang dengan Datuk Katumanggungan mengenai sistem adat. Ia adalah kawasan sejarah yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan bermusyawarah suku Minangkabau bagi membincangkan sistem adat.

Justeru, pertemuan empat mata antara Dr Rais dan tokoh adat, bersebelahan Batu Batikam, dilihat amat simbolik dalam usaha mengeratkan lagi kerjasama antara Malaysia dan Sumatera Barat dalam aspek budaya, seni dan warisan.

Dalam pertemuan bersejarah itu, Dr Rais yang fasih dalam bahasa Minang mengumumkan untuk mewujudkan dana khas bagi penyelidikan mengenai Adat Perpatih yang sehingga kini masih belum lagi dapat dipastikan sumber sahihnya.

“Kita mahu penyelidikan mengenai Adat Perpatih ini dilakukan secara terperinci antara universiti tempatan dan universiti di wilayah ini supaya dapat dibuktikan bahawa adat perpatih ini lebih demokratik daripada Common Law (Undang-undang Lazim) yang berasal di England.

“Kita juga mahu supaya kajian ini akan dapat dihasilkan dalam bentuk jurnal, antropologi mengenai sumber Adat Perpatih ini supaya kita dapat membandingkannya dengan Common Law. Mungkin Adat Perpatih ini sudah wujud sebelum British mewujudkan Common Law," katanya.

Adat Perpatih adalah suatu peraturan hidup yang sistematik dan telah mempengaruhi rupa bentuk, konsep dan falsafah sosiobudaya sebahagian besar rakyat di Sumatera Barat, Negeri Sembilan dan Naning di Melaka. Dalam amalan Adat Minangkabau ini, harta pusaka, gelaran dan nama suku diturunkan menurut salasilah keturunan di sebelah ibu.

Adat ini berteraskan keharmonian hidup masyarakat dan merangkumi pelbagai bidang kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, sosial sehinggalah adat istiadat pertabalan Raja, kaedah pembahagian harta pusaka dan perkahwinan. Dalam sistem sosial, Adat Perpatih mengandungi sistem nilai, sistem kekeluargaan, sistem politik dan sistem hukum adat yang lengkap.

Dalam Adat Perpatih terdapat 12 kumpulan yang dipanggil Suku iaitu kumpulan kesatuan zaman dulu. Ketua bagi setiap suku dipanggil Lembaga dan mempunyai gelaran masing-masing. Lembaga berfungsi sebagai pentadbir kepada sukunya dan menyelesaikan masalah berkaitan adat, harta, perceraian, pertelingkahan.

Jika Lembaga tidak dapat mencari jalan penyelesaian, maka perkara itu akan dibawa ke pengetahuan Undang melalui Orang Besar Undang.

Bayangkan jika apa yang diperkatakan Dr Rais itu dapat dibuktikan, pastinya sejarah undang-undang dunia terpaksa diubah dan Adat Perpatih atau orang Melayu sendiri diiktiraf mempunyai perundangan lengkap pertama di dunia.

Penyelidikan seumpama itu bukan saja memberi manfaat kepada rumpun Melayu, tetapi juga dapat memperkenalkan Adat Perpatih di serata dunia.

Kunjungan ke Batu Batikam itu juga dilihat bertepatan pada masanya dalam mencari pengisian untuk Muzium Adat di Jelebu, Negeri Sembilan yang akan dibuka kepada umum bulan depan. Muzium pertama seumpama itu di negara ini akan mengetengahkan pelbagai adat termasuk Adat Perpatih.

Selesai pertemuan yang berlangsung kira-kira sejam itu, Dr Rais dan rombongan bergegas ke Pagaruyung, kira-kira 100 kilometer dari Tanah Datar untuk melihat sendiri Tapak Rumah Gadang yang terbakar akibat panahan petir Februari lalu.

Rumah Gadang atau lebih dikenali dengan Rumah Adat yang dibina semula pada 1976 selepas pertama kali terbakar ketika berlaku rusuhan sebelum itu, terkenal sebagai muzium yang menyimpan khazanah masyarakat Minangkabau.

Rumah Gadang itu dijangka dibina semula pada 8 Julai ini. Melihat signifikan Rumah Gadang itu bukan saja kepada penduduk Sumatera Barat, malah seluruh orang Minang di Nusantara ini, Dr Rais pada akhir lawatannya menyampaikan bantuan berjumlah RM50,000 kepada Gabenor Sumatera Barat, Gumawan Fauzi bagi membina semula dan mencari pengisian rumah berkenaan.

Ketika ditemui pemberita selepas melawat Muzium Adiyatwarman di Padang pada hari akhir lawatannya, beliau melahirkan rasa gembira dan berpuas hati kerana walaupun hanya dua hari berada di bumi Sumatera, ia berjaya mengeratkan lagi hubungan kebudayaan antara wilayah terbabit dengan Malaysia.

“Kerjasama seperti ini dapat memperbetulkan persepsi negatif yang mungkin timbul antara dua rakyat kerana budaya, seni dan warisan menjangkau segala aspek dan mampu merapatkan dua negara,” katanya.

Pendapat itu turut disokong Gumawan yang mahu kerjasama itu terus dilaksanakan segera kerana memberi faedah kepada Malaysia dan wilayah berkenaan.

Justeru, satu jawatankuasa khas yang turut membabitkan Timbalan Ketua Setiausaha kementerian, Datuk Dr Mohamed M Daud dan Ketua Pengarah Jabatan Muzium Malaysia, Datuk Dr Adi Taha akan diwujudkan segera bagi memastikan kerjasama itu berjalan lancar.

Jawatankuasa itu akan merangka pelbagai program kebudayaan antara Malaysia dan Sumatera Barat yang juga tanah kelahiran penulis dan ulama terkenal, Hamka. Jadi tidak hairanlah kerjasama itu juga akan turut membabitkan bidang penulisan dan penulis terkenal di wilayah itu akan dijemput menjadi penulis jemputan kementerian.

Selepas kunjungan hormat terhadap Gumawan, Dr Rais menerima replika Batu Batikam untuk diletakkan di Muzium Adat bagi tatapan penduduk Malaysia.

Lawatan ini membuka landasan dan ruang lebih luas kepada pengukuhan budaya antara Malaysia dan Wilayah Sumatera Barat.

Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang

SIAPAKAH KEDUA-DUA TOKOH INI? Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau? Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu? Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan tersebut.

Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang mempercayai dengan penuh keyakinan bahawa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau baik yang ada di Minangkabau sendiri maupun yang berada di perantauan.

Demikian kukuhnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi/ balas-balik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh putaran masa terhadap kedua-dua adat itu.

Ada petunjuk dan bukti bagi kita bahawa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitano seorang ahli sejarah mengambil kesimpulan bahawa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Parpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.

Dijelaskan selanjutnya bahawa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Parpatih sebagai salah seorang terkemuka dari Raja Adityawarman iaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang. Candi itu adalah sama dengan Datuk Parpatih Sabatang. Demikian kesimpulannya.

Kalaulah pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahawa tokoh Datuk Perpatih Nan Sebatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, kerana namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.

Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Limo Kaum, BatuSangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahawa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Parpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini telah terjadi sedikit kesalah fahaman antara kedua-dua tokoh tersebut. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih dijaga dengan baik membuktikan kepada kita bahawa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekadar sebagai tokoh dongengan saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.

Bukti lain dalam hikayat Raja-Raja Pasai pula ada dikatakan bahawa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau itu adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang tersebut. Hal ini membuktikan juga akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah di Minangkabau.

Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti yang dikatakan dalam Tambo, sampai sekarang juga terkenal dengan Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku dirantau ini sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam sejarah Minangkabau.

Sesudah nyata terbukti bahawa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada sedikit hal yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinato. Dia mengatakan bahawa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan Menteri dalam Kerajaan Adityawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahawa mereka menjadi Menterinya, melainkan untuk menghormatinya kerana sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah pun ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya.

Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua-dua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada Prasastinya. Tidak sembarangan orang yang dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat dalam masyarakat mereka.

Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan Raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, iaitu Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang mana bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang Raja yang manapun.

Antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu ibu tetapi berlainan ayah. Ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya ( Puti Indo Jelita ) berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah Cateri Bilang Pandai iaitu suami kedua ibunya yang berasal dari

Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahawa kedua orang itu iaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.

Menurut tambo dan cerita urang tuo-tuo, dari Pasumayan Koto Batu ini kemudian di buka nagari Pariangan dan Padang Panjang. Inilah asal muasalnya peradaban Minangkabau, sehingga dua daerah ini di sebut sebagai : "Tampuk Tangkai Alam Minangkabau". Undang-undang yang berlaku pada masa itu disebut "Undang-undang Si Mumbang Jatuah".

Intinya:

Siapa membunuh ia dibunuh
Tiada boleh disanggah
Tiada boleh ditentang
Siapa kuat dia kudrat
Siapa kuasa dia berjaya
Semua keputusan di tangan Raja

Sri Maharaja Diraja mempunyai permaisuri Puti Indo Jelita (Puteri Indera Jelita), di mana kemudian lahir putera mahkota bernama Sutan Paduka Besar. Tetapi belum lagi putera mahkota menjadi dewasa, Sri Maharaja Diraja mangkat sehingga tampuk dipegang orang kedua bernama Datuk Suri Dirajo. Puti Indo Jelita pula kemudiannya menikah lagi dengan Penasihat almarhum Raja, bernama Cateri Bilang Pandai bergelar Indra Jati lalu lahirlah seorang putera bernama Sutan Balun.

Sutan Paduka Besar kemudian bergelar Datuk Ketumanggungan, sedangkan Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Sabatang. Jadi sebenarnya mereka bersaudara satu Ibu, berlainan ayahanda sahaja. Mereka meneroka (membuka) rantau-rantau baru. Mula-mula di Sungai Jambu, lalu dari sini Datuk Ketumanggungan membuka nagari Bungo Setangkai, sedang Datuk Perpatih Nan Sabatang membuka nagari Limo Kaum.

Dari sinilah mulai timbul perbedaan dalam menerapkan hukum. Jika Datuk Ketumanggungan tetap setia dengan Undang-undang Si Mumbang Jatuh yang keras dan kuasa mutlak ditangan seseorang, maka Datuk Perpatih Nan Sabatang menyesuaikannya dengan menerapkan "Undang-undang Si Lamo-lamo atau Si Gamak-gamak". Lalu undang-undang itu diperbaharui lagi dengan "Undang-undang Tariak Baleh" yang berasaskan pada kebijakan meletakkan keputusan melalui pertimbangan yang masak untuk mengetahui manfaat dan mudaratnya. Hukum dijatuhkan kepada siapa yang melanggar peraturan tetapi tidak serta merta melainkan diselidiki terlebih dahulu agar dapat diberikan suatu keputusan yang seadil-adilnya.

Perubahan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ini dianggap terlalu radikal oleh abang tirinya Datuk Ketumanggungan yang ingin mempertahankan Undang-undang Si Mumbang Jatuh yang telah diasaskan oleh ayahandanya Sri Maharaja Diraja. Sehingga hampir timbul selisih diantara dua saudara itu. Tetapi untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan kebijakan ninik mamak dan urang basa serta keinsafan peribadi kedua datuk ini. Upacara damai mengakhiri perselisihan ini dimeterai dengan menusuk keris di batu. Wujudnya adalah "Batu Batikam" yang sampai pada hari ini masih dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum.

Hasil dari perundingan damai itu ialah bahawa undang-undang lama dapat diperbandingkan dengan alasan-alasan yang wajar. Dan keputusan diambil adalah setelah adanya kaji-selidik dan muafakat bersama.

Perkembangan selanjutnya nagari-nagari di Alam Minangkabau mengamalkan suatu Undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum lama dan baru. Undang-undang itu dikenal dengan sebutan "Undang-undang nan duo puluah". Ia disusun oleh Datuk Perpatih Sabatang. Suatu hal yang pasti mengenai gelaran Datuk Perpatih Nan Sabatang ini memang di pusakai/menurun ke warisnya. Mengikut jangka waktu dari zaman Sutan Balun (Pra Hindu) sehinggalah ke penyusunan Undang-undang nan duopuluah (zaman Islam) maka kemungkinan bahawa penyusunnya adalah dari keturunan Datuk Perpatih Nan Sabatang yang asli.

Contoh penyesuaian ini adalah dalam perbidalan adat sebagaimana berikut (Zaman Pra Islam):

Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo pado pangulu
Pangulu barajo pado mupakat
Mupakat basandi alua jo patuik
Alua basandi bana
Bana badiri surang.

(Kemenakan beraja ke mamak
Mamak beraja pada penghulu
Penghulu beraja pada mufakat
Mufakat bersendi alur dan patut
Alur bersendi benar
Benar berdiri sendiri ).

Datuk Perpatih Nan Sabatang menambahkan pula perbidalan adat ketika Islam masuk menjadi berikut :

Adat basandi syarak
Syarak basandi Kitabullah
Syarak mangato
Adat mamakai
Kewi kato syarak
Lazim kato adat.

(Adat bersendi syarak
Syarak bersendi Kitabullah
Syarak mengata
Adat memakai
Kewi kata syarak
Lazim kata adat ).

The History of Minangkabau

The History of Minangkabau

Maharaja Diraja and his followers landed on top of Mount Merapi (in the district of Tanah Datar) which was still surrounded by water. The face of the earth expanded, the number of inhabitants increased, and finally the early settlements were established in the district of Tanah Datar. And the nagari, the basic Minangkabau political organization, were founded. That was how the history of Alam Minangkabau begins, at least according to the tambo, the Minangkabau traditional historiography.

The earliest archeological evidence, can be found in the district (luhak) Limapuluh Kota, one of the district, besides Agam and Tanah Datar – traditionally regarded as the heartland of the Minangkabau world. Archeological remains, scattered in several hundred sites and dating from 3000 to 2000 BC, consist of menhirs, sometimes decorated with ornaments depicting birds, crocodiles, and buffalo heads. They must have been used as meeting ground were ceremonial gatherings took place.Once the heartland was secured, it ceased to expand, but the Minangkabau people continued their geographical explorations and established new nagari. The new territories, called rantau, grew in accordance with the expansion of the Minangkabau people.

If the heartland was ruled by the pangulu – matrilineal inherited representatives of the people, the rantau territories were ruled by the aristocratic raja. It was most probably also in the rantau that the supranagari political organization was firstly established.

Buddhist stupa, still standing near the confluence of two branches of the Kampar River in the eastern part of Minangkabau ( now lying in Riau Province ), may attest to early Indian influences in the cultural and political sphere. Muara Takus was a Buddhist centre of learning, frequented by many monks from China and India. The area was perhaps also visited by traders since it produced gold and aromatic woods. Similarities in architectural features with Buddhist remains found in Thailand ( Haripunjana or Lampun etc. ) are strong indications that the area in those times was part of a greater world extending over mainland Southeast Asia.

One of the kingdoms in the eastern part of Minangkabau was Dharmasraya which may have flourished in the 11th and 12th centuries. Its remain are found in Rembahan, at the banks of the Batanghari River in the present Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

In the competition with the maritime kingdom of Sriwijaya for the supremacy of sealanes in the Straits of Malaka, King Kartanegara of Singasari (East java) sent a military expedition to Sumatra in 1275, known in history as the Pamalayu.

The name Malayu, according to Prof JG de Casparis, most probably was used to refer to the whole river system of Batanghari, whereas Melayupura, its capital, at time shifted upstream and downstream according to (political? ) Circumstances. Until the 13th century the capital was located at Muara Jambi, but later it was moved westward to the Langsat River to the place of Dharmasraya ( Padang Rocok ) where a statue of Amonghapasa ( a gift of Kartanegara to the Malay King ) was erected in 1286.

Perhaps the capital was moved again at the time of Adityawarman who established his capital at Surawasa ( Suroaso ) near present Pagaruyung. Heirlooms of the kings of Pagaruyung are still preserved today. Nowadays Pagaruyung is a nagari in the neighbourhood of Bukit Gombak and Suroaso, called the region of Tigo Balai, in the regency Tanah Datar, about five kilometers from Batusangkar. The three Balai are Balai Janggo, Kampung Tengah, and Gudam. It is an area which has yielded many inscriptions from the time of Adityawarman (14th century).

As the story goes, Adityawarman was welcomed by Datuk Indomo, the symbolic representative of the Koto Piliang, who gave him a piece of land. Then Adityawarman established a fortified settlement and proclaimed himself as King of Pagaruyung. However, Adityawarman never ruled Minangkabau, which consisted of numerous independent nagger under their respective pangulu . The king was only the symbol of unity of the Minangkabau world. Remains of this kingdom are still found in Pagaruyung and have also found their way to many museums abroad. The statue of Adityawarman which was found in Sijunjung is now housed in the National Museum in Jakarta.

Batu Batikam (Pierced Stone) found in Limo Kaum, Batusangkar, is – according to the tambo – linked with the emergence of two phratries in Minangkabau tradition: Koto Piliang and Bodi Caniago, established by two legendary adat givers, two half brothers with a common mother and a different father. Datuk Ketemanggungan, the son of an aristocratic father, got into a heated dispute with his brother, Datuk Perpatih nan Sabatang, the son of a commoner, over the proper system of governance. In their rage both stabbed the same stone with their keris. The hole is still to ne seen, and so their descendants can reflect on the duality of the Minangkabau unified adat system.

Bodi Caniago and Koto Piliang in Minangkabau philosophy are regarded as two complementary phratries. The adat counsil of Koto Piliang which recognizes the hierarchy of panguluship is characterized by its tiered floors, whereas the balai adat of Bodi Caniago has a level floor which reflects its refusal to recognize any hierarchy in the pangulu system. Both systems, however, are based on mufakat (deliberation and consensus) in every decision of social importance.

Istana Pagaruyung

Istana Pagaruyung dibangun oleh keluarga kerajaan Pagaruyung yang terletak di Batusangkar, dengan berciri khas Minangkabau. Di dalam istana terdapat barang-barang peninggalan kerajaan yang masih terpelihara dengan baik. Di sekitar istana ini kita dapat menikmati keindahan alam dengan udara yang sejuk. Terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Pagaruyung adalah lokasi kediaman Raja Minangkabau sebagai pusat pemerintahan yang pada abad ke-14 merupakan diungsikan dari sungai Batanghari dan berjarak 50 km dari Bukittinggi. Di beberapa tempat di daerah ini terdapat prasasti kuno seperti batu batikan Lima Kaum. Pada batu ini terdapat lubang bekas kena tikam sebagai tanda ikrar dua orang pemimpin adat dan suku yang akan saling menghomati adat dan suku masing-masing dan hidup berdampingan secara rukun.

Sejarah kejayaan Minangkabau tidak dapat dipisahkan dari istilah Pagaruyung. Selain Pagaruyung dijadikan pencerminan kejayaan masa kerajaan di Minangkabau, namun sekarangpun rumah gadang yang ada disana merupakan replika dari Istana yang aslinya dengan lukisan di dinding luar dan atap yang menjulang berbentuk tanduk kerbau, yaitu Istana Pagaruyung.

Tak jauh dari tempat Pagaruyung terdapat makam seorang raja. Mitologi yang terjadi adalah bahwa Raja Aditya Warman menemui ajalnya dengan cara dipacung dalam sebuah batu saat peperangan. Oleh karenanya batu itu dikatakan sebagai batu matoari atau batu matahari karena aditya berarti matahari.

Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Istana Pagaruyung menggunakan arsitektur tradisional Minangkabau, dilengkapi dengan dinding samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung. Kemudian dinding luarnya dipenuhi ukiran khas Minangkabau.

Istana ini direnovasi pada tahun 1976 oleh Gubernur Harun Zein akibat terjadi bencana alam, yaitu kebakaran. Bagi anda yang berminat untuk berkunjung ke Sumatera Barat, terutama Bukittingi, segeralah melupakan berbagai kendala.

Arsitektur Kota Bukittinggi

Arsitektur Kota Bukittinggi

Written by Marco Kusumawijaya





"Mendaki Naik, Bajanjang Turun"

PEPATAH mendaki naik, bajanjang turun berpetuah bahwa untuk tiap tujuan ada tertibnya. Alam yang terkembang di ranah Minangkabau menjadi ilhamnya. Sedang Bukittinggi, yang membentang pada ketinggian 1,000 meter di atas muka laut, adalah miniatur alam itu.
Di batas saujana kota ini, menganga Ngarai Sianok dan menjulang Gunung Singgalang di sebelah selatan. Di timurnya, Gunung Merapi. Gunung yang pertama berpuncak danau, yang lainnya berapi.

DI dalam Kota Bukittinggi, mendaki naik, bajanjang turun bermakna harafiah: seluruh kota dibangun pada, dan di antara, bukit-bukit kecil dan lembah- lembah elok. Inilah kota bertingkat majemuk yang tiada bandingnya di Indonesia. Di pusat kota, berempu dua bukit terpenting yang mengapit jalan raya utama. Yang di sebelah barat adalah sebuah taman di situs Fort De Kock. Yang di timur kebun binatang kecil dengan museum berbentuk rumah bagonjong. Sebuah jembatan besi menghubungkan keduanya, menggantung di atas jalan raya dan kesibukan kota, mengambil jarak dari kehidupan di bawahnya. Enam puluh empat anak tangga menuntun khalayak turun dari bukit timur ke jalan raya itu, bertemu mesjid raya di penghujung. Jalan-jalan sederhana mendaki naik ke puncak Fort de Kock dari arah sebaliknya.

Sedang bukit ketiga, di sebelah selatan dari dua terdahulu, adalah tempat Istana Bung Hatta, bersebelahan dengan Hotel Novotel karya arsitek Thailand Lek Bunnag. Jam Gadang yang sohor itu dibangun di atas lapangan yang juga berjenjang-jenjang, yang membuka ke lembah di arah timur, setia menanti basuhan sinar Matahari terbit dari belakang Gunung Merapi. Lebarnya pun tak berlebih-lebih, secukupnya untuk duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang, bertenggang rasa. Ukuran ini menjadikannya taman yang mudah dimasuki, aman, serta sopan karena setiap sudut tampak dari yang lain. Pasar Atas di utaranya menarik orang ramai melintas.

Rupa bumi Bukittinggi sendiri telah sediakan pola bagi terbentuknya urbanitas yang khas. Lebar jalan secukupnya, melengkung, atau patah pendek-pendek. Petak rumah rapat menempel di tebing, atau bertengger di punggung bukit, menatap jalan dari ketinggian. Beberapa lintasan anak tangga memintas jalan-jalan pada ketinggian berbeda.

Ruang-ruang terbuka mudah dimasuki dengan jalan kaki, ramai dikunjungi khalayak segala usia segala waktu sehingga kota menjadi wadah berlatih homo homini socius (manusia sebagai sahabat bagi manusia lain), bukan homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lain). Demikianlah tampak dari jendela terbuka lantai atas rumah makan Simpang Raya di muka Lapangan Jam Gadang, di seberang Istana dan Balai Sidang Bung Hatta. Inilah pusat kota yang sejati.

Di dalam daerah yang luasnya terjangkau jelajah angkutan alamiah (jalan kaki dan kendaran tak bermotor), semua unsur keragaman kota hadir: rumah makan cina (yang sajikan buah campur sembilan jenis dengan siraman madu), rumah makan minang (yang sajikan teh bercampur adukan telur), rumah biasa maupun yang megah, toko barang antik, pasar, universitas, taman, museum, mesjid, vihara, dan gereja

Salah kaprah

Namun, Bukittinggi, kota yang telah lahirkan modernisme Indonesia, tak bebas dari patologi modernisasi mutakhir yang salah kaprah ialah ketika rezim ekonomi memaksakan yang serba besar. Proses nilai tambah pun memaksa pengembangan pinggir kota secara tak seronok. Kabarnya sebuah mal akan dibangun di sebelah barat Lapangan Jam Gadang. Memperalat teknologi, ia mau sangkal skala rupa bumi yang ada.

Untuk bertahan, setidaknya dua pantangan harus dipegang teguh oleh penata Kota Bukittinggi: jangan sekalipun melebarkan jalan dan jangan ceroboh melebarkan kota! Apa pun yang hendak dicapai, kedua pantangan itu dapat dicapai tanpa melakukannya.

Perkara ini tidaklah sesulit mencari tepung di benang sehelai. Aksesibilitas-bukan sekadar mobilitas-justru rusak oleh ketergantungan pada jalan lebar dan mobil pribadi. Pelebaran jalan akan merusak rupa bumi serta ekosistem yang telah menjadi dasar urbanitas Bukittinggi sekarang. Trotoarlah yang justru harus dilebarkan dan dibuat nyaman.

Pemekaran kota yang ceroboh akan mematikan pusat kota yang akan termiskinkan menjadi pusat komersial semata, bukan lagi pusat kekhalayakan yang beragam demi homo homini socius. Kehidupan kota akan tercerai-berai, bagian-bagiannya terpisah jauh.

Agar tidak mengkhianati dirinya sendiri, proses cipta nilai tambah di Bukittinggi harus melalui intensifikasi pemanfaatan ruang dengan meningkatkan dua hal, yaitu keragaman fungsi dan kepadatan yang meninggikan kapasitas, bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi lokal berdasarkan modal yang ada, misalnya kerajinan perak dan pariwisata home-stay. Skala pembangunan pun, dalam arti wujud fisik dan investasi, harus beragam dan tidak berskala besar-besar dikuasai hanya oleh segelintir orang.

Semoga Bukittinggi tidak menjadi batang terendam seperti kawasan Puncak yang harus dibangkitkan kembali pada masa depan, hanya karena transformasi pasar membuat orang terkecoh oleh cara membangun yang tak tertib, menyangkal petuah, dan yang oleh modernitas palsu menghancurkan harkat.

Bukittinggi telah memiliki Jam Gadang sebagai simbol modernitas yang sejati-waktu, disiplin, kemajuan-dalam proporsi yang tepat ruang dan rupa bumi. Ia adalah monumen saksi lahirnya modernisme Indonesia, bahkan sebelum Jawa memulainya, dengan sejumlah watak cemerlang lahir di sana: Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Buya Hamka.

Sebagai salah satu kota terpenting dalam sejarah intelektual Indonesia dan sekaligus pusat genesis kebudayaan Minangkabau, segenap saujana Bukittinggi selayaknya diberi status sebagai pusaka nasional Indonesia.

Marco Kusumawijaya Arsitek Tata Kota, Peserta Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi

Sumber original : kompas.co.id

Istana Pagaruyung dan Istana Silinduang, Batusangkar

Istana Pagaruyung dan Istana Silinduang, Batusangkar

Istano Pagaruyung

Merupakan perkuburan raja-raja Pagaruyung. Didekat tempat terdapat pula sebuah batu yang disebut batu pancar matoari sebagai lambang Aditiawarman (aditya = matahari). Konon dibatu ini pula Aditiawarman menemui ajalnya setelah dipancung dalam sebuah pertempuran.
Istano Pagaruyung di Padang Siminyak merupakan bangunan baru yang dibangun untuk mencerminkan bahwa satusan tahun lalu di daerah itu terdapat sebuah kerajaan.
Istano/Rumah Gadang Silinduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung. Merupakan bangunan baru yang dibangun sebagai pengganti istana yang terbakar puluhan tahun sebelumnya. Disini tersimpan benda-benda peninggalan serta silsilah raja-raja kerajaan Pagaruyung hingga keturunanya sekarang.

Mengunjungi Istana Pagaruyung Anda seakan diajak untuk menelusuri jejak sejarah masyarakat Minang. Di dalam istana ini dapat dilihat benda-benda peninggalan sejarah. Dan dari situlah Anda bisa mempelajari sejarah mereka, dari politik hingga budaya.
Istana Pagaruyung dibangun oleh keluarga kerajaan Pagaruyung di Batusangkar yang mempunyai ciri khas Minangkabau.

Di dalam istana terdapat barang-barang peninggalan kerajaan yang masih terpelihara dengan baik. Di sekitar istana ini kita dapat menikmati keindahan alam dengan udara yang sejuk.
Terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Pagaruyung adalah lokasi kediaman Raja Minangkabau sebagai pusat pemerintahan yang pada abad ke-14 merupakan diungsikan dari sungai Batanghari. Di beberapa tempat di daerah ini terdapat prasasti kuno seperti batu batikan Lima Kaum. Pada batu ini terdapat lobang bekas kena tikam sebagai tanda ikrar dua orang pemimpin adat dan suku yang akan saling menghomati adat dan suku masing-masing dan hidup berdampingan secara rukun.
Istana Pagaruyung, tempat Pangeran Adityawarman pernah bertahta, berbentuk Rumah Gadang dengan arsitektur tradisional Minangkabau. Istana ini merupakan replika dari istana aslinya yang musnah terbakar. Pembangunannya dilakukan pada 1976 di atas sebidang tanah yang diwakafkan oleh keturunan keluarga kerajaan Pagaruyung.
Pada dinding luarnya dipenuhi ukiran kayu khas Ranah Minang dan atapnya menjulang berbentuk tanduk kerbau. Dinding bagian samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung.
Kehadiran istana ini merupakan wujud dari keinginan masyarakat Minangkabau bahwa di daerah mereka pernah berdiri sebuah kerajaan. Letaknya hanya 5 km dari pusat kota Batusangkar dan 50 km dari Bukittinggi. Lokasinya mudah dicapai dari kota-kota di Sumatera Barat

Batu Batikam/Stabbing Stone, West Sumatera

Istano Silinduang Bulan/Silinduang Bulan Palace
Istano Silinduang Bulan merupakan istana yang terletak di nagari Pagaruyung tepatnya di pusat kerajaan pagaruyung. Istana ini didirikan di tapak istana lama yang sebelumnya terbakar pada tahun 1966, dua kilometer sebelah utara Istano Basa. Istana yang berukuran 28 x 8 meter disebut juga rumah Gadang Sembilan Ruang. Saat ini Istano Silinduang Bulan masih dihuni oleh keluarga pewaris raja-raja Pagaruyung. Benda-benda pusaka Kerajaan Pagaruyung juga disimpan di sini. Istano Silinduang Bulan yang sekarang merupakan replika yang sudah dibangun ulang untuk menggantikan istana lama yang terbakar. Merupakan satu-satunya contoh/ replika istana Minangkabau tersisa setelah Istano Basa terbakar tahun 2007.

(Istano Silinduang Bulan is a replicated palace located on center of Pagaruyuang. It was built on the former location of 1966 old burned palace, 2 km north of Istano Basa. The 28 x 8 m place is also called Rumah Gadang Sambilan Ruang. Up to now, the royal family of Pagaruyuang still live in this palace and the kingdom heirlooms still kept inside. Silinduang Bulan is the only replica of Minangkabau palace left since Istano Baso fired on 2007.)

Rumah Tuo Kampai Nan Panjang/ Kampai Nan Panjang' Old Traditional House
Rumah tradisional Minangkabau yang telah berumur lebih dari 300 tahun. Rumah ini menggambarkan arsitektur khas Minangkabau masa lampau yang terdiri dari 7 kamar dan uniknya berkonstruksi tanpa paku. Berada di sini kita seakan menembus ke lorong waktu masa silam. Membayangkan kehidupan pada masa dibangunnya rumah ini.

(This Minangkabau traditional house has been more than 300 years. It reflects the unique architecture of Minangkabau, consist of 7 rooms and has knock down construction. Being here bring us to pass hundred years of past era. To imagine the live when the house were built.)

Batu Basurek
Prasasti sejarah yang menerangkan kejayaan Adityawarman sebagai raja di Ranah Minang. Batu basurek terletak didesa kubu rajo nagari lima kaum berjarak 4 km dari Batu sangkar.Batu basurek ini terletak di bagian atas makam raja Adityawarman. Prasasti Batu Basurek ini ditulis dengan tulisan jawa kuno berbahasa sanskerta.Batu basurek ini lebarnya 25 cm tingginya 80 cm dengan ketebalan 10 cm dan berat sekitar 50 kg.

(Batu Basurek is a historical epigraphy explaining the glory of Adityawarman as a King in Minangkabau. It locates on Kubu village, 4 km from Batu Sangkar. The epigraphy are on apex of Adityawarman cemetary. It was wrote on Javanese script and Sanskrit language. It has dimension 25 cm wide, 80 cm tall, and 10 cm thick, and 50 kg weight.)

Batu Batikam/Stabbing Stone
Batu Batikam menurut sejarahnya merupakan lambang perdamaian antara pemimpin yang berkuasa pada saat itu, yaitu Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Ada juga yang menyatakan sebagai pelampiasan emosi Datuak Parpatih Nan Sabatang ketika bertikai dengan Datuak Katumangungan. Batu berukuran 55 x 20 x 45 cm berbentuk mirip segi tiga dengan lubang seperti bekas tikaman ini terdapat di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, sekitar 15 menit dari Batu Sangkar. Situs Batu Batikam memiliki luas + 1.800 m2, dan terdapat pula tempat musyawarah kepala suku zaman dahulu yang dikenal sebagai Medan Nan Bapaneh yang ditunjukkan melalui susunan batu-batu seperti sandaran tempat duduk di sekitar pepohonan rindang berusia ratusan tahun.

(Historically, Batu Batikan is a peace symbol between to clan leader, Datuak Parpatih dan Sabatang and Datuak Katumanggungan. Others tell that the stabbing was an emotional release of Datuak Parpatih Nan Sabatang when he confronted with Datuak Katumanggungan. The 55 x 20 x 45 cm stone is similar to triangle and has a stabbing-looked hole in the middle. It locates on Tuo village, 15 minutes from Batu Sangkar. The site of Batu Batikam is 1,800 m2 including Medan Nan Bapaneh (meeting place of ancient clan leader) that shown as organized stone similar to "seat" around the hundred years of tress there.)

Lembah Anai/Anai Valley
Suatu kawasan Cagar Alam yang terletak di Kecamatan X Koto, Kab. Tanah Datar. Lembah dengan personal alam asri dan berudara sejuk. Deraian air terjunnya yang memecah sangat menarik minat pelancong yang melewatinya untuk mampir dan mandi di dinginnya air dan segarnya udara sekitarnya. Air terjun ini telah dikenal para pelancong semenjak tempo dulu. Biking dan trekking di sini sangat memuaskan. Lokasi ini selalu dilewati dalam rute perjalanan Padang-Bukittinggi.

(It is a protected forest area in Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar. It is a natural and green valley with fresh air and beautiful waterfall. The waterfall magically invite the tourist to be showered and bathed in a the cold water. Biking and tracking this area would satisfy tourist desire of natural and greeny view. The Anai Valley location is always passed in the route of Padang-Bukittinggi.)

Batu Batikan Lima Kaum

Istana Pagaruyung dibangun oleh keluarga kerajaan Pagaruyung di Batusangkar yang mempunyai ciri khas Minangkabau. Di dalam istana terdapat barang-barang peninggalan kerajaan yang masih terpelihara dengan baik. Di sekitar istana ini kita dapat menikmati keindahan alam dengan udara yang sejuk. Terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Pagaruyung adalah lokasi kediaman Raja Minangkabau sebagai pusat pemerintahan yang pada abad ke-14 merupakan diungsikan dari sungai Batanghari. Di beberapa tempat di daerah ini terdapat prasasti kuno seperti batu batikan Lima Kaum. Pada batu ini terdapat lobang bekas kena tikam sebagai tanda ikrar dua orang pemimpin adat dan suku yang akan saling menghomati adat dan suku masing-masing dan hidup berdampingan secara rukun.

Istana Pagaruyung, tempat Pangeran Adityawarman pernah bertahta, berbentuk Rumah Gadang dengan arsitektur tradisional Minangkabau. Istana ini merupakan replika dari istana aslinya yang musnah terbakar. Pembangunannya dilakukan pada 1976 di atas sebidang tanah yang diwakafkan oleh keturunan keluarga kerajaan Pagaruyung.
Pada dinding luarnya dipenuhi ukiran kayu khas Ranah Minang dan atapnya menjulang berbentuk tanduk kerbau. Dinding bagian samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung.
Kehadiran istana ini merupakan wujud dari keinginan masyarakat Minangkabau bahwa di daerah mereka pernah berdiri sebuah kerajaan. Letaknya hanya 5 km dari pusat kota Batusangkar dan 50 km dari Bukittinggi. Lokasinya mudah dicapai dari kota-kota di Sumatera Barat.

Monday 20 December 2010

KOMPONEN PERKAMPUNGAN TRADISIONAL MINANGKABAU

KOMPONEN PERKAMPUNGAN TRADISIONAL MINANGKABAU

A. RUMAH GADANG Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu. Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat. Bunyinya ialah sebagai berikut : Rumah gadang sambilan ruang, salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang. Gonjongnyo rabuang mambasuik, antiang-antiangnyo disemba alang. Parabuangnyo si ula gerang, batatah timah putiah, barasuak tareh limpato, Cucurannyo alang babega, saga tasusun bak bada mudiak. Parannyo si ula gerang batata aia ameh, salo-manyalo aia perak. Jariaunyo puyuah balari, indah sungguah dipandang mato, tagamba dalam sanubari. Dindiang ari dilanja paneh. Tiang panjang si maharajo lelo, tiang pangiriang mantari dalapan, tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu, tiang dalam puti bakabuang. Ukiran tonggak jadi ukuran, batatah aia ameh, disapuah jo tanah kawi, kamilau mato mamandang. Dama tirih bintang kemarau. Batu tala pakan camin talayang. Cibuak mariau baru sudah. Pananjua parian bapantua. Halaman kasiak tabantang, pasia lumek bagai ditintiang. Pakarangan bapaga hiduik, pudiang ameh paga lua, pudiang perak paga dalam, batang kamuniang pautan kudo, Lasuangnyo batu balariak, alunyo linpato bulek, limau manih sandarannyo. Gadih manumbuak jolong gadang, ayam mancangkua jolong turun, lah kanyang baru disiuahkan, Jo panggalan sirantiah dolai, ujuangnyo dibari bajambua suto. Ado pulo bakolam ikan, aianyo bagai mato kuciang, lumpua tido lumuikpun tido, ikan sapek babayangan, ikan gariang jinak-jinak, ikan puyu barandai ameh. Rangkiangnyo tujuah sajaja, di tangah si tinjau lauik, panjapuik dagang lalu, paninjau pancalang masuak, di kanan si bayau bayau, lumbuang makan patang pagi, di kiri si tangguang lapa, tampek si miskin salang tenggang, panolong urang kampuang di musim lapa gantuang tungku, lumbuang kaciak salo nanyalo, tampek manyimpan padi abuan. Maksudnya : Rumah gadang sembilan ruang, selanjar kuda berlari, sepekik budak menghimbau, sepuas limpato makan, sejerih kubin melayang. Gonjongnya rebung membersit, anting-anting disambar elang. Perabungnya si ular gerang, bertatah timah putih, berasuk teras limpato. Cucurannya elang berbegar, sagar tersusun bagai badar mudik. Parannya bak si bianglala, bertatah air emas, sela-menyela air perak. Jeriaunya puyuh berlari, indah sungguh dipandang mata, tergambar dalam sanubari. Dinding ari dilanjar panas. Tiang panjang si maharajalela, tiang pengiring menteri delapan, tiang tepi penegur tamu, tiang dalam putri berkabung. Ukiran tonggak jadi ukuran, bertatah air emas, disepuh dengan tanah kawi, kemilau mata memandang. Damar tiris bintang kemarau. Batu telapakan cermin terlayang, Cibuk meriau baru sudah, penanjur perian ber pantul. Halaman kersik terbentang, pasir lumat bagai ditinting. Pekarangan berpagar hidup, puding emas pagar luar, puding merah pagar dalam. Pohon kemuning pautan kuda. Lesungnya batu berlari, alunya limpato bulat. Limau manis sandarannya. Gadis menumbuk jolong gadang, ayam mencangkur jolong turun, sudah kenyang baru dihalaukan, dengan galah sirantih dolai, ujungnya diberi berjambul sutera. Ada pula kolam ikan, airnya bagai mata kucing, berlumpur tidak berlumut pun tidak, ikan sepat berlayangan, ikan garing jinak-jinak, ikan puyu beradai emas. Rangkiangnya tujuh sejajar, di tengah sitinjau laut, penjemput dagang lalu, peninjau pencalang masuk, di kanan si bayau-bayau, lumbung makan petang pagi, di kiri si tanggung lapar, tempat si
miskin selang tenggang, penolong orang kampung, di musim lapar gantung tungku, lumbung kecil sela-menyela, tempat menyimpan padi abuan. Arsitektur Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah "alam takambang jadi guru", mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut "bakarano bakajadian" (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu. Ragam Rumah Gadang Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih. Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
BODICANIAGO SURAMBI PAPEK (RAGAM LUHAK AGAM) http://www.geocities.com/ict_sumbar/kompon1.jpg BODICANIAGO RAJO BABANDIANG (RAGAM LUHAK LIMO PULUAH KOTO) kompon2.jpg KOTO PILIANG SITINJAU LAUIK (RAGAM LUHAK TANAH DATAR) Kompon3.jpg Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri. Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan pantun sebagai berikut : Pisang si kalek-kalek utan, Pisang tambatu nan bagatah. Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah. Maksudnya : Pisang si kalek-kalek hutan, Pisang tambatu yang bergetah, Koto Piliang mereka bukan Bodi Caniago mereka antah. Rumah gadang kaum inii menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di
tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya. kompon4.jpg RUMAH BATINGKOK (BERTINGKAP) YANG PERNAH ADA DI BASO PADA ABAD YANG LALU. Rumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya. Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung). Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah. Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah. Fungsi Rumah Gadang Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsi rumah gadang yang antara lain sebagai berikut. Rumah gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikaik, Pintunyo basamo dalia kiasannya, Banduanyo sambah-manyambah Bajanjang naiak batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian. Maksudnya : Rumah gadang besar bertuah,
Tiangnya bernama kata hakikat, Pintunya bernama dalil kiasan, Bendulnya sembah-menyembah, Berjenjang naik, bertangga turun, Dindingnya penutup malu, Biliknya alung bunian. Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari. Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama. Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati. Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap lakilaki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istriistrinya. Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang. Fungsi Bagian Rumah Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap
ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum. Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan. Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah). Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang. Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara "patah tumbuh, hilang berganti", maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan. Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto. Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada

sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadisgadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu. Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar. Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat. Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri. Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong. Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing. Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain. Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orangorang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu). Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari. Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat, seperti ungkapan berikut ini. Nan kuaik ka jadi tonggak, Nan luruih jadikan balabeh, Nan bungkuak ambiak ka bajak, Nan lantiak jadi bubuangan, Nan satampok ka papan tuai, Panarahan ka jadi kayu api, Abunyo ambiak ka pupuak. Maksudnya : Yang kukuh akan jadi tonggak, Yang lurus jadikan penggaris, Yang bungkuk gunakan untuk bajak, Yang lentik dijadikan bubungan, Yang setapak jadikan papan tuas, Penarahannya akan jadi kayu api, Abunya gunakan untuk pupuk. Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kudakuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama. Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang. Ukiran Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya. Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah. OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut. 1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.
2. 3. 4. 5. 6. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar). Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk). Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama. Mengkombinasikannya motif segi empat. Menyusun dalam kombinasi rangkap. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga Iebih menonjol dari yang lain. Memutar atau membalikkan komposisi. Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut. 1. 2. 3. 4. Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung. Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya. Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran. Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya. Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan). Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang. Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan. Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagian-bagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan
pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat. Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah). Bentuk motif ragam ukiran rumah gadang dapat dilihat (klik disini) (http://pakguruonline.pendidikan.net/ukiran.html) B. RANGKIANG Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang ditegakkan di halaman depan. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Ada empat macam jenisnya dengan fungsi dan bentuknya yang berbeda. Jumlah rangkiang yang tertegak di halaman memberikan tanda keadaan penghidupan kaum. kompon5.jpg Bentuk rangkiang sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang. Atapnya bergonjong dan dibuat dari ijuk. Tiang penyangganya sama tinggi dengan tiang rumah gadang. Pintunya kecil dan terletak pada bagian atas dan salah satu dinding singkok (singkap), yaitu bagian segi tiga lotengnya. Tangga bambu untuk menaiki Rangkiang dapat dipindah-pindahkan untuk keperluan lain dan bila tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang. Keempat jenis Rangkiang itu ialah: 1. Si tinjau lauik (si tinjau taut), yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Tipenya lebih langsing dan yang lain, berdiri di atas empat tiang. Letaknya di tengah di antara rangkiang yang lain. Si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Tipenya gemuk dan berdiri di atas enam tiangnya. Letaknya di sebelah kanan. Si tangguang lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya. Rangkiang kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong dan bangunannya lebih kecil dan rendah. Ada kalanya bentuknya bundar. 2. 3. 4. C. BALAIRUNG DAN MASJID
Balairung ialah bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Bentuknya sama dengan rumah gadang, yaitu diba ngun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, tetapi kolongnya lebih rendah dan kolong rumah gadang. Tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Ada kalanya balairung itu tidak berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti oleh umum seluas-Iuasnya. kompon6.jpg BALIURANG (BALAI ADAT) DARI KELARASAN KOTO PILIANG YANG TERDAPAT DI BATIPUH, BEBERAPA KILOMETER DARI PADANG PANJANG. Seperti dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda aliran itu mempunyai perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balai rung kelarasan Koto Piliang mempunyai anjung pada kedua ujungnya dengan Iantai yang lebih tinggi. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya ditempati raja atau wakilnya. Pada masa dahulu, lantai di tengah balairung itu diputus, agar kendaraan raja dapat langsung memasuki ruangan. Lantai yang terputus di tengah itu disebut lebuh gajah. Sedangkan balairung kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai anjung dan lantainya rata dan ujung ke ujung. Balairung dari aliran ketiga, seperti yang terdapat di Nagari Tabek, Pariangan, yang dianggap sebagai balairung yang tertua, merupakan tipe lain. Balairung ini diberi labuah gajah, tetapi tidak mempunyai anjung. Bangunannya rendah dan tanpa dinding sama sekali, sehingga setiap orang dapat melihat permufakatan yang diadakan di atasnya. Tipe lain dan balairung itu ialah yang terdapat di Nagari Sulit Air. Pada halaman depan diberi parit, sehingga setiap orang yang akan masuk ke balai rung harus melompat lebih dahulu. Pintu balairung diletakkan pada lantai dengan tangganya di kolong, sehingga setiap orang yang akan naik ke balairung itu harus membungkuk di bawah Iantai. Balairung hanya boleh didirikan di perkampungan yang berstatus nagari. Balainya pada nagari yang penduduknya terdiri dan penganut kedua aliran kelarasan, bentuknya seperti balairung Koto Piliang, tetapi dalam persidangan yang diadakan di sana lantai yang bertingkat tidak dipakai. Ini merupakan suatu sikap toleransi yang disebutkan dengan kata "habis adat oleh kerelaan".
k kompon7.jpg MESJID BODI CANIAGO ompon8.jpg MESJID KOTO PILIANG Apabila balairung digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, maka masjid merupakan pusat kegiatan kerohanian dan ibadah. Masjid hanya boleh didirikan di nagari dan koto. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah gadang, yakni dindingnya mengembang ke atas dalam bentuk yang bersegi empat yang sama panjang sisinya. Atapnya lancip menjulang tinggi dalam tiga tingkat. Di samping masjid, juga didapati pula semacam bangunan yang dinamakan surau. Jika masjid adalah milik nagari, maka surau adalah milik kaum. Surau digunakan juga sebagai asrama kaum laki-laki, duda, dan bujangan. Di surau itulah tiap kaum memberikan pendidikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak muda. D. PEMEDANAN GELANGGANG DAN SASARAN Pusat kegiatan duniawi ialah pemedanan, yaitu suatu medan atau lapangan luas yang terletak di luar perkampungan. Pemedanan merupakan wilayah yang tidak bertuan. Ia digunakan sebagai tempat menyelesaikan persengketaan antara orang seorang, antara kaum, dan atau antara nagari yang tidak mungkin diselesaikan penghulu masing-masing. Persengketaan yang dibawa ke pemedanan itu bukanlah persoalan hukum, melainkan persengketaan karena harga diri yang tersinggung, yang diselesaikan dengan perkelahian, baik dengan secara fisik maupun secara simbolik. Perkelahian simbolis umpamanya yang terdapat dalam kisah tambo tentang peraduan kerbau antara penduduk dan pendatang yang hendak menjarah. Dalam perkelahian fisik, pihak yang bersengketa masing-masing membawa teman yang bertugas sebagai saksi atau sebagai pembantu untuk menggotong pulang yang kalah atau untuk membalas kecurangan yang mungkin dilakukan satu pihak. Masing-masing mungkin membawa pendekar yang menjadi jagoannya. Aturan permainannya ialah orang yang bersengketa akan melakukan perkelahian satu lawan satu dengan disaksikan sahabat masing-masing. Lazimnya mereka tidak langsung berkelahi, tetapi berbicara lebih dahulu apa yang menjadi penyebab persengketaan itu. Apabila dengan dialog itu tidak mungkin didapat penyelesaian, mereka, akan melakukan perkelahian bebas dengan bersenjata atau tanpa senjata. Pendekar dari kedua belah pihak dapat melerai perkelahian itu jika menurut pertimbangan mereka, hasilnya akan tidak sesuai dengan materi penyebab persengketaan itu. Akan tetapi, perkelahian itu bisa menghasilkan perkelahian massal, bila salah satu pihak melakukan kecurangan sehingga memancing teman yang curiga ikut tampil dalam perkelahian. Perkelahian massal yang sampai menjadi dendam yang berkepanjangan akan menjadi urusan ninik mamak masing-masing untuk mencari jalan perdamaian. Artinya, dalam persengketaan yang bersifat pribadi ini, tugas penghulu ialah menyelesaikannya dengan membuat perdamaian tuntas. Tidak ada yang salah tidak ada yang benar, demikian pula tidak ada yang kalah atau yang menang, dan tidak ada
tuntut-menuntut ganti rugi atas kerusakan yang terjadi oleh persengketaan itu. Lazimnya perdamaian ditutup dengan suatu perjamuan yang diadakan bersama oleh kedua belah pihak. Kalau terjadi lagi insiden setelah perdamaian maka hukum akan dilakukan menurut semestinya. Orang perkasa yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang kecil boleh dikeroyok pada saat kesewenangan itu dilakukannya, tidak boleh pada waktu yang lain. Pengeroyokan pada waktu lain harus dilakukan dengan bersembunyi sehingga tidak seorang pun tahu. Akan tetapi, pengeroyokan yang tidak berdasarkan alasan yang tepat akan menimbulkan pembalasan oleh teman atau kerabat yang kena keroyok. Di samping pemedanan, ada pula galanggang (gelanggang). Ia merupakan tempat permainan rakyat, baik perlombaan ada ketangkasan maupun peraduan hewan piaraan mereka. Pimpinan gelanggang dinamakan juaro (juara). Guna tempat latihan ketangkasan atau permainan lainnya, di dekat surau dibangun pula suatu bangunan yang dinamakan sasaran. Bangunan itu bersegi empat tanpa dinding dan atapnya belah ketupat. Artinya, perabungnya mempunyai titik di tengah. Sasaran tidak hanya digunakan kaum yang bersangkutan, tapi juga dapat digunakan anggota kaum lain sebagai tempat belajar pada salah satu pendekar terkemuka di bidangnya. Karena pada setiap sasaran tidak mungkin ditemukan juara yang mampu mengajar seluruh permainan rakyat, atau setiap sasaran mempunyai kelebihan tersendiri, maka dengan cara memberikan kesempatan kaum lain belajar pada setiap, terjadilah peng-eratan hubungan antara anak muda pada setiap kaum yang ada dalam nagari itu. Adakalanya anak-anak muda dari nagari lain dapat datang menuntut ilmu pada seorang juara di nagari itu. ----------------------------------Referensi : A.A. Navis "Alam Terkembang Jadi Guru ¬ Adat dan Kebudayaan Minangkabau" PT. Grfis Pers, 1984